0% found this document useful (0 votes)
32 views11 pages

Bab Ii Tinjauan Teori

The document discusses basic life support (BLS), which consists of three steps: circulation, breathing, and airway (CAB). It outlines the procedures for each step, including chest compressions, rescue breathing, and opening the airway. It explains that the CAB sequence was implemented to prioritize circulation over airway actions to minimize delays in treatment. BLS is intended to protect the brain from irreversible damage from hypoxia and should be continued until more advanced care arrives.

Uploaded by

Liana Daniella
Copyright
© © All Rights Reserved
Available Formats
Download as DOCX, PDF, TXT or read online on Scribd
Download as docx, pdf, or txt
0% found this document useful (0 votes)
32 views11 pages

Bab Ii Tinjauan Teori

The document discusses basic life support (BLS), which consists of three steps: circulation, breathing, and airway (CAB). It outlines the procedures for each step, including chest compressions, rescue breathing, and opening the airway. It explains that the CAB sequence was implemented to prioritize circulation over airway actions to minimize delays in treatment. BLS is intended to protect the brain from irreversible damage from hypoxia and should be continued until more advanced care arrives.

Uploaded by

Liana Daniella
Copyright
© © All Rights Reserved
Available Formats
Download as DOCX, PDF, TXT or read online on Scribd
Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1/ 11

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1.Bantuan Hidup Dasar


a. Pengertian Bantuan Hidup Dasar (BHD)
Resusitasi jantung paru (RJP) merupakan usaha yang dilakukan untuk
mengembalikan fungsi pernafasan dan atau sirkulasi pada henti nafas
(respiratory arrest) dan atau henti jantung (cardiac arrest). Resusitasi jantung
paru otak dibagi dalam tiga fase : bantuan hidup dasar, bantuan hidup lanjut,
bantuan hidup jangka lama. Namun pada pembahasan kali ini lebih
difokuskan pada Bantuan Hidup Dasar.
Bantuan Hidup Dasar (Basic Life Support, disingkat BLS) adalah suatu
tindakan penanganan yang dilakukan dengan sesegera mungkin dan bertujuan
untuk menghentikan proses yang menuju kematian. Menurut AHA
Guidelines tahun 2005, tindakan BLS ini dapat disingkat dengan teknik ABC
yaitu airway atau membebaskan jalan nafas, breathing atau memberikan nafas
buatan, dan circulation atau pijat jantung pada posisi shock. Namun pada
tahun 2010 tindakan BLS diubah menjadi CAB (circulation, breathing,
airway). Tujuan utama dari BLS adalah untuk melindungi otak dari kerusakan
yang irreversibel akibat hipoksia, karena peredaran darah akan berhenti
selama 3-4 menit.
b. Langkah-Langkah BLS (Sistem CAB)
1. Memeriksa keadaan pasien, respon pasien, termasuk mengkaji ada / tidak
adanya nafas secara visual tanpa teknik Look Listen and Feel.
2. Melakukan panggilan darurat.
3. Circulation :
a) Meraba dan menetukan denyut nadi karotis. Jika ada denyut nadi maka
dilanjutkan dengan memberikan bantuan pernafasan, tetapi jika tidak
ditemukan denyut nadi, maka dilanjutkan dengan melakukan kompresi
dada.
b) Untuk penolong non petugas kesehatan tidak dianjurkan untuk
memeriksa denyut nadi korban.
c) Pemeriksaan denyut nadi ini tidak boleh lebih dari 10 detik.

3
d) Lokasi kompresi berada pada tengah dada korban (setengah bawah
sternum). Penentuan lokasi ini dapat dilakukan dengan cara tumit dari
tangan yang pertama diletakkan di atas sternum, kemudian tangan yang
satunya diletakkan di atas tangan yang sudah berada di tengah sternum.
Jari-jari tangan dirapatkan dan diangkat pada waktu penolong
melakukan tiupan nafas agar tidak menekan dada.

Gambar 1 Posisi tangan

e) Petugas berlutut jika korban terbaring di bawah, atau berdiri disamping


korban jika korban berada di tempat tidur

Gambar 2 Chest compression

f) Kompresi dada dilakukan sebanyak satu siklus (30 kompresi, sekitar 18


detik)
g) Kecepatan kompresi diharapkan mencapai sekitar 100 kompresi/menit.
Kedalaman kompresi untuk dewasa minimal 2 inchi (5 cm), sedangkan
untuk bayi minimal sepertiga dari diameter anterior-posterior dada atau
sekitar 1 ½ inchi (4 cm) dan untuk anak sekitar 2 inchi (5cm).
4. Airway.

4
Korban dengan tidak ada/tidak dicurgai cedera tulang belakang maka
bebaskan jalan nafas melalui head tilt– chin lift. Caranya dengan
meletakkan satu tangan pada dahi korban, lalu mendorong dahi korban ke
belakang agar kepala menengadah dan mulut sedikit terbuka (Head Tilt)
Pertolongan ini dapat ditambah dengan mengangkat dagu (Chin Lift).
Namun jika korban dicurigai cedera tulang belakang maka bebaskan jalan
nafas melalui jaw thrust yaitu dengan mengangkat dagu sehingga deretan
gigi Rahang Bawah berada lebih ke depan daripada deretan gigi Rahang
Atas.

Gambar 3 Head Tilt & Chin Lift

Gambar 4 Jaw Thrust

5. Breathing.
Berikan ventilasi sebanyak 2 kali. Pemberian ventilasi dengan jarak 1
detik diantara ventilasi. Perhatikan kenaikan dada korban untuk memastikan
volume tidal yang masuk adekuat. Untuk pemberian mulut ke mulut
langkahnya sebagai berikut :
a) Pastikan hidung korban terpencet rapat
b) Ambil nafas seperti biasa (jangan terelalu dalam)

5
c) Buat keadaan mulut ke mulut yang serapat mungkin
d) Berikan satu ventilasi tiap satu detik
e) Kembali ke langkah ambil nafas hingga berikan nafas kedua selama
satu detik.

Gambar 5 Pernafasan mulut ke mulut


f) Jika tidak memungkinkan untuk memberikan pernafasan melalui mulut
korban dapat dilakukan pernafasan mulut ke hidung korban.
g) Untuk pemberian melalui bag mask pastikan menggunakan bag mask
dewasa dengan volume 1-2 L agar dapat memeberikan ventilasi yang
memenuhi volume tidal sekitar 600 ml.
h) Setelah terpasang advance airway maka ventilasi dilakukan dengan
frekuensi 6 – 8 detik/ventilasi atau sekitar 8-10 nafas/menit dan
kompresi dada dapat dilakukan tanpa interupsi.
i) Jika pasien mempunyai denyut nadi namun membutuhkan pernapasan
bantuan, ventilasi dilakukan dengan kecepatan 5-6 detik/nafas atau
sekitar 10-12 nafas/menit dan memeriksa denyut nadi kembali setiap 2
menit.
j) Untuk satu siklus perbandingan kompresi dan ventilasi adalah 30 : 2,
setelah terdapat advance airway kompresi dilakukan terus menerus
dengan kecepatan 100 kali/menit dan ventilasi tiap 6-8 detik/kali.
6. RJP terus dilakukan hingga alat defibrilasi otomatis datang, pasien bangun,
atau petugas ahli datang. Bila harus terjadi interupsi, petugas kesehatan
sebaiknya tidak memakan lebih dari 10 detik, kecuali untuk pemasangan
alat defirbilasi otomatis atau pemasangan advance airway.
7. Alat defibrilasi otomatis. Penggunaanya sebaiknya segera dilakukan setelah
alat tersedia/datang ke tempat kejadian. Pergunakan program/panduan yang
telah ada, kenali apakah ritme tersebut dapat diterapi kejut atau tidak, jika

6
iya lakukan terapi kejut sebanyak 1 kali dan lanjutkan RJP selama 2 menit
dan periksa ritme kembali. Namun jika ritme tidak dapat diterapi kejut
lanjutkan RJP selama 2 menit dan periksa kembali ritme. Lakukan terus
langkah tersebut hingga petugas ACLS (Advanced Cardiac Life Support)
datang, atau korban mulai bergerak.
c. Perbedaaan Langkah-Langkah BLS Sistem ABC dengan CAB
No ABC CAB
1 Memeriksa respon pasien Memeriksa respon pasien termasuk
ada/tidaknya nafas secara visual.
2 Melakukan panggilan darurat Melakukan panggilan darurat
dan mengambil AED
3 Airway (Head Tilt, Chin Lift) Circulation (Kompresi dada
dilakukan sebanyak satu siklus 30
kompresi, sekitar 18 detik)
4 Breathing (Look, Listen, Feel, Airway (Head Tilt, Chin Lift)
dilanjutkan memberi 2x
ventilasi dalam-dalam)
5 Circulation (Kompresi jantung + Breathing (memberikan ventilasi
nafas buatan (30 : 2)) sebanyak 2 kali, Kompresi jantung +
nafas buatan (30 : 2))
6 Defribilasi

Alasan untuk perubahan sistem ABC menjadi CAB adalah :

 Henti jantung terjadi sebagian besar pada dewasa. Angka keberhasilan


kelangsungan hidup tertinggi dari pasien segala umur yang dilaporkan
adalah henti jantung dan ritme Ventricular Fibrilation (VF) atau pulseless
Ventrivular Tachycardia (VT). Pada pasien tersebut elemen RJP yang
paling penting adalah kompresi dada (chest compression) dan defibrilasi
otomatis segera (early defibrillation).
 Pada langkah A-B-C yang terdahulu kompresi dada seringkali tertunda
karena proses pembukaan jalan nafas (airway) untuk memberikan

7
ventilasi mulut ke mulut atau mengambil alat pemisah atau alat pernafasan
lainnya. Dengan mengganti langkah menjadi C-A-B maka kompresi dada
akan dilakukan lebih awal dan ventilasi hanya sedikit tertunda satu siklus
kompresi dada (30 kali kompresi dada secara ideal dilakukan sekitar 18
detik).
 Kurang dari 50% orang yang mengalami henti jantung mendapatkan RJP
dari orang sekitarnya. Ada banyak kemungkinan penyebab hal ini namun
salah satu yang menjadi alasan adalah dalam algoritma A-B-C,
pembebasan jalan nafas dan ventilasi mulut ke mulut dalam Airway
adalah prosedur yang kebanyakan ditemukan paling sulit bagi orang
awam. Memulai dengan kompresi dada diharapkan dapat
menyederhanakan prosedur sehingga semakin banyak korban yang bisa
mendapatkan RJP. Untuk orang yang enggan melakukan ventilasi mulut
ke mulut setidaknya dapat melakukan kompresi dada.
d. Emergency Medical Service
Upaya Pertolongan terhadap penderita gawat darurat harus dipandang
sebagai satu system yang terpadu dan tidak terpecah-pecah. Sistem
mengandung pengertian adanya komponen-komponen yang saling
berhubungan dan saling mempengaruhi, mempunyai sasaran (output) serta
dampak yang diinginkan (outcome). Sistem yang bagus juga harus dapat diukur
dengan melalui proses evaluasi atau umpan balik yang berkelanjutan. Alasan
kenapa upaya pertolongan penderita harus dipandang sebagai satu system dapat
diperjelas dengan skema di bawah ini :
Injury & Dissaster Pre Stage Hospital Stage Rehabilitation
Hospital
First Responder Emergency Room Fisical
Ambulance Service 24 Operating Room Psycological
jam Intensif Care Unit Social
Ward Care

Berdasarkan tabel di atas, kualitas hidup penderita pasca cedera akan sangat
bergantung pada apa yang telah dia dapatkan pada periode Pre Hospital Stage

8
bukan hanya tergantung pada bantuan di fasilitas pelayanan kesehatan saja. Jika
di tempat pertama kali kejadian penderita mendapatkan bantuan yang optimal
sesuai kebutuhannya maka resiko kematian dan kecacatan dapat dihindari. Bisa
diilustrasikan dengan penderita yang terus mengalami perdarahan dan tidak
dihentikan selama periode Pre Hospital Stage, maka akan sampai ke rumah sakit
dalam kondisi gagal ginjal. Begitu cedera terjadi maka berlakulah apa yang
disebut waktu emas (The Golden periode). Satu jam pertama juga sangat
menentukan sehingga dikenal istilah The Golden Hour. Setiap detik sangat
berharga bagi kelangsungan hidup penderita. Semakin panjang waktu terbuang
tanpa bantuan pertolongan yang memadai, semakin kecil harapan hidup korban.
Terdapat 3 faktor utama di Pre Hospital Stage yang berperan terhadap kualitas
hidup penderita nantinya yaitu:

a) Siapa penolong pertamanya


b) Berapa lama ditemukannya penderita,
c) kecepatan meminta bantuan pertolongan
Penolong pertama seharusnya orang awam yang terlatih dengan dukungan
pelayanan ambulan gawat darurat 24 jam. Ironisnya penolong pertama di
wilayah Indonesia sampai saat tulisan ini dibuat adalah orang awam yang tidak
terlatih dan minim pengetahuan tentang kemampuan pertolongan bagi penderita
gawat darurat. Kecepatan penderita ditemukan sulit kita prediksi tergantung
banyak faktor seperti geografi, teknologi, jangkauan sarana tranport dan
sebagainya. Akan tetapi kualitas bantuan yang datang dan penolong pertama di
tempat kejadian dapat kita modifikasi.
Pada fase rumah sakit, Unit Gawat Darurat berperan sebagai gerbang utama
jalan masuknya penderita gawat darurat. Kemampuan suatu fasilitas kesehatan
secara keseluruhan dalam hal kualitas dan kesiapan dalam perannya sebagai
pusat rujukan penderita dari pra rumah tercermin dari kemampuan unit ini.
Standarisasi Unit Gawat Darurat saat ini menjadi salah satu komponen penilaian
penting dalam perijinan dan akreditasi suatu rumah sakit. Penderita dari ruang
UGD dapat dirujuk ke unit perawatan intensif, ruang bedah sentral, ataupun
bangsal perawatan. Jika dibutuhkan, penderita dapat dirujuk ke rumah sakit lain.

9
Uraian singkat di atas kiranya cukup memberikan gambaran bahwa
keberhasilan pertolongan bagi penderita dengan criteria gawat darurat yaitu
penderita yang terancam nyawa dan kecacatan, akan dipengaruhi banyak factor
sesuai fase dan tempat kejadian cederanya. Pertolongan harus dilakukan secara
harian 24 jam (daily routine) yang terpadu dan terkordinasi dengan baik dalam
satu system yang dikenal dengan Sistem Pelayanan gawat Darurat Terpadu
(SPGDT). Jika bencana massal terjadi dengan korban banyak, maka pelayanan
gawat darurat harian otomatis ditingkatkan fungsinya menjadi pelayanan gawat
darurat dalam bencana (SPGDB). Tak bisa ditawar-tawar lagi, pemerintah harus
mulai memikirkan terwujudnya penerapan system pelayanan gawat darurat
terpadu. Komponen penting yang harus disiapkan diantaranya :
1. Sistem komunikasi
Kejelasan kemana berita adanya kejadian gawat darurat
disampaikan, akan memperpendek masa pra rumah sakit yang dialami
penderita. Pertolongan yang datang dengan segera akan meminimalkan
resiko-resiko penyulit lanjutan seperti syok hipovolemia akibat
kehilangan darah yang berkelanjutan, hipotermia akibat terpapar
lingkungan dingin dan sebagainya. Siapapun yang menemukan
penderita pertama kali di lokasi harus tahu persis kemana informasi
diteruskan. Problemnya adalah bagaimana masyarakat dapat dengan
mudah meminta tolong, bagaimana cara membimbing dan mobilisasi
sarana tranportasi (Ambulan), bagaimana koordinasi untuk mengatur
rujukan, dan bagaimana komunikasi selama bencana berlangsung.
2. Pendidikan
Penolong pertama seringkali orang awam yang tidak memiliki
kemampuan menolong yang memadai sehingga dapat dipahami jika
penderita dapat langsung meninggal ditempat kejadian atau mungkin
selamat sampai ke fasilitas kesehatan dengan mengalami kecacatan
karena cara tranport yang salah. Penderita dengan kegagalan pernapasan
dan jantung kurang dari 4-6 menit dapat diselamatkan dari kerusakan
otak yang ireversibel. Syok karena kehilangan darah dapat dicegah jika
sumber perdarahan diatasi, dan kelumpuhan dapat dihindari jika upaya

10
evakuasi & tranportasi cedera spinal dilakukan dengan benar. Karena itu
orang awam yang menjadi penolong pertama harus menguasai lima
kemampuan dasar yaitu :
a) Menguasai cara meminta bantuan pertolongan
b) Menguasai teknik bantuan hidup dasar (resusitasi jantung paru)
c) Menguasai teknik mengontrol perdarahan
d) Menguasai teknik memasang balut-bidai
e) Menguasai teknik evakuasi dan tranportasi
Golongan orang awam lain yang sering berada di tempat umum
karena bertugas sebagai pelayan masyarakat seperti polisi, petugas
kebakaran, tim SAR atau guru harus memiliki kemampuan tambahan
lain yaitu menguasai kemampuan menanggulangi keadaan gawat
darurat dalam kondisi:
 Penyakit anak
 Penyakit dalam
 Penyakit saraf
 Penyakit Jiwa
 Penyakit Mata dan telinga
 Dan lainya sesuai kebutuhan sistem
Penyebarluasan kemampuan sebagai penolong pertama dapat
diberikan kepada masyarakat yang awam dalam bidang pertolongan
medis baik secara formal maupun informal secara berkala dan
berkelanjutan. Pelatihan formal di intansi-intansi harus diselenggarakan
dengan menggunakan kurikulum yang sama, bentuk sertifikasi yang
sama dan lencana tanda lulus yang sama. Sehingga penolong akan
memiliki kemampuan yang sama dan memudahkan dalam memberikan
bantuan dalam keadaan sehari-hari ataupun bencana masal.

3. Tranportasi
Alat tranportasi yang dimaksud adalah kendaraannya, alat-alatnya
dan personalnya. Tranportasi penderita dapat dilakukan melalui darat,
laut dan udara.

11
Alat tranportasi penderita ke rumah sakit saat ini masih dilakukan
dengan kendaraan yang bermacam-macam kendaraan tanpa kordinasi
yang baik. Hanya sebagian kecil yang dilakukan dengan ambulan,
itupun dengan ambulan biasa yang tidak memenuhi standar gawat
darurat. Jenis-jenis ambulan untuk suatu wilayah dapat disesuaikan
dengan kondisi lokal untuk pelayanan harian dan bencana.
4. Pendanaan
Sumber pendanaan cukup memungkinkan karena system asuransi
yang kini berlaku di Indonesia. Pegawai negeri punya ASKES, pegawai
swasta memiliki jamsostek, masyarakat miskin mempunyai
ASKESKIN. Orang berada memiliki asuransi jiwa.
5. Quality Control
Penilaian, perbaikan dan peningkatan system harus dilakukan secara
periodic untuk menjamin kualitas pelayanan sesuai tujuan.
2.2.Pengkajian Primer
Primary survey adalah penilaian awal terhadap pasien, bertujuan untuk
mengidentifikasi secara cepat dan sistematis dan mengambil tindakan terhadap
setiap permasalahan yang mengancam jiwa.
Primary survey harus dilakukan dalam waktu tidak lebih dari 2-5 menit.
Penanganan yang simultan terhadap trauma dapat terjadi bila terdapat lebih dari
satu keadaan yang mengancam jiwa(Wilkinson, 2000).
Hal tersebut mencakup:
1. Airway
Nilai jalan napas. Dapatkah pasien berbicara dan bernapas dengan
bebas? Bila ada sumbatan, langkah-langkah yang harus
dipertimbangkan adalah:
 Chin lift/jaw thrust (lidah melekat pada rahang)
 Suction (bila tersedia)
 Guedel airway/nasopharyngeal airway
 Intubasi. Pertahankan posisi leher dalam keadaan immobile pada
posisi netral.
2. Breathing

12
Breathing dinilai sebagai bebasnya airway dan adekuatnya
pernapasan diperiksa kembali. Bila tidak adekuat, langkah-langkah
yang perlu dipertimbangkan adalah:
 Dekompresi dan drainase dari tension pneumothorax/
haemotrhorax
 Penutupan trauma dada terbuka
 Ventilasi artificial
 Berikan oksigen bila tersedia
3. Circulation
Nilai sirkulasi, sebagai supplai oksigen dan bebasnya airway, dan
adekuatnya pernapasan diperiksa kembali. Bila tidak adekuat, langkah-
langkah yang perlu dipertimbangkan adalah:
 Hentikan perdarahan eksternal
 Pasang 2 IV line berkaliber besar (14 atau 16 G) bila
memungkinkan
 Berikan cairan bila tersedia
4. Disability
Penilaian neurologis cepat (apakah pasien sadar, member respon
suara terhadap rangsang nyeri, atau pasien tidak sadar). Tidak ada waktu
untuk melakukan pemeriksaan Glasgow Coma Scale, maka sistem
AVPU pada keadaan ini lebih jelas dan cepat:
 Awake (A)
 Verbal response (V)
 Painful response (P)
 Unresponsive (U)
5. Exposure
Tanggalkan pakaian pasien dan cari apakah ada luka. Bila pasien
disangkakan mengalami trauma leher maupun spinal, immobilisasi
dalam suatu garis lurus sangat penting (Wilkinson, 2000).

13

You might also like