JATIMTIMES – Jelang peringatan Peristiwa G/30S/PKI 30 September 2021, isu tentang kebangkitan komunis dan komunis gaya baru selalu menjadi bahan perdebatan. Sebagian menganggap bahwa bahaya laten komunis sudah tidak ada di Negara Indonesia.
Ketua Yayasan Peneliti Korban Pembunuhan 65 (YPKP 65) Bedjo Untung menyampaikan, jika masih menghembuskan seolah-olah PKI gaya baru hidup lagi, itu menurutnya tidak masuk akal.
"Terus terang saja saya sebagai Ketua YPKP 65 yang secara faktual melakukan kegiatan kemana-mana, itu tidak ada. Satupun tidak ada dan saya membantahnya," ucap Bedjo, Jum'at (24/9/2021).
Dia menjelaskan, Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah dibubarkan oleh Rezim Orde Baru (era Soeharto) setelah dikeluarkannya Surat Perintah 11 Maret 1966 dan diperkuat dengan Ketetapan MPRS.
Dia juga mengaku aneh dengan pihak-pihak yang kerap menghembuskan bahwa PKI akan hidup kembali. "Ada isu PKI gaya baru. Itu tidak benar," tegas Bedjo.
Menurutnya, hal ini semacam rekayasa yang ingin memunculkan kembali sentimen komunis terhadap kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang dianggap pro komunis.
"Ada rekayasa sengaja ditiupkan lagi. Dimunculkan lagi untuk melanggengkan sentimen bahwa komunis itu ateis yang kenyataannya tidak benar," lanjutnya.
Dalam kesempatan ini, Bedjo juga menyampaikan, visi dan misi YPKP 65 adalah ikut mencerdaskan bangsa dengan alasan bahwa Orde Baru di bawah rezim Soeharto telah melakukan apa yang disebut dengan de-Ideologi dan de-politisasi.
“Masyarakat dibuat takut berbicara politik dan adanya diskriminasi terhadap tapol serta Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966 (YPKP 65) berkomitmen membantu Pemerintah dalam mengamalkan Pancasila dan UUD 1945. Dalam program jangka pendek adalah melakukan penelitian bahwa apa benar PKI melakukan pemberontakan” ucapnya.
Peristiwa 65 merupakan sejarah kelam bagi bangsa Indonesia dan YPKP 65 menjelang 30 September 2021. Bedjo juga menyampaikan dan memastikan tidak ada kegiatan memperingati peristiwa G/30S/PKI, namun pihaknya hanya mengenang dan mengirim doa semata untuk para korban pembunuhan massal yang dilakukan oleh aparat keamanan.
"Situasi pandemi Covid-19, kegiatan tabur bunga untuk korban kekerasan ditiadakan. Namun hanya mengenang dengan do’a bersama" pungkasnya.