Chapter 1
Chapter 1
Chapter 1
Pedogenesis Dan Klasifikasi Tanah Yang Berkembang Dari Dua Formasi Geologi
Dan Umur Bahan Erupsi Gunung Tangkuban Perahu
Mahfud Arifin 1), Rina Devnita1), Ridha Hudaya1), Apong Sandrawati1), Daud S. Saribun1),
Rachmat Harryanto1) dan Ganjar Herdiansyah2)
1Staff
Pengajar Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian
Universitas Padjadjaran
2Alumni Program Magister Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Padjadjaran
ABSTRACT
The efforts to utilize the agricultural land need a proper understanding of the soil
characteristics. The soil characteristics themselves are influenced by the factors that regulate and
control the soil forming and pedogenesis processes. The main soil forming factors in this study was
the different ages and composition of parent materials from the eruption of Mt. Tangkuban Parahu
in West Java. This research was done to comprehend the pedogenesis and to figure out the soil
classifications that developed in two geological formations (Qyd and Qvu) and two ages of eruption
(Holocene and Pleistocene) of Mt. Tangkuban Parahu. The study was conducted in Ciater, Subang
Regency and Jatinangor, Sumedang Regency in West Java Province. The study consisted of four
stages: preparation, field survey and soil sampling, laboratory analysis and presenting the report.
The results showed that Pedon of Jatinangor consisted of three different stratifications of ages. The
clay mineralogical composition was dominated by kaolinite, whereas mineralogical composition of
the sandy fractions (heavy fractions) was augite-hypersthene. Pedon of Ciater also consists of three
different stratifications of age. The clay mineralogical composition was dominated by allophane,
while mineralogical compositions of the sandy fractions (heavy fractions) were green amphibole-
hypersthene in the overlying horizons and amphibole-augite in the underlying horizons. The stage of
soil formation on both pedon were cambic or viril. The soil classification according to Soil Taxonomy
were Acrudoxic Durudands, medial over loamy-skeletal, isohyperthermic in Ciater Pedon and
Fluventic Eutrudepts, fine, kaolinitic, isohyperthermic in Jatinangor Pedon.
Key words: slow sand filter, activated carbon, silica sand, sand, gravel, zeolite
20
Soilrens, Volume 15 No. 1, Januari – Juli 2017
sedangkan Qyd merupakan tufa pasir. contoh tanah untuk keperluan analisis di
Perbedaan geologi ini akan menyebabkan laboratorium (fisika, kimia, dan mineralogi)
perbedaan sifat-sifat tanah yang dihasilkan. dilakukan pada satu buah pedon di Ciater
Hasil pemetaan dari Lembaga Penelitian yang berkembang dari tufa pasir yang
Tanah (LPT) Bogor pada tahun 1971, berumur holosen akhir, serta satu buah pedon
menunjukkan bahwa tanah di wilayah di Jatinangor yang berkembang dari dari hasil
Jatinangor diklasifikasikan sebagai Latosol, gunung berapi tak teruraikan yang berumur
sedangkan di wilayah Ciater diklasifikasikan plistosen. Letak pedon tersebut ditetapkan
sebagai Andosol menurut Sistem Klasifikasi berdasarkan hasil pengamatan, sehingga
Tanah Dudal-Soepraptohardjo (1961). cukup representatif untuk mewakili tanah di
Bahan induk merupakan faktor utama areal tersebut.
yang mempengaruhi proses pembentukan Analisis laboratorium dilakukan di
tanah di lokasi penelitian. Tan (1965) Laboratorium Kesuburan Tanah dan Nutrisi
mengemukakan bahwa di Indonesia tanah ini Tanaman dan Laboratorium Fisika Tanah
berkembang dari bahan induk yang beragam, Departemen Ilmu Tanah Fakultas Pertanian
sehingga perkembangan ataupun sifat-sifat Universitas Padjadjaran di Jatinangor. Analisis
tanah yang terbentuk akan berbeda. mineral dilakukan di Laboratorium
Daerah Jatinangor (760 mdpl) termasuk Mineralogi Balai Penelitian Tanah di Bogor.
pada Zona Agroklimat B2 (Oldeman, 1975) Penetapan mineral liat dilakukan dengan
dengan jumlah curah hujan tahunan sebesar analisis diferensial termik (Differential
2000 mm. Bentuk wilayah umumnya Thermal Analysis/DTA).
bergelombang sampai agak berbukit. Penentuan lokasi penelitian dilakukan
Penggunaan lahan berupa ladang/tegalan melalui survai lapang terlebih dahulu untuk
dengan vegetasi jagung, kacang tanah, menentukan sub ordo tanah dengan bantuan
singkong, cabe merah. Ciater terletak di Peta Tanah Indonesia, LPT (1985) skala 1 :
daerah perbukitan/pegunungan dengan 2.500.000, dan Peta Tanah Jawa Barat (LPT,
ketinggian 1250 m dpl. Penggunaan lahan 1973) skala 1 : 250.000, Peta Rupa Bumi
berupa perkebunan teh, ladang/tegalan Lembar Subang dan Lembar Jatinangor
dengan vegetasi tanaman hortikultura. (Bakosurtanal, 2007) skala 1 : 25.000, serta
Penelitian ini dilaksanakan untuk Peta Geologi Lembar Bandung, Jawa (Pusat
mengungkapkan informasi tentang Penelitian dan Pengembangan Geologi, 1973)
karakteristik tanah di Jatinangor dan Ciater Skala 1 : 100.000. Penetapan taksa tanah
yang meliputi sifat-sifat morfologi, kimia, didasarkan Taksonomi Tanah (Soil Survey
fisika, mineral (mineralogi) serta proses- Staff , 1999, 2014) dan Rochim dan Arifin,
proses pedogenesis yang menyertai (2011) melalui pembuatan dan pengamatan
pembentukan tanah dan klasifikasi tanahnya pedon tanah di dua areal kajian untuk
berdasarkan Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, mendapatkan dua taksa tanah yang secara
2014). morfologis berbeda. Dua areal tersebut
mempunyai kemiringan lahan, penggunaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
lahan, dan curah hujan yang relatif sama dan
memberikan informasi awal atau data dasar
memiliki bahan induk yang berbeda.
mengenai karakteristik tanah di lokasi kajian
sehingga bisa memberikan arahan Pengamatan pedon tanah dilakukan dari
pengembangan pertanian dan penelitian- lubang yang berukuran 2 m x 1 m x 1,5 m,
penelitian yang akan dilakukan. memanjang ke arah Barat-Timur yang
dilengkapi dengan tangga, sehingga
2. METODE PENELITIAN memudahkan pengamatan dan memungkin-
kan cahaya matahari dapat masuk ke dalam
Pengamatan morfologi tanah dan
lubang profil dengan leluasa. Dekripsi profil
keadaan lingkungan serta pengambilan
21
Soilrens, Volume 15 No. 1, Januari – Juli 2017
tanah berpedoman pada buku panduan “Soil permukaan berkisar dari warna coklat tua
Survey Staff, 1999“. Pengamatan morfologi (10YR 3/3) sampai coklat tua kekuningan
tanah meliputi penetapan horison, warna (10YR 3/4). Horison A tertimbun umumnya
(matrik dan karatan), tekstur, struktur, berwarna lebih gelap dari horison di atasnya
konsistensi, bahan organik, pori-pori, padas sedangkan horison B dan BC berwarna lebih
dan lainnya. Setiap horison diamati dan terang dari horison di atasnya. Pedon ini
dicatat sifat morfologinya kemudian diambil menunjukkan adanya stratifikasi bahan
contohnya untuk keperluan klasifikasi tanah volkan yang berbeda akibat penimbunan hasil
sampai tingkat famili. erupsi volkanik yang berulang-ulang. Horison
permukaan (Ap) berwarna gelap akibat
3. HASIL DAN PEMBAHASAN akumulasi bahan organik yang tinggi, dalam
3.1 Morfologi Tanah kaitannya dengan umur dan sifat bahan induk
pedon ini tidak memperlihatkan perbedaan
Hasil pengamatan di Pedon Jatinangor
warna yang mencolok. Hasil ini diduga sifat
terhadap sifat morfologi tanahnya bahan induk basaltik pada kondisi curah
menunjukkan adanya 11 horison tanah, hujan yang relatif tinggi, telah menyebabkan
yang dapat dikelompokan menjadi 3 warna tanah cenderung coklat tua
sekum/timbunan bahan yang berbeda kekuningan.
(lithologic discontinuity), yaitu timbunan
pertama sampai kedalaman 50 cm dari 3.2 Susunan Mineral Fraksi Pasir
permukaan tanah yang terdiri dari empat Hasil analisis mineral fraksi pasir (fraksi
horison (Ap, AB, Bw1, Bw2); timbunan IV) pada Pedon Jatinangor memperlihatkan
kedua dari kedalaman 50 cm sampai adanya asosiasi mineral fraksi berat yang
dengan 138 cm yang terdiri dari empat berbeda berdasarkan susunan horisonnya.
horison (2A’b, 2B’w1, 2B’w2, 2Bw3) dan Hal ini menunjukkan adanya penimbunan
timbunan ketiga dari kedalaman 138 cm bahan volkanik yang berbeda umurnya
sampai dengan 200 cm yang terdiri dari tiga walaupun bahan induknya relatif sama yaitu
horison (3a”b, 3B”w1, 3B”w2). Perkemba- andesitik (plagioklas intermedier). Fenomena
ngan horison pada setiap sekum merupakan seperti ini biasa terjadi pada tanah-tanah yang
ciri bahwa selang waktu penimbunan berkembang dari abu volkan akibat erupsi
volkanik (umur erupsi) cukup lama. yang berulang-ulang dalam interval waktu
yang berlainan.
Warna tanah lembab sampai kedala-
Komposisi mineral pada masing-masing
man 50 cm dari permukaan tanah berkisar
horizon dapat dilihat pada Tabel 1. Susunan
dari coklat gelap (7,5 YR3/4) sampai coklat
mineral utama pada fraksi total bahan muda
kemerahan gelap (5YR3/4), sedangkan
yang paling atas (timbunan terakhir) ialah
warna tanah pada kedalaman 50 – 200 cm
konkresi dan amfibol hijau, sedangkan pada
memiliki warna lebih terang yaitu merah
timbunan kedua ialah konkresi besi dan pada
kekuningan (5YR 4/6). Terdapat beberapa timbunan yang paling bawah ialah bahan
perbedaan dari segi warna pada timbunan hancuran dan konkresi besi. Hasil analisis
pertama lebih gelap/tua dibandingkan menunjukkan makin tua bahan volkanik maka
dengan dua timbunan di bawahnya, dan makin tinggi kandungan mineral opaknya
timbunan ke dua dan ke tiga memiliki (magnetit) sedangkan kandungan konkresi
warna tanah yang hampir sama. besinya makin berkurang. Hal ini
Pedon Ciater menunjukkan sifat morfo- memperlihatkan bahwa semakin tua bahan
logi tanahnya yaitu warna tanah berkisar dari volkanik maka konkresi besi akan berubah
coklat tua kemerahan (5YR 3/3) sampai menjadi magnetit. Pada timbunan bahan
coklat kekuningan (10YR 5/6 – 5/8). Horison volkanik terakhir (lapisan 50 cm paling atas)
22
Soilrens, Volume 15 No. 1, Januari – Juli 2017
kandungan mineral mudah lapuknya mineral asal pada seluruh horison jumlahnya
ditemukan masih tinggi, hal ini menunjukkan sangat sedikit sampai tidak ada, kecuali pada
masih tingginya cadangan mineral pada lapisan yang paling atas yang kemungkinan
lapisan top soil. kandungan mineral bahan besar terkontaminasi oleh erupsi segar dari
hancuran atau hasil pelapukan mineral- gunungapi sekitarnya (Gunung Galunggung).
Hasil analisis Pedon Ciater menunjukkan asosiasi mineralnya yaitu augit-hiperstin (0-
adanya penimbunan bahan volkan yang 43 cm), augit (43-94 cm) dan amfibol hijau
berulang-ulang dengan adanya asosiasi (94-148 cm). Bahan induk dari Pedon Ciater
mineral yang sama atau berbeda. Pedon Ciater ini bersifat andesitic, hal ini didasarkan pada
memiliki kandungan fragmen batuan yang pengelompokan sifat bahan induk serta
cukup banyak, memiliki nilai nisbah mineral penetapan jenis mineral plagioklas.
hasil lapukan (MHL) dan mineral mudah Berdasarkan analisis mineral ini
lapuk (MML) relatif kecil. Pedon Ciater terdiri menunjukkan bahwa bahan volkanik sebagai
dari tiga stratifikasi bahan yang berbeda bahan induk tanah Jatinangor telah berumur
23
Soilrens, Volume 15 No. 1, Januari – Juli 2017
tua (awal kuarter atau pleistosen) apabila lebih rendah dibandingkan dua timbunan di
dibandingkan dengan erupsi resen G. bawahnya.
Tangkuban Perahu yang membentuk tanah-
tanah Andisol di Ciater yang berumur holosen.
24
Soilrens, Volume 15 No. 1, Januari – Juli 2017
Tabel 3 Komposisi Mineral Liat pada Pedon Ciater dan Pedon Jatinangor
Puncak Kurva Termogram DTA
Pedon Horison Puncak Reaksi
Jenis Mineral
Endotermal (0C) Exotermal (0C)
Ciater Ap 80; 520 300 Alofan, imogolit, ferihidrit
BC 120: 410; 785 330; 835 Alofan, imogolit, ferihidrit
2BC 125; 320; 390; 530 900 Alofan, imogolit, ferihidrit
3Ab 125; 405 280; 900 Alofan, imogolit, ferihidrit
3Bw 130; 380 320; 820 Alofan, imogolit, ferihidrit
Nilai Kapasitas Tukar Kation (KTK) Nilai kejenuhan basa (KB) berkisar 20-97
berkisar antara 9,92-49,92 me/100 g, yaitu % yaitu rendah sampai sangat tinggi. Nilai
rendah sampai sangat tinggi. Kation-kation kejenuhan basa yang tinggi perlu perlu
dapat ditukar yang paling dominan hingga dicermat, hal ini bukan berarti tanah tersebut
yang terendah berturut-turut adalah kalsium, sangat subur mengingat nilai kapasitas tukar
magnesium, natrium dan kalium. Kisaran nilai kation yang rendah karena mineral fraksi
kalsium adalah 5,62-8,02 me/100 gr (sedang), liatnya didominasi oleh kaolinit yang secara
magnesium 2,35-3,58 me/100 gr (tinggi), alami memiliki muatan netto negatif yang
natrium 0,36-0,73 me/100 gr (sedang), dan rendah (3-15 me/100 gr liat). Nilai Al-dd
kalium 0,06-0,12 me/100 gr (rendah). berkisar antara 0,00-1,15 me/100 gr.
25
Soilrens, Volume 15 No. 1, Januari – Juli 2017
26
Soilrens, Volume 15 No. 1, Januari – Juli 2017
27
Soilrens, Volume 15 No. 1, Januari – Juli 2017
28