Anggapan bahwa semua orang yang mengajar di perguruan tinggi mengejar jabatan akademik guru besar atau profesor sebenarnya tidak selalu benar. Ada juga dosen-dosen berdedikasi, banyak meneliti, dan layak menyandang gelar tersebut, tetapi mereka menyebut dirinya ”orang biasa” dan orang lain mungkin menyebutnya ”bodoh”.
Akhir-akhir ini, jabatan guru besar dibicarakan, bukan karena perannya, melainkan karena persoalannya. Ironis! Mulai dari ”profesor instan”, ”profesor abal-abal”, hingga soal panggilan ”Prof”. Mungkin kisah profesor di Indonesia lebih banyak menggambarkan masyarakatnya. Gambaran masyarakat pemuja gengsi gelar!
Saya mengenal beberapa guru besar di UI, UGM, dan ITB. Mereka lebih senang dipanggil Mas/Kang/Bang dan Mbak ketimbang Profesor. Jauh sebelum ada yang ”kebelet” ingin jadi profesor. Bukan karena mereka tidak suka dipanggil ”Prof”, tetapi katanya hanya ingin terasa lebih akrab dengan rekan atau mahasiswa.
Jadi, soal mau panggilan ”Prof” atau ”Kang/Mas” hanyalah soal selera. Untuk urusan formal, seperti dokumen akademik, tidaklah perlu merasa tidak enak mengenakan gelar Prof, baik apakah profesor itu ”profesor benaran” atau ”profesor instan”. Ke depan, tinggal kita bangun aturan dan budaya akademik yang benar agar yang lebih muda malu jadi ”profesor instan”.
Menjadi profesor sebenarnya lebih karena mengajukan saja (tentu dengan sejumlah syarat). Mungkin bagi sebagian dosen berat, tetapi bagi sebagian dosen lagi tidak juga. Jadi, ada ”profesor pengajuan” (formal) dan ada ”profesor pengakuan” (informal). ”Profesor pengakuan” biasanya mendapat pengakuan dari sejawat dan mahasiswa karena ”kompetensi” atau ”jejak karya” yang panjang.
Mungkin tidak ada salahnya sekadar berbagi pengalaman pribadi, kebetulan penulis surat pembaca ini juga mengajar di Program S-2 Ilmu Komunikasi Universitas Pasundan (Bandung) dan Universitas Brawijaya (Malang). Setiap memulai kuliah baru, saya selalu mengatakan (berulang-ulang) kepada mahasiswa agar memanggil saya ”Kang/Bang Idi” saja, tidak boleh ”Pak Dr”, apalagi ”Prof”. Bahkan, saya, tentu saja sambil bergurau, mengatakan, ”Kalau tidak, saya akan memberi nilai Anda, E (tidak lulus).” Di Program Doktor Agama dan Media/Studi Agama-agama UIN SGD Bandung bahkan saya meminta mahasiswa S-3 boleh memanggil saya ”Idi” saja selain ”Kang/Bang”. Namun, ”dasar” mahasiswa, tetap saja masih ada yang memanggil saya ”Kang Mas Dr”, bahkan ”Kang Mas Prof”. Mereka menyebutnya ”pengakuan” di ruang kuliah! Ampun, deh.
Idi Subandy Ibrahim
Babakan Ciparay, Caringin, Kota Bandung, Jawa Barat
Maestro
Artikel opini Deddy Mulyana dan Mohammad Imam Farisi (Kompas, 17/7/2024) bagus, mencerahkan, dan sinis (tetapi tidak sampai sarkastis), dan masih memenuhi fatsun menyatakan pendapat kepada publik.
Pejabat tinggi sipil, perwira tinggi militer, dan artis pesohor yang kebelet menjadi profesor dan ujug-ujug menerbitkan artikel di jurnal ilmiah untuk memenuhi persyaratannya dikatakan snobbish dan serakah, padahal sebenarnya mereka dihinggapi kerocojiwa (rasa rendah diri, atau minderwaardigheidscomplex).
Artikel itu mengingatkan saya kepada almarhum Prof Dr Tjia May On. Orang Probolinggo itu profesor beneran, lulusan North-western University, Evanston Ill. Kami bertemu di Gedung DRN (Dewan Riset Nasional), Serpong, ketika ia mempresentasikan proposal risetnya. Dia bilang: ”Datanglah ke lab saya. Nanti tak bikinkan mi instan.”
Suatu hari saya datang ke labnya di Fismatel ITB dalam rangka tugas ”monev” (monitoring dan evaluasi) RUT (Riset Unggulan Terpadu). Pada waktu itu—di masa pemerintahan RI-1 no 5—ada program RUT dan RUTI (RUT Internasional).
Sambil melihat set-up eksperimennya (bidang photonics), saya mendengarkan paparannya sambil mengobrol. Prof Tjia menyatakan bahwa ia akan lebih senang kalau gelar profesor tidak dimohon oleh dosen dengan melampirkan bukti pemenuhan persyaratannya, dan dengan rekomendasi pimpinan universitas tempat dosen itu bekerja. Seharusnya gelar ”maestro” atau ”empu”, atau apa sajalah, diberikan oleh masyarakat yang menghargai prestasi hebat seseorang.
L Wilardjo
Klaseman, Salatiga