Al-Quran Antara Wahyu Aural Dan Kodifikasi Utsmani
Al-Quran Antara Wahyu Aural Dan Kodifikasi Utsmani
Al-Quran Antara Wahyu Aural Dan Kodifikasi Utsmani
‘UTHMĀNĪ
Abstract: This study will begin by discussing the history of the Qur’an, the Qur’an as a
revelation, the history of the writing of the Qur’an and the content of the discussion of the
Qur’an. By describing what the initial scriptures were written about and when the general
codification of the Koran was agreed upon became the main global reference, it could be
understood by educated people, especially the laity. As we already know that the Koran in
general is initially a complex thing, meaning that the process of occurrence requires stages
that are not instantaneous. Various concepts related to the scriptures, such as “God, Angels,
Revelations, Prophets,” are often understood as taken forgranted. Likewise the process of
revelation of the Qur’an, such as narration, writing, gathering and opening, is often not a
concern. This paper intends to discuss the Qur’an from a Historical-Theological perspective.
Other things accepted in dogma, such as God's word, verse structure, spelling, and structure
of the text, are questioned again by positioning in the historical context at the time the
revelation was revealed and then written. The emphasis of this paper is on the process of
sacralization of the Koran having a long journey and intersecting with the historical events
of the Muslims between the aural and the codification of ‘Uthmānī. Briefly, outlining the
history of revelation and writing of the Koran becomes a “holy book” for religious
communities. The process of sacralization of the "holy book" cannot be separated from the
increasingly mature written tradition of human life that is complex. But does not deny the
tradition of previous writings, such as the Bible or books of the Jews and Christians. Because
the tradition of writing al-Qur’an is imitating from previous books. Is that right?.
Abstrak: Kajian ini akan dimulai dengan membahas tentang sejarah al-Qur’an, al-Qur’an
sebagai wahyu, sejarah penulisan al-Qur’an dan isi pembahasan al-Qur’an. Dengan
menggambarkan seperti apa bentuk tulisan awal kitab suci dan kapan disepakati kodifikasi
al-Qur’an yang general menjadi acuan utama yang global, bisa dipahami oleh kalangan
umat terpelajar khususnya kaum awam. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa al-Qur’an
secara umum pada mulanya adalah sesuatu yang kompleks, artinya bahwa proses
kejadiannya memerlukan tahapan yang tidak instan. Berbagai konsep berkaitan dengan
kitab suci, seperti “Tuhan, Malaikat, Wahyu, Nabi,” kerap dipahami secara taken
forgranted. Begitu juga proses pewahyuan al-Qur’an, seperti periwayatan, penulisan,
94 Muhammad Sairi | Al-Qur’an antara Wahyu Aural
pengumpulan dan pembukaan, kerap tidak menjadi perhatian. Tulisan ini bermaksud
mendiskusikan al-Qur’an dari perspektif Historis-Teologis. Hal-hal yang lainnya diterima
dalam dogma, seperti firman Tuhan, susunan ayat, ejaan, dan struktur teksnya,
dipersoalkan kembali dengan memposisikan dalam konteks kesejarahan pada saat wahyu
diturunkan kemudian ditulis. Titik tekan tulisan ini berada pada proses sakralisasi al-
Qur’an mengalami perjalanan cukup panjang dan bersinggungan dengan peristiwa
kesejarahan kaum Muslim antara yang aural dan kodifikasi ‘Uthmānī. Secara singkat,
menguraikan sejarah pewahyuan dan penulisan al-Qur’an menjadi “kitab suci” bagi
masyarakat beragama. Proses sakralisasi terhadap “kitab suci” tidak bisa lepas dari tradisi
tulisan yang semakin matang dari dalam kehidupan manusia yang kompleks. Namun tidak
menafikan tradisi tulisan sebelumnya, seperti alkitab atau kitab-kitab orang Yahudi dan
Kristen. Karena tradisi penulisan al-Qur’an meniru dari kitab-kitab sebelumnya.
Benarkah demikian?.
Pendahuluan
Wahyu merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada orang terpilih
(Muhammad) yang disampaikan melalui Jibril secara cepat dan tersembunyi
yang kemudian mempengaruhi jasmaninya. Dalam tradisi Islam dipercayai
bahwa wahyu adalah firman Allah yang tak terbantahkan sampai saat ini dan
diyakini kebenarannya. Sebagaimana ajaran Islam wahyu berupa al-Qur’an
dikhususkan kepada Nabi Muhammad seorang, sebagai Nabi pamungkas
diantara Nabi-Nabi yang lebih awal. Dibuktikan dengan turunnya wahyu
pertamakali yang berbunyi;
ۡ َۡ َ ۡ ۡ ََ ۡ ََ َ َ َك ذٱَّلِي َخل َ َّ ۡ َۡۡ
٣ ٱق َرأ َو َر ُّبك ٱۡلك َر ُم٢ نس َو ن ِۡو عل ٍقَٰ َ ٱۡل
ِ قل خ ١ ق ِ ٱقرأ بِٱس ِم رب
َ َ ۡ ََذ َ َۡ ََ ذ ذ
٥ نس َو َنا ل ۡم َي ۡعل ۡمَٰ َ ٱۡل
ِ علم٤ ٱَّلِي علم بِٱلقل ِم
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan; yang telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang
maha pemurah, yang mengajari (manusia) dengan perantaraan kalam; dia
mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. al-‘Alaq [96]: 1-
5).1
Bagaimanapun wahyu berupa al-Qur’an itu diturunkan berdasarkan letak
geografis kaum (Muslim) yang sesuai dengan isi dan kandungan yang tertera di
dalamnya. Di mana kondisi sosial kaum Arab pada saat itu dalam kejumudan
(dari segi moral). Situasi politik yang melibatkan dua kekaisaran besar antara
Bizantium dan kekaisaran Romawi. Dalam perluasan kekuasaan di Timur
Tengah saingan terberat Bizantium adalah Persia. Yang mana ketika itu berada
dalam belenggu dinasti Sasanid (sasaniyah). Menjelang kelahiran Muhammad,
Ilmu Ushuluddin | Volume 5, Nomor 2, Juli 2018 95
Nyatanya, Jibril berucap “iqra’” Nabi malah menjawab, “saya tidak bisa
membaca”. Jibril memaksa Nabi sampai ketigakalinya kemudian dilanjutkan
dengan kalimat yang lain seperti yang tersebut di atas. Setelah dibacakan
kemudian Jibril pulang. Begitulah proses wahyu disampaikan.
Kesimpangsiuran data yang menunjukkan perihal wahyu manakah
pertamakali yang diterima nabi, masih menjadi polemik tersendiri di kalangan
peneliti, sebab dalam riwayat wahyu pertama adalah surat al-‘Alaq [96]: 1-50,
tapi riwayat lain menyebutkan bagian awal surat al-Mudaththir [74]: 1-5, atau
surat al-Fātiḥah [1]: 1-7. Sehingga ada yang mengharmoniskan pendapat ini
bahwa surat 74 merupakan wahyu pertama setelah masa terputusnya wahyu dan
surat al-Fātiḥah merupakan surat pertama yang disampaikan secara utuh.4
Tidak terputus sampai disini saja, ada lagi problem lainnya, tentang wahyu
terakhir yang diterima nabi. Wahyu terakhir yang diterima nabi adalah al-
Baqarah [2]: 281, versi lain menyatakan al-Baqarah [2]: 282 atau 278, ada pula
yang mengatakan bahwa al-Mā’idah [5]: 3 adalah wahyu terakhir.
Ketika wahyu ditransfer kepada Nabi, apapun yang ada di pikiran Nabi,
tentu adalah wahyu. Itulah keterlibatan Tuhan secara konstan. Kata-kata ini
telah menjadi terminologi dalam Islam, khususnya untuk merujuk komunikasi
Tuhan dengan para Nabi. Dalam al-Qur’an kata wahyu dan kata-kata
bentukannya tidak hanya dikonotasikan kepada para nabi, tetapi juga
digunakan secara umum antara semasa manusia atau antara Tuhan dengan
makhluknya, termasuk para nabi.5
Jadi kata waḥyu/awḥā digunakan dalam pengertian “memberi isyarat” atau
“menunjukkan”. Seperti dalam QS. Maryam [19]: 11, guna menggambarkan
komunikasi Zakariya setelah menjadi bisu kepada kaumnya, kemudian al-
An’ām [6]: 112, bahwa setan dikalangan jin dan manusia “membisikkan” (yūḥī
ba’ḍuhum ilā ba’din). Sehingga kata wahyu disini tidak melulu kepada nabi.
Kepada malaikat, Tuhan mewahyukan, al-Anfāl [8]: 12 (yūḥī, “memerintah-
kan”), dan kepada ibu Nabi Mūsā, al-Qaṣaṣ [28]: 7, Tuhan mewahyukan
(awḥā, “memberi ilham”) agar menyusui anaknya. Bahkan kepada lebah pun
(awhaynā, “memberi ilham”) supaya membuat sarangnya di bukit-bukit dan
pohon-pohon serta rumah-rumah yang dibuat manusia (al-Naḥl [16]: 68).
Tetapi objek utamanya wahyu di dalam al-Qur’an adalah Muhammad.
Dalam surat al-Ra’du [13]: 30, bahwa nabi diutus untuk membacakan apa-apa
yang “diwahyukan” kepadanya, senada dengan surat Sabā’ [34]: 50, bahwa
petunjuk yang diperoleh Muhammad berdasarkan apa yang “diwahyukan”
kepadanya. Muhammad diperintahkan untuk mengatakan seperti ini dalam
surat al-An’ām [6]: 50: “aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendahara-
98 Muhammad Sairi | Al-Qur’an antara Wahyu Aural
an Allah ada padaku, dan aku tidak pula mengetahui yang gaib, dan aku pula
tidak mengatakan kepadamu bahwa aku malaikat. Sesungguhnya aku hanya
mengikuti apa-apa yang diwahyukan kepadaku.
Sementara tujuan pewahyuan al-Qur’an sudah dijelaskan dalam ayat ke 19
dalam surat yang sama, “al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku agar dengan itu
aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai (al-
Qur’an kepadanya). (QS. al-An’ām [6]: 19).
Allah tidak berkata-kata kepada seorang manusia pun kecuali; (a) melauli
wahyu, (b) atau dari balik tabir, dan atau (c) Dia mengutus utusan. Penjelasan
ini telah dibuktikan oleh al-Qur’an dalam surat al-Shūrā [42]: 51-52.
Kita sedang mempersoalkan pengalaman Nabi, bukan pengalaman kita
sendiri. Tentusaja kita sedang berspekulasi tentang wahyu, sebab kita tidak
pernah merasa menerima wahyu. Lagi-lagi sumber yang ada mengatakan bahwa
wahyu murni sudah berhenti sejak Muhammad menjadi Rasul sebagai utusan
terakhir. Selebihnya jika akhir-akhir ini ada yang mengklaim menerima wahyu
itu akal-akalan mereka belaka. Lantas pertanyaannya bagaimana dengan para
sufi serta ulama-ulama yang sudah mencapai maqom ma’rifat?
menulis perbuatan manusia dan segalanya akan dicatat dalam suatu kitab.
Tamsilan-tamsilan semacam itu pasti tidak akan digunakan al-Qur’an bila
belum dipahami atau dikenal masyarakat Makkah. Jika butir ini disepakati,
dapat disimpulkan bahwa tulis-menulis bukan merupakan hal baru, tetapi
justru telah cukup dikenal dikalangan penduduk kota Makkah. Sedangkan di
Madinah, ketentuan al-Qur’an dalam (al-Baqarah [2]: 282-283), yang
menyatakan bahwa transaksi utang-piutang yang dilakukan kaum muslimin
mesti dicatat dan disaksikan dua orang, secara jelas menunjukkan bahwa dikota
ini orang-orang yang bisa menulis tidak sulit ditemukan. Kalau tidak demikian,
maka al-Qur’an tentunya tidak akan memerintahkan penulisan transaksi
tersebut karena akan sulit dijalankan lantaran langkanya orang-orang bisa
menulis. Di dalam hadis bahkan dilaporkan bahwa orang-orang Makkah yang
tertawan dalam perang Badr diperkenalkan menebus kebebasan diri mereka
dengan mengajarkan tulis-menulis kepada kaum muslimin di Madinah. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa tulis-menulis juga bukan merupakan hal
yang asing di Madinah.18
Bahkan tulis-menulis juga disebutkan dalam al-Qur’an. Kata raqq ( ) ر ق
dalam (al-Ṭūr [52]: 3) yang mengacu kepada sejenis kertas kulit atau perkamen
yang terbuat dari kulit bintang. Atau kata qirṭās ( ) قرطا سyang muncul dalam
(al-An’ām [6]: 7,91) bisa jadi bermakna lontar, karena kata ini diambil dari
bahasa Yunani chartes yang bermakna selembar atau sehelai lontar. Demikian
pula, kata ṣuḥuf ( )صحفyang muncul beberapa kali di dalam al-Qur’an dalam
kaitannya dengan wahyu pada umumnya atau dengan wahyu yang disampaikan
kepada Ibrāhīm dan Mūsā. Bentuk tunggal dari kata ini ṣaḥīfah ()صحيفة, dan
kemungkinan bermakna selembar bahan untuk menulis tanpa menetapkan jenis
bahannya dan ṣuḥuf lazimnya diartikan sebagai lembaran-lembaran terpisah
yang tidak terjilid. Mustahil jika al-Qur’an berbicara dengan menggunakan
ungkapan-ungkapan yang tidak dimengerti masyarakat Arab ketika itu, karena
hal tersebut akan membuat pesan-pesan ketuhanan yang didakwahkannya tidak
akan mencapai sasaran yang telah dikehendakinya. Pengetahuan tulis-menulis
dan bahan-bahannya, yang bisa dikatakan telah tersebar cukup luas dikalangan
penduduk kota Makkah dan Madinah. Perkembangan bentuk tulisan Arab
ketika itu, aksara yang digunakan tanpa syakl dan i’jam, lebih memperlihatkan
eksistensi tulisan ketika itu sebagai alat untuk mempermudah hafalan.tanpa
tingkat keakraban yang semestinya terhadap suatu teks, seseorang tentunya akan
mengalami kesulitan dalam membacanya. Uraian yang telah dikemukakan
sejauh ini memperlihatkan tingkat keakraban masyarakat Arab dalam kaitannya
Ilmu Ushuluddin | Volume 5, Nomor 2, Juli 2018 105
Kodifikasi Uthmānī
Al-Qur’an sebagaimana kita ketahui baru mengalami kanonisasi23
(penyempurnaan tulisan) pada masa Nabi wafat, khususnya setelah Abū Bakar.
Ilmu Ushuluddin | Volume 5, Nomor 2, Juli 2018 107
Atas inisiatif dari ‘Umar bin Khaṭṭāb. Usulan penulisan dalam artian usaha
kodifikasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berserakan. Pada awal mulanya
usul itu ditolak dengan asumsi bahwa Nabi tidak pernah memikirkan hal itu,
lagi pula pengumpulan al-Qur’an itu terasa asing yang tidak pernah diniatkan
oleh Nabi. Baru kemudian usul itu diterima oleh Abū Bakar ketika ada sahabat
yang gugur dalam perang Yamamah oleh karena itu sahabat Abū Bakar
mencemaskan hal itu. Kemudian usul yang semula ia tolak diterimalah sebagai
gagasan untuk mengoleksi fragmen-fragmen al-Qur’an menjadi satu kesatuan
mushaf yang utuh. Seperti yang ada sekarang ini.
Upaya pembukuan al-Qur’an oleh Abū Bakar maupun ‘Umar tampaknya
masih diragukan oleh para sarjana, dikarenakan tidak adanya bukti mushaf
lengkap pra-Uthmānī. Kenyataannya baru ada upaya lebih serius di masa
khalifah ketiga yakni ‘Uthmān bin ‘Affān, untuk melakukan kodifikasi resmi,
menunjukkan bahwa kodifikasi sebelumnya tidak bisa menjadi rujukan sebagai
kitab suci yang utuh.
Hampir seluruh sarjana al-Qur’an menyepakati kodifikasi yang dilakukan
oleh ‘Uthmān baik sarjana klasik, orientalis maupun sarjana Muslim sendiri.
Kenyataan yang membawa bukti kuat hingga hari ini adalah bahwa kaum
Muslim menyebut al-Qur’an mereka dengan sebutan “Mushaf ‘Uthmāni,”
artinya mushaf yang dikumpulkan oleh ‘Uthmān. Kesepakatan para sarjana itu
menyebutkan al-Qur’an adalah kodifikasi secara sempurna dilakukan oleh
‘Uthmān dengan ditemukannya manuskrip “Mushaf ‘Uthmāni” yang ada di
musium seperti Topkapi di Turki dan musium Tashkent termasuk al-Qur’an
tertua yang ada di Indonesia.24
Lagi-lagi kita menerima kesimpulan bahwa bentuk final al-Qur’an yang
dikumpulkan oleh ‘Uthmān tidak disusun berdasarkan urutan kronologis
turunnya ayat demi ayat, tetapi berdasarkan konsensus panitia pembukuan al-
Qur’an (berdasarkan ijtihad). Jumlah surah yang ditetapkan 114 yang diawali
surah al-Fātiḥah dan diakhiri surah al-Nās. Keputusan penulisan al-Qur’an ini
menurut para sarjana al-Qur’an berbeda pendapat tentang itu. Sebagian
meyakini bahwa susunan ayat dan surat itu bersifat tawqifī, yakni melalui
petunjuk dari Allah, sebagian lagi mengatakan bahwa susunan ayat dan surah
itu berdasarkan ijtihadi para sahabat belaka.
Standardisasi yang dilakukan oleh ‘Uthmān dibilang cukup mulus. Tapi,
problem baru muncul. Aksara yang digunakan waktu itu masih dalam medium
primitif. Karena penulisan tanpa tanda baca yang menyebabkan problem
terhadap bunyi kata bahkan pada makna dan maksud ayat. Sementara sistem
tanda baca baru ada pada pertengahan abad ketujuh. Sebelum al-Qur’an
108 Muhammad Sairi | Al-Qur’an antara Wahyu Aural
dikodifikasi dan distandardisasikan pada masa ‘Uthmān, tidak banyak isu ragam
bacaan yang muncul, hal demikian dapat dimaklumi karena pada masa itu
banyak penghafal ayat al-Qur’an dari pada menulis ayat al-Qur’an.
Sikap yang diambil oleh ‘Uthmān dalam perselisihan bacaan dan
perselisihan ayat al-Qur’an yang sempat beredar, kemudian tindakan yang
diambil adalah dengan menyeragamkannya baik al-Qur’an yang dimiliki kaum
Anṣār dan Muhājirīn diambil alih oleh keputusan bersama para penghafal
sekaligus penulis al-Qur’an, selanjutnya kita sebut panitia dua belas. Dengan
demikian semuanya seragam berdasar Qur’an ‘Uthmāni. Proses begitu panjang
pengkodifikasian al-Qur’an mula-mula ‘Uthmān mengumpulkan shuhuf (kertas
kulit) yang dimiliki oleh Ḥafṣah. Yang menjadi titik tumpu keberhasilan
pengumpulan Mushaf ‘Uthmāni.25
Standardisasi al-Qur’an mengalami kesulitan pada abad ketiga dan keempat
hijriah. Meski secara umum kaum Muslim berpegang teguh terhadap mushaf
‘Uthmāni, tetapi para sarjana meyakini ada berbagai macam bacaan selain yang
disepakati. Puncaknya terjadi pada tahun 322 H, ketika Ibn Mujāhid (w. 324
H) melakukan penertiban terhadap ragam bacaan al-Qur’an yang saat itu
banyak ragam bacaan yang muncul. Ibn Mujāhid bekerja pada pemerintahan
Abbasiyah yang kemudian merasa prihatin akan versi bacaan yang beredar,
maka melalui dua orang menterinya, Ibn ‘Īsā dan Ibn Muqlah, memerintahkan
diadakannya penyeragaman bacaan al-Qur’an, lalu ditunjukklah Ibn Mujāhid
melaksanakan tugas tersebut.
Sebagai otoritas utama Ibn Mujāhid kemudian menyeleksi versi bacaan Ibn
‘Āmir (Syam, w. 118H/736 M), Ibn Kathīr (Mekah, w. 119 H/737 M), Abū
‘Āmir (Basrah, w. 153/770 M), Ḥamzah (Kufah, w.156/772 M), ‘Āsim (Kufah,
w. 158/778 M), Nāfī’ (Madinah, w. 169/785 M), dan al-Kisā’ī (Kufah 189/804
M). Ketujuh versi yang dipilih Ibn Mujāhid ini disepakati oleh sebagian besar
kaum Muslim. Kemudian dicetak dan disebarluaskan ke berbagai negara
Muslim. Pada abad keduapuluh, hanya tiga dari ketujuh versi itu yang masih
beredar, yakni versi Nāfī’ (yang diriwayatkan oleh Warsh), Abū ‘Āmir (yang
diriwayatkan oleh al-Dūrī), dan ‘Āsim (yang diriwayatkan oleh Ḥafs). Al-
Qur’an yang beredar belakangan ini atau yang kita baca sekarang adalah versi
terakhir, sementara versi kesatu dan kedua sudah mulai menghilang secara
perlahan dari peradaban.
Bukan tanpa sebab versi ‘Āsim menjadi pilihan yang diutamakan, karena
untuk pertamakalinya al-Qur’an dicetak dengan mesin cetak modern pada 1924
yang dilakukan di Mesir, kemudian dikenal “Al-Qur’an edisi Mesir”. Mesin
cetak itu menjadi standardisasi final bagi al-Qur’anyang dilakukan oleh Mesir
Ilmu Ushuluddin | Volume 5, Nomor 2, Juli 2018 109
dan Arab saudi. Seperti halnya standardisasi yang dilakukan Gutenberg yang
memulai percetakan Bibel.
Kesimpulan
Wahyu pada mulanya bersifat oral. Perintah untuk menuliskan wahyu
bukanlah sebuah acuan utama, tetapi merupakan pilihan belakangan, dengan
maksud dan tujuan pengabadian dan penyebarluasan. Dalam al-Qur’an tidak
ada perintah yang mengharuskan penyalinan dalam bentuk tulisan kemudian
dicetak dan disebarluaskan. Tetapi wahyu yang kemudian menjadi satu mushaf
merupakan langkah awal sakralisasi al-Qur’an. Sebelum berbentuk al-Qur’an,
kumpulan fragmen wahyu itu disepakati penyebutannya sebagai “mushaf”.
Kemudian mengalami evolusi perkembangan dari “al-muṣāaf” mejadi “al-
Qur’an” yang mengalami proses begitu panjang.
Al-Qur’an yang disepakati kemudian dicetak dan disebarluaskan
merupakan produk dari sejarah manusia. Bukan tanpa seleksi, sebagai sebuah
buku, al-Qur’an memiliki proses panjang dari pengumpulannya, penyeleksian,
pengeditan, percetakan dan hingga akhirnya menjadi sebuah kitab suci yang
disakralkan. Sumber utama al-Qur’an adalah wahyu yang disampaikan secara
oral oleh Malikat Jibril disampaikan kepada Nabi Muhammad.
Proses pengkodifikasian al-Qur’an adalah proses belakangan yang
dilakukan oleh para sahabat Nabi dan generasi penerus. Sebagai proses
pengkodifikasian tak lepas dari kesalahan dan kelalaian. Klaim keorisinilan al-
Qur’an harus dipahami bukan dalam konteks manusiawi, tetapi harus kita lihat
dari konteks sang pemilik sumber otoritas.
Kita harus membedakan antara wahyu dan proses penulisan al-Qur’an.
Wahyu punya otoritas tersendiri yang berada diluar nalar ilmiah, dan bisa kita
katakan sebagai persoalan keimanan bukan soal ilmu pengetahuan. Sementara
itu, proses penulisan adalah proses manusiawi yang bisa diuji, diseleksi,
dibuktikan, dan diverifikasi secara objektif.
Persoalan perdebatan sejarah kitab suci sebaiknya hanya dibatasi diranah
persoalan proses pembukuan bukan pada ranah “validitas wahyu”. Wahyu
berada pada otoritas sendiri yang tidak bisa diuji dan diverifikasi secara ilmiah
oleh ilmu pengetahuan, hanya bisa diterima oleh akal dan keimanan semata.
1
Kemenag, Al-Qur’an dan Terjemahnya
2
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an (Ciputat: Alvabet, 2013), h. 4.
3
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, h. 15.
4
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, h. 89.
110 Muhammad Sairi | Al-Qur’an antara Wahyu Aural
5
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, h. 64.
6
Hiroglif adalah sistem tulisan yang menggunakan gambar-gambar atau simbol-simbol
tertentu yang mewakili benda yang ingin dikomunikasikan. Sistem ini digunakan secara luas di
Mesir, dan biasanya digunakan pada dinding-dinding gua dan istana.
7
Logograf adalah sistem tulisan yang menggunakan simbol, huruf, atau tanda lainnya
untuk mewakili satu kata sekaligus. Sistem logograf lebih canggih dari hiroglif karena mulai
mengabstraksikan gambar kedalam satuan-satuan simbol dan garis.
8
Abd Moqsith Ghazali dkk, Metodologi Studi Al-Qur’an (Jakarta: Gramedia, 2009), h.
3-11.
9
Istilah Perjanjian Lama diciptakan oleh Uskup dari Yunani yaitu Melito Sardis,
untuk membedakannya dari Perjanjian Baru yang mulai digunakan orang secara luas.
10
Opini itu saya peroleh dari pendapat Fazlur Raḥmān dalam bukunya. Baca Fazlur
Raḥmān, Islam Sejarah Pemikiran dan Peradaban, (Bandung: Mizan 2017), h. 34
11
Fazlur Raḥmān, Islam:Sejarah Pemikiran dan Peradaban, terj. M. Irsyad Rafsadie,
(Bandung: Mizan, 2017), h. 34
12
Naṣr Ḥamid Abū Zayd dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflection an Islam,
(Westport, Connecticut/ London: Praeger Publishers, 2004), h. 95
13
Mun’im Sirry, Islam Revisionis Kontestasi Agama Zaman Radikal, (Yogyakarta: Suka
Press 2017), h. 73
14
Fazlur Raḥmān, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an (Bandung : Mizan 2017), h. 147-153.
baca juga bukunya Fazlur Raḥmān, Islam Sejarah Pemikiran dan Peradaban, (Bandung: Mizan
2017), h. 4.
15
Kata al-kitāb muncul sebanyak 225 kali dalam bentuk mufrad (kitāb), dan 6 kali
dalam bentuk jamak (kutūb). Dari 114 menurut kesepakatan perhitungan Ustmani ada bagian
terkecil dari al-Qur’an yaitu; surat dan ayat. Istilah lain merujuk kepada wahyu adalah dzakara,
dhizkr, dhikrā, dan tadhkirah. Digunakan dalam konotasi mengingat, dan peringatan. Ada pula
kata tanzil atau furqān. Apapun sinonim dan antonim kata yang dinisbatkan kepada al-Qur’an,
kesemuanya kembali kepada gagasan asal-usulnya, bahwa al-Qur’an bersumber dari Allah,
Tuhan semesta alam. Baca Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an (Jakarta:
Alvabet, 2013), h. 46-53. Bandingkan Abd Moqsith Ghazali dkk, Metodologi Studi Al-Qur’an,
h. 13
16
Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, Mesir: Musṭafā al-Bābī al-Ḥalabī,
1978, vol 1, h. 69.
17
Taufik Adnan Amal,. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, h. 137.
18
Taufik Adnan Amal,. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, h. 138-139.
19
Taufik Adnan Amal,. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, h. 142-143.
20
Taufik Adnan Amal,. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, h.. 143
21
M. M. Al-A’ẓāmī, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, (terj)
Sohirin Solihin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2014), h. 65-66.
22
Al-Nadim, Fihrist, Abū Bakr ‘Abdallāh ibn Abī Dawd, Kitāb al-Maṣāḥif, ed. A Jeffry,
(Mesir: al-Mathba’ah al-Raḥmāniyah, 1936), h. 10.
23
Mun’im Sirry menggunakan istilah “kanonisasi” dalam memaknai pengumpulan dan
penetapan wahyu menjadi kitab suci tertulis yang baku. Baca Mun’im Sirry, Kemunculan Islam
dalam Kesarjanaan Revisionis, (Yogyakarta: Suka Press, 2017), h. 125.
Ilmu Ushuluddin | Volume 5, Nomor 2, Juli 2018 111
24
Abd Moqsith Ghazali dkk, Metodologi Studi Al-Qur’an, h. 13
25
M. M. Al-A’ẓamī, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, h. 90-93.
Daftar Pustaka
Al-A’ẓamī, M. M. Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, (terj)
Sohirin Solihin dkk, Jakarta: Gema Insani, 2014.
Al-Nadim, Fihrist. Abū Bakr ‘Abdallāh ibn Abī Dawd, Kitāb al-Maṣāḥif, ed. A
Jeffry, Mesir: al-Mathba’ah al-Raḥmāniyah, 1936.
Al-Suyūṭī, Jalāl al-Dīn, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, Mesir: Musṭafā al-Bābi al-
Ḥalabī, 1978.
Amal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Ciputat: Alvabet, 2013.
Ghazali, Abd Moqsith, dkk, Metodologi Studi Al-Qur’an, Jakarta: Gramedia,
2009.
Raḥmān, Fazlur, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an, Bandung: Mizan 2017.
Raḥmān, Fazlur, Islam: Sejarah Pemikiran dan Peradaban, Bandung: Mizan,
2017.
Sirry, Mun’im. Kemunculan Islam dalam Kesarjanaan Revisionis, Yogyakarta:
Suka Press, 2017.
Sirry, Mun’im, Islam Revisionis Kontestasi Agama Zaman Radikal, Yogyakarta:
Suka Press, 2017.
Zayd, Naṣr Ḥamid Abū, dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflection an
Islam, Westport, Connecticut/ London: Praeger Publishers, 2004.