Kajian Etnobotani Dan Aspek Konservasi Sengkubak Di Kab. Sintang Kal-Bar
Kajian Etnobotani Dan Aspek Konservasi Sengkubak Di Kab. Sintang Kal-Bar
Kajian Etnobotani Dan Aspek Konservasi Sengkubak Di Kab. Sintang Kal-Bar
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2007
PERNYATAAN MENGENAI
TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Etnobotani dan Aspek
Konservasi Sengkubak [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.] di Kabupaten
Sintang Kalimantan Barat belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan
tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang
diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor,
Desember 2007
ABSTRACT
UTIN RIESNA AFRIANTI. The study of Etnobotany and Conservation Aspect
of Sengkubak [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.] in Sintang, West
Kalimantan. Supervised by AGUS HIKMAT and AGUS PRIYONO KARTONO.
This study was Sintang Regency carried out in sub districts of Dedai, Sintang,
Kelam Permai and Sepauk, West Kalimantan by using interview and direct
sampling for collecting vegetation data. Sampling methods for characteristics of
vegetation was conducted by using combination line transect and square line. The
result indicated that the leaves of the P. cauliflora used as natural tasty by Dayak
and Melayu ethnic. Other utilization has not been recognized yet. The average
density of P. cauliflora in secondary forests was 14 individuals/ha; the height
average is 1.5 m, diameter is 0.73 cm, 68.98% of P. cauliflora are seedling. P.
cauliflora mostly can be found at 50 150 meters above sea level (m asl). The
spatial distribution pattern of P. cauliflora tends to be clumped. They have
positive associated with rubber plantation (Hevea brasilliensis) and Syzygium
zeylanicum for tree level; Hopea dryobalanoides and Palaquium rostratum for
pole level. Cultivation effort and the preservation of tembawang forest (mixed
rubber plantation) from conversion to other land uses are important aspect of P.
cauliflora conservation.
Key words: Etnobotany, Conservation, Pycnarrhena cauliflora, Dayak, Melayu.
ABSTRAK
UTIN RIESNA AFRIANTI. Kajian Etnobotani dan Aspek Konservasi
Sengkubak [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.] Di Kabupaten Sintang
Kalimantan Barat. Dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan AGUS PRIYONO
KARTONO.
Penelitian dilaksanakan di Kecamatan Dedai, Sintang, Kelam Permai dan
Sepauk, Kabupaten Sintang Kalimantan Barat menggunakan wawancara dan
metode kombinasi jalur dengan garis berpetak. Hasilnya menunjukkan bahwa
daun sengkubak digunakan oleh etnik Dayak dan Melayu sebagai penyedap rasa
alami, pemanfaatan untuk kepentingan lainnya relatif belum diketahui. Pada
formasi hutan sekunder sengkubak memiliki potensi rata-rata 14 ind/ha, rata-rata
tinggi batangnya adalah 1,5 m, potensi anakan 68,98%, rata-rata diameternya 0,73
cm. Sengkubak dapat ditemukan pada ketinggian 50-150 m dpl. Sengkubak
memiliki sebaran spasial cenderung mengelompok, dan berasosiasi positif dengan
Hevea brasilliensis dan Syzygium zeylanicum (tingkat pohon) dan Hopea
dryobalanoides dan Palaquium rostratum (tingkat tiang). Meningkatkan budidaya
dan tetap mempertahankan keberadaan hutan tembawang (hutan karet alam
campuran) dari konversi lahan untuk penggunaan lain merupakan aspek penting
dalam konservasi sengkubak.
Kata kunci : Etnobotani, konservasi, sengkubak, Dayak, Melayu.
RINGKASAN
asosiasi sengkubak juga terjadi dengan karet (Hevea brasilliensis) pada tingkat
pohon (X2 = 5,590 dan X20,05(1) = 3,841), dengan derajat asosiasi 0,200 (JI) dan
0,333 (DI), dengan keladan (Hopea dryobalanoides) dengan (X2 = 5,590 dan
X20,05(1) = 3,841), dengan derajat asosiasinya yaitu 0,375 (JI) dan 0,545 (DI).
Pada tingkat semai di habitat P. cauliflora ditemukan 69 spesies tumbuhan,
dengan spesies yang dominan adalah Hevea brasilliensis (INP 26,15%), Hopea
dryobalanoides (INP 16,31%), dan Syzygium zeylanicum (INP 15,32%). Pada
tingkat pancang ditemukan 89 spesies tumbuhan, dimana Hevea brasilliensis
merupakan spesies dominan pertama dengan INP 48,37%, Horsfieldia irya (INP
20,82%) dan Litsea elliptica merupakan spesies dominan ketiga (INP 13,64%).
Pada tingkat tiang di habitat P. cauliflora ditemukan 69 spesies tumbuhan, dimana
Hevea brasilliensis masih merupakan spesies dominan dalam populasi tingkat
tiang dengan INP 59,31%, diikuti oleh tiang dari spesies-spesies Horsfieldia irya
(INP15,16%) dan Syzygium zeylanicum (14,48%). Eleteriospermum tapos (INP
16,7%). Pada tingkat pohon ditemukan 72 spesies tumbuhan, Hevea brasilliensis
merupakan jenis dominan yang memiliki INP tertinggi (58,27%), diikuti Litsea
elliptica dengan INP 21,5% dan Eleteriospermum tapos dengan INP 16,70%.
Hutan sekunder yang menjadi habitat sengkubak memiliki nilai
keanekaragaman spesies yang termasuk dalam kategori sedang hingga tinggi pada
semua tingkat pertumbuhan spesies berkisar 2,09-3,14, kekayaan spesies pada
berbagai tingkat pertumbuhan berkisar 3,56-8,76 dan kemerataan spesies
bervariasi pada berbagai tingkat pertumbuhan mulai dari 0,66 (tingkat semai)
hingga 0,90 pada tingkat pertumbuhan pancang. Wilayah hutan Suak I dan Suak
II (2-3) memiliki kesamaan komunitas yang cukup tinggi (IS>50%) pada semua
tingkat pertumbuhan, hutan Sirang dengan Suak I, Suak II dan hutan Medang
dapat dikategorikan memiliki kesamaan komunitas rendah (IS<40%), kesamaan
komunitas antara hutan Suak I dengan hutan Medang dan Suak II dengan hutan
Medang dapat dikategorikan sedang pada tingkat pertumbuhan tiang (IS
mendekati 50%), pada tingkat pertumbuhan semai, pancang dan pohon pada
lokasi tersebut kesamaan komunitasnya tergolong rendah (IS<40%).
Ancaman terhadap kelestarian sengkubak di Kab.Sintang berawal dari
konversi lahan hutan (adanya kecenderungan mengganti perkebunan karet
menjadi perkebunan kelapa sawit), dan tidak dilakukan budidaya yang intens
terhadap sengkubak, serta hilangnya pengetahuan penggunaan sengkubak
terutama di kalangan generasi muda baik pada etnis Dayak dan Melayu. Implikasi
konservasi sengkubak adalah meningkatkan nilai (mutu) dari sengkubak dengan
mengetahui kandungan bioaktif sengkubak, melakukan konservasi secara insitu
dan eksitu. Secara insitu dengan mempertahankan keberadaan hutan-hutan
tembawang atau hutan karet alam campuran sebagai habitat alami sengkubak
yang dikelola oleh masyarakat dengan melakukan kemitraan antara masyarakat,
pemerintah, stakeholder lain (Lembaga Swadaya Masyarakat, perguruan tinggi).
Secara eksitu dengan mengembangkan budidaya sengkubak di luar habitat aslinya
yang dilakukan oleh masyarakat sekitar hutan sebagai pengguna sengkubak
dengan pemanfaatan yang lestari.
Kata Kunci: Sengkubak, Etnobotani, Konservasi, Dayak, Melayu
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Profesi Kehutanan pada
Sub Program Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Ervizal A.M. Zuhud, MS.
Judul Tesis
Nama Mahasiswa
Nomor Pokok
: E.051054085
Program Studi
Disetujui
Komisi Pembimbing,
Diketahui
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR
Penulis mengucap syukur kepada Allah SWT karena atas berkat anugerahNya penelitian dan penulisan tesis berjudul Kajian Etnobotani Dan Aspek
Konservasi Sengkubak [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.] Di Kabupaten
Sintang Kalimantan Barat ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini disusun
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kabupaten Sintang Kalimantan
Barat.
Tesis ini menguraikan tentang dokumentasi persepsi masyarakat tentang
pemanfaatan sengkubak, budidayanya, pergeseran pemanfaatannya, dan jenis
sengkubak menurut masyarakat, dan aspek konservasi sengkubak, meliputi
kondisi populasi sengkubak di alam, kondisi habitat sengkubak, faktor-faktor
yang mengancam kelestarian sengkubak di Sintang, serta implikasi konservasi
sengkubak di Kabupaten Sintang.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangannya, baik isi
maupun cara penyajiannya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan guna penyempurnaan tesis ini.
Bogor,
Desember 2007
Utin Riesna Afrianti
sebesar-
besarnya kepada Dr. Ir. Agus Hikmat, MSc.F selaku Ketua Komisi dan Dr. Ir.
Agus P. Kartono, M.Si selaku Anggota Komisi yang telah memberikan saran dan
bimbingan.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Sekretaris Direktorat Jenderal
PHKA yang telah memberikan kesempatan berupa bea siswa untuk mengikuti
pendidikan pascasarjana, Dekan Sekolah Pascasarjana beserta staf atas fasilitas
yang diberikan selama pendidikan, Kepala Balai TN. Bukit Baka-Bukit Raya
beserta staf, Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Sintang beserta staf yang telah
banyak membantu selama dilakukan penelitian ini, Ir. Sahala Sibarani terima
kasih atas bantuan dan dukungan moril selama dilakukan penelitian, penghargaan
kepada Dr. Ir. Y. Purwanto dan Ismail (Staf LIPI Cibinong) atas saran dan
bantuannya kepada penulis, teman, kerabat dan relasi yang telah membantu
selama penulis menempuh pendidikan di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian
Bogor.
Terima kasih kepada orang tua, Ibunda Utin Halidjah atas keikhlasannya
dan doanya, Ibu mertua Sunarmiati, suami dan anak-anak (Andhar dan Pasha),
semua keluarga besar yang telah memberikan dukungan dan kasih sayangnya
selama penulis belajar di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
RIWAYAT HIDUP
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI........................................................................................................
DAFTAR TABEL .............................................................................................
DAFTAR GAMBAR .........................................................................................
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................
I.
i
iii
iv
v
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .......................................................................................
B. Tujuan Penelitian ...................................................................................
C. Manfaat Penelitian .................................................................................
1
2
3
4
4
7
7
8
8
9
9
10
12
13
14
14
17
19
21
22
24
24
25
26
27
28
32
35
35
36
D.
E.
F.
G.
37
38
49
40
41
42
42
42
42
42
44
44
44
44
45
46
47
48
49
49
49
50
51
51
51
51
51
52
57
59
59
63
70
70
70
73
74
76
76
80
89
93
94
97
97
99
101
104
iii
DAFTAR TABEL
No.
Halaman
Kategori
keterancaman
biota.............................................
populasi
16
22
23
24
26
27
28
29
30
10
30
11
43
12
46
13
53
14
67
15
68
16
69
17
70
18
72
19
73
20
75
21
76
iv
No.
Halaman
22
79
23
82
24
84
25
86
26
88
27
90
28
95
29
99
DAFTAR GAMBAR
No.
Halaman
35
38
43
54
54
60
Bentuk daun
................
licin.........
60
61
10
62
11
62
12
63
13
63
14
65
15
65
16
sengkubak
dengan
permukaaan
67
17
68
18
Hubungan
................
sengkubak
72
19
73
diameter
dengan
jumlah
vi
individu
No.
Halaman
20
77
21
78
22
80
23
82
24
84
25
86
28
91
27
Indeks
kekayaan
sengkubak............................
habitat
92
28
93
spesies
vii
pada
DAFTAR LAMPIRAN
No.
Halaman
110
114
115
116
117
118
119
120
121
10
122
11
123
12
124
13
125
14
126
viii
Halaman
15
127
16
128
17
129
18
Perhitungan
sebaran
sengkubak..........................................
spasial
130
19
131
20
21
22
ix
134
137
139
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sengkubak [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.] merupakan salah satu
golongan liana yang termasuk dalam famili Manispermaceae (Backer & Brink
1963). Spesies ini menjadi istimewa karena penggunaan sengkubak sebagai
penyedap rasa alami sudah cukup dikenal di kalangan etnis Dayak dan Melayu
Sintang. Ide penting tentang penyedap rasa alami yang berasal dari sengkubak
merupakan alternatif yang perlu mendapat perhatian lebih besar, karena
kandungan kimia sintetik dalam penyedap modern dapat mengganggu kesehatan
manusia.
Sengkubak merupakan salah satu bentuk pemanfaatan yang khas terhadap
suatu spesies tumbuhan yang dilakukan oleh etnis Melayu dan Dayak Sintang.
Pengetahuan penggunaan sengkubak tersebut tumbuh dan berkembang dari
pengalaman empiris yang diwariskan secara turun-temurun. Pengetahuan
tradisional adalah salah satu kekayaan bangsa yang tak ternilai harganya, karena
merupakan sumber bagi pengembangan ide-ide alternatif di masa kini
(Adimihardja 1996 dalam Hendra 2002). Sejalan dengan hal itu, menurut
Soekarman dan Riswan (1992) pengetahuan tradisional tentang pemanfaatan
sumberdaya nabati juga dapat digunakan sebagai dasar pengembangan sumber
devisa baru bagi negara.
Sengkubak memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan selain sebagai
penyedap rasa juga sebagai bahan obat alami. Hal ini karena marga Pycnarrhena
lainnya yaitu P. ozantha diketahui mengandung 4 (empat) bisbenzylisoquinoline
alkaloids yang dapat mengobati tumor (Loder 1972; Abouchacraet et al. 1987), P.
novoguinensis mengandung magnoflorine (Verpoorte, et al. 1982), P. manillensis
Vidal, tepung dari akarnya sebagai pengobat penyakit kolera (Philippine medical
plants 2007), dan P. tumetacta daunnya diketahui mengandung protein tinggi,
sekitar 6-7% (Hoe & Siong 1999). Oleh karena itu, manfaat sengkubak selain
untuk penyedap rasa juga di duga mengandung bahan bioaktif yang bermanfaat
bagi umat manusia.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini adalah :
1. Mengidentifikasi aspek etnobotani sengkubak pada masyarakat di Kabupaten
Sintang Kalimantan Barat, meliputi bagaimana pemanfaatan dan pengetahuan
tentang sengkubak.
2. Mengidentifikasi aspek konservasi sengkubak, terutama kondisi populasinya
di alam meliputi potensi dan penyebarannya, sebaran spasialnya, asosiasinya,
kondisi habitatnya di alam.
C. Manfaat Penelitian
Manfaat dilakukan penelitian adalah dapat memberikan data dan informasi
yang berguna, dan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pelestarian
pemanfaatan sengkubak, terutama sebagai bahan penyedap rasa alami yang sehat,
dan dapat menjadi dasar bagi pengembangan penelitian selanjutnya.
A. Bioekologi Sengkubak
1. Klasifikasi dan Morfologi
Sengkubak merupakan golongan liana yang termasuk dalam famili
Menispermaceae, berdasarkan identifikasi jenis yang dilakukan,
maka secara
: Plantae
Divisio
: Magnoliophyta
Kelas
: Liliopsida
Ordo
: Ranunculales
Famili
: Menispermaceae
Genus
: Pycnarrhena
Spesies
Nama lokal
1999),
ambal
(P.
manillensis)
Philipina
5
kepala putik (stigma); terdiri dari 1-4 drupelet, berada di atas bakal buah (sessile)
atau stipitate (bertangkai), dan berbulu atau glabrous. Inti dari kepala putik
terletak di bagian perut, dinding pyrene yang dimiliki sangat tipis; condylus
berukuran kecil atau bahkan tidak ada; tidak memiliki endosperm, cotyledons
berukuran besar, berdaging; dan radicle berukuran sangat kecil. Pembungaan yang
berkembang menjadi buah muncul dari batang disebut cauliflora. Sketsa
morfologi Pycnarrhena cauliflora disajikan pada Gambar 1.
7
2. Ekologi dan Penyebaran
Penyebaran dan ekologi P. cauliflora sulit untuk di uraikan karena sangat
minimnya literatur yang mendukung. Berdasarkan studi pustaka dengan
menelusuri spesimen yang dikolekasi di Herbarium LIPI Cibinong (2007),
diketahui bahwa P. cauliflora ditemukan di Kalimantan Barat pada ketinggian
100-150 m di habitat dataran rendah dan perbukitan, di Kalimantan Selatan pada
habitat lembah antara dua perbukitan di Muara Uya pada ketingian 100 m dan 90
m. Pulau Panaitan (Prinsene Island) pada habitat hutan dengan dataran rendah
(koleksi tahun 1951). Di Pantai Ngliyep Selatan Malang, Pantai Popoh Selatan di
Tulung Agung (koleksi tahun 1914), di Cisampora Wangun Lengkong pada
ketinggian 700 m dpl (tahun 1976), selain itu ditemukan pula di Sumba,
Langgaliru, Sumba Barat pada ketinggian 600 m dpl pada habitat hutan sekunder.
Pada penelusuran spesimen yang dikoleksi tersebut diketahui P. cauliflora
dapat hidup pada ketinggian 80-700 m dpl. Pada habitat dataran rendah,
perbukitan dan pada habitat hutan sekunder. Penyebaran anggota marga
pycnarrhena lainnya ditemukan di Papua New Guinea (P. ozantha), Himalaya dan
Jawa (P. marocarpa), Philipina Jawa, Sulawesi (P. calocarpa), Philipina (P.
manillensis Vidal), Borneo, (P. borneensis), Himalaya (P. longiflora), dan Timortimor (P. longifolia) (Data LIPI Cibinong 2007).
B. Penggunaan Sengkubak
Pengetahuan mengenai penggunaan sengkubak sebagai bumbu atau
penyedap telah lama dimiliki oleh masyarakat pedalaman Kalimantan baik pada
suku dayak maupun melayu. Pengetahuan penggunaan sengkubak sebagai micin
oleh masyarakat pedalaman ini sebagian telah diketahui oleh peneliti yang pernah
berkunjung ke daerah-daerah hulu Kalimantan. Selain itu pada masyarakat Dayak
di sekiatar Taman Nasional Kayan Mentarang dihimpun data bahwa mereka juga
menggunakan tumbuhan tersebut sebagai bahan bumbu dan diketahui bahwa
bumbu yang berasal dari hutan liar berkisar antara 70 % sampai 73 %. Disebutkan
pula bahwa Tumbuhan paling umum yang digunakan sebagai bumbu dari hutan
liar adalah bekkai lan (P. cauliflora) (Uluk et al. 2001). Adanya kesamaan
penggunaan terhadap spesies P. cauliflora sebagai penyedap masakan ternyata
8
juga dilakukan oleh sebagian besar masyarakat suku Melayu maupun Dayak yang
berdiam diwilayah hulu Kalimantan Barat (Sanggau, Sintang, Sekadau,
Putussibau), walaupun belum ada penelitian lebih lanjut tentang kesamaan
penggunaan P. cauliflora ini.
C. Etnobotani
1. Definisi Etnobotani
Istilah etnobotani untuk pertama kalinya diusulkan oleh Harsberger pada
tahun 1895 dan didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari pemanfaatan
tumbuhan secara tradisional oleh suku bangsa yang masih primitif atau
terbelakang. Etnobotani berasal dari kata ethnos dan botany. Ethnos berasal dari
bahasa Yunani berarti bangsa dan botany artinya tumbuh-tumbuhan. Sebelumnya
Powers (1874) dalam Maheshwari (1990) telah menggunakan istilah Aboriginal
botany dan didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari jenis-jenis tumbuhtumbuhan yang dimanfaatkan penduduk asli untuk bahan obat, pangan, sandang
dan sebagainya. Istilah etnobotani untuk pertama kali di adopsi oleh Fewkes
(1896), istilah tersebut digunakan dalam pustaka dan publikasi antropologi dan
menitikberatkan pada nama lokal tumbuhan dan etimologinya (Soekarman dan
Riswan 1992).
Sejalan dengan perkembangan keilmuan, etnobotani kemudian diartikan
sebagai ilmu yang mempelajari tumbuh-tumbuhan yang digunakan oleh
perkumpulan suku primitif dan berguna untuk mengembangkan perkumpulan
tersebut. Batasan ini merupakan bantuan untuk menguraikan posisi budaya suatu
etnik berdasarkan kegunaan tumbuh-tumbuhan, menggambarkan penyebarannya
dimasa lampau dan perjalanan-perjalanan perdagangannya serta dengan diketahui
manfaatnya maka akan menimbulkann pikiran negatif untuk memindahkan
tumbuhan tersebut dari tempat liarnya ke lingkungan yang masih kosong (Waluyo
2002).
Istilah etnobotani juga digunakan untuk menjelaskan interaksi masyarakat
setempat (etno atau etnis) dengan lingkungan hidupnya, khususnya dengan
tumbuh-tumbuhan. Studi etnobotani ini dapat membantu masyarakat dalam
mencatat atau merekam kearifan lokal yang mereka miliki selama ini, untuk masa
9
mendatang. Sehingga studi etnobotani dapat memberi kontribusi yang besar dalam
proses pengenalan sumber alam hidup yang ada di suatu wilayah melalui kegiatan
pengumpulan kearifan lokal dari dan bersama masyarakat setempat (Ndero &
Thijssen 2004 ).
Etnobotani yang dimaksud dalam penelitian ini menggunakan definisi yang
dinyatakan oleh Purwanto (1999) yaitu etnobotani didefinisikan sebagai suatu
bidang ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik secara menyeluruh antara
masyarakat lokal dengan alam lingkungannya meliputi sistem pengetahuan
tentang sumber daya alam tumbuhan.
2. Ruang Lingkup Etnobotani
Pengkajian etnobotani dibatasi oleh ruang lingkup bahwa etnobotani adalah
cabang ilmu pengetahuan yang mendalami tentang persepsi dan konsepsi
masyarakat tentang sumber daya nabati di lingkungannya. Dalam hal ini kajian di
arahkan dalam upaya untuk mempelajari kelompok masyarakat dalam mengatur
sistem pengatuan anggotanya menghadapi tetumbuhan dalam lingkungannya,
yang digunakan tidak saja untuk keperluan ekonomi tetapi juga untuk kepentingan
spiritual dan nilai budaya lainnya. Pemanfaatan yang dimaksud di sini adalah
pemanfaatan baik sebagai bahan obat, sumber pangan, dan sumber kebutuhan
hidup manusia lainnya. Disiplin ilmu lain yang terkait dalam penelitian etnobotani
adalah antara lain anthropologi, sejarah, pertanian, ekologi, kehutanan, geografi
tumbuhan (Sudarsono & Waluyo 1992).
3. Kajian Etnobotani di Indonesia
Kedudukan etnobotani saat ini di Indonesia telah mendapatkan perhatian
dan porsi yang layak seperti halnya ilmu-ilmu lainnya di mata para pakar,
terutama botani. Hal ini merupakan suatu perkembangan yang baik, para ahli
menyadari bahwa banyak sumber daya nabati telah punah sebelum
mereka
10
Kemajuan teknologi telah menimbulkan akses terhadap lingkungan dan
dampak negatif terhadap kesehatan, misalnya obat-obatan atau pewarna makanan
sintetis. Akhir-akhir ini, di Indonesia timbul gerakan untuk kembali alam atau
back to nature, diantaranya berupaya memanfaatkan kembali sumber daya nabati
alami, seperti penggunaan obat tradisional, kosmetik, pewarna yang dibuat dari
bahan alami. Hal yang terpenting adalah bagaimana pengetahuan tradisional dapat
diselamatkan, untuk dikaji kembali.
Pusat dari pengetahuan tradisional mengenai pemanfaatan tumbuhan ini
umumnya dijumpai pada negara-negara berkembang dan umumnya terletak pada
kawasan tropika, baik di Amerika, Afrika maupun Asia. Di negara-negara ini pula
dikatakan merupakan sumber dari pengetahuan tradisional serta sumber daya
hayati yang meliputi tumbuhan, hewan dan jasad renik terdapat.
Penelitian etnobotani di Indonesia, telah banyak dilakukan oleh para pakar
dari berbagai disiplin ilmu, tetapi dikatakan bahwa penelitan tersebut hanya
sebagai sampingan saja. Hal tersebut menyebabkan data dan informasi mengenai
etnobotani tersebut diberbagai publikasi dari berbagai disiplin ilmu, misalnya ahli
botani lebih menitikberatkan pada pemanfaatan tumbuhannya sedangkan ahli
antropologi lebih menitikberatkan pada manusianya (Soekarman & Riswan 1992).
Beberapa kajian etnobotani terhadap beberapa etnis di Indonesia yaitu etnobotani
Pandanaceae dalam kehidupan etnis Arfak, Irian Jaya (Sadsoeitoeboen 1999),
etnobotani pinang yaki (Areca vestiaria) oleh etnis Bolaang Mongondow,
Sulawesi (Simbala 2006), dan etnobotani benzoin (Stryrax spp.) pada etnis batak
di Tapanuli Utara, Sumatera Utara (Purwanto et al. 2003).
D. Kearifan Tradisional Masyarakat
Bangsa Indonesia yang mendiami diseluruh pulau-pulau yang tersebar dari
Sabang hingga Merauke terdiri dari suku-suku yang masing-masing mempunyai
kebudayaan dan adat istiadat yang berkembang dan diwariskan secara turuntemurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Kehidupan suku-suku tersebut
terutama yang mempunyai interaksi dekat dengan sumberdaya dan lingkungannya
secara turun-temurun pula mewarisi pola hidup tradisional yang dijalani oleh
leluruhnya. Masyarakat setempat yang hidup secara tradisional tersebut dikenal
dengan istilah-istilah tribal people (masyarakat suku), indigenous people (orang
11
asli), native people (penduduk asli) atau tradisional people (masyarakat
tradisional (Dasman 1991 dalam Primack et al. 1998).
Indonesia diperkirakan dihuni oleh
di
12
E. Hubungan Budaya Dayak dengan Hutan
Kebudayaan mempunyai hubungan timbal balik yang sangat erat dengan
agama atau sistem kepercayaan/believe system. Sistem kepercayaan/agama bagi
kelompok etnik Dayak hampir tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai budaya
dan kehidupan sosial ekonomi sehari-hari. Kepribadian, tingkah laku, sikap,
perbuatan, kegiatan sosial ekonomi orang Dayak sehari-hari dibimbing, didukung
dan dihubungkan tidak saja dengan sistem kepercayaan atau ajaran agama dan
adat istiadat, tetapi juga dengan nilai-nilai budaya (Algadrie 1994 dalam Florus et
al. 1994). Hubungan etnis Dayak dengan hutan dengan segala isinya merupakan
hubungan timbal balik, di satu pihak alam memberikan kemungkinankemungkinan bagi perkembangan budaya etnis Dayak, di lain pihak etnis Dayak
senantiasa mengubah wajah hutan sesuai dengan pola budaya yang dianutnya.
Pola kehidupan etnis Dayak tradisional masih sangat tergantung pada sumber
alam, mata pencahariannya terbatas pada kemungkinan-kemungkinan yang
disediakan oleh alam (Arman 1994 dalam Florus et al. 1994).
Mata pencaharian orang Dayak selalu ada hubungannya dengan hutan.
Hutan digunakan sebagai tempat berburu, untuk berladang pohon-pohon di hutan
di buka, untuk mengusahakan tanaman perkebunan, etnis Dayak cenderung
memilih tanaman hutan seperti karet, rotan, tengkawang dan sejenisnya.
Kecenderungan seperti itu merupakan suatu refleksi dari hubungan yang akrab
yang telah berlangsung berabad-abad dengan hutan dan segala isinya. Hutan
merupakan basis utama dari kehidupan, sosial, ekonomi, budaya dan politik
kelompok etnik Dayak (Florus et al. 1994).
Pengolahan lahan tradisional masyarakat Dayak didasarkan pada sistem
perladangan daur ulang untuk masa putaran tertentu. Masa putaran 3 sampai 4
tahun untuk tana ujung dan paya; 5 sampai 6 tahun untuk tana rambur dan
kereng; dan 10-15 tahun untuk tana toan (hutan sekunder).
Kultur material etnis Dayak juga dipengaruhi dan berorientasi pada hutan,
rumah panjang yang masih asli di buat seluruhnya dari kayu. Tiang, lantai,
dinding, atap, bahkan pengikat semuanya diambil dari hutan. Peralatan
transportasi sungai berupa sampan-sampan kecil biasanya dibuat dengan teknologi
sederhana yaitu dengan mengeruk batang pohon. Peralatan kerja dan senjata
13
seperti kapak, beliung, parang, bakul, tikar, mandau, talabang (perisai),
tengkalang dan sumpit sebagian bahannya terbuat dari bahan-bahan yang diambil
dari hutan (Arman 1994 dalam Florus et al. 1994). Demikian pula dengan
kebudayaan non material orang Dayak banyak sekali berhubungan dengan hutan.
Sebagai contoh pohon-pohon besar atau spesies kayu tertentu dipandang sebagai
perlambang kekuatan atau mistik. Hal tersebut menggambarkan bahwa kehidupan
tradisional dan budaya Dayak sulit dipisahkan dari sumber daya hutan.
F. Hubungan Budaya Melayu dengan Hutan
Etnis Melayu yang mendiami wilayah pedalaman Sintang merupakan
pengelola hutan yang gigih, hutan belantara yang begitu tebal bertukar menjadi
kampung dan ladang. Tradisi mengelola hutan untuk kepentingan manusia tidak
dapat dipisahkan karena hutan mempunyai kaitan yang erat dengan kepentingan
manusia selama berada di dalam hutan.
Pada masa dahulu masyarakat Melayu menganggap bahwa hutan
mempunyai semangat yang keras (nuansa magis sangat tinggi). Hutan selain di
huni oleh binatang buas, hutan juga di huni berbagai jenis jembalang (makhluk
halus), yang dapat menyebabkan bencana pada manusia. Lantaran kepercayaan
tersebut, masyarakat Melayu beranggapan perlu mengadakan upacara khas bila
hendak mengambil rotan, damar, kayu, buluh, akar kayu dan sebagainya atau
untuk membuka lahan baru. Adat tersebut dilaksanakan demi menjamin
keselamatan seseorang (www.members.tripod.com/niah_abdullah/tamadun/new
2007).
Sebelum datangnya Islam di kehidupan etnis Melayu Sintang, masyarakat
memiliki kepercayaan animisme. Namun sejak Islam memasuki kehidupan
masyarakat
Melayu juga mempercayai kelebihan sesuatu hari dalam melakukan upacara atau
acara-acara yang penting dalam hidup. Bulan atau hari yang dipilih didasarkan
pada kalender Hijriah. Hari yang kurang baik untuk masuk hutan adalah hari
Selasa akhir bulan Melayu. Hari yang baik untuk melakukan upacara adalah hari
Rabu, Kamis, dan Jumat. Hari-hari tersebut dipercayai mendatangkan manfaat
yang lebih. Selain itu, dalam budaya Melayu terdapat sistem kekerabatan yang
bersifat bilateral, masyarakat juga percaya akan petuah-petuah yang di sampaikan
14
oleh orang tua. Petuah yang sangat dipercaya oleh masyarakat Melayu bila
memasuki hutan, yaitu pantang bagi orang Melayu untuk bersiul semasa dalam
perjalanan, berbicara dengan keras, dan berpisah dari rombongan saat memasuki
hutan.
Etnis Melayu di Kabupaten Sintang saat ini terkonsentrasi pada pemukimanpemukiman yang berada di sepanjang tepian Sungai Kapuas. Pusat Kerajaan
Melayu Sintang yaitu Kerajaan Al Mukaromah berada di tepian Sungai Kapuas
Kampung Raja di Kecamatan Sintang.
G. Konservasi Tumbuhan
1. Penyebab Kelangkaan dan Kepunahan Tumbuhan
Tumbuh-tumbuhan,
hewan,
mikroorganisme
di
bumi
yang
saling
15
tersebut meliputi hilangnya dan terkotak-kotaknya habitat akibat fragmentasi
habitat, invasi jenis baru yang diintroduksi, pemanfaatan sumber daya hayati yang
berlebihan apalagi tanpa diikuti tindakan budidaya, polusi, perubahan iklim
global, serta industri pertanian dan kehutanan. Pemiskinan biota tersebut hampir
merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari sebagai akibat cara manusia
menggunakan dan menyalahgunakan lingkungan dalam usahanya untuk menjadi
spesies yang dominan.
Penyebab utama hilangnya dan punahnya spesies-spesies tumbuhan yang
ada berasal dari populasi manusia yang berkembang dengan cepat, dari cara
manusia yang dengan cepat memperluas wilayah ekologisnya dan memanfaatkan
sumber daya hayati dari bumi yang lebih banyak lagi. Konsumsi sumber daya
alam yang berlebihan tanpa berusaha memperbaharuinya, pengurangan yang
terus-menerus terhadap jenis pertanian dan perikanan komersil, sistem ekonomi
yang gagal dalam meletakkan nilai yang tidak tepat bagi lingkungan, lemahnya
sistem hukum maupun institusional.
Menurut UNEP (1995), penyebab utama kepunahan keanakaragaman hayati
yang juga penyebab kepunahan di tingkat spesies tumbuhan antara lain adalah :
(1). Adanya peningkatan laju populasi manusia dan konsumsi sumber daya alam
yang tidak berkelanjutan. Bersamaan dengan meningkatnya populasi
manusia yang memiliki laju dan besarnya pertumbuhan yang cukup tinggi,
dan berkembangnya teknologi baru, maka penggunaan sumber daya alam
oleh umat manusia akan turut meningkat. Penggunaan sumber daya alam
secara berlebihan termasuk terhadap spesies tumbuhan, tanpa didukung oleh
upaya pengembangan spesies tumbuhan tersebut maka akan menyebabkan
kepunahan bagi spesies tumbuhan tersebut.
(2). Penyempitan spektrum produk yang diperdagangkan dalam bidang pertanian,
kehutanan, dan perikanan. Pertukarangan ekonomi global yang berdasarkan
prinsip persaingan dan spesialisasi telah meningkatkan keseragaman dan
saling ketergantungan. Salah satu contohnya yaitu produsen pertanian
banyak yang mengkhususkan diri untuk memperdagangkan spesies tanaman
yang relatif sedikit dan laku untuk diperdagangkan dipasaran. Bersamaan
berkurangnya jenis tanaman, bakteri pengikat nitrogen, penyerbuk, penyebar
16
benih dan jenis lain yang berevolusi selama berabad-abad dalam sistem
pertanian tradisional ikut musnah, kehadiran mereka diganti oleh pupuk,
pestisida, dan varietas lain yang dapat menghasilkan panen yang baik demi
peningkatan produksi, keuntungan jangka pendek akan didapatkan.
Penyempitan spektrum pada produk pertanian tersebut salah satunya
merupakan penyebab berkurangnya keanekaragaman spesies tumbuhan
yang lama kelamaan dapat menyebabkan terjadinya kepunahan ditingkat
spesies tumbuhan.
(3). Sistem kebijakan ekonomi yang gagal dalam memberi penghargaan kepada
lingkungan dan sumber dayanya. Perubahan yang dilakukan terhadap sistem
alam, seperti perubahan hutan dan rawa menjadi lahan pertanian dan
peternakan secara biologis dan ekonomis seringkali tidak efisien, karena
sering tidak mempertimbangkan apakah tindakan tersebut akan merusak
atau tidak, dan sebagian lainnya karena habiatat alami umumnya tidak
dihargai secara ekonomis.
(4). Kurangnya pengetahuan dan penerapannya. Ketidaktahuan ini terjadi akibat
erosi kebudayaan tradisional yang mempunyai pemahaman tersendiri
mengenai alam, bahkan walaupun pengetahuan itu ada seringkali tidak
mengalir
secara
efisien
kepada
pengambil
keputusan,
sehingga
Kritis
> 80% selama 10
tahun/3 generasi
Luas daerah
sebaran < 100km2
atau luas daerah
yang ditempati <
10 km2
Genting
> 50% selama 10
tahun/ 3 generasi
Luas daerah
sebaran < 500 km2
atau luas daerah
yang ditempati <
500 km2
Rawan
> 20% selama 10
tahun/ 3 generasi
Luas daerah
sebaran < 20.000
km2 atau luas
daerah yang
ditempati < 2000
km2
17
Tabel 1 Lanjutan
Kriteria
Populasi kecil
Kritis
< 250 individu
dewasa
< 50 individu
dewasa
Populasi sangat
kecil
Genting
< 2500 individu
dewasa
< 250 individu
dewasa
Kemungkinan
punah
Rawan
< 10.000 individu
dewasa
< 10.000 individu
dewasa <100 km2/
<5 lokasi
Peluang punah >
10% selama 100
tahun
keanekaragaman
jenis
tumbuhan
dan
satwaliar
beserta
18
Kegiatan pengawetan dapat dilakukan melalui dua macam kegiatan yaitu
melalui konservasi secara insitu dan konservasi eksitu. Secara Insitu berdasarkan
Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999, tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan
dan Satwa Liar, maka pengelolaan di dalam habitatnya dapat dilakukan dalam
bentuk
identifikasi,
inventarisasi,
pemantauan
habitat
dan
populasinya,
kegiatan
dalam
bentuk
pemeliharaan,
pengembangbiakan,
pengkajian,
konservasi
terhadap
tumbuhan
adalah
menyelamatkan
19
tumbuhan misalnya, dan memanfatkan pengetahuan tersebut untuk mendukung
pembangunan yang berkelanjutan.
Strategi konservasi sumber daya alam di era pelaksanaan otonomi daerah
saat ini, dapat dilakukan melalui pemberdayaan masyarakat yang berada di sekitar
kawasan dengan membina perilaku produktif yang berwawasan lingkungan, serta
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam mengelola sumber daya alam tersebut,
hal tersebut dapat dilakukan dengan penyuluhan, pendidikan dan pelatihan
(Sudarmadji 2002).
3. Permasalahan Konservasi Tumbuhan
Hingga saat ini, spesies tumbuhan hutan tropika banyak memberikan
kontribusi terhadap kebutuhan manusia salah satunya terhadap kesehatan.
Sebagian besar bahan baku tumbuhan untuk keperluan tersebut merupakan hasil
panenan dari alam, di lain pihak kebutuhan akan bahan baku tersebut terusmenerus meningkat. Apabila upaya pelestarian tidak dilakukan, dikhawatirkan
akan terjadi kekurangan suplai bahan baku dan bahkan yang lebih parah adalah
akan terjadi pemanenan berlebihan yang berakibat pada kepunahan spesies
tumbuhan tertentu.
Penelitian dan informasi mengenai potensi, penyebaran, bioekologi dan
teknik penangkaran tumbuhan secara umum dan tumbuhan obat khususnya masih
sangat terbatas. Di lain pihak publikasi dan informasi mengenai hal tersebut
sangat diperlukan guna mendasari upaya pelestarian pemanfaatan dan
pengembangan usaha pemanfaatan tumbuhan obat khususnya melalui budidaya
jenis. Keadaan ini menunjukkan bahwa peran lembaga ilmiah sangat diperlukan
dan perlu ditingkatkan. Pemanfaatan plasma nutfah tumbuhan untuk berbagai
keperluan manusia perlu diimbangi dengan upaya konservasnya, baik secara insitu
maupun eksitu, agar tidak terjadi penurunan populasi dan keanekaragamannya
(Zuhud & Haryanto 1991).
Ancaman kelangkaan dan kepunahan spesies tumbuhan, terutama tumbuhan
obat, lebih dikarenakan sebagian besar dari tumbuhan obat merupakan tumbuhan
liar yang hidup di alam. Heyne (1950) dalam Zuhud dan Haryanto (1991),
mengidentifikasi sebanyak 1040 spesies tumbuhan obat/jamu di Indonesia
sebagian besar berasal dari tumbuhan berbiji, yang sebagian besar merupakan
20
tumbuhan liar yang hidup di alam. Permasalah berikutnya, bahwa bududaya untuk
jenis-jenis tersebut sebagian besar juga belum diketahui tekniknya dan belum
dilakukan budidaya, serta masih dipungut dari alam. Apabila laju pemungutan
langsung dari alam lebih cepat dari laju kemampuan alam untuk memulihkan
populasinya, maka akan kelangkaan dan kepunahan spesies tumbuhan tersbeut
tidak dapat dielakkan.
Permasalahan dalam konservasi tumbuhan secara umum, dan tumbuhan
obat khususnya adalah masalah budidaya tumbuhannya. Hingga saat ini belum
menggairahkan petani, disebabkan kurangnya informasi dan publikasi hasil
penelitian mengenai teknik budidaya serta belum adanya sistem pemasaran hasil
yang mantap. Selain itu penelitian sebagai upaya memperoleh data dasar yang
diperlukan bagi pelestarian pemanfaatan tumbuhan potensial mulai dari penelitian
bioekologi hingga teknik budidayanya dan eksplorasi bahan aktif yang berguna
belum dilakukan
22
Berdasarkan peraturan daerah Kabupaten Sintang No. 14 Tahun 2000
pemerintah Kabupaten Sintang dibagi menjadi 21 pemerintahan kecamatan.
Kemudian setelah adanya UU No. 43 Tahun 2003 (pemekaran wilayah kabupaten)
tentang pembentukan Kabupaten Melawi, sehingga Kabupaten Sintang menjadi
14 pemerintahan kecamatan, 6 kelurahan, 183 desa dan 638 dusun (Badan Pusat
Statistik Kabupaten Sintang 2006) .
B. Letak dan Luas
1. Letak
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sintang,
Kabupaten Sintang terletak di bagian timur Propinsi Kalimantan Barat atau
diantara 105 LU serta 046 LS dan 11050 - 11320 BT, dilalui oleh garis
khatulistiwa. Informasi tentang posisi geografis setiap kecamatan di Kabupaten
Sintang disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Posisi geografis setiap kecamatan di Kabupaten Sintang
Nama Kecamatan
Serawai
Ambalau
Kayan Hulu
Sepauk
Tempunak
Dedai
Kayan Hilir
Sintang
Sei Tebelian
Kelam Permai
Binjai Hulu
Ketungau Hilir
Ketungau Tengah
Ketungau Hulu
Letak Keseluruhan
Letak Astronomis
Garis Lintang
Garis Bujur
002 LS-044 LS
11220 - 11251 BT
016 LU-046 LS
11230 - 11320 BT
008 LU-029 LS
11157 - 11330 BT
014 LU-031 LS
11052 - 11122 BT
009 LU-026 LS
11114 - 11124 BT
044 LU-014 LS
11130 - 11139 BT
011 LU-014 LS
11136 - 11215 BT
009 LU-002 LS
11121 - 11136 BT
004 LU-022 LS
11122 - 11136 BT
002 LU-020 LU
11133 - 11156 BT
006 LU-018 LU
11120 - 11135 BT
013 LU-037 LU
11113 - 11144 BT
026 LU-102 LU
11112 - 11144 BT
041 LU-105 LS
11050 - 11120 BT
105 LU-046 LS
11050 - 11320 BT
23
c. Sebelah Timur berbatasan dengan Kalimantan Tengah
d. Sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Ketapang, Sanggau dan Sekadau.
Jarak ibukota Kabupaten Sintang dengan ibukota Propinsi Kalimantan
Barat mencapai 395 km atau jarak tempuh melalui jalan darat mencapai 9 jam,
dan melalui Kabupaten Sanggau dan Sekadau. Kabupaten Sintang dengan luas
21.638 km2 merupakan kabupaten yang memiliki luas wilayah ketiga terbesar
setelah Kabupaten Ketapang dan Kapuas Hulu.
2. Luas
Sebagian
besar
wilayah Kabupaten
Sintang
merupakan
wilayah
perbukitan dengan luas sektar 13.573,75 km atau 62,74% dari luas Kabupaten
Sintang (21.635 km2). Kabupaten Sintang merupakan kabupaten terbesar ketiga
setelah Kabupaten Kapuas Hulu dan Ketapang.
Kecamatan yang memiliki luas terbesar adalah Kecamatan Ambalau
dengan luas 6.386,40 km2 dan kecamatan terkecil adalah Kecamatan Sintang
dengan luas wilayahnya sebesar 277,05 km2. Namun, Kecamatan Sintang
merupakan ibokota Kabupatan dan pusat kegiatan pemerintahan daerah kabupaten
berlangsung. Data tentang luas wilayah setiap kecamatan di Kabupaten Sintang
secara rinci disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3 Luas wilayah setiap kecamatan di Kabupaten Sintang
Nama
Kecamatan
Serawai
Ambalau
Kayan Hulu
Sepauk
Tempunak
Dedai
Kayan Hilir
Sintang
Sei Tebelian
Kelam Permai
Binjai Hulu
Ketungau Hilir
Ketungau Tengah
Ketungau Hulu
Luas Keseluruhan
Sumber : BPS Kabupaten Sintang (2006)
Luas area
(km2)
2.127,50
6.386,40
937,50
1.825,70
1.027,00
694,10
1.136,70
277,05
526,50
523,80
307,65
1.544,50
2.182,40
2.138,20
21.635,00
Persentase terhadap
luas kabupaten (%)
9,83
29,52
4,33
8,44
4,75
3,21
5,25
1,28
2,43
2,42
1,42
7,14
10,09
9,88
100,00
24
Selain itu Kabupaten Sintang menempati posisi strategis baik dalam
konteks nasional, regional dan internasional. Kabupaten Sintang berbatasan
langsung dengan Sarawak (Malaysia Timur) serta berlanjut ke Brunei
Darussalam. Kawasan ini akan menjadi gerbang keluar masuk barang dan orang
(outlet) dari dan ke Sarawak maupun Brunei Darussalam melalui jalan darat.
C. Topografi
Sebagian
besar
wilayah Kabupaten
Sintang
merupakan
wilayah
perbukitan dengan luas sekitar 22.392 km2 atau sekitar 69,37 persen dari luas
Kabupaten Sintang (32.279 km2). Berdasarkan topografinya, wilayah datar di
Kabupaten Sintang seluas 806.125 ha dan wilayah bukit dan gunung seluas
1.357.375 ha. Wilayah datar terluas terdapat di Kecamatan Ketungau Hilir seluas
127.954 ha, sedangkan wilayah bukit dan gunung terdapat di Kecamatan ambalau
seluas 638.640 ha, hal tersebut disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4
Nama Kecamatan
Serawai
Ambalau
Kayan Hulu
Sepauk
Tempunak
Dedai
Kayan Hilir
Sintang
Sei Tebelian
Kelam Permai
Binjai Hulu
Ketungau Hilir
Ketungau Tengah
Ketungau Hulu
Luas Keseluruhan
Luas Area
(ha)
212.750
638.640
93.750
182.570
102.700
69.410
113.670
27.705
52.650
52.380
30.765
154.450
218.240
213.820
2.163.500
D. Hidrologi
Kabupaten Sintang dialiri oleh dua sungai besar yaitu Sungai Kapuas dan
Sungai Melawi. Sungai Kapuas melewati daerah Sepauk, Tempunak, Sintang dan
25
Ketungau, sedangkan Sungai Melawi melewati kota Sintang, Dedai, sampai
Ambalau dan menuju ke Propinsi Kalimantan Timur.
Di akibatkan sebagian besar wilayahnya adalah perbukitan, Kabupaten
Sintang memiliki sekitar 19 air terjun yang tersebar di 5 (lima) lokasi kecamatan.
Air terjun tertinggi berada di Kecamatan Ambalau yaitu : Air Terjun Nokam
Langit (200 m), Air Terjun Nokam Nayan (180 m), dan Air Terjun Nokam
Jengonai (170 m).
E. Iklim
1. Tipe Iklim
Kabupaten Sintang cukup dikenal sebagai daerah penghujan dengan
intensitas tinggi. Menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, iklim di
Kabupaten Sintang tergolong iklim A, yaitu daerah yang bercurah hujan tinggi
(Iklim basah), dengan bulan basah antara 7-9 bulan, sedangkan bulan kering 2-3
bulan.
2. Curah Hujan dan Jumlah Hari Hujan
Berdasarkan data BPS Kabupaten Sintang (2006), Kabupaten Sintang
merupakan daerah Khatulistiwa dengan intensitas curah hujan cukup tinggi. Hal
ini dikarenakan sebagian besar wilayahnya merupakan daerah perbukitan yaitu
sebesar 62,74 %. Sepanjang tahun 2005 jumlah curah hujan 3297,36 mm atau
rata-rata 274,78 mm/bulan. Intensitas curah hujan yang cukup tinggi terutama
dipengaruhi oleh keadaan daerah yang berhutan tropis dan disertai kelembaban
udara yang cukup tinggi.
Rata-rata bulanan curah hujan tertinggi tahun 2005 terjadi pada bulan
Oktober mencapai 414,9 mm dengan hari hujan sebanyak 26 hari, sedangkan ratarata curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus yaitu hanya mencapai 110,3
mm dengan hari hujan sebanyak 14 hari. Sedangkan intensitas hujan yang tinggi
biasanya mempengaruhi kecepatan angin.
Intensitas hujan yang tinggi
Faktor angin ini sangat mempengaruhi kegiatan penerbangan serta kegiatankegiatan lainnya. Kecepatan angin setiap bulannya rata-rata berkisar antara 1
26
knots /jam sampai dengan 3 knots/jam.
Kabupaten Sintang berkisar antara 42,0 s/d 71,0 % atau rata-rata 53,9 % (BPS
Kabupaten Sintang, 2006).
3. Temperatur
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Sintang (2006),
temperatur rata-rata tahunan di Kabupaten Sintang selama lima tahun dari tahun
2000-2004 adalah 26,89 oC, di mana rata-rata temperatur udara terendah sebesar
22,45 oC dan temperatur udara tertinggi sebesar 35,7 oC. Data temperatur
maksimum, minimum dan rata-rata tahunan di Kabupaten Sintang disajikan pada
Tabel 5.
Tabel 5 Temperatur maksimum, minimum dan rata-rata tahunan di Kabupaten
Sintang tahun 2000-2004.
Tahun
2000
2001
2002
2003
2004
Rata-rata
Maksimum (oC)
32,10
33,45
32,60
32,30
32,50
32,59
Temperatur
Minimum (oC)
22,45
21,70
22,70
22,70
22,70
22,45
Rata-rata (oC)
26,55
26,55
27,65
26,90
26,80
26,89
4. Kelembaban Relatif
Kelembabab relatif rata-rata tahunan di Kabupaten Sintang selama tahun
2004 berkisar antara 82-90%, dengan kelembabab relatif rata-rata tahunan sebesar
86,9% (BPS Kabupaten Sintang 2006).
F. Tanah
Dilihat dari jenis tanahnya, sebagian besar daerah Kabupaten Sintang terdiri
dari tanah latosol meliputi areal seluas 1.016.606 hektar atau sekitar 46,99 % dari
luas daerah yaitu 2,16 juta hektar. Selanjutnya tanah podsolik sekitar 928.014
hektar atau 42,89 % yang terhampar hampir di seluruh kecamatan sedangkan jenis
tanah yang paling sedikit ditemui yaitu jenis tanah organosol.
Jenis tanah Organosol terluas terdapat di Kecamatan Sepauk seluas 24.064
ha, tanah aluvial di Kecamatan Ketungau Hilir seluas 67.072 ha, tanah podsolik di
27
Kecamatan Sepauk seluas 158.506 ha, dan tanah latosol di Kecamatan Ambalau
seluas 541.130 ha, seperti tersaji pada Tabel 6.
Tabel 6 Jenis tanah setiap kecamatan di Kabupaten Sintang
Nama Kecamatan
Serawai
Ambalau
Kayan Hulu
Sepauk
Tempunak
Dedai
Kayan Hilir
Sintang
Sei Tebelian
Kelam Permai
Binjai Hulu
Ketungau Hilir
Ketungau Tengah
Ketungau Hulu
Luas Keseluruhan
Organosol
24.064
2.304
17.920
768
45.056
Latosol
212.750
541.130
71.250
12.800
2.350
1.675
327
83.712
90.612
1.016.606
G. Keadaan Hutan
Kawasan hutan yang terdapat di Kabupaten Sintang adalah kawasan hutan
hujan tropis yang terdiri dari kawasan hutan rawa gambut, hutan dataran rendah
hingga pegunungan. Vegetasi Taman Nasional Bukit Baka-Bukit Raya (sebagian
wilayahnya juga termasuk wilayah administrasi Kabupaten Sintang), Taman
Wisata Alam Bukit Kelam, dan TWA Hutan Baning didominasi oleh jenis-jenis
dari famili Dipterocarpaceae seperti meranti (Shorea spp), keruing (Dipterocarpus
spp), dan kapur (Dryobalanops sp), dan jenis-jenis lainnya penghasil buah-buahan
yang merupakan sumber makanan bagi banyak satwa, diantaranya jenis durian
(Durio carinatus), rambutan hutan (Nephellium sp), pluntan (Arthocarpus sp), dan
berbagai jenis ara (Ficus spp), serta banyak pula jenis-jenis unik dan berharga
lainnya baik dari jenis palem, berbagai jenis anggrek, kantong semar (Nephenthes
sp), rotan, bambu-bambuan dan berbagai jenis liana yang unik dan bermanfaat.
Sedangkan jenis fauna yang relatif mudah dijumpai di kawasan hutannya,
adalah jenis primata seperti beruk (Macaca nemestrina), monyet ekor panjang
(Macaca fascicularis), kelasi (Hylobathes frontata), dan jenis mamalia darat
28
lainnya seperti beruang madu, rusa, babi hutan dan beragam jenis burung, dan
salah satunya yang cukup menonjol yaitu jenis rangkong.
Sintang merupakan salah satu kabupaten di Kalimantan Barat yang memiliki
hutan yang cukup luas, yaitu berdasarkan rencana Tata Ruang Wilayah pada tahun
2005, maka luas kawasan hutan di Kabupaten Sintang adalah seluas 3.227.900
Ha. Dimana pemanfaatan terbesar adalah untuk hutan produksi terbatas yaitu
31,15 %, yang lainnya untuk pertanian lahan kering sebesar 30,69 %, untuk hutan
lindung 21,30 % dan sisanya adalah untuk hutan produksi biasa, taman nasional
dan hutan produksi yang dapat dikonversi (BPS Kabupaten Sintang, 2006). Luas
kawasan hutan di Kabupaten Sintang dapat disajikan pada Tabel 7.
Tabel 7 Luas kawasan hutan di Kabupaten Sintang tahun 2005
Jenis Hutan
Hutan PPA/Taman Nasional
Hutan Lindung
Hutan Produksi Terbatas
Hutan produksi Biasa
Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi
Pertanian Lahan kering
Luas total
29
Binjai Hulu yakni sebanyak 10.832 jiwa. Data penduduk Kabupaten Sintang
tersaji pada Tabel 8.
Tabel 8 Jumlah penduduk setiap kecamatan di Kabupaten Sintang menurut jenis
kelaminnya tahun 2005
Kecamatan
Serawai
Ambalau
Kayan Hulu
Sepauk
Tempunak
Sei Tebelian
Sintang
Dedai
Kayan Hilir
Kelam Permai
Binjai Hulu
Ketungau Hilir
Ketungau Tengah
Ketungau Hulu
Laki-laki
(orang)
11.026
7.389
11.149
21.926
12.748
13.604
26.583
12.900
11.983
7.298
5.562
9.984
13.399
9.481
175.032
Jumlah Penduduk
Perempuan
(orang)
10.551
6.937
10.918
20.347
11.677
12.878
25.693
12.302
11.420
7.028
5.270
9.425
12.610
9.058
166.114
Total
(orang)
21.577
14.326
22.067
42.273
24.425
26.482
52.276
25.202
23.403
14.326
10.832
19.409
26.009
18.539
341.146
30
Tabel 9 Kepadatan dan laju pertumbuhan penduduk setiap kecamatan di
Kabupaten Sintang tahun 2005
Kecamatan
Serawai
Ambalau
Kayan Hulu
Sepauk
Tempunak
Sei Tebelian
Sintang
Dedai
Kayan Hilir
Kelam Permai
Binjai Hulu
Ketungau Hilir
Ketungau Tengah
Ketungau Hulu
Luas
Wilayah
2.127,50
6.386,40
937,50
1.825,70
1.027,00
526,50
277,05
694,10
1.136,70
523,80
307,65
1.544,50
2.182,40
2.138,20
21.635,00
Desa
15
9
14
22
18
19
10
16
13
10
8
13
13
9
189
Jumlah
Penduduk
21.577
14.326
22.067
42.273
24.425
26.482
52.276
25.202
23.403
14.326
10.832
19.409
26.009
18.539
341.146
Kepadatan Penduduk
Per Desa
Per km2
10
1.438
2
1.592
24
1.576
23
1.922
24
1.357
50
1.394
189
5.140
36
1.575
21
1.800
27
1.433
35
1.354
13
1.493
12
2.001
9
2.060
16
1.805
2. Pendidikan
Secara umum jumlah sarana pendidikan di Kabupaten Sintang cukup
memadai, karena telah terdapat fasilitas ruang pendidikan dari tingkat taman
kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi. Namun demikian, pemanfaatan dan
peningkatan mutu pendidikan masih memerlukan banyak peningkatan, misalnya
saja perbandingan antara jumlah sekolah dengan tenaga pengajar, masih tergolong
rendah, jika dilihat bahwa rata-rata satu sekolah dasar hanya mempunyai 7 guru.
Secara umum keadaan Sarana dan Prasarana Pendidikan dan rasio antara jumlah
unit, jumlah murid dan jumlah guru yang terdapat di Kabupaten Sintang disajikan
pada Tabel 10.
Tabel 10 Kondisi sarana dan prasarana pendidikan di Kabupaten Sintang tahun 2005
Jenjang
TK
SD
SLTP
SLTA
Jumlah
Murid
1.872
51.604
12.909
7.363
73.748
Jumlah
Unit
50
364
73
31
Guru
163
2.596
901
524
Guru:Murid
1:11
1:20
1:14
1:14
Rasio Rata-rata
Unit:Murid
1:37
1:142
1:177
1:238
Unit:Guru
1:3
1:7
1:12
1:17
31
jenjang SLTP 17,51%, SLTA 9,98%, dan terendah pada jenjang pendidkan
Taman Kanak-kanak (2,54%).
3. Kesehatan
a. Sarana dan Prasarana Kesehatan
Pembangunan di bidang kesehatan saat ini di arahkan pada penyediaan
berbagai sarana dan prasarana yang meliputi bangunan fisik (rumah sakit,
puskesmas, balai pengobatan dan poliklinik) serta pengadaan tenaga kesehatan
yang terampil. Kondisi sarana dan prasarana di Kabupaten Sintang secara umum
cukup memadai. Begitu pula halnya dengan tenaga medis yang ada di setiap
kecamatan. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Sintang
(2006), fasilitas kesehatan yang ada di Kabupaten Sintang berjumlah 202 unit
yang terdiri dari 2 rumah sakit, 7 balai pengobatan, 16 puskesmas (7 dengan rawat
inap dan 10 tanpa rawat inap). Fasilitas kesehatan lainnya yang tersedia adalah
poliklinik desa yang berjumlah 177 unit.
Dengan keberadaan fasilitas kesehatan tersebut, diharapkan tingkat
kesehatan masyarakat semakin membaik. Tenaga medis di Kabupaten Sintang
terdiri dari 24 orang dokter umum, dokter gigi (5 orang), dokter spesialis (5
orang), semuanya berjumlah 34 orang. Selain itu terdapat pula tenaga kesehatan
lainya yaitu Bidan (66 orang), perawat (247 orang) tenaga farmasi (11 orang),
tenaga gizi (16 orang), dan tenaga teknisi medis berjumlah 30 orang.
b. Jenis-jenis Penyakit yang Diderita oleh Masyarakat di Kabupaten Sintang
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kabupaten Sintang (2006), jumlah
pasien yang masuk ke RSUD Sintang pada tahun 2005 sebanyak 4.204,
mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya sebesar 3,22%. Jika dilihat dari
banyaknya kunjungan penderita berdasarkan jenis penyakit, kasus penyakit yang
sering dijumpai di rumah sakit adalah malaria sebanyak 558 kasus, di Puskesmas,
kasus penyakit yang sering dijumpai adalah penyakit infeksi akut lain pada
saluran pernapasan bagian atas sebanyak 16.391 kasus, diikuti kasus penyakit
malaria sebanyak 13.859 kasus.
32
4. Jenis Penggunaan Lahan
Berdasarkan data yang tersedia, menunjukkan bahwa jenis penggunaan
lahan dapat dikelompokkan ke dalam 12 macam penggunaan, yaitu pekarangan,
tegal.kebun, ladang/huma, penggembalaan/padang rumput, sementara tidak di
usahakan, hutan rakyat, hutan negara, perkebunan, rawa, tambak, kolam/empang
dan lain-lain. Dari kesemua tersebut, hutan dan perkebunan masih mendominasi
penggunaan lahan di Kabupaten Sintang.
5. Keadaan Perekonomian
Sektor pertanian merupakan sektor yang cukup dominan dalam memberikan
kontribusi perekonomian di desa/kecamatan di sekitar wilayah Kabupaten
Sintang. Hasil pembangunan di sektor pertanian terutama tanaman pangan,
manfaatnya sudah dirasakan oleh sebagian besar penduduk di Kalimantan Barat
khususnya di Kabupaten Sintang. Untuk itu produksi pangan baik beras maupun
non beras perlu ditingkatkan guna lebih memantapkan swasembada pangan.
Disamping itu juga ditujukan untuk memperbaiki mutu gizi masyarakat melalui
penganekaragaman jenis makanan. Luas lahan produksi padi di Kabupaten
Sintang pada tahun 2004 seluas 25.754 Ha, dengan jumlah produksi 56.697 ton,
yang terdiri dari 34.235 ton (padi sawah) dan 22.462 ton (padi ladang). Jika
dibandingkan dengan luas dan produksi panen pada tahun 2003, pada tahun 2004
mengalami penurunan, dimana pada tahun 2003 luas panen 29.304 Ha, dengan
produksi padi sebanyak 62.895 ton. Hal ini menyebabkan hasil produksi subsektor
tanaman pangan khususnya padi sawah dan ladang di Kabupaten Sintang pada
tahun 2004 mengalami penurunan sebesar 9,85%.
I. Deskripsi Lokasi Pengamatan
a. Hutan Adat I
Hutan adat I terletak di Dusun Sirang Desa Sirang Setambang Kecamatan
Sepauk Kabupaten Sintang Kalimantan Barat. Hutan adat I merupakan hutan adat
yang dimiliki oleh masyarakat Sirang Setambang. Topografinya datar hingga
berbukit, hutan tersebut berada pada ketinggian 35 feet hingga 256 feet (10,675 78,08 m dpl) dan berada di sekitar Daerah Alirah Sungai Sepauk. Di sekitar hutan
33
adat I tersebut banyak terdapat tempat terbuka karena adanya kegiatan
penambangan emas yang dilakukan oleh masyarakat, atau biasa disebut PETI
(Penambangan Emas Tanpa Ijin).
Berdasarkan informasi awal dari masyarakat Dusun Sirang, hutan adat
Sirang merupakan salah satu hutan sebagai tempat tumbuhnya sengkubak (P.
cauliflora). Hutan adat Sirang termasuk wilayah berhutan yang masih dijaga
masyarakat sekitar Dusun Sirang sebagai hutan adat yang dikeramatkan. Hal ini
dikarenakan pada hutan adat Sirang selain masih terdapat beragam spesies
tumbuhan, juga merupakan hutan tempat bersemayamnya jasad nenek moyang
suku dayak puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Di dalam hutan adat tersebut
terdapat kuburan-kuburan tua yang merupakan peninggalan nenek moyang suku
Dayak Sekujang saat
terdapat Bukit Kujau yang cukup elok dipandang. Penduduk di sekitar Dusun
Sirang berjumlah 312 kepala keluarga yaitu sebesar
masyarakat yang mendiami dusun tersebut adalah etnis Dayak Sekujang. Agama
mayoritas adalah katolik dan protestan.
b. Hutan Karet Alam Campuran
Hutan karet alam campuran (mixed rubber plantation) I dan II terletak di
wilayah Dusun Suak Desa Manis Raya Kecamatan Sepauk, Kabupaten Sintang
Kalimantar Barat. Hutan karet alam campuran II terletak pada ketinggian 202 feet
hingga 417 feet (61,61-127,185 m dpl). Hutan karet alam campuran I berada pada
ketinggian 86 ft hingga 402 ft (25,23 -122,61 m dpl). Hutan-hutan tersebut
merupakan hutan sekunder yang di dalamnya terdapat pohon karet yang disebut
sebagai karet alam yang dikelola dan pelihara setiap harinya oleh masyarakat
pemiliknya. Getahnya dikumpulkan (getahnya disebut kulat) setiap hari untuk
kemudian dijual setiap dua minggu pada tiap bulannya. Hasil penjualan kulat
tersebut digunakan petani karet untuk memenuhi kebutuhan kehidupan lainnya, di
luar kebutuhan pangan yang biasanya telah dihasilkan dari ladang padi milik
petani karet. Di dalam hutan karet alam campuran tersebut, selain terdapat
tanaman karet yang telah tumbuh sejak lama, terdapat pula beragam spesies
tumbuhan lainnya dari tingkat pohon, tiang hingga semai, beragam tumbuhan
yang berfungsi sebagai obat-obatan, tumbuhan hutan yang berfungsi sebagai
34
bumbu (spice), palem-paleman, tumbuhan unik lainnya seperti kantong semar
(Nephenthes sp.), beragam anggrek hutan, sarang semut dan lain sebagainya.
Dusun Suak Desa Manis Raya memiliki jumlah kepala keluarga yang
tergolong kecil yaitu sekitar 22 kepala keluarga atau sebesar 100 jiwa. Etnis dayak
yang terdapat di dusun tersebut adalah Dayak Siberuang dengan agama mayoritas
adalah katolik. Mata pencaharian penduduknya adalah petani (berladang). Hutan
karet alam campuran yang terdapat di Dusun Suak tersebut memiliki topografi
yang cukup bervariasi dari datar hingga curam (cukup berat untuk dilalui). Hutanhutan karet alam campuran yang menjadi lokasi pengamatan ini cukup terjaga
karena setiap harinya dipelihara oleh pemilik ladang. Menurut informasi warga
sengkubak masih dapat dijumpai di hutan-hutan tersebut.
c. Hutan Adat II
Hutan adat II (hutan Pungkun) terletak di Dusun Medang Desa Empaci
Kecamatan Dedai Sintang. Hutan tersebut berada pada ketinggian 80 feet hingga
434 feet (24,4 132,37 m dpl). Topografi pada hutan Medang tergolong datar.
Hutan Pungkun merupakan hutan adat (hutan tembawang) yang cukup
dikeramatkan oleh warga sekitarnya. Menurut informasi, hutan ini dahulu
merupakan hutan tempat dilakukanya Ngayau yaitu tempat orang-orang etnis
Dayak bertarung dengan memenggal kepala lawan.
Masyarakat sekitar cukup mematuhi adat istiadat yang berlaku terhadap
hutan adat ini. Hingga kini Hutan Pungkun Medang (hutan adat II) cukup terjaga
kelestariannya karena adanya aturan adat yang cukup keras yang melarang
masyarakat sekitarnya untuk membuka lahan hutannya untuk kepentingan apapun
termasuk berladang. Masyarakat sekitarnya juga mempercayai bila melanggar
aturan adat tersebut akan mendapat bala dan panenan hasil dari ladang tidak
akan membawa keberkahan bagi pemiliknya.
100'1
11130'
11200'
112
11230'
11300'
113
11330'
1
100'
KETUNGAU
HULU
KETUNGAU
TENGAH
400
030'
030'
SINTANG
SEPAUK
KELAM
$
#
PERMAI
TEMPUNAK
#
$
#
#
800
km
030'
KETUNGAU
HILIR
0
000'
400
#(
KAYAN
HULU
DEDAI
AMBALAU
0
000'
KAYAN
HILIR
Lokasi Inventarisasi
Pycnarrhena cauliflora
$ Lokasi Responden
#
% Kab. Sintang
#
SERAWAI
SUNGAI
TEBELIAN
LEGENDA:
030'
PETA KALIMANTAN
% SINTANG
-1
100'
-1
100'
130'
130'
111
11100'
11130'
112
11200'
11230'
113
11300'
11330'
36
3. Perlengkapan untuk pembuatan herbarium (specimen) dan perlengkapan
tambahan lainnya seperti: label, kantong plastik, koran, alkohol,
kamera
digital;
4. Perlengkapan alat tulis menulis dan kuisioner.
C. Perumusan Masalah
Sengkubak merupakan salah satu plasma nutfah yang khas dan bernilai
penting karena selama ini telah dimanfaatkan bagi sebagian masyarakat terutama
Suku Dayak dan Melayu di Kabupaten Sintang. Namun, pemanfaatan yang
selama ini dilakukan, tanpa diikuti dengan pembudidayaannya akan menambah
ancaman bagi keberadaan sengkubak di hutan alam. Selain itu, ancaman degradasi
budaya yang menyebabkan terjadinya degradasi pengetahuan tradisional terutama
pada generasi muda yang telah melupakan tradisi leluhurnya. Tingginya tekanan
terhadap hutan alam, deforestasi hutan, konversi lahan hutan dan kebakaran hutan
yang dapat mengancam keberadaan banyak spesies bernilai penting, termasuk
sengkubak.
Informasi
mengenai
keadaan
populasinya
dan
faktor-faktor
yang
37
akan diangkat dalam penelitian ini, adalah aspek etnobotani dan konservasi
sengkubak.
Dari uraian di atas maka secara umum permasalahan penelitian dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1.
2.
D. Kerangka Pemikiran
Kajian etnobotani sengkubak merupakan sarana yang dapat digunakan,
untuk mempelajari konsepsi dan persepsi masyarakat terutama Suku Dayak dan
Melayu
di
Kabupaten
Sintang.
Serta
merupakan
bagian
kegiatan
merupakan
salah
satu
kunci
utama
dalam
pemanfaatan
38
Ancaman hilangnya
Traditional
Knowledge
Tingginya tekanan
terhadap hutan, al:
-konversi lahan hutan
-deforestasi, dll
Belum dilakukan
budidaya
Potensi
sengkubak
Kajian etnobotani
sengkubak
Wawancara dengan
masyarakat lokal
Dokumentasi pengetahuan
penggunaan sengkubak
Mempelajari kondisi populasi
sengkubak di alam
Kerapatannya, Penyebaran,
kondisi vegetasi pada
habitatnya, asosiasinya, status
Data
39
masyarakat melalui wawancara dan pengamatan langsung di lapangan, dan
berfungsi sebagai pendukung utama dalam pengolahan data secara kuantitatif dan
kualitatif. Data sekunder adalah data yang berfungsi sebagai penunjang hasil
penelitian.
1. Data Primer
Data primer yang dikumpulkan meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Data etnobotani, diperoleh dari kegiatan wawancara.
b. Data sengkubak di alam, yang meliputi jumlah individu, ukuran diameter
/tinggi, keadaan individu masih anakan atau dewasa untuk melihat tingkat
regenerasi, dan titik-titik koordinat tempat sengkubak ditemukan.
c. Data keadaan vegetasi lain di habitat sengkubak yang meliputi jenis vegetasi,
jumlah individu setiap spesies untuk tingkat pertumbuhan semai dan pancang,
sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon dicatat jenis, jumlah individu,
diameter batang tinggi bebas cabang..
d. Komponen fisik habitat sengkubak, diukur dan amati meliputi ketinggian
tempat ditemukan, temperatur, kelembaban, dan kedalaman serasah.
2. Data Sekunder
Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data sosial ekonomi masyarakat,
keadaan tanah, topografi, iklim, hidrologi. Data-data ini dapat diperoleh melalui
pengamatan langsung dilapangan dengan penelusuran kepustakaan, yang dapat
menunjang hasil penelitian.
F. Penentuan Sampel
1. Penentuan Sampel Wilayah Studi
Penelitian dilakukan dibeberapa sampel wilayah. Karena dalam penelitian
ini ada dua kajian yang dilakukan, yaitu kajian etnobotani dengan objek utama
adalah masyarakat suku Dayak dan Melayu di Kabupaten Sintang, dan kajian
keadaan populasi sengkubak dan aspek ekologisnya yang menjadi wilayah kajian
adalah kawasan hutan yang merupakan habitat hutan sekunder di Kabupaten
Sintang Kalimantan Barat.
40
Penentuan sampel wilayah untuk keperluan kajian etnobotani dilakukan
secara secara purposive sampling. Wilayah studi dipilih dari beberapa kecamatan
yang terdapat di Kabupaten Sintang, dengan pertimbangan bahwa
wilayah-
wilayah tersebut dapat mewakili keberadaan suku Dayak dan Melayu yang
menjadi narasumber penelitian (responden). Wilayah yang telah ditetapkan adalah
Kecamatan Sepauk, Dedai, Kelam Permai dan Kecamatan Sintang.
Sampel wilayah studi untuk kajian keadaan populasi sengkubak dan aspek
ekologisnya, berdasarkan areal pengamatan yang mewakili kondisi penutupan
lahan habitat hutan sekunder. Lokasi/areal tersebut di pilih secara purposive
berdasarkan informasi masyarakat dari kajian etnobotani dan merupakan tempat
ditemukannya sengkubak.
2. Penentuan Responden
Masyarakat yang menjadi responden dalam penelitian ini adalah masyarakat
suku Dayak dan Melayu yang telah diketahui memanfaatkan sengkubak sebagai
penyedap rasa masakan (pengguna sengkubak) dan masyarakat dari kedua suku
tersebut yang sering melakukan pemungutan sengkubak di alam.
Jumlah responden berjumlah 30 orang, dan merupakan pengguna sengkubak
dan pemungut sengkubak atau hanya sebagai pengguna, dari jumlah tersebut
sudah mencakup suku Dayak maupun Melayu.
Pengambilan sampel responden dalam penelitian ini dilakukan secara
snowball sampling, karena terbatasnya informasi mengenai masyarakat yang
termasuk sebagai pengguna atau pemungut sengkubak. Pengambilan responden
dimulai dari masyarakt atau tokoh-tokoh masyarakat dari kedua suku tersebut
yang telah diketahui memanfaatkan sengkubak (key informan), dari keterangan
responden tersebut dikumpulkan calon responden lain, calon responden tersebut
memberikan informasi tentang calon responden yang lain, dan begitu seterusnya.
Peneliti hanya mengungkapkan kriteria sebagai persyaratan responden (Subagio
1991; Nasution 2003).
F. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah
wawancara untuk kajian etnobotani dan pengamatan langsung untuk menduga
41
kondisi populasi dan mengidentifikasi aspek bioekologis sengkubak. Metode
pengumpulan data yang dilakukan adalah wawancara dan pengamatan langsung.
1. Wawancara
Wawancara di lakukan sebagai salah satu cara untuk mempelajari kajian
etnobotani masyarakat lokal terhadap sengkubak di Kabupaten Sintang. Kegiatan
ini dilakukan untuk memperoleh penjelasan mengenai aspek-aspek yang ingin
diketahui dari pemanfaatan dan pengetahuan tentang sengkubak yang dilakukan
oleh masyarakat selama ini. Selain menanyakan langsung kepada responden
tentang hal-hal yang berkaitan dengan etnobotani sengkubak, responden diberikan
kuisioner yang dapat diisi untuk menerangkan bagaimana pemanfaatan dan
pengetahuan masyarakat selama ini tentang sengkubak. Hal-hal yang ingin di
ketahui dari wawancara mencakup hal-hal berikut:
a. Penggunaannya oleh masyarakat, variabel yang di amati dari karakter
masyarakat yaitu umur, pekerjaan, pendidikan (variabel bebas) dan variabel
tidak bebas meliputi komposisi/takaran bahan, cara pengolahannya, jenis
masakan apa saja, dan bagian apa saja yang digunakan.
b. Budidaya, meliputi sudah dilakukan budidaya/belum, cara budidaya yang
dilakukan, permasalahan budidaya.
c. Pengetahuan masyarakat tentang sengkubak, habitat sengkubak, spesies/
tumbuhan lain yang sering menjadi inang sengkubak, rasa (taste) sengkubak,
dan pertumbuhannya.
d. Kegunaan
sengkubak
yang
dipahami
masyarakat,
meliputi
sejarah
42
2. Pengamatan Langsung
a. Bentuk, Ukuran dan Jumlah Unit Contoh Pengamatan
Unit contoh pengamatan terdiri atas petak-petak persegi berukuran 20 m x
20 m. Jumlah keseluruhan unit contoh pengamatan adalah 100 unit, yang terdiri
atas 25 unit di setiap lokasi pengamatan dan keseluruhan terdapat 4 lokasi
pengamatan di hutan sekunder. Unit contoh pengamatan berada di jalur-jalur
pengamatan dengan ukuran tiap jalur, panjang 100 m dan lebar 20 m. Jalur
pengamatan di bagi menjadi unit atau petak-petak kecil berukuran 20 m x 20 m
untuk pengamatan tingkat pohon, ukuran 10 m x 10 m untuk tingkat tiang, 5 m x 5
m untuk pancang (sapling) dan 2 m x 2 m untuk anakan (seedling).
b. Metode Pengamatan Spesies
Pengamatan sengkubak dan vegetasi lainnya akan dilakukan dengan
menggunakan metode kombinasi jalur dengan
garis berpetak.
Jalur
43
dicatat karakteristik sengkubak yang ditemukan (diameter, tinggi, keterangan
lainnya) dan vegetasi lainnya yang berada pada habitat sengkubak.
Pengamatan langsung dari kegiatan inventarisasi vegetasi dilakukan untuk
mengetahui hal-hal sebagai berikut:
(a). Keadaan populasi sengkubak di habitatnya, meliputi karakteristiknya,
jumlahnya, penyebarannya di alam dan asosiasi dengan spesies lain.
(b). Keadaan vegetasi lain yang termasuk habitus pohon pada habitat sengkubak.
Meliputi keanekaragama spesies,
Diameter (cm)
> 20
10 19
< 10 cm dan tinggi 1,5 m
Tinggi < 1,5 m
Ukuran Petak ( m x m)
20 x 20
10 x 10
5x5
2x2
B
A
Arah Rintisan
A
2m
10 m
5m
20 m
100 m
44
Keterangan :
A. Petak ukur vegetasi tingkat semai (2 m x 2m)
B. Petak ukur vegetasi tingkat pancang (5m x 5m)
C. Petak ukur vegetasi tingkat tiang (10m x 10 m)
D. Petak ukur vegetasi tingkat pohon (20 m x 20m)
(b). Contoh herbarium tadi dengan menggunakan gunting daun, dipotong dengan
panjang kurang lebih 40 cm.
(c). Kemudian contoh herbarium dimasukkan ke dalam kertas koran dengan
memberikan etiket yang berukuran 3 cm x 5 cm. Etiket berisi keterangan
tentang nomor spesies, nama lokal, lokasi pengumpulan dan nama
pengumpul/kolektor.
(d).
(e). Spesimen selanjutnya dijemur dalam sinar matahari dan disemprot kembali
dengan alkohol 70%.
(f). Herbarium yang sudah kering dilengkapi dengan keterangan-keterangan yang
diperlukan diidentifikasi untuk mendapatkan nama ilmiahnya di Herbarium
Bogoriense Bogor.
G. Metode Analisis Data
1. Data Hasil Wawancara Etnobotani
Data-data kualitatif yang diperoleh dari kegiatan wawancara diolah dan di
analisis dengan melakukan peringkasan data, penggolongan, penyederhanaan,
45
penelusuran dan pengaitan antar tema. Selanjutnya data yang telah diperoleh
disajikan secara deskriptif, sesuai dengan tema pembahasan yang ada sehingga
mendukung dalam penarikan kesimpulan atau penentuan rekomendasi tindak
lanjut. Selain itu digunakan pula Chi-square untuk mengetahui apakah ada
perbedaan persepsi pemanfaatan antara etnis Dayak dan Melayu Sintang.
Kriteria uji dilakukan dengan persamaan sebagai berikut:
n
2 =
(O E )
i =1
Keterangan :
O = Frekuensi hasil pengamatan
E = Frekuensi Harapan
df = derajat bebas yaitu (r-1)(c-1), = 0,05 (tingkat signifikansi 5 %).
2. Pola Sebaran Spasial Sengkubak
Penentuan
pola
sebaran
spasial
sengkubak
dilakukan
dengan
Mu =
Mc =
Keterangan:
X .0,975 (n+X
i ) Xi
- X
( Xi ) 1
X 2 .0,025 n + Xi
( Xi) 1
Id
n
X
X
=
=
=
=
46
Id - 1
Ip = 0,5
Mc - 1
Id - 1
Ip = - 0,5
Mc - 1
Id - Mc
Ip = - 0,5 + 0,5
n - Mc
P. cauliflora
Ada
Tidak ada
a
b
c
d
A+c
b+d
Jumlah
a+b
c+d
N
Keterangan :
a = jumlah unit sampling (SU) dimana kedua spesies terdapat
b = jumlah SU dimana terdapat spesies X tetapi sengkubak tidak terdapat.
c = jumlah SU dimana terdapat sengkubak tetapi spesies X tidak terdapat
d = jumlah SU dimana kedua spesies tidak terdapat.
N = jumlah total SU (N = a+b+c+d).
47
Nilai harapan untuk sel a, sel b, c dan d adalah
E(a) = (a+b)(a+c)/N
E(b) = (a+b)(b+d)/N
E(c) = (c+d)(a+c)/N
E(c) = (c+d)(b+d)/N
Kriteria uji dilakukan dengan persamaan sebagai berikut :
n
2 =
(O E )
i =1
Keterangan :
O = Frekuensi hasil pengamatan
E = Frekuensi Harapan
df = derajat bebas yaitu (r-1)(c-1), = 0,05 (tingkat signifikansi 5 %).
Jika 2 hitung > 2 tabel, maka hipotesis bahwa terdapat asosiasi antara spesies
A dan B diterima.
Terdapat dua tipe asosiasi, yaitu :
(1) Positif, jika nilai observasi a>E(a), kedua spesies lebih sering terdapat
bersama-sama daripada sendiri-sendiri (bebas satu sama lain).
(2) Negatif, jika nilai observasi a<E(a), kedua spesies lebih sering terdapat
sendiri-sendiri, daripada bersama-sama.
Selanjutnya tingkat asosiasinya dapat diukur dengan menggunakan indeks
Dice dan Indeks Jaccard (Ludwig & Reynold 1988).
DI =
a
2a + b + c
JI =
a
a+b+c
48
kerapatan relatif (KR), dominasi relatif (DR), dan frekuensi relatif (FR) atau INP
= KR + FR + DR, sedangkan untuk vegetasi tingkat semai dan pancang. INP =
KR + FR. Persamaan-persamaan yang digunakan untuk menentukan nilai-nilai
tersebut adalah sebagai berikut :
Jumlah individu suatu spesies
K
=
Luas plot pengamatan (ha)
Kerapatan suatu spesies
KR
x 100%
Kerapatan seluruh spesies
FR
x 100%
Frekuensi seluruh spesies
DR
x 100%
Dominasi seluruh spesies
49
dalam
Magurran
(1988).
Indeks
kekayaan
Margalef
dihitung
dengan
S 1
ln N
Keterangan :
Dmg= Indeks kekayaan Margalef
S = Jumlah spesies
N = Jumlah individu
pi. ln pi
Keterangan :
pi = proporsi jumlah individu ke-i (ni/N)
H = indeks diversitas Shannon
H'
;
Dmax
= nilai evennes (0-1)
= indeks keragaman Shannon-Wiener
= nilai maksimun indeks keragaman
= ln S
50
6. Kesamaan Komunitas
Untuk melihat kesamaan komunitas vegetasi antar lokasi pengamatan
digunakan indeks kesamaan komunitas (index of similarity) Soerensen yang
dimodifikasi oleh Bray and Curtis (1957) dalam (Magurran 1988), yaitu:
IS =
2.W
a+b
Keterangan :
IS
W
a
b
=
=
=
=
Koefisien komunitas
Jumlah spesies yang terdapat pada dua komunitas
Jumlah spesies yang terdapat pada komunitas a
Jumlah spesies yang terdapat dalam komunitas b.
51
Untuk melihat apakah ada perbedaan pengetahuan suku Dayak dan Melayu
terhadap pemanfaatan sengkubak, maka dapat digunakan uji Chi-Square, dengan
terlebih dahulu memberikan nilai skor dari jawaban responden yang mewakili
kedua suku tersebut tentang pemanfaatan sengkubak yang mereka ketahui. Nilai
skor untuk pengetahuan tentang pemanfaatan yaitu: Skor 1 : untuk nilai 80-100%
jika memiliki kesamaan pemanfaatannya, Skor 2 : untuk nilai 60-79% jika
memiliki kesamaan pemanfaatan. Skor 3 : untuk nilai <60% memiliki kesamaan
pemanfaatan.
Persamaan yang digunakan dalam Chi-Square adalah sebagai berikut :
X = [(Oi-Ei) / Ei]
Keterangan :
X = nilai Chi-Square
Oi = Observasi atau frekuensi pengamatan
Ei = Frekuensi harapan
Hipotesa yang diuji :
Ho = Tidak ada perbedaan pengetahuan pemanfaatan suku Dayak dan Melayu
terhadap penggunaan sengkubak.
H1 = Ada perbedaa pengetahuan pemanfaatan suku Dayak dan Melayu
Terhadap penggunaan sengkubak.
Kriteria uji:
Jika X hitung > X (0.05;db); maka terima H1
Jika X hitung X (0.05;db); maka terima Ho
52
51
52
Pemanfaatan sengkubak untuk pengobatan yang diketahui oleh komunitas
lokal Melayu Sintang adalah bersifat pengobatan dari luar, seperti untuk jaram
(istilah etnis Melayu untuk kompres menurunkan panas), tapal meletakkan
hasil ramuan bahan-bahan campuran dengan daun Sengkubak yang telah
ditumbuk untuk mengobati perut kembung dan batuk-batuk, pengobatan penyakit
demam merona yaitu penyakit demam yang sudah lama tidak sembuh-sembuh.
Komunitas Dayak Siberuang dan Dayak Sekujang mempunyai kepercayaan
bahwa bahwa diantara buah sengkubak terdapat bagian yang disebut buntat, yang
dipercaya mempunyai nilai spiritual/magis sebagai jimat. Etnis Dayak Siberuang
dan Melayu Sintang percaya batang sengkubak dapat digunakan bersama kayu
Lukai (Goniothalamus macrophyllus Hook.f.& Thoms.) dan bawang merah
sebagai penangkal, selain itu daun sengkubak bersama kayu Lukai juga dipercaya
sebagai penangkal dan digunakan untuk merabun (kegiatan membakar bahanbahan/rempah untuk mengeluarkan asapnya yang dipercaya untuk mengusir
makhluk halus.
c. Bagian yang Digunakan
Bagian yang umum digunakan dari sengkubak adalah daun. Bagian-bagian
lain dari sengkubak yang dapat digunakan adalah batang dan buah. Pengetahuan
mengenai manfaat terhadap bagian-bagian yang dapat digunakan (daun, batang,
buah) dari sengkubak adalah berbeda nyata antara etnis Dayak dan Melayu (2 =
6,84 dan 2
(0,05;2)
bahwa buah dan batangnya mempunyai nilai magis, etnis Dayak Sekujang dan
Siberuang Sintang percaya jika teras sengkubak yang berasal dari buah
sengkubak merupakan jimat penawar, etnis Melayu Sintang mempunyai
kepercayaan tentang batang sengkubak jika dibakar bersama kayu lukai dapat
menyadarkan orang yang sedang kesurupan (tidak sadarkan diri karena gangguan
makhluk halus). Pemanfaatan bagian-bagian dari sengkubak, komposisi dan cara
mengolah disajikan pada Tabel 13.
53
Tabel 13 Komposisi dan pemanfaatan sengkubak oleh masyarakat di
Kabupaten Sintang Kalimantan Barat
Bagian
yang
digunakan
Daun
Daun
Daun
Daun
Daun
Peranan
Takaran/
Komposisi
Cara pengolahan
Peruntukkan
Penyedap
rasa
2-3 lembar/masakan
Diiris kecil-kecil/
Ditumbuk dan
dicampur dengan
sayuran
Daun sengkubak
Daun ribu-ribu
Daun medang piawas
Jintan hitam
Ketumbar kasar
Semua bahan
ditumbuk, ditapalkan
atau disemburkan
pada perut si sakit
Perut kembung
disertai batuk-batuk
Daun sengkubak
Daun kembang
sepatu
Bawang merah 1 biji
Bawang putih 1 biji
Daun sirih
Kulit pinang (1 buah)
Daun puring panjang
kecil
Semua bahan
dimasukkan ke dalam
wadah berisi air
diremas-remas
ditambah sedikit cuka
dan nasi dingin satu
butir
Demam panas
Daun sengkubak
Kulit bawang merah
Kulit bawang putih
Air beras
Jintan hitam
Semua bahan
dimasukkan kedalam
wadah (bisa
tempurung kelapa)
Dibuat pada malam
hari
Diembunkan diluar
rumah
Digunakan setelah
diembunkan untuk
mandi bagi si sakit
sampai sembuh
Semua bahan dibakar
asapnya untuk
merabun
Daun sengkubak di
letakkan didalam
kulit lukai dan diikat
Pengobatan
Tapal
Pengobatan
Jaram
(Kompres)
Pengobatan
Untuk
mandi
Nilai Magis
Merabun
(membuat
asap untuk
mengusir
roh-roh
jahat)
Daun sengkubak
Kulit bawang merah
Kulit bawang putih
Kulit kayu lukai
Daun jeruk nipis
Zimat
Daun sengkubak
Kulit kayu Lukai
54
Tabel 13 Lanjutan
Bagian
yang
digunakan
Peranan
Takaran/
Komposisi
Cara pengolahan
Kayu sengkubak
dibakar beserta kayu
lukai, hasilnya
digosok diujung
bawang merah,
kemudian digosokkan
ke kuping orang yang
mengalami
keteguranatau
kesurupan.
Buah
Nilai magis
Buah atau bagian
Buah disimpan dalam
teras atau buntat
dompet
Keterangan : Kayu Lukai (Goniothalamus macrophyllus Hook.f.& Thoms.)
Batang
Obat
keteguran
(magis)
Kayu (batang)
sengkubak
Kayu lukai
Bawang merah
Peruntukkan
Orang yang
mengalami sakit atau
kesurupan akibat
makhluk halus
Zimat Penawar
Gambar 6 Daun sengkubak diikat dalam kulit kayu Lukai untuk penangkal
makhluk halus (kepercayaan sebagian etnis Melayu dan Dayak)
55
d. Cara Pengolahan dan Penyimpanan
Cara pengolahan yang dilakukan oleh etnis Melayu dan Dayak untuk
memanfaatkan sengkubak sebagai penyedap rasa adalah cukup bervariasi.
Berbagai variasi mengolahnya mulai dari ditumbuk halus, diiris tipis-tipis, dan
diremas-remas kemudian dituangkan ke dalam masakan. Takaran atau banyaknya
daun sengkubak yang diperlukan untuk setiap masakan adalah 3-4 lembar atau
sesuai selera. Pengetahuan cara mengolah sengkubak sebagai penyedap rasa
(diremas, diiris-iris, ditumbuk) adalah berbeda antara etnis Dayak dan Melayu
Sintang (2 = 6,84 dan 2
(0,05;2)
besar saat ini sudah tidak mengetahui tentang penggunaan sengkubak. Hal ini
terjadi karena proses alih pengetahuan penggunaan sengkubak dari orang tua ke
generasi muda tidak berjalan dengan baik. Kondisi tersebut didukung oleh
56
adanya keadaan di mana generasi tua sudah mulai jarang menggunakan
sengkubak sebanyak 63,33% responden menyatakan sudah jarang menggunakan
sengkubak, selain itu kurang berusaha mewariskan pengetahuan penggunaan
sengkubak kepada generasi mudanya.
Frekuensi/tingkat seringnya menggunakan sengkubak sebagai penyedap
rasa antara kedua etnis Dayak dan Melayu adalah tidak berbeda nyata pada taraf
kepercayaan 95% (2 = 1,43 dan 2(0,05;1) = 3,84). Frekuensi (seringnya)
menggunakan sengkubak sebagai penyedap rasa oleh kedua etnis berdasarkan
kelompok umur (umur produktif 15-54 tahun dan tidak produktif > 54 tahun)
adalah berbeda nyata (2 = 5,62 dan 2 (0,05;1) = 3,84) dalam arti bahwa kelompok
umur produktif berbeda dengan tidak produktif dalam hal frekuensi
menggunakan sengkubak. Hal ini disebabkan karena umur berkaitan dengan
pengalaman yang dimiliki, umur > 54 tahun diasumsikan mempunyai
pengalaman lebih dalam hal pengetahuan penggunaan sengkubak. Selain itu,
bila dilihat dari tingkat pendidikan (tidak sekolah, SD, SMP, SMA/sederajat),
maka frekuensi (seringnya) menggunakan sengkubak adalah tidak berbeda antara
etnis Dayak dan Melayu Sintang (2 = 1,071 dan 2(0,05;3) = 7,81). Responden
yang memiliki pekerjaan sebagai tani, pedagang dan rumah tangga tidak berbeda
nyata tingkat seringnya menggunakan sengkubak sebagai penyedap rasa baik
pada etnis Dayak maupun Melayu Sintang (2 = 4,42 dan 2 (0,05;2) = 5,99). Jika
dilihat dari jarak antara pengguna sengkubak dengan tingkat seringnya
menggunakan sengkubak sebagai penyedap rasa (dekat, agak jauh, jauh dari
tempat tinggal), adalah tidak berbeda antara etnis Dayak dan Melayu (2 = 1,65
dan 2 (0,05;2) = 5,99).
Tingkat seringnya menggunakan daun sengkubak sebagai penyedap rasa
tidak berbeda antara suku Dayak dan Melayu jika di lihat berdasarkan tingkat
pendidikan, jenis pekerjaan, asal etnis, jarak antara tempat tinggal pengguna
sengkubak dengan tempat hidupnya sengkubak. Tingkat seringnya menggunakan
sengkubak sebagai penyedap rasa adalah berbeda jika di lihat berdasarkan
kelompok umur responden (produktif dan non produktif). Pengalaman dan
kebiasaan (adat) yang diwariskan oleh generasi sebelumnya dapat mempengaruhi
dalam hal pemanfaatan sengkubak sehari-hari.
57
Semakin jarang penggunaan sengkubak di kalangan generasi tua juga dipicu
oleh semakin sulitnya memperoleh sengkubak di lingkungan tempat tinggal,
meningkatnya jumlah penyedap modern dalam berbagai bentuk dan kemasan,
mendorong masyarakat menjadi lebih sering menggunakan penyedap modern
dibanding sengkubak. Implikasi dari semua peristiwa tersebut adalah hilangnya
pengetahuan tradisional
Dari
58
diikuti tindakan budidaya lama-kelamaan akan mengancam kelestarian spesies
tumbuhan tersebut.
Sengkubak telah menjadi bagian penting dalam kehidupan sehari-hari
masyarakat Dayak maupun Melayu Sintang terutama yang tinggal di pedalaman,
namun budidaya sengkubak belum menjadi bagian yang mengisi keseharian
masyarakat. Selama ini responden mendapatkan sengkubak dengan cara
memanen langsung dari hutan atau ladang karet alam campuran yang dimiliki
(93,33% responden).
Menurut responden, sengkubak sangat sulit dibudidayakan, karena
pertumbuhannya sangat lambat, dan responden belum mengetahui cara budidaya
yang tepat untuk spesies yang sering digunakan ini. Belum ada teknis budidaya
lokal sengkubak baik dari etnis Dayak dan Melayu Sintang. Karena umumnya
sengkubak sudah ada dan tumbuh secara liar di hutan sekitar tempat tinggal.
Hal tersebut didukung oleh fakta bahwa dari semua responden, hanya 16,67%
responden yang telah dan berusaha membudidayakan sengkubak yaitu dengan
menanamnya di sekitar tempat tinggalnya.
Sejak dahulu etnis Dayak dan Melayu di pedalaman Sintang memiliki
ikatan yang kuat dengan hutan. Mata pencaharian orang Dayak selalu ada
hubungannya dengan hutan. Hutan tempat berburu, bila hendak berladang pohonpohon di hutan akan ditebang, bila hendak mengusahakan tanaman perkebunan
orang Dayak cenderung memilih tanaman yang menyerupai tanaman hutan
seperti karet, rotan, tengkawang dan sejenisnya. Kecenderungan tersebut
merupakan refleksi dari hubungan yang akrab yang telah berlangsung berabadabad dengan hutan dan segala isinya (Arman 1994 dalam Florus et al. 1994).
Sengkubak merupakan salah satu wujud pengetahuan yang lahir dari
hubungan etnis Dayak dan Melayu dengan hutan. Sejak dahulu masyarakat
terbiasa memenuhi kebutuhan sengkubak dengan memanennya langsung dari
hutan. Saat di mana hutan tidak mengalami penyempitan atau pengurangan lahan
seperti yang terjadi saat ini, pemanenan langsung sengkubak dari hutan alam
bukan menjadi permasalahan. Tetapi pengurangan lahan hutan secara luas demi
memenuhi kebutuhan perluasan lahan perkebunan, pemukiman, pertanian lahan
59
kering, dan lain sebagainya menjadi realitas yang harus dipertimbangkan ke
depan.
Adanya realitas pengurangan wilayah hutan yang masih terus berlanjut,
harus disikapi masyarakat pengguna sengkubak dengan harus turut memikirkan
apakah tindakan mengandalkan sengkubak dari hutan alam masih dapat
diharapkan. Budidaya sengkubak walaupun menurut penduduk sangat sulit
menemukan keberhasilan, namun dengan teknik atau budidaya lokal yang
sederhana harus terus-menerus dilakukan, bila tidak ingin kehilangan sengkubak
di hutan alam.
3. Jenis Sengkubak
a. Jenis Sengkubak Menurut Etnis Dayak Sintang
Secara umum masyarakat Dayak Sintang mengenal tumbuhan yang disebut
sebagai sengkubak adalah suatu tumbuhan yang sering ditemukan dalam keadaan
memanjat di antara pohon-pohon besar di hutan di mana daunnya sering
digunakan untuk menambah rasa manis pada setiap jenis masakan. Penggunaan
daun sengkubak merupakan tradisi dan pengetahuan leluhur yang dalam
mengolah masakan. Tumbuhan yang disebut sengkubak untuk kepentingan
tersebut adalah Pycnarrhena cauliflora.
Sebagian komunitas etnis Dayak menganggap sengkubak di alam terdiri
dari dua jenis, yaitu sengkubak laki-laki (Galearia filiformis) dan sengkubak
perempuan (P. cauliflora). Komunitas tersebut juga menyatakan bahwa
sengkubak perempuan atau sengkubak jenis yang berakar dan merambat adalah
jenis yang umum dipakai sebagai penyedap rasa masakan, karena rasanya yang
lebih enak, dibanding sengkubak laki-laki. Walaupun ada perbedaan pendapat
diantara etnis Dayak tentang spesies sengkubak laki-laki yang dimaksud, dalam
kesempatan ini pengenalan kelompok Dayak tentang kedua jenis sengkubak
dimaksud disajikan dalam penjelasan berikut.
(1). Sengkubak Perempuan [Pycnarrhena cauliflora (Miers.) Diels.]
Sengkubak perempuan adalah suatu spesies tumbuhan pemanjat (liana)
yang mempunyai ciri (menurut etnis Dayak) yaitu adanya akar atau batang yang
merambat (Gambar 7). Karena dianggap tumbuh dengan akar-akar yang
60
merambat dan menjalar untuk memunculkan cabang yang akan ditumbuhi daun
dan bunga. Ujung dari cabang-cabang ini tumbuh terus ke atas hingga memanjat
pohon-pohon yang ada disekitarnya. Batang atau akarnya sangat lentur sulit
dipatahkan jika masih hijau. Daunnya terlihat mengkilat dari arah permukaan
(Gambar 8). Di tempat yang subur daunnya dapat berukuran lebih besar dengan
lebar dan panjang sekitar panjang 26 cm dan lebar 13 cm.
termasuk
diantaranya sengkubak.
Menurut responden
pengguna
sengkubak, saat ini hanya hutan-hutan tertentu yang masih terdapat spesies
tersebut.
61
Ciri lainnya yang cukup penting adalah adanya pembungaan yang keluar
dari batang sehingga disebut cauliflora (Mackinnon et al. 2000). Buah sengkubak
muncul dari batang sengkubak (Gambar 9). Sebagian etnis Dayak Sekujang, dan
Dayak Desa menganggap ada bagian diantara buah sengkubak yang dipercaya
sebagai buntat atau teras mengandung nilai magis. Buntat yaitu benda alam
yang diperoleh atau ditemui dalam atau dengan keadaan tidak normal atau
berbentuk aneh (Muslim & Frans dalam Florus et al. 1994). Buntat sengkubak
dipercaya
sebagai
jimat
penawar
oleh
sebagian
orang
Dayak.
Bila
menggunakannya pada acara minum tuak, maka pada giliran minum orang
berikutnya tuak tersebut akan terasa hambar (tuak adalah sejenis minuman
beralkohol yang khas dibuat dari beras ketan yang di fermentasi, biasa dibuat
oleh suku Dayak dan sering dihidangkan acara-acara gawai adat Dayak ).
62
63
64
cauliflora). Namun khusus pada etnis Melayu di Kecamatan Sintang, sengkubak
dikenal dalam tiga versi atau tiga spesies sengkubak. Ketiga spesies sengkubak
yang dimaksud adalah sengkubak macan (Excoecaria cochinchinensis Lour.),
sengkubak rebung (Staurogyne elongata), dan sengkubak sayur (Pycnarrhena
cauliflora.).
(1). Sengkubak Macan (Excoecaria cochinchinensis Lour.)
E. cochinchinensis merupakan perdu bercabang banyak, di Jawa Tengah
dikenal sebagai daun sambang darah dan ditanam sebagai tanaman hias.
Getahnya mempunyai sifat-sifat beracun, lebih beracun dari getah E. agallocha
LINN. Teysmannia (1910) dalam Heyne (1987) menemukan bahwa pada
konsentrasi 1 : 500.000 getah dari E. cochinchinensis masih mematikan pada
ikan. E. cochinchinensis di Sintang tumbuh di dataran rendah, pada lahan
pekarangan ataupun pada lahan yang sekali-kali tergenang air.
Di Jawa E. cochinchinensis
digunakan untuk
dan
Melayu
sebagai
sengkubak
(penyedap
alami),
maka
E.
65
(1a). Morfologi E. cochinchinensis
Ciri yang paling menonjol adalah warna daun yang berbeda-beda antara
permukaan bagian depan dan belakang daun. Permukaan depan daun berwarna
hijau tua, sedangkan belakang daun bewarna merah hati (Gambar 14).
66
pengobatan adalah sebagai penghancur darah dan obat saat haid yang sering
menyebabkan rasa sakit. Penggunaan E. cochinchinensis disajikan pada Tabel 14.
Tabel 14 Penggunaan E. cochinchinensis bagi pengobatan
Bagian yang
digunakan
Komposisi
Cara pengolahan
Kegunaan
3-4 lembar
Penghancur darah
(diminum saat haid)
Haid sering sakit
Daun
3-4 lembar
di tambah akar kuning
(Fibraurea chloroleuca)
E. cochinchinensis juga dikenal oleh dukun atau etnis Dayak tidak sebagai
sengkubak macan, tetapi dukun-dukun etnis Dayak menyebutnya daun pengobat
muntah darah dan menggunakan daun E. cochinchinensis sebagai obat untuk
menyembuhkan penyakit muntah darah.
(2). Sengkubak sayur (Pycnarrhena cauliflora)
Sengkubak sayur atau sengkubak daun ubi merupakan spesies yang umum
dikenal oleh generasi tua pada etnis Melayu, di mana daunnya sering digunakan
sebagai penyedap rasa dalam sayuran. Pengenalan etnis Melayu terhadap
sengkubak sayur memiliki kesamaan dengan etnis Dayak secara keseluruhan
yang menganggap spesies tersebut adalah sengkubak yang biasa digunakan nenek
moyang sebagai penyedap rasa alami .
Kegunaan Sengkubak Sayur oleh etnis Melayu
Pola penggunaan sengkubak oleh etnis Melayu Sintang cukup menarik
untuk dicermati. Pengetahuan yang dimiliki dalam menjadikan atau mengemas
sengkubak sebagai penyedap rasa dan membuat sengkubak lebih praktis untuk
digunakan cukup menarik. Penggunaan sengkubak oleh etnis Melayu Sintang
disajikan dalam Tabel 15. Sengkubak yang telah tersedia dalam wujud serbuk
sangat praktis dan dapat digunakan dalam waktu yang lama untuk keperluan
masak sehari-hari. Teknik penyimpanan sengkubak yang dilakukan oleh
responden etnis Melayu tersebut cukup baik sebagai ide inovatif untuk
pengembangan pemanfaatan sengkubak dimasa datang yang lebih praktis dan
tahan lama.
67
Tabel 15 Penggunaan dan pengolahan sengkubak oleh etnis Melayu
Bagian yang
digunakan
Daun segar
Cara pengolahan
Teknik
penyimpanan
Daun segar dalam jumlah Bubuk sengkubak
yang sudah halus di
lebih banyak ;
simpan dalam
Dibersihkan
wadah bersih,
Ditumbuk hingga halus
Dianginkan (dikeringkan) seperti botol plastik
(bekas botol agua
kecil)
Kegunaan
Sebagai serbuk
penyadap rasa atau
serbuk micin
alami
Walaupun sebagian besar etnis Melayu Sintang saat ini sudah sangat jarang
menggunakan sengkubak, namun dari wawancara diketahu bahwa selalu ada
keinginan untuk menggunakan sengkubak kembali sebagai penyedap rasa
masakan. Sengkubak tetap menjadi bagian kekayaan pengetahuan budaya
warisan nenek moyang yang dihargai dan tetap diinginkan dapat digunakan.
68
dalam sayuran yang dimasak. S. elongata juga ditemukan di hutan adat I Sirang
(desa Sirang Setambang, Kecamatan Sepauk Sintang).
S. elongata sangat berbeda karakteristiknya dengan sengkubak (P.
cauliflora). Pemberian nama depan oleh etnis Melayu Sintang sebagai sengkubak
rebung, mungkin dikarenakan peranannya yang hampir sama yaitu dapat
digunakan sebagai penambah rasa manis pada masakan. Bedanya penggunaan S.
elongata dalam sayuran, lebih ditekankan pada penggunaan daunnya yang dapat
di makan sebagai bahan sayur yang manis, sedangkan sengkubak daunnya tidak
berfungsi sebagai sayur, tapi semata-mata di ambil sarinya sebagai penyedap rasa
(to add sweet flavour).
S. elongata dalam
Takaran/
komposisi
bahan
Cara pengolahan
Kegunaan
69
atau ikan yang dimasak, dan dapat mengurangi rasa pahit yang ditimbulkan jenis
sayuran tertentu bila dimasak. Kegunaan lainnya adalah sebagai salah satu bahan
yang digunakan dalam pengobatan (lebih bersifat obat luar, seperti jaram), dan
sengkubak dianggap mempunyai nilai magis dan dipercaya oleh sebagian etnis
Dayak ataupun Melayu (Tabel 17).
Tabel 17 Pengetahuan etnis Dayak dan Melayu terhadap sengkubak
Sengkubak lakilaki
Galearia filiformis
Sengkubak perempuan
Sengkubak macan
Pycnarrhena cauliflora
Exoecaria cochinchinensis
Pohon kecil
Berkayu
Daun tumbuh
berselang-seling
Ujung cabang daun
tumbuh malai
Bunga tumbuh
pada malai
Ukuran buah kecil
diameter < 1 cm
Daun penambah
rasa manis pada
masakan (jarang
digunakan)
Melayu
Karakteristik
Terna
Ukuran daun kecilkecil panjang x
lebar (4 x 1)
Bunga
bewarna
putih,
ukuran
sangat kecil.
Kegunaan
Pengobatan
Penghancur darah (haid
sering sakit)
Dicampur
sayuran
(menambah
manis)
Dayak
Karakteristik
Kegunaan
Sengkubak rebung
pada
rasa
70
penting yang berguna bagi pengobatan belum diketahui. Namun bagi etnis Dayak
dan Melayu yang telah mengenalnya sengkubak (P. cauliflora),
sengkubak
71
Tabel 18 Kerapatan dan frekuensi Sengkubak (Miers.) Diels. di formasi hutan
sekunder Kabupaten Sintang KalimantanBarat
Parameter
Persentase anakan
(%)
Frekuensi
Kerapatan (ind/ha)
1
70,59
0,24
17
Lokasi Pengamatan
2
3
70
44,44
0,28
10
0,16
9
4
90,91
Total
275,94
Ratarata
68,98
0,60
22
1,28
58
0,32
14,5
Ket : 1=Hutan adat I Sirang, 2=Ht. karet alam campuran I Suak, 3=Ht. Karet alam campuran II
Suak, dan 4= Ht. adat II Medang
72
Tabel 19 Beberapa karakteristik botanis sengkubak di formasi hutan sekunder
Kabupaten Sintang Kalimantan Barat
Karakteristik
Kisaran tinggi batang (m)
Rata-rata tinggi batang (m)
Kisaran diameter (cm)
Rata-rata diameter (cm)
1
0,33-8
1,68
0,4-3,2
0,4
Hutan sekunder
2
3
0,28-7
0,52-6
1,55
2,16
0,5-2,8
0,6-1,1
1,09
0,83
Rata-rata
4
0,35-2,07
0,61
0,4-1,2
0,6
1,5
0,73
Ket : 1=Hutan adat I Sirang, 2=Ht. karet alam campuran I Suak, 3=Ht. Karet alam campuran II
Suak, dan 4= Ht. adat II Medang
40
Jumlah individu (ind/ha)
35
30
25
20
15
10
5
0
0.5 0.6-1.0 1.1-1.5 1.6-2.0 2.1-2.5 2.6-3.0
> 3.0
73
50
45
40
35
30
25
20
15
10
5
0
1
1,01-3,0
3,01-5,0
> 5,0
74
individu dalam suatu unit areal menaikkan peluang individu lainnya pada unit
areal yang sama. Data pola sebaran sengkubak pada formasi hutan sekunder di
Kabupaten Sintang di sajikan pada Tabel 20.
Tabel 20 Nilai standarisasi Indeks Morishita penyebaran spasial sengkubak
Sengkubak
Pada
Hutan Adat I
Sirang
Hutan karet alam
campuran I Suak
Hutan karet alam
campuran II Suak
Hutan Adat II
Medang
Penyebaran
Id
4,9632
Mu
0,2751
Mc
1,9602
Ip
0,5652
Clumped
1,6667
-0,2888
2,7071
0,1953
Clumped
7,6389
-0,4499
2,9205
0,6068
Clumped
0,7576
0,4477
1,7316
-0,2195
Uniform
Pada hutan adat I Sirang, hutan karet alam campuran I dan II Suak
sengkubak tersebar dengan pola mengelompok hal ini yang menunjukan bahwa
jenis Sengkubak berkembang dan tumbuh baik pada tapak-tapak tertentu yang
sesuai dengan tuntutan hidupnya, antara lain berhubungan dengan ketersediaan
hara, cahaya, atau air. Selain itu pengelompokan terjadi berhubungan dengan
keberhasilan perkembangan dan regenerasinya yang tidak jauh dari induknya.
Pola penyebaran sengkubak yang seragam pada hutan adat II Dusun Medang
diduga di sebabkan oleh adanya penguasaan yang menyeluruh terhadap hampir
seluruh kawasan, dengan kata lain kebutuhan tertentu yang diperlukan sengkubak
untuk tumbuh hampir merata pada seluruh kawasan. Hutan adat II Medang
mempunyai topografi yang relatif datar dengan celah-celah penerimaan cahaya
matahari
yang
hampir
merata.
Faktor-faktor
yang
telah
disebutkan
75
ditemukan pada hutan adat I Dusun Sirang, yaitu adanya asosiasi dengan Ubah
(Syzygium zeylanicum) pada tingkat pohon, dengan X2 hitung sebesar 4,4408 dan
X20,05(1) adalah 3,841, dengan derajat asosiasi 0,375 (Jaccard Index) dan 0,545
(Dice Index). Tipe asosiasi yang terjadi adalah asosiasi positif (a>E(a)), yakni
kedua spesies yaitu sengkubak dan S. zeylanicum lebih sering terdapat bersamasama daripada bebas satu sama lain. Bruenig (1998) menyatakan bahwa spesies
yang jarang (rare spesies) biasanya berada pada kondisi tapak tertentu atau akan
membentuk pola asosiasi tertentu.
Pada hutan karet alam campuran II Dusun Suak asosiasi sengkubak dengan
Nyatoh (Palaquium rostratum) pada tingkat tiang dengan X2 hitung sebesar
6,511 dan X20,05(1) adalah 3,841, dengan derajat asosiasi 0,400 (JI) dan 0,571
(DI). Tipe asosiasi yang terjadi adalah asosiasi positif (a>E(a)). Pada hutan karet
alam campuran I Dusun Suak asosiasi sengkubak terjadi dengan karet (Hevea
brasilliensis) pada tingkat pohon dengan X2 hitung sebesar 5,590 dan X20,05(1)
adalah 3,841, dengan derajat asosiasi 0,200 (JI) dan 0,333 (DI). Tipe asosiasi
yang terjadi adalah asosiasi positif (a>E(a)). Derajat asosiasinya, antara
sengkubak dengan karet tergolong rendah (<0,50). Selain itu asosiasi juga terjadi
pada keladan (Hopea dryobalanoides), dengan X2 hitung sebesar 5,590 dan
X20,05(1) adalah 3,841. Dengan derajat asosiasinya lebih tinggi dari asosiasi
dengan karet yaitu 0,375 (JI) dan 0,545 (DI). Tipe asosiasi yang terjadi adalah
asosiasi positif (a>E(a)). Data asosiasi sengkubak dengan spesies lain disajikan
pada Tabel 21.
Tabel 21 Asosiasi sengkubak dengan spesies lain tingkat pohon dan tiang.
Asosiasi sengkubak
dengan
Spesies lain
Syzygium zeylanicum
X2 Hitung
(Chi-square)
X2 0.05;1)
Jaccard / Dice
Index
Keterangan
4,44
3,84
0,37 / 0,54
Palaquium rostratum
6,51
3,84
0,40 / 0,57
Hevea brasilliensis
5,59
3,84
0,20 / 0,33
Hopea dryobalanoides
5,59
3,84
0,37 / 0,54
Tingkat pohon
Hutan adat I Sirang
Tingkat tiang
Hutan karet alam
campuran II Suak
Tingkat pohon
Hutan karet alam
campuran I Suak
Tingkat pohon
Hutan karet alam
campuran I Suak
76
Asosiasi positip dapat menunjukkan adanya kondisi yang baik terhadap satu
spesies atau kedua spesies tersebut. Dalam lingkungan hutan yang heterogen,
asosiasi dapat berasal dari suatu kesamaan adaptasi dan respon terhadap
lingkungan dari beberapa spesies (Kusmana 1989). Asosiasi negatif yang terjadi
pada pasangan spesies lainnya, kehadiran bersama individu-individu spesies yang
berbeda dapat bersifat indikatif daripada interaksi yang bersifat menghancurkan
atau merugikan terhadap satu atau dua spesies yang bersangkutan. Di dalam
lingkungan yang heterogen asosiasi negatif dapat mencerminkan adaptasi atau
respon daripada individu-individu spesies yang berbeda-beda terhadap faktor
lingkungannya (Kusmana 1989).
2. Kondisi Habitat Sengkubak
a. Karakteristik Fisik Habitat
Berdasarkan pengukuran terhadap beberapa faktor fisik lingkungan di
habitat sengkubak pada formasi hutan sekunder di Kabupaten Sintang
Kalimantan Barat, diketahui bahwa rata-rata ketinggian tempat tumbuh (habitat)
sengkubak adalah 72,36 m dpl. Berdasarkan data koleksi herbarium Sengkubak
di LIPI Cibinong, pada wilayah Kalimantan, sengkubak ditemukan pada
ketinggian 100-150 m dpl (Kalbar) dan 90-100 m dpl (Kalsel).
Berdasarkan hasil survey lapang, sengkubak mempunyai karakteristik yang
khas, terutama dalam hal tempat tumbuh. Sengkubak tidak dapat tumbuh di
hutan-hutan yang lantai hutannya memiliki air yang tergenang, dan umumnya
ditemukan tumbuh pada dataran rendah (lembah) hingga perbukitan kecil, namun
tidak pada tanah rawa. Hasil pengamatan ini sesuai dengan informasi dari
masyarakat (pengetahuan masyarakat) bahwa sengkubak tidak dapat tumbuh di
hutan yang memiliki air tergenang.
Dari kisaran ketinggian lokasi ditemukan dan rata-rata ketinggian lokasi
ditemukan sengkubak, diketahui sengkubak dapat tumbuh pada ketinggian 24,4
m hingga 132,37 m. Walaupun berdasarkan ketinggian keempat lokasi tergolong
dataran rendah, namun dari keempat lokasi tersebut bukan merupakan hutan rawa
atau hutan yan memiliki air tergenang.
77
30
25
24
22
20
15
12
10
5
0
< 50
50-100
101-150
78
18
16
14
12
10
8
6
4
2
0
17
16
13
5,0
6,0-10,0
11,0-15,0
16,0-20,0
>20,0
Karakteristik
27,7578,08
43,99
Hutan
Hutan
Karet
alam
campuran
I Suak
26,23115,9
62,37
sekunder
Hutan
Karet
alam
campuran
II Suak
61,61127,18
118,68
12-33
1,5-23
7-21,2
4-9,4
16,76
8,5
13,71
5,76
11,18
32,88
82,82
32
84
29,43
89,86
28,68
88,91
30,75
86,40
Hutan
Adat I
Sirang
Hutan
adat II
Medang
24,4132,37
64,38
Rata-rata
72.36
Jika dilihat dari kisaran rata-rata suhu dan kelembaban lingkungan tempat
tumbuhnya sengkubak di kawasan hutan sekunder Kabupaten Sintang
Kalimantan Barat adalah 28,68-32,9oC dan 82,8-89,8 %. Hal ini sesuai dengan
79
data BPS Kabupaten Sintang (2006), temperatur rata-rata tahunan di Kabupaten
Sintang selama lima tahun dari tahun 2000-2004 adalah 26,89 oC, di mana ratarata temperatur udara terendah sebesar 22,45 oC dan temperatur udara tertinggi
sebesar 35,7 oC. Kelembabab relatif rata-rata tahunan di Kabupaten Sintang
selama tahun 2004 berkisar antara 82-90%, dengan kelembabab relatif rata-rata
tahunan sebesar 86,9%. Hal-hal tersebut menandakan sengkubak hidup pada
iklim basah.
Menurut data BPS Sintang (2006), dinyatakan bahwa Sintang tergolong
dalam daerah penghujan dengan intensitas tinggi, dan berdasarkan klasifikasi
klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson, iklim di Kabupaten Sintang tergolong
iklim A, yaitu daerah yang bercurah hujan tinggi (Iklim basah), dengan bulan
basah antara 7-9 bulan, sedangkan bulan kering 2-3 bulan. Hal ini dikarenakan
sebagian besar wilayahnya merupakan daerah perbukitan yaitu sebesar 62,74 %.
Sepanjang tahun 2005 jumlah curah hujan 3297,36 mm atau rata-rata 274,78
mm/bulan. Intensitas curah hujan yang cukup tinggi terutama dipengaruhi oleh
keadaan daerah yang berhutan tropis dan disertai kelembaban udara yang cukup
tinggi. Intensitas hujan yang tinggi biasanya mempengaruhi kecepatan angin.
Selain itu, penyinaran matahari di Kabupaten Sintang berkisar antara 42,0 s/d
71,0 % atau rata-rata 53,9 % (BPS Kabupaten Sintang, 2006). Dengan kondisi
tersebut, dapat dikatakan bahwa sengkubak selain hidup pada habitat dengan
curah hujan dan kelembaban tinggi, juga berada pada daerah dengan penyinaran
matahari yang cukup sepanjang tahun.
Faktor-faktor lingkungan tersebut dapat menjadi pertimbangan dalam
memiliki lokasi untuk melakukan budidaya sengkubak, terutama bila akan
mengembangkannya di luar habitat alaminya. Karena seperti yang dikatakan oleh
Gardner et al. (1991) faktor lingkungan utama adalah penyinaran, kelembaban
dan kesuburan tanah, dan keterbatasan faktor-faktor lingkungan tersebut akan
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman.
80
b. Komposisi dan Dominasi Spesies Tumbuhan pada Habitat Sengkubak
(1). Tingkat Semai
Pada tingkat semai, ditemukan 69 spesies tumbuhan. Hasil penelitian
menunjukkan Hevea brasilliensis merupakan spesies yang dominan dan penting
dalam populasi tingkat semai. Selanjutnya diikuti oleh semai dari spesies-spesies
Hopea
dryobalanoides,
Syzygium
zeylanicum,
Artocarpus
integer,
Eleteriospermum tapos, Psychotria cf. sarmentosa BI, dan Litsea elliptica (Tabel
23). Jika dibandingkan dengan penelitian lain, maka penelitian Heriyanto (2004)
di kawasan hutan bekas tebangan (15 tahun) dan hutan primer di kelompok hutan
Sungai Lekawai-Jengonoi Kabupaten Sintang tingkat semai terdapat 59 spesies
pada hutan sekunder dan 63 spesies hutan primer. Hasil penelitian Antoko dan
Kwatrina di kawasan wisata alam Granit Training Center (GTC) Taman Nasional
Bukit Tiga Puluh (TNBT) terdapat 51 spesies tumbuhan tingkat semai, sementara
yang dilakukan Sukmana et al. (2002) pada daerah penyangga TNBT ditemukan
63 spesies tumbuhan tingkat semai. Selain itu, famili-famili yang mendominasi
tingkat pertumbuhan semai pada habitat sengkubak disajikan pada Gambar 22.
45
40
35
30
25
20
15
10
5
Eu
ph
or
bi
ac
ea
e
M
or
D
ac
ip
ea
te
ro
e
ca
rp
ac
ea
e
M
yr
ta
ce
ae
R
ub
ia
ce
ae
La
ur
ac
ea
e
Fa
ba
ce
ae
D
ill
e
ni
A
ac
ni
so
ea
ph
e
yl
le
ac
ea
e
Sa
po
ta
ce
ae
Famili
81
sekunder Sintang, dengan jumlah individu sebesar 5.300 ind/ha. Hopea
dryobalanoides merupakan spesies dominan kedua (INP 16,31%) dengan jumlah
individu sebesar 2.600 ind/ha, Syzygium zeylanicum merupakan spesies dominan
ketiga (INP 15,20%) dengan jumlah individu sebesar 1250 ind/ha.
Tabel 23 Lima spesies tumbuhan pada tingkat semai dengan INP tertinggi
di kawasan hutan sekunder di Kabupaten Sintang
Nama Lokal & Nama Ilmiah
Famili
KR
(%)
FR
(%)
INP
(%)
82
(2). Tingkat Pancang
Pada tingkat pancang ditemukan 89 spesies tumbuhan, dimana Hevea
brasilliensis masih merupakan spesies yang dominan dan penting dalam populasi
tingkat pancang. Selanjutnya diikuti oleh pancang dari spesies-spesies
Horsfieldia irya, Litsea elliptica, Hopea dryobalanoides dan Symplocos
cochincinensis (Tabel 24). Jika dibandingkan dengan penelitian lain, seperti pada
penelitian Heriyanto (2004) di kawasan hutan bekas tebangan (15 tahun) dan
hutan primer di kelompok hutan Sungai Lekawai-Jengonoi Kabupaten Sintang
tingkat pancang terdapat 60 spesies (hutan sekunder) dan 58 spesies (hutan
primer). Penelitian lain, Kwatrina et al. (2003) di zona penyangga di Taman
Nasional Bukit Tigapuluh pada tingkat belta (diameter 2-10 cm) terdapat 70
spesies tumbuhan. Sementara hasil penelitian Purwanto (2005) di Plot Permanen
di Sungai Tappa, Jambi (hutan sekunder) terdapat sekitar 120 spesies pohon
(diameter 2-10 cm). Famili-famili yang mendominasi tingkat pertumbuhan
pancang disajikan pada Gambar 23.
60
50
40
30
20
10
0
e
e
e
e
ae
ae
ae
ae
ae
ae
ae
ea
ea
ea
ea
ac cac pac race cac iace iace race ace tace race
i
r
i
b
r
au plo card Rub Mo Ulm My urse
or rist
ca
h
L
o
m
y
p
a
r
B
M ipte
Sy An
Eu
D
Famili
83
Hevea brasilliensis masih merupakan spesies dominan yang memiliki INP
tertinggi (41,84%), dengan penyebaran individu merata dan jumlah individu
sebesar 312 ind/ha (19,176%). Horsfieldia irya merupakan spesies dominan
kedua dengan INP 21,46% dengan jumlah individu sebesar 104 ind/ha.
Sedangkan Hopea dryobalanoides merupakan spesies dominan ketiga (13,92%)
dengan jumlah individu sebesar 96 ind/ha.
Tabel 24 Lima spesies tumbuhan pada tingkat Pancang dengan INP tertinggi di
kawasan hutan sekunder di Kabupaten Sintang
Nama lokal & nama ilmiah
Famili
KR
(%)
FR
(%)
DR
(%)
INP
(%)
84
(3). Tingkat Tiang
Pada tingkat tiang ditemukan 69 spesies tumbuhan, dimana Hevea
brasilliensis merupakan spesies yang dominan dan penting dalam populasi
tingkat tiang. Selanjutnya diikuti oleh tiang dari spesies-spesies Horsfieldia irya,
Syzygium zeylanicum, Litsea elliptica, dan Eleteriospermum tapos (Tabel 25).
Jika dibandingkan dengan penelitian lain, seperti pada penelitian Heriyanto
(2004) di kawasan hutan bekas tebangan (15 tahun) dan hutan primer di
kelompok hutan Sungai Lekawai-Jengonoi Kabupaten Sintang tingkat tiang
terdapat 50 spesies pada hutan sekunder dan 57 spesies di hutan primer. Familifamili yang mendominasi tingkat pertumbuhan tiang disajikan pada Gambar 24.
80
70
60
50
40
30
20
10
Eu
ph
or
bi
a
M cea
yr
e
M
t
yr ace
ist ae
ic
a
M cea
or e
ac
U ea e
lm
a
La cea
ur e
ac
Fa eae
ba
Ru cea
e
A biac
p
D oc ea
e
ip
ter yna
c
oc
e
ar ae
p
V
er ace
be ae
na
Eb cea
en e
ac
ea
e
Famili
85
Tabel 25
Famili
KR
(%)
FR
(%)
DR
(%)
INP
(%)
24,69
20,83
30,00
75,53
12,35
11,11
12,52
35,97
7,41
8,33
5,66
21,40
6,17
5,56
4,99
16,72
4,94
5,56
4,37
14,86
23,71
16,67
23,61
63,82
8,25
9,52
3,39
25,40
6,19
5,95
5,20
33,37
5,15
5,95
2,97
16,45
5,15
5,95
5,18
16,28
Euphorbiaceae
39,08
24,64
34,19
97,91
Lauraceae
9,19
11,59
8,09
28,88
Myristicaceae
9,19
10,14
7,96
27,29
Fabaceae
6,90
8,70
8,70
24,28
Myrtaceae
5,75
7,25
6,72
19,72
Euphorbiaceae
15,91
10,38
16,79
43,09
Myrtaceae
11,36
14,15
12,67
38,19
Moraceae
8,33
8,49
7,88
24,71
Rubiaceae
7,58
6,60
7,27
21,46
Ebenaceae
4,54
5,66
4,00
14,20
86
tingkat pohon. Selanjutnya diikuti oleh pohon dari spesies-spesies Litsea
elliptica, Eleteriospermum tapos, Artocarpus elasticus, dan Artocarpus
lanceifolius (Tabel 26). Jika dibandingkan dengan penelitian lain, seperti pada
penelitian Heriyanto (2004) di kawasan hutan bekas tebangan (15 tahun) dan
hutan primer di kelompok hutan Sungai Lekawai-Jengonoi Kabupaten Sintang
tingkat pohon terdapat 54 spesies pada hutan sekunder dan 64 spesies di hutan
primer. Kwatrina et al. (2003), pada zona penyangga di TNBT pada tingkat
pohon (>10 cm) terdapat 72 jenis tumbuhan. Dengan demikian keanekaragaman
jenis pada tingkat pohon di lokasi penelitian di bandingkan dengan jumlah jenis
tingkat pohon pada hutan sekunder tergolong tinggi tinggi. Famili-famili yang
mendominasi tingkat pertumbuhan pohon disajikan pada Gambar 25.
80
70
60
50
40
30
20
10
ae
M
yr
ta
ce
ae
Fa
ba
ce
M
ae
yr
ist
ic
D
ac
ip
ea
ter
e
oc
ar
pa
ce
ae
Fa
ga
ce
ae
yn
ac
e
ea
e
A
po
c
La
ur
ac
ac
ea
M
or
Eu
ph
or
b
ia
ce
a
Famili
ind/ha
dengan
frekuensi
relatif
(FR
6,64%).
Selain
itu,
87
Eleteriospermum tapos merupakan jenis dominan ketiga (INP 16,70%) dengan
jumlah individu sebesar 8 ind/ha (FR 5,05%).
Tabel 26
Famili
KR
(%)
FR
(%)
DR
(%)
INP
(%)
88
mengemukakan bahwa dominasi merupakan tipe keanekaragaman yang dicirikan
oleh distribusi horisontal dan ukuran tumbuhan. Dominansi dari suatu spesies
pada tiap tingkatan spesies tumbuhan dapat memberi petunjuk daya survival
suatu spesies dalam suatu komunitas hutan. Indeks nilai penting merupakan
suatu bentuk gambaran struktur tegakan secara horizontal (Husch et al. 1982
dalam Kissinger 2002). Suatu jenis dikatakan berperan jika INP tingkat pancang
dan anakan lebih dari 10% dan untuk tingkat pohon dan tiang sebesar 15%.
Bila dikaitkan dengan suatu pengelolaan hutan, spesies yang selalu
dominan pada tiap tingkatan vegetasi mempunyai peluang yang besar untuk tetap
terjaga kelestariannya, seperti contoh : Hevea brasilliensis, Horsfieldia irya,
Syzygium zeylanicum, Litsea elliptica, dan Hopea dryobalanoides. Famili
Euphorbiaceae merupakan famili yang selalu dominan pada keempat hutan
sekunder tersebut, sejalan dengan hasil penelitian tersebut, menurut Newbery et
al (1992) dalam Mackinnon et al. (2000) dikatakan bahwa Euphorbiaceae
merupakan suku utama ke dua di hutan-hutan di Borneo, kadang-kadang lebih
banyak terdapat daripada Dipterocarpaceae.
Keempat lokasi kajian merupakan hutan sekunder di mana habitat tersebut
telah mengalami perubahan. Suatu habitat yang telah mengalami perubahan
akibat
kebakaran dan lain-lain, maka tumbuhan yang ada akan mengadakan reaksi untuk
merubah lingkungan sehingga berada pada kondisi yang cocok bagi spesies yang
telah ada atau lebih cocok pada individu-individu baru. Sehingga reaksi ini
memegang peranan penting dalam pergantian spesies (Shukla & Chandel 1982
dalam Kusmana & Istomo 1995).
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa dominasi suatu spesies yang
terjadi pada tiap tingkatan spesies tumbuhan dalam suatu tipe hutan terbentuk
melalui integrasi antara faktor kondisi spesies tumbuhan secara menyeluruh
(pertumbuhan dan perkembangan, interaksi dengan tumbuhan lain, proses
regenerasi, distribusi, dan lain-lain), kondisi lahan serta aktifitas yang terjadi
pada tipe hutan yang bersangkutam.
Keberadaan berbagai spesies pada lokasi kajian yang merupakan hutan
sekunder, jika dikelola dengan baik selain dapat melestarikan sengkubak dan
89
habitatnya juga dapat melestarikan spesies-spesies yang telah diketahui nilai dan
manfaatnya, misalnya spesies-spesies tumbuhan berkayu komersil, beragam
tumbuhan obat, tumbuhan unik seperti Nephenthes sp., yang terdapat di kawasan
hutan sekunder tersebut. Pengelolaan hutan-hutan tembawang (hutan karet alam
campuran) oleh masyarakat dapat di arahkan sebagai tempat penelitian. Hal ini
dapat menjadi alternatif dalam melestarikan tumbuhan bernilai ekonomis tinggi
sekaligus dapat melestarikan ekosistem kawasan itu sendiri. Sehingga diharapkan
dapat mendatangkan keuntungan ekonomi yang besar jika dikelola dengan
perencanaan yang benar dan dapat bermanfaat bagi masyarakat setempat
(MacKinnon et al. 1993).
spesies
merupakan
suatu
karakteristik
tingkatan
Tingkat
Pertumbuhan
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
N
112
94
87
90
347
103
81
101
276
113
97
102
S
21
24
18
17
24
31
29
23
25
32
36
32
Dmg
4,24
5,06
3,81
3,56
3,93
6,47
6,37
4,77
4,27
6,56
7,65
6,70
Indeks
H
2,72
2,54
2,24
2,25
2,09
2,90
2,83
2,50
2,22
2,96
3,03
2,97
J
0,89
0,80
0,77
0,79
0,66
0,84
0,84
0,80
0,69
0,85
0,84
0,86
90
Tabel 26 Lanjutan
Habitat
Hutan Adat II
Medang
Tingkat
Pertumbuhan
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
N
242
152
132
127
S
34
45
38
33
Dmg
6,01
8,76
7,58
6,61
Indeks
H
2,47
3,42
3,14
2,87
J
0,70
0,90
0,86
0,82
Keterangan :
N
= Jumlah individu pada suatu habitat
S
= Jumlah spesies tumbuhan pada suatu habitat
Dmg
= Indeks Diversitas Margalef
H
= Indeks keragaman Shannon-Wiener
J
= Indeks kemerataan Shannon (Evennes Shannon)
stabilitas
yang
lebih
tinggi
dibandingkan
dengan
tingkat
91
gangguan terhadap komponen-komponennya. Semakin tinggi nilai keragaman
jenis di suatu habitat, maka keseimbangan komunitasnya juga akan semakin
tinggi. Diagram keragaman spesies pada semua tingkat pertumbuhan berdasarkan
indeks Shannon-Wiener disajikan pada Gambar 26.
4
Indeks keragaman spesies
3.5
3
2.5
Ht. adat I Sirang
1.5
1
0.5
0
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
92
memiliki nilai indeks kekayaan tertinggi kedua setelah hutan Medang. Hutan
Sirang memiliki kekayaan spesies terendah dari keempat lokasi kajian. Harapan
menemukan spesies lebih tinggi pada hutan Medang. Hutan Medang memiliki
jumlah spesies dan jumlah individu tertinggi dibanding ketiga lokasi lainnya, hal
ini mempengaruhi nila indeks kekayaan spesiesnya menjadi lebih tinggi. Diagram
yang menunjukkan indeks kekayaan spesies pada habitat sengkubak disajikan
pada Gambar 27.
10
9
8
7
6
5
4
3
2
1
0
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
93
pertumbuhan spesies (berkisar 2,09-3,14), kekayaan spesies yang tinggi pada
tingkat pertumbuhan (berkisar 3,56-8,76) dan kemerataan spesies yang bervariasi
pada berbagai tingkat pertumbuhan mulai dari 0,66 (tingkat semai) hingga 0,90
1
0.9
0.8
0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
dengan
karakteristik
tempat
tumbuh
dan
aktivitas
yang
Bruenig
(1995)
menyatakan
bahwa
keanekaragaman
spesies
berhubungan dan dibatasi kondisi tanah di mana terdapat zone perakaran, aerasi
dan kelembaban tanah, kandungan hara dan kualitas humus. Kissinger (2002)
menyatakan bahwa aktivitas yang terjadi pada suatu hutan relatif berpengaruh
terhadap kondisi keanekaragaman yang ditampilkan.
d. Kesamaan Komunitas
Kesamaan komunitas ditunjukkan oleh index of similarity (IS), yaitu
menggambarkan tingkat kesamaaan struktur dan komposisi spesies dari
komunitas yang dibandingkan. Nilai berkisar antara 0% sampai dengan 100%,
jika dua komunitas yang dibandingkan sama maka nilai IS mendekati 100% (1),
94
sedangkan jika dua komunitas yang dibandingkan berlainan maka nilai IS
mendekati 0%. yang dimodifikasi oleh Bray and Curtis (1957) dalam Magurran
(1988).
Wilayah hutan Suak I dan Suak II (2-3) memiliki kesamaan komunitas yang
cukup tinggi (IS>50%) pada semua tingkat pertumbuhan, hutan Sirang dengan
Suak I, Suak II dan hutan Medang dapat dikategorikan memiliki kesamaan
komunitas rendah (IS<40%), kesamaan komunitas antara hutan Suak I dengan
hutan Medang dan Suak II dengan hutan Medang dapat dikategorikan sedang
pada tingkat pertumbuhan tiang (IS mendekati 50%), pada tingkat pertumbuhan
semai, pancang dan pohon pada lokasi tersebut kesamaan komunitasnya
tergolong rendah (IS<40%). Data indeks kesamaan komunitas pada habitat
sengkubak disajikan pada Tabel 27.
Tabel 27 Indeks kesamaan komunitas pada habitat sengkubak (hutan sekunder)
di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat
Habitat sengkubak
Ht. Adat I Sirang Ht. Karet alam campuran I
Suak
Ht. Adat I Sirang Ht. Karet alam campuran
II Suak
Ht. Adat I Sirang Ht. Adat II Medang
Ht. Karet alam campuran I Suak Ht. Karet
alam campuran II Suak
Ht. Karet alam campuran I Suak Ht. Adat II
Medang
Ht. Karet alam campuran II Suak Ht. Adat II
Medang
0.24
0.39
0.21
0.20
0.22
0.23
0.23
0.35
0.39
0.15
0.15
0.53
0.51
0.62
0.51
0.27
0.33
0.47
0.40
0.35
0.36
0.48
0.33
95
Apabila laju pemungutan langsung dari alam lebih cepat dari laju kemampuan
alam untuk memulihkan populasinya, maka akan kelangkaan dan kepunahan
spesies tumbuhan tersebut tidak dapat dielakkan.
Penelitian dan informasi mengenai potensi, penyebaran, bioekologi dan
teknik penangkaran tumbuhan secara umum dan tumbuhan obat khususnya
masih sangat terbatas. Di lain pihak publikasi dan informasi mengenai hal
tersebut sangat diperlukan guna mendasari upaya pelestarian pemanfaatan dan
pengembangan usaha pemanfaatan tumbuhan obat khususnya melalui budidaya
jenis. Keadaan ini menunjukkan bahwa peran lembaga ilmiah sangat diperlukan
dan perlu ditingkatkan. Pemanfaatan plasma nutfah tumbuhan untuk berbagai
keperluan manusia perlu diimbangi dengan upaya konservasnya, baik secara
insitu
maupun
eksitu,
agar
tidak
terjadi
penurunan
populasi
dan
96
Selain itu, informasi yang diperoleh dari pola sebaran spasial sengkubak
pada formasi hutan sekunder diketahui bahwa sengkubak cenderung membentuk
pola penyebaran mengelompok (clumped). Individu dengan pola spasial
mengelompok bila mendapat gangguan akan lebih cepat punah dibandingkan
individu yang menyebar random (Kissinger 2002). Pengelompokkan yang terjadi
memerlukan suatu bentuk habitat tertentu.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya pola sebaran
spasial seperti proses reproduksi dan regenerasi, kompetisi, topografi, kebutuhan
hara dan cahaya merupakan variabel penting yang harus menjadi perhatian utama
dalam pengelolaan hutan. Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan dalam
manajemennya diantaranya adalah menjaga kelestarian pohon induk, mengurangi
halangan bagi carrier dalam proses dispersal, mengurangi kompetisi,
terpenuhinya kebutuhan hara dan cahaya. Intinya adalah bagaimana memadukan
syarat-syarat pertumbuhan yang membatasi keberadaan suatu spesies.
Sengkubak adalah salah satu bagian yang menjadi prioritas penyelamatan
dalam kegiatan konservasi. Karena sengkubak adalah tumbuhan yang khas (khas
dalam pemanfaatan), mempunyai potensi sebagai tanaman obat, mempunyai arti
tersendiri di kehidupan masyarakat pedalaman Sintang (baik Melayu maupun
Dayak), dan sengkubak juga hampir tidak dapat ditemukan di luar Kalimantan.
Luas daerah sebarannya juga semakin semakin kecil, peluang punahnya akan
tinggi jika hutan-hutan sekunder yang ada dan telah dikelola masyarakat selama
ini beralih fungsi menjadi lahan perkebunan atau lain sebagainya.
Sengkubak merupakan spesies yang diburu atau dipanen oleh manusia, jika
perilaku pemanenan tidak memperhatikan aspek-aspek kelestariannya, maka
spesies ini akan lebih cepat punah (Primack 1998). Penyebab utama hilangnya
dan punahnya spesies-spesies tumbuhan yang ada berasal dari populasi manusia
yang berkembang dengan cepat, dari cara manusia yang dengan cepat
memperluas wilayah ekologisnya dan memanfaatkan sumber daya hayati dari
bumi yang lebih banyak lagi. Mekanisme langsung dari kepunahan tersebut
meliputi hilangnya dan terkotak-kotaknya habitat akibat fragmentasi habitat,
invasi jenis baru yang diintroduksi, pemanfaatan sumber daya hayati yang
97
berlebihan apalagi tanpa diikuti tindakan budidaya, polusi, perubahan iklim
global, serta industri pertanian dan kehutanan (UNEF 1995).
Lunturnya pengetahuan tradisional (erosi kebudayaan tradisional) yang
memiliki pemahaman tersendiri terhadap alam menyebabkan kesalahan dalam
penerapan pengetahuan yang dapat menyebabkan gagalnya pengembangan
kebijakan yang mencerminkan nilai ilmiah, ekonomis dan sosial. Hal ini dapat
mendorong kesalahan yang fatal dalam membuat perencanaan pengelolaan hutan
yang masih ada.
Sengkubak pernah ditemukan di pulau Jawa yaitu Pulau Panaitan tahun
1951, Pantai Ngliyep Selatan Malang, Pantai Popoh Tulung Agung tahun 1914
(Herbarium Bogoriense, LIPI Cibinong 2007). Saat ini spesies tersebut hampir
tidak pernah terindentifikasi dalam beberapa kegiatan inventarisasi di Pulau
Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa karena tidak adanya pengenalan manfaat
sengkubak di Pulau Jawa, cenderung membuat spesies tersebut menjadi kurang
diperhatikan keberadaannya dan mempercepat kepunahan spesies tersebut.
Negara-negara tetangga, antara lain Philipina, Malaysia, dan Australia telah
melakukan pengujian bioaktif terhadap marga Pycnarrhena ini, dan Philipina
telah menetapkan P. manillensis Vidal sebagai tumbuhan obat penting, dimana
akar dan batangnya digunakan sebagai tonik, tepung akarnya untuk mengobati
kolera (Anonim 2007). Malaysia telah melakukan hal yang sama terhadap marga
Pynarrhena lainnya, diketahui
98
Nilai ekonomi sengkubak dapat ditingkatkan antara lain dengan mengetahui
kandungan bioaktif sengkubak yang berperan untuk pengobatan. Karena sebagian
besar spesies dari famili Manispermaceae seperti akar kuning [Arcangelisia flava
(L.) Merr.], brotowali [Tinospora crispa (L.) Diels.] merupakan tumbuhan obat.
Jika dikaitkan dengan anggota dari marga Pycnarrhena, diketahui bahwa
sebagian besar bagian vegetatif dari marga Pycnarrhena mempunyai kandungan
bioaktif yang dapat digunakan sebagai bahan obat. Sebagai contoh akar dan
batang dari Pycnarrhena manillensis Vidal (Philipina) memiliki enam kandungan
alkaloid yang terdiri dari 3 (tiga) non phenolic dan 3 (tiga) phenolic, tepung dari
akar dan batangnya digunakan untuk mengobati penyakit kolera, akarnya
dikatakan juga berperan sebagai tonik (Philippine Medical Plants 2007), batang
dari Pycnarrhena ozantha diketahui mengandung bahan bioaktif yang penting
bagi pengobatan penyakit tumor. Hal tersebut dapat digunakan sebagai
pendekatan untuk menduga bahwa sengkubak memiliki kandungan bioaktif yang
bermanfaat dalam pengobatan Kegunaan dan kandungan kimia dari spesies
Pycnarrhena lainnya disajikan dalam Tabel 29.
Tabel 29 Kegunaan dan kandungan kimia genus Pycnarrhena (spesies lainnya)
Spesies
P. ozantha
1)
P. novoguinensis 2)
P. manillensis 3)
P. tumetacta 4)
Kandungan kimia
Asal
Specimen
Peranan
4 bisbenzylisoquinoline
alkaloids
(+)-2-nortthalrugosine
(+)-bisnorobamegine
(+)-bisnorthalrugosine
(+)-pycnazanthine
Alkaloid jenis
magnoflorine
Enam jenis alkaloid :
Pycnarrhine, ambaline,
ambalininine (nonphenolic), pycnaminde,
pycnarrhinine,
pycnarrhenamine
(phenolic). Akar
mengandung
cicatrizant, vulnerary,
febrifuge dan
emmenagogue.
Protein tinggi
Papua
Nugini
Obat tumor
Indonesia
Penghasil
alkaloid
Akar sebagai
tonik, tepung
dari akar
obat kolera
Philipina
Malaysia
Bagian
yang
digunakan
Batang
Batang dan
akar
Penyedap
Daun
masakan
Sumber : 1)Abouchacra, et al. (1987); Loder et al. (1972) , 2) Verpoorte, et al. (1982), 4) Hoe &
Siong (1999) dan 3) Philippine Medical Plants (2007)
99
b. Konservasi Insitu dan Eksitu
Melakukan konservasi tumbuhan merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari kegiatan konservasi sumber daya alam hayati secara keseluruhan.
Konservasi sumber daya alam hayati adalah sebagai upaya pengelolaan sumber
daya
alam
hayati
yang
pemanfaatannya
senantiasa
memperhitungkan
ekosistemnya,
sehingga
dapat
lebih
mendukung
upaya
tujuan
konservasi
adalah
perlindungan
sistem
penyangga
proses
ekologi
serta
sistem
penyangga
kehidupan
dan
100
Kegiatan pengawetan menurut UU RI No. 5 Tahun 1990 dapat dilakukan
melalui dua macam kegiatan yaitu melalui konservasi secara insitu dan
konservasi eksitu. Secara Insitu berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun
1999, tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, maka pengelolaan di
dalam habitatnya dapat dilakukan dalam bentuk identifikasi, inventarisasi,
pemantauan habitat dan populasinya, penyelamatan jenis, pengkajian, penelitian
dan pengembangan (Dephutbun 1999a). Konservasi sengkubak secara insitu
dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan keberadaan hutan karet alam
campuran atau hutan tembawang yang selama ini telah dikelola oleh masyarakat
setempat, terutama etnis Dayak. Hal tersebut direkomendasikan karena hutanhutan tersebut merupakan habitat sengkubak. Di dalam hutan karet alam
campuran terdapat beragam spesies tumbuhan, selain pohon karet alam sebagai
komoditi utama, juga terdapat pohon-pohon penghasil buah (durian, rambutan,
cempedak, terap), jenis pohon yang dapat dimanfaatkan kayunya seperti keladan,
meranti, medang, ulin, beragam tumbuhan obat, spesies-spesies unik seperti
aneka Nephenthes, dan anggrek. Pengelolaan hutan karet alam campuran yang
dilakukan oleh masyarakat tersebut, bukan hanya sengkubak yang lestari tapi
banyak spesies yang sudah diketahui nilai dan manfaatnya turut terlindungi dan
lestari dalam suatu komunitas hutan sekunder.
Konservasi eksitu merupakan upaya pengawetan spesies di luar kawasan
yang dilakukan dengan menjaga dan mengembangbiakan spesies tumbuhan dan
satwa liar. Kegiatan konservasi eksitu dilakukan untuk menghindari kepunahan
dari spesies tersebut. Menurut Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1999 tentang
Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, maka pengelolaan jenis di luar
habitatnya dapat dilakukan dalam bentuk pemeliharaan, pengembangbiakan,
pengkajian, penelitian, pengembangan rehabilitasi satwa, penyelamatan jenis
tumbuhan dan satwa liar. Konservasi sengkubak secara eksitu dilakukan dengan
mengembangkan kegiatan budidaya di luar habitat alaminya. Karena dengan
membantu pelestarian di luar habitat alaminya, spesies ini dapat disediakan tidak
jauh dari lingkungan tempat tinggal masyarakat penggunanya. Dengan demikian
dapat memudahkan masyarakat untuk menggunakan bagi keperluan sehari-hari.
101
Pemanfaatan sengkubak dan kondisi habitat sengkubak yang masih tersisa,
diketahui bahwa sebagian besar sengkubak yang dimanfaatkan masih bersifat liar
dan masih langsung dipungut dari hutan. Semakin terbatasnya hutan yang masih
terdapat sengkubak, hal ini harus segera diimbangi dengan tindakan budidaya.
Tindakan budidaya sebaiknya sudah mulai diupayakan terhadap sengkubak, jika
masyarakat beserta Pemda Kabupaten Sintang mempunyai keinginan untuk
mengangkat dan mempertahankan keberadaan sengkubak sebagai salah satu
tumbuhan khas yang mempunyai nilai khusus di masyarakat. Selain itu tindakan
budidaya juga merupakan upaya untuk menjaga sumber plasma nutfah atau
genetik.
Konservasi eksitu dan insitu tidak dapat dilakukan oleh pemerintah tanpa
dukungan dan partisipasi aktif masyarakat. Masyarakat dapat dimotivasi untuk
tetap mempertahankan pengelolaan hutan karet alam yang telah dilakukan dan
didorong untuk memperbanyak bibit sengkubak dan membudidayakan pula di
lingkungan sekitar tempat tinggal (di luar habitat alami). Adanya kecenderungan
penggantian pola perkebunan ke arah perkebunan kelapa sawit di Sintang,
masyarakat
harus
melakukan
perhitungan
yang
matang,
dengan
102
karena yang dipanen adalah bagian daun atau pucuk yang merupakan struktur
vegetatif, maka yang terjadi kemudian adalah permudaan kembali pada bagian
tersebut.
Jika
masyarakat
dalam
memanen
sengkubak
memperhatikan
103
kebutuhan sosialnya (ruang individu, keluarga dan masyarakat), kebutuhan
spiritualnya (tempat keramat, tempat pemakaman dan rumah ibadah), kebutuhan
ekonominya (hasil hutan, bahan baku dan kesempatan kerja) dan kebutuhan fisik
masyarakat (makanan, bahan bakar, obat-obatan dan alat).
Hutan merupakan sumber kebutuhan pokok dan ekonomi masyarakat, dari
hasil menoreh karet di hutan karet alam, setiap bulan setiap keluarga suku Dayak
Desa, Siberuang dan Sekujang Sintang dapat menghasilkan rata-rata 160 kg kulat
(getah karet) atau setara dengan Rp. 1.120.000. Sebagian kebutuhan hidup dapat
dipenuhi dengan mengelola hutan karet alam di samping kegiatan menanam padi
di ladang yang tetap dilakukan untuk kebutuhan pangan sehari-hari.
Masyarakat Dayak mempunyai pandangan perspektif yang berbeda
terhadap hutan. Hutan dianggap sebagai sebuah ruang yang pernah dihuni oleh
pendahulu/nenek moyang yang pengaruhnya terhadap hutan tersebut dapat
dilacak kembali. Masyarakat mempunyai aturan tersendiri dalam pengelolaan
hutan, ada sistem kepercayaan tradisional (norma, tabu, dan praktek tradisional
yang disepakati) yang mendukung nilai dan membimbing sistem pengelolaan
hutan yang dijalankan. Masyarakat memiliki pengetahuan yang luas terhadap
hutan yang dikelola, masyarakat pengelola sangat paham peranan masing-masing
pohon atau tumbuhan yang terdapat di dalam kawasan yang dikelola. Sebagai
contoh masyarakat mengerti jenis pohon kempas (Koompasia malaccensis)
sebagai tempat bersarangnya lebah, pohon kempelas (Tetracera macrophylla)
berguna sebagai bahan amplas tradisional, pohon rambai hutan (Sarcotheca
macrophylla) buahnya digunakan masyarakat sebagai pembersih kuku.
Adanya pemahaman terhadap kegunaan dari masing-masing komponen
yang terdapat dalam hutan yang dikelola, hal tersebut membuat masyarakat
sangat mengerti bagaimana memperlakukan hutan yang dikelola. Tindakan yang
diambil dalam pengelolaan hutan didasarkan atas pengetahuan dan pemahaman
yang mendalam terhadap masing-masing komponen hutan. Keunggulan lain dari
teknologi asli masyarakat Dayak dalam pengelolaan sumber daya alam (hutan)
adalah adanya pola-pola pemanfaatan yang tergantung pada banyak sumber, baik
kayu maupun non kayu sehingga tidak menimbulkan tekanan pada salah satu
spesies tertentu (Moniaga dalam Florus et al. 1994).
104
B. Saran
106
DAFTAR PUSTAKA
107
Fitter AH dan RKM Hay. 1981. Fisiologi Lingkungan Tanaman. S Andini,
penerjemah; B Srigandono, editor. Yogyakarta:Gadjah Mada University Pres.
Florus P, S Djuweng, J Bamba dan N Andasputra.. 1994. Kebudayaan Dayak:
Aktualisasi dan Transformasi. Jakarta: Grasindo.
Gailea R. 2005. Identifikasi Pemanfaatan Dan Pengembangan Tumbuhan Obat Di
Sekitar Taman Nasional Lore Lindu. [tesis]. Bogor: Program Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor.
Gardner FP, RB Pearce dan RL Mitchell. 1991. Fisilogi Tanaman Budidaya.
Universitas Indonesia. UI- Press. Jakarta.
Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia (I-IV). Penerjemah; Badan
Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta:
Yayasan Sarana Wana Jaya.
Hendra M. 2002. Pemanfaatan Tumbuhan Buah-buahan dan Sayuran Liar Oleh
Suku Dayak Kenyah Kalimantan Timur. [disertasi]. Bogor: Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Heriyanto NM. 2004. Suksesi Hutan Bekas Tebangan Di Kelompok Hutan Sungai
Lekawai-Jengonoi Kabupaten Sintang Kalimantan Barat. Penelitian Hutan
dan Konservasi Alam 1:175-191.
Hoe VB and KH Siong. 1999. The Nutrition Value of Indigenous Fruit and
Vegetables in Serawak. Clinical Nutrition 8:24-31. www.blackwellsynergy.com [4 April 2007].
Kartikawati SM. 2004. Pemanfaatan Sumberdaya Tumbuhan Oleh Masyarakat
Dayak Meratus Di Kawasan Hutan Pegunungan Meratus Kabupaten Hulu
Sungai Tengah. [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian
Bogor.
Kissinger. 2002. Keanekaragama Jenis Tumbuhan Struktur Tegakan, Dan Pola
Sebaran Spasial Beberapa Spesies Pohon Tertentu Di Hutan Kerangas. [tesis].
Bogor. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor.
Kusmana C. 1989. Phitososiologi Hutan Hujan Pegunungan Gunung Gede
Pangrango, Jawa Barat. Laporan Penelitian. Tidak diterbitkan.
Kusmana C dan Istomo. 1995. Ekologi Hutan. Laboratorium Ekologi Hutan
Fakuoltas Kehutanan IPB. Bogor.
Kwatrina RT dan BS Antoko. 2006. Potensi dan keragaman jenis flora pada
kawasan wisata alam di Granit Training Center Taman Nasional Bukit
TigaPuluh Riau. Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 3: 513-532.
108
Krebs CJ. 1999. Ecological Methodology. Second Edition. Canada: AddisonWelsey Educational Publishers.
Loder J and R Neam. 1972. Tumour Inhibitory Plants: Two New Bisbenzylisoguinoline Alkaloid From Pycnarrhena ozantha (Menisperma-ceae). Chemistry
25(10):2193-2197. [2 Maret 2007].
Ludwig JA and JF Reynolds. 1988. Statistical Ecology: A primer on methods and
computing. New York: A Wiley-Interscience.
MacKinnon J, K MacKinnon, G Child dan J Thorsell. 1986. Pengelolaan
Kawasan Yang Dilindungi di Daerah Tropika. penerjemah: Harry Harsono
Amir. Yogyakarta: Gadjah Mada Univ. Pr.
MacKinnon K, G Hatta, H Halim dan A Mangalik. 2000. Ekologi Kalimantan.
Editor: Kartikasari SN. Jakarta: Prenhallindo.
Magurran AE. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. London: Croom
Helm.
Maheswari JK. 1988. Ethnobotanical research and documentation. Symb. Bot.
Usp. 28(3):207-217. Univ. Uppsala.
Martin GJ. 1998. Etnobotani. Sebuah Manual Pemuliharaan Manusia dan
Tumbuhan. Edisi Bahasa Malaysia. Sabah: Natural History Publications
(Borneo).
Nasution S. 2003. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: PT Bumi
Aksara.
Ndero G dan R Thijssen. 2004. Studi Etnobotani: Menemukan Jenis-jenis
Tanaman Potensial. Tropical Ethnobiology 1:8-9. www.leisa.info [5 April
2007].
Odum EP. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada
Univ. Pr.
Purwanto Y, EB Waluyo dan JJ Afriastini. 2005. Keanekaragaman jenis hasil
hutan bukan kayu di Plot Permanen di sungai Tapah, Jambi. Tropical
Ethnobiology 2:88-110.
Purwanto Y dan EB Waluyo. 1992. Etnobotani Suku Dani di Lembah Baliem :
Tinjauan terhadap Pengetahuan dan Pemanfaatan Sumberdaya Tumbuhan. Di
Dalam Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani I. Cisarua,
Bogor.
Peter CM. 1994. Pemungutan Secara Lestari Sumber Daya Tumbuhan Non Kayu
Dalam Hutan Tropika Basah: Suatu Pengantar Ekologi. (Terjemahan Arman,
S.). Institut of Ekonomi Botany. Biodiversity Support Program. New York.
109
110
111
Gailea, R. 2005. Identifikasi Pemanfaatan Dan Pengembangan Tumbuhan Obat Di
Sekitar Taman Nasional Lore Lindu. [tesis]. Bogor: Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Given, D.R. 1994. Principles And Practice of Plant Concervation Timber Press
Inc. Portland Oregon.
Hendra M. 2002. Pemanfaatan Tumbuhan Buah-buahan dan Sayuran Liar Oleh
Suku Dayak Kenyah Kalimantan Timur. [disertasi]. Bogor: Program
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Kartikawati, S.M. 2004. Pemanfaatan Sumberdaya Tumbuhan Oleh Masyarakat
Dayak Meratus Di Kawasan Hutan Pegunungan Meratus Kabupaten Hulu
Sungai Tengah. [tesis]. Bogor: Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian
Bogor.
Krebs, C.J. 1978. Ecology: The experimental analysis of distribution and
abundance. Second Edition. New York: Harper and Row Publishers.
Loder J, and R. Neam.
1972. Tumour Inhibitory Plants: Two New
Bisbenzylisoguinoline Alkaloid From Pycnarrhena ozantha (Menispermaceae). Chemistry 25(10):2193-2197. http://www.publish. csiro.au/paper/
CH9722193.htm [2 Maret 2007].
Ludwig J.A. and J.F. Reynolds. 1988. Statistical Ecology: A primer on methods
and computing. New York: A Wiley-Interscience.
Magurran, A.E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. London: Croom
Helm Limited.
Maheswari, JK. 1988. Ethnobotanical research and documentation. Symb. Bot.
Usp. 28(3):207-217. Univ. Uppsala.
Martin, G.J. 1998. Etnobotani. Sebuah Manual Pemuliharaan Manusia dan
Tumbuhan. Edisi Bahasa Malaysia. Sabah: Natural History Publications
(Borneo).
MacKinnon, J.,K. MacKinnon, G. Child, J. Thorsell. 1993. Pengelolaan kawasan
yang dilindungi di daerah tropika. Alih bahasa: Harry Harsono Amir.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Noerdjito, M., dan dkk. 2005. Kriteria Jenis Hayati Yang Harus Dilindungi Oleh
Dan Untuk Masyarakat Indonesia. Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia dan World Agroforestry Centre-ICRAF. Bogor.
Nugraha A, M. 2005. Antropologi Kehutanan. Tanggerang: Wana Aksara.
112
Purwanto, Y. dan E.B. Waluyo. 1992. Etnobotani Suku Dani di Lembah Baliem :
Tinjauan terhadap Pengetahuan dan Pemanfaatan Sumberdaya Tumbuhan.
Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional Etnobotani I. Cisarua, Bogor.
Primack R.B., J., Supriatna, J., M., Indrawan, dan P., Kramadibrata. 1998. Biologi
Konservasi. Jakarta :Yayasan Obor Indonesia.
Singarimbun M, dan S., Effendie. 1989. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3S.
Soekarman dan S. Riswan. 1992. Status Pengetahuan Etnobotani Di Indonesia.
Prosiding Seminar Dan Lokakarya Nasional Etnobotani. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Departemen Pertanian
RI, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Perpustakaan Nasional RI.
Bogor.
Soerianegara, I dan A. Indrawan. 1985. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen
Manajemen Hutan. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Soegianto, A. 1994. Ekologi Kuantitatif: Metode Analisis Populasi dan
Komunitas. Usaha Nasional. Surabaya.
Sudarsono NSB dan EB Waluyo. Pengelolaan Data Etnobotani.dalam Prosiding
Seminar Dan Lokakarya Nasional Etnobotani. Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia, Departemen Pertanian RI, Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia, dan Perpustakaan Nasional RI. Bogor.
Sudarmadji. 2002. Pentingnya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati di Era Pelaksanaan Otonomi
Daerah. Dalam: Jurnal Ilmu Dasar Vol.3 No. 1.pp.50-55.
Uluk, A., M., Sudana, dan E., Wollenberg. 2001. Ketergantungan Masyarakat
Dayak Terhadap Hutan di Sekitar Taman Nasional Kayan Mentarang.
CIFOR (Center for International Forestry Research). Bogor.
Wilson, E.O. 1992. The Strategy for Biodiversity Concervation. Dalam: Global
Biodiversity Strategy (WRI, IUCN,UNEP). pp. 19-36.
Wong, J.L.G., K., Thornber, dan N., Baker. 2001. Resource Assessment of NonWood Forest Products. Food and Agriculture Organization of the United
Nations. Rome.
[UNEP] United Nations Environment Programme.1992. Strategi Keanekaragaman
Hayati Global. WRI. Washington.
Whitmore, T.C., dan J.A., Sayer. 1992. Tropical Deforestation and Species
Extinction, London: Chapman and Hall.
Zuhud, E.A.M., dan Haryanto. 1991. Pelestarian Pemanfaatan Tumbuhan Obat
dari Hutan tropis Indonesia (Prosiding). Jurusan Konservasi Sumberdaya
Hutan. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Asal suku
Jenis kelamin
Pekerjaan
Tingkat
Pendidikan
1 Rostina
30
Dayak Siberuang
Tani
2 Mita
35
Dayak Siberuang
3 Libu
42
Dayak Siberuang
4 Murni
56
5 Dayang Utami
Alamat
Agama
Protestan
Manfaat
yg diketahui
penyedap rasa
Bagian yg
dimanfaatkan
daun
Mendapatkan
sengkubak
mengambil
di hutan
SD
Tani
SD
Protestan
penyedap rasa
daun
mengambil
dihutan
Tani
tdk sekolah
Protestan
penyedap rasa
penangkal
daun
mengambil
di hutan
Dayak Siberuang
Pensiun guru/
tani
SPGc
Protestan
penyedap rasa
daun
memesan
dengan orang
62
Melayu
RT
SMP
Islam
penyedap rasa
daun
memesan
dengan orang
6 Abang Maslip B.
67
Melayu
Pensiun guru/
tani
SMP
Islam
daun
mengambil
di hutan
Tani
tdk sekolah
Islam
daun
batang
mengambil
di hutan
Melayu
Tani
SD
Islam
penyedap rasa
untuk jimat`/
penangkal
penyedap rasa
untuk obat
untuk penangkal
penyedap rasa
untuk obat
7 Halidjah
70
Melayu
8 Dayang Zaitun
62
daun
mengambil
di hutan
9 Bajung
42
Dayak Desa
Tani
SMP
Katolik
penyedap rasa
daun
mengambil
di hutan
10 Intana
60
Dayak Desa
Tani
tdk sekolah
Protestan
penyedap rasa
daun
mengambil
di hutan
11 Kumba
70
Dayak Desa
Tani
SD
Protestan
penyedap rasa
daun
mengambil
di hutan
12 Hermanus bintang
53
Dayak Desa
Tani
SD
Protestan
penyedap rasa
daun
mengambil
di hutan
13 Mad Amin
73
Melayu
Dukun
tdk sekolah
Dusun Ensaid
Desa Ensaid Panjang,
Kec. Kelam Permai
Dusun Najak
Desa Merpak
Kec. Kelam Permai
Dusun Najak
Desa Merpak
Kec. Kelam Permai
Dusun Ensaid
Desa Ensaid Panjang,
Kec. Kelam Permai
Jl. YC. Oevang Oeray
Gg. Gama Jaya Sintang
Islam
penyedap rasa
untuk obat
daun
mengambil
di hutan
14 Ukin
80
Dayak Siberuang
Tani
tdk sekolah
Protestan
penyedap rasa
daun
mengambil
di hutan
15 Damai
38
Dayak Siberuang
Tani
SMP
Katolik
penyedap rasa
daun
mengambil
Dusun Suak
Desa Manis Raya
Kec. Sepauk
Dusun Suak
16 Tayang
40
Dayak Siberuang
Tani
SD
di hutan
Katolik
penyedap rasa
daun
mengambil
di hutan
Alamat
Agama
Dusun Setambang
Desa Sirang Setambang
Kec. Sepauk
Dusun Setambang
Desa Sirang Setambang
Kec. Sepauk
Dusun Setambang
Desa Sirang Setambang
Kec. Sepauk
Dusun Medang
Desa Harapan Jaya
Kec. Dedai
Dusun Medang
Desa Harapan Jaya
Kec. Dedai
Jl. Kartini Kampung Alai
Sintang
Katolik
Manfaat
yg diketahui
penyedap rasa
"buntat"/teras
Bagian yg
dimanfaatkan
daun
buah (teras)
Mendapatkan
sengkubak
mengambil
di hutan
Katolik
penyedap rasa
daun
mengambil
di hutan
Katolik
penyedap rasa
daun
mengambil
di hutan
Katolik
penyedap rasa
daun
mengambil
di hutan
Katolik
penyedap rasa
daun
mengambil
di hutan
Islam
penyedap rasa
untuk obat
daun
mengambil
di hutan
Lampiran 1 Lanjutan (Daftar Nama Responden Sengkubak di Kabupaten Sintang Kalimantan Barat)
No. Nama Responden
Umur (th)
Asal suku
Jenis kelamin
17 Skadok
55
Dayak Sekujang
SD
18 Saminah
50
Dayak sekujang
Tani
SD
19 Julong
43
Dayak Sekujang
Tani
SMP
20 Suryati
43
Dayak Desa
Tani
SMP
21 Yuliana
27
Dayak Desa
Swasta
SMP
22 Koni
60
Melayu
Mantri
SPK
23 Yusharlina
36
Melayu
RT
SMA
Islam
penyedap rasa
untuk obat
daun
mengambil
di hutan
24 Usman
40
Melayu
Tani
SMP
Islam
penyedap rasa
untuk obat
daun
mengambil
di hutan
25 Machmud Effendi
64
Melayu
Pensiun TNI
SMP
Islam
penyedap rasa
untuk obat
daun
mengambil
di hutan
26 Atong
46
Dayak desa
Pedagang
SMP
Katolik
mengambil
di hutan
32
Dayak Siberuang
Tani
SMP
Katolik
penyedap rasa
jimat penawar
"buntat"
penyedap rasa
daun
buah (teras)
27 Moses
daun
mengambil
di hutan
28 Singki
42
Dayak Siberuang
Tani
SD
Katolik
penyedap rasa
daun
mengambil
di hutan
29 Began
52
Dayak Desa
Tani
SD
Katolik
penyedap rasa
jimat penawar
daun
buah (teras)
mengambil
di hutan
30 Lau
68
Dayak Siberuang
Tani
tidak sekolah
Katolik
penyedap rasa
daun
mengambil
di hutan
Lampiran 2. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan pohon di hutan adat I Dusun Sirang Kecamatan Sepauk, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
Nama Lokal
Cempedak
Pelok kelik
Karet
Kepuak
Kayu asam
Kumpang
Jambu Belanda
Ketikal
Jengkol
Medang
Ubah
Kayu ara
Mulik asuk
Puduk
Mawang
Mentawak
Gerantung
Nama Indonesia
Famili
Cempedak
Karet
Terap
Peredah burung
Jambu bol
Petaling
Moraceae
Sapindaceae
Euphorbiaceae
Moraceae
Sapindaceae
Myristicaceae
Myrtaceae
Olacaceae
Jengkol
Fabaceae
Medang
Kelat
Beringin
Sendok-sendok
Puduk
Kulim
Keledang
-
Lauraceae
Myrtaceae
Moraceae
Euphorbiaceae
Moraceae
Olacaceae
Moraceae
Fabaceae
Nama Ilmiah
Artocarpus integer (Thunb.) Merr.
Nephelium ramboutan-ake (Labill.) Leenh.
Hevea brasiliensis Muell. ARG
Artocarpus elasticus Reiwn.
Nephelium laurinum BI.
Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb.
Syzigium sp.
Ochanostachys amentancea Mast.
Pithecellobium jiringa Pram.
Litsea elliptica Blume
Syzygium zeylanicum (L.) DC.
Ficus spp.
Endospermum malacensis
Artocarpus kemando Miq.
Scorodacarpus borneensis Becc.
Artocarpus lanceifolius Roxburgh.
Fordia splendidissima (BI.ex Miq.) Buij.
K
(ind/ha)
KR
(%)
FR
(%)
DR
(%)
INP
(%)
12
1
30
6
2
8
1
3
3
10
5
2
2
1
1
1
2
13,33
1,11
33,33
6,67
2,22
8,89
1,11
3,33
3,33
11,11
5,56
2,22
2,22
1,11
1,11
1,11
2,22
0,44
0,04
0,72
0,24
0,08
0,24
0,04
0,12
0,12
0,36
0,20
0,08
0,08
0,04
0,04
0,04
0,08
14,86
1,35
24,32
8,11
2,70
8,11
1,35
4,05
4,05
12,16
6,76
2,70
2,70
1,35
1,35
1,35
2,70
1,33
0,20
3,48
0,79
0,13
1,09
0,09
0,43
0,28
1,42
0,37
1,40
0,22
0,05
0,16
0,16
0,37
11,10
1,67
29,04
6,61
1,12
9,12
0,77
3,62
2,31
11,90
3,09
11,70
1,80
0,45
1,30
1,34
3,07
39,29
4,13
86,70
21,38
6,04
26,11
3,23
11,01
9,70
35,17
15,40
16,62
6,72
2,91
3,76
3,80
8,00
90
100
2,96
100,00
11,97
100,00
300,00
Lampiran 3. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan pohon di hutan karet alam campuran I Dusun Suak, Kecamatan Sepauk, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
Nama Lokal
Karet
Mentawak
Leban
Selangking dada
Kepuak
Sengkajang
Kedadak
Pelaik pipit
Meniran
Entibab
Purang
Medang
Puduk
Pelaik bukit
Merhubong
Raba
Nyatuh
Jengkol
Cempedak
Kumpang
Sumpit
Keladan
Kempili
Nama Indonesia
Karet
Keledang
Laban
Tampang
Terap
Pulai pipit
Mahang
Medang
Puduk
Pulai
Mengkubang
Nyatoh terung
Jengkol
Cempedak
Peredah burung
Anyang-anyang
Keladan
Pasang
Famili
Euphorbiaceae
Moraceae
Verbenaceae
Moraceae
Moraceae
Anonaceae
Myristicaceae
Apocynaceae
Rubiaceae
Dipterocarpaceae
Euphorbiaceae
Lauraceae
Moraceae
Apocynaceae
Euphorbiaceae
Anacardiaceae
Sapotaceae
Fabaceae
Moraceae
Myristicaceae
Elaeocarpaceae
Dipterocarpaceae
Fagaceae
Nama Ilmiah
Hevea brasiliensis Muell. ARG
Artocarpus lanceifolius Roxburgh.
Vitex pubescens
Artocarpus dadah Miq.
Artocarpus elasticus Reinw.
Xylopia ferruginea (Hk.f.ex Thoms.) Sinclair
Myristica villosa
Alstonia angustifolia King ex Gamble
Lasianthus sp.
Dryobalanops fuscas
Macaranga pruinosa (Miq.) Muell. Arg.
Litsea elliptica Blume
Artocarpus kemando Miq.
Alstonia scholaris (L.) R. Br.
Macaranga gigantea Muell.
Mangifera havilandii
Palaquium rostratum (Miq.) Burck.
Pithecellobium jiringa Pram.
Artocarpus integer (Thunb.) Merr.
Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb.
Elaeocarpus griffithii (Wight.) A. Gray
Hopea dryobalanoides Miq.
Quercus Sp.
K
(ind/ha)
KR
(%)
FR
(%)
DR
(%)
INP
(%)
31
7
3
4
11
4
1
11
2
1
1
2
1
6
3
1
1
1
5
1
1
2
1
30,69
6,93
2,97
3,96
10,89
3,96
0,99
10,89
1,98
0,99
0,99
1,98
0,99
5,94
2,97
0,99
0,99
0,99
4,95
0,99
0,99
1,98
0,99
0,84
0,28
0,08
0,16
0,32
0,16
0,04
0,40
0,04
0,04
0,04
0,08
0,04
0,20
0,12
0,04
0,04
0,04
0,12
0,04
0,04
0,08
0,04
25,61
8,54
2,44
4,88
9,76
4,88
1,22
12,20
1,22
1,22
1,22
2,44
1,22
6,10
3,66
1,22
1,22
1,22
3,66
1,22
1,22
2,44
1,22
2,81
0,65
0,14
0,22
1,19
0,24
0,11
0,89
0,12
0,04
0,04
0,08
0,05
0,53
0,26
0,04
0,08
0,09
0,43
0,08
0,07
0,04
0,04
34,15
7,86
1,64
2,65
14,50
2,93
1,36
10,77
1,48
0,49
0,51
0,97
0,62
6,40
3,21
0,44
0,94
1,12
5,17
0,97
0,88
0,43
0,51
90,45
23,33
7,05
11,49
35,15
11,77
3,57
33,85
4,68
2,70
2,72
5,39
2,83
18,44
9,84
2,65
3,15
3,33
13,78
3,18
3,09
4,85
2,72
101
100,00
3,28
100,00
8,22
100,00
300,00
Lampiran 4. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan pohon di hutan karet alam campuran II Dusun Suak Kecamatan Sepauk, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
Nama Lokal
Keladan
Ubah
Nyatuh
Pakit
Ubah merah
Ubah putih
Medang
Kempenat
Tajar
Pelaik bukit
Mulan
Titidan
Karet
Pelaik pipit
Puduk
Ketikal
Mentawak
Kempili
Nyatu ensik
Upik
Keretali
Belengkiang
Jangau
Medang bulai
Purang
Kepuak
Jengkol
Cempedak
Perigi
Engkerbang
Tengkawang
Leban
Nama Indonesia
Keladan
Kelat
Nyatoh terung
Meranti
Kelat
Medang
Pulai
Karet
Pulai pipit
Puduk
Petaling
Keledang
Pasang
Nyatoh
Jirak
Jirak
Kayu gambir
Mahang
Terap
Jengkol
Cempedak
Jirak
Tengkawang
Laban
Famili
Dipterocarpaceae
Myrtaceae
Sapotaceae
Dipterocarpaceae
Myrtaceae
Myrtaceae
Lauraceae
Alangiaceae
Sapindaceae
Apocynaceae
Rubiaceae
Sapindaceae
Euphorbiaceae
Apocynaceae
Moraceae
Olacaceae
Moraceae
Fagaceae
Sapotaceae
Anacardiaceae
Euphorbiaceae
Symplocaceae
Symplocaceae
Ulmaceae
Euphorbiaceae
Moraceae
Fabaceae
Moraceae
Theaceae
Rubiaceae
Dipterocarpaceae
Verbenaceae
Nama Ilmiah
Hopea dryobalanoides Miq.
Syzygium zeylanicum (L.) DC.
Palaquium rostratum (Miq.) Burck.
Shorea sp.
Eugenia acuntangula Schum.
Syzygium sp.
Litsea elliptica Blume
Alangium salviniolium (L.f.) Wangerin
Nephelium cuspidatum BI.
Alstonia scholaris (L.) R. Br.
Lasianthus reticulatus BI.
Nephelium cuspidatum BI. Var.eriopetalum
Hevea brasiliensis Muell. ARG
Alstonia angustifolia King ex Gamble
Artocarpus kemando Miq.
Ochanostachys amentancea Mast.
Artocarpus lanceifolius Roxburgh.
Quercus Sp.
Palaquium sericeum H.J. Lam
Parishia insignis Hook. f.
Macaranga javanica Hk. f
Symplocos sp.
Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore
Gironniera subaequalis Planch.
Macaranga pruinosa (Miq.) Muell. Arg.
Artocarpus elasticus Reinw.
Pithecellobium jiringa Pram.
Artocarpus integer (Thunb.) Merr.
Eurya nitida Khs.
Psychotria cf. sarmentosa BI.
Shorea stenoptera Burck.
Vitex pubescens
K
(ind/ha)
KR
(%)
FR
(%)
DR
(%)
INP
(%)
5
7
4
2
1
3
9
1
1
3
1
4
25
2
3
1
2
4
2
1
2
1
4
2
2
3
1
1
1
2
1
1
4,90
6,86
3,92
1,96
0,98
2,94
8,82
0,98
0,98
2,94
0,98
3,92
24,51
1,96
2,94
0,98
1,96
3,92
1,96
0,98
1,96
0,98
3,92
1,96
1,96
2,94
0,98
0,98
0,98
1,96
0,98
0,98
0,16
0,28
0,16
0,04
0,04
0,12
0,28
0,04
0,04
0,12
0,04
0,12
0,52
0,08
0,12
0,04
0,08
0,16
0,08
0,04
0,08
0,04
0,12
0,08
0,08
0,12
0,04
0,04
0,04
0,08
0,04
0,04
4,76
8,33
4,76
1,19
1,19
3,57
8,33
1,19
1,19
3,57
1,19
3,57
15,48
2,38
3,57
1,19
2,38
4,76
2,38
1,19
2,38
1,19
3,57
2,38
2,38
3,57
1,19
1,19
1,19
2,38
1,19
1,19
1,36
0,80
0,38
0,13
0,06
0,17
0,63
0,43
0,12
0,21
0,07
0,19
1,53
0,25
0,23
0,09
0,10
0,68
0,22
0,05
0,12
0,03
0,29
0,19
0,15
0,30
0,17
0,15
0,09
0,10
0,25
0,04
14,23
8,37
3,99
1,33
0,61
1,81
6,62
4,50
1,23
2,16
0,70
2,02
15,95
2,63
2,44
0,92
0,99
7,05
2,32
0,50
1,26
0,33
3,04
1,96
1,52
3,15
1,78
1,60
0,97
1,00
2,58
0,45
23,90
23,56
12,67
4,48
2,78
8,32
23,77
6,67
3,40
8,67
2,87
9,52
55,94
6,97
8,95
3,09
5,33
15,74
6,66
2,67
5,60
2,50
10,53
6,30
5,87
9,66
3,96
3,77
3,14
5,34
4,75
2,62
102
100,00
3,36
100,00
9,58
100,00
300,00
Lampiran 5. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan pohon di hutan adat II Dusun Medang Kecamatan Dedai, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
Nama Lokal
Petai
Piling
Menyatuk Babi
Kelampai
Berangan Badak
Merkubong
Ingit
Kumpang
Ranjing
Bejantang
Cempedak
Pingan
Salak hutan
Ubah
Medang
Liur Unoi
Kayu asam
Kiara timun
Pensik
Ran
Ketugan
Kemulan
Temulan
Pejatai
Mentawak
Kempili
Ramuas
Kedang
Labang
Menteli
Entangor
Tekam
Keladan
Nama Indonesia
Famili
Nama Ilmiah
Petai
Fabaceae
Nyatoh
Tapos
Balau
Fagaceae
Sapotaceae
Euphorbiaceae
Rosaceae
Mengkubang
Euphorbiaceae
Putat
Peredah burung
Cempedak
Kosar
Kelat
Medang
Kayu bulan
Pasang
Selampan taon
Miri
Pejatai
Terap
Pasang
Dulang-dulang
Setambun
Bintangur
Meranti
Keladan
Lecythidaceae
Myristicaceae
Rubiaceae
Sapindaceae
Moraceae
Moraceae
Burseraceae
Myrtaceae
Lauraceae
Lecythidaceae
Sapindaceae
Moraceae
Anonaceae
Sapindaceae
Fagaceae
Myristicaceae
Meliaceae
Moraceae
Moraceae
Fagaceae
Euphorbiaceae
Euphorbiaceae
Euphorbiaceae
Rosaceae
Clusiaceae
Dipterocarpaceae
Dipterocarpaceae
Barringtonia sp.
Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb.
Anthocephalus cadamba Miq.
Pometia pinnata Forst.
Artocarpus integer (Thunb.) Merr.
Artocarpus rigidus BI.
Dacryodes rugosa (Blume) H.J. Lam.
Syzygium zeylanicum (L.) DC.
Litsea elliptica Blume
Barringtonia reticulata (BI.) Miq.
Nephelium laurinum BI.
Ficus aurata Miq.
Polyalthia glauca
Lepisanthes divaricata
Quercus blumeana Korth.
Knema hookeriana Warb.
Xylocarpus granatum Koen
Paratocarpus venenosus
Artocarpus lanceifolius Roxburgh.
Quercus sp.
Glochidion obscurum Hook.
Beccaurea parviflora
Chaetocarpus castanocarpus Thw.
Prunus arborea (BI.) Kalkman
Calophyllum soulatri Burm. f.
Hopea sp.
Hopea dryobalanoides Miq.
K
(ind/ha)
KR
(%)
FR
(%)
DR
(%)
INP
(%)
12
1
2
34
3
5
1
1
2
2
6
2
1
8
8
1
1
1
1
1
1
1
5
1
7
3
1
2
1
3
3
3
3
9,45
0,79
1,57
26,77
2,36
3,94
0,79
0,79
1,57
1,57
4,72
1,57
0,79
6,30
6,30
0,79
0,79
0,79
0,79
0,79
0,79
0,79
3,94
0,79
5,51
2,36
0,79
1,57
0,79
2,36
2,36
2,36
2,36
0,36
0,04
0,08
0,80
0,08
0,12
0,04
0,04
0,08
0,08
0,24
0,08
0,04
0,24
0,24
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,12
0,04
0,24
0,12
0,04
0,04
0,04
0,12
0,12
0,12
0,12
9,09
1,01
2,02
20,20
2,02
3,03
1,01
1,01
2,02
2,02
6,06
2,02
1,01
6,06
6,06
1,01
1,01
1,01
1,01
1,01
1,01
1,01
3,03
1,01
6,06
3,03
1,01
1,01
1,01
3,03
3,03
3,03
3,03
2,55
0,03
0,21
3,24
0,85
0,40
0,03
0,08
0,22
0,18
0,69
0,16
0,11
0,46
2,38
0,04
0,05
0,57
0,05
0,20
0,22
0,13
0,24
0,28
1,03
0,26
0,08
0,23
0,11
0,17
0,26
0,50
0,31
15,63
0,20
1,30
19,82
5,23
2,47
0,21
0,51
1,36
1,10
4,22
1,00
0,69
2,79
14,56
0,21
0,28
3,47
0,32
1,24
1,33
0,77
1,44
1,73
6,33
1,60
0,48
1,38
0,69
1,02
1,62
3,07
1,92
34,17
2,00
4,90
66,79
9,61
9,44
2,01
2,31
4,95
4,70
15,01
4,60
2,49
15,15
26,92
2,01
2,08
5,27
2,12
3,03
3,13
2,57
8,41
3,52
17,90
7,00
2,27
3,96
2,49
6,41
7,01
8,47
7,31
127
100,00
3,96
100,00
16,34
100,00
300,00
Lampiran 6. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan tiang di hutan adat I Dusun Sirang Kecamatan Sepauk, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Nama Lokal
Kumpang
Karet
Sengkajang
Sumpit
Medang
Puduk
Gerantung
Pelaik pipit
Cempedak
Kayu asam
Selangking dada
Ubah
Bidau
Pelok kelik
Upik
Sabar bubu
Mentawak
Jengkol
Nama Indonesia
Peredah burung
Karet
Anyang-anyang
Medang
Puduk
Pulai pipit
Cempedak
Tampang
Kelat
Melinjo
Keledang
Jengkol
Famili
Myristicaceae
Euphorbiaceae
Anonaceae
Elaeocarpaceae
Lauraceae
Moraceae
Fabaceae
Apocynaceae
Moraceae
Sapindaceae
Moraceae
Myrtaceae
Gnetaceae
Sapindaceae
Anacardiaceae
Rubiaceae
Moraceae
Fabaceae
Nama Ilmiah
Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb.
Hevea brasiliensis Muell. ARG
Xylopia ferruginea (Hk.f.ex Thoms.) Sinclair
Elaeocarpus griffithii (Wight.) A. Gray
Litsea elliptica Blume
Artocarpus kemando MIQ
Fordia splendidissima (BI.ex Miq.) Buij.
Alstonia angustifolia King ex Gamble
Artocarpus integer (Thunb.) Merr.
Nephelium laurinum BI.
Artocarpus dadah Miq.
Syzygium zeylanicum (L.) DC.
Gnetum gnemon L. var. brunonianum Mgf.
Nephelium ramboutan-ake (Labill.) Leenh.
Parishia insignis Hook. f.
Gaertnera vaginans (DC.) Merr.
Artocarpus lanceifolius Roxburgh.
Pithecellobium jiringa Pram.
KR
(%)
FR
(%)
DR
(%)
INP
(%)
32
136
4
8
32
8
24
16
16
12
8
20
12
4
4
4
4
4
9,20
39,08
1,15
2,30
9,20
2,30
6,90
4,60
4,60
3,45
2,30
5,75
3,45
1,15
1,15
1,15
1,15
1,15
0,28
0,68
0,04
0,08
0,32
0,08
0,24
0,16
0,16
0,12
0,08
0,20
0,12
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
10,14
24,64
1,45
2,90
11,59
2,90
8,70
5,80
5,80
4,35
2,90
7,25
4,35
1,45
1,45
1,45
1,45
1,45
0,46
1,99
0,09
0,15
0,47
0,14
0,51
0,30
0,27
0,28
0,17
0,39
0,26
0,05
0,08
0,07
0,05
0,10
7,96
34,19
1,60
2,51
8,10
2,32
8,70
5,07
4,62
4,76
2,85
6,72
4,49
0,91
1,38
1,17
0,93
1,74
27,30
97,91
4,20
7,71
28,89
7,52
24,29
15,47
15,02
12,56
8,05
19,71
12,28
3,51
3,97
3,77
3,53
4,33
348
100,00
2,76
100,00
5,82
100,00
300,00
Lampiran 7. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan tiang di hutan karet alam campuran I Dusun Suak Kecamatan Sepauk, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
Nama Lokal
Purang
Karet
Medang
Leban
Kedadak
Raba
Mansing
Pelaik pipit
Ketikal
Engkerbang
Kayu asam
Unik
Sengkajang
Jangau
Medang bulai
Keladan
Pensik
Durian
Selangking dada
Pelaik bukit
Kepuak
Kempili
Jengkol
Bar
Pantat rusa
Merhubong
Cempedak
Kumpang
Ubah
Nama Indonesia
Mahang
Karet
Medang
Laban
Pulai pipit
Petaling
Kayu lentadak
Jirak
Kayu gambir
Keladan
Kayu bulan
Durian
Tampang
Pulai
Terap
Pasang
Jengkol
Jirak
Mengkubang
Cempedak
Peredah burung
Kelat
Famili
Euphorbiaceae
Euphorbiaceae
Lauraceae
Verbenaceae
Myristicaceae
Anacardiaceae
Hipericaceae
Apocynaceae
Olacaceae
Rubiaceae
Sapindaceae
Sapindaceae
Anonaceae
Symplocaceae
Ulmaceae
Dipterocarpaceae
Anonaceae
Bombaceae
Moraceae
Apocynaceae
Moraceae
Fagaceae
Fabaceae
Symplocaceae
Myrsinaceae
Euphorbiaceae
Moraceae
Myristicaceae
Myrtaceae
Nama Ilmiah
Macaranga pruinosa (Miq.) Muell. Arg.
Hevea brasiliensis Muell. ARG
Litsea elliptica Blume
Vitex pubescens
Myristica villosa
Mangifera havilandii
Cratoxylum cochinchinense (Lour.) BI.
Alstonia angustifolia King ex Gamble
Ochanostachys amentancea Mast.
Psychotria cf. sarmentosa BI.
Nephelium laurinum BI.
Guioa pleuropteris (BI.) Radlk.
Xylopia ferruginea (Hk.f.ex Thoms.) Sinclair
Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore
Gironniera subaequalis Planch.
Hopea dryobalanoides Miq.
Polyalthia glauca
Durio zibethinus
Artocarpus dadah Miq.
Alstonia scholaris (L.) R. Br.
Artocarpus elasticus Reinw.
Quercus Sp.
Pithecellobium jiringa Pram.
Symplocos sp.
Ardisia cf. lanceolatum Roxburgh
Macaranga gigantea Muell.
Artocarpus integer (Thunb.) Merr.
Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb.
Syzygium zeylanicum (L.) DC.
KR
(%)
FR
(%)
DR
(%)
INP
(%)
16
80
12
16
4
8
4
24
4
4
4
4
12
12
40
20
4
8
4
8
4
4
4
4
4
4
4
4
4
4,94
24,69
3,70
4,94
1,23
2,47
1,23
7,41
1,23
1,23
1,23
1,23
3,70
3,70
12,35
6,17
1,23
2,47
1,23
2,47
1,23
1,23
1,23
1,23
1,23
1,23
1,23
1,23
1,23
0,12
0,60
0,12
0,16
0,04
0,08
0,04
0,24
0,04
0,04
0,04
0,04
0,12
0,12
0,32
0,16
0,04
0,08
0,04
0,08
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
4,17
20,83
4,17
5,56
1,39
2,78
1,39
8,33
1,39
1,39
1,39
1,39
4,17
4,17
11,11
5,56
1,39
2,78
1,39
2,78
1,39
1,39
1,39
1,39
1,39
1,39
1,39
1,39
1,39
0,22
1,46
0,16
0,21
0,04
0,11
0,03
0,28
0,06
0,05
0,06
0,05
0,14
0,20
0,61
0,24
0,07
0,11
0,09
0,15
0,08
0,03
0,08
0,06
0,04
0,04
0,10
0,04
0,03
4,60
30,00
3,28
4,37
0,90
2,28
0,70
5,66
1,31
1,05
1,29
0,96
2,83
4,12
12,52
4,99
1,48
2,34
1,85
3,12
1,68
0,66
1,66
1,15
0,90
0,72
2,07
0,80
0,70
13,70
75,53
11,15
14,86
3,53
7,52
3,32
21,40
3,94
3,67
3,92
3,59
10,70
12,00
35,97
16,72
4,10
7,59
4,47
8,37
4,31
3,28
4,29
3,77
3,53
3,34
4,70
3,42
3,32
324
100,00
2,88
100,00
4,87
100,00
300,00
Lampiran 8. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan tiang di hutan karet alam campuran II Dusun Suak Kecamatan Sepauk, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
29
30
31
32
33
34
35
36
Nama Lokal
Kumpang
Nyatu
Medang
Selangking dada
Pakit
Kayu asam
Menteli
Ubah
Karet
Upik
Kempili
Gentelang
Puduk
Ubah merah
Ubah putih
Pelaik pipit
Kayu malam
Pendok
Belian
Mentawak
Ketikal
Tajar
Bar
Medang bulai
Merhubong
Jangau
Unik
Kepuak
Gerantung
Keladan
Keretali
Cempedak
Leban
Jengkol
Pelaik bukit
Nama Indonesia
Peredah burung
Nyatoh terung
Medang
Tampang
Meranti
Kelat
Karet
Pasang
Puduk
Kelat
Kelat
Pulai pipit
Kayu itam
Ulin/kayu besi
Keledang
Petaling
Jirak
Kayu gambir
Mengkubang
Jirak
Kayu lentadak
Terap
Keladan
Mahang
Cempedak
Laban
Jengkol
Pulai
Famili
Myristicaceae
Sapotaceae
Lauraceae
Moraceae
Dipterocarpaceae
Sapindaceae
Rosaceae
Myrtaceae
Euphorbiaceae
Anacardiaceae
Fagaceae
Clusiaceae
Moraceae
Myrtaceae
Myrtaceae
Apocynaceae
Ebenaceae
Anonaceae
Lauraceae
Moraceae
Olacaceae
Sapindaceae
Symplocaceae
Ulmaceae
Euphorbiaceae
Symplocaceae
Sapindaceae
Moraceae
Fabaceae
Dipterocarpaceae
Euphorbiaceae
Moraceae
Verbenaceae
Fabaceae
Apocynaceae
Nama Ilmiah
Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb.
Palaquium rostratum (Miq.) Burck.
Litsea elliptica Blume
Artocarpus dadah Miq.
Shorea sp.
Nephelium laurinum BI.
Prunus arborea (BI.) Kalkman ssp. arborea
Syzygium zeylanicum (L.) DC.
Hevea brasiliensis Muell. ARG
Parishia insignis Hook. f.
Quercus Sp.
Garcinia lateriflora BI.
Artocarpus kemando Miq.
Eugenia acuntangula Schum.
Syzygium sp.
Alstonia angustifolia King ex Gamble
Diospyros sp.
Cyathocalyx biovulatus Boerl.
Eusideroxylon zwageri
Artocarpus lanceifolius Roxburgh.
Ochanostachys amentancea Mast.
Nephelium cuspidatum BI.
Symplocos sp.
Gironniera subaequalis Planch.
Macaranga gigantea Muell.
Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore
Guioa pleuropteris (BI.) Radlk.
Artocarpus elasticus Reinw.
Fordia splendidissima (BI.ex Miq.) Buij.
Hopea dryobalanoides Miq.
Macaranga javanica Hk. f
Artocarpus integer (Thunb.) Merr.
Vitex pubescens
Pithecellobium jiringa Pram.
Alstonia scholaris (L.) R. Br.
KR
(%)
FR
(%)
DR
(%)
INP
(%)
20
24
20
4
4
8
4
32
92
4
8
4
20
8
8
4
4
8
4
12
4
4
8
20
4
12
4
4
4
12
4
4
4
4
4
5,15
6,19
5,15
1,03
1,03
2,06
1,03
8,25
23,71
1,03
2,06
1,03
5,15
2,06
2,06
1,03
1,03
2,06
1,03
3,09
1,03
1,03
2,06
5,15
1,03
3,09
1,03
1,03
1,03
3,09
1,03
1,03
1,03
1,03
1,03
0,20
0,20
0,16
0,04
0,04
0,08
0,04
0,32
0,56
0,04
0,08
0,04
0,20
0,08
0,08
0,04
0,04
0,08
0,04
0,12
0,04
0,04
0,08
0,16
0,04
0,12
0,04
0,04
0,04
0,08
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
5,95
5,95
4,76
1,19
1,19
2,38
1,19
9,52
16,67
1,19
2,38
1,19
5,95
2,38
2,38
1,19
1,19
2,38
1,19
3,57
1,19
1,19
2,38
4,76
1,19
3,57
1,19
1,19
1,19
2,38
1,19
1,19
1,19
1,19
1,19
0,31
0,38
0,30
0,07
0,06
0,10
0,05
0,45
1,39
0,04
0,15
0,06
0,32
0,13
0,15
0,04
0,04
0,09
0,06
0,23
0,07
0,06
0,10
0,34
0,05
0,17
0,04
0,07
0,05
0,20
0,07
0,06
0,04
0,10
0,04
5,20
6,43
5,18
1,23
1,07
1,77
0,92
7,69
23,61
0,75
2,59
0,95
5,37
2,23
2,62
0,70
0,63
1,45
1,01
3,87
1,23
1,06
1,77
5,73
0,87
2,97
0,72
1,26
0,82
3,39
1,11
0,94
0,63
1,64
0,61
16,31
18,56
15,10
3,45
3,30
6,22
3,14
25,46
63,98
2,97
7,03
3,18
16,48
6,68
7,07
2,92
2,85
5,89
3,23
10,53
3,45
3,28
6,22
15,64
3,09
9,63
2,94
3,48
3,04
8,87
3,33
3,16
2,85
3,86
2,84
388
100,00
3,36
100,00
5,87
100,00
300,00
Lampiran 9. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan tiang di hutan adat II Dusun Medang Kecamatan Dedai, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
Nama Lokal
Dadak
Ubah
Singka
Kelampai
Selangking dada
Pial
Cempedak
Sumpit
Kelangking
Tengkawang
Mang
Kantik
Engkerbang
Purang
Mentawak
Pantat rusa
Pantat daun
Mengelas
Nama Indonesia
Famili
Tampang
Moraceae
Prainea frutescens
Kelat
Myrtaceae
Euphorbiaceae
Agrostistachys longifolia
Tapos
Tampang
Euphorbiaceae
Moraceae
Pauh bayan
Simaraubaceae
Irvingia malayana
Cempedak
Anyang-anyang
Sukun
Tengkawang
Kulim
Mahang
Keledang
Kayu panu
Kayu lampan
Moraceae
Elaeocarpaceae
Moraceae
Dipterocarpaceae
Clusiaceae
Olacaceae
Rubiaceae
Euphorbiaceae
Moraceae
Myrsinaceae
Rubiaceae
Verbenaceae
Ranjing
Rubiaceae
Upik
Entangor
Bintangur
Mengkubang
Anacardiaceae
Clusiaceae
Euphorbiaceae
Merkubong
Piling
Kelapan
Kayu malam
Beringin hijau
Medang
Pingan
Durian
Kumpang
Rambai
Jengkol
Keladan
Kelampu
Sengkajang
Nyatuh
Mantut
Puduk
Nama Ilmiah
Fagaceae
Lithocarpus dasystachyus
Geronggang
Kayu itam
Kayu pudak
Medang
Kosar
Durian
Peredah burung
Jengkol
Keladan
Kecapi
Nyatoh terung
Puduk
Hypericaceae
Ebenaceae
Anonaceae
Lauraceae
Moraceae
Bombaceae
Myristicaceae
Oxalidaceae
Fabaceae
Dipterocarpaceae
Meliaceae
Anonaceae
Sapotaceae
Meliaceae
Moraceae
Cratoxylum glaucum
Diospyros sp.
Goniothalamus tapis Miq.
Litsea elliptica Blume
Artocarpus rigidus BI.
Durio zibethinus
Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb.
Sarcotheca macrophylla (Planch ex Hk.f.) Hall.f
Pithecellobium jiringa (Jack) Prain ex King
Hopea dryobalanoides Miq.
Sandoricum koetjape
Xylopia ferriginea (Hk.f.ex Thoms.) Sinclair
Palaquium rostratum (Miq.) Burck.
Walsura chrysogyne (Miq.) Bakh. f.
Artocarpus kemando Miq.
KR
(%)
16
60
4
84
8
4
44
4
4
20
4
4
40
16
4
4
8
4
16
8
20
12
4
8
24
4
20
4
4
8
4
4
16
8
4
16
8
4
3,030
11,364
0,758
15,909
1,515
0,758
8,333
0,758
0,758
3,788
0,758
0,758
7,576
3,030
0,758
0,758
1,515
0,758
3,030
1,515
3,788
2,273
0,758
1,515
4,545
0,758
3,788
0,758
0,758
1,515
0,758
0,758
3,030
1,515
0,758
3,030
1,515
0,758
F
0,12
0,6
0,04
0,44
0,08
0,04
0,36
0,04
0,04
0,12
0,04
0,04
0,28
0,12
0,04
0,04
0,08
0,04
0,12
0,04
0,16
0,12
0,04
0,08
0,24
0,04
0,16
0,04
0,04
0,08
0,04
0,04
0,08
0,08
0,04
0,16
0,04
0,04
FR
(%)
DR
(%)
2,830
14,151
0,943
10,377
1,887
0,943
8,491
0,943
0,943
2,830
0,943
0,943
6,604
2,830
0,943
0,943
1,887
0,943
2,830
0,943
3,774
2,830
0,943
1,887
5,660
0,943
3,774
0,943
0,943
1,887
0,943
0,943
1,887
1,887
0,943
3,774
0,943
0,943
0,270
0,979
0,038
1,298
0,112
0,073
0,609
0,040
0,089
0,304
0,054
0,059
0,562
0,280
0,066
0,071
0,099
0,054
0,206
0,070
0,239
0,202
0,097
0,066
0,309
0,032
0,313
0,059
0,074
0,085
0,053
0,043
0,289
0,112
0,051
0,216
0,100
0,055
3,494
12,668
0,492
16,796
1,449
0,945
7,880
0,518
1,152
3,934
0,699
0,763
7,272
3,623
0,854
0,919
1,281
0,699
2,666
0,906
3,093
2,614
1,255
0,854
3,998
0,414
4,050
0,763
0,958
1,100
0,686
0,556
3,740
1,449
0,660
2,795
1,294
0,712
INP
(%)
9,354
38,183
2,193
43,083
4,851
2,646
24,704
2,219
2,853
10,552
2,400
2,464
21,452
9,484
2,555
2,620
4,683
2,400
8,526
3,364
10,654
7,717
2,956
4,256
14,204
2,115
11,612
2,464
2,659
4,502
2,387
2,257
8,657
4,851
2,361
9,599
3,753
2,413
528
100
4,24
100,000
7,728 100,000
300,000
Lampiran 10. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan pancang di hutan adat I Dusun Sirang Kecamatan Sepauk, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
Nama Lokal
Medang
Gaharu
Karet
Legai
Kemantan
Kerangkai
Kandis
Linang
Pelok kelik
Jambu belanda
Cempedak
Gerantung
Bidau
Kumpang
Ubah
Jengkol
Keradilah
Kayu asam
Puduk
Pelaik pipit
Mentawak
Lipis kulit
Sumpit
Sabar bubu
Nama Indonesia
Medang
Kayu garu
Karet
Kelepang
Embacang
Kandis
Rambutan
Jambo bol
Cempedak
Melinjo
Peredah burung
Kelat
Jengkol
Beruwas
Puduk
Pulai pipit
Keledang
Temberas
Anyang-anyang
-
Famili
Lauraceae
Thymelaceae
Euphorbiaceae
Theaceae
Anacardiaceae
Icacinaceae
Clusiaceae
Sapindaceae
Sapindaceae
Myrtaceae
Moraceae
Fabaceae
Gnetaceae
Myristicaceae
Myrtaceae
Fabaceae
Clusiaceae
Sapindaceae
Moraceae
Apocynaceae
Moraceae
Melastomataceae
Elaeocarpaceae
Rubiaceae
Nama Ilmiah
Litsea elliptica Blume
Gonystylus bancanus Kurs.
Hevea brasiliensis Muell. ARG
Adinandra dumosa Jack
Mangifera foetida Lour.
Gomphandra quadrifida (BI.) Sleumer
Garcinia parvifolia (Miq.) Miq.
Nephelium sp.
Nephelium ramboutan-ake (Labill.) Leenh.
Syzygium sp.
Artocarpus integer (Thunb.) Merr.
Fordia splendidissima (BI.ex Miq.) Buij.
Gnetum gnemon L. var. brunonianum Mgf.
Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb.
Syzygium zeylanicum (L.) DC.
Pithecellobium jiringa Pram.
Garcinia cf. celebica L.
Nephelium laurinum BI.
Artocarpus kemando Miq.
KR
(%)
FR
(%)
96
16
480
32
112
16
16
16
32
16
96
80
64
128
80
64
16
32
32
16
16
16
16
32
6,32
1,05
31,58
2,11
7,37
1,05
1,05
1,05
2,11
1,05
6,32
5,26
4,21
8,42
5,26
4,21
1,05
2,11
2,11
1,05
1,05
1,05
1,05
2,11
0,20
0,04
0,64
0,08
0,28
0,04
0,04
0,04
0,08
0,04
0,20
0,20
0,16
0,32
0,20
0,16
0,04
0,08
0,08
0,04
0,04
0,04
0,04
0,08
6,33
1,27
20,25
2,53
8,86
1,27
1,27
1,27
2,53
1,27
6,33
6,33
5,06
10,13
6,33
5,06
1,27
2,53
2,53
1,27
1,27
1,27
1,27
2,53
1520
100,00
3,16
100,00
D
0,07
0,03
0,07
0,02
0,18
0,00
0,02
0,07
0,02
0,01
0,13
0,06
0,05
0,19
0,05
0,04
0,04
0,02
0,09
0,01
0,01
0,00
0,03
0,05
DR
(%)
INP
(%)
5,78
2,55
5,26
1,82
14,54
0,14
1,44
5,90
1,42
0,73
10,20
5,02
4,18
14,68
4,21
3,19
2,80
1,37
7,19
0,84
0,40
0,25
2,29
3,79
18,43
4,87
57,09
6,46
30,77
2,46
3,76
8,22
6,06
3,04
22,84
16,61
13,45
33,23
15,80
12,46
5,11
6,01
11,83
3,16
2,72
2,57
4,61
8,42
1,26 100,00
300,00
Lampiran 11. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan pancang di hutan karet alam campuran I Dusun Suak Kecamatan Sepauk, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Famili
Mawang
Karet
Mentawak
Medang bulai
Kepuak
Bar
Sengkajang
Ubah
Purang
Jengkol
Leban
Keretali
Mansing
Male angin
Engkerbang
Kopi hutan
Jangau
Kumpang
Medang
Keladan
Mang
Simpur
Tengkawang
Langkang ruai
Pakit
Puduk
Pelaik pipit
Kayu asam
Selangking dada
Gentelang
Mahang
Karet
Keledang
Kayu gambir
Terap
Jirak
Kelat
Mahang
Jengkol
Laban
Petaling
Namiwiran
Jirak
Peredah burung
Medang
Keladan
Sempur
Tengkawang
Meranti
Puduk
Pulai pipit
Tampang
-
Euphobiaceae
Euphorbiaceae
Moraceae
Ulmaceae
Moraceae
Symplocaceae
Anonaceae
Myrtaceae
Euphorbiaceae
Fabaceae
Verbenaceae
Euphorbiaceae
Hipericaceae
Urticaceae
Rubiaceae
Rubiaceae
Symplocaceae
Myristicaceae
Lauraceae
Dipterocarpaceae
Clusiaceae
Dilleniaceae
Dipterocarpaceae
Euphorbiaceae
Dipterocarpaceae
Moraceae
Apocynaceae
Sapindaceae
Moraceae
Clusiaceae
Raba
Anacardiaceae
Nama Ilmiah
KR
(ind/ha)
Macaranga sp.
16
Hevea brasiliensis Muell. ARG
432
Artocarpus lanceifolius Roxburgh.
16
Gironniera subaequalis Planch.
96
Artocarpus elasticus Reinw.
16
Symplocos sp.
80
Xylopia ferruginea (Hk.f.ex Thoms.) Sinclair
32
Syzygium zeylanicum (L.) DC.
64
Macaranga pruinosa (Miq.) Muell. Arg.
32
Pithecellobium jiringa Pram.
48
Vitex pubescens
64
Macaranga javanica Hk. f.
16
Cratoxylum cochinchinense (Lour.) BI.
16
Leucosyke capitellata (Poirret) Wedd.
16
Psychotria sp.
112
Tricalysia singularis Korth.
16
Symplocos cochincinensis (Lour.) Moore
80
Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb.
32
Litsea elliptica Blume
64
Hopea dryobalanoides Miq.
112
Garcinia gaudichaudii Planch. & Triana
16
Dillenia spp.
32
Shorea stenoptera Burck.
48
Croton angyratus BI.
16
Shorea sp.
16
Artocarpus kemando Miq.
16
Alstonia angustifolia King ex Gamble
64
Nephelium laurinum BI.
16
Artocarpus dadah Miq.
16
Garcinia lateriflora BI.
16
Mangifera havilandii
32
(%)
0,97
26,21
0,97
5,83
0,97
4,85
1,94
3,88
1,94
2,91
3,88
0,97
0,97
0,97
6,80
0,97
4,85
1,94
3,88
6,80
0,97
1,94
2,91
0,97
0,97
0,97
3,88
0,97
0,97
0,97
1,94
1648
100,00
FR
DR
0,04
0,80
0,04
0,24
0,04
0,20
0,08
0,16
0,08
0,12
0,16
0,04
0,04
0,04
0,28
0,04
0,20
0,08
0,16
0,24
0,04
0,08
0,12
0,04
0,04
0,04
0,16
0,04
0,04
0,04
0,08
(%)
1,05
21,05
1,05
6,32
1,05
5,26
2,11
4,21
2,11
3,16
4,21
1,05
1,05
1,05
7,37
1,05
5,26
2,11
4,21
6,32
1,05
2,11
3,16
1,05
1,05
1,05
4,21
1,05
1,05
1,05
2,11
(%)
0,55
19,17
0,12
6,84
0,37
5,31
4,09
3,85
6,17
1,77
2,69
0,24
4,21
0,12
8,67
0,18
5,25
0,37
3,54
7,08
0,67
0,85
2,93
0,12
0,55
0,92
1,28
0,79
5,68
0,85
4,76
0,01
0,31
0,00
0,11
0,01
0,09
0,07
0,06
0,10
0,03
0,04
0,00
0,07
0,00
0,14
0,00
0,09
0,01
0,06
0,12
0,01
0,01
0,05
0,00
0,01
0,02
0,02
0,01
0,09
0,01
0,08
3,80
100,00
1,64 100,00
INP
(%)
2,57
66,44
2,15
18,98
2,39
15,43
8,14
11,94
10,21
7,84
10,78
2,27
6,24
2,15
22,83
2,21
15,37
4,41
11,63
20,19
2,70
4,90
9,00
2,15
2,57
2,94
9,38
2,82
7,70
2,88
8,81
300,00
Lampiran 12. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan pancang di hutan karet alam campuran II Dusun Suak Kecamatan Sepauk, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
Nama Lokal
Medang
Kumpang
Puduk
Kayu asam
Cempedak
Mokulat
Kayu malam
Keladan
Karet
Ubah merah
Ketikal
Ubah
Unik
Purang
Mantut
Belengkiang
Ubah putih
Legai
Sumpit
Kopi hutan
Selangking dada
Entangor
Engkerbang
Medang bulai
Pakit
Bidau
Merabah
Jangau
Leban
Male angin
Tengkawang
Pelaik bukit
Nama Indonesia
Medang
Peredah burung
Puduk
Cempedak
Kelat
Kayu itam
Keladan
Karet
Petaling
Kelat
Kayu lentadak
Mahang
Jirak
Kelat
Kelepang
Anyang-anyang
Tampang
Nyamplung
Kayu gambir
Meranti
Melinjo
Medang bentawar
Jirak
Laban
Tengkawang
Pulai
Famili
Lauraceae
Myristicaceae
Moraceae
Sapindaceae
Moraceae
Myrtaceae
Ebenaceae
Dipterocarpaceae
Euphorbiaceae
Myrtaceae
Olaxaceae
Myrtaceae
Sapindaceae
Euphorbiaceae
Meliaceae
Symplocaceae
Myrtaceae
Theaceae
Elaeocarpaceae
Rubiaceae
Moraceae
Clusiaceae
Rubiaceae
Ulmaceae
Dipterocarpaceae
Gnetaceae
Annonaceae
Symplocaceae
Verbenaceae
Urticaceae
Dipterocarpaceae
Apocynaceae
Nama Ilmiah
Litsea elliptica Blume
Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb.
Artocarpus kemando Miq.
Nephelium laurinum BI.
Artocarpus integer (Thunb.) Merr.
Syzygium sp.
Diospyros sp.
Hopea dryobalanoides Miq.
Hevea brasiliensis Muell. ARG
Eugenia acuntangula Schum.
Ochanostachys amentancea Mast.
Syzygium zeylanicum (L.) DC.
Guioa pleuropteris (BI.) Radlk.
Macaranga pruinosa (Miq.) Muell. Arg.
Walsura chrysogyne (Miq.) Burck.
Symplocos sp.
Syzygium sp.
Adinandra dumosa Jack
Elaeocarpus griffithii (Wight.) A. Gray
Tricalysia singularis Korth.
Artocarpus dadah Miq.
Calophyllum soulatri Burm. f.
Psychotria cf. sarmentosa BI.
Gironniera subaequalis Planch.
Shorea sp.
Gnetum gnemon L. var. brunonianum Mgf.
Polyalthia sumatrana (Miq.) Kurz.
Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore
Vitex pubescens
Leucosyke capitellata (Poirret) Wedd.
Shorea stenoptera Burck.
Alstonia scholaris (L.) R. Br.
K
KR
(ind/ha) (%)
FR
(%)
96
160
16
64
48
16
16
240
336
64
48
96
32
96
16
16
32
16
32
16
16
16
16
32
16
16
16
96
48
32
32
16
5,31
8,85
0,88
3,54
2,65
0,88
0,88
13,27
18,58
3,54
2,65
5,31
1,77
5,31
0,88
0,88
1,77
0,88
1,77
0,88
0,88
0,88
0,88
1,77
0,88
0,88
0,88
5,31
2,65
1,77
1,77
0,88
0,24
0,36
0,04
0,16
0,12
0,04
0,04
0,44
0,60
0,16
0,12
0,16
0,08
0,24
0,04
0,04
0,08
0,04
0,08
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,24
0,12
0,08
0,08
0,04
6,06
9,09
1,01
4,04
3,03
1,01
1,01
11,11
15,15
4,04
3,03
4,04
2,02
6,06
1,01
1,01
2,02
1,01
2,02
1,01
1,01
1,01
1,01
1,01
1,01
1,01
1,01
6,06
3,03
2,02
2,02
1,01
1808
100,00
3,96
100,00
DR
(%)
INP
(%)
3,49
15,40
3,70
2,72
1,91
0,09
0,60
11,11
10,09
5,62
4,09
2,77
2,43
2,64
2,55
0,72
1,45
0,34
0,55
0,43
0,51
3,40
0,30
0,30
0,17
0,43
3,96
8,13
5,53
1,06
3,45
0,09
14,86
33,34
5,60
10,30
7,60
1,98
2,49
35,49
43,82
13,20
9,77
12,12
6,22
14,01
4,45
2,62
5,24
2,24
4,34
2,32
2,41
5,30
2,19
3,08
2,07
2,32
5,85
19,50
11,22
4,85
7,24
1,98
2,35 100,00
300,00
0,08
0,36
0,09
0,06
0,05
0,00
0,01
0,26
0,24
0,13
0,10
0,07
0,06
0,06
0,06
0,02
0,03
0,01
0,01
0,01
0,01
0,08
0,01
0,01
0,00
0,01
0,09
0,19
0,13
0,03
0,08
0,00
Lampiran 13. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan pancang di Hutan adat II Dusun Medang Kecamatan Dedai, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
Nama Lokal
Retih
Dadak
Ubah
Temalak
Salak hutan
Ingit
Mentawak
Gerantung
Pelampai
Kumpang
Medang
Pejantang
Kayu malam
Nama Indonesia
Famili
Nama Ilmiah
Moraceae
Prainea frutescens
Kelat
Myrtaceae
Dipterocarpaceae
Hopea kerangasensis
Burseraceae
Lecythidaceae
Barringtonia sp.
Keledang
-
Moraceae
Fabaceae
Peredah burung
Medang
Kayu itam
Myristicaceae
Lauraceae
Violaceae
Ebenaceae
Tekam
Tekam
Dipterocarpaceae
Hopea sp.
Nyatuh
Pingan
Mang lilin
Beringin hijau
Engkerbang
Nyatoh terung
Kosar
Sapotaceae
Moraceae
Dipterocarpaceae
Hopea semicuneata
Annonaceae
Rubiaceae
Ranjing
Simasam
Rubiaceae
Rosaceae
Theaceae
Tengkawang
Dipterocarpaceae
Tidak teridentifikasi
Bintangur bunut
Tapos
Clusiaceae
Annonaceae
Olaxaceae
Euphorbiaceae
Meranti
-
Dipterocarpaceae
Burseraceae
Shorea seminis
Dacryodes rubiginosa H.J.L.
Clusiaceae
Lauraceae
Cinnamomum spp.
Kecapi
Meliaceae
Sandoricum koetjape
Kincit
Pidin
Tengkawang
Terong musang
Entangor
Sengkajang
Mokiau
Kelampai
Romunsang
Mengkirai
Bulai
Mang
Sibau
Kelampu
Engkelili
Biantang
Belian
Merkunyit
Katuri
Rosaceae
Clusiaceae
Prunus arborea
Garcinia bancana
Ulin/kayu besi
Meranti kuning
Lauraceae
Dipterocarpaceae
Eusideroxilon zwageri
Shorea acuminatissima
Kandis
Kandis
Clusiaceae
Pendok
Lukai
Bidau
Petai
Cempedak
Kempili
Melinjo
Petai
Cempedak
Annonaceae
Annonaceae
Gnetaceae
Fabaceae
Moraceae
Pasang
Fagaceae
Quercus sp.
Ochanostachya sp.
Eleteriospermum tapos Blume
KR
(ind/ha)
16
32
160
32
128
48
64
128
48
128
192
80
48
64
128
16
16
32
16
48
16
16
64
16
32
32
48
288
16
32
16
48
16
80
32
16
16
16
16
64
16
16
32
32
32
(%)
0,66
1,32
6,58
1,32
5,26
1,97
2,63
5,26
1,97
5,26
7,89
3,29
1,97
2,63
5,26
0,66
0,66
1,32
0,66
1,97
0,66
0,66
2,63
0,66
1,32
1,32
1,97
11,84
0,66
1,32
0,66
1,97
0,66
3,29
1,32
0,66
0,66
0,66
0,66
2,63
0,66
0,66
1,32
1,32
1,32
2432
100,00
FR
DR
INP
(%)
0,22
2,71
4,15
2,30
7,30
1,63
2,63
2,60
0,78
8,16
8,38
3,41
0,93
4,23
2,74
0,30
0,07
0,52
2,48
1,85
0,22
0,82
5,64
0,07
0,33
0,56
3,34
10,12
0,70
0,67
0,07
1,37
0,85
5,41
1,89
0,07
0,07
3,52
0,07
1,56
0,07
0,19
2,37
1,52
1,08
(%)
1,61
5,48
17,30
5,07
16,22
5,79
7,45
13,70
4,94
19,26
22,11
10,35
5,09
9,78
13,12
1,68
1,46
3,29
3,87
6,02
1,61
2,20
11,19
1,46
3,11
3,33
7,50
31,45
2,09
3,44
1,46
5,54
2,24
12,35
4,67
1,46
1,46
4,91
1,46
7,11
1,46
1,57
5,15
4,30
3,85
2,70 100,00
300,00
0,04
0,08
0,36
0,08
0,20
0,12
0,12
0,32
0,12
0,32
0,32
0,20
0,12
0,16
0,28
0,04
0,04
0,08
0,04
0,12
0,04
0,04
0,16
0,04
0,08
0,08
0,12
0,52
0,04
0,08
0,04
0,12
0,04
0,20
0,08
0,04
0,04
0,04
0,04
0,16
0,04
0,04
0,08
0,08
0,08
(%)
0,73
1,46
6,57
1,46
3,65
2,19
2,19
5,84
2,19
5,84
5,84
3,65
2,19
2,92
5,11
0,73
0,73
1,46
0,73
2,19
0,73
0,73
2,92
0,73
1,46
1,46
2,19
9,49
0,73
1,46
0,73
2,19
0,73
3,65
1,46
0,73
0,73
0,73
0,73
2,92
0,73
0,73
1,46
1,46
1,46
0,01
0,07
0,11
0,06
0,20
0,04
0,07
0,07
0,02
0,22
0,23
0,09
0,03
0,11
0,07
0,01
0,00
0,01
0,07
0,05
0,01
0,02
0,15
0,00
0,01
0,02
0,09
0,27
0,02
0,02
0,00
0,04
0,02
0,15
0,05
0,00
0,00
0,10
0,00
0,04
0,00
0,01
0,06
0,04
0,03
5,48
100,00
Lampiran 14. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan semai di hutan adat I Dusun Sirang Kecamatan Sepauk, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
Nama Lokal
Cempedak
Ribu-ribu
Ketikal
Pelok kelik
Gerantung
Mansing
Engkerbang
Kempenat
Bungkang
Ubah
Pelaik pipit
Kerangkai
Kumpang
Jengkol
Ruai
Simpur
Kayu bunga
Melanjan
Tegar
Kayu malam
Bidau
Nama Indonesia
Cempedak
Petaling
Kelat
Kelat
Pulai pipit
Peredah burung
Jengkol
Sempur
Balau
Kayu itam
Melinjo
Famili
Moraceae
Anisophylleaceae
Olacaceae
Sapindaceae
Fabaceae
Hipericaceae
Rubiaceae
Alangiaceae
Myrtaceae
Myrtaceae
Apocynaceae
Icacinaceae
Myristicaceae
Fabaceae
Euphorbiaceae
Dilleniaceae
Rosaceae
Sapindaceae
Anacardiaceae
Ebenaceae
Gnetaceae
Nama Ilmiah
Artocarpus integer (Thunb.) Merr.
Anisophyllea disticha (Jack) Baillon
Ochanostachys amentancea Mast.
Nephelium ramboutan-ake (Labill.) Leenh.
Fordia splendidissima (BI.ex Miq.) Buij.
Cratoxylum cochinchinense (Lour.) BI.
Psychotria cf. sarmentosa BI.
Alangium salviniolium (L.f.) Wangerin
Syzygium sp.
Syzygium zeylanicum (L.) DC.
Alstonia angustifolia King ex Gamble
Gomphandra quadrifida (BI.) Sleumer
Horsfieldia irya (Gaertn.) Warb.
Pithecellobium jiringa Pram.
Aporosa aurata
Dillenia spp.
Parinarium sp.
Nephelium uncinatum Radlk. Ex Leenh.
Campnosperma auriculata
Diospyros sp.
Gnetum gnemon L. var. brunonianum Mgf.
KR
FR
(ind/ha)
2500
600
200
400
800
500
400
400
200
1300
200
200
400
500
300
800
100
400
300
200
500
(%)
22,32
5,36
1,79
3,57
7,14
4,46
3,57
3,57
1,79
11,61
1,79
1,79
3,57
4,46
2,68
7,14
0,89
3,57
2,68
1,79
4,46
0,40
0,20
0,08
0,12
0,24
0,04
0,12
0,12
0,08
0,48
0,08
0,08
0,16
0,16
0,12
0,20
0,04
0,16
0,08
0,08
0,20
(%)
12,35
6,17
2,47
3,70
7,41
1,23
3,70
3,70
2,47
14,81
2,47
2,47
4,94
4,94
3,70
6,17
1,23
4,94
2,47
2,47
6,17
11200
100
3,24
100
INP (%)
34,67
11,53
4,25
7,28
14,55
5,70
7,28
7,28
4,25
26,42
4,25
4,25
8,51
9,40
6,38
13,32
2,13
8,51
5,15
4,25
10,64
200
Lampiran 15. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan semai di hutan karet alam campuran I Dusun Suak Kecamatan Sepauk, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
Nama Lokal
Durian
Engkerbang
Mentawak
Jangau
Medang
Karet
Keladan
Simpur
Mansing
Kepuak
Ubah
Leban
Purang
Kopi hutan
Pakit
Nyatu Ensik
Medang bulai
Rambutan
Cempedak
Jengkol
Kayu asam
Gaharu
Langkang ruai
Pelaik pipit
Nama Indonesia
Durian
Keledang
Jirak
Medang
Karet
Keladan
Sempur
Terap
Kelat
Laban
Mahang
Meranti
Nyatoh
Kayu gambir
Rambutan
Cempedak
Jengkol
Kayu garu
Pulai pipit
Famili
Bombaceae
Rubiaceae
Moraceae
Symplocaceae
Lauraceae
Euphorbiaceae
Dipterocarpaceae
Dilleniaceae
Hipericaceae
Moraceae
Myrtaceae
Verbenaceae
Euphorbiaceae
Rubiaceae
Dipterocarpaceae
Sapotaceae
Ulmaceae
Sapindaceae
Moraceae
Fabaceae
Sapindaceae
Thymelaceae
Euphorbiaceae
Apocynaceae
Nama Ilmiah
Durio zibethinus
Psychotria cf. sarmentosa BI.
Artocarpus lanceifolius Roxburgh
Symplocos cochincinensis (Lour.) Moore
Litsea alliptica Blume
Hevea brasiliensis Muell. ARG
KR
(%)
FR
(%)
100
6200
1900
1400
1600
13800
2300
500
300
3000
800
300
100
100
400
100
500
300
500
100
100
100
100
100
0,29
17,87
5,48
4,03
4,61
39,77
6,63
1,44
0,86
8,65
2,31
0,86
0,29
0,29
1,15
0,29
1,44
0,86
1,44
0,29
0,29
0,29
0,29
0,29
0,04
0,72
0,12
0,20
0,40
0,92
0,28
0,12
0,12
0,24
0,24
0,12
0,04
0,04
0,08
0,04
0,16
0,04
0,08
0,04
0,04
0,04
0,04
0,04
0,95
17,14
2,86
4,76
9,52
21,90
6,67
2,86
2,86
5,71
5,71
2,86
0,95
0,95
1,90
0,95
3,81
0,95
1,90
0,95
0,95
0,95
0,95
0,95
34700
100
4,2
100
INP (%)
1,24
35,01
8,33
8,80
14,13
61,67
13,29
4,30
3,72
14,36
8,02
3,72
1,24
1,24
3,06
1,24
5,25
1,82
3,35
1,24
1,24
1,24
1,24
1,24
200
Lampiran 16. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan semai di hutan karet alam campuran II Dusun Suak Kecamatan Sepauk, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
Nama Lokal
Melanjan
Karet
Medang
Cempedak
Keladan
Pendok
Kemidan
Ubah
Belengkiang
Kayu asam
Mentawak
Langkang ruai
Medang bulai
Kempenat
Kumpang
Pakit
Unik
Kempili
Engkerbang
Pelaik bukit
Titidan
Jangau
Simpur
Kepuak
Nama Indonesia
Karet
Medang
Cempedak
Keladan
Limang
Kelat
Jirak
Keledang
Kayu gambir
Peredah burung
Meranti
Kayu lentadak
Pasang
Pulai
Jirak
Sempur
Terap
Famili
Sapindaceae
Euphorbiaceae
Lauraceae
Moraceae
Dipterocarpaceae
Anonaceae
Anonaceae
Myrtaceae
Symplocaceae
Sapindaceae
Moraceae
Euphorbiaceae
Ulmaceae
Alangiaceae
Myristicaceae
Dipterocarpaceae
Sapindaceae
Fagaceae
Rubiaceae
Apocynaceae
Sapindaceae
Symplocaceae
Dilleniaceae
Moraceae
Nama Ilmiah
Nephelium uncinatum Radlk. Ex Leenh.
Hevea brasiliensis Muell. ARG
K
(ind/ha)
KR
(%)
FR
(%)
100
7400
1000
800
8100
500
100
1700
100
200
2000
700
200
100
100
200
100
400
1500
100
400
1200
100
500
0,36
26,81
3,62
2,90
29,35
1,81
0,36
6,16
0,36
0,72
7,25
2,54
0,72
0,36
0,36
0,72
0,36
1,45
5,43
0,36
1,45
4,35
0,36
1,81
0,04
0,60
0,32
0,20
0,84
0,16
0,04
0,28
0,04
0,08
0,04
0,16
0,08
0,04
0,04
0,08
0,04
0,04
0,32
0,04
0,08
0,16
0,04
0,12
1,03
15,46
8,25
5,15
21,65
4,12
1,03
7,22
1,03
2,06
1,03
4,12
2,06
1,03
1,03
2,06
1,03
1,03
8,25
1,03
2,06
4,12
1,03
3,09
27600
100
3,88
100
INP (%)
1,39
42,28
11,87
8,05
51,00
5,94
1,39
13,38
1,39
2,79
8,28
6,66
2,79
1,39
1,39
2,79
1,39
2,48
13,68
1,39
3,51
8,47
1,39
4,90
200
Lampiran 17. Indeks Nilai Penting spesies tumbuhan tingkat pertumbuhan semai di hutan adat II Dusun Medang Kecamatan Dedai, Sintang
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
Nama Lokal
Pantat daun
Pingan
Cempedak
Medang
Beringin hijau
Penyelabak
Ubah
Kubal
Salak hutan
Pejantang
Tekam
Kumpang
Empaling
Pantat rusa
Kelampai
Engkerbang
Nyatuh
Kepuak
Biantang
Keraput
Kedangkai
Mokiau
Jengkol
Lukai
Melaban
Kayu Ambon
Simpur
Mang
Kemayau
Bentak
Gerantung
Petai
Keladan
Mentawak
Nama Indonesia
Kosar
Cempedak
Medang
-
Famili
Rubiaceae
Moraceae
Moraceae
Lauraceae
Anonaceae
Nama Ilmiah
Psychotria sp.
Artocarpus rigidus BI.
Artocarpus integer (Thunb.) Merr.
Litsea elliptica Blume
Goniothalamus tapis Miq.
Kelat
Myrtaceae
Burseraceae
Violaceae
Tekam
Dipterocarpaceae
Hopea sp.
Peredah burung
Myristicaceae
Tapos
Nyatoh terung
Terap
Myrsinaceae
Euphorbiaceae
Rubiaceae
Sapotaceae
Moraceae
Katuri
-
Clusiaceae
-
Garcinia bancana
-
Jengkol
-
Fabaceae
Anonaceae
Pelawan
Myrtaceae
Tristania beccarii
Sempur
-
Clusiaceae
Dilleniaceae
Clusiaceae
Burseraceae
Calophyllum sp.
Dillenia excelsa
Garcinia gaudichaudii Planch. & Triana
Dacryodes rostrata (Blume) H.J.Lam
Petai
Keladan
Keledang
Fabaceae
Fabaceae
Dipterocarpaceae
Moraceae
K
(ind/ha)
KR
(%)
FR
(%)
INP
(%)
300
500
2400
1600
400
100
2000
100
100
700
300
400
100
100
9700
300
800
200
400
100
100
100
200
500
500
400
400
100
100
100
300
400
300
100
1,24
2,07
9,92
6,61
1,65
0,41
8,26
0,41
0,41
2,89
1,24
1,65
0,41
0,41
40,08
1,24
3,31
0,83
1,65
0,41
0,41
0,41
0,83
2,07
2,07
1,65
1,65
0,41
0,41
0,41
1,24
1,65
1,24
0,41
0,12
0,08
0,48
0,44
0,04
0,04
0,60
0,04
0,04
0,16
0,08
0,16
0,04
0,04
0,64
0,12
0,24
0,04
0,08
0,04
0,04
0,04
0,08
0,16
0,12
0,08
0,12
0,04
0,04
0,04
0,12
0,16
0,12
0,04
2,54
1,69
10,17
9,32
0,85
0,85
12,71
0,85
0,85
3,39
1,69
3,39
0,85
0,85
13,56
2,54
5,08
0,85
1,69
0,85
0,85
0,85
1,69
3,39
2,54
1,69
2,54
0,85
0,85
0,85
2,54
3,39
2,54
0,85
3,78
3,76
20,09
15,93
2,50
1,26
20,98
1,26
1,26
6,28
2,93
5,04
1,26
1,26
53,64
3,78
8,39
1,67
3,35
1,26
1,26
1,26
2,52
5,46
4,61
3,35
4,20
1,26
1,26
1,26
3,78
5,04
3,78
1,26
24200
100,00
4,72
100,00
200,00
S Individu
3
0
0
2
0
7
0
0
0
0
2
1
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
0
17
Plot
9
0
0
4
0
49
0
0
0
0
4
1
0
0
0
0
4
0
0
0
0
0
0
0
0
71
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Sxi2
s2
289
2,476667
0,68
Sxi2
s2
Id=
Mu =
Mc =
Ip=
Clumped
4,963235
0,275063
1,96025
0,56517
Id=
Mu =
Mc =
Ip=
Clumped
S Individu
0
2
0
0
0
0
0
0
2
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
2
1
0
0
0
10
100
0,5
0,4
1,666667
-0,28878
2,707111
0,195262
Sxi2
0
4
0
0
0
0
0
0
4
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
4
1
0
0
0
16
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
S Individu
0
0
0
5
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
2
0
0
0
9
Sxi2
0
0
0
25
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
4
0
0
0
31
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
S Individu
2
2
1
0
1
0
1
0
0
0
0
2
1
1
2
2
2
1
1
1
2
0
0
0
0
22
Sxi2
s2
81
1,156667
0,36
Sxi2
s2
484
0,693333
0,88
Id=
Mu =
Mc =
Ip=
Clumped
7,638889
-0,44988
2,9205
0,60685
Id=
Mu =
Mc =
Ip=
Uniform
0,757576
0,447667
1,731619
-0,21945
Sxi2
4
4
1
0
1
0
1
0
0
0
0
4
1
1
4
4
4
1
1
1
4
0
0
0
0
36
Lampiran 19 Analisis asosiasi spesies sengkubak dengan spesies lainnya pada tingkat pohon
Lokasi Hutan Adat I Dusun Sirang (asosiasi sengkubak dengan spesies lain tingkat pohon)
Plot
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Sengkubak Cempedak
Ada
Tdk ada Total
Ada
3
3
Tdk ada
8
11
Total
11
14
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X2h =
X20.05(1) =
JI =
DI =
Plot
Sengkubak Cempedak
1
1
0
0
0
0
1
0
0
1
1
1
0
0
0
1
0
0
0
1
1
0
1
1
0
1
0
1
0
0
0
0
1
0
0
1
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
0
0
6
11
2,64
3,36
8,36
10,64
0,115345
0,115345
3,841
0,214286
0,352941
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
6
19
25
X20.05(1) =
JI =
DI =
Plot
0,24
5,76
0,76
18,24
3,298611
3,298611
3,841
0,166667
0,285714
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Sengkubak
6
19
25
Ada
Tdk ada
Total
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X2h =
X20.05(1) =
JI =
DI =
Sengkubak
1
0
0
1
0
1
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
6
Karet
Ada
Plot
Karet
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
1
1
0
1
0
1
0
1
1
0
1
1
0
0
1
17
Tdk ada
5
12
17
4,08
1,92
12,92
6,08
0,853006
0,853006
3,841
0,277778
0,434783
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Total
1
7
8
6
19
25
Sengkubak
1
0
0
1
0
1
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
6
Kepuak
1
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
1
0
0
0
0
0
1
0
6
Sengkubak Kepuak
Ada
Tdk ada Total
Ada
2
4
Tdk ada
4
15
Total
6
19
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X2h =
X20.05(1) =
JI =
DI =
1,44
4,56
4,56
14,44
0,377039
0,377039
3,841
0,2
0,333333
6
19
25
Sengkubak
1
0
0
1
0
1
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
6
0
0
0
0
1
1
0
0
1
1
0
1
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
10
Sengkubak Medang
Ada
Tdk ada Total
Ada
2
4
Tdk ada
8
11
Total
10
15
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X2h =
X20.05(1) =
JI =
DI =
2,4
3,6
7,6
11,4
0,146199
0,146199
3,841
0,142857
0,25
Plot
Medang
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
6
19
25
Sengkubak Kumpang
Ada
Tdk ada Total
Ada
0
6
Tdk ada
6
13
Total
6
19
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X2h =
X20.05(1) =
JI =
DI =
Plot
Sengkubak Kumpang
1
0
0
1
0
0
1
0
0
0
1
0
0
1
0
0
0
1
0
0
1
0
1
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
6
6
1,44
4,56
4,56
14,44
2,493075
2,493075
3,841
0
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Sengkubak
6
19
25
Ada
Tdk ada
Total
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X2h =
X20.05(1) =
JI =
DI =
Sengkubak
1
0
0
1
0
1
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
6
Ubah
Ada
Plot
Ubah
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
1
1
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
5
Tdk ada
3
2
5
1,2
4,8
3,8
15,2
4,440789
4,440789
3,841
0,375
0,545455
3
17
20
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Total
6
19
25
Sengkubak
1
0
0
1
0
1
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
6
jengkol
Sengkubak jengkol
Ada
Tdk ada Total
Ada
0
3
Tdk ada
2
17
Total
2
20
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
0,272727
2,727273
1,727273
17,27273
X2h =
0,347368
0,347368
X20.05(1) =
JI =
DI =
3,841
0
0
3
19
22
Karena X2h > X20.05, maka ho diterima, ada asosiasi antara sengkubak dengan ubah
Sengkubak kumpang
Ada
Tdk ada Total
Ada
2
4
Tdk ada
2
17
Total
4
21
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X2h =
X20.05(1) =
JI =
DI =
Plot
Sengkubak kumpang
1
1
0
0
0
1
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
1
0
0
0
1
0
0
0
1
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
6
7
0,96
5,04
3,04
15,96
1,764829
1,764829
3,841
0,25
0,4
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
6
19
25
Sengkubak Gerantung
Ada
Tdk ada Total
Ada
1
5
Tdk ada
5
14
Total
6
19
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X2h =
X20.05(1) =
JI =
DI =
Plot
Sengkubak gerantung
1
0
0
0
0
0
1
1
0
0
1
0
0
0
0
1
0
1
0
0
1
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
6
6
1,44
4,56
4,56
14,44
0,232764
0,232764
3,841
0,090909
0,166667
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Sengkubak
6
19
25
Ada
Tdk ada
Total
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X2h =
X20.05(1) =
JI =
DI =
Sengkubak
1
0
0
1
0
1
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
6
karet
Ada
Plot
karet
1
1
1
0
1
1
0
1
0
1
1
1
1
1
1
0
1
0
0
1
0
1
0
1
1
17
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Sengkubak
Tdk ada
5
12
17
4,08
1,92
12,92
6,08
0,853006
0,853006
3,841
0,277778
0,434783
Total
1
7
8
6
19
25
Ada
Tdk ada
Total
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X2h =
X20.05(1) =
JI =
DI =
Sengkubak
1
0
0
1
0
1
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
6
ubah
Ada
ubah
0
0
0
0
0
0
1
0
0
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
5
Tdk ada
0
5
5
1,2
4,8
3,8
15,2
1,973684
1,973684
3,841
0
0
6 Total
14
20
6
19
25
Sengkubak
Ada
Tdk ada
Total
Sengkubak
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
1
1
0
0
0
7
Karet
Ada
Plot
Karet
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
23
Tdk ada
5
18
23
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Total
2
0
2
7
18
25
Plot
Sengkubak Mentawak
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
0
0
0
1
1
0
1
0
1
1
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
7
7
Sengkubak Mentawak
Ada
Tdk ada Total
Ada
2
5
Tdk ada
5
13
Total
7
18
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Sengkubak
7
18
25
Ada
Tdk ada
Total
Sengkubak
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
1
1
0
0
0
7
Pelaik
Ada
4
9
13
Plot
Pelaik
0
0
0
0
0
1
1
0
1
1
1
1
1
1
0
0
0
1
0
0
1
1
0
1
1
13
Tdk ada
3
9
12
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Total
7
18
25
Sengkubak
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
1
1
0
0
0
7
6,44
0,56
16,56
1,44
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
1,96
5,04
5,04
12,96
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
3,64
3,36
9,36
8,64
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
1,68
5,32
4,32
13,68
X 2h =
5,590062
5,590062
X 2h =
0,001575
0,001575
X 2h =
0,103022
0,103022
X 2h =
1,895363
1,895363
JI =
DI =
3,841
0,2
0,333333
X20.05(1) =
JI =
DI =
3,841
0,166667
0,285714
Karena X2h > X20.05, maka ho diterima, ada asosiasi antara sengkubak dengan ubah
X20.05(1) =
JI =
DI =
3,841
0,25
0,4
0
1
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
1
0
0
0
0
0
0
6
Sengkubak Kepuak
Ada
Tdk ada Total
Ada
3
4
Tdk ada
3
15
Total
6
19
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X20.05(1) =
Kepuak
X20.05(1) =
JI =
DI =
3,841
0,3
0,461538
7
18
25
Plot
Sengkubak Sengkajang
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
1
0
1
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
7
4
SengkubakSengkajang
Ada
Tdk ada Total
Ada
2
5
Tdk ada
2
16
Total
4
21
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
7
18
25
Plot
Sengkubak Cempedak
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
1
0
0
1
1
0
1
0
0
1
0
0
0
0
7
3
Sengkubak Cempedak
Ada
Tdk ada Total
Ada
1
6
Tdk ada
2
16
Total
3
22
7
18
25
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
1
1
0
0
0
7
Plot
Merkubong
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
4
Sengkubak Merkubong
Ada
Tdk ada
Total
Ada
1
6
Tdk ada
3
15
Total
4
21
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
7
18
25
Sengkubak
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
1
1
0
0
0
7
1,12
5,88
2,88
15,12
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
0,84
6,16
2,16
15,84
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
1,12
5,88
2,88
15,12
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
1,12
5,88
2,88
15,12
X 2h =
1,143235
1,143235
X 2h =
0,0481
0,0481
X 2h =
0,0212585
0,0212585
X 2h =
5,217782
5,217782
JI =
DI =
3,841
0,222222
0,363636
X20.05(1) =
JI =
DI =
3,841
0,111111
0,2
X20.05(1) =
JI =
DI =
3,841
0,1
0,18181818
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
1
0
0
0
1
1
0
0
0
4
Sengkubak Keladan
Ada
Tdk ada Total
Ada
3
4
Tdk ada
1
17
Total
4
21
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X20.05(1) =
Keladan
X20.05(1) =
JI =
DI =
3,841
0,375
0,545455
7
18
25
Sengkubak
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
1
1
0
0
0
7
Plot
Medang bulai
SengkubakMedang bulai
Ada
Tdk ada
Ada
2
Tdk ada
6
Total
8
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
1
1
1
1
0
0
0
0
0
1
1
8
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Total
5
12
17
7
18
25
Sengkubak
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
1
1
0
0
0
7
Plot
Medang
Sengkubak Medang
Ada
Tdk ada
Ada
2
Tdk ada
2
Total
4
0
1
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
4
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Sengkuba
Total
5
16
21
7
18
25
Ada
Tdk ada
Total
Sengkubak
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
1
1
0
0
0
7
Leban
Ada
Plot
Leban
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
4
Tdk ada
1
3
4
6
15
21
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Total
7
18
25
Sengkubak
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
1
1
0
1
1
0
0
0
7
2,24
4,76
5,76
12,24
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
1,12
5,88
2,88
15,12
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
1,12
5,88
2,88
15,12
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
0,75
5,25
2,25
15,75
X 2h =
0,052521
0,052521
X 2h =
1,143235
1,143235
X 2h =
0,021259
0,021259
X 2h =
1,142857
1,142857
JI =
DI =
3,841
0,153846
0,266667
X20.05(1) =
JI =
DI =
3,841
0,222222
0,363636
X20.05(1) =
JI =
DI =
3,841
0,1
0,181818
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3
Sengkubak Jangau
Ada
Tdk ada Total
Ada
0
6
Tdk ada
3
15
Total
3
21
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X20.05(1) =
Jangau
X20.05(1) =
JI =
DI =
3,841
0
0
6
18
24
Sengkubak Ada
Ada
Tdk ada
Total
Sengkajang
Tdk ada
1
2
3
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
0,84
6,16
2,16
15,84
X 2h =
0,0481
0,0481
X20.05(1) =
JI =
DI =
Sengkajang
3,841
0,111111
0,2
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
3
Total
6
16
22
7
18
25
Sengkubak
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
4
Plot
Keladan
1
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
4
Sengkubak Keladan
Ada
Tdk ada Total
Ada
1
3
Tdk ada
3
18
Total
4
21
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Sengkubak
4
21
25
Ada
Tdk ada
Total
Sengkubak
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
4
Ubah
Ada
Plot
Ubah
1
0
1
1
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
5
Tdk ada
2
3
5
2
18
20
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Total
4
21
25
Sengkubak
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
4
Plot
Medang
0
0
1
1
1
1
0
0
0
1
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
6
Sengkubak Medang
Ada
Tdk ada Total
Ada
1
3
Tdk ada
5
16
Total
6
19
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
4
21
25
Sengkubak Kempenat
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
4
1
Sengkubak Kempenat
Ada
Tdk ada Total
Ada
1
3
Tdk ada
0
21
Total
1
24
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
0,64
3,36
3,36
17,64
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
0,8
3,2
4,2
16,8
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
0,96
3,04
5,04
15,96
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
0,16
3,84
0,84
20,16
X 2h =
0,28699
0,28699
X 2h =
2,678571
2,678571
X 2h =
0,002611
0,002611
X 2h =
5,46875
5,46875
X20.05(1) =
JI =
DI =
3,841
0,142857
0,25
X20.05(1) =
JI =
DI =
3,841
0,285714
0,444444
X20.05(1) =
JI =
DI =
3,841
0,111111
0,2
X20.05(1) =
JI =
DI =
3,841
0,25
0,4
4
21
25
Plot
SengkubakNyatuh ensik
Ada
Tdk ada
Total
Ada
1
3
Tdk ada
1
20
Total
2
23
Asosiasi sengkubak dengan spesies lain tingkat tiang (Ht. karet alam campuran II Suak)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
4
21
25
Sengkubak
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
4
Plot
Entibab
Sengkubak Entibab
Ada
Tdk ada
Ada
1
Tdk ada
0
Total
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
0
0
1
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Sengkubak
Total
3
21
24
4
21
25
Ada
Tdk ada
Total
Sengkubak
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
4
Nyatuh
Ada
Plot
Nyatuh
1
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
3
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Sengkubak
Tdk ada
2
1
3
2
20
22
Total
4
21
25
Ada
Tdk ada
Total
Sengkubak
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
0
0
4
Ubah
Ada
0,32
3,68
1,68
19,32
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
0,16
3,84
0,84
20,16
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
0,48
3,52
2,52
18,48
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
1,28
2,72
6,72
14,28
X 2h =
1,869824
1,869824
X 2h =
5,46875
5,46875
X 2h =
6,511544
6,511544
X 2h =
0,709034
0,709034
JI =
DI =
3,841
0,2
0,333333
X20.05(1) =
JI =
DI =
3,841
0,25
0,4
X20.05(1) =
JI =
DI =
3,841
0,4
0,571429
X20.05(1) =
JI =
DI =
0
1
1
1
1
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
1
1
0
8
Tdk ada
2
6
8
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X20.05(1) =
Ubah
3,841
0,2
0,333333
2
15
17
Total
4
21
25
Sengkubak Ada
Ada
Tdk ada
Total
0,8
3,2
4,2
16,8
X 2h =
0,074405
0,074405
JI =
DI =
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
5
Puduk
Tdk ada Total
1
3
4
17
5
20
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X20.05(1) =
Puduk
3,841
0,125
0,222222
4
21
25
Sengkubak
Ada
Tdk ada
Total
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
2
X h=
2
0.05(1) =
JI =
DI =
sengkubak
1
1
1
0
1
0
1
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
15
Petai
Ada
Plot
Petai
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0
1
1
0
1
1
0
1
0
1
0
0
8
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Sengkubak
Tdk ada
7
1
8
4,8
10,2
3,2
6,8
3,707108
3,707108
3,841
0,4375
0,608696
Total
8
15
9
10
17
25
Ada
Tdk ada
Total
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X2h =
X20.05(1) =
JI =
DI =
sengkubak
1
1
1
0
1
0
1
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
15
Piling
Ada
Plot
Piling
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
2
1,2
13,8
0,8
9,2
1,449275
1,449275
3,841
0,133333
0,235294
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Sengkubak Kelampai
1
1
1
1
1
1
0
0
1
1
0
0
1
1
0
1
0
1
0
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
1
1
1
1
0
0
0
0
0
0
1
0
1
15
18
Plot
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Sengkubak Merkubong
1
0
1
1
1
0
0
0
1
1
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
15
3
Sengkubak Kelampai
Ada
Tdk ada Total
Ada
12
3
15
Tdk ada
6
4
10
Total
18
7
25
SengkubakMerkubong
Ada
Tdk ada
Total
Ada
2
13
15
Tdk ada
1
9
10
Total
3
22
25
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X2h =
X20.05(1) =
JI =
DI =
10,8
4,2
7,2
2,8
1,190476
1,190476
3,841
0,571429
0,727273
X2h =
X20.05(1) =
JI =
DI =
1,8
13,2
1,2
8,8
0,063131
0,063131
3,841
0,125
0,222222
Sengkubak
1
1
1
0
1
0
1
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
15
Plot
Medang
0
0
0
0
1
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
0
0
5
Sengkubak Medang
Ada
Tdk ada Total
Ada
3
12
Tdk ada
1
9
Total
4
21
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
2
X h=
2
0.05(1) =
JI =
DI =
2,4
12,6
1,6
8,4
0,446429
0,446429
3,841
0,1875
0,315789
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Sengkubak
15
10
25
Ada
Tdk ada
Total
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
X2h =
X20.05(1) =
JI =
DI =
Sengkubak
1
1
1
0
1
0
1
0
0
0
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
0
0
0
15
Ubah
Ada
Plot
Ubah
0
0
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
1
0
1
0
1
0
1
1
0
8
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
15
10
25
Plot
sengkubak Cempedak
1
0
1
0
1
1
0
0
1
0
0
1
1
0
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
1
0
0
0
1
0
1
0
1
15
6
Sengkubak Cempedak
Ada
Tdk ada Total
Ada
2
13
Tdk ada
4
6
Total
6
19
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
15
10
25
Sengkubak Mentawak
1
0
1
0
1
0
0
0
1
0
0
0
1
0
0
0
0
1
0
0
0
1
1
0
1
0
1
1
1
0
1
0
1
1
1
1
1
0
1
0
1
0
0
0
0
0
0
0
0
1
15
6
Sengkubak Mentawak
Ada
Tdk ada Total
Ada
3
12
Tdk ada
3
7
Total
6
19
4,8
10,2
3,2
6,8
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
3,6
11,4
2,4
7,6
E(a) =
E(b) =
E(c) =
E(d) =
3,6
11,4
2,4
7,6
0,030637
0,030637
X2h =
2,339181
2,339181
X2h =
0,328947
0,328947
3,841
0,277778
0,434783
X20.05(1) =
JI =
DI =
3,841
0,105263
0,190476
X20.05(1) =
JI =
DI =
3,841
0,166667
0,285714
15
10
25