Pentingnya Pendidikan Nilai Moral Bagi Generasi Penerus: Insania Vol.
Pentingnya Pendidikan Nilai Moral Bagi Generasi Penerus: Insania Vol.
Pentingnya Pendidikan Nilai Moral Bagi Generasi Penerus: Insania Vol.
Ahmad Nawawi
Jurusan PLB FIP UPI Bandung
Abstract
Moral/ Religion Values Education in Indonesia from 1968 to
nowadays are still neglected, it has not been addressed in a planned
and serious. This is proved by the number of hours learning that has
nuances of religious and moral education in minimal, it is only 2 to 4
hours per week than the hours from 34 to 42 hours per week. Whereas
by KTSP, it is actually more manageable, so that these needs can be
accommodated and fulfilled.
Moral/ Religion Values Education is very important for youth as the
future generation, that lifted the nation’s dignity, increasing quality of
life, life for the better, safe and comfortable and prosperous. Education
is to form the next generation who has German brains and has Mecca
heart that reflects a balance between knowledge and practice of the
moral / religious values.
Ideal conditions of the next generation youth, as an individual who
is growing, and therefore need to be given the opportunity to grow
in proportion, directed, and optimal and get a balanced education
services between knowledge and moral / religion education. They
have a role and position strategic in the continuity of the nation life.
But the factual conditions in the field as it appears in print and
electronic media, in fact as the next generation, youths caught up in
immoral behavior that is very worrying and fearing even disturbing
the public, such as the emergence of biker gangs, fights (students,
university students, and even between villages involving mass ). It
is predicted as a result of the neglect of Moral Values Education in
Indonesia. Therefore, this writing tries to explore based on literature
review and the real conditions in the field to obtain a reliable solution
/ cespleng. Assisted by the Social and Moral Development theories of
Albert Bandura and Kohlberg expected a solution to encourage the
implementation of Moral/ Religion Values Education in Indonesia.
Keywords: Moral Values Education / Religion, next generation.
Vol 16
INSANIA Vol. , Mei - Agustus 2011 119
, No . 2,
Ahmad awawi
Pendahuluan
Apabila kita melihat dari sudut pandang psikologi perkembangan,
dunia nampak semakin tua, manusia semakin cerdas, pengetahuan se ma-
kin dewasa, dan teknologi pun semakin canggih. Namun di balik semua
itu, apakah kehidupan kita menjadi semakin baik, semakin nyaman, dan
semakin sejahtera baik secara lahiriah maupun bathiniah? Mungkin tidak,
bah kan sebaliknya. Kehidupan kita nampaknya semakin mundur dan
ter puruk, reformasi kita gebablasan, korupsi semakin terang-terangan
dan merajalela, krisis multi dimensi pun tak kunjung selesai. Bangsa ini
nampaknya sudah cukup lelah melihat, menyaksikan dan mengalami ke-
adaan yang demikian. Seperti dikemukakan oleh Dedi Supriadi (Pikiran
Rakyat, 12 Juni 2001: 8-9), bahwa orde baru berakhir, dan muncul era
reformasi. Era ini menyaksikan sosok bangsa ini yang lunglai, terkapar
dalam ketidak berdayaan akibat berbagai krisis yang dialaminya.
Keadaan tersebut tidak saja mengakibatkan terpuruknya ekonomi,
tetapi juga mengakibatkan merosotnya kualias hidup, bahkan merosotnya
martabat bangsa. Apakah gerangan yang menyebabkan semua itu? Kalau
kita telaah mungkin akan muncul sederetan faktor penyebab. Ada yang
mengatakan karena pejabatnya tidak jujur, korup, penegak hukumnya
tidak adil, rakyatnya tidak produktif, karyawan bawahannya tidak loyal,
tidak bisa kerjasama, tidak empati, tidak mempunyai keteguhan hati dan
komitmen, pelajar dan mahasiswanya tawuran, dan sebagainya.
Kalau kita simak dari uraian di atas, faktor penyebab utamanya ada-
lah masalah nilai moral, sekali lagi nilai moral. Mungkinkah nilai moral
sudah hilang di Negara kita? Mungkinkah nilai moral sudah tidak dimiliki
oleh generasi penerus bangsa? Seperti dikatakan oleh Pam Schiller dan
Tamera Bryant (2002: viii), bahwa jika kita meninggalkan pelajaran
tentang nilai moral yang kebanyakan sudah berubah, kita, sebagai suatu
Negara, beresiko kehilangan sepotong kedamaian dari budaya kita.
Timbullah pertanyaan, apakah pelajaran tentang nilai moral di Negara
kita selama ini telah diabaikan? Menurut Dedi Supriadi, pendidikan bu-
di pekerti dan pendidikan agama pada saat itu (1968-1980-an) dapat
dikatakan ‘terpinggirkan’ oleh haru-biru semangat Pendidikan Moral
Pancasila. Bagaimana pada tahun 1990-2000-an sampai sekarang? Apakah
pendidikan budi pekerti dan pendidikan agama masih juga terabaikan?
121
Vol 16
INSANIA Vol. , No . 2,
, Mei - Agustus 2011
Ahmad awawi
Tinjauan Teoretis
Apakah pendidikan nilai moral itu? Pendidikan dalam arti yang luas
meliputi semua perbuatan dan usaha dari generasi tua untuk mengalihkan
pengetahuannya, pengalamannya, kecakapannya serta keterampilannya
kepada generasi muda sebagai usaha menyiapkannya agar dapat me-
me nuhi fungsi hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah (Soegarda
Poerbakawaca dan Harahap, H.A.H., 1981: 257).
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003
pasal 1 ayat (1): “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk me-
wujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiri tual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.”
123
Vol 16
INSANIA Vol. , No . 2,
, Mei - Agustus 2011
Ahmad awawi
Vol 16
INSANIA Vol. , No . 2,
, Mei - Agustus 2011 125
Ahmad awawi
127
Vol 16
INSANIA Vol. , No . 2,
, Mei - Agustus 2011
Ahmad awawi
dari saling mengejek dan mencaci, saling lempar batu, saling memukul,
dan bahkan menggunakan senjata tajam sehinggs seringkali terjadi
saling bunuh, sehingga pada jenjang ini mereka mendapatkan julukan
“SMA tawuran”. Pada gilirannya di tingkat Perguruan Tinggi mereka
bertambah agresif dan pemberani, mereka menjadi pendemo yang
tangguh, tidak hanya lawan sebaya sesama mahasiswa yang dijadikan
musuh, tetapi aparat pun dilawan, bahkan berani mencaci maki para
pejabat, dan pemimpin Negara walaupun nyawa menjadi taruhannya,
mereka nyaris tidak pernah takut. Padahal lawan mereka adalah orang-
orang yang seharusnya mereka tolong, hormati, hargai, dan segani.
Seperti yang kita saksikan di TV dan Koran hampir setiap hari terjadi
demo dan bentrokan mahasiswa dengan aparat Negara.
Perilaku amoral, tawuran kolektif, menurut Gustve le Bon dalam
bukunya The Crowd, identik dengan irasionalitas, emosionalitas, dan
peniruan individu. Perilaku seperti ini berawal dari sharing nilai atau
penyebaran isu, kemudian kumpulan individu tersebut frustasi dan
akhirnya melakukan tindakan anarkis. Faktor-faktor ini bisa menjadi
penyebab terjadinya konflik yang dapat menimbulkan kerusuhan sosial
“ ujar Imam B. Pasojo, sosiolog dari UI.
- Kondisi Ideal Remaja sebagai Generasi Penerus
Remaja sebagai generasi penerus bangsa memiliki peran dan posisi
yang strategis. Mereka merupakan harapan masa depan bangsa. Maju
atau mundurnya bangsa dan Negara ada di pundak mereka. Kalau mereka
maju maka majulah Negara, tetapi kalau meraka bobrok, mundur, dan
loyo, maka mundurlah Negara. Sudut pandang psikologi para remaja
sebagai generasi penerus memiliki potensi yang bisa dikembangkan
secara maksimal. Potensi mereka yang prospektif, dinamis, energik,
penuh vitalitas, patriotisme dan idealisme harus dikembangkan melalui
pendidikan dan pelatihan yang terrencana dan terprogram.
Remaja sebagai generasi penerus juga memiliki kemapuan potensial
yang bisa diolah menjadi kemampuan aktual. Selain itu juga memiliki
potensi kecerdasan intelektual, emosi dan sosial, berbahasa, dan kecerdasan
seni yang bisa diolah menjadi kecerdasan aktual yang dapat membawa
mereka kepada prestasi yang tinggi dan kesuksesan. Mereka memiliki
potensi moral yang dapat diolah dan dikembangkan menjadi moral yang
129
Vol 16
INSANIA Vol. , No . 2,
, Mei - Agustus 2011
Ahmad awawi
di luar dirinya, sehingga tertanam pada diri anak bahwa semua yang di luar
dirinya adalah salah.
Kalau itu terus berkembang, satu saat nanti ketika dia menjadi maha-
siswa atau pejabat, dia akan menjadi manusia yang selalu menyalahkan
orang lain, dan tidakpernah merasa dirinya yang bersalah dan harus meminta
maaf. Bahkan yang terjadi adalah mencaci orang lain, menyalahkan orang
lain walaupun kenyataannya orang lain lebih pintar dari dirinya. Pejabat
pun mereka caci maki, bahkan presiden pun mereka caci maki.
Teori pembelajaran sosial dari Bandura dapat dipahami bahwa peri-
laku anti sosial dan amoral, seperti yang ditayangkan di media elektronika
dan cetak akan menjadi idola dan contoh yang sangat mudah dan cepat
ditiru dan diadopsi oleh anak. Hal ini sangat berbahaya. Seperti tayangan
yang jelas jelas merupakan film kekerasan setingakat anak TK yang
dipoles dengan humor. Film eksen yang penuh adegan perkelahian, darah,
dan pembunuhan yang dengan mudah dapat diakses oleh anak dan para
gene rasi muda penerus bangsa. Semua itu akan memicu tindak amoral
dan kekerasan di kalangan anak-anak dan remaja. Seperti dikatakan oleh
Bandura, “bahwa dalam kehidupan sehari-hari individu menghadapi ber-
bagai jenis stimulus model, yakni model hidup (seperti: bintang film,
guru, orang tua, dan teman sebaya) dan model lambing adalah perwujudan
tingkah laku dalam gambar, seperti: film, TV, dan media cetak lainnya.
Saran
- Ditujukan terutama kepada pembuat kebijakan, agar pendidikan
nilai moral/pendidikan agama ini segera mendapat perhatian, se-
gera ditata kembali agar berfungsi secara proporsional dan dila ku-
kan secara professional, terencana, terprogram, dan terarah. Pen -
didikan nilai moral hendaknya dapat dimasukkan ke dalam sistem
131
Vol 16
INSANIA Vol. , No . 2,
, Mei - Agustus 2011
Ahmad awawi
Daftar Pustaka
Majid, Abdul., A.A. (2001). Mendidik dengan Cerita. 30 cerita pilihan.
Bandung: P.T. Remaja Rosda Karya
Allen, Bem P. (1990). Personal Adjusment. Wodsworth, California:
Belmont Inc.
Bandura, A., & Walter, R.H. (1973). Social Learning Theory and
Personality Development. New York: Holt Rinehart and Winston
Cronbach, L.J. (1977). Educational Psychology, 3 edition, Harcourt Brace
Javanovich, Inc.
Calhoun, F. James, & Acoclla J. R. Alih bahasa R.S. Satmoko. (1990).
Psikologi tentang Penyesuaian dan Hubungan Kemanusiaan.
Edisi ketiga, IKIP Semarang Press
Darling, N. (1999). Parenting Style and Its Correlates. Eric Degest.
Champaign IL: ERIC Clearinghouse on elementary and Early
Chilhood Education. (online)Tersedia: ttp://www.ed.gov/
databases/ERIC_Digest/ed427896.html
Fraenkel, Jack R. (1977). How to Teach About Values: An Analytik
Approach . Enflewood Cliffs, New Jersedy: Prentice Hall, Inc.
Larry Winecoff, H. (1998). Values Education , conceps and Models,
Bandung: Depdikbud. PPs, IKIP
Kniker, Charles R. (1977). You And Values Education . Iowa State University.
Columbus, Ohio: Charles E. Merrill Publishing Compeny, A Bell
& howell Company
Kregman, J.J & Worchel, P. (1961). Arbitrarines of Frustration and
Agression. Journal of Abnormal and social Psychology 63
Schiller, P. & Bryant, T. (2002). Values Book for Chilren, 16 Moral Dasar
Bagi Anak, disertai kegiatan yang bisa diolakukan orang tua
bersama anak, Jakarta: PT Elex Mesia Komputindo, kelompok
Gramedia
Syah, M. (2002). Pengantar: Utami Munandar. Psikilogi Belajar. Jakarta:
Logos Wacana Ilmu dan Pemikiran
Vol 16
INSANIA Vol. , No . 2,
, Mei - Agustus 2011 133