Al-Quran Antara Wahyu Aural Dan Kodifikasi Utsmani

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 19

AL-QUR’AN ANTARA WAHYU AURAL DAN KODIFIKASI

‘UTHMĀNĪ

Jauhar Azizy dan Muhammad Sairi


UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
[email protected]; [email protected]

Abstract: This study will begin by discussing the history of the Qur’an, the Qur’an as a
revelation, the history of the writing of the Qur’an and the content of the discussion of the
Qur’an. By describing what the initial scriptures were written about and when the general
codification of the Koran was agreed upon became the main global reference, it could be
understood by educated people, especially the laity. As we already know that the Koran in
general is initially a complex thing, meaning that the process of occurrence requires stages
that are not instantaneous. Various concepts related to the scriptures, such as “God, Angels,
Revelations, Prophets,” are often understood as taken forgranted. Likewise the process of
revelation of the Qur’an, such as narration, writing, gathering and opening, is often not a
concern. This paper intends to discuss the Qur’an from a Historical-Theological perspective.
Other things accepted in dogma, such as God's word, verse structure, spelling, and structure
of the text, are questioned again by positioning in the historical context at the time the
revelation was revealed and then written. The emphasis of this paper is on the process of
sacralization of the Koran having a long journey and intersecting with the historical events
of the Muslims between the aural and the codification of ‘Uthmānī. Briefly, outlining the
history of revelation and writing of the Koran becomes a “holy book” for religious
communities. The process of sacralization of the "holy book" cannot be separated from the
increasingly mature written tradition of human life that is complex. But does not deny the
tradition of previous writings, such as the Bible or books of the Jews and Christians. Because
the tradition of writing al-Qur’an is imitating from previous books. Is that right?.

Keywords: Revelation, Sacred, Scripture, Codification.

Abstrak: Kajian ini akan dimulai dengan membahas tentang sejarah al-Qur’an, al-Qur’an
sebagai wahyu, sejarah penulisan al-Qur’an dan isi pembahasan al-Qur’an. Dengan
menggambarkan seperti apa bentuk tulisan awal kitab suci dan kapan disepakati kodifikasi
al-Qur’an yang general menjadi acuan utama yang global, bisa dipahami oleh kalangan
umat terpelajar khususnya kaum awam. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa al-Qur’an
secara umum pada mulanya adalah sesuatu yang kompleks, artinya bahwa proses
kejadiannya memerlukan tahapan yang tidak instan. Berbagai konsep berkaitan dengan
kitab suci, seperti “Tuhan, Malaikat, Wahyu, Nabi,” kerap dipahami secara taken
forgranted. Begitu juga proses pewahyuan al-Qur’an, seperti periwayatan, penulisan,
94 Muhammad Sairi | Al-Qur’an antara Wahyu Aural

pengumpulan dan pembukaan, kerap tidak menjadi perhatian. Tulisan ini bermaksud
mendiskusikan al-Qur’an dari perspektif Historis-Teologis. Hal-hal yang lainnya diterima
dalam dogma, seperti firman Tuhan, susunan ayat, ejaan, dan struktur teksnya,
dipersoalkan kembali dengan memposisikan dalam konteks kesejarahan pada saat wahyu
diturunkan kemudian ditulis. Titik tekan tulisan ini berada pada proses sakralisasi al-
Qur’an mengalami perjalanan cukup panjang dan bersinggungan dengan peristiwa
kesejarahan kaum Muslim antara yang aural dan kodifikasi ‘Uthmānī. Secara singkat,
menguraikan sejarah pewahyuan dan penulisan al-Qur’an menjadi “kitab suci” bagi
masyarakat beragama. Proses sakralisasi terhadap “kitab suci” tidak bisa lepas dari tradisi
tulisan yang semakin matang dari dalam kehidupan manusia yang kompleks. Namun tidak
menafikan tradisi tulisan sebelumnya, seperti alkitab atau kitab-kitab orang Yahudi dan
Kristen. Karena tradisi penulisan al-Qur’an meniru dari kitab-kitab sebelumnya.
Benarkah demikian?.

Kata Kunci: Wahyu, Sakral, Kitab Suci, Kodifikasi.

Pendahuluan
Wahyu merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada orang terpilih
(Muhammad) yang disampaikan melalui Jibril secara cepat dan tersembunyi
yang kemudian mempengaruhi jasmaninya. Dalam tradisi Islam dipercayai
bahwa wahyu adalah firman Allah yang tak terbantahkan sampai saat ini dan
diyakini kebenarannya. Sebagaimana ajaran Islam wahyu berupa al-Qur’an
dikhususkan kepada Nabi Muhammad seorang, sebagai Nabi pamungkas
diantara Nabi-Nabi yang lebih awal. Dibuktikan dengan turunnya wahyu
pertamakali yang berbunyi;
ۡ َۡ َ ۡ ۡ ََ ۡ ََ َ َ َ‫ك ذٱَّلِي َخل‬ َ َّ ۡ َۡۡ
٣ ‫ ٱق َرأ َو َر ُّبك ٱۡلك َر ُم‬٢ ‫نس َو ن ِۡو عل ٍق‬َٰ َ ‫ٱۡل‬
ِ ‫ق‬‫ل‬ ‫خ‬ ١ ‫ق‬ ِ ‫ٱقرأ بِٱس ِم رب‬
َ َ ۡ َ‫َذ‬ َ َۡ َ‫َ ذ‬ ‫ذ‬
٥ ‫نس َو َنا ل ۡم َي ۡعل ۡم‬َٰ َ ‫ٱۡل‬
ِ ‫ علم‬٤ ‫ٱَّلِي علم بِٱلقل ِم‬
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan; yang telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmulah yang
maha pemurah, yang mengajari (manusia) dengan perantaraan kalam; dia
mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya” (QS. al-‘Alaq [96]: 1-
5).1
Bagaimanapun wahyu berupa al-Qur’an itu diturunkan berdasarkan letak
geografis kaum (Muslim) yang sesuai dengan isi dan kandungan yang tertera di
dalamnya. Di mana kondisi sosial kaum Arab pada saat itu dalam kejumudan
(dari segi moral). Situasi politik yang melibatkan dua kekaisaran besar antara
Bizantium dan kekaisaran Romawi. Dalam perluasan kekuasaan di Timur
Tengah saingan terberat Bizantium adalah Persia. Yang mana ketika itu berada
dalam belenggu dinasti Sasanid (sasaniyah). Menjelang kelahiran Muhammad,
Ilmu Ushuluddin | Volume 5, Nomor 2, Juli 2018 95

penguasa Abisinia di Yaman, yaitu Abrahah ada yang menyebutnya (Abraham).


Melakukan invasi ke Makkah, tapi gagal dikarenakan balatentaranya mengalami
penyakit yang mengerikan, terkena cacar atau versi lain mengatakan bahwa
tujuan lain mereka adalah untuk menghancurkan Ka’bah dalam rangka
menjadikan gereja termegah di San’a yang dibangun oleh Abrahah dengan
tujuan sebagai pusat ziarah keagamaan di Arabia.2
Kehidupan di Jazirah Arab tergantung kepada suku, suku yang lemah akan
pasti tertindas dari suku yang mendominasi. Seperti halnya suku Qurayshh
harus bernegosiasi dengan negara-negara tetangga dan suku-suku pengembara di
berbagai rute perniagaan. Sebab posisi sentral kaum Qurayshh adalah pusat
penziarahan, penjaga Ka’bah, tidak heran bila mereka harus rela merenggang
nyawa demi mempertahankan tentang kesucian Makkah.
Konsep pesimistik dianggap realistik dalam kehidupan padang pasir.
Pengejaran terhadap kenikmatan semu (kenikmatan duniawi) yang dilakukan
dengan berbagai cara mulai dari penjarahan kafilah-kafilah dagang dan suku-
suku lemah hingga prakterk-praktek ekonomi yang eksploitatif dan tidak
bermoral merupakan fenomena umum di Arabia waktu itu. Kehidupan jika
terbatas pada dunia ini secara pasti akan membinasakan manusia, satu-satunya
cara adalah hedonisme dalam rangka pengejaran kebahagian duniawi dalam
memberikan kehidupan yang abadi.
Solidaritas kesukuan tidak hanya merupakan karakteristik utama
kehidupan di padang pasir, tetapi juga di kota seperti Makkah dan Madinah,
serta bertalian erat dengan konsep lex talionis (balas dendam). Pada umumnya
di Jazirah Arabia, seseorang akan cenderung menghindar dari mencelakai,
melukai atau membunuh orang lain, jika targetnya itu berasal dari suku kuat
yang sudah pasti mereka akan menuntut balas atasnya. Secara politik
Muhammad berasal dari klan relatif cukup kuat di Makkah yakni klan Bani
Hāshīm. Namun, nilai-nilai kesukuan itu sebagian diterima dan sebagian
ditolak oleh al-Qur’an, dimodifikasi serta dikembangkan sesuai kebutuhan
Islam. Lebih jelasnya, nilai-nilai lama telah mengalami transformasi dan
tercabut dari bentuk tradisionalnya ke kesukuan Arab.3
Sumber-sumber Muslim mengatakan bahwa Muhammad diutus untuk
“liutammima makārim al-akhlāq” (menyempurnakan akhlak)kaum yang
bermukim di Mekah, Madinah/Yatsrib, dan Tha’if. Tak dapat dipungkiri
literatur Muslim yang ada menyebutkan kondisi sosial pada saat itu dalam
keadaan menyembah selain Allah (berhala), suka berperang, mengubur anak
perempuan hidup-hidup dan lain sebagainya. Dari latar belakang inilah
Muhammad diutus mula-mula menyebarkan paham monoteis atau paham
96 Muhammad Sairi | Al-Qur’an antara Wahyu Aural

Tauhid dengan mengajak kaum (musyrik) tersebut berada pada keselamatan


(Islam).
Muhammad saw dilahirkan di Makkah sekitar 570, dari klan Bani Hāshīm
dari suku Quraysh yang pamor kesukuannya saat itu sedang surut. Ayahnya,
‘Abdullāh, seorang pedagang, wafat ketika Muhammad dalam kandungan.
Ketika Muhammad berusia 6 tahun, ibunya, Aminah, menyusul kepergian
suaminya, kemudian Muhammad kecil diasuh kakeknya, dua tahun kemudian
kakeknya wafat juiga, sehingga mau tidak mau pamannya, Abū Ṭālib
mengasuhnya. Pengasuh terakhir inilah yang membela Muhammad mati-
matian dan siap menuntut balas atas apa yang menimpa diri Muhammad
nantinya karena perlindungan terhadap suku merupakan kode etik suku-suku di
Arabia. Sekalipun Abū Ṭālib tidak pernah meyakini kepercayaan agama baru
keponakannya tersebut. Al-Qur’an sendiri mengkonfirmasi keyatiman
Muhammad dalam QS. al-Ḍuḥā [93]: 6-8
ۡ َ ٗ ٓ ّٗ َ َ َ َ َ َ ٗ ِ ‫َأل َ ۡم ََي ۡد َك يَت‬
َٰ َ ‫ َو َو َج َد َك ََعئِٗل فَأغ‬٧ ‫ى‬
٨ ‫َن‬ َٰ ‫ٓاّل َف َه َد‬‫ ووجدك ض‬٦ ‫ى‬ َ ‫ف‬
َٰ ‫او‬ َ َ ‫يها‬
ِ
“Bukankah Dia mendapatimu sebagai seorang yatim, lalu Dia melindungimu.
Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan
petunjuk. Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang kekurangan, lalu Dia
memberikan kecukupan”. (QS. al-Ḍuḥā [93] 6-8).
Muhammad tidak pernah berkeinginan menjadi Nabi atau secara
gamblang dan sadar mempersiapkan diri untuk itu. Namun secara naturalistik,
dapat dikatakan bahwa walaupun tanpa disadarinya Muhammad telah
mempersiapkan diri untuk diangkat menjadi nabi. Sejak kecil Muhammad telah
memiliki kepekaan yang sensitif terhadap masalah-masalah moral yang dihadapi
manusia, terlebih ketika dia menjadi yatim piatu dalam usia yang relatif muda
sekali.
Terlepas dari apa yang telah dipaparkan di atas, penelusuran terhadap
wahyu yang diturunkan kepada Muhammad selama kurang lebih 23 tahun
lamanya. Nabi menerima wahyu secara ayat per ayat atau huruf per huruf,
kecuali surat yang turun sekaligus. Dalam keterangan lain, nabi menerima
wahyu satu atau dua ayat, satu hingga lima ayat atau lebih, lima hingga sepuluh
ayat dan lain-lain. Wahyu yang diperoleh di Gua Hira pada malam laylat al
qadr/tanggal 17 bulan Ramadhan itu masih menjadi polemik tersendiri di
kalangan para peneliti, sebab tidak adanya bukti otentik bagaimana cara Jibril
menyampaikan wahyu. Sumber Muslim yang ada menyebutkan wahyu
disampaikan oleh Jibril kepada Nabi langsung dengan memaksa Nabi
Muhammad untuk mengikuti apa yang diucapkan oleh Jibril kepadanya.
Ilmu Ushuluddin | Volume 5, Nomor 2, Juli 2018 97

Nyatanya, Jibril berucap “iqra’” Nabi malah menjawab, “saya tidak bisa
membaca”. Jibril memaksa Nabi sampai ketigakalinya kemudian dilanjutkan
dengan kalimat yang lain seperti yang tersebut di atas. Setelah dibacakan
kemudian Jibril pulang. Begitulah proses wahyu disampaikan.
Kesimpangsiuran data yang menunjukkan perihal wahyu manakah
pertamakali yang diterima nabi, masih menjadi polemik tersendiri di kalangan
peneliti, sebab dalam riwayat wahyu pertama adalah surat al-‘Alaq [96]: 1-50,
tapi riwayat lain menyebutkan bagian awal surat al-Mudaththir [74]: 1-5, atau
surat al-Fātiḥah [1]: 1-7. Sehingga ada yang mengharmoniskan pendapat ini
bahwa surat 74 merupakan wahyu pertama setelah masa terputusnya wahyu dan
surat al-Fātiḥah merupakan surat pertama yang disampaikan secara utuh.4
Tidak terputus sampai disini saja, ada lagi problem lainnya, tentang wahyu
terakhir yang diterima nabi. Wahyu terakhir yang diterima nabi adalah al-
Baqarah [2]: 281, versi lain menyatakan al-Baqarah [2]: 282 atau 278, ada pula
yang mengatakan bahwa al-Mā’idah [5]: 3 adalah wahyu terakhir.
Ketika wahyu ditransfer kepada Nabi, apapun yang ada di pikiran Nabi,
tentu adalah wahyu. Itulah keterlibatan Tuhan secara konstan. Kata-kata ini
telah menjadi terminologi dalam Islam, khususnya untuk merujuk komunikasi
Tuhan dengan para Nabi. Dalam al-Qur’an kata wahyu dan kata-kata
bentukannya tidak hanya dikonotasikan kepada para nabi, tetapi juga
digunakan secara umum antara semasa manusia atau antara Tuhan dengan
makhluknya, termasuk para nabi.5
Jadi kata waḥyu/awḥā digunakan dalam pengertian “memberi isyarat” atau
“menunjukkan”. Seperti dalam QS. Maryam [19]: 11, guna menggambarkan
komunikasi Zakariya setelah menjadi bisu kepada kaumnya, kemudian al-
An’ām [6]: 112, bahwa setan dikalangan jin dan manusia “membisikkan” (yūḥī
ba’ḍuhum ilā ba’din). Sehingga kata wahyu disini tidak melulu kepada nabi.
Kepada malaikat, Tuhan mewahyukan, al-Anfāl [8]: 12 (yūḥī, “memerintah-
kan”), dan kepada ibu Nabi Mūsā, al-Qaṣaṣ [28]: 7, Tuhan mewahyukan
(awḥā, “memberi ilham”) agar menyusui anaknya. Bahkan kepada lebah pun
(awhaynā, “memberi ilham”) supaya membuat sarangnya di bukit-bukit dan
pohon-pohon serta rumah-rumah yang dibuat manusia (al-Naḥl [16]: 68).
Tetapi objek utamanya wahyu di dalam al-Qur’an adalah Muhammad.
Dalam surat al-Ra’du [13]: 30, bahwa nabi diutus untuk membacakan apa-apa
yang “diwahyukan” kepadanya, senada dengan surat Sabā’ [34]: 50, bahwa
petunjuk yang diperoleh Muhammad berdasarkan apa yang “diwahyukan”
kepadanya. Muhammad diperintahkan untuk mengatakan seperti ini dalam
surat al-An’ām [6]: 50: “aku tidak mengatakan kepadamu bahwa perbendahara-
98 Muhammad Sairi | Al-Qur’an antara Wahyu Aural

an Allah ada padaku, dan aku tidak pula mengetahui yang gaib, dan aku pula
tidak mengatakan kepadamu bahwa aku malaikat. Sesungguhnya aku hanya
mengikuti apa-apa yang diwahyukan kepadaku.
Sementara tujuan pewahyuan al-Qur’an sudah dijelaskan dalam ayat ke 19
dalam surat yang sama, “al-Qur’an ini diwahyukan kepadaku agar dengan itu
aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai (al-
Qur’an kepadanya). (QS. al-An’ām [6]: 19).
Allah tidak berkata-kata kepada seorang manusia pun kecuali; (a) melauli
wahyu, (b) atau dari balik tabir, dan atau (c) Dia mengutus utusan. Penjelasan
ini telah dibuktikan oleh al-Qur’an dalam surat al-Shūrā [42]: 51-52.
Kita sedang mempersoalkan pengalaman Nabi, bukan pengalaman kita
sendiri. Tentusaja kita sedang berspekulasi tentang wahyu, sebab kita tidak
pernah merasa menerima wahyu. Lagi-lagi sumber yang ada mengatakan bahwa
wahyu murni sudah berhenti sejak Muhammad menjadi Rasul sebagai utusan
terakhir. Selebihnya jika akhir-akhir ini ada yang mengklaim menerima wahyu
itu akal-akalan mereka belaka. Lantas pertanyaannya bagaimana dengan para
sufi serta ulama-ulama yang sudah mencapai maqom ma’rifat?

Kitab Suci dalam Bingkai Sejarah


Manusia jika tidak punya pengetahuan tentang konsep “kitab suci” pastilah
tidak akan bisa membayangkan tentang konsep “kitab suci”. Pun kitab suci
tidak akan mempunyai nilai bagi masyarakat yang tidak mengenal tradisi tulis
menulis. “kitab suci” menjadi sebuah konsep modern disaat umat manusia
setelah berkenalan dengan tradisi tulisan. Dianggap modern karena ada konsep
terbaru yang ditemukan oleh manusia. Tidak lain adalah tradisi “tulisan”.
Tradisi tulisan sendiri merupakan sejarah baru dalam kehidupan manusia
yang panjang. Sebelumnya manusia hidup secara sederhana (primitif).
Kemudian dengan perkembangan yang ada, pada tahun 1900 SM orang
Sumeria menemukan konsep “simbol menulis” yang dikembangkan menjadi
tulisan yang sebelumnya menggunakan komunikasi secara oral (bicara) dan
dengan sandi (tanda-tanda) sederhana yang mereka ciptakan. Bentuk termodern
dari penemuan tulisan al-Qur’an menurut Moqsith Ghazali dkk (2009: h. 3)
pertamakali digunakan oleh orang-orang Mesir pada tahun 3200 SM yakni
dengan sistem hiroglif (hieroglyphs)6 atau logograf (logography)7 yang digunakan
oleh orang Cina dan Jepang pada tahun 2000 SM.
Seandainya tradisi tulis-menulis sampai saat ini tidak populer dan tidak
diciptakan oleh manusia terdahulu, kemungkinannya kita masih berada dalam
zaman keterbelakangan. Patut kita yang hidup di era serba ketersediaan ini
Ilmu Ushuluddin | Volume 5, Nomor 2, Juli 2018 99

mengucapkan terimakasih serta mengembangkan temuan yang ada. Adapun


kemudian jika masih dipersoalkan siapa pertamakalinya yang menggunakan
sistem tulisan itu biarkan sejarah yang membuktikan.
Moqsith Ghazali lebih lanjut dalam opininya mengatakan bahwa tradisi
tulis menulis baru mengalami revolusi besar setelah alfabet ditemukan oleh
orang-orang Foenisia (Phoenicia) pada tahun 1500 SM. Sistem ini kemudian
menyebar dan diadopsi oleh berbagai bangsa. Setidaknya ada empat bangsa
dikutip Moqsith Ghazali dalam bukunya Metodologi Studi Al-Qur’an (2009: h.
5), yang mengadopsi temuan ini kemudian mengembangkan seperti sekarang,
di antaranya (i) orang-orang Kan’an yang mewariskan tulisan Ibrani, (ii) bangsa
Aramaik, yang mewariskan banyak jenis tulisan di Timur Tengah dan Asia
Selatan (iii) orang Sabean, yang mewariskan tulisan Arab dan, (iv) bangsa
Yunani, yang mewariskan puluhan bahasa di Eropa.
Jika kita tarik ulur sejarah penulisan “kitab suci”, maka yang kita temukan
dalam sejarah pasti merujuknya kepada Bibel. Bahwa ajaran-ajaran Yudio-
Kristiani telah dikenal oleh kebanyakan orang Arab, merupakan kenyataan
historis yang tidak dapat dipungkiri oleh siapa pun. Al-Qur’an sendiri
mengkonfirmasi dalam al-Naml [27]: 67-68. Al-Qur’an menempati urutan
terakhir dalam tradisi penulisan kitab suci dari agama semitik yang ada.
Menurut versi sejarah paling sahih, sejarah penulisan Bibel Yahudi baru dimulai
tahun 800 SM, artinya seluruh “wahyu” yang turun kepada Nabi-Nabi dan
tokoh besar Yahudi (dari Ibrāhīm sampai Sulaiman) disimpan dalam bentuk
hafalan dan disampaikan secara oral. Lantas al-Qur’an sebelum terkodifikasi
pada masa ‘Uthmānī, awalnya juga disampaikan oleh Muhammad secara oral,
yang kemudian diseragamkan pada era kepemimpinan ‘Uthmān dalam bentuk
menjadi satu model yang ada sekarang ini. Lantas timbul pertanyaan. Lalu
apakah al-Qur’an yang sekarang asli atau palsu? Bagi saya pertanyaan itu kurang
tepat. Seharusnya apakah al-Qur’an yang dibaca sekarang ini nilai kesakralannya
masih ada? Jawabannya adalah, ada. Sebab utamanya adalah firman yang
disampaikan oleh Tuhan-Jibril-Muhammad itulah sakral yang sesungguhnya.
Bagaimana kemudian al-Qur’an ditulis itu sudah masuk ranah persoalan
budaya.
Sejarah penulisan “kitab suci” juga bergantung pada medium tulisan. Di
mana ada tulisan disitulah pasti ada kertas (utamanya setelah tradisi tulisan
berkembang). Yang menjadi medium utamanya adalah kertas. Kertas menjadi
medium paling populer hingga kini, jika melihat kebelakang, padahal kertas
baru tercipta awal abad ke-2 M atau dua milenium setelah orang Sumeria
100 Muhammad Sairi | Al-Qur’an antara Wahyu Aural

menemukan sistem tulisan. Sebelumnya tulisan penting seperti dokumen dan


kitab suci dituangkan dalam dua varian: (i) gulungan papirus dan, (ii) kodeks.8
Dalam masyarakat oral, wahyu dan inspirasi direkam dalam hafalan dan
dipublikasikan secara turun-temurun, dari orang ke-orang dan dari generasi ke-
generasi. Perjanjian Lama9 menjadi kandungan terbesar. Bibel diciptakan dalam
kurun waktu 1200-100 SM, kemudian dijaga secara turun-temurun melalui
hafalan. Sementara Perjanjian Baru sebagai satu kesatuan dari empat Injil baru
dikumpulkan pada tahun 150 M atau 117 tahun setelah NabiIsa (Yesus) wafat.
Kemudian Alkitab yang sekarang dibaca oleh pengikutnya itu adalah salinan
dari salinan yang ada yang ditulis oleh empat orang. Berbeda kemudian dengan
al-Qur’an yang penulisnya dan teksnya tidak ada perubahan sama-sekali (masih
orisinil sesuai wahyu pertama). Meskipun ada lebih dari satu orang yang
ditunjuk menjadi juru tulis, akan tetapi dalam tradisi Islam kata “mufakat”
lebih diutamakan, artinya keseragaman pemahaman mengenai penyeragaman
al-Qur’an yang manakah yang akan dipublikasikan kepada khalayak umum.
Ternyata benar adanya, bahwa Zayd bin Thābit dalam menyalin al-Qur’an
menjadi acuan seluruh umat Islam. Tanpa menafikan sahabat lain yang
ditunjuk untuk menyalin al-Qur’an.

Kitab, Mushaf, dan Al-Qur’an


Apa itu al-Qur’an? Sebuah suara menyeruak dari Jibril yang kemudian
disampaikan secara oral ke dalam hati Nabi dan menghantam pikiran Nabi
melalui alam pikiran sadar.10 Kita bisa melihat pesan di situ, bahwa al-Qur’an
itu berisi pesan moral yang mana mengarah secara perlahan kepada pembinaan
masyarakat. Pun kita juga tahu bahwa al-Qur’an diturunkan secara verbal,
bukan hanya makna dan gagasannya saja tetapi keseluruhan. Bukan berarti
menghilangkan kata dasar al-Qur’an yang berarti “bacaan” jelas menunjukkan
hal tersebut, tetapi lebih kepada esensi dari al-Qur’an itu sendiri.
Semangat utama al-Qur’an adalah semangat moral yang melahirkan
penekanan kepada keesaan Allah dan tidak menghindari kehidupan sosial.
Hukum moral itu sudah paten, tidak akan berubah. Mengapa demikian?
Karena hukum itu adalah perintah, perintah yang mesti dilaksanakan bukan
untuk dilanggar. Islam sendiri menyebut perintah ini dengan ibadah atau
penghambaan diri kepada Allah.
Al-Qur’an berisi tentang perintah dan larangan. Meminjam istilah Fazlur
Raḥmān, bahwa al-Qur’an tugasnya memang sudah berganti. Dari dentuman
dan dorongan moral dan juga nasihat keagamaan, kemudian perlahan mengarah
kepada pembinaan struktur masyarakat.11 Perintah di dalamnya mengandung
Ilmu Ushuluddin | Volume 5, Nomor 2, Juli 2018 101

keharusan, ketundukan. Seperti perintah untuk menyembah Tuhan, melaksana-


kan salat, zakat, puasa, dan haji (bagi yang mampu membayar uang pergi
haji/UPH), sebagaimana termaktub dalam rukun Islam yang terakhir. Pun
rukun iman mengandung perintah untuk meyakini apa yang ada dalam al-
Qur’an, maupun ketentuan lainnya. Poin yang lain al-Qur’an tidak hanya
berbicara soal itu saja. Al-Qur’an berbicara tentang Tuhan, alam, manusia, dan
lain sebagainya.
Pendapat kontroversi justru keluar dari Naṣr Ḥamid Abū Zayd, ia
menjelaskan al-Qur’an melalui ide-ide di kepalanya yang memiliki makna lebih
dari sekedar wahyu belaka. Berikut pendapatnya yang dianggap penuh
kontroversial di kalangan cendikiawan:
Pertama, al-Qur’an adalah Produk Budaya.12 Naṣr Ḥamid Abū Zayd
menyatakan: “Sesungguhnya teks (al-Qur’an), pada dasarnya dan kenyataannya
merupakan produk budaya. Kedua, al-Qur’an adalah Fenomena Sejarah. “Jika
firman Tuhan termasuk bagian dari perbuatan-Nya, sebagaimana uraian
sebelumnya, maka sesungguhnya firman itu adalah fenomena sejarah. Sebab,
semua perbuatan Tuhan adalah perbuatan yang telah teraktualisasi dalam dunia
yang bersifat temporal, atau historis. Dengan demikian, al-Qur’an juga
termasuk fenomena sejarah”. Ketiga, al-Qur’an adalah teks manusiawi dan
karangan Muhammad saw. Keempat, al-Qur’an adalah teks bahasa Arab biasa
seperti teks-teks lainnya. Naṣr Ḥamid menegaskan: “Teks-teks agama adalah
teks-teks bahasa yang bentuknya sama dengan teks teks yang lain di dalam
budaya.”Kelima, al-Qur’an boleh ditafsirkan oleh siapa saja, bahkan kaum
Ateis.
Dengan menyamakan status al-Qur’an dengan teks-teks yang lain, maka
Naṣr Ḥamid menegaskan siapa saja bisa mengkaji al-Qur’an, baik orang
muslim, non muslim maupun kalangan ateis. Naṣr Ḥamid menyatakan, “Saya
mengkaji al-Qur’an sebagai sebuah teks berbahasa Arab agar dapat dikaji, baik
oleh kaum Muslimin, Kristen maupun Ateis.”
Bagaimanapun juga berbeda pendapat mafhum adanya sebagaimana
dimakzulkan oleh ulama-ulama terdahulu. “Ikhtilāf al-ulamā’ al-raḥmah” beda
pendapat adalah rahmat. Jadi al-Qur’an dipahami sebagai sebuah teks yang
sudah dialihbahasakan oleh Muhammad meskipun penerima utama wahyu
adalah Muhammad itu sendiri. Sehingga dari yang awalnya sakral kemudian
berkonotasi profan, oleh sebab al-Qur’an produk budaya Arab yang dimotori
oleh manusia pilihan Tuhan (Muhammad). Oleh karena itu siapapun berhak
menafsirkannya. Cukup rasional bukan?
102 Muhammad Sairi | Al-Qur’an antara Wahyu Aural

Lain halnya Muḥammad ‘Abdūh dalam memandang al-Qur’an lebih


syahdu dalam memberikan statement tentang the holy quran ia mengatakan
bahwa, al-Qur’an itu sebagai kitab hidayah bukan buku sejarah atau sains.13
Yang di dalamnya mengandung prinsip nilai-nilai etis bagi kehidupan manusia,
kapan pun dan di mana saja. Hidayah itu petunjuk, jadi al-Qur’an merupakan
tangga menuju keselamatan. Artinya jika isi al-Qur’an diamalkan dengan baik
hidayah akan mengalir kepada yang mengamalkan. Lalu pertanyaannya hidayah
untuk siapa?
Lebih lanjut pada pembahasan al-Qur’an yang hadir belakangan, ketika
tradisi tulis-menulis semakin matang. Ketika Nabi Muhammad mulai
menerima wahyu, konsep “kitab suci” sudah cukup dikenal.14 Tidak heran bila
menemukan kata “kitab” dalam al-Qur’an. Meski demikian, kata alkitab masih
terbatas pada makna “tulisan” secara umum. Di masa Nabi hidup, sangat tidak
masuk akal membayangkan sebuah kitab suci yang utuh, karena kelengkapan
wahyu yang diterima Nabi bergantung pada usia Nabi sendiri.
Istilah “al-Qur’an” melewati proses yang begitu panjang sebelum kitab suci
dinamakan demikian. Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, dalam al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān,
menjelaskan bahwa kaum Muslim sepeninggal Nabi memiliki pendapat yang
berbeda tentang bagaimana sebaiknya menyebut kitab suci mereka. Sebagian
ada yang mengusulkan nama “Injil/al-kitab15 (merujuk pada tradisi Kristen),
sebagian lain mengusulkan “Sifr” (merujuk pada tradisi Yahudi). Kemudian
‘Abdullāh ibn Mas’ud salah satu sahabat terdekat Nabi mengusulkan nama
“mushaf”, yang kemudian usulan terakhir ini banyak digunakan oleh kaum
Muslim dalam menyebut kitab suci mereka.16
Kata al-Qur’an muncul sebanyak 70 kali dalam al-Qur’an dalam
pengertian yang beragam. Sebanding dengan kata al-Qur’an yakni al-Kitab.
Kata ini muncul sebanyak 255 kali dalam al-Qur’an dalam bentuk tunggal dan
6 kali dalam bentuk jamak. Tentu kata kitab disini kaitannya paling sering
kepada para nabi sebelum Muhammad. Seperti, dalam surat al-Baqarah [2]:
213, “Allah mengutus para nabi untuk menyampaikan kabar gembira dan
peringatan, dan diturunkannya bersama mereka kitab yang mengandung
kebenaran”.
Kita tahu bahwa sejak masa Nabi, al-Qur’an telah diwahyukan namun
wahyu itu tidak berhenti akan tetapi terus menerus disampaikan melalui Jibril
kepada Nabi yang kemudian sebagian dari wahyu itu ditulis dalam beragam
medium seperti; tulang unta, pelepah korma, papirus, lontar, dan parkemen,
sebagian sahabat mengumpulkan kemudian menjilidnya menjadi mushaf. Maka
tidak heran pada saat Nabi menerima wahyu al-Qur’an lebih banyak dihafal
Ilmu Ushuluddin | Volume 5, Nomor 2, Juli 2018 103

ketimbang ditulis. Sebab utamanya adalah tradisi tulis menulis belum


terfikirkan oleh penerima wahyu dan yang diberi pencerahan lewat wahyu.
Bahkan Nabi sendiri tak pernah punya firasat wahyu itu diabadikan lewat
tulisan.
Cikal bakal penulisan al-Qur’an atau tradisi tulis menulis itu terfikirkan
oleh Nabi diyakini ketika Nabi berada di Mekah, tetapi penulisan secara
sistematis baru dimulai di Madinah, terkhusus setelah Nabi menunjuk beberapa
sahabatnya untuk menulis ayat-ayat al-Qur’an tersebut. Mua’awiyah bin Abī
Sufyān, Ubay bin Ka’ab, Zayd bin Thābit, dan ‘Abdullāh bin Mas’ud, adalah
nama-nama populer sebagai penulis wahyu di Madinah.

Pengumpulan Pertama al-Qur’an


Penyebaran Tulis-menulis dikalangan Arabia
Teori yang berkembang luas dikalangan sarjana Muslim bahwa bangsa
Arab adalah bangsa yang mayoritas buta aksara dan primitif, sebagaimana
lazimnya ditunjukkan dengan ungkapan jahiliyah, terlihat tidak mendapat
dukungan dari temuan-temuan arkeologis dan bahkan tidak disokong oleh al-
Qur’an sendiri. Bukti-bukti arkeologis menunjukkan bahwa suatu bentuk
tulisan telah dikenal di Arabia selama berabad-abad sebelum kedatangan Nabi
Muhammad. Terdapat sejumlah prasasti dalam Bahasa Arab selatan yang
bertanggal jauh sebelum era Kristen. Sementara prasasti yang ditemukan di
daerah barat laut Arabia dalam abjad Nabatean, Lihyanik dan Tsamudik,
berasal dari abad-abad sebelum kelahiran Nabi. Contoh paling awal untuk
Bahasa Arab klasik dan naskah-naskah berbahasa Arab adalah tiga sketsa kasar
yang tertera pada tembok suatu kuil di Siria, yang berasal dari abad ke-3.
Dikabarkan oleh al-Baladhurī (w. 892) bahwa pada masa Nabi hanya terdapat
17 orang lelaki, ditambah segelintir wanita yang bisa menulis. Tetapi,
pernyataan ini sangat tidak masuk akal. Karena Nabi sendiri memiliki sejumlah
sekertaris yang ditugaskan menulis wahyu.17
Al-Qur’an sendiri memberi indikasi kearah ini. Dari wahyu pertama yang
diterima Muhammad (al-al-Alaq [96]: 1-5), mungkin saja bisa ditafsirkan
bahwa tulis-menulis di Makkah masih merupakan sesuatu yang asing atau baru
dan bersifat supranatural. Tetapi, sejumlah besar bukti tidak langsung dari al-
Qur’an justru memperlihatkan keakraban orang-orang Makkah maupun
Madinah dengan tulis-menulis maupun peralatannya. Tamsilan-tamsilan al-
Qur’an misalnya, hari pengadilan akhirat dikatakan sebagai hari penghisaban,
ketika kitab-kitab dibuka, dan ketika setiap orang akan ditunjukkan catatan-
catatannya, atau akan diberikan catatannya untuk dibaca, malaikat-malaikat
104 Muhammad Sairi | Al-Qur’an antara Wahyu Aural

menulis perbuatan manusia dan segalanya akan dicatat dalam suatu kitab.
Tamsilan-tamsilan semacam itu pasti tidak akan digunakan al-Qur’an bila
belum dipahami atau dikenal masyarakat Makkah. Jika butir ini disepakati,
dapat disimpulkan bahwa tulis-menulis bukan merupakan hal baru, tetapi
justru telah cukup dikenal dikalangan penduduk kota Makkah. Sedangkan di
Madinah, ketentuan al-Qur’an dalam (al-Baqarah [2]: 282-283), yang
menyatakan bahwa transaksi utang-piutang yang dilakukan kaum muslimin
mesti dicatat dan disaksikan dua orang, secara jelas menunjukkan bahwa dikota
ini orang-orang yang bisa menulis tidak sulit ditemukan. Kalau tidak demikian,
maka al-Qur’an tentunya tidak akan memerintahkan penulisan transaksi
tersebut karena akan sulit dijalankan lantaran langkanya orang-orang bisa
menulis. Di dalam hadis bahkan dilaporkan bahwa orang-orang Makkah yang
tertawan dalam perang Badr diperkenalkan menebus kebebasan diri mereka
dengan mengajarkan tulis-menulis kepada kaum muslimin di Madinah. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa tulis-menulis juga bukan merupakan hal
yang asing di Madinah.18
Bahkan tulis-menulis juga disebutkan dalam al-Qur’an. Kata raqq ( ‫) ر ق‬
dalam (al-Ṭūr [52]: 3) yang mengacu kepada sejenis kertas kulit atau perkamen
yang terbuat dari kulit bintang. Atau kata qirṭās (‫ ) قرطا س‬yang muncul dalam
(al-An’ām [6]: 7,91) bisa jadi bermakna lontar, karena kata ini diambil dari
bahasa Yunani chartes yang bermakna selembar atau sehelai lontar. Demikian
pula, kata ṣuḥuf (‫ )صحف‬yang muncul beberapa kali di dalam al-Qur’an dalam
kaitannya dengan wahyu pada umumnya atau dengan wahyu yang disampaikan
kepada Ibrāhīm dan Mūsā. Bentuk tunggal dari kata ini ṣaḥīfah (‫)صحيفة‬, dan
kemungkinan bermakna selembar bahan untuk menulis tanpa menetapkan jenis
bahannya dan ṣuḥuf lazimnya diartikan sebagai lembaran-lembaran terpisah
yang tidak terjilid. Mustahil jika al-Qur’an berbicara dengan menggunakan
ungkapan-ungkapan yang tidak dimengerti masyarakat Arab ketika itu, karena
hal tersebut akan membuat pesan-pesan ketuhanan yang didakwahkannya tidak
akan mencapai sasaran yang telah dikehendakinya. Pengetahuan tulis-menulis
dan bahan-bahannya, yang bisa dikatakan telah tersebar cukup luas dikalangan
penduduk kota Makkah dan Madinah. Perkembangan bentuk tulisan Arab
ketika itu, aksara yang digunakan tanpa syakl dan i’jam, lebih memperlihatkan
eksistensi tulisan ketika itu sebagai alat untuk mempermudah hafalan.tanpa
tingkat keakraban yang semestinya terhadap suatu teks, seseorang tentunya akan
mengalami kesulitan dalam membacanya. Uraian yang telah dikemukakan
sejauh ini memperlihatkan tingkat keakraban masyarakat Arab dalam kaitannya
Ilmu Ushuluddin | Volume 5, Nomor 2, Juli 2018 105

dengan tradisi tulis-menulis dan penggunaan bahan-bahan untuk menulis.


Ditambah dengan kuatnya tradisi hafalan di kalangan bangsa Arab ketika itu.

Pemeliharaan al-Qur’an pada masa Nabi


Wahyu yang diterima Muhammad pada faktanya, dipelihara dengan dua
cara; pertama, menyimpannya ke dalam “hati/dada manusia” atau “menghafal-
kannya. Yang kedua, merekamnya secara tertulis di atas berbagai jenis bahan
untuk menulis. Jadi ketika para sarjana muslim berbicara tentang jām’ al-qur’ān
pada masa Nabi, maka yang dimaksudkan dengan ungkapan ini pada dasarnya
adalah pengumpulan wahyu-wahyu yang diterima Nabi melalui kedua cara
tersebut, baik sebagian ataupun seluruhnya. Pada awalnya, bagian-bagian al-
Qur’an yang diwahyukan kepada Muhammad dipelihara dalam ingatan Nabi
dan para sahabatnya. Tradisi hafalan yang kuat di kalangan masyarakat Arab
telah memungkinkan terpeliharanya al-Qur’an dalam cara semacam itu. Salah
satu hadis yang tidak asing lagi terdengar yang diriwayatkan oleh ‘Uthmān ibn
‘Affān bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda: “Yang terbaik di antara kamu
adalah mereka yang mempelajari al-Qur’an dan kemudian mengajarkannya.”19
Pada titik ini akan timbul permasalahan, apakah tiap-tiap pengumpulan al-
Qur’an itu menyimpan dalam ingatannya keseluruhan wahyu Ilahi yang
diterima Muhammad atau hanya sebagian besar darinya. Jika dilihat dari peran
tulisan ketika itu, dapat dikemukakan bahwa penghafalan al-Qur’an merupakan
tujuan utama yang terpenting bahkan sepanjang sejarah Islam, sementara
perekamannya dalam bentuk tertulis selalu dipandang sebagai alat untuk
mencapai tujuan tersebut. Jadi dapat dipastikan bahwa tidak ada satu pun
wahyu yang tidak tersimpan dalam dada atau ingatan para pengumpul al-
Qur’an ketika itu.20
Laporan paling awal tentang penyalinan al-Qur’an secara tertulis bisa
dikemukakan dalam kisah masuk Islam ‘Umar ibn Khaṭṭāb, empat tahun
menjelang hijrahnya Nabi ke Madinah. Dikabarkan bahwa ketika Nabi tengah
berada di dalam rumah al-Arqām ibn Abī al-Arqām,’ Umar telah bertekad
untuk membunuhnya. Akan tetapi, niat ini terpaksa ditunda, karena ia
mendengar berita tentang masuk Islam adik kandung, adik Ipar dan
keponakannya. Ia kemudian pergi kerumah adik perempuannya dan
menemukan orang yang dicarinya bersama beberapa muslim lain tengah
membaca surat 20 dari sebuah ṣaḥīfah. Terjadi pertengkaran sengit dan umar
menyerang kedua adiknya hingga terluka, tetapi mereka tetap bersikukuh
dengan agama barunya. Melihat adik perempuannya terluka bercucuran darah,
‘Umar tersentuh hatinya kemudian meminta lembaran (ṣaḥīfah) itu. Dikatakan
106 Muhammad Sairi | Al-Qur’an antara Wahyu Aural

bahwa setelah membaca lembaran wahyu tersebut, ‘Umar mengungkapkan


keimanannya kepada risalah yang dibawa Nabi.21
Setelah hijrah ke Madinah, dikabarkan bahwa Nabi mempekerjakan
sejumlah sekertaris untuk menuliskan wahyu seperti yang telah disinggung
diawal (kuttāb al-waḥy). Di antara para sahabat yang biasa menuliskan wahyu
adalah empat khalifah pertama, Mu’awiyah, ‘Ubay ibn Ka’ab, Zayd ibn Thābit,
‘Abdullāh ibn Mas’ūd, Abū Mūsā al-Ash’ārī, dan lain-lain.

Pengumpulan di Masa Nabi dan setelah Wafatnya


Dalam sejumlah riwayat yang sampai kepada kita, seperti yang
diungkapkan di atas, disebutkan bahwa sejumlah sahabat telah mengumpulkan
secara tertulis wahyu-wahyu Ilahi dalam bentuk ṣuḥuf pada masa Nabi.
Sekalipun istilah “pengumpulan” di sini, sebagaimana telah disebutkan,
biasanya ditafsirkan sebagai “penghafalan”, ada sejumlah riwayat yang secara
spesifik menyebutkan pengumpulan itu dilakukan secara “tertulis” atau
merujuk pada penggunaan bahan-bahan untuk menulis dalam aktivitas
tersebut. Dalam sejumlah riwayat dikemukakan nama ‘Alī ibn Abī Ṭālib sebagai
pengumpul pertama al-Qur’an pada masa Nabi berdasarkan perintah Nabi
sendiri, bahwa suatu ketika Nabi pernah berunjar kepada Ali: “Hai ‘Alī, al-
Qur’an ada di belakang tempat tidurku, (tertulis) di atas shuhuf, sutra, dan
kertas (lembaran kain atau lainnya). Ambil dan kumpulkanlah, jangan sia-
siakan seperti orang Yahudi menyia-nyiakan Taurat.” Disebutkan oleh al-
Zanjānī bahwa ‘Alī menuju ketempat itu dan membungkus bahan-bahan
tersebut dengan kain berwarna kuning, kemudian disegelnya. Riwayat lainnya
yang beredar seacara luas di kalangan Syi’ah menegaskan ‘Alī sebagai orang
pertama yang mengumpulkan al-Qur’an setelah wafatnya Nabi, dan sumber-
sumber Sunni juga mengungkapkan bahwa ia memang memiliki sebuah
kumpulan al-Qur’an. ‘Alī mengurung diri dirumahnya dan bersumpah tidak
akan keluar rumah sebelum mengumpulkan bahan-bahan al-Qur’an ke dalam
sebuah mushaf. Hal ini menimbulkan desas-desus karena dia tidak keluar untuk
bersumpah setia (bay’ah) kepada khalifah yang baru terpilih, Abū Bakar. ‘Alī
kemudian menjelaskan mengapa ia tidak turut serta dalam sumpah setia pada
saat itu. Ketika pengumpulan wahyu itu selesai digarapnya, ia mengepaknya di
atas punggung unta dan membawanya kedapan para sahabat Nabi sambil
berkata: “Iniliah al-Qur’an yang telat saya kumpulkan”.22

Kodifikasi Uthmānī
Al-Qur’an sebagaimana kita ketahui baru mengalami kanonisasi23
(penyempurnaan tulisan) pada masa Nabi wafat, khususnya setelah Abū Bakar.
Ilmu Ushuluddin | Volume 5, Nomor 2, Juli 2018 107

Atas inisiatif dari ‘Umar bin Khaṭṭāb. Usulan penulisan dalam artian usaha
kodifikasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang berserakan. Pada awal mulanya
usul itu ditolak dengan asumsi bahwa Nabi tidak pernah memikirkan hal itu,
lagi pula pengumpulan al-Qur’an itu terasa asing yang tidak pernah diniatkan
oleh Nabi. Baru kemudian usul itu diterima oleh Abū Bakar ketika ada sahabat
yang gugur dalam perang Yamamah oleh karena itu sahabat Abū Bakar
mencemaskan hal itu. Kemudian usul yang semula ia tolak diterimalah sebagai
gagasan untuk mengoleksi fragmen-fragmen al-Qur’an menjadi satu kesatuan
mushaf yang utuh. Seperti yang ada sekarang ini.
Upaya pembukuan al-Qur’an oleh Abū Bakar maupun ‘Umar tampaknya
masih diragukan oleh para sarjana, dikarenakan tidak adanya bukti mushaf
lengkap pra-Uthmānī. Kenyataannya baru ada upaya lebih serius di masa
khalifah ketiga yakni ‘Uthmān bin ‘Affān, untuk melakukan kodifikasi resmi,
menunjukkan bahwa kodifikasi sebelumnya tidak bisa menjadi rujukan sebagai
kitab suci yang utuh.
Hampir seluruh sarjana al-Qur’an menyepakati kodifikasi yang dilakukan
oleh ‘Uthmān baik sarjana klasik, orientalis maupun sarjana Muslim sendiri.
Kenyataan yang membawa bukti kuat hingga hari ini adalah bahwa kaum
Muslim menyebut al-Qur’an mereka dengan sebutan “Mushaf ‘Uthmāni,”
artinya mushaf yang dikumpulkan oleh ‘Uthmān. Kesepakatan para sarjana itu
menyebutkan al-Qur’an adalah kodifikasi secara sempurna dilakukan oleh
‘Uthmān dengan ditemukannya manuskrip “Mushaf ‘Uthmāni” yang ada di
musium seperti Topkapi di Turki dan musium Tashkent termasuk al-Qur’an
tertua yang ada di Indonesia.24
Lagi-lagi kita menerima kesimpulan bahwa bentuk final al-Qur’an yang
dikumpulkan oleh ‘Uthmān tidak disusun berdasarkan urutan kronologis
turunnya ayat demi ayat, tetapi berdasarkan konsensus panitia pembukuan al-
Qur’an (berdasarkan ijtihad). Jumlah surah yang ditetapkan 114 yang diawali
surah al-Fātiḥah dan diakhiri surah al-Nās. Keputusan penulisan al-Qur’an ini
menurut para sarjana al-Qur’an berbeda pendapat tentang itu. Sebagian
meyakini bahwa susunan ayat dan surat itu bersifat tawqifī, yakni melalui
petunjuk dari Allah, sebagian lagi mengatakan bahwa susunan ayat dan surah
itu berdasarkan ijtihadi para sahabat belaka.
Standardisasi yang dilakukan oleh ‘Uthmān dibilang cukup mulus. Tapi,
problem baru muncul. Aksara yang digunakan waktu itu masih dalam medium
primitif. Karena penulisan tanpa tanda baca yang menyebabkan problem
terhadap bunyi kata bahkan pada makna dan maksud ayat. Sementara sistem
tanda baca baru ada pada pertengahan abad ketujuh. Sebelum al-Qur’an
108 Muhammad Sairi | Al-Qur’an antara Wahyu Aural

dikodifikasi dan distandardisasikan pada masa ‘Uthmān, tidak banyak isu ragam
bacaan yang muncul, hal demikian dapat dimaklumi karena pada masa itu
banyak penghafal ayat al-Qur’an dari pada menulis ayat al-Qur’an.
Sikap yang diambil oleh ‘Uthmān dalam perselisihan bacaan dan
perselisihan ayat al-Qur’an yang sempat beredar, kemudian tindakan yang
diambil adalah dengan menyeragamkannya baik al-Qur’an yang dimiliki kaum
Anṣār dan Muhājirīn diambil alih oleh keputusan bersama para penghafal
sekaligus penulis al-Qur’an, selanjutnya kita sebut panitia dua belas. Dengan
demikian semuanya seragam berdasar Qur’an ‘Uthmāni. Proses begitu panjang
pengkodifikasian al-Qur’an mula-mula ‘Uthmān mengumpulkan shuhuf (kertas
kulit) yang dimiliki oleh Ḥafṣah. Yang menjadi titik tumpu keberhasilan
pengumpulan Mushaf ‘Uthmāni.25
Standardisasi al-Qur’an mengalami kesulitan pada abad ketiga dan keempat
hijriah. Meski secara umum kaum Muslim berpegang teguh terhadap mushaf
‘Uthmāni, tetapi para sarjana meyakini ada berbagai macam bacaan selain yang
disepakati. Puncaknya terjadi pada tahun 322 H, ketika Ibn Mujāhid (w. 324
H) melakukan penertiban terhadap ragam bacaan al-Qur’an yang saat itu
banyak ragam bacaan yang muncul. Ibn Mujāhid bekerja pada pemerintahan
Abbasiyah yang kemudian merasa prihatin akan versi bacaan yang beredar,
maka melalui dua orang menterinya, Ibn ‘Īsā dan Ibn Muqlah, memerintahkan
diadakannya penyeragaman bacaan al-Qur’an, lalu ditunjukklah Ibn Mujāhid
melaksanakan tugas tersebut.
Sebagai otoritas utama Ibn Mujāhid kemudian menyeleksi versi bacaan Ibn
‘Āmir (Syam, w. 118H/736 M), Ibn Kathīr (Mekah, w. 119 H/737 M), Abū
‘Āmir (Basrah, w. 153/770 M), Ḥamzah (Kufah, w.156/772 M), ‘Āsim (Kufah,
w. 158/778 M), Nāfī’ (Madinah, w. 169/785 M), dan al-Kisā’ī (Kufah 189/804
M). Ketujuh versi yang dipilih Ibn Mujāhid ini disepakati oleh sebagian besar
kaum Muslim. Kemudian dicetak dan disebarluaskan ke berbagai negara
Muslim. Pada abad keduapuluh, hanya tiga dari ketujuh versi itu yang masih
beredar, yakni versi Nāfī’ (yang diriwayatkan oleh Warsh), Abū ‘Āmir (yang
diriwayatkan oleh al-Dūrī), dan ‘Āsim (yang diriwayatkan oleh Ḥafs). Al-
Qur’an yang beredar belakangan ini atau yang kita baca sekarang adalah versi
terakhir, sementara versi kesatu dan kedua sudah mulai menghilang secara
perlahan dari peradaban.
Bukan tanpa sebab versi ‘Āsim menjadi pilihan yang diutamakan, karena
untuk pertamakalinya al-Qur’an dicetak dengan mesin cetak modern pada 1924
yang dilakukan di Mesir, kemudian dikenal “Al-Qur’an edisi Mesir”. Mesin
cetak itu menjadi standardisasi final bagi al-Qur’anyang dilakukan oleh Mesir
Ilmu Ushuluddin | Volume 5, Nomor 2, Juli 2018 109

dan Arab saudi. Seperti halnya standardisasi yang dilakukan Gutenberg yang
memulai percetakan Bibel.

Kesimpulan
Wahyu pada mulanya bersifat oral. Perintah untuk menuliskan wahyu
bukanlah sebuah acuan utama, tetapi merupakan pilihan belakangan, dengan
maksud dan tujuan pengabadian dan penyebarluasan. Dalam al-Qur’an tidak
ada perintah yang mengharuskan penyalinan dalam bentuk tulisan kemudian
dicetak dan disebarluaskan. Tetapi wahyu yang kemudian menjadi satu mushaf
merupakan langkah awal sakralisasi al-Qur’an. Sebelum berbentuk al-Qur’an,
kumpulan fragmen wahyu itu disepakati penyebutannya sebagai “mushaf”.
Kemudian mengalami evolusi perkembangan dari “al-muṣāaf” mejadi “al-
Qur’an” yang mengalami proses begitu panjang.
Al-Qur’an yang disepakati kemudian dicetak dan disebarluaskan
merupakan produk dari sejarah manusia. Bukan tanpa seleksi, sebagai sebuah
buku, al-Qur’an memiliki proses panjang dari pengumpulannya, penyeleksian,
pengeditan, percetakan dan hingga akhirnya menjadi sebuah kitab suci yang
disakralkan. Sumber utama al-Qur’an adalah wahyu yang disampaikan secara
oral oleh Malikat Jibril disampaikan kepada Nabi Muhammad.
Proses pengkodifikasian al-Qur’an adalah proses belakangan yang
dilakukan oleh para sahabat Nabi dan generasi penerus. Sebagai proses
pengkodifikasian tak lepas dari kesalahan dan kelalaian. Klaim keorisinilan al-
Qur’an harus dipahami bukan dalam konteks manusiawi, tetapi harus kita lihat
dari konteks sang pemilik sumber otoritas.
Kita harus membedakan antara wahyu dan proses penulisan al-Qur’an.
Wahyu punya otoritas tersendiri yang berada diluar nalar ilmiah, dan bisa kita
katakan sebagai persoalan keimanan bukan soal ilmu pengetahuan. Sementara
itu, proses penulisan adalah proses manusiawi yang bisa diuji, diseleksi,
dibuktikan, dan diverifikasi secara objektif.
Persoalan perdebatan sejarah kitab suci sebaiknya hanya dibatasi diranah
persoalan proses pembukuan bukan pada ranah “validitas wahyu”. Wahyu
berada pada otoritas sendiri yang tidak bisa diuji dan diverifikasi secara ilmiah
oleh ilmu pengetahuan, hanya bisa diterima oleh akal dan keimanan semata.

1
Kemenag, Al-Qur’an dan Terjemahnya
2
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an (Ciputat: Alvabet, 2013), h. 4.
3
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, h. 15.
4
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, h. 89.
110 Muhammad Sairi | Al-Qur’an antara Wahyu Aural

5
Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, h. 64.
6
Hiroglif adalah sistem tulisan yang menggunakan gambar-gambar atau simbol-simbol
tertentu yang mewakili benda yang ingin dikomunikasikan. Sistem ini digunakan secara luas di
Mesir, dan biasanya digunakan pada dinding-dinding gua dan istana.
7
Logograf adalah sistem tulisan yang menggunakan simbol, huruf, atau tanda lainnya
untuk mewakili satu kata sekaligus. Sistem logograf lebih canggih dari hiroglif karena mulai
mengabstraksikan gambar kedalam satuan-satuan simbol dan garis.
8
Abd Moqsith Ghazali dkk, Metodologi Studi Al-Qur’an (Jakarta: Gramedia, 2009), h.
3-11.
9
Istilah Perjanjian Lama diciptakan oleh Uskup dari Yunani yaitu Melito Sardis,
untuk membedakannya dari Perjanjian Baru yang mulai digunakan orang secara luas.
10
Opini itu saya peroleh dari pendapat Fazlur Raḥmān dalam bukunya. Baca Fazlur
Raḥmān, Islam Sejarah Pemikiran dan Peradaban, (Bandung: Mizan 2017), h. 34
11
Fazlur Raḥmān, Islam:Sejarah Pemikiran dan Peradaban, terj. M. Irsyad Rafsadie,
(Bandung: Mizan, 2017), h. 34
12
Naṣr Ḥamid Abū Zayd dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflection an Islam,
(Westport, Connecticut/ London: Praeger Publishers, 2004), h. 95
13
Mun’im Sirry, Islam Revisionis Kontestasi Agama Zaman Radikal, (Yogyakarta: Suka
Press 2017), h. 73
14
Fazlur Raḥmān, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an (Bandung : Mizan 2017), h. 147-153.
baca juga bukunya Fazlur Raḥmān, Islam Sejarah Pemikiran dan Peradaban, (Bandung: Mizan
2017), h. 4.
15
Kata al-kitāb muncul sebanyak 225 kali dalam bentuk mufrad (kitāb), dan 6 kali
dalam bentuk jamak (kutūb). Dari 114 menurut kesepakatan perhitungan Ustmani ada bagian
terkecil dari al-Qur’an yaitu; surat dan ayat. Istilah lain merujuk kepada wahyu adalah dzakara,
dhizkr, dhikrā, dan tadhkirah. Digunakan dalam konotasi mengingat, dan peringatan. Ada pula
kata tanzil atau furqān. Apapun sinonim dan antonim kata yang dinisbatkan kepada al-Qur’an,
kesemuanya kembali kepada gagasan asal-usulnya, bahwa al-Qur’an bersumber dari Allah,
Tuhan semesta alam. Baca Taufik Adnan Amal, Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an (Jakarta:
Alvabet, 2013), h. 46-53. Bandingkan Abd Moqsith Ghazali dkk, Metodologi Studi Al-Qur’an,
h. 13
16
Jalāl al-Dīn al-Suyūṭī, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, Mesir: Musṭafā al-Bābī al-Ḥalabī,
1978, vol 1, h. 69.
17
Taufik Adnan Amal,. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, h. 137.
18
Taufik Adnan Amal,. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, h. 138-139.
19
Taufik Adnan Amal,. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, h. 142-143.
20
Taufik Adnan Amal,. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, h.. 143
21
M. M. Al-A’ẓāmī, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, (terj)
Sohirin Solihin dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2014), h. 65-66.
22
Al-Nadim, Fihrist, Abū Bakr ‘Abdallāh ibn Abī Dawd, Kitāb al-Maṣāḥif, ed. A Jeffry,
(Mesir: al-Mathba’ah al-Raḥmāniyah, 1936), h. 10.
23
Mun’im Sirry menggunakan istilah “kanonisasi” dalam memaknai pengumpulan dan
penetapan wahyu menjadi kitab suci tertulis yang baku. Baca Mun’im Sirry, Kemunculan Islam
dalam Kesarjanaan Revisionis, (Yogyakarta: Suka Press, 2017), h. 125.
Ilmu Ushuluddin | Volume 5, Nomor 2, Juli 2018 111

24
Abd Moqsith Ghazali dkk, Metodologi Studi Al-Qur’an, h. 13
25
M. M. Al-A’ẓamī, Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, h. 90-93.

Daftar Pustaka
Al-A’ẓamī, M. M. Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu Sampai Kompilasi, (terj)
Sohirin Solihin dkk, Jakarta: Gema Insani, 2014.
Al-Nadim, Fihrist. Abū Bakr ‘Abdallāh ibn Abī Dawd, Kitāb al-Maṣāḥif, ed. A
Jeffry, Mesir: al-Mathba’ah al-Raḥmāniyah, 1936.
Al-Suyūṭī, Jalāl al-Dīn, al-Itqān fī ‘Ulūm al-Qur’ān, Mesir: Musṭafā al-Bābi al-
Ḥalabī, 1978.
Amal, Taufik Adnan. Rekonstruksi Sejarah Al-Qur’an, Ciputat: Alvabet, 2013.
Ghazali, Abd Moqsith, dkk, Metodologi Studi Al-Qur’an, Jakarta: Gramedia,
2009.
Raḥmān, Fazlur, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an, Bandung: Mizan 2017.
Raḥmān, Fazlur, Islam: Sejarah Pemikiran dan Peradaban, Bandung: Mizan,
2017.
Sirry, Mun’im. Kemunculan Islam dalam Kesarjanaan Revisionis, Yogyakarta:
Suka Press, 2017.
Sirry, Mun’im, Islam Revisionis Kontestasi Agama Zaman Radikal, Yogyakarta:
Suka Press, 2017.
Zayd, Naṣr Ḥamid Abū, dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflection an
Islam, Westport, Connecticut/ London: Praeger Publishers, 2004.

You might also like