Bab Ii Tinjauan Teori
Bab Ii Tinjauan Teori
TINJAUAN TEORI
3
d) Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah
sternum). Penentuan lokasi ini dapat dilakukan dengan cara tumit dari
tangan yang pertama diletakkan di atas sternum, kemudian tangan yang
satunya diletakkan di atas tangan yang sudah berada di tengah sternum.
Jari-jari tangan dirapatkan dan diangkat pada waktu penolong
melakukan tiupan nafas agar tidak menekan dada.
4
Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka
bebaskan jalan nafas melalui head tilt– chin lift. Caranya dengan
meletakkan satu tangan pada dahi korban, lalu mendorong dahi korban ke
belakang agar kepala menengadah dan mulut sedikit terbuka (Head Tilt)
Pertolongan ini dapat ditambah dengan mengangkat dagu (Chin Lift).
Namun jika korban dicurigai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan
nafas melalui jaw thrust yaitu dengan mengangkat dagu sehingga deretan
gigi Rahang Bawah berada lebih ke depan daripada deretan gigi Rahang
Atas.
5. Breathing.
Berikan ventilasi sebanyak 2 kali. Pemberian ventilasi dengan jarak 1
detik diantara ventilasi. Perhatikan kenaikan dada korban untuk memastikan
volume tidal yang masuk adekuat. Untuk pemberian mulut ke mulut
langkahnya sebagai berikut :
a) Pastikan hidung korban terpencet rapat
b) Ambil nafas seperti biasa (jangan terelalu dalam)
5
c) Buat keadaan mulut ke mulut yang serapat mungkin
d) Berikan satu ventilasi tiap satu detik
e) Kembali ke langkah ambil nafas hingga berikan nafas kedua selama
satu detik.
6
iya lakukan terapi kejut sebanyak 1 kali dan lanjutkan RJP selama 2 menit
dan periksa ritme kembali. Namun jika ritme tidak dapat diterapi kejut
lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa kembali ritme. Lakukan terus
langkah tersebut hingga petugas ACLS (Advanced Cardiac Life Support)
datang, atau korban mulai bergerak.
c. Perbedaaan Langkah-Langkah BLS Sistem ABC dengan CAB
No ABC CAB
1 Memeriksa respon pasien Memeriksa respon pasien termasuk
ada/tidaknya nafas secara visual.
2 Melakukan panggilan darurat Melakukan panggilan darurat
dan mengambil AED
3 Airway (Head Tilt, Chin Lift) Circulation (Kompresi dada
dilakukan sebanyak satu siklus 30
kompresi, sekitar 18 detik)
4 Breathing (Look, Listen, Feel, Airway (Head Tilt, Chin Lift)
dilanjutkan memberi 2x
ventilasi dalam-dalam)
5 Circulation (Kompresi jantung + Breathing (memberikan ventilasi
nafas buatan (30 : 2)) sebanyak 2 kali, Kompresi jantung +
nafas buatan (30 : 2))
6 Defribilasi
7
ventilasi mulut ke mulut atau mengambil alat pemisah atau alat pernafasan
lainnya. Dengan mengganti langkah menjadi C-A-B maka kompresi dada
akan dilakukan lebih awal dan ventilasi hanya sedikit tertunda satu siklus
kompresi dada (30 kali kompresi dada secara ideal dilakukan sekitar 18
detik).
Kurang dari 50% orang yang mengalami henti jantung mendapatkan RJP
dari orang sekitarnya. Ada banyak kemungkinan penyebab hal ini namun
salah satu yang menjadi alasan adalah dalam algoritma A-B-C,
pembebasan jalan nafas dan ventilasi mulut ke mulut dalam Airway
adalah prosedur yang kebanyakan ditemukan paling sulit bagi orang
awam. Memulai dengan kompresi dada diharapkan dapat
menyederhanakan prosedur sehingga semakin banyak korban yang bisa
mendapatkan RJP. Untuk orang yang enggan melakukan ventilasi mulut
ke mulut setidaknya dapat melakukan kompresi dada.
d. Emergency Medical Service
Upaya Pertolongan terhadap penderita gawat darurat harus dipandang
sebagai satu system yang terpadu dan tidak terpecah-pecah. Sistem
mengandung pengertian adanya komponen-komponen yang saling
berhubungan dan saling mempengaruhi, mempunyai sasaran (output) serta
dampak yang diinginkan (outcome). Sistem yang bagus juga harus dapat diukur
dengan melalui proses evaluasi atau umpan balik yang berkelanjutan. Alasan
kenapa upaya pertolongan penderita harus dipandang sebagai satu system dapat
diperjelas dengan skema di bawah ini :
Injury & Dissaster Pre Stage Hospital Stage Rehabilitation
Hospital
First Responder Emergency Room Fisical
Ambulance Service 24 Operating Room Psycological
jam Intensif Care Unit Social
Ward Care
Berdasarkan tabel di atas, kualitas hidup penderita pasca cedera akan sangat
bergantung pada apa yang telah dia dapatkan pada periode Pre Hospital Stage
8
bukan hanya tergantung pada bantuan di fasilitas pelayanan kesehatan saja. Jika
di tempat pertama kali kejadian penderita mendapatkan bantuan yang optimal
sesuai kebutuhannya maka resiko kematian dan kecacatan dapat dihindari. Bisa
diilustrasikan dengan penderita yang terus mengalami perdarahan dan tidak
dihentikan selama periode Pre Hospital Stage, maka akan sampai ke rumah sakit
dalam kondisi gagal ginjal. Begitu cedera terjadi maka berlakulah apa yang
disebut waktu emas (The Golden periode). Satu jam pertama juga sangat
menentukan sehingga dikenal istilah The Golden Hour. Setiap detik sangat
berharga bagi kelangsungan hidup penderita. Semakin panjang waktu terbuang
tanpa bantuan pertolongan yang memadai, semakin kecil harapan hidup korban.
Terdapat 3 faktor utama di Pre Hospital Stage yang berperan terhadap kualitas
hidup penderita nantinya yaitu:
9
Uraian singkat di atas kiranya cukup memberikan gambaran bahwa
keberhasilan pertolongan bagi penderita dengan criteria gawat darurat yaitu
penderita yang terancam nyawa dan kecacatan, akan dipengaruhi banyak factor
sesuai fase dan tempat kejadian cederanya. Pertolongan harus dilakukan secara
harian 24 jam (daily routine) yang terpadu dan terkordinasi dengan baik dalam
satu system yang dikenal dengan Sistem Pelayanan gawat Darurat Terpadu
(SPGDT). Jika bencana massal terjadi dengan korban banyak, maka pelayanan
gawat darurat harian otomatis ditingkatkan fungsinya menjadi pelayanan gawat
darurat dalam bencana (SPGDB). Tak bisa ditawar-tawar lagi, pemerintah harus
mulai memikirkan terwujudnya penerapan system pelayanan gawat darurat
terpadu. Komponen penting yang harus disiapkan diantaranya :
1. Sistem komunikasi
Kejelasan kemana berita adanya kejadian gawat darurat
disampaikan, akan memperpendek masa pra rumah sakit yang dialami
penderita. Pertolongan yang datang dengan segera akan meminimalkan
resiko-resiko penyulit lanjutan seperti syok hipovolemia akibat
kehilangan darah yang berkelanjutan, hipotermia akibat terpapar
lingkungan dingin dan sebagainya. Siapapun yang menemukan
penderita pertama kali di lokasi harus tahu persis kemana informasi
diteruskan. Problemnya adalah bagaimana masyarakat dapat dengan
mudah meminta tolong, bagaimana cara membimbing dan mobilisasi
sarana tranportasi (Ambulan), bagaimana koordinasi untuk mengatur
rujukan, dan bagaimana komunikasi selama bencana berlangsung.
2. Pendidikan
Penolong pertama seringkali orang awam yang tidak memiliki
kemampuan menolong yang memadai sehingga dapat dipahami jika
penderita dapat langsung meninggal ditempat kejadian atau mungkin
selamat sampai ke fasilitas kesehatan dengan mengalami kecacatan
karena cara tranport yang salah. Penderita dengan kegagalan pernapasan
dan jantung kurang dari 4-6 menit dapat diselamatkan dari kerusakan
otak yang ireversibel. Syok karena kehilangan darah dapat dicegah jika
sumber perdarahan diatasi, dan kelumpuhan dapat dihindari jika upaya
10
evakuasi & tranportasi cedera spinal dilakukan dengan benar. Karena itu
orang awam yang menjadi penolong pertama harus menguasai lima
kemampuan dasar yaitu :
a) Menguasai cara meminta bantuan pertolongan
b) Menguasai teknik bantuan hidup dasar (resusitasi jantung paru)
c) Menguasai teknik mengontrol perdarahan
d) Menguasai teknik memasang balut-bidai
e) Menguasai teknik evakuasi dan tranportasi
Golongan orang awam lain yang sering berada di tempat umum
karena bertugas sebagai pelayan masyarakat seperti polisi, petugas
kebakaran, tim SAR atau guru harus memiliki kemampuan tambahan
lain yaitu menguasai kemampuan menanggulangi keadaan gawat
darurat dalam kondisi:
Penyakit anak
Penyakit dalam
Penyakit saraf
Penyakit Jiwa
Penyakit Mata dan telinga
Dan lainya sesuai kebutuhan sistem
Penyebarluasan kemampuan sebagai penolong pertama dapat
diberikan kepada masyarakat yang awam dalam bidang pertolongan
medis baik secara formal maupun informal secara berkala dan
berkelanjutan. Pelatihan formal di intansi-intansi harus diselenggarakan
dengan menggunakan kurikulum yang sama, bentuk sertifikasi yang
sama dan lencana tanda lulus yang sama. Sehingga penolong akan
memiliki kemampuan yang sama dan memudahkan dalam memberikan
bantuan dalam keadaan sehari-hari ataupun bencana masal.
3. Tranportasi
Alat tranportasi yang dimaksud adalah kendaraannya, alat-alatnya
dan personalnya. Tranportasi penderita dapat dilakukan melalui darat,
laut dan udara.
11
Alat tranportasi penderita ke rumah sakit saat ini masih dilakukan
dengan kendaraan yang bermacam-macam kendaraan tanpa kordinasi
yang baik. Hanya sebagian kecil yang dilakukan dengan ambulan,
itupun dengan ambulan biasa yang tidak memenuhi standar gawat
darurat. Jenis-jenis ambulan untuk suatu wilayah dapat disesuaikan
dengan kondisi lokal untuk pelayanan harian dan bencana.
4. Pendanaan
Sumber pendanaan cukup memungkinkan karena system asuransi
yang kini berlaku di Indonesia. Pegawai negeri punya ASKES, pegawai
swasta memiliki jamsostek, masyarakat miskin mempunyai
ASKESKIN. Orang berada memiliki asuransi jiwa.
5. Quality Control
Penilaian, perbaikan dan peningkatan system harus dilakukan secara
periodic untuk menjamin kualitas pelayanan sesuai tujuan.
2.2.Pengkajian Primer
Primary survey adalah penilaian awal terhadap pasien, bertujuan untuk
mengidentifikasi secara cepat dan sistematis dan mengambil tindakan terhadap
setiap permasalahan yang mengancam jiwa.
Primary survey harus dilakukan dalam waktu tidak lebih dari 2-5 menit.
Penanganan yang simultan terhadap trauma dapat terjadi bila terdapat lebih dari
satu keadaan yang mengancam jiwa(Wilkinson, 2000).
Hal tersebut mencakup:
1. Airway
Nilai jalan napas. Dapatkah pasien berbicara dan bernapas dengan
bebas? Bila ada sumbatan, langkah-langkah yang harus
dipertimbangkan adalah:
Chin lift/jaw thrust (lidah melekat pada rahang)
Suction (bila tersedia)
Guedel airway/nasopharyngeal airway
Intubasi. Pertahankan posisi leher dalam keadaan immobile pada
posisi netral.
2. Breathing
12
Breathing dinilai sebagai bebasnya airway dan adekuatnya
pernapasan diperiksa kembali. Bila tidak adekuat, langkah-langkah
yang perlu dipertimbangkan adalah:
Dekompresi dan drainase dari tension pneumothorax/
haemotrhorax
Penutupan trauma dada terbuka
Ventilasi artificial
Berikan oksigen bila tersedia
3. Circulation
Nilai sirkulasi, sebagai supplai oksigen dan bebasnya airway, dan
adekuatnya pernapasan diperiksa kembali. Bila tidak adekuat, langkah-
langkah yang perlu dipertimbangkan adalah:
Hentikan perdarahan eksternal
Pasang 2 IV line berkaliber besar (14 atau 16 G) bila
memungkinkan
Berikan cairan bila tersedia
4. Disability
Penilaian neurologis cepat (apakah pasien sadar, member respon
suara terhadap rangsang nyeri, atau pasien tidak sadar). Tidak ada waktu
untuk melakukan pemeriksaan Glasgow Coma Scale, maka sistem
AVPU pada keadaan ini lebih jelas dan cepat:
Awake (A)
Verbal response (V)
Painful response (P)
Unresponsive (U)
5. Exposure
Tanggalkan pakaian pasien dan cari apakah ada luka. Bila pasien
disangkakan mengalami trauma leher maupun spinal, immobilisasi
dalam suatu garis lurus sangat penting (Wilkinson, 2000).
13