Golongan Yang Dicari
Golongan Yang Dicari
Golongan Yang Dicari
Pendahuluan
Islam datang ke Indonesia dari beberapa wilayah di Timur Tengah
dan India. Dikatakan menjelang abad ke-10, Islam datang dengan
menyeberangi negeri Yaman, Hadramaut, dan Gujarat, Islam sampai
Kerajaan Samudera Pasai. Di mana peran tasawuf meningkat secara tajam terhadap
penyebaran Islam di Aceh dan sekitarnya. Lihat Azyumardi Azra, Renaissance Islam
Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan (Bandung: Rosdakarya: 1999).
3 Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat, 6 .
b. ‘Alî Abû al-‘Abbâs al-Rifâ‘î yang lahir pada 1106 M. Tarekat ini
dikembangkan oleh Nuruddin ar-Raniri di Aceh.4
Oleh Hamzah Fansuri maupun Nuruddin ar-Raniri, ajaran-ajaan
tarekat yang mereka ajarkan tersebar melalui jalur periwayatan dan
penulisan naskah-naskah beraksara Arab-Melayu (Jawi). Di antara
naskah-naskah ini adalah Asrâr al-‘Ârifîn, Sharab al-‘Ashiqîn, Zinat al-
Muwah}iddîn, al-S}irât} al-Mustaqîm, Bustân al-Salâtîn fî Dhikr al-Awwalîn wa
al-Âkhirîn, Dhurrat al-Farâ’idh bi Sharh} al-‘Aqâ’id, dan Shifâ’ al-Qulûb.
Dalam naskah-naskah ini, ajaran-ajaran tasawuf dikaji tidak hanya dari
sisi spiritualitas. Namun juga mengkaji lebih jauh dari sisi filsafat.5
Oleh para pendakwah Islam di kemudian hari, perpaduan ajaran-
ajaran Islam dengan unsur-unsur filsafat dalam pengajaran tasawuf—
termasuk dalam naskah-naskah beraksara Jawi—ditanamkan secara
sosio kultural dan menjadi salah satu unsur utama dalam praktik
keberislaman di berbagai daerah di Indonesia. Salah satu daerah
tersebut adalah Banten dan Lombok. Di Banten, ajaran-ajaran tasawuf
dapat dilihat pada Hikayat Hasanuddin dan tradisi orang-orang di
Banten yang meyakini Mekah sebagai pusat kosmis dan
supranaturalitas.6 Sedangkan di Lombok, ajaran ajaran tasawuf dapat
dilihat pada tradisi pernaskahan dan budaya berfilosofi.7
Tasawuf dan Sejarah Islam di Lombok
Berdasarkan data-data yang ada di beberapa naskah-naskah
beraksara Jawi dan Kawi, sejarah masuk dan berkembangnya Islam di
Lombok datang dari dua pelabuhan, yaitu Labuhan Carik di Utara
Lombok dan Labuhan Kayangan di Timur Lombok. Dari kedua
pelabuhan ini, Islam tersebar di berbagai desa di Lombok dan
membentuk sebuah entitas keagamaan yang terakulturasi secara unik
dengan kultur lokal setempat. Entitas ini berdasarkan kepada dua hal,
yaitu nilai-nilai spiritual dalam pandangan filosofis tentang kesatuan
antara Tuhan, manusia, dan alam, dan nilai-nilai ketarekatan dalam
naskah-naskah kuno. Apabila dipetakan secara makro, sejarah masuk
4 Lihat Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Bandung: Mizan,
1995), 188-189.
5 Tim Peneliti Balai Litbang Agama Jakarta, Koleksi dan Katalogisasi Naskah Klasik
8 Lihat Lalu Muhammad Ariadi, Haji Sasak: Sebuah Potret Dialektika Haji dan
Kebudayaan Lokal (Jakarta: IMPRESSA, 2013), 64-65.
9 Filsafat imanensi yang dimaksud adalah tidak lain terkait dengan Filsafat
Ketuhanan.
10 Lihat Tim Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Khazanah Naskah Desa
Kebudayaan, Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat (t.t.: Pusat Penelitian Sejarah dan
Budaya Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1977/1978), 41-42.
12 Di antara teks-teks yang ditulis ulang tersebut adalah al-Qur’ân, Naskah Kitab
T}arîqat, Naskah Ma‘rifat al-Jabbâr, Naskah Fiqh Fath} al-Rah}mân, Qis}as} al-Anbiyâ’.
Lihat Mujib dan Achmad Cholid Sodrie, Khazanah Naskah Desa Ketangga, Kecamatan
Suela, Kabupaten Lombok Timur (Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata,
2004), 92-93.
13 Meski pandangan keagamaan ini ada di dalam naskah al-Tuh}fah al-Mursalah ilâ Rûh}
al-Nabîy. Namun tidak semua penganut Islam Wetu Telu memahami dan
melaksanakannya secara baik.
14 Ariadi, Haji Sasak, 113-114.
15 Unsur-unsur filosofis ini di sekitar Ketangga dan beberapa desa di sekitarnya lebih
Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Nusantara
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), 60.
18 Sudirman, Referensi Muatan Lokal: Gumi Sasak dalam Sejarah (Pringgabaya: Yayasan
21 Lihat Geoffrey E. Marrison, Sasak and Javanes Literature of Lombok (Leiden: KITLV
Press, 1999).
22 Ibid., 4. Selain dikenal dengan nama Sunan Prapen, Sunan Prapen juga dikenal
dengan nama Sunan Semeru. Pada saat ia singga di Bali, ia dikenal dengan nama
Pedande Wau Rauh. Lihat M. Muhaimin Ali, Praktik Keberagamaan Masyarakat Islam
Waktu Telu di Lombok Nusa Tenggara Barat (Jakarta: Universitas Muhammadiyah
Jakarta, 1999), 47.
23 Lihat Erni Budiwanti, Islam Sasak: Islam Wetu Lima versus Islam Wetu Telu
Budaya Sasak (Yogyakarta: Adab Press UIN Sunan Kalijaga, 2006), 69-70.
26 Budiwanti, Islam Sasak , 287.
Gangga.
Mara ing
Nagareng
Yunan
17. Ana Kidung 7 Cerita Nabi Adam Kemanusiaan
dan Tarekat
18. Andanigar 2 Cerita Menak Kemanusiaan
19. Asmara Kandi 1 Cerita Menak Kemanusiaan
20. Babad Lombok 1 Babad Sejarah
21. Babad Tuan 1 Babad Sejarah
Besar
22. Babad Lombok 1 Babad Sejarah
23. Badik Walam 4 Cerita Menak Kemanusiaan
26. Bancangah 1 Bancangah Sejarah
Batu Dendeng
27. Badik Walam 4 Cerita Menak Kemanusiaan
28. Bancangah 1 Bancangah Sejarah
Batu Dendeng
29. Dalang Jati 2 Filosofi Filosofi
30. Doyan Neda 4 Cerita Rakyat Literature
31. Jatiswara 46 Teologi Filosofi
32. Kabar Melayu 3 Cerita Menak Kemanusiaan
33. Kitab 1 Ajaran Islam dan Agama
Perukunan Tasawuf
34. Manusia Jati 1 Teologi dan Tasawuf Filosofi
35. Insan Kamil 2 Teologi dan Tasawuf Filosofi
Selain naskah-naskah tersebut, beberapa naskah kuno beraksara
Arab Melayu atau Jawi memperkuat penjelasan tentang peran penting
pernaskahan terhadap pertumbuhan dan perkembangan Tarekat di
Lombok. Di antara naskah-naskah ini adalah Qis}as} al-Anbiyâ, al-Tuh}fah
al-Mursalah ilâ Rûh} al-Nabîy, al-Insân al-Kâmil, Bayân al-Tas}dîq, Ma‘rifat
al-Jabbâr, Sayr al-Sâlikîn dan Tarekat Imâm Abû H}asan. Semua naskah-
naskah ini membahas tentang salat, tarekat serta ajaran-ajaran sufi
yang berpusat kepada simbolisasi ibadah, termasuk haji, dalam
sharî‘ah dan tingkatan-tingkatan dalam ketarekatan yang dikenal
dengan sharî‘ah, tarekat, hakikat, dan ma‘rifah.35
Sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan penyebaran
ajaran-ajaran tasawuf di Lombok, penulisan naskah-naskah keagama-
an berperan penting terhadap bertahannya gerakan-gerakan tarekat di
Lombok sejak abad ke-15 M hingga saat ini di pedesaan Lombok.
Dengan mengakulturasikan ajaran-ajaran Islam dalam tasawuf dengan
37 Ariadi, Haji Sasak, 75. Menurut beberapa tokoh tarekat yang ada di desa-desa
yang masih menganut Wetu Telu, Wetu Telu dipandang sebagai sebuah bentuk variant
Islam yang berubah karena pengaruh Hindu Bali. Bagi mereka, konsep kosmologis
yang mereka yakini tidak berbeda dengan ajaran-ajaran tarekat yang mereka pelajari.
38 Pandangan ini bisa dipelajari naskah Ana Kidung yang berkisah tentang Ka‘bah
Penyakit yang disebabkan makhluk halus. Selain itu, naskah ini berisi
doa-doa dalam pengobatan. Jumlah halaman naskah ini 54 lempir (108
halaman) dengan huruf Jejawan dan Bahasa Sasak.41
5. Naskah Usada 5
Naskah ini ditulis dengan cara digores di atas daun lontar
menggunakan pisau Pangot. Sistem penulisannya adalah Rekto Verso.
Naskah ini berisi bahan obat-obatan dan cara pengobatannya, syarat-
syarat pengobatan, berbagai pantangan dan doa-doa dalam
pengobatan. Naskah ini memiliki 56 lempir (112 halaman) dengan
huruf Jejawan dan Bahasa Sasak.42
Oleh orang-orang Lombok, kelima Naskah Usada Rara yang
saling terkait satu sama lain tersebut ditetapkan menjadi acuan bagi
pelaksanaan tiga tradisi yaitu tradisi mengobati, tradisi menjaga hutan,
dan tradisi mengamalkan fiqh alam. Ketiga tradisi yang dikatakan
muncul sejak abad ke-14 M ini di kemudian hari berkembang menjadi
budaya berpikir tentang alam. Sebuah budaya yang dianut oleh orang-
orang yang tinggal di pedesaan dan di wilayah hutan di Lombok. 43 Hal
ini juga diyakini oleh orang-orang Sasak, baik yang beragama Budhha,
Hindu, maupun Islam. Begitu pula dalam ranah tingkat struktur sosial,
baik kalangan bangsawan atau menak, atau pun dikalangan non-
Bangsawan atau Jajar Karang. Dalam tingkat suprastruktur, keyakinan
ini juga diyakini penting oleh kalangan Agamawan, seperti kiai, dan
tuan guru. Oleh tuan guru dan kiai, aturan dan tata cara pengobatan—
seperti yang dideskripsikan dalam naskah Usada Rara—dibentuk
berdasarkan pemahaman terhadap fiqh, khususnya ajaran-ajaran fiqh
Imam al-Shâfi‘î.44
41 Meskipun terdapat sedikit kemiripan dengan bahasa Bali, namun sebagian besar
bahasa yang digunakan memiliki kemiripan dengan bahasa yang lain, seperti kata
Tulak yang serupa dengan bahasa Budha Tua di Jambi. Mengenai hasil penelitian
tentang Bahasa Budha Tua di Jambi, lihat Disbudpar Prov. Jambi, Proceeding the First
International Conference on Jambi Studies (Jambi: ICJS, 2013), 365.
42 Dari pemetaan naskah-naskah Usada Rara yang ditemuan, lima di antaranya
dimiliki oleh pihak museum negeri NTB. Dua naskah yang lain dimiliki oleh
kelompok kebudayaan di Lombok. Salah satu dari kelompok kebudayaan tersebut
terdapat di Mataram.
43 Budaya ini sampai saat ini masih dianut sebagai cara hidup di antara orang-orang
(Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, t.th.). Ajaran fiqh al-Shâfi‘î yang dimaksud lebih
terkait dengan pelarangan memakan hewan yang menjijikkan dalam ajaran fiqh al-
Shâfi‘î menjadi dasar pelarangan penggunaan cacing tanah dalam naskah Usada Rara.
diberikan karena banyaknya orang yang naik haji melalui pelabuhan ini. Lihat Alfons
van Der Kraan, Lombok: Conquest, Colonozation, and Underdevlopment 1870-1940
(Singapore: Heinemann Educational Books (Asia), Ltd., 1980), 114.
50 Ariadi, Haji Sasak, 71.
dibukanya Terusan Suez, jumlah jemaah haji Indonesia meningkat. Pada tahun
1850-an dan 1860 an, jumlah jemaah haji Indonesia yang terdata 1600 orang, pada
tahun 1870 terdata 2600 orang, dan pada tahun 1880 terdata 4600 orang. Lihat Nico
Kaptein, The Muhimmata al-Nafasi: A Bilingual Meccan Fatwa Collection for Indonesian
Muslims from the End of the Ninteeth Century (Jakarta: INIS, 1997), 7-8.
54 Ide-ide dan aneka interpretasi keislaman yang berasal dari Mekah dipandang lebih
otoritatif karena kawasan tempat pelaksanaan ibadah haji dikenal sebagai pusat
Islam yang asli. Lihat John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat
Sasak, terj. Imron Rosyadi (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), 114-115.
55 Di Lombok, tradisi ini dikenal dengan Tradisi Ngatong Haji.
56 Lihat Alwi Shahab, Robin Hood Betawi (Jakarta: Republika, 2002), 110.
57 Ariadi, Haji Sasak.
62 Tidak dikatakannya peran Tuan Guru dalam adat disebabkan oleh kurang
memahaminya para Tuan Guru tentang subtansi adat Sasak yang dibarengi dengan
faktor penolakan masyarakat yang masih memegang adat Sasak, baik itu dari
kalangan komunitas Wetu Telu, para pengikut tarekat, para bangsawan Sasak. Lihat
Syakur, Islam dan Kebudayaan, 79-82. Kiai Penghulu, Lebe dan Penghulu adalah figur
agama yang memiliki peran ganda yaitu peran keagamaan dan adat. Ini berbeda
dengan Tuan Guru yang dikenal sebagai figur agama pada wilayah keagamaan
semata.
63 Ini terlihat secara jelas dari kedekatan Tuan Guru Mutawalli dengan kalangan
Islam Wetu Telu. Lihat Budiwanti, Islam Sasak, 296-297. Tuan Guru Mutawalli dikenal
sebagai tokoh Tarekat Qâdirîyah-Naqshabandîyah di Lombok Timur.
64 Ariadi, Haji Sasak.
65 Budiwanti, Islam Sasak, 95-97.