Golongan Yang Dicari

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 25

Abstract: In Indonesia, Sufism has become a focal part of

the development of Islam from 13th to 18th century. Once


Islam was widely spread out of Indonesia in 13th century,
the teaching of Sufism had metamorphosed into a religious
movement known as tarekat (Sufi order). Through tarekat
movement, Islam in Indonesia has grew not only as a
religion but also as a fundamental part of cultural entities in
the country. Among these cultures is the Culture of
Philosophy in Lombok. This article attempts to scrutinize
the development of Tarekat Movement and the Culture of
Philosophy in Lombok. These two aspects are analyzed
through an anthropological study. The study finds that
Tarekat Movement has played significant role in the growth
of the Culture of Philosophy in Lombok. Through the
Culture of Philosophy, the Muslim people in Lombok learn
and understand Islam as a set of logical facts that teaches its
adherents about the Divine Reality and wisdoms of life. This
culture has been transmitted from generation to generation
through oral and written transmissions, in which the written
way is found within classical manuscripts. Through these
media, the doctrines of Sufism have been taught as a means
of cherishing the relation amongst God, Man, and Nature.
Keywords: Tarekat Movement; Culture of Philosophy;
Classical Manuscripts.

Pendahuluan
Islam datang ke Indonesia dari beberapa wilayah di Timur Tengah
dan India. Dikatakan menjelang abad ke-10, Islam datang dengan
menyeberangi negeri Yaman, Hadramaut, dan Gujarat, Islam sampai

Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam


Vol. 5, No. 2, Desember 2015; p-ISSN 2088-7957; e-ISSN 2442-871X; 321-345
Abdul Quddus dan Lalu Muhammad Ariadi

ke Patani-Thailand, Perlak, dan ke Aceh, sebelum akhirnya sampai di


Banten, Gresik, Lombok, Maluku, dan berbagai wilayah di Timur
Indonesia.1 Bentuk keberislaman yang datang ke berbagai wilayah
tersebut adalah lebih dekat kepada ajaran-ajaran sufistik.2
Dalam Islam, ajaran-ajaran tasawuf mulai muncul sejak abad
kedua Hijriah. Praktik keberislaman dalam ajaran ini berbentuk ritual-
ritual yang bertujuan untuk menyucikan jiwa dan mendekat kepada
Allah. Oleh tokoh-tokohnya, praktik keberislaman yang dipraktikkan
dibedakan kepada empat terma, yaitu sharî‘ah, tarekat, hakikat, dan
ma‘rifah. Menurut para tokoh dan pengikut tasawuf, sharî‘ah bertujuan
untuk memperbaiki amalan-amalan lahir, tarekat untuk memperbaiki
amalan-amalan batin, hakikat untuk mengamalkan rahasia-rahasia
yang gaib, dan ma‘rifah sebagai tujuan akhir bertujuan untuk mengenal
hakikat Allah, baik zat, sifat, maupun perbuatannya. Adanya
pandangan tentang empat tahap untuk mendekati Tuhan tersebut
melalui pendalaman pengalaman spiritual terbentuk dari pengaruh
pemaknaan sharî‘ah dan pengaruh dari filsafat, baik itu filsafat dari
Yunani, India, ataupun Persia.3 Ketiga bentuk filsafat ini mengonstruk
posisi filsafat imanensi dalam praktik ajaran-ajaran tasawuf.
Di Indonesia sendiri, ajaran-ajaran tasawuf yang berkembang pada
perkembangan awal Islam adalah cenderung mengarah kepada aliran
tarekat Qâdirîyah, tarekat Wujûdîyah, dan tarekat Rifâ‘îyah. Ketiga
aliran tarekat ini berkembang pertama kali pada masa kekuasaan
Sultan Iskandar Muda yang memerintah Aceh antara tahun 1606 M
sampai tahun 1636 M. Ajaran tarekat Qâdirîyah merupakan
interpretasi dari ajaran-ajaran sufistik ‘Abd al-Qâdir al-Jîlânî (1078-
1168 M). Tarekat Wujûdîyah adalah interpretasi dari ajaran-ajaran
tasawuf yang dikembangkan oleh Ibn ‘Arabî, sufi yang dikenal akhir
abad ke-12 M dan awal abad ke-13 M. Kedua tarekat ini
dikembangkan oleh Hamzah Fansuri pada abad ke-17 M. Sedangkan
tarekat Rifâ‘iyah adalah pemaknaan dari ajaran ajaran tasawuf Ah}mad

1 Lihat Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia


(Jakarta: Kencana, 2004), 5-6.
2 Hal ini berdasarkan kepada faktas sejarah yang terjadi pada abad ke-13 M di

Kerajaan Samudera Pasai. Di mana peran tasawuf meningkat secara tajam terhadap
penyebaran Islam di Aceh dan sekitarnya. Lihat Azyumardi Azra, Renaissance Islam
Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan (Bandung: Rosdakarya: 1999).
3 Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat, 6 .

322 Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam


Gerakan Tarekat

b. ‘Alî Abû al-‘Abbâs al-Rifâ‘î yang lahir pada 1106 M. Tarekat ini
dikembangkan oleh Nuruddin ar-Raniri di Aceh.4
Oleh Hamzah Fansuri maupun Nuruddin ar-Raniri, ajaran-ajaan
tarekat yang mereka ajarkan tersebar melalui jalur periwayatan dan
penulisan naskah-naskah beraksara Arab-Melayu (Jawi). Di antara
naskah-naskah ini adalah Asrâr al-‘Ârifîn, Sharab al-‘Ashiqîn, Zinat al-
Muwah}iddîn, al-S}irât} al-Mustaqîm, Bustân al-Salâtîn fî Dhikr al-Awwalîn wa
al-Âkhirîn, Dhurrat al-Farâ’idh bi Sharh} al-‘Aqâ’id, dan Shifâ’ al-Qulûb.
Dalam naskah-naskah ini, ajaran-ajaran tasawuf dikaji tidak hanya dari
sisi spiritualitas. Namun juga mengkaji lebih jauh dari sisi filsafat.5
Oleh para pendakwah Islam di kemudian hari, perpaduan ajaran-
ajaran Islam dengan unsur-unsur filsafat dalam pengajaran tasawuf—
termasuk dalam naskah-naskah beraksara Jawi—ditanamkan secara
sosio kultural dan menjadi salah satu unsur utama dalam praktik
keberislaman di berbagai daerah di Indonesia. Salah satu daerah
tersebut adalah Banten dan Lombok. Di Banten, ajaran-ajaran tasawuf
dapat dilihat pada Hikayat Hasanuddin dan tradisi orang-orang di
Banten yang meyakini Mekah sebagai pusat kosmis dan
supranaturalitas.6 Sedangkan di Lombok, ajaran ajaran tasawuf dapat
dilihat pada tradisi pernaskahan dan budaya berfilosofi.7
Tasawuf dan Sejarah Islam di Lombok
Berdasarkan data-data yang ada di beberapa naskah-naskah
beraksara Jawi dan Kawi, sejarah masuk dan berkembangnya Islam di
Lombok datang dari dua pelabuhan, yaitu Labuhan Carik di Utara
Lombok dan Labuhan Kayangan di Timur Lombok. Dari kedua
pelabuhan ini, Islam tersebar di berbagai desa di Lombok dan
membentuk sebuah entitas keagamaan yang terakulturasi secara unik
dengan kultur lokal setempat. Entitas ini berdasarkan kepada dua hal,
yaitu nilai-nilai spiritual dalam pandangan filosofis tentang kesatuan
antara Tuhan, manusia, dan alam, dan nilai-nilai ketarekatan dalam
naskah-naskah kuno. Apabila dipetakan secara makro, sejarah masuk
4 Lihat Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Bandung: Mizan,
1995), 188-189.
5 Tim Peneliti Balai Litbang Agama Jakarta, Koleksi dan Katalogisasi Naskah Klasik

Keagamaan Bidang Tasawuf (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama


Jakarta, 2013).
6 Lihat Martin van Bruinessen, “Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci: Orang

Nusantara Naik Haji,” Ulumul Qur’ân, VI II, No. 5 (1990), 43-44.


7 Baik tradisi pernaskahan maupun budaya berfilosofi masih menjadi bagian penting

pemahaman dan pengajaran ajaran-ajaran Islam saat ini.

Volume 5, Nomor 2, Desember 2015 323


Abdul Quddus dan Lalu Muhammad Ariadi

dan berkembangnya Islam di Lombok merupakan hasil dari kontak


perdagangan para pedagang Muslim dengan berbagai kerajaan di
Indonesia, termasuk Lombok, pada abad ke-15 hingga ke-18.8 Bisa
diasumsikan bahwa ajaran-ajaran sufi dengan ketarekatan dan
pandangan filsafat imanensi berkembang di Lombok tidak lepas dari
unsur perdagangan dan pengaruh teks-teks yang masuk bersama
dengan relasi yang dibentuk antara para pedagang Muslim dan orang-
orang lokal yang mereka temui.9 Di antara teks-teks yang masuk di
Lombok melalui tangan para pedagang Muslim adalah al-Tuh}fah al-
Mursalah ilâ Rûh} al-Nabîy, al-Insân al-Kâmil, Bayân al-Tas}dîq, Ma‘rifat al-
Jabbâr, Sayr al-Sâlikîn, dan T}arîqah Imâm Abû al-H}asan yang membahas
tarekat dan salat serta ajaran-ajaran sufi yang berpusat simbolisasi haji
dan Ka‘bah dalam naskah Sabuk pada beberapa desa di wilayah Timur
Lombok.10 Dari semua naskah tersebut, salah satu naskah yang paling
dikenal adalah Sayr al-Sâlikîn. Naskah beraksara Jawi yang ditulis oleh
Abdul Samad al-Falimbani, tokoh tarekat yang yang
menginterpretasikan ajaran-ajaran tasawuf Abû H}âmid al-Ghazâlî, ini
banyak dipelajari masyarakat pedesaan di Lombok hingga akhir abad
ke-19 M.
Terkait pola penyebaran Islam di Lombok secara berkelompok,
terdapat dua kelompok penyebar Islam yang menyebar di Lombok
yaitu kelompok penyebar Islam dari non-Jawa dan kelompok
penyebar Islam dari Jawa. Kedua kelompok Islam ini menyebarkan
Islam secara akulturatif sejak abad ke-15 M dan abad ke-16 M.11 Oleh
kelompok penyebar Islam dari non-Jawa, Islam disebarkan ke dalam
dua tahap, yaitu tahap memperkenalkan Islam pada masyarakat
Lombok dan tahap selanjutnya dengan memantapkan keislaman
masyarakat Lombok melalui media musala dan penulisan kembali

8 Lihat Lalu Muhammad Ariadi, Haji Sasak: Sebuah Potret Dialektika Haji dan
Kebudayaan Lokal (Jakarta: IMPRESSA, 2013), 64-65.
9 Filsafat imanensi yang dimaksud adalah tidak lain terkait dengan Filsafat

Ketuhanan.
10 Lihat Tim Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Khazanah Naskah Desa

Ketangga, Kecamatan Suela, Kabupaten Lombok Timur (Jakarta: Kementerian


Kebudayaan dan Pariwisata, 2004). Lihat juga Sven Cederroth, The Spell of the
Ancestors and the Power of Mekah: A Sasak Community on Lombok (Sweden: ACTA
Universitatis Gothoburgensis, 1981).
11 Ariadi, Haji Sasak, 65-67. Lihat juga Tim Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat (t.t.: Pusat Penelitian Sejarah dan
Budaya Proyek Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1977/1978), 41-42.

324 Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam


Gerakan Tarekat

teks-teks yang mereka bawa oleh masyarakat Lombok sendiri.12 Para


pendakwah yang datang dari daerah Palembang, Makassar, dan juga
Banten tersebut menekankan kesatuan aspek sharî‘ah dan aspek
tasawuf secara ketat dan normatif dalam ajaran-ajaran yang mereka
sebarkan. Karena ketatnya ajaran yang mereka ajarkan, maka aspek-
aspek mistisisme dalam ajaran ketarekatan yang diajarkan tidak terlalu
nampak. Hal ini secara signifikan, bisa dilihat pada sumber-sumber
teks yang menjadi rujukan mereka. Di antaranya misalnya, terlihat
pada isi naskah al-Tuh}fah al-Mursalah ilâ Rûh} al-Nabîy yang dirujuk
orang-orang Islam di sepanjang pesisir dan pedesaan di Timur
Lombok. Setelah membicarakan tentang tata cara salat lima waktu
pada lembaran-lembaran pertama, naskah ini kemudian membahas
tentang pentingnya ibadah mah}d}ah, seperti salat dan puasa sebagai cara
terpenting mendekatkan diri kepada Allah.13
Di antara para pendakwah yang dikenal oleh orang-orang Islam di
Timur Lombok adalah Tuan Lebay. Dari beberapa sumber lisan,
dikatakan bahwa Tuan Lebay diperkirakan datang pada abad ke-16 M
dan menyebarkan Islam di desa-desa dan daerah-daerah yang masuk
ke dalam kekuasaan Kerajaan Selaparang. Di antara desa yang menjadi
salah satu pusat pengajaran Tuan Lebay adalah desa Ketangga.14 Oleh
Tuan Lebay, ajaran-ajaran Islam disebarkan melalui media Kerebung,
musala, dan masjid di seputar daerah yang dikuasai oleh Kerajaan
Selaparang. Dengan mengakulturasikan berbagai spirit dalam tradisi
berziarah masyarakat Lombok di wilayah Timur dengan nilai-nilai
yang terkandung dalam ibadah Haji, Tuan Lebay mengajarkan secara
akomodatif nilai-nilai normatif dan unsur-unsur filosofis dalam ajaran-
ajaran tasawuf.15 Perpaduan dari kedua hal ini tercantum dalam
Naskah Tarekat Imam Abu Hasan dan Naskah Sabuk Desa Ketangga
yang dimiliki oleh masyarakat Ketangga, Selaparang.

12 Di antara teks-teks yang ditulis ulang tersebut adalah al-Qur’ân, Naskah Kitab
T}arîqat, Naskah Ma‘rifat al-Jabbâr, Naskah Fiqh Fath} al-Rah}mân, Qis}as} al-Anbiyâ’.
Lihat Mujib dan Achmad Cholid Sodrie, Khazanah Naskah Desa Ketangga, Kecamatan
Suela, Kabupaten Lombok Timur (Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata,
2004), 92-93.
13 Meski pandangan keagamaan ini ada di dalam naskah al-Tuh}fah al-Mursalah ilâ Rûh}

al-Nabîy. Namun tidak semua penganut Islam Wetu Telu memahami dan
melaksanakannya secara baik.
14 Ariadi, Haji Sasak, 113-114.
15 Unsur-unsur filosofis ini di sekitar Ketangga dan beberapa desa di sekitarnya lebih

mengarah kepada pemaknaan filosofis dalam ibadah Haji.

Volume 5, Nomor 2, Desember 2015 325


Abdul Quddus dan Lalu Muhammad Ariadi

Selain Tuan Lebay, dai yang berperan dalam dakwah Islam di


wilayah Timur di Lombok adalah dai yang diutus dari kerajaan Goa.
Kerajaan Goa yang diislamkan oleh para dai Minangkabau (Dato’ Ri
Bandang, Dato’ Ri Patimang, dan Dato’ Ri Tiro pada tahun 1600
Masehi,16 menyebarkan Islam ke Bima (1616, 1618, dan 1623 M), dan
mengutus para pendakwah Islam ke Sumbawa (1618 dan 1626 M) dan
Pula Buton (1626 M). Diperkirakan pada abad ke 17, para dai dari
kerajaan Samawa di Pulau Sumbawa yang telah ditaklukkan oleh
kerajaan Goa di Sulawesi Selatan, mengutus para dainya untuk
menyebarkan Islam ke selat Alas dan Lombok.17
Oleh para dai tersebut, penyebaran dan pengajaran Islam dilakuan
melalui media kontak perdagangan sarung yang sedang berkembang di
pesisir Timur pulau Lombok saat itu.18 Dengan mengombinasikan
unsur-unsur keagamaan dalam teks dan unsur-unsur sosial-spiritual
dalam kebudayaan yang diyakini oleh masyarakat setempat, mereka
memperkenalkan ajaran-ajaran sufi dan fiqh pada masyarakat
Lombok. Di antara teks-teks naskah yang menjadi sumber ajaran
mereka adalah Roman Yusuf dan Serat Menak, dan kitab-kitab fiqh-sufi,
seperti Bayân al-Tas}dîq, al-Insân al-Kâmil dan Ma‘rifat al-Jabbâr.19 Setelah
hubungan berbagai kerajaan Lombok yang telah memeluk Islam
dengan kerajaan-kerajaan lain di Indonesia menjadi erat pada abad ke-
17 M dan abad ke-18 M, pengutusan orang-orang Sasak yang ingin
mempelajari Islam, secara khusus ajaran-ajaran tasawuf semakin
meningkat. Dengan mengutus orang-orang Lombok untuk belajar
agama di daerah yang lain, seperti Palembang, tarekat Sammânîyah
dengan ajaran Wah}dat al-Wujûd, tari Saman, dan benda kebudayaan
yang disebut dengan Banda Aceh menyebar di Lombok.20
Berbeda dengan para kelompok penyebar Islam dari wilayah non-
Jawa, para penyebar Islam dari Jawa menyebarkan Islam tidak dari
16 Lihat Mattulada, “Islam di Sulawesi Selatan”, dalam Taufiq Abdullah, Agama dan
Perubahan Sosial (Jakarta: CV Rajawali, 1983), 220-221.
17 Lihat Kebudayaan, Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat, 50. Lihat juga Hasan

Muarif Ambary, Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan Historis Islam Nusantara
(Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998), 60.
18 Sudirman, Referensi Muatan Lokal: Gumi Sasak dalam Sejarah (Pringgabaya: Yayasan

Budaya Lestari dan KSU Prima Guna, 2007), 11-12.


19 Lihat Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Khazanah Naskah Desa Ketangga,

Kecamatan Suela, Kabupaten Lombok Timur (Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan


Pariwisata, 2004).
20 Pada saat ini, baik tarekat Sammânîyah, dan Banda Aceh, tidak terlalu terdengar

lagi keberadaannya di Lombok.

326 Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam


Gerakan Tarekat

media perdagangan. Oleh mereka, Islam disebarkan melalui jalur


migrasi dan sekaligus dengan mengutus langsung para pendakwah
Islam untuk tinggal dan berbaur dengan masyarakat Lombok.
Datangnya Islam ke Lombok melalui jalur pulau Jawa tidak lain
merupakan bagian dari program islamisasi yang dilakukan Walisongo
dan Kerajaan Islam Demak (1500-1550 M).21 Dikatakan, Walisongo
menyebarkan Islam ke Lombok dengan mengutus Sunan Giri dan
atau murid-muridnya, termasuk dengan melibatkan Sunan Pengging.
Mengenai hal ini, Geoffrey mengatakan bahwa Islam diperkenalkan ke
Lombok pada awal abad ke 16. Diutusnya Sunan Giri dengan murid-
muridnya dilakukan pasca menurunnya pengaruh Kerajaan Majapahit
di Jawa. Selain bertujuan untuk menguatkan posisi Islam di
Nusantara, hal ini dilakukan sebagai cara memperkuat posisi Kerajaan
Islam Demak. Oleh Sunan Ratu Giri, murid yang diutus ke wilayah
Lombok dan Sumbawa adalah Sunan Prapen.22
Saat datang pertama kali ke Lombok, Sunan Prapen mendatangi
Labuan Carik (pelabuhan laut Anyar) yang terletak di Utara
Lombok.23 Pada saat ini, sudah ada pedagang-pedagang Muslim yang
bermukim dan berdagang di Lombok sebelah Timur yaitu di Labuhan
Kayangan atau Labuhan Lombok.24 Ketika mengajarkan Islam di
wilayah Labuan Carik, Sunan Prapen dan pengikutnya menyebarkan
Islam tanpa menentang adat istiadat, tetapi menjadikan adat istiadat
sebagai alat untuk menyebarkan Islam.25 Setelah berhasil
mengislamkan penduduk Lombok di wilayah Labuhan Carik, desa-
desa di sekitar wilayah Labuhan Carik berubah namanya menjadi
Bayan.26

21 Lihat Geoffrey E. Marrison, Sasak and Javanes Literature of Lombok (Leiden: KITLV
Press, 1999).
22 Ibid., 4. Selain dikenal dengan nama Sunan Prapen, Sunan Prapen juga dikenal

dengan nama Sunan Semeru. Pada saat ia singga di Bali, ia dikenal dengan nama
Pedande Wau Rauh. Lihat M. Muhaimin Ali, Praktik Keberagamaan Masyarakat Islam
Waktu Telu di Lombok Nusa Tenggara Barat (Jakarta: Universitas Muhammadiyah
Jakarta, 1999), 47.
23 Lihat Erni Budiwanti, Islam Sasak: Islam Wetu Lima versus Islam Wetu Telu

(Yogyakarta: LKiS, 2000), 287.


24 Berbeda dengan ajaran sufi mistik Islam di Labuan Carik, penganut Islam di

Labuan Lombok secara umum adalah penganut ajaran Islam-Sunni. Lihat


Cederroth, The Spell, 70-71.
25 Lihat Ahmad Abd. Syakur, Islam dan Kebudayaan: Akulturasi Nilai-nilai Islam dalam

Budaya Sasak (Yogyakarta: Adab Press UIN Sunan Kalijaga, 2006), 69-70.
26 Budiwanti, Islam Sasak , 287.

Volume 5, Nomor 2, Desember 2015 327


Abdul Quddus dan Lalu Muhammad Ariadi

Mengenai peran Sunan Prapen di Utara Lombok tersebut, Faille


mengatakan bahwa setelah Sunan Prapen mendarat dari kapalnya,
dengan sukarela raja Lombok memeluk agama Islam. Meski raja
Lombok memeluk Islam, namun rakyatnya menolak untuk memeluk
Islam dan melakukan perlawanan. Dalam perlawanan ini, pihak Sunan
Prapen memenangkan perlawanan ini.27 Setelah rakyat raja Lombok
memeluk Islam, masjid pun dibangun dan rakyat raja Lombok
dikhitan.
Oleh Sunan Prapen dan pengikutnya, karakter keberislaman yang
diajarkan tentunya lebih dekat kepada ajaran-ajaran tasawuf. Meskipun
secara lahiriah, bentuk dari ajaran-ajaran terlihat sama dengan ajaran-
ajaran tasawuf yang menyebar di Timur Lombok, yaitu bertujuan
untuk mendekatkan diri kepada Allah melalui tingkatan-tingkatan
yang sudah ditentukan dalam tingkat sharî‘ah, tarekat, hakikat, dan
ma‘rifah. Namun, sebagai akibat dari kuatnya unsur-unsur mistisisme
dalam kebudayaan Jawa yag dibawa oleh para pengikut Sunan Prapen,
proses untuk mencapai tingkatan-tingkatan dalam ketarekatan
tersebut tak terlalu nampak.
Dari semua bentuk praktik ketarekatan yang terekam dalam jejak-
jejak pernaskahan yang ditulis pada abad ke-17 M dan abad ke-18 M,
yang lebih terlihat adalah unsur-unsur filosofis dalam praktik
keberislaman orang-orang Lombok di Utara Lombok. Ini misalnya
bisa dilihat pada bentuk tradisi orang-orang Lombok di daerah
tersebut yang sangat menekankan aspek-aspek mistis dalam Alam
dibandingkan dengan aspek-aspek tasawuf dalam ajaran-ajaran Islam
yang mereka anut. Beberapa tradisi yang dimaksud di antaranya adalah
kepercayaan tentang asal muasal manusia, binatang, dan tumbuhan
yang dikenal dengan Metu Telu, ritual mengadakan perayaan saat panen
yang disebut dengan Pesta Alif, dan ketetapan untuk mengikuti tradisi
dan ritual berdasarkan Kalender Rowot yang tidak lain merupakan
pengaruh kultural yang datang dari Kerajaan Mataram Islam. 28 Selain
itu, pembahasan keagamaan yang ada dalam naskah-naskah kuno
beraksara Kawi yang ditinggalkan oleh pendakwah Islam, seperti
27 Lihat Sudirman, Referensi Muatan Lokal, 12. Mengenai sejarah islamisasi yang
dilakukan Sunan Prapen, lihat Alfons Van Der Kraan, Lombok: Penaklukan,
Penjajahan, dan Keterbelakangan 1870-1940, terj. M. Donny Supanra (Mataram:
Lengge, 2009).
28 Kalender Rowot adalah kalender musiman yang disusun berdasarkan perhitungan

terhadap tujuh susunan Bintang-Bintang. Oleh orang-orang Lombok, susunan


bintang-bintang ini yang kemudian dikenal sebagai Bintang Rowot.

328 Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam


Gerakan Tarekat

Sunan Prapen dan pengikutnya, lebih mengarah kepada pembahasan


ajaran-ajaran Islam secara mistik. Di antara naskah-naskah ini adalah
Jati Rasa, Jati Swara, Manusia Jati, dan Serat Rengganis.29 Keempat naskah
beraksara Kawi ini hingga saat ini dikenal sebagai naskah-naskah
keagamaan yang memiliki peran penting dalam penyebaran ajaran-
ajaran ketarekatan di Lombok.
Melihat dari runutan historis kedatangan dan penyebaran Islam
yang melibatkan dua kelompok penyebar Islam tersebut di atas, dapat
disimpulkan bahwa sejarah perkembangan Islam di Lombok tidak
lepas dari peran gerakan tarekat dan pemaknaan ajaran-ajaran tasawuf
secara filosofis di dalamnya. Dengan kata lain, sejarah Islam di
Lombok adalah sama dengan sejarah perkembangan tarekat dan
budaya berfilosofi, secara tekstual maupun kontekstual.
Tarekat, Pernaskahan, dan Budaya Berfilosofi di Lombok
Tarekat dalam sejarah Islam dikenal sebagai gerakan keagamaan
yang muncul pada abad ke-5 Hijriah atau abad ke-13 Masehi. Gerakan
yang pada awalnya menghubungkan silsilah Tarekat dalam Tasawuf
dengan nama tokoh-tokoh sufi yang lahir pada abad ini memiliki
shaykh, kayfîyah, dhikr atau metode berzikir dan upacara-upacara ritual
masing-masing.30 Oleh Azyumardi Azra, dikatakan bahwa organisasi
tarekat mempunyai pengaruh yang besar di dunia Islam. Sesudah
kekhalifahan ‘Abbâsîyah runtuh oleh serangan Bangsa Mogol pada
tahun 1258 M, tugas memelihara kesatuan Islam dan menyiarkan
ajaran-ajaran Islam ke tempat-tempat yang jauh beralih ke tangan sufi,
termasuk ke Indonesia.31 Pada masa ini, ajaran-ajaran tasawuf al-
Ghazâlî menyebar secara luas dan masif ke berbagai daerah Islam dan
ke daerah-daerah yang didatangi oleh orang-orang Islam.
Terkait kedatangan dan perkembangan tarekat di Lombok
menurut catatan-catatan yang ada tidak berkembang secara khusus
melalui proses sistematisasi ajaran-ajaran dan metode-metode tasawuf
secara sangat ketat. Pemaknaan ajaran ajaran tarekat lebih
dikorelasikan dengan interpretasi ajaran-ajaran tasawuf secara lebih
longgar. Contoh dari interpretasi ini bisa dilihat pada tembang
Dangdang bait-bait dari naskah Cilinaya berikut ini, yaitu pada bait ke-
14:
Banjur dateng angin topan gelis, si kesukaq Allah si kuasa
29 Ariadi, Haji Sasak, 69.
30 Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat, 7.
31 Azra, Renaissans Islam Asia Tenggara, 34.

Volume 5, Nomor 2, Desember 2015 329


Abdul Quddus dan Lalu Muhammad Ariadi

(Tiba-tiba berhembus angin puting beliung, dengan Takdir Allah


Yang Maha Kuasa)
Bijan Datu Daha nane, takelepan ya batur, siq anginna no nengka glis
(Putri Raja Daha kemudian diterbangkan ke atas oleh angin
dengan begitu cepat)
Kaget Datu nyreminang, pada momot ya banjur
(Raja terperanjat menyaksikan, tertegun tak mampu berbuat
sesuatu)
Datu bini, Datu Lanang nyengoq bija
(Permaisuri dan Raja memandang kepergian putrinya)
Ngawang ngawang Neneq bini
(Melayang-melayang sang putri)
Datu nongaq langit dowang.
(Raja hanya memandang langit saja).
Selain itu, pada tembang Sinom bait ke-14 naskah Rengganis
dikatakan:
Goyo Taruna ndeqna gila, Siq toaq bajerik tarik
(Jangankan pemuda takkan tergila-gila, kaum tua pun kembali)
Kyai pada badoa, Guru Tuan gurik tahlil
(Para kiai merapal doa, Guru Tuan membaca tahlil)
Sangkaq lueq Guru Kyai lupaq tarekat Tuan Guru
(Karena banyak Guru Kiai lupa ajaran Tuan Guru)
Si angena kambelisan, pada mele bawa diriq
(Karena iman tergoncang, ingin menonjolkan diri sendiri)
Mupakat mele pada engkah sembahyang.
(Bermufakat tinggalkan sembahyang)32
Dari urutan-urutan bait-bait dalam Naskah Cilinaya tersebut,
terlihat secara jelas bahwa pemaknaan ajaran-ajaran tasawuf lebih
menampilkan unsur-unsur filosofis daripada sistematisasi ajaran-ajaran
tasawuf. Adanya bentuk tasawuf yang berbeda ini muncul sebagai
akibat latar historis penyebaran tasawuf dan tarekat di Lombok yang
terakulturasi dengan unsur-unsur mistis dalam kebudayaan Jawa dan
kuatnya pengaruh aspek-aspek spiritual dalam kebudayaan-
kebudayaan setempat.33 Yang mana kebudayaan-kebudayaan ini terkait

32 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan,


Museum Negeri NTB, Bunga Rampai Kutipan Naskah Lama dan Aspek Pengetahuannya
(Mataram: Museum Negeri NTB, 1991), 37, 71.
33 Fenomena ini terjadi di desa-desa di Utara Lombok, seperti Bayan, Santong, dan

Gangga.

330 Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam


Gerakan Tarekat

dengan agama-agama sebelum kedatangan Islam, yaitu Agama


Budhha dan Hindu.
Pada masa lalu yaitu pada abad ke-15 M dan abad ke-16 M, peran
penulisan ajaran-ajaran keagamaan dalam berbagai media, seperti di
Daun Lontar yang dikeringkan, dan berbagai kulit hewan yang di-
samak menjadi salah satu faktor penentu keberhasilan penyebaran dan
pengajaran ajaran-ajaran agama yang disebarkan di Lombok. Melalui
penulisan ajaran-ajaran agama dalam teks-teks tersebut, ajaran-ajaran
keagamaan dijaga, diajarkan dan diwariskan secara turun temurun dari
satu generasi ke generasi selanjutnya. Oleh mereka, naskah-naskah
tersebut dikenal dengan naskah-naskah beraksara Jawi dan naskah-
naskah beraksara Kawi.34 Adanya hubungan antara naskah-naskah
Jawi dan naskah-naskah Kawi dengan perkembangan pemaknaan
agama—termasuk tasawuf dan tarekat—dapat dilihat pada tabel
urutan naskah di bawah ini:
No Nama Jumlah Isi Kategori
Naskah
1. Abu Bakar 2 Cerita Nabi-Nabi Kemanusiaan
2. Adi Parwa 1 - -
3. Agama 2 Ajaran-Ajaran Keagamaan
Agama
4. Agama 1 Ajaran-Ajaran Budha Keagamaan
dan Hindu
5. Agama Hindu 2 Ajaran Agama Hindu Keagamaan
6. Agama Islam 20 Ajaran-Ajaran Islam Agama
7. Ajar Wali 2 Cerita Menak Kemanusiaan
8. Aji Sang Hyang 1 Mantera Literatur
Ayu
9. Aji Sang Hyang 1 Mantera Literatur
Bayu
10. Aji Serandil 1 Cerita rakyat Literatur
11. Akherat 1 Ajaran-Ajaran Islam Keagamaan
12. Akhlak 1 Nasehat Adat dan Keagamaan
Agama
13. Ala Ayuning 1 Kenabian Kemanusiaan
Dewasa
14. Alam Kudus 1 Tarekat Ketarekatan
15. Amir Hamsyah 90 Cerita Menak Kemanusiaan
16. Amir Hamsyah 1 Cerita Menak Kemanusiaan
ing Ngutus

34 Acapkali berbagai naskah keagamaan terkait secara mendalam dengan


perkembangan tradisi dan kultur masyarakat. Lihat Suripan Sadi Hutomo, Filologi
Lisan (Jakarta: CV Lautan Rezeki, 1999), 6.

Volume 5, Nomor 2, Desember 2015 331


Abdul Quddus dan Lalu Muhammad Ariadi

Mara ing
Nagareng
Yunan
17. Ana Kidung 7 Cerita Nabi Adam Kemanusiaan
dan Tarekat
18. Andanigar 2 Cerita Menak Kemanusiaan
19. Asmara Kandi 1 Cerita Menak Kemanusiaan
20. Babad Lombok 1 Babad Sejarah
21. Babad Tuan 1 Babad Sejarah
Besar
22. Babad Lombok 1 Babad Sejarah
23. Badik Walam 4 Cerita Menak Kemanusiaan
26. Bancangah 1 Bancangah Sejarah
Batu Dendeng
27. Badik Walam 4 Cerita Menak Kemanusiaan
28. Bancangah 1 Bancangah Sejarah
Batu Dendeng
29. Dalang Jati 2 Filosofi Filosofi
30. Doyan Neda 4 Cerita Rakyat Literature
31. Jatiswara 46 Teologi Filosofi
32. Kabar Melayu 3 Cerita Menak Kemanusiaan
33. Kitab 1 Ajaran Islam dan Agama
Perukunan Tasawuf
34. Manusia Jati 1 Teologi dan Tasawuf Filosofi
35. Insan Kamil 2 Teologi dan Tasawuf Filosofi
Selain naskah-naskah tersebut, beberapa naskah kuno beraksara
Arab Melayu atau Jawi memperkuat penjelasan tentang peran penting
pernaskahan terhadap pertumbuhan dan perkembangan Tarekat di
Lombok. Di antara naskah-naskah ini adalah Qis}as} al-Anbiyâ, al-Tuh}fah
al-Mursalah ilâ Rûh} al-Nabîy, al-Insân al-Kâmil, Bayân al-Tas}dîq, Ma‘rifat
al-Jabbâr, Sayr al-Sâlikîn dan Tarekat Imâm Abû H}asan. Semua naskah-
naskah ini membahas tentang salat, tarekat serta ajaran-ajaran sufi
yang berpusat kepada simbolisasi ibadah, termasuk haji, dalam
sharî‘ah dan tingkatan-tingkatan dalam ketarekatan yang dikenal
dengan sharî‘ah, tarekat, hakikat, dan ma‘rifah.35
Sebagai salah satu faktor penentu keberhasilan penyebaran
ajaran-ajaran tasawuf di Lombok, penulisan naskah-naskah keagama-
an berperan penting terhadap bertahannya gerakan-gerakan tarekat di
Lombok sejak abad ke-15 M hingga saat ini di pedesaan Lombok.
Dengan mengakulturasikan ajaran-ajaran Islam dalam tasawuf dengan

35 Lihat Pariwisata, Khazanah Naskah Desa Ketangga. Mengenai pemahaman


masyarakat Sasak tentang Haji dan Mekah, lihat Cederroth, The Spell, 69-70.

332 Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam


Gerakan Tarekat

religiositas dalam tradisi-tradisi lokal yang dimiliki orang-orang


Lombok, Islam bermetamorfosa sebagai sebuah agama yang
mempertahankan entitas keagamaan dalam kebudayaan orang-orang
Lombok. Selain itu, melalui akulturasi ini juga, entitas budaya
berfilosofi di Lombok terbentuk dan diwariskan dari satu generasi ke
generasi yang lain. Kesepaduan entitas-entitas ini terlihat dari
interpretasi naskah Sayr al-Sâlikîn pada lampiran naskah berikut ini:

Dalam lampiran naskah ini dijelaskan secara implisit tentang


hubungan antara ibadah mah}d}ah dengan pemaknaan asal-muasal
manusia. Kedua hal ini kemudian menjadi dasar dari filosofi
keagamaan dan kebudayaan yang diyakini oleh orang-orang Lombok.
Apabila dirunut secara lebih saksama, filosofi ini menjelaskan tentang
konsep kosmologis yang diyakini oleh orang-orang Lombok. Konsep
yang dikenal dengan Metu atau Wetu Telu berdasarkan pada tiga unsur,
yaitu:
1. Adanya unsur Asmâ’ Allah atau rahasia Allah yang mewujud dan
mengejawantah dalam panca indera manusia.
2. Simpanan Wujûd Allah yang termanifestasikan dalam Adam dan
Hawa. Adam menjadi simbol dari garis ayah atau pihak laki-laki,
sedangkan Hawa sebagai simbol akan garis ibu atau pihak
perempuan. Kedua-duanya menyebarkan empat organ pada tubuh
manusia.
3. Kodrat Allah adalah kombinasi 5 indera yang berasal dari Allah,
dan 8 organ yang diwarisi dari Adam dan Hawa. Masing-masing
kodrat Allah bisa ditemukan dalam setiap lubang yang ada di tubuh
manusia, dari mata hingga anus.36
Tiga unsur yang ada dalam konsep-konsep kosmologis tersebut
yang diyakini oleh komunitas Wetu Telu di Bayan dan Sembalun,

36 Budiwanti, Islam Sasak, 138-139.

Volume 5, Nomor 2, Desember 2015 333


Abdul Quddus dan Lalu Muhammad Ariadi

Lombok, dan para penganut tarekat yang ada di pedesaan di Timur


Lombok menjadi dasar dari pengembang budaya berfilosofi
masyarakat di Lombok.37 Dengan tiga unsur ini, pola keberislaman
orang-orang Sasak di Lombok dibentuk sedemikan rupa menjadi
Islam yang tidak berorientasi kepada normativitas nilai-nilai dalam
Islam semata. Namun juga berorientasi kepada unsur-unsur
spiritualitas dalam Islam, seperti spritualitas dalam alam dan
lingkungan, dan spiritualitas dalam keadilan sosial dan hubungan yang
harmonis antar-manusia.38 Salah satu contoh dari aspek spiritualitas ini
dapat dilihat pada pembahasan dalam naskah Usada Rara.
Naskah Usada Rara sendiri adalah naskah pengobatan yang
dimiliki oleh orang-orang Lombok dan terkait secara lebih spesifik
dengan pengaturan wilayah hutan. Naskah yang berisi tentang tata
cara mengobati penyakit-penyakit dengan menggunakan daun-daun
dan pohon-pohon ini adalah basis dari tradisi orang-orang Sasak di
Lombok dalam bidang pengobatan tradisional, sekaligus pengobatan
Islam. Melalui penjelasan yang apik terhadap penggunaan daun daun
dan penggunaan doa dari al-Qur’ân dan mantra berbahasa Sasak, cara
mengobati dikemas secara sistematis sebagai bagian dari tradisi
pengobatan Islam di Lombok.
Pada sisi lain, adanya kesinambungan antara aspek-aspek lokal
dalam tradisi dan aspek-aspek keberislaman dalam tata cara
pengobatan membuat naskah ini tidak hanya berisi rekam jejak cara
masyarakat Sasak sejak masa lampau dalam bidang pemanfaatan jenis-
jenis tumbuhan tertentu yang ada di sekitar lingkungan dan hutan
yang mereka jaga. Namun lebih dari itu, naskah ini unsur-unsur
spiritual terpenting dalam budaya berpikir orang-orang Sasak.39
Dengan kata lain, dengan melihat secara saksama pembahasan dalam
naskah Usada Rara, maka akan diketahui bentuk keagamaan yang
dimiliki orang-orang Sasak.
Adapun terkait dengan jenis tanaman-tanaman yang disebutkan
dalam naskah Usada Rara, disimpulkan bahwa naskah ini

37 Ariadi, Haji Sasak, 75. Menurut beberapa tokoh tarekat yang ada di desa-desa
yang masih menganut Wetu Telu, Wetu Telu dipandang sebagai sebuah bentuk variant
Islam yang berubah karena pengaruh Hindu Bali. Bagi mereka, konsep kosmologis
yang mereka yakini tidak berbeda dengan ajaran-ajaran tarekat yang mereka pelajari.
38 Pandangan ini bisa dipelajari naskah Ana Kidung yang berkisah tentang Ka‘bah

dan kisah pertemuan Adam dan Hawa.


39 Mamiq Gane, Wawancara, Lombok 13 Desember 2014.

334 Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam


Gerakan Tarekat

menyebutkan 266 jenis tanaman obat di Lombok.40 Tanaman-


tanaman ini bervariasi dan menyebar dari Selatan Lombok hingga
Utara Lombok, dan dari hutan Bambu di Barat Lombok hingga hutan
Bakau di Timur Lombok. Dari data yang dikumpulkan oleh pihak
museum dan masyarakat di Lombok mengenai naskah ini, terdapat
lima buah naskah Usada yang ditemukan di antara masyarakat, yaitu:
1. Naskah Usada 1
Naskah ini ditulis dengan cara digores di atas Daun Lontar
menggunakan Pisau Pangot. Sistem penulisannya adalah Rekto Verso
atau bolak-balik. Naskah ini berisi tentang pengobatan tradisional atas
macam-macam penyakit, berbagai jenis bahan obat-obatan, cara
pembuatan serta doa-doanya. Jumlah halaman naskah ini adalah 10
halaman dengan huruf Jejawan dan bahasa campuran Sasak dan Bali.
2. Naskah Usada 2
Naskah ini ditulis dengan cara digores di atas Daun Lontar
menggunakan pisau Pangot. Sistem penulisannya adalah Rekto Verso.
Lempir-lempir dalam naskah ini dijepit dengan kayu sebesar ukuran
naskah. Naskah ini berisi ramuan obat-obatan tradisional dan
kegunaannya, perhitungan baik buruk hari dan situasi berdasarkan
perhitungan Bulan (Wariga), cerita tentang berbagai jenas Ayam yang
baik dan tidak (Primbon Pengayam-Ayam). Jumlah halaman naskah
ini adalah 50 lempir (100 halaman) dengan huruf Jejawan dan Bahasa
Bali.
3. Naskah Usada 3
Naskah ini ditulis dengan cara digores di atas Daun Lontar
menggunakan Pisau Pangot. Sistem penulisannya adalah Rekto Verso.
Seperti pada naskah Usada 2, lempir-lempir dalam naskah ini dijepit
dengan kayu sebesar ukuran naskah. Naskah ini tertulis dalam bentuk
Gancaran dan berisi baik buruk 42 hari berdasarkan tanggal dan
kelahiran Nabi. Naskah ini memiliki 18 lempir (36 halaman) dengan
huruf Jejawan dan bahasa campuran Sasak dan Bali.
4. Naskah Usada 4
Naskah ini ditulis dengan cara digores di atas Daun Lontar
menggunakan Pisau Pangot. Sistem penulisannya adalah Rekto Verso.
Naskah-naskah ini berisi obat-obatan tradisional dengan pembagian
jenis penyakit yang diobati dua jenis, yaitu Penyakit Wajar dan

Pemerintah Provinsi NTB, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Museum Negeri


40

NTB, Obat-Obatan Tradisional Lombok (Mataram, 2006), 8.

Volume 5, Nomor 2, Desember 2015 335


Abdul Quddus dan Lalu Muhammad Ariadi

Penyakit yang disebabkan makhluk halus. Selain itu, naskah ini berisi
doa-doa dalam pengobatan. Jumlah halaman naskah ini 54 lempir (108
halaman) dengan huruf Jejawan dan Bahasa Sasak.41
5. Naskah Usada 5
Naskah ini ditulis dengan cara digores di atas daun lontar
menggunakan pisau Pangot. Sistem penulisannya adalah Rekto Verso.
Naskah ini berisi bahan obat-obatan dan cara pengobatannya, syarat-
syarat pengobatan, berbagai pantangan dan doa-doa dalam
pengobatan. Naskah ini memiliki 56 lempir (112 halaman) dengan
huruf Jejawan dan Bahasa Sasak.42
Oleh orang-orang Lombok, kelima Naskah Usada Rara yang
saling terkait satu sama lain tersebut ditetapkan menjadi acuan bagi
pelaksanaan tiga tradisi yaitu tradisi mengobati, tradisi menjaga hutan,
dan tradisi mengamalkan fiqh alam. Ketiga tradisi yang dikatakan
muncul sejak abad ke-14 M ini di kemudian hari berkembang menjadi
budaya berpikir tentang alam. Sebuah budaya yang dianut oleh orang-
orang yang tinggal di pedesaan dan di wilayah hutan di Lombok. 43 Hal
ini juga diyakini oleh orang-orang Sasak, baik yang beragama Budhha,
Hindu, maupun Islam. Begitu pula dalam ranah tingkat struktur sosial,
baik kalangan bangsawan atau menak, atau pun dikalangan non-
Bangsawan atau Jajar Karang. Dalam tingkat suprastruktur, keyakinan
ini juga diyakini penting oleh kalangan Agamawan, seperti kiai, dan
tuan guru. Oleh tuan guru dan kiai, aturan dan tata cara pengobatan—
seperti yang dideskripsikan dalam naskah Usada Rara—dibentuk
berdasarkan pemahaman terhadap fiqh, khususnya ajaran-ajaran fiqh
Imam al-Shâfi‘î.44

41 Meskipun terdapat sedikit kemiripan dengan bahasa Bali, namun sebagian besar
bahasa yang digunakan memiliki kemiripan dengan bahasa yang lain, seperti kata
Tulak yang serupa dengan bahasa Budha Tua di Jambi. Mengenai hasil penelitian
tentang Bahasa Budha Tua di Jambi, lihat Disbudpar Prov. Jambi, Proceeding the First
International Conference on Jambi Studies (Jambi: ICJS, 2013), 365.
42 Dari pemetaan naskah-naskah Usada Rara yang ditemuan, lima di antaranya

dimiliki oleh pihak museum negeri NTB. Dua naskah yang lain dimiliki oleh
kelompok kebudayaan di Lombok. Salah satu dari kelompok kebudayaan tersebut
terdapat di Mataram.
43 Budaya ini sampai saat ini masih dianut sebagai cara hidup di antara orang-orang

Lombok yang tinggal di Hutan.


44 Mengenai ajaran Imam Shâfi‘î, lihat Muh}ammad b. Idrîs al-Shâfi‘î, al-Risâlah

(Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmîyah, t.th.). Ajaran fiqh al-Shâfi‘î yang dimaksud lebih
terkait dengan pelarangan memakan hewan yang menjijikkan dalam ajaran fiqh al-
Shâfi‘î menjadi dasar pelarangan penggunaan cacing tanah dalam naskah Usada Rara.

336 Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam


Gerakan Tarekat

Tuan Guru dan Modernisasi Budaya Berfilosofi di Lombok


Tuan Guru adalah gelar yang dimiliki oleh seseorang yang
dipandang memiliki pengetahuan agama yang sangat baik dan
melaksanakan dakwah Islam secara konsisten. Gelar keagamaan yang
muncul kultur orang-orang Melayu ini diperkirakan mulai dikenal
sejak abad ke-17 M. Di Lombok, gelar ini mendapatkan
momentumnya pada abad ke-18 M, yaitu saat hubungan dagang
orang-orang Lombok menjadi sangat intens di Labuhan Kayangan.45
Setelah Islam menyebar di Lombok dan menanamkan pengaruhnya
pada kebudayaan orang Sasak, pelabuhan-pelabuhan di Lombok,
khususnya Labuhan Kayangan, tidak hanya berfungsi sebagai bagian
dari kegiatan perdagangan, namun juga sebagai jalur penyebaran
budaya Melayu.
Meskipun tidak ada data yang pasti mengenai orang-orang Melayu
yang datang ke Lombok. Namun jejak-jejak orang-orang Melayu
nampak secara konkret pada bentuk kebudayaan orang-orang
Lombok pada abad ke-17 M. Salah satu kebudayaan ini dalam budaya
berhaji dan ke-tuanguru-an. Dalam kisah-kisah yang diriwayatkan oleh
sebagian orang-orang Sasak, orang-orang Lombok pertama kali
menunaikan ibadah haji melalui pelabuhan di Utara Labuhan
Kayangan. Pelabuhan ini tidak lain adalah Labuhan Haji yang terletak
sekitar 7 KM dari pusat Pesantren di Nahdhatul Wathan di Pancor.46
Di Timur Lombok, munculnya Labuan Haji acapkali diasumsikan
dengan era kejayaan Kerajaan Selaparang pada pertengahan abad ke-
17 M (1650 M-1675 M). Hingga tahun 174O M, pelabuhan yang
masih bertahan hingga dibukanya jalur perdagangan ke Singapura
pada tahun 1819 M ini menjadi tulang punggung perekonomian dari
Kerajaan Selaparang.47 Atas dasar hal ini, pelabuhan ini menjelma
sebagai kunci pertahanan Kerajaan Selaparang. Karena melalui
perdagangan, kerajaan ini membentuk kerjasama dengan kerajaan-
kerajaan lain di Nusantara, seperti Kerajaan Makassar, dan bertukar
Guru dan Murid dengan wilayah lain di Nusantara, seperti Palembang.
Secara historis sosok kemunculan Tuan Guru sendiri tercatat
sebagai kelanjutan dari perkembangan Islam pada abad ke-16 M, di
45 Ariadi, Haji Sasak, 81. Lihat juga Kebudayaan, Sejarah Daerah Nusa Tenggara Barat.
46 Pancor adalah pusat dari Pesantren Nahdhatul Wathan di Nusa Tenggara Barat.
Lihat Muhammad Harfin Zuhdi dkk, Visi Kebangsaan Religius: Refleksi Pemikiran dan
Perjuangan Tuan Guru Kiyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Madjid (Jakarta: Logos,
2004), 135.
47 Ariadi, Haji Sasak.

Volume 5, Nomor 2, Desember 2015 337


Abdul Quddus dan Lalu Muhammad Ariadi

mana Sunan dengan murid-muridnya disimpulkan berperan penting


atas penyebaran Islam di pedesaan Lombok. Sejak kemunculannya
pada awal abad ke-18 M, gelar Tuan Guru sebagai seorang haji yang
telah lama belajar di Timur Tengah menjadi dominan melebihi posisi
Penghulu Gading sejak pertengahan abad ke-18 M. Di antara Tuan
Guru tersebut adalah Tuan Guru Haji Umar Buntimbe yang menjadi
seorang Tuan Guru Haji pada pertengahan abad ke-18 M, Tuan Guru
Haji Abdul Gafur yang menjadi Tuan Guru Haji dan tokoh tarekat
pada akhir abad ke-18 M dan Tuan Guru Haji Umar Kelayu yang
pergi ke Mekah pada tahun 1799 M.48 Oleh Tuan Guru-Tuan Guru
ini, bentuk dari gerakan Tarekat yang menjadi dasar dari budaya
berfilosofi di Lombok mengalami perubahan, dari kesan mistik
menjadi cenderung normatif. Bentuk ini nampak jelas dari
menguatnya penjelasan mengenai peran penting ibadah mah}d}ah dalam
tarekat, seperti salat, puasa, dan haji.49 Dari beberapa ibadah mah}d}ah
tersebut, yang paling dikenal berpengaruh terhadap perubahan budaya
berfilosofi adalah haji.
Sebagai salah satu ibadah inti dalam Islam, haji dipandang oleh
orang-orang Sasak di Lombok sebagai ibadah yang tidak saja menjadi
simbol dari kesempurnaan rukun. Namun juga sebagai bagian dari
kebudayaan orang-orang Sasak yang sangat penting. Dengan
memaknakan nilai-nilai ketauhidan, nilai-nilai keadilan, kasih sayang,
dan kesetaraan, dan nilai-nilai keharmonisan kehidupan antara
manusia dan alam dalam ibadah haji, orang-orang Sasak memaknakan
Islam sebagai bagian inti dari kebudayaan dan spiritualitas orang-
orang Sasak. Bagi orang-orang Sasak, termasuk para penghulu
Gading, dan beberapa Tuan Guru pada abad ke-19, pemaknaan ini
yang menjadi inti dari penjelasan ketarekatan dan budaya berfilosofi
itu sendiri. Hal ini bisa dilihat pada naskah Sabuk Desa Ketangga di
mana Ka‘bah adalah simbol dari penjelasan ajaran-ajaran sufistik.50

48 Penjelasan mengenai peran Penghulu Gading dan Tuan Guru, berdasarkan


penjelasan pupuh ke-16, Naskah Rengganis. Lihat Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Bunga Rampai Kutipan Naskah Lama dan Aspek Pengetahuannya (t.t.:
Proyek Kajian Kebudayaan Daerah, 1990), 71-72.
49 Nama Labuan Haji berasal dari penamaan Pelabuhan Haji. Penamaan ini

diberikan karena banyaknya orang yang naik haji melalui pelabuhan ini. Lihat Alfons
van Der Kraan, Lombok: Conquest, Colonozation, and Underdevlopment 1870-1940
(Singapore: Heinemann Educational Books (Asia), Ltd., 1980), 114.
50 Ariadi, Haji Sasak, 71.

338 Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam


Gerakan Tarekat

Munculnya pemaknaan sufistik dalam haji di antara orang-orang


Sasak tersebut merupakan konsekuensi dari pola Islam yang sedang
menyebar di wilayah Nusantara pada waktu itu, yaitu pola yang
mengubah simbolisasi makrokosmos dan mikrokosmos kebudayaan,
dari Gunung ke Ka‘bah. Secara nyata, ini terlihat misalnya pada
Hikayat Hasanuddin dan tradisi orang-orang di Banten yang meyakini
Mekah sebagai pusat kosmis dan supranaturalitas.51 Pun dengan Islam
di Lombok yang menyimbolkan Ka‘bah di Mekah sebagai simbol
penyucian hati. Di antara orang-orang Islam di Lombok, dasar ini
yang menjadi asas pandangan masyarakat Sasak memberikan sarat
Tuan Guru harus menunaikan haji sebelum menjadi Tuan Guru dan
mengaplikasikan nilai-nilai spiritual dalam ibadah Haji secara baik.52
Pada tahun 1860, setelah transportasi pada ibadah haji mengalami
modernisasi, dari penggunaan Kapal Dagang yang merapat ke
Lombok sebagai alat transportasi dalam menunaikan ibadah haji
dengan Kapal Uap pada tahun 1860, berdampak dengan
meningkatnya jumlah jemaah haji di Lombok, khususnya Timur
Lombok.53 Banyaknya masyarakat Sasak yang menunaikan ibadah haji,
ditunjang dengan kuatnya gagasan pembaruan berbasis fiqh di Mekah
berimbas terhadap bentuk keberislaman di Nusantara. Melalui transfer
keilmuan secara masif dan berkesinambungan, khususnya fiqh, yang
dipadukan dengan berbagai gagasan pembaruan yang sedang melanda
Mekah dan Timur Tengah dibawa pulang oleh masyarakat Islam
Indonesia yang berkunjung ke Mekah, termasuk di antaranya adalah
masyarakat Sasak, baik mereka yang datang dalam rangka menunaikan
haji maupun yang datang ke Mekah untuk belajar ilmu keagamaan.54

51 Bruinessen, “Mencari Ilmu”, 43-44.


52 Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bunga Rampai Kutipan Naskah
Lama dan Aspek Pengetahuannya (t.t.: Proyek Kajian Kebudayaan Daerah, 1990), 71-
73. Pada masyarakat Sasak, Wali dan Guru Tuan dikenal sebagai figur suci yang
telah sempurna dalam melaksanakan rukun Islam, utamanya ibadah haji dan
melaksanakan spirit dalam ibadah haji dalam kehidupan sehari-hari, baik secara lahir
atau batin, dan baik itu kaitannya secara individual atau sosial.
53 Sejak adanya modernisasi transportasi haji yaitu dengan adanya Kapal Uap adan

dibukanya Terusan Suez, jumlah jemaah haji Indonesia meningkat. Pada tahun
1850-an dan 1860 an, jumlah jemaah haji Indonesia yang terdata 1600 orang, pada
tahun 1870 terdata 2600 orang, dan pada tahun 1880 terdata 4600 orang. Lihat Nico
Kaptein, The Muhimmata al-Nafasi: A Bilingual Meccan Fatwa Collection for Indonesian
Muslims from the End of the Ninteeth Century (Jakarta: INIS, 1997), 7-8.
54 Ide-ide dan aneka interpretasi keislaman yang berasal dari Mekah dipandang lebih

otoritatif karena kawasan tempat pelaksanaan ibadah haji dikenal sebagai pusat

Volume 5, Nomor 2, Desember 2015 339


Abdul Quddus dan Lalu Muhammad Ariadi

Begitu pentingnya posisi Mekah di antaranya orang-orang Sasak,


sehingga orang-orang Sasak selalu melepas kepergian seorang calon
haji seperti mengantar seseorang yang akan meninggal dunia.55
Tradisi melepas seorang calon haji oleh banyak orang di antara
orang-orang Sasak ini juga dilakukan oleh orang Betawi pada masa
lalu yaitu setelah pemberlakuan pembatasan jemaah haji oleh Belanda
pada tahun 1825 M. Ketika haji, orang Betawi melepaskan calon haji
dengan menangis dan menitipkan surat untuk disampaikan di makam
Nabi dengan harapan semoga mereka bisa ziarah di Mekah pada
tahun selanjutnya.56
Di balik kesulitan-kesulitan yang dialami oleh para calon haji di
antara orang Sasak tersebut, banyak cerita mistis-mistis yang lahir dari
orang yang menunaikan ibadah haji. Di antara kisah mistis ini adalah
terdapat pada kisah Tuan Guru Haji Ali Batu yang naik haji.
Diceritakan bahwa kapal yang ditumpangi Ali Batu ke Mekah
tenggelam di tengah perjalanan. Untuk menyelamatkan dirinya, Ali
Batu berenang ke sebuah pulau kecil dan menaiki sebuah pohon
besar. Pada malam harinya, ia melihat seorang burung raksasa singgah
di pohon tersebut dan menaikinya hingga sampai di daratan Afrika.
Setelah melewati ancaman berbagai binatang buas dan melewati air
ajaib yang sangat jernih yang mampu merubah segala sesuatu menjadi
batu, termasuk di antaranya adalah salah satu jarinya, ia sampai ke
Mekah. Setelah ia menunaikan ibadah haji dan mendalami ilmu-ilmu
keislaman, ia pulang ke Lombok. Selain kisah Tuan Guru Haji Ali
Batu, terdapat juga kisah Haji Salam yang pergi ke Mekah dengan naik
ke Gunung Rinjani dan menjadikan Danau Segara Anak sebagai pintu
gerbang ke Mekah.57 Kedua kisah tokoh yang notabene adalah tokoh
tarekat ini diyakini kebenarannya oleh para penganut ajaran-ajaran
tarekat hingga saat ini. Bagi mereka, ibadah haji adalah jalan menuju
puncak spiritualitas dan mereka meyakini hanya orang-orang yang
bersih jiwanya dan memiliki etos sosial yang tinggi yang mampu
mengikuti jejak kedua tokoh tersebut. Oleh mereka, persoalan naik
haji bukan sekadar mampu secara materi, namun juga memiliki
kemampuan secara spiritualitas.

Islam yang asli. Lihat John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat
Sasak, terj. Imron Rosyadi (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001), 114-115.
55 Di Lombok, tradisi ini dikenal dengan Tradisi Ngatong Haji.
56 Lihat Alwi Shahab, Robin Hood Betawi (Jakarta: Republika, 2002), 110.
57 Ariadi, Haji Sasak.

340 Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam


Gerakan Tarekat

Berbagai pandangan akan kisah mistis di antara para penganut


tarekat tersebut hampir mirip dengan pandangan haji orang-orang
Jawa yang menganggap haji sebagai sebuah perjalanan yang dipenuhi
dengan hal-hal aneh dan berbau mistis. Mengenai pandangan orang
Jawa ini, Danarto mengatakan bahwa akan banyak hal-hal yang aneh
dan cobaan berbau mistik yang akan ditemui seorang calon haji yang
mana seorang calon haji mesti waspada dan menutup mata, mulut,
dan telinga terhadap berbagai cobaan tersebut, dan haji bagi orang-
orang Jawa adalah sebuah cita-cita.58
Adapun di antara orang-orang Sasak yang belajar di Mekah pada
paruh akhir abad ke-18 M hinggga paruk akhir abad ke-19 M adalah:
Haji Umar dari Kelayu Lombok Timur yang pergi ke Mekah pada
tahun 1799 M, Haji Mustafa dari Sekar Bele Lombok Barat, dan Haji
Amin dari Sesele Lombok Barat yang bermukim di Mekah antara
tahun 1840-1870 M. Kemudian pada periode 1920 sampai 1940
muncul Haji Saleh dari Makam Ketak Lombok Tengah, Haji Rais dari
Sekar Bele Lombok Barat, Haji Muhammad Saleh Hambali dari
Pejeruk Lombok Barat, Haji Abdul Hamid dari Pejeruk Lombok
Barat, Haji Abdul Karim dari Praya Lombok Tengah, Haji Badarul
Islam Pancor Lombok Timur,59 dan Haji Muhammad Zainuddin
Abdul Madjid dari Pancor Lombok Timur yang berangkat ke Mekah
pada tahun 1923 M dan belajar ilmu agama selama 12 tahun.60 Atas
sebab status mereka sebagai haji, kedalaman ilmu mereka dalam
bidang keislaman, dan pengabdian mereka terhadap masyarakat,
mereka diberikan gelar Tuan Guru oleh masyarakat.61
Kemunculan kelompok Tuan Guru yang terpengaruh oleh ide
pembaharuan Islam di Timur Tengah pada abad ke 19 M, peran
keagamaan para pendahulunya yang bergerak dalam mengajarkan
Islam terhadap masyarakat, seperti Kiai Penghulu, Lebe dan Penghulu
58 Lihat Danarto, Orang Jawa Naik Haji (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1993), 1-
2.
59 Zuhdi dkk, Visi Kebangsaan Religius, 92-93. Sebelum menjadi Tuan Guru Haji, para
haji ini belajar di Mekah bertahun-tahun, yaitu antara tahun 1900 M hingga 1940 M.
60 Ibid., 135.
61 Lihat Sudirman, Gumi Sasak dalam Sejarah, 15-18. Tuan Guru adalah gelar

kehormatan yang diberikan oleh masyarakat Sasak kepada seseorang karena


memenuhi kriteria-kriteria tertentu, yaitu menguasai ilmu-ilmu dalam Islam, secara
lahir dan batin, pernah belajar di Timur Tengah, telah menunaikan ibadah haji,
memiliki prilaku yang baik dalam masyarakat dan aktif secara sosial dalam
masyarakat dan memiliki kekeramatan tertentu. Kriteria-kriteria ini saat ini banyak
bergeser menjadi sekadar pernah belajar di Timur Tengah dan memiliki status haji.

Volume 5, Nomor 2, Desember 2015 341


Abdul Quddus dan Lalu Muhammad Ariadi

Gading tergantikan oleh para Tuan Guru dari kalangan Ahlal-Sunnah


wa al-Jamâ‘ah sejak akhir abad ke 19 M.62 Di pedesaan, dengan
menggantikan figur-figur tersebut, para Tuan Guru juga mulai
mendorong perpindahan penganut Islam Wetu Telu yang mereka
katakan sebagai tidak mengikuti ajaran Islam yang murni ke Waktu
Lima. Karakter sinkretis atau percampuran antara Islam dengan
agama Hindu dan kepercayaan lokal yang diwarisi dari nenek moyang
mereka pada praktik keberislaman mereka membuat timbulnya
pandangan sesat pada sebagian pengikut Islam Waktu Lima. Akibat
dari perbedaan cara dalam berdakwah ini, Islam Wetu Telu lebih dekat
kepada Islam Waktu Lima yang mengedepankan ajaran-ajaran sufi
(tarekat) daripada Islam Waktu Lima yang mengedepankan fiqh.63
Setelah munculnya konversi dari Islam Wetu Telu ke Islam Waktu
Lima dalam jumlah yang masif pada masa ini, bentuk dari budaya
berfilosofi mengalami perubahaan yang drastis. Perubahan ini tidak
lain adalah pada substansi dari kebudayaan ini yang tidak lagi
berprinsip pada spiritualitas dalam tarekat, namun lebih kepada
prinsip pada normativitas dalam fiqh.64 Sebagai akibatnya, pada tahun
1980-an, lebih banyak orang-orang Lombok tidak lagi mengenal
dengan ketarekatan dan kebudayaan berfilosofi. Ini misalnya nampak
pada gerakan tarekat yang memudar dan tersisa di pedesaan di pinggir
hutan Rinjani dan beberapa di antaranya di pinggir hutan di Selatan
Lombok. Begitu juga pada kisah-kisah tentang perjalanan ibadah haji
para Tuan Guru yang dikatakan keramat, seperti kisah Tuan Guru
Haji Umar Kelayu dan Tuan Guru Haji Ali Batu melaksanakan haji
tidak lagi dianggap sebagai bagian pembelajaran spiritualitas dalam
Islam oleh sebagian orang-orang Sasak di Lombok.65

62 Tidak dikatakannya peran Tuan Guru dalam adat disebabkan oleh kurang
memahaminya para Tuan Guru tentang subtansi adat Sasak yang dibarengi dengan
faktor penolakan masyarakat yang masih memegang adat Sasak, baik itu dari
kalangan komunitas Wetu Telu, para pengikut tarekat, para bangsawan Sasak. Lihat
Syakur, Islam dan Kebudayaan, 79-82. Kiai Penghulu, Lebe dan Penghulu adalah figur
agama yang memiliki peran ganda yaitu peran keagamaan dan adat. Ini berbeda
dengan Tuan Guru yang dikenal sebagai figur agama pada wilayah keagamaan
semata.
63 Ini terlihat secara jelas dari kedekatan Tuan Guru Mutawalli dengan kalangan

Islam Wetu Telu. Lihat Budiwanti, Islam Sasak, 296-297. Tuan Guru Mutawalli dikenal
sebagai tokoh Tarekat Qâdirîyah-Naqshabandîyah di Lombok Timur.
64 Ariadi, Haji Sasak.
65 Budiwanti, Islam Sasak, 95-97.

342 Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam


Gerakan Tarekat

Pasca keberhasilan para Tuan Guru melakukan dakwah kepada


Islam Waktu Lima, oleh Tuan Guru Kiai Haji Muhammad Zainuddin
Abdul Madjid dari Pancor, dakwah Islam disistemasikan dalam
pendirian lembaga pendidikan dengan sistem madrasah dan kelas.
Madrasah yang ia dirikan ia namakan Yayasan Nahdhatul Wathan
Diniyah Islamiyah.66 Madrasah ini berhasil melakukan reformasi
pembelajaran Islam di Lombok, dari mushalla ke musala atau masjid
ke masjid menjadi terpusat pada satu pusat pembelajaran, yaitu
madrasah. Sistem madrasah ini lantas menyebar ke seluruh Lombok
dan bahkan NTB. Ini terlihat dari didirikannya Pondok Pesantren
Nurul Hakim oleh Tuan Guru Haji Abdul Karim Kediri Lombok
Barat, Yayasan Darul Yatama wal Masakin yang didirikan pada tahun
1960-an oleh Tuan Guru Haji Mutawalli dari Jero Waru Lombok
Timur dengan Tuan Guru Haji Ahmad dari Lendang Panas Lombok
Barat atau yang dikenal dengan Tuan Guru Ret Tet Tet.67
Catatan Akhir
Sebagai bagian penting dari perkembangan ajaran-ajaran Islam di
Lombok, gerakan tarekat dengan berbagai naskah yang dimiliki dan
budaya berpikir akan makna-makna filosofi dalam Islam di antara
orang-orang di pedesaan di Lombok berperan secara signifikan
terhadap sinergi dan akulturasi nilai-nilai keberislaman—dalam hal ini
adalah terkait dengan ajaran-ajaran tasawuf—dengan unsur-unsur
spiritual dalam kultur-kultur lokal di Lombok. Di antara orang-orang
Lombok, perpaduan ini secara eksplisit maupun implisit tergambar
pada menguatnya budaya berfilosofi itu sendiri. Yang mana tradisi ini
menekankan pemahaman keagamaan atas hubungan harmonis antara
Tuhan, manusia, dan alam.
Daftar Rujukan
Ali, M. Muhaimin. Praktik Keberagamaan Masyarakat Islam Waktu Telu di
Lombok Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Universitas Muhammadiyah
Jakarta, 1999.
Ambary, Hasan Muarif. Menemukan Peradaban: Jejak Arkeologis dan
Historis Islam Nusantara. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1998.
Ariadi, Lalu Muhammad. Haji Sasak: Sebuah Potret Dialektika Haji dan
Kebudayaan Lokal. Jakarta: IMPRESSA, 2013.
66Zuhdi dkk, Visi Kebangsaan Religius, 94.
67 Ariadi, Haji Sasak. Untuk lebih jelasnya mengenai dakwah para Tuan Guru
tersebut terhadap Islam Waktu Telu beserta kekeramatan yang mereka miliki.
Budiwanti, Islam Sasak, 292-296.

Volume 5, Nomor 2, Desember 2015 343


Abdul Quddus dan Lalu Muhammad Ariadi

Azra, Azyumardi. Renaissance Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan


Kekuasaan. Bandung: Rosdakarya: 1999.
Bartholomew, John Ryan. Alif Lam Mim: Kearifan Masyarakat Sasak,
terj. Imron Rosyadi. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2001.
Bruinessen, Martin van. “Mencari Ilmu dan Pahala di Tanah Suci:
Orang Nusantara Naik Haji,” Ulumul Qur’ân, VI II, No. 5, 1990.
-----. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. Bandung: Mizan, 1995.
Budiwanti, Erni. Islam Sasak: Islam Wetu Lima versus Islam Wetu Telu.
Yogyakarta: LKiS, 2000.
Cederroth, Sven. The Spell of the Ancestors and the Power of Mekah: A
Sasak Community on Lombok. Sweden: ACTA Universitatis
Gothoburgensis, 1981.
Danarto. Orang Jawa Naik Haji. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti,
1993.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Bunga Rampai Kutipan
Naskah Lama dan Aspek Pengetahuannya. t.t.: Proyek Kajian
Kebudayaan Daerah, 1990.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Tim. Sejarah Daerah Nusa
Tenggara Barat. t.t.: Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Proyek
Penelitian dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1977/1978.
Disbudpar Prov. Jambi, Proceeding the First International Conference on
Jambi Studies. Jambi: ICJS, 2013.
Gane, Mamiq. Wawancara. Lombok 13 Desember 2014.
Hutomo, Suripan Sadi. Filologi Lisan. Jakarta: CV Lautan Rezeki, 1999
Jakarta, Tim Peneliti Balai Litbang Agama. Koleksi dan Katalogisasi
Naskah Klasik Keagamaan Bidang Tasawuf. Jakarta: Balai Penelitian
dan Pengembangan Agama Jakarta, 2013.
Kaptein, Nico. The Muhimmata al-Nafasi: A Bilingual Meccan Fatwa
Collection for Indonesian Muslims from the End of the Ninteeth Century.
Jakarta: INIS, 1997.
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Tim. Khazanah Naskah Desa
Ketangga, Kecamatan Suela, Kabupaten Lombok Timur. Jakarta:
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2004.
Kraan, Alfons van Der. Lombok: Conquest, Colonozation, and
Underdevlopment 1870-1940. Singapore: Heinemann Educational
Books (Asia), Ltd., 1980.
-----. Lombok: Penaklukan, Penjajahan, dan Keterbelakangan 1870-1940,
terj. M. Donny Supanra. Mataram: Lengge, 2009.

344 Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam


Gerakan Tarekat

Marrison, Geoffrey E. Sasak and Javanes Literature of Lombok. Leiden:


KITLV Press, 1999.
Mattulada. “Islam di Sulawesi Selatan”, dalam Taufiq Abdullah,
Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta: CV Rajawali, 1983.
Mulyati, Sri. Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di
Indonesia. Jakarta: Kencana, 2004.
Pemerintah Provinsi NTB, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata,
Museum Negeri NTB, Obat-Obatan Tradisional Lombok. Mataram,
2006.
Shâfi‘î (al), Muh}ammad b. Idrîs. al-Risâlah. Beirut: Dâr al-Kutub al-
‘Ilmîyah, t.th.
Shahab, Alwi. Robin Hood Betawi. Jakarta: Republika, 2002.
Sudirman. Referensi Muatan Lokal: Gumi Sasak dalam Sejarah.
Pringgabaya: Yayasan Budaya Lestari dan KSU Prima Guna, 2007.
Syakur, Ahmad Abd. Islam dan Kebudayaan: Akulturasi Nilai-nilai Islam
dalam Budaya Sasak. Yogyakarta: Adab Press UIN Sunan Kalijaga,
2006.
Zuhdi, Muhammad Harfin dkk. Visi Kebangsaan Religius: Refleksi
Pemikiran dan Perjuangan Tuan Guru Kiyai Haji Muhammad Zainuddin
Abdul Madjid. Jakarta: Logos, 2004.

Volume 5, Nomor 2, Desember 2015 345

You might also like