Jump to ratings and reviews
Rate this book

Pecinan - Suara Hati Seorang Wanita Tionghoa

Rate this book
"Saat aku lahir, Papa memberikanku nama Tan Ling-Ling. Setelah dewasa, namaku menjadi Lely Kurniawati. Aku memang orang Indonesia keturunan Tionghoa." ,

***

Lely Kurniawati, gadis kecil yang selalu berada di antara toples-toples kue jualan orang tuanya merasa tidak memiliki siapa pun. Sampai kemudian, pada suatu hari, saat usianya beranjak dewasa, ia bertemu dengan Gunaldi, lelaki yang kemudian menjadi suaminya. Lelaki itu, bagi Lely, bukan hanya seorang suami. Tapi, lebih dari itu, sebab darinyalah dia merasa "ada" dan memiliki "sesuatu".

Sayang, kebahagiaan Lely tiba-tiba terhenti oleh sebuah kenyataan bahwa ternyata Gunaldi tidak cukup dengan satu cinta! Lantas, apa yang terjadi kemudian?

Dalam waktu yang bersamaan, Anggraeni, teman masa kecil Lely bertemu kembali. Ia pun mencoba berusaha membantunya dengan mencari kebenaran tersebut. Sayang, Anggraeni justru malah menemukan keraguan, baik terhadap apa yang dilakoni Lely maupun dirinya sendiri. Bahwa, kendati keduanya sama-sama datang dari keluarga etnis Cina, ternyata mereka memiliki perbedaan dalam memandang sisi kesetiaan dalam sebuah institusi perkawinan. Lalu...? Selanjutnya...?

Sungguh, sebuah novel yang sangat menarik. Membongkar sisi terdalam batin perempuan Tionghoa di Indonesia. Menyentuh, penuh kejutan, dan layak baca!

246 pages, Paperback

First published July 1, 2011

Loading interface...
Loading interface...

About the author

Ratna Indraswari Ibrahim

20 books8 followers
Lahir di Malang, Jawa Timur, 24 April 1949. Anak kelima dari 10 bersaudara ini mengaku bahwa bakat mengarangannya menurun dari simbah buyutnya yang menjadi pawang cerita di Minang. Pada sekitar usia tigabelas tahun ia mengalami penyakit rachitis (radang tulang) yang mengakibatkan Kedua kaki dan tangannya tidak berfungsi, sehingga ia harus duduk di atas kursi roda. Keterbatasan fisik seperti ini bukan menjadi hambatan baginya untuk mengembangkan pribadinya.

Pernah berkuliah di Fakultas Ilmu Alam Universitas Brawijaya, Malang, namun tidak ia rampungkan. Dalam proses kepenulisannya, ia banyak mendapat inspirasi dari historiografi, yakni menceritakan kejadian-kejadian masa lampau, baik berunsur sejarah atau legenda. Namun karena cacat fisik yang tidak memungkinkan dia menulis langsung, ia hanya mendiktekan kepada para asistennya untuk mengetik, baru kemudian merevisinya.

Dengan perjuangan teknis seperti itulah cerpen dan novelnya lahir, dan memiliki karakter yang sangat khas dengan kewanitaannya. Karyanya antara lain : berupa kumpulan cerpen yang di muat dalam antologi Kado Istimewa (1992), Pelajaran Mengarang (1993), Lampor (1994), Laki-Laki yang Kawin dengan Peri (1995), Anjing-Anjing Menyerbu Kuburan (1997), Lakon Di Kota Senja (2002) dan Waktu Nayla (2003).

Kumpulan cerpennya yang lain : Aminah di Suatu Hari, Menjelang Pati (1994), Namanya Masa (2000) dan Sumi dan Gambarnya (2003). Karya-karya cerpennya tersebut banyak dimuat di berbagai media massa seperti Kompas, Horison, Basis, Suara Pembaruan, Kartini, Sarinah, Jawa Pos dan banyak lagi. Ia juga menerbitkan novel yaitu Bukan Pinang Dibelah Dua (2003) dan Lemah Tanjung (2003).

Atas peran aktifnya dalam dunia sastra, tercatat beberapa kali ia meraih beberapa penghargaan, antara lain, tiga kali berturut-turut cerpennya masuk dalam antologi cerpen pilihan Kompas (1993-1996), cerpen pilihan harian Surabaya Post (1993) serta juara tiga lomba penulisan cerpen dan cerbung majalah Femina (1996-1997). Karyanya juga terpilih masuk dalam Antologi Cerpen Perempuan ASEAN (1996).

Disamping rajin menulis, sejak 1977 dia juga aktif menjadi ketua Yayasan Bhakti Nurani Malang dan Direktur I LSM Entropic Malang (1991). Karena aktivitas sosialnya inilah dia mendapat kesempatan mengikuti berbagai seminar internasional, seperti Disable People International di Sydney, Australia, (1993), Kongres Internasional Perempuan di Beijing, RRC (1995), Leadership Training MIUSA di Eugene Oregon, Amerika Serikat (1997), Kongres Perempuan Sedunia di Washington DC, Amerika Serikat (1997), serta pernah mendapat predikat Wanita Berprestasi dari Pemerintah RI (1994).

Tahun 2001, ia membentuk Forum Kajian Ilmiah Pelangi yang bermarkas di rumahnya, Jl. Diponegoro 3.A Malang, Jawa Timur. Forum ini mampu menjadi oase, kantong budaya, karena mengakomodasi berbagai elemen masyarakat dalam diskusi persoalan aktual setiap bulannya.

Sastrawan ini meninggal dunia di usia 61 tahun setelah menderita stroke.

Ratings & Reviews

What do you think?
Rate this book

Friends & Following

Create a free account to discover what your friends think of this book!

Community Reviews

5 stars
3 (30%)
4 stars
0 (0%)
3 stars
7 (70%)
2 stars
0 (0%)
1 star
0 (0%)
Displaying 1 - 3 of 3 reviews
Profile Image for Anastasia Ervina.
Author 15 books10 followers
July 16, 2013
Novel ini yang menemani saya saat liburan kemarin. Saya suka sekali dengan sampulnya dan juga judulnya. Makanya saya memutuskan untuk membeli novel ini pertama kalinya. Dari novel ini saya akhirnya tahu bagaimana menderitanya warga Tionghoa yang menetap di Indonesia bahkan yang sudah menjadi warga negara Indonesia sendiri setelah kejadian Gerakan 30 September PKI pada tahun 1965. Pada novel ini nasib Anggraeni lebih beruntung dibandingkan Lely yang masih dapat melanjutkan sekolah semenjak kejadian itu.

Saya dulu berpikir kenapa ada pengkotakan etnis Tionghoa? Kenapa etnis Tionghoa seolah-olah tak ingin membaur dengan masyarakat pribumi? Dan ternyata memang sejak awal pemerintahlah yang menginginkannya demikian. Makanya hingga sekarang hampir sebagian besar etnis Tionghoa di Indonesia seperti mempunyai blok tersendiri. Mereka hanya berbaur kepada sesama etnis mereka sendiri dan sulit atau jarang berbaur dengan masyarakat pribumi.

Selain itu masalah rumah tangga yang kerap dijumpai adalah 'perselingkuhan'. Itu menimpa rumah tangga Lely dan Gunaldi. Di sini saya sangat kagum sekali dengan rasa cinta Lely yang tulus. Ia sangat berjuang keras mempertahankan rumah tangganya. Menjunjung pernikahan sekali seumur hidup. Serta pengabdian yang luar biasa kepada sang suami yang jelas-jelas selalu melukai perasaannya. Belum lagi penolakan mertuanya terhadapnya.

Berbeda dengan Anggraeni yang memandang Lely yang telah dibutakan oleh cinta. Menurut Anggraeni untuk apa mempertahankan Gunaldi, toh hanya akan menambah luka hati Lely saja. Anggraeni menyarankan Lely untuk menceraikan Gunaldi untuk kebaikan Lely.

Antara Anggraeni dan Lely memandang pernikahan dan kesetiaan dengan sudut pandang yang berbeda. Jika Anggraeni lebih mengutamakan logika atau akal sehatnya dan mencoba untuk lebih realistis, namun Lely lebih mengutamakan kata hati dan perasaan serta ketulusannya. Mungkin dalam praktik sehari-harinya saya pun akan bersikap seperti Anggraeni. Namun barangkali tak ada salahnya untuk belajar tentang ketulusan dan kesetiaan terhadap pernikahan dari Lely mulai dari sekarang. :)
Profile Image for Iin Farliani.
Author 5 books3 followers
October 13, 2023
Saya membaca novel "Pecinan Kota Malang" [2008] seusai menuntaskan kumpulan cerpen "Sumi dan Gambarnya" [2002] dan kumpulan tiga cerpen panjang "Batu Sandung" [2007]. Selama pembacaan sangat terasa pola yang ada di dua karya sebelumnya tentang “gagasan yang mengalami pertentangan atau dipertentangkan” muncul juga di novel ini. Novel ini mengisahkan dua kehidupan perempuan keturunan Tionghoa: Anggaraeni [Tinghoa Totok] dan Lely [Tionghoa Baba]. Gaya kisahannya berjalan dengan cara menyandingkan dua kehidupan perempuan itu sehingga pembaca langsung memperoleh perbandingan berupa perbedaan maupun persamaan yang menalikan dua kehidupan mereka. Point of view novel sangat konsisten berada pada tokoh Anggraeni dari awal hingga akhir kecuali di bab terakhir.

Bila di karya-karya sebelumnya tokoh utama langsung berhadapan dengan “kubu yang menentang” atau “kubu yang mendukung” gagasan mereka, dalam novel ini selain Anggraeni berhadapan langsung dengan “kubu yang menentang” diwakilkan oleh Ibunya yang paling sering merongrongnya, ia juga mengalami pertentangan itu secara tak langsung dari apa yang ia peroleh melalui biografi Lely. Di sini Anggraeni terus menerus mempertanyakan gagasan yang dianutnya tiap kali ia bercermin pada apa yang diceritakan Lely melalui kaset rekaman. Tiap fase kehidupan yang diceritakan Lely merupakan “medium” bagi Anggraeni untuk merefleksikan kembali kehidupannya.

Perbandingan-perbandingan itu membawa Anggraeni pada suatu renungan diri yang membuatnya mempertanyakan kembali “gagasan”nya atau nilai-nilai yang selama ini ia jalani. Beberapa misalnya kemandiriannya sebagai seorang dosen. Ia berandai-andai kalau saja masa remajanya dihabiskan untuk belajar keterampilan berbisnis, mungkin ia tak akan terjebak dalam kebosanan rutinitas seorang dosen yang juga harus berjibaku dengan kendala dalam menyelesaikan tesisnya. Anggraeni juga bertanya apakah didikan yang selama ini ia terima dari ayahnya tak terlalu membuatnya menjadi anak yang manja? Bagaimana kalau seandainya dulu ia menjalani kehidupan seperti keluarga Tionghoa Lely yang gemar berdagang? Mungkin saja keadaan ekonominya jauh lebih baik sekarang dibandingkan hanya mengandalkan gaji dosen yang jumlahnya tak seberapa.

Di dalam pertentangan gagasan itu, pembaca akan kerap menemukan tokoh-tokohnya dihadapkan pada situasi yang seolah-olah tak bisa dilewati, namun setelah menilik ulang sebenarnya mereka yang tak mau keluar dari zona pertentangan itu. Apa yang diperjuangkan tokoh-tokoh dalam karya-karya Ratna Indraswari Ibrahim tidak selalu “gagasan” yang nilai-nilainya benar secara objektif. Tidak selalu merupakan nilai yang bisa kita sejajarkan sebagai sesuatu yang benar dalam pandangan umum. Dalam novel Pecinan: Kota Malang [2008] hal ini sangat terlihat jelas pada posisi tokoh Lely. Kita sebagai orang luar yang melihat bagaimana menderitanya Lely menjalani rumah tangganya kemungkinan besar akan bersikap seperti Anggraeni: “Apa lagi yang kamu tunggu? Tinggalkan saja suamimu!”.

Tetapi dengan semua penderitaan itu Lely memilih bertahan. Ia mempertahankan gagasannya “sebagai istri yang mesti mengabdi pada suami”. Padahal tak ada alasan yang cukup kuat bila dikatakan Lely tak mampu melepas dirinya dari jeratan neraka rumah tangga. Ia adalah perempuan yang sangat berdaya secara ekonomi. Suaminyalah yang menggantungkan sumber hartanya pada Lely. Lagipula anak-anaknya sudah beranjak dewasa dan hidup mandiri di luar negeri. Dengan sikap berdayanya yang mampu merintis bermacam bisnis dan mempertimbangan lebih banyak kerugian yang dituai baik mental maupun materi, mestinya tak ada alasan cukup kuat untuk mempertahankan suami yang sangat tak berguna itu.

Begitu pula yang kita temukan dalam karya-karya Ratna Indraswari Ibrahim yang lain. Situasi yang dihadapi bukan berarti tak bisa dilewati, namun karena ia lebih bertumpu pada gagasan yang dipegangnya, maka ia kerap melahirkan berbagai pertimbangan tertentu sehingga sering berada pada posisi “di antara”.

Keterangan: Review ini merupakan kutipan dari esai panjang saya yang berjudul “Gagasan yang Menjelma Cermin: Tilikan atas Karya-Karya Ratna Indraswari Ibrahim” yang akan disampaikan dalam Microfest Akarpohon 21-26 November 2023 dengan tema “Hereditas”. Tema “Hereditas” mengulas enam penulis Indonesia era lama yang memberi warisan bagi generasi selanjutnya.
Profile Image for Dion Yulianto.
Author 19 books191 followers
August 4, 2016
Novel Pecinan adalah novel sederhana yang berupaya mengangkat kehidupan dari kaca mata seorang wanita keturunan Tionghoa di Indonesia pada masa-masa ketika keadaan sepertinya sedang tidak berpihak kepada mereka. Kisah Lely dan Anggraeni memberikan pandangan baru tentang bagaimana sulitnya pilihan yang dihadapi oleh kaum Tionghoa pada masa-masa genting paska tahun 1965, penuh dengan tarikan antara nasionalisme dengan keselamatan diri. Terlebih dengan adanya peristiwa Mei 1998, pada masa-masa itulah nasionalisme mereka sebagai bangsa Indonesia benar-benar diuji.

Ulasan jadul di http://dionyulianto.blogspot.co.id/20...
Displaying 1 - 3 of 3 reviews

Can't find what you're looking for?

Get help and learn more about the design.