0% found this document useful (0 votes)
105 views

Candi Gunung Sari

This article discusses inscribed stone cylinders found at the Candi Gunung Sari temple site in Central Java. Some of the cylinders bear short inscriptions in Old Javanese indicating the eight directions of space. Based on architectural evidence, the temple had a Shaiva affiliation. The cylinders were likely placed in the temple platform covering foundation deposits during construction. While identical objects have not been found elsewhere in Java, contemporaneous sites contain objects with similar ritual functions. The inscriptions at Candi Gunung Sari uniquely provide the oldest near-complete system of eight directions in Javanese terms.

Uploaded by

Yogacarabhumi
Copyright
© © All Rights Reserved
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
0% found this document useful (0 votes)
105 views

Candi Gunung Sari

This article discusses inscribed stone cylinders found at the Candi Gunung Sari temple site in Central Java. Some of the cylinders bear short inscriptions in Old Javanese indicating the eight directions of space. Based on architectural evidence, the temple had a Shaiva affiliation. The cylinders were likely placed in the temple platform covering foundation deposits during construction. While identical objects have not been found elsewhere in Java, contemporaneous sites contain objects with similar ritual functions. The inscriptions at Candi Gunung Sari uniquely provide the oldest near-complete system of eight directions in Javanese terms.

Uploaded by

Yogacarabhumi
Copyright
© © All Rights Reserved
Available Formats
Download as PDF, TXT or read online on Scribd
You are on page 1/ 23

Batu tabung berprasasti di Candi Gunung Sari (Jawa

Tengah) dan nama mata angin dalam bahasa Jawa Kuno


Baskoro Daru Tjahjono, Arlo Griffiths, Véronique Degroot

To cite this version:


Baskoro Daru Tjahjono, Arlo Griffiths, Véronique Degroot. Batu tabung berprasasti di Candi Gunung
Sari (Jawa Tengah) dan nama mata angin dalam bahasa Jawa Kuno. Berkala Arkeologi (Yogyakarta),
Balai Arkeologi D.I. Yogyakarta, 2014, 34 (2), pp.161-182. �10.30883/jba.v34i2.23 �. �halshs-01908636�

HAL Id: halshs-01908636


https://halshs.archives-ouvertes.fr/halshs-01908636
Submitted on 30 Oct 2018

HAL is a multi-disciplinary open access L’archive ouverte pluridisciplinaire HAL, est


archive for the deposit and dissemination of sci- destinée au dépôt et à la diffusion de documents
entific research documents, whether they are pub- scientifiques de niveau recherche, publiés ou non,
lished or not. The documents may come from émanant des établissements d’enseignement et de
teaching and research institutions in France or recherche français ou étrangers, des laboratoires
abroad, or from public or private research centers. publics ou privés.
BATU TABUNG BERPRASASTI
DI CANDI GUNUNG SARI (JAWA TENGAH)
DAN NAMA MATA ANGIN DALAM BAHASA JAWA KUNO1

THE INSCRIBED STONE CYLINDERS AT CANDI GUNUNG SARI


(CENTRAL JAVA) AND THE NAMES OF THE DIRECTIONS OF
SPACE IN OLD JAVANESE

Baskoro Daru Tjahjono1, Arlo Griffths2 dan Veronique Degroot2


1
Balai Arkeologi Medan
2
Ecole française d'Extrême-Orient, Jakarta
[email protected]
[email protected]
[email protected]

ABSTRACT
This article presents an architectural and epigraphical study of several objects recovered from the
Central Javanese temple site of Gunung Sari. The site has yielded unique cylindrical stone objects, some of
which bear short inscriptions in Old Javanese language indicating the directions of space. Based on
architectural arguments, we conclude that the temple was a Śaiva monument. The cylindrical objects were
most likely placed originally in the floor of the platform of the temple, where they covered foundation
deposits placed during the construction of the temple in connection with the ritual preparation of the
ground plan. Although objects exactly identical in shape have thus far not been discovered in Java, objects
that had different shapes but similar ritual functions can be identified at other more or less contemporary
sites in the region. Some of these bear inscriptions. The inscriptions of Candi Gunung Sari are, however,
unique in that they offer by far the oldest (nearly) complete system of eight directions of space expressed in
Javanese terms.

Keywords: Temple, Short inscription, Directions of space, Architecture, Ancient Mataram

ABSTRAK
Artikel ini menyajikan studi arsitektur dan epigrafi dari beberapa artefak yang ditemukan di Candi
Gunung Sari, Jawa Tengah. Pada situs tersebut ditemukan batu berbentuk tabung yang tidak ditemukan di
tempat lain, beberapa di antaranya mengandung prasasti pendek berbahasa Jawa Kuno yang berisi penunjuk
arah mata angin. Berdasarkan alasan arsitektural, kami menarik kesimpulan bahwa candi itu adalah
bangunan berlatar belakang Sivaisme. Konon, batu-batu tabung itu rupanya diletakkan di dalam alas candi
dan menutupi peripih-peripih yang dibuat selama candi dibangun, berkaitan dengan persiapan ritual tata
letak candi. Meskipun benda yang persis sama belum pernah ditemukan di Jawa selama ini, artefak
berbentuk lain dengan fungsi ritual yang sama dapat dikenali di beberapa situs yang kurang lebih semasa di
daerah yang sama. Beberapa di antaranya juga mengandung prasasti. Prasasti-prasasti di Candi Gunung Sari
memiliki keunikan karena menyebutkan sistem (hampir) lengkap yang paling tua dari delapan mata angin
yang diungkapkan dalam istilah Jawa asli.

Kata kunci: Candi, Prasasti pendek, Arah mata angin, Arsitektur, Mataram kuno

Tanggal masuk : 21 Agustus 2014


Tanggal diterima : 3 November 2014

1
“Les pierres cylindriques inscrites du Candi Gunung Sari (Java Centre, Indonésie) et les noms des directions de
l‟espace en vieux-javanais.” BEFEO 97-98 (2010-11, terbit 2013): 367–90. Diterjemahkan oleh Rahayu Surtiati
Hidayat.

Batu Tabung Berprasasti di Candi Gunung Sari (Jawa Tengah) dan Nama Mata Angin 161
dalam Bahasa Jawa Kuno (Baskoro Daru Tjahjono-Arlo Griffths-Veronique Degroot)
PENDAHULUAN dalam dua proyek penggalian untuk
pelestarian yang dilaksanakan pada
Dalam buku tribahasa yang 1998 (Nugrahani, Hery Priswanto &
menarik Situs-situs Marjinal/Sanctuaires Imam Fauzi 1998; Nugrahani, Tjahjono
retrouvés/Sites out of Sight (Rizky Prasodjo & Baskoro Daru Tjahjono
Sasono, Ferry Ardyanto & Elbaz 1998), serta Véronique Degroot,
2002, 75), tercantum mengenai Candi arkeolog yang baru-baru ini menyusun
Gunung Sari bahwa: sebuah inventaris situs arkeologis masa
Candi Hindu ini menyisakan satu Hindu-Buddha di Jawa bagian tengah
kaki candi induk serta reruntuhan (Degroot 2009).
3 candi perwara. Artefak-artefak Penelitian lapangan bersama
yang pernah ditemukan di situs ini, dilaksanakan pada Juli 2009 untuk
seperti relief barong, arca Durga mencari dan membuat abklats dari
Mahissasuramadrini, dan yoni, prasasti sebagai langkah perdana
sudah dipindahkan ke kantor menuju penerbitannya. Di sini kami
Suaka Peninggalan Sejarah dan menyajikan hasil penelitian arkeologis
Purbakala Jawa Tengah. Kaki dan epigrafis mengenai batu tabung dan
candi yang tersisa ini berukuran prasastinya yang bertujuan untuk lebih
10 × 10 meter dengan tinggi 50 memahami seluk-beluk situs Candi
cm. Di tengahnya terdapat lubang Gunung Sari.
diameter 1,5 meter yang dulunya
berfungsi sebagai sumur. Pada TEMPAT SITUS DAN PENELITIAN
bagian kemuncak candi, dulu TERDAHULU
pernah dipahatkan beberapa pra-
sasti Jawa Kuno.2 Candi tersebut berada di puncak
bukit yang dinamai Gunung Sari, Desa
Berharap menemukan prasasti Gulon, Kecamatan Salam, Kabupaten
yang disebutkan dalam buku panduan Magelang, Provinsi Jawa Tengah.3 Bukit
yang sederhana ini tentang berbagai itu dibatasi di sebelah utara oleh Kali
situs arkeologis kecil di Jawa bagian Blongkeng, di timur oleh Kali Jlegong,
tengah (Provinsi Jawa Tengah dan dan di sebelah selatan oleh Kali Putih.
Daerah Istimewa Yogyakarta), Arlo Dari puncaknya pengunjung dapat
Griffiths, peneliti di bidang epigrafi yang melihat pemandangan yang menakjub-
bertugas di kantor EFEO di Jakarta, kan. Posisinya di bukit yang dikelilingi
mengunjungi Candi Gunung Sari pada kali, pemandangan Gunung Merapi, dan
tanggal 25 Februari 2009. Di sana tempatnya di wilayah pertanian yang
terdapat sejumlah batu tabung yang subur pasti telah menjadikan situs itu
beberapa di antaranya berprasasti mencolok dalam lanskap Pulau Jawa
pendek. Prasasti itu tampaknya belum pada masa lampau, dan oleh karena itu
tercatat dan fungsi batu tabungnya serta menjadi tempat ideal untuk membangun
posisi aslinya di situs juga sama tidak sebuah candi.
jelas. Maka timbul gagasan menulis Gunung Sari menjadi bagian dari
sebuah artikel sebagai kerja sama perbukitan yang memanjang di kaki
antara Arlo Griffiths dengan Baskoro Gunung Merapi, banyak di antaranya
Daru Tjahjono, arkeolog dari Balai yang pernah atau masih ditempati candi
Arkeologi di Yogyakarta, yang turut (gbr. 1), misalnya Gunung Pring (di
sebelah barat laut) dan Gunung Wukir
2
(di sebelah tenggara). Bukit yang
Di sini tak satu patah kata pun kita membaca tentang terakhir ini diperkirakan tempat asal
sebuah prasasti lain yang disebut di versi Prancis
paragraf ini di buku yang sama. Prasasti menurut prasasti bertanggal tertua di Jawa
sumber ini disimpan di lembaga yang dulu bernama bagian tengah, yaitu prasasti monu-
Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala, kini Balai mental Raja Sañjaya, yang bertitimang-
Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) di Prambanan.
Para petugas menegaskan bahwa di Balai itu tidak
3
satu pun tersimpan artefak berprasasti yang berasal 07° 36'08.0" Selatan dan 110 16'59.6" Timur (WGS
dari Candi Gunung Sari. 84).

162 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 161-182


sa 654 Śaka (732 M) dan disebut berprasasti namun kemungkinan besar
prasasti Canggal atau prasasti Gunung pada unsur hiasan yang mewah.
Wukir dalam pustaka sekunder. Dataran Beberapa tahun kemudian, van
rendah yang membentang di bawahnya Aalst (1899, 394) menerakan Candi
merupakan wilayah paling kaya akan Gunung Sari dalam daftar peninggalan
peninggalan arkeologis di Jawa. Candi kuno di Kecamatan Probolinggo yang
kuno, seperti Candi Gunung Wukir atau disusunnya. Van Aalst menyumbangkan
Candi Mendut berdampingan di sana unsur-unsur pertama yang dapat
dengan beberapa monumen yang lebih membantu untuk menentukan agama
muda seperti Candi Ngawen.4 yang melatari monumen itu. Di tengah
Candi Gunung Sari sendiri sudah runtuhan ia memang mencatat keber-
lama dikenal: deskripsi pertama adaan sebuah sumur di landasan candi,
lokasinya berasal dari karya Hoeper- yaitu salah satu unsur tetap candi Hindu
mans yang mengunjunginya pada 1865. di Jawa namun tidak lazim dalam hal
Deskripsi itu yang baru diterbitkan pada bangunan yang dilatari agama Buddha.
1914, menjelaskan bahwa candi Ia juga menyebutkan bahwa, di sawah
tersebut telah dirusak dan sebagian yang terletak di kaki bukit, terdapat
batunya digunakan untuk membangun sebuah alas patung berbentuk yoni dan
sebuah tangga monumental menuju dihiasi sebuah ―banaspati‖ (pastilah
sebuah makam modern yang terletak di kepala singa atau kālamukha). Walau-
bagian bawah bukit (Hoepermans pun van Aalst sendiri tidak menarik
1914, 140).5 Menurut penulis yang kesimpulan apa pun, kedua unsur itu,
sama, berbagai patung yang berasal sumur dan yoni — kalau yoni-nya
dari Gunung Sari pada masa itu terdapat memang berasal dari Gunung Sari —
di dekat kediaman controleur Muntilan. dapat diduga bahwa candi itu
Situs Gunung Sari juga disebutkan diperuntukkan bagi pemujaan dewa
oleh Verbeek (1891, 156 no. 299) yang Śiva, jadi bukan candi Buddha, berbeda
mencatat keberadaan reruntuhan dari Candi Ngawen yang terletak di
sebuah candi dan melakukan peng- dekatnya. Van Aalst juga melaporkan
galian pertama. Hasilnya, menurut cerita rakyat setempat yang dinilainya
Verbeek, ―banyak batu candi berukir‖, hanya dongeng: Gunung Sari menyem-
artinya ia tidak mengacu pada batu bunyikan sebuah candi bertingkat yang
luas, mirip dengan Borobudur.
4
Penggalian terkini memperlihatkan
Seperti diketahui, sejarah kerajaan Hindu-Buddha di bahwa keraguan van Aalst memang
Jawa lazimnya dibagi dalam dua periode besar:
periode Jawa Tengah (abad VII hingga awal X) dan
beralasan. Di Gunung Sari tidak ada
periode Jawa Timur (abad X hingga XV). Periode candi bertingkat, tetapi jelas sebuah
Jawa Tengah sendiri, yang menjadi obyek kajian ini, bangunan kecil yang cukup mirip Candi
sering dibagi dalam dua periode, yaitu “kuno” (732– Gunung Wukir.6
830) dan “mutakhir” (830–928). Sebagian besar
candi kemungkinan dibangun dalam periode yang
cukup singkat, dari perempat terakhir abad VIII DESKRIPSI DAN PENANGGALAN
hingga perempat ketiga abad IX. Mengenai CANDI GUNUNG SARI
kronologi candi Jawa Tengah (dan kesulitan
memosisikan setiap candi dalam kronologi yang Puncak Gunung Sari telah
mutlak) lihat secara umum Vogler 1953, Soekmono
1979, Williams 1981, Dumarçay 1993, Klokke 2006,
diratakan sedemikian rupa untuk mem-
dan khususnya Degroot 2009: 14–18. Tanggal yang bentuk bidang segi empat yang luas.
diajukan dalam karya ilmiah untuk masing-masing Setidaknya empat bangunan pernah
candi umumnya mengacu pada epigrafi. Hipotesis dibangun di sini, namun kini hanya
mengenai asosiasi beberapa prasasti dengan tersisa bagian dasarnya. Penggalian
monumen tertentu serta perannya dalam menanggali
awal pembangunan monumen itu, menurut pendapat yang dilaksanakan pada 1998 oleh
kami, harus dibaca dengan hati-hati, tidak seperti Suaka Peninggalan Sejarah dan
kebiasaan ahli sejarah Jawa.
5
Makam ini masih digunakan pada masa kini;
6
undakannya sekarang dibeton sehingga kami tidak Candi Gunung Sari juga diulas kembali dalam
dapat memerikan apakah masih mengandung batuan inventaris Krom (1915, 265 no. 852). Tak ada unsur
dari candi. baru dalam deskripsi lokasinya.

Batu Tabung Berprasasti di Candi Gunung Sari (Jawa Tengah) dan Nama Mata Angin 163
dalam Bahasa Jawa Kuno (Baskoro Daru Tjahjono-Arlo Griffths-Veronique Degroot)
Purbakala (sekarang BPCB, lihat cat. 2) selatan situs, mungkin satu-satunya
Jawa Tengah, bekerja sama dengan bagian yang tersisa dari bangunan
Balai Arkeologi Yogyakarta maupun kelima. Kompleks itu dikelilingi pagar
Universitas Gadjah Mada telah dari bata yang runtuhannya masih
menjelaskan denah situs (gbr. 2). Candi tampak jelas di sebelah timur candi
induk, yang landasannya berukuran induk. Di antara materi yang terbongkar
12×12m, menghadap ke barat, sebagai- selama penggalian, terdapat sebuah
mana banyak monumen di Jawa. patung Mahākāla, ditemukan di dekat
Sebuah tangga menonjolkan muka tangga, serta tiga batu patok (masih in
barat. Di depan candi induk, terdapat situ) yang digunakan untuk membatasi
sisa-sisa sebuah bangunan datar ruang peribadatan. Ketiga batu patok itu,
lonjong yang belum tergali seluruhnya masing-masing berada di sebelah
tetapi pasti berukuran sekitar 6×3,5m. Di selatan tangga candi utama, di tengah
sebelah utara dan selatannya tampak sisi timur pagar keliling, dan di sudut
hasil penggalian berupa sisa-sisa bagian timur laut pagarnya.
dasar dua bangunan lain. Sebuah
dinding runtuh, yang terletak di bagian

Gambar 1. Peta Jawa bagian tengah dengan situs yang disebutkan dalam teks
(V. Degroot).

164 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 161-182


Berbagai temuan tersebut mene- Beberapa unsur hiasan yang
gaskan hipotesis yang telah diajukan masih ada memungkinkan untuk mene-
berdasarkan deskripsi van Aalst: Candi tapkan penanggalan sementara itu.
Gunung Sari adalah candi dewa Śiva. Satu-satunya kālamukha (gbr. 3) yang
Kehadiran Mahākāla, batu patok, ditemukan dalam kondisi utuh memiliki
maupun tatanan bangunan itu sendiri suatu ciri khas, yakni matanya
sudah cukup untuk membuktikannya. berbentuk spiral dan motif flora menon-
Gabungan sebuah candi utama dengan jolkan pipinya. Mata spiral itu
bangunan berbentuk datar lonjong di menyerupai beberapa kālamukha di
hadapannya memang merupakan Candi Sewu (yang dibuat pada
tatanan ruang yang khas untuk candi- pembangunan tahap kedua), dan yang
candi Śiva di Jawa. Tatanan yang sama terdapat di Candi Plaosan Lor, Ngawen,
ditemukan juga di Dieng (kompleks atau Loro Jonggrang, namun ditemukan
Candi Arjuna dan Semar) dan Gedong pula — meskipun jarang — di beberapa
Songo (II, III) serta Candi Badut. Di bangunan yang lebih kuno, seperti
bangunan landasan itu adakalanya Candi Pawon dan Borobudur (Klokke
ditambahkan dua candi sekunder, 2006, 55). Motif tumbuhan yang
seperti kasus ini, namun juga di diukirkan di pipi tampaknya juga ciri
Sambisari dan Loro Jonggrang. khas dari suatu gaya yang relatif muda
Tiga unsur merupakan kunci untuk (Plaosan Lor, Loro Jonggrang,
penanggalan situs tersebut: teknik Morangan). Hubungan Candi Gunung
pembangunan, keberadaan batu patok Sari dengan beberapa candi besar dari
dan hiasan arsitektural. Pondasi zaman yang lebih mutakhir (lihat cat. 4)
bangunan Gunung Sari dibentuk dari di bagian selatan dan tengah Jawa
batu kali sebagaimana lazimnya (Plaosan Lor dan Loro Jonggrang)
bangunan candi di Jawa. Di atas batu dipastikan oleh hiasan sebuah fragmen
kali itu diletakkan bangunan yang kusen pintu: jelas tampak dedaunan
sebenarnya. Artinya bangunan tersebut yang terarah ke atas, yakni suatu ciri
hampir tidak berdasar. Penggalian telah khas gaya yang lebih mutakhir
memungkinkan kami untuk menyimpul- (Klokke 2006, 56). Dua fragmen makara
kan bahwa massa internal candi induk masih terlihat di lokasi. Fragmen
— dan tampaknya ketiga bangunan di pertama cukup naturalis: dapat dikenali
depannya juga — terdiri dari bongkahan mata setengah tertutup dan gigi runcing,
batu tufa yang dipahat secara kasar, yang diukir secara cukup realis.
sementara muka dinding dibuat dari Fragmen kedua adalah sebuah
bongkahan andesit yang dipotong potongan genting yang tidak bergaya
secara cermat. Teknik itu sangat naturalis, seperti di candi-candi paling
berbeda dengan penggunaan andesit kuno, tetapi distilisasi menjadi unsur
secara hampir eksklusif di candi-candi flora, mencontoh makara yang lebih
paling tua. Tampaknya batu tufa baru mutakhir di Candi Plaosan Lor atau yang
mulai digunakan di Jawa pada sekitar lain (ibid.). Pengamatan beberapa
tahun 830 M (Dumarçay 1993: 19), antefik yang masih ada juga menunjuk-
maka tanggal itu mungkin merupakan kan penanggalan muda. Bentuknya
terminus post quem bagi bangunan (berujung tiga) memang mirip dengan
Candi Gunung Sari. Kehadiran batu antefik Candi Ijo dan Plaosan Lor
patok menunjukkan penanggalan yang (Degroot & Klokke 2010: 58). Demikian
sama karena didapati bahwa pada pula motif lengkungan yang terdapat di
umumnya batu patok diasosiasikan beberapa antefik dan antefik yang tidak
dengan candi yang lebih muda (setelah dibuat dari satu blok batu, tetapi ujung
830 M), seperti di Candi Ijo, Loro tengahnya disambung ke bagian bawah
Jonggrang, atau Sambisari. dengan sistem sambungan lubang dan
pasak.

Batu Tabung Berprasasti di Candi Gunung Sari (Jawa Tengah) dan Nama Mata Angin 165
dalam Bahasa Jawa Kuno (Baskoro Daru Tjahjono-Arlo Griffths-Veronique Degroot)
Gambar 2. Denah situs Candi Gunung Sari
(V. Degroot)

Gambar 3. Kālamukha di Candi Gunung Sari


(Dok. V. Degroot 2009).

Analisis stilistik atas berbagai itu.Sebuah fragmen kecil panel yang


unsur hiasan yang masih utuh jelas berbingkai bentuk mata cincin tampak-
menunjukkan bahwa Candi Gunung Sari nya menunjukkan hubungan antara
sezaman dengan atau lebih muda Candi Gunung Sari dan gaya Loro
daripada Plaosan Lor sehingga dapat Jonggrang (Degroot & Klokke 2010: 61),
dipastikan bahwa pembangunannya jadi dapat ditentukan pembangunannya
paling awal berlangsung pada 830 M, di sekitar tahun 850 M.
titimangsa berdasarkan sumber epigrafis
yang lazim dikaitkan dengan monumen

166 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 161-182


BATU TABUNG bentuk batu tabung di kedua kelompok
identik. Bagian bawah batu berbentuk
Keunikan situs Gunung Sari segi delapan. Bagian atas, baik yang
terutama terletak pada keberadaan batu bertutup maupun yang tidak, agak
tabung berprasasti di tengah runtuhan cembung. Sambungan antara badan
candi. Di Pulau Jawa, prasasti yang dan bagian atas terkadang bulat,
diukirkan langsung di sebuah monumen terkadang agak cekung, menggambar-
cukup langka, sehingga setiap kasus kan semacam sisi genta. Berdasarkan
baru patut dicermati dan diteliti. Kami pemeriksaan semua batu yang
telah menginventarisasi, di situs dan memungkinkan diperiksa, tabungnya
beberapa desa di kaki bukit, ada selalu berongga. Ukuran dindingnya
sembilan batu tabung, dua belas hanya 10–15 cm dan dasarnya terbuka.
penutup batu tabung, dan delapan Kemiripan bentuk antara batu tabung
fragmen besar tabung.7 Dari sudut monolitik dan batu tabung bertutup
pandang pemotongan batu, batu tabung menimbulkan dugaan bahwa keduanya
itu terbagi dalam dua kelompok (gbr. 4 mempunyai fungsi sama. Dapat
dan 5): batu tabung monolitik (berjumlah diasumsikan bahwa pemilihan bentuk
tiga) dan batu tabung yang terdiri dari tertentu sebenarnya bergantung pada
badan dan penutup. Secara umum ukuran batu yang tersedia.

Gambar 4. Gambar dan potongan batu tabung di Gunung Sari


(V. Degroot).

7
Dalam tabel di bawah ini, batu tabung no. 15
(prasasti J) dan no. 16 (prasasti K) masing-masing
berasal dari dukuh Gunung Sari dan Ngasem, dua
dukuh yang menjadi bagian dari desa Gulon
(kecamatan Salam, kabupaten Magelang). Batu
tabung lain berasal dari puncak bukit itu.

Batu Tabung Berprasasti di Candi Gunung Sari (Jawa Tengah) dan Nama Mata Angin 167
dalam Bahasa Jawa Kuno (Baskoro Daru Tjahjono-Arlo Griffths-Veronique Degroot)
Gambar 5. Foto batu tabung dan penutup yang tidak bertulis
(Dok. V. Degroot 2009)

Tabel 1. Temuan batu tabung di Candi Gunung Sari

Tinggi Lebar landasan Diameter tubuh


No. Deskripsi Prasasti
(cm) (cm)* (cm)
1 tabung monolitik 54 52† 42
2 tabung monolitik 55 51 42
3 tabung monolitik A 64 67 59
4 tabung C 36,5 74 62
5 tabung E 44 68 56
6 tabung F 39 64 54
7 tabung (fragmen) I 30‡ (terlalu hancur)
8 tabung 32 66 56
9 tabung 33 62 54
10 tabung 28 48 42
11 penutup B 35 68
12 penutup D 30 59
13 penutup G 27 56
14 penutup H 26 38
15 penutup J 47 36
16 penutup K 36 60
17 penutup 36 55
18 penutup 30 54
19 penutup 30 43
20 penutup 31 54
21 penutup 37 47
22 penutup 30 60
Catatan:
* Ukuran ini diambil di landasan segi delapan, jadi tidak ada dalam hal penutup sendirian.
† Lebar asli yang diperkirakan.
‡ Tinggi yang masih tersisa.

168 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 161-182


Berdasarkan data pada tabel 1 sebagian Tiga hipotesis dapat diajukan: 1)
besar batu tabung dapat dikelompokkan batu tabung terletak berderet di tanah di
dalam tiga kelompok menurut garis sekeliling candi, 2) batu tabung berdiri di
tengahnya: kelompok pertama berkisar teras candi utama, 3) batu tabung
antara 38 cm dan 43 cm (batu no. 1, 2, menjadi bagian atap bangunan.
10, 14, dan 19), kelompok kedua antara Hipotesis pertama menganggap bahwa
54 cm dan 56 cm (batu no. 5, 6, 8, 9, 13, batu tabung pada awalnya terdapat di
17, 18, dan 20), dan kelompok ketiga sekitar tempat ditemukannya selama
antara 59 cm dan 62 cm (batu no. 3, 4, penggalian. Hipotesis itu mustahil
12, dan 22). Ada satu batu tabung yang karena dua alasan. Pertama, foto dan
mencolok karena garis tengahnya hasil penggalian memperlihatkan bahwa
sangat besar (68 cm),8 satu lagi karena batu tabung merupakan bagian dari
ukurannya kecil (36 cm).9 runtuhan bahan bangunan candi.
Ketika tiba di lokasi, semua batu Kemudian, semua batu tabung berciri
tabung yang masih ada di bukit tidak memiliki dasar sehingga ditang-
dikumpulkan di sekeliling candi induk. gapkan bahwa artefak itu diletakkan di
Beberapa tergeletak di tanah, sedang- atas batu lain yang menjadi dasarnya.
kan yang lain berdiri di puncak runtuhan Namun, tak ada satu jejak landasan pun
(gbr. 6). Memang jelas bahwa tak satu yang ditemukan di sekitar candi, bahkan
pun batu tabung terletak di posisi tidak terdapat di bawah runtuhan,
asalnya, namun tetap menarik untuk sehingga hampir mustahil bahwa batu
mencatat posisi batu tabung berprasasti. tabung itu didirikan di sekeliling bagian
Kedua laporan penggalian menegaskan dasar candi.
hubungan antara batu tabung dan candi Kedua hipotesis lain yang ber-
induk. Semua batu tabung yang digali kaitan dengan posisi asli batu tabung
pada 1998 ditemukan di sepanjang tersebut sangat sukar untuk dipilih mana
dinding bagian dasar candi induk, di yang lebih benar dibandingkan yang
tengah fragmen yang kebanyakan lain, mengingat petunjuk yang ada pada
berasal dari badan candi. Dua batu kami terlalu sedikit. Memang secara
tabung telah ditemukan di sekitar umum bentuk batu tabung mirip dengan
tangga. Dua sampai empat batu tabung kemuncak yang biasanya menghiasi
yang lain (sayang laporan penggalian atap candi Jawa, namun ukuran dan
tidak memberikan penjelasan terperinci) konsepsinya berbeda: kemuncak
terdapat di sepanjang dinding selatan. lazimnya bergaris tengah pendek, tidak
Adapun penutup yang berhasil berongga, dan disambung dengan batu
ditemukan dalam penggalian itu di bawahnya oleh sistem lubang dan
tergeletak beberapa meter di sebelah pasak. Hipotesis tentang batu tabung
timur candi.10 Dari data tersebut dapat yang berasal dari superstruktur
disimpulkan bahwa batu tabung itu bangunan hampir mustahil juga karena
semula berdiri dengan jarak teratur di penemuan dua bantalan batu berbentuk
candi atau di dekatnya. Meskipun teratai di antara peninggalan candi
demikian, posisi yang pasti di dalam dalam rangka penggalian tahun 1998.
bangunan masih harus ditentukan. Dua bantalan batu tersebut jelas
merupakan bagian atap candi dan baik
sistem penyambungan (sebuah lubang)
maupun ukurannya tidak cocok dengan
8
batu-batu tabung yang menjadi pokok
Maksudnya penutup tabung 11, bertuliskan prasasti penelitian ini. Perlu juga diingat kembali
B. bahwa candi itu telah digunakan sebagai
9
Maksudnya batu tabung 15, bertuliskan prasasti J.
Proporsinya mirip dengan batu tabung monolitik, sumber bahan bangunan sehingga
tetapi ketiadaan landasan segi delapan membuatnya dibongkar sampai ke tingkat dasar,
mirip dengan penutup.
10
Perlu dicatat bahwa penutup ini, sebagaimana batu
tabung yang ditemukan di sebelah selatan tangga,
terletak langsung di samping batu patok pertama
yang telah disebutkan di muka (h. 164).

Batu Tabung Berprasasti di Candi Gunung Sari (Jawa Tengah) dan Nama Mata Angin 169
dalam Bahasa Jawa Kuno (Baskoro Daru Tjahjono-Arlo Griffths-Veronique Degroot)
Gambar 6. Denah posisi batu tabung
(V. Degroot 2009)

sementara batuan tertentu sebagaimana menjelaskan mengapa batu tabung itu


telah disebutkan terdahulu (h. 163), berongga.
telah dimanfaatkan untuk membangun Menurut hasil penggalian dan
tangga makam yang terletak di kaki upaya sementara pembangunan
bukit. Sebagian besar batu yang tersisa kembali di lokasi, yang dianggap
berasal dari bagian bawah candi, jadi sebagai umpak di Candi Kedulan sedikit
mengherankan jika batu tabung itu menonjol dari lantai teras. Dua pertiga
merupakan bagian dari superstruktur. bagian bawah batu — berbentuk tabung
Karena tidak ada unsur seperti yang di Gunung Sari —
pembanding, tidak dapat disimpulkan sebenarnya tidak kasat mata karena
langsung bahwa batu tabung tersebut tersembunyi di balik lantai batu teras
berdiri di teras. Tidak satu pun candi (gbr. 9 dan 10). Sebuah batu yang
Jawa ditata demikian. Meskipun begitu, ditemukan di Candi Gunung Sari
tiga candi yang hampir sezaman dengan membuat kami berpikir bahwa demikian
candi Gunung Sari menunjukkan kepada pula halnya dengan batu tabung kami.
kami bahwa teras candi mungkin saja Yang dimaksud adalah sebuah bongkah
diisi struktur tertentu. Memang, di Candi batu yang satu sisinya dipahat
Sambisari, Kedulan, dan Klero, bilik berbentuk busur lingkaran yang garis
candi induk dikelilingi batu yang tengahnya cocok dengan batu tabung.
bentuknya terkadang bulat atau persegi, Maka, sebagaimana di Kedulan, batu
tampaknya untuk digunakan sebagai tabung Candi Gunung Sari pastilah
umpak tiang kayu (gbr. 7). Di Sambisari, ditanam dalam batu dan hanya bagian
terdapat kolong di bawah batu untuk atas yang tampak. Meskipun demikian,
menempatkan sesajen (gbr. 8). mungkin tatanan itu bukan asli,
Walaupun begitu, sulit membayangkan melainkan hasil dari suatu renovasi
bahwa batu tabung di Candi Gunung candi. Jika demikian, renovasi itu bukan
Sari mampu menopang tiang. satu-satunya yang dialami candi itu:
Sebaliknya, dugaan tentang fungsinya hampir separuh batu tabung dan
sebagai tempat sesajen masuk akal, penutupnya telah dipotong. Pemotongan
sesungguhnya barangkali menjadi satu- seperti itu sering memunculkan rongga
satunya gagasan yang mampu dalam tabung.

170 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 161-182


Gambar 7. Foto Candi Sambisari dengan umpak-umpak Gambar 8. Posisi penempatan peripih
(Sumber: Y. Coffin 1988) (Dok. SPSP Jawa Tengah 1977)

Gambar 9. Denah Candi Kedulan dengan posisi batu tabung


(V. Degroot).

Batu Tabung Berprasasti di Candi Gunung Sari (Jawa Tengah) dan Nama Mata Angin 171
dalam Bahasa Jawa Kuno (Baskoro Daru Tjahjono-Arlo Griffths-Veronique Degroot)
Gambar 10. Batu tabung di Candi Kedulan
(Dok. V. Degroot 2002).

PRASASTI kami boleh jadi tampak cukup semena,


apalagi tampaknya prasasti semacam ini
Sebelas batu tabung berprasasti sampai kini tidak dikenal dalam korpus
tersebut memberikan secara keseluru- epigrafi Jawa, menurut daftar beranotasi
han tujuh teks berbeda yang ditafsirkan berbagai jenis ―prasasti pendek [short
sebagai singkatan dari nama arah mata inscriptions]‖ pada bangunan suci yang
angin dalam bahasa Jawa Kuno, atau disusun oleh de Casparis (1950: 111–
kombinasi singkatan nama untuk 118; 1958: 12–13).12 Walaupun
menamai arah angin perantara; kecuali demikian, perlu dipertimbangkan fakta
satu kasus istilah yang hanya terdiri atas bahwa ukiran suku kata itu, kecuali laur·
satu suku kata sehingga tidak disingkat. (D), pasti tidak membentuk unsur
Mengikuti arah jarum jam, dan mulai dari kosakata dari suatu bahasa yang
timur, didapati teks yang berikut (gbr. digunakan di daerah itu pada masa
11–12).11 pembangunan Candi Gunung Sari
vai untuk vaitan, ‗timur‘ (I) (artinya bahasa Jawa Kuno, Sanskerta,
vai ki untuk vaitan kidul, atau Melayu Kuno). Sebaliknya, satu-
‗tenggara‘ (E, G) satunya kata yang dikenal, yakni laur·
ki untuk kidul, ‗selatan‘ (F, (KJKI: 608 s.v. lor), menunjukkan bahwa
H) bahasa Jawa Kuno-lah yang digunakan.
ki ku untuk kidul kulvan, ‗barat Kemudian suku kata lain dapat
daya‘ (C, J, K) diinterpretasikan sebagai singkatan dari
ku untuk kulvan, ‗barat‘ (B) nama arah mata angin di dalam bahasa
laur· ku untuk laur kulvan, ‗barat itu (KJKI: 498, 534, 1423, s.vv. kidul,
laut‘ (A) kulwan/kulon, wetan).13 Semua teks
laur· untuk ‗utara‘ (D)
12
Pada bagian akhir artikel ini akan ditunjukkan
Mengenai interpretasi teks pendek bahwa tipe tersebut bukanlah satu-satunya dan
itu, pada pandangan pertama hipotesis setidaknya dua contoh lain batu berprasasti nama
mata angin terdapat juga di candi lain meskipun
tidak tercatat, yaitu batu dari Candi Plaosan Lor.
11 13
Huruf kapital dari A sampai K kami gunakan Transliterasi dalam artikel ini mengikuti norma
secara semena untuk menandai prasasti di masing- internasional sistem aksara India sehingga kami
masing batu tabung. Pembaca dapat menemukan harus menggunakan huruf v alih-alih w yang biasa
dalam tabel terdahulu batu tabung atau penutup digunakan para ahli Indonesia dan penulis asal
mana bertuliskan prasasti mana dan melihat Indonesia pada umumnya, serta digunakan dalam
gambar 12 untuk menemukan foto beberapa KJKI. Varian ejaan au/o/va dan ai/e masing-
abklats yang kami hasilkan pada Juli 2009 dan masing ekuivalen satu sama lain. Dalam
sekarang menjadi koleksi EFEO. penjelasan tentang singkatan, kami memilih ejaan

172 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 161-182


yang kami temukan dapat dijelaskan mendalam atas sistem mata angin
dengan mudah jika hipotesis kami dalam bahasa Austronesia di Indonesia
memang benar. Perlu dicatat bahwa bagian barat dan Madagaskar yang
satu-satunya yang tidak ada dalam diterbitkan oleh Adelaar pada 1997 (lihat
berbagai prasasti yang kami himpun Adelaar 1997, 65).
adalah nama arah timur laut. Bentuk Bahasa Jawa Kuno telah
hurufnya cukup konsisten dan sesuai meminjam dari bahasa Sanskerta istilah
secara paleografis dengan prasasti mata angin pūrva, āgneya, dakṣiṇa,
Jawa dari abad IX M, namun tidak nairiti (< nairr̥ta/nirr̥ti), paścima,
memungkinkan penanggalan yang lebih bāyabya, uttara, aiśānya. Ketika mencari
tepat. laman yang terkait dalam KJKI, didapati
acuan pada dua penggal dari teks yang
SISTEM MATA ANGIN DALAM berjudul Koravāśrama. Di dalamnya,
BAHASA JAWA KUNO berbagai istilah itu yang muncul dua kali
dalam bahasa Sanskerta dialihbahasa-
Sebelum kembali pada hubungan kan ke dalam bahasa Jawa Kuno14.
antara interpretasi beberapa prasasti
pendek tersebut serta batu tabung yang (1) Koravāśrama: 2, baris 16–22
menyandangnya dengan situs tempat Apūrva, tan kapūrvan ta sira, pan
batu itu ditemukan, kami ingin vetan, (āgneya), tan kāgneyan pva
menggarisbawahi sepintas pentingnya sira, apan kidul-vetan, adakṣiṇa,
analisis kebahasaan atas teks yang tan kadakṣiṇan pva sira, (apan
singkat itu. kidul, anairiti, tan kanairiti pva sira)
Pembaca yang memeriksa kamus apan kidul-kulon, paścima, tan
Zoetmulder dan mencari kata arah mata kapaścima pva sira, apan kulon,
angin perantara di dalam entri tentang (bāyabya), tan kabāyabya pva
arah mata angin utama (yakni wetan, sira, pan lor-kulon, (uttara), tan
kidul, kulon, lor) tidak akan menemu- ka°uttara, apan sira lor, (aiśānya),
kannya. Pastilah karena alasan itu pula tan ka°aiśānyan, apan sira lor-
tidak terdapat pembahasan tentang vetan, (madhya), tan kamadhya
berbagai istilah yang menunjuk arah pan riṅ təṅah.
mata angin perantara dalam bahasa
Jawa Kuno di dalam analisis

14
Untuk kedua kutipan ini, teks mengikuti hasil
suntingan Swellengrebel (1936) sementara
terjemahan berdasarkan terjemahannya ke dalam
bahasa Belanda, hanya dengan satu perbaikan
kecil. Setelah menyusun paragraf-paragraf ini,
kami dapati bahwa Damais telah menegaskan
pentingnya Koravāśrama dalam konsepsi yang
berkaitan dengan sistem arah di Jawa (1969: 95–
97) dan dia mengutip dari teks ini “daftar
yang digunakan dalam KJKI untuk menuliskan kesembilan arah mata angin yang [oleh teks ini]
kata yang berarti „barat‟, yaitu kulvan, bukan diterjemahkan dalam bahasa Jawa Kuno, dengan
kulon, meskipun faktanya kedua ejaan itu terdapat petunjuk tentang masing-masing dewa [liste des
dalam epigrafi dari masa yang sama yang neuf directions de l’Espace que [le texte] traduit
berkaitan dengan prasasti kami. Titik tengah (·) en vieux javanais, avec indication de la déité]”
memarkahi virāma/paten. (1969: 97).

Batu Tabung Berprasasti di Candi Gunung Sari (Jawa Tengah) dan Nama Mata Angin 173
dalam Bahasa Jawa Kuno (Baskoro Daru Tjahjono-Arlo Griffths-Veronique Degroot)
E
Gambar 11. a
Batu tabung berprasasti (E) vai ki dan (F) ki
.

F
a

Gambar 12. Kolase abklats EFEO n. 1867 (A), 1868 (B), 1871 (E), 1872 (F), 1875 (I), 1876 (J).

―Apūrva, tidak termasuk kualifikasi karena artinya memang ‗barat‘;


‗dari timur‘ karena artinya memang bāyabya, tidak termasuk kualifikasi
‗timur‘; āgneya, tidak termasuk ‗dari barat laut‘ karena artinya
kualifikasi ‗dari tenggara‘ karena memang ‗barat laut‘; uttara, tidak
artinya memang ‗tenggara‘; termasuk kualifikasi ‗dari utara‘
adakṣiṇa, tidak termasuk kuali- karena artinya memang ‗utara‘;
fikasi ‗dari selatan‘ karena artinya aiśānya, tidak termasuk kualifikasi
memang ‗selatan‘; anairiti, tidak ‗dari timur laut‘ karena artinya
termasuk kualifikasi ‗dari barat memang ‗timur laut‘; madhya, tidak
daya‘ karena artinya memang termasuk kualifikasi ‗dari pusat‘
‗barat daya‘; apaścima, tidak karena artinya memang ‗pusat‘.‖
termasuk kualifikasi ‗dari barat‘

174 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 161-182


(2) Koravāśrama: 48, baris 23–30 teratur: tenggara bukan kidul vaitan
kaliṅanya, pūrva ṅaranniṅ vetan, melainkan vaitan kidul, dan nama arah
bhaṭṭāra Umāpati aneriya, āgneya mata angin perantara — oleh sebab itu
kidul-vetan, ya ta bhaṭṭāra — tidak disusun secara konsisten dalam
(Maheśvara) aneriya, dakṣiṇa urutan laur/kidul + vaitan/kulon.
kidul, bhaṭṭāra Brahmā aneriya, Kasus lain penggunaan istilah
nairiti kidul-kulon, ya ta bhaṭṭāra arah mata angin setempat yang tercatat
Rudra aneriya, paścima kulon, dalam KJKI selalu berdiri sendiri, artinya
bhaṭṭāra Mahādeva aneriya, tidak dalam suatu konteks yang
bāyabya lor-kulon, bhaṭṭāra memberikan sistem seutuhnya. Sebagai
Śaṅkara aneriya, uttara lor, ya ta contoh, di antara berbagai teks yang
bhaṭṭāra Viṣṇu aneriya, aiśānya lebih tua, dapat disebutkan
lor-vetan, ya ta bhaṭṭāra Śambhu Brahmāṇḍapurāṇa bahasa Jawa Kuno,
aneriya, madhya riṅ təṅah, ya ta teks berbentuk prosa yang mengandung
bhaṭṭāra Śiva aneriya, ya ta kalimat seperti berikut (ed. Gonda, h.
sinaṅguh kəṇḍəṅ səṅkər iṅ 151, baris 2–3): riṅ samāgama kidul
bhuvana ṅaranya de saṅ maharṣi kulvan iṅ ta madhyadeśa larinikaṅ
gaṅgā ‗di pertemuan dua sungai di
―Pemahamannya: pūrva, artinya Madhyadeśa, Sungai Gangga mengalir
timur, tempat Batara Umāpati; ke arah barat daya‘ (mengikuti
āgneya, artinya tenggara, tempat terjemahan dalam bahasa Belanda
Batara Maheśvara; dakṣiṇa, karya Gonda 1933). Di samping itu, kita
artinya selatan, tempat Batara membaca di teks Smaradahana (ed.
Brahmā; nairiti, artinya barat daya, Poerbatjaraka [1931], bait 4.16): kulvan-
tempat Batara Rudra; paścima, kidulnya ‗di barat lautnya‘. Penggal
artinya barat, tempat Batara terakhir itu juga satu-satunya contoh
Mahādeva; bāyabya, artinya barat lain, yang kami temukan, dari sebuah
laut, tempat Batara Śaṅkara; istilah perantara yang menunjukkan
uttara, artinya utara, tempat Batara tatanan T/B+U/S yang sama dengan
Viṣṇu; aiśānya, artinya timur laut, vaitan kidul dalam sistem di Candi
tempat Batara Śambhu; madhya, Gunung Sari. Meskipun demikian, itu
artinya pusat, tempat Batara Śiva. penggal yang tertera dalam sebuah
Itulah yang dimengerti oleh kakavin dan bukan dalam teks
pendeta agung sebagai ‗batas berbentuk prosa, artinya kendala matra
kosmos‘.‖ dapat menjelaskan inversi dari urutan
yang lazim.
Koravāśrama adalah teks muda Artikel Adelaar memperlihatkan
yang kemungkinan besar disusun di dengan sangat jelas kelenturan ekstrem
Jawa Timur. Mungkin sekali asalnya dari dan ketakajegan diakronis sistem arah
akhir zaman Majapahit atau bahkan mata angin dalam berbagai bahasa
setelah masa itu (Zoetmulder 1974: Austronesia kelompok barat. Adelaar
129). Itulah, sepengetahuan kami, satu- mengemukakan bahwa berbagai
satunya sumber tekstual (susastra atau transformasi sering ada maknanya jika
epigrafis) yang menyajikan suatu sistem kita melihat suatu sistem secara
arah mata angin dalam bahasa Jawa keseluruhan. Sayang, istilah untuk timur
Kuno secara utuh. Sistem simetris dan laut tidak tertera dalam sistem di Candi
teratur dari berbagai istilah setempat Gunung Sari sehingga kami terpaksa
yang ditemukan cocok persis dengan puas dengan spekulasi. Kami cenderung
yang berlaku di bahasa Jawa modern untuk memahami sistem prasasti di
(Adelaar 1997: 64 dst. dengan gambar Candi Gunung Sari dengan berpatokan
3.12). Sementara itu, prasasti pendek pada urutan baku asal India, artinya
yang kami temukan, yang lebih tua searah jarum jam, sebagaimana telah
beberapa abad daripada Koravāśrama, kita lihat dalam kedua penggal
memperlihatkan suatu sistem hampir
lengkap namun agak berbeda dan tidak

Batu Tabung Berprasasti di Candi Gunung Sari (Jawa Tengah) dan Nama Mata Angin 175
dalam Bahasa Jawa Kuno (Baskoro Daru Tjahjono-Arlo Griffths-Veronique Degroot)
Koravāśrama.15 Bermula dari timur, Prasasti di Candi Gunung Sari, yang
diperoleh T/vaitan, TG/vaitan kidul, kemungkinan besar merupakan bukti
S/kidul, BD/kidul kulvan, B/kulvan, paling kuno — yang dikenal sampai hari
BL/laur kulvan, U/laur, TL/?. Kiranya ini — dari suatu sistem arah mata angin
dapat diamati suatu struktur yang setiap yang diungkapkan dengan istilah yang
istilahnya diawali dengan unsur terakhir murni bahasa Jawa dan tidak hanya
dari istilah terdahulu. Dengan landasan mengandung keempat arah mata angin
itu, dapat diprakirakan bahwa istilah tetapi juga keempat arah mata angin
yang hilang adalah laur vaitan (sesuai perantara, memberikan data baru yang
dengan istilah dalam Koravāśrama dan signifikan. Memang pada hakikatnya
bahasa Jawa modern). Maka, istilah laur prasasti ini tidak dapat membuktikan
kulvan meruntuhkan struktur tadi. apa pun secara mandiri, namun tetap
Mungkin itu dapat dijelaskan secara membuat kita mempertanyakan apakah
fonologis dengan merujuk ke ‗hukum bahasa Jawa Kuno, dalam struktur
Behagel‘ yang mengharuskan bahwa kosakatanya, pada pertengahan abad
kata majemuk ditata dengan urutan IX mencerminkan suatu tatanan ruang
jumlah suku kata yang makin besar yang melingkar, alih-alih tatanan aksial
(jadi, laur kulvan dan bukan kulvan laur). yang akan mendominasi setidaknya
Berbagai data menunjukkan sejak abad XV.
keberadaan dua cara memahami ruang
di Jawa masa lampau: di satu pihak PENUTUP
dalam urutan baku India, di pihak lain
sesuai dengan poros utama (utara- Sebagai kesimpulan, kami ingin
selatan).16 Data epigrafis yang ada pada kembali pada hubungan antara prasasti
kami hingga sekarang menunjukkan dan batu tabung yang menyandangnya.
bahwa setidaknya sejak 880 M,17 kedua Kami mengetahui bahwa prasasti itu
persepsi tentang ruang hadir menggambarkan sebuah sistem arah
berdampingan karena pemilihan sistem angin dengan mengikuti arah jarum jam;
tampaknya ditentukan oleh konteks.18 sedangkan penyandangnya diletakkan
secara teratur dan mungkin sekali
15
Artikel Damais yang disebutkan dalam catatan
ditanam di sekitar bilik candi utama.
terdahulu menyajikan berpuluh-puluh contoh lain Berdasarkan pengamatan, hipotesis
yang membuktikan bahwa susunan pradakṣiṇa kami adalah batu tabung itu mejadi
memang tatanan baku untuk menyebut arah mata tempat peletakan peripih-peripih dan
angin dalam bahasa Jawa Kuno. setiap batu tabung berkaitan dengan
16
Mengenai keberadaan poros seperti itu dan
ungkapan kebahasaannya dalam istilah Jawa Kuno
satu mata angin tertentu atau dengan
lor-kidul, yang berarti „ke segala arah‟, lihat Lokapāla (Penjaga Mata Angin) yang
Aichele 1959. bersangkutan. Hipotesis itu kiranya tidak
17
Prasasti Wuatan Tija, yang bertitimangsa tahun mustahil karena di Jawa sudah
880 (lihat Damais 1952: 42–43 dan 1955: 155–156 ditemukan sejumlah contoh peripih yang
mengenai tanggal; Sarkar 1971: 250–261 untuk
penerbitan ulang disertai terjemahan Inggris) mengandung daun emas bertuliskan
adalah prasasti tertua yang bertanggal dan
menyebutkan arah mata angin secara berpasangan
(utara-selatan, timur-barat). Istilah yang digunakan (dari bahasa Sanskserta atau bahasa setempat)
adalah bahasa Jawa Kuno (lempeng II B, baris 10: bergantung pada jumlah mata angin yang
lor-kidul, vaitan-kulvan), konteksnya adalah disebutkan. Sesungguhnya Damais (1995: 150
kutukan. Prasasti dalam bahasa Melayu Kuno dari cat. 36 [= 1969: 81 cat. 1]) telah menyatakan:
Gaṇḍasuli menyajikan pada baris 9, dalam “Dalam prasasti Jawa, urutan yang terdiri atas
petunjuk umum mengenai segala arah kerajaan, delapan mata angin itu (…) sering kali disebut
satu daftar istilah yang dipinjam dari bahasa berkaitan dengan batas tanah yang diberi hak
Sanskerta: pūrvva dakṣiṇa paścima uttara (lihat de istimewa. Di situ selalu dimulai dari timur dan
Casparis 1950: 61). Mungkin itu prasasti tertua berlanjut sampai timur laut secara pradakṣiṇa.
dari tipe itu yang dikenal di Jawa (lihat Bentuknya adalah kata sifat Sanskerta yang
Weatherbee 2000: 346 mengenai titimangsanya, kadang-kadang dijawakan.” Sebaliknya, ketika
sekitar tahun 832 M). dalam konteks yang sama, yaitu pembatasan lahan,
18
Lihat Klokke 1994: 82, Degroot 2009: 132–134. hanya empat mata angin yang disebutkan, prasasti
Ketika sistem mengikuti arus jarum jam zaman Jawa Tengah hampir selalu menggunakan
digunakan, tampaknya pemilihan istilah khusus istilah setempat (vetan, kidul, kulvan, lor).

176 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 161-182


nama para penjaga mata angin (dalam daripada yang telah diterbitkan);
prasasti, nama-nama itu selalu diterakan terakhir, yang menarik minat khusus
sesuai dengan arah jarum jam).19 kami di sini adalah nama kedelapan
Misalnya peripih yang ditemukan di Lokapāla,23 ditambah nama Brahmā,
Candi B di kompleks percandian Loro mungkin berfungsi sebagai penjaga
Jonggrang berisi sembilan belas lempe- pusat.24 Peripih di Jolotundo yang
ngan emas,20 yang masing-masing dibongkar juga bertuliskan nama Īśāna
bertuliskan mantera oṁ paścimagātrāya yang diasosiasikan dengan timur laut
namaḥ; nama Caturaiśvarya (‗keempat dan Agni yang menjaga penjuru
kemampuan‘ akal budi, sebuah daftar tenggara (Groeneveldt 1887: 216).
khas Agama Śiva di India dan juga di Terakhir, perlu disebutkan bahwa
Nusantara);21 nama keempat Ular setidaknya dua batu persegi, temuan
kosmis yang mungkin diasosiasikan dari Candi Plaosan Lor (gbr. 13), yang
dengan mata angin tertentu;22 nama tampaknya tidak disebutkan dalam
yang diterbitkan dalam bacaan dhasama laporan-laporan penggalian situs itu dan
yang tidak memungkinkan penggo- pasti merupakan penutup peripih:
longannya dalam salah satu kelompok masing-masing bertuliskan prasasti
yang kami identifikasi di sini dan pūrvva.25 Dengan demikian, jika
barangkali perlu dikoreksi (namun digabungkan dengan batu tabung dari
diperlukan reproduksi yang lebih bagus Candi Gunung Sari, kami mendapati,
pada skala yang lebih besar daripada
19
Dalam prasasti yang diterakan di atas lempengan
23
tembaga, hanya empat nama sering kembali dalam Indra (T), Agni (Tg), Yama (S), Riniti (salah
ungkapan kutukan dan selalu dalam urutan yang dibaca, sebenarnya Niriti = Nirr̥ti, Barat Daya),
sama (yang perlu digarisbawahi karena tidak Baruṇa (B), Vāyu (BL), Soma (U), Iśāna (i tampak
dimulai dengan timur): Yama (S), Baruṇa (B), pendek, TL). Untuk diskusi lebih lengkap tentang
Kuvaira (U), Bāsava (T). Lihat prasasti Kancana beberapa Lokapāla di Jawa, lihat Acri & Jordaan
(860 M), Wuatan Tija (880), Rukam (907), Sugih 2012.
24
Manek (915), Gilikan (923), Sangguran (928), dan Peran ini kiranya kurang lazim untuk Brahmā jika
Kampak (928). kita berpatokan pada daftar yang diterbitkan oleh
20
Lempengan ini disimpan di BPCB Yogyakarta, Damais (1969): di sini Brahmā biasanya tampil
bernomor BG 1752 sampai dengan 1769. Prasasti sebagai dewa selatan (sebagaimana dalam penggal
ini diterbitkan oleh BPCB dalam bentuk buku kecil kedua Koravāśrama yang telah kami sebutkan)
yang menyangkut koleksi epigrafi dengan judul dan Śiva/Sadāśiva berada di pusat. Padahal, jelas
Pusaka Aksara Yogyakarta (2007), h. 129–134, bahwa Yama ialah Lokapāla selatan dan nama
dilengkapi foto yang sebagian besar jelas. Terbitan Śiva/Sadāśiva tidak tertera di mana pun di antara
itulah yang kami gunakan sebagai acuan dalam kesembilanbelas lempengan. Sebenarnya, ada
catatan berikut ini. Lihat pula Rita Margaretha sumber dari India yang lebih dekat secara
Setianingsih 2002, yang menyebutkan nomor kronologis dengan temuan di Prambanan B, yang
inventaris yang berbeda (BG 1751, 1804–1817). dapat membantu untuk memahami posisi Brahmā.
Lempengan-lempengan itu layak ditelaah secara Dominic Goodall (2011) mengemukakan bahwa
khusus dengan mempertimbangkan kekayaan data banyak teks menyebut pusat sebuah situs dengan
India yang disajikan dalam Goodall 2011. brahmasthāna „posisi Brahmā‟. Misalnya, untuk
21
Maksudnya Dharma, Jñāna, Vairāgya, Aiśvarya. Agama Śiva aliran Tantra, deskripsi terkuno
Lihat misalnya teks dalam bahasa Jawa Kuno tentang prosedur pratiṣṭhā (ritual pendirian),
Vr̥haspatitattva yang mengajarkan doktrin Agama terdapat dalam Niśvāsaguhya 2.47, 2.100, atau
Śiva (ed. Sudarshana Devi) 24.16: makveh Brahmayāmala 3.9, dsb. Teks itu menyebut batu
prakāraniṅ buddhi, nihan lvirnya: dharma jñāna yang diletakkan di bawah liṅga dengan instilah
vairāgya aiśvarya „ciri akal adalah yang berikut: brahmaśilā „batu Brahmā‟ (mungkin mengingat
kebijakan, pengetahuan, kearifan, kewibawaan‟. posisinya dalam brahmasthāna).
25
Lempengan yang bertuliskan aiśvarya telah dibaca Batu tersebut direkam pada suatu foto yang bagus:
secara salah sebagai om suryya. OD 14987. Foto itu tampaknya diambil selama
22
Ananta, Bāsuki, Kapila, Takṣaka. Ular kosmis penelitian tahun 1940, namun baik batuan maupun
biasanya berjumlah delapan atau sembilan atau foto tidak disebutkan dalam laporan tahunan
juga lebih. Lihat misalnya Agastyaparva (ed. (Oudheidkundig Verslag). De Casparis 1958 juga
Gonda) 44.18–21: kunaṅ anak bhagavān kaśyapa i tidak menyebutkannya. Mengenai asalnya, kami
saṅ kadrū nihan: nāga sevu kvehnya. kunaṅ mengikuti pangkalan data daring Universitas
pinakādinya bāsuki, śeṣa, takṣaka, kapila, Leiden (https://socrates.leidenuniv.nl/). Setelah
kanortaka, dhanañjaya „Adapun anak begawan bertanya ke BPCB Prambanan yang bertanggung
Kaśyapa dengan Kadrū adalah seribu ular, dimulai jawab atas konservasi Candi Plaosan, ternyata
dari Bāsuki, Śeṣa, Takṣaka, Kapila, Kanortaka, kedua batu persegi itu tidak tertera dalam
Dhanañjaya‟. inventaris koleksinya.

Batu Tabung Berprasasti di Candi Gunung Sari (Jawa Tengah) dan Nama Mata Angin 177
dalam Bahasa Jawa Kuno (Baskoro Daru Tjahjono-Arlo Griffths-Veronique Degroot)
yang biasa, jejak suatu ritual untuk UCAPAN TERIMA KASIH
pembangunan candi dan pembatasan
ruang yang digunakan.26 Data yang Kami berterima kasih atas
terhimpun belum memungkinkan untuk dukungan pemikiran dan persahabatan
memahami organisasi ritual itu yang dari Henri Chambert-Loir, Emmanuel
sebenarnya atau fakta bahwa di Francis, dan Marijke Klokke yang telah
sejumlah batu diterakan mata angin menyumbangkan saran dan koreksi
yang sama. penting pada versi terdahulu kajian ini,
serta kepada Vincent Tournier, yang
membantu kami pada titik awal
penelitian.

Singkatan

BEFEO Bulletin de l’École française


d’Extrême-Orient
BKI Bijdragen tot de Taal-, Land- en
Volkenkunde (van
Nederlandsch-Indië)
KJKI Kamus Jawa Kuna-Indonesia,
Gambar 13. Dua penutup peripih di Candi Plaosan Lor Zoetmulder (dengan Robson)
(Sumber: OD 14978). 1995

26
Menurut kami sangat mungkin kedua piring bulat
yang masing-masing bertuliskan madya „pusat‟
dan dak·sina „selatan‟, yang pernah dilihat oleh
Stutterheim (1924: 292 dan 1927: 191) di Berlin,
digunakan dalam fungsi yang serupa. Kami tidak
berhasil memeriksa foto-foto yang disebutkan oleh
Damais (1995: 152 cat. 51 [= 1969: 83–84 cat. 7];
artikel itu, yang diterbitkan anumerta, menyatakan
secara salah bahwa Stutterheim tidak menyebutkan
piring itu dalam artikel tahun 1924), sebaliknya
kami sempat memeriksa kedua piring tersebut di
Berlin pada September 2010 dalam gudang
Museum für Asiatische Kunst yang menyimpan-
nya dengan nomor inventaris II 644 dan 645.

178 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 161-182


DAFTAR PUSTAKA

van Aalst, J. 1899. ―Opgaven omtrent verschillende hindoe-oudheden, voorkomende in


de controle-afdeling Pråbålinggå, regentschap Magelang, residentie Kedoe‖ dalam
Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde 41. Hlm. 391–415.

Acri, Andrea & Roy Jordaan. 2012. ―The Dikpālas of ancient Java revisited. A new
identification for the twenty-four directional deities on the Śiva temple of the Loro
Jonggrang complex‖ dalam BKI 168. Hlm. 274–313.

Adelaar, K. Alexander. 1997. ―An Exploration of Directional Systems in West Indonesia


and Madagascar‖ dalam Gunter Senft (ed.) Referring to Space. Studies in
Austronesian and Papuan Languages. Oxford: Clarendon Press. Hlm. 53–81.

Aichele, W. 1959. ―Lor-kidul (zu Nāgarakṛtāgama 82 und 683)‖ dalam BKI 115. Hlm. 328–
335.

de Casparis, J.G. 1950. Inscripties uit de Çailendra-Tijd (Prasasti Indonesia I). Bandung:
A.C. Nix.

__________ 1958. Short Inscriptions from Tjaṇḍi Plaosan-Lor. Berita Dinas Purbakala /
Bulletin of the Archaeological Service of the Republic of Indonesia No. 4. Djakarta.

Damais, Louis-Charles. 1952. ―Études d‘épigraphie indonésienne. III. Liste des


principales inscriptions datées de l‘Indonésie‖ dalam BEFEO 46. Hlm. 1–105.

__________________ 1955. ―Études d‘épigraphie indonésienne. IV. Discussion de la


date des inscriptions‖ dalam BEFEO 47. Hlm 7–290.

__________________ 1995. ―Tentang perlambangan warna pada mata angin‖ dalam


Epigrafi dan Sejarah Nusantara: Pilihan karangan Louis-Charles Damais. Jakarta:
EFEO. Hlm. 111–164. (Terjemahan dari ―Études javanaises III. A propos des
couleurs symboliques des points cardinaux‖ dalam BEFEO 56 (1969). Hlm. 75–
118.)

Degroot, Véronique. 2009. Candi, Space and Landscape. A study on the distribution,
orientation and spatial organization of Central Javanese temple remains.
Mededelingen van het Rijksmuseum voor Volkenkunde, 38. Leiden: Sidestone.

Degroot, Véronique & Marijke J. Klokke. 2010. ―Interrelationships among Central


Javanese temple: the example of Asu, Lumbung and Pendem‖ dalam Archipel 80.
Hlm. 45–75.

Dumarçay, Jacques. 1993. Histoire architecturale de Java. Mémoires archéologiques


XIX. Paris: EFEO.

Goodall, Dominic. 2011. ―The throne of worship: an ‗archaeological tell‘ of religious


rivalries‖ dalam Studies in History 27/2 (terbit 2013). Hlm. 221–250.

Gonda, Jan. 1932. Het Oud-Javaaansche Brahmāṇḍapurāṇa. Proza-text and Kakawin,


uitgegeven en van aantekeningen voorzien. Bandoeng: A.C. Nix & Co.

__________ 1933. Het Oud-Javaaansche Brahmāṇḍa-Purāṇa vertaald. Bandoeng: A.C.


Nix & Co.

Batu Tabung Berprasasti di Candi Gunung Sari (Jawa Tengah) dan Nama Mata Angin 179
dalam Bahasa Jawa Kuno (Baskoro Daru Tjahjono-Arlo Griffths-Veronique Degroot)
__________ 1933–36. Agastyaparva. Uitgegeven, gecommentarieerd en vertaald.
Diterbitkan secara bertahap dalam BKI 90 (1933), 92 (1935) dan 94 (1936).

Groeneveldt, W.P. 1887. Catalogus der archeologische verzameling van het


Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. Batavia: Albrecht.

Hoepermans, N.W. 1914. ―Hindoe-oudheden van Java‖ dalam Rapporten van den
Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indië 1913. Hlm. 73–372.

Klokke, Marijke J. 1994. ―On the orientation of ancient Javanese temples: the example of
Candi Surowono‖ dalam IIAS Yearbook 1994. Hlm. 73–86.

_______________ 2006. ―The history of Central Javanese architecture: architecture and


sculptural decoration as complementary sources of information‖ dalam H.
Chambert-Loir & B. Dagens (ed.) Anamorphoses: hommage à Jacques Dumarçay.
Paris: Les Indes Savantes. Hlm 49–68.
Krom, N.J. 1915. ―Inventaris der Hindoe-oudheden op den grondslag van Dr R.D.M.
Verbeek‘s Oudheden van Java‖ dalam Rapporten van den Oudheidkundigen
Dienst in Nederlandsch-Indië 1914. Hlm. 1–358.

Nugrahani, D.S., Hery Priswanto & Imam Fauzi. 1998. Laporan Ekskavasi Penyelamatan
Situs Gunungsari 1998. Kantor Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala
Propinsi Jawa Tengah dan Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Gadjah
Mada.

Nugrahani, D.S., Tjahjono Prasodjo & Baskoro Daru Tjahjono. 1998. Laporan Ekskavasi
Penyelamatan Situs Gunungsari Tahap II 1998.

Poerbatjaraka, R. Ng. Dr. 1931. Smaradahana. Oud-Javaansche tekst met vertaling.


Bandoeng: A. C. Nix & Co.

Rita Margaretha Setianingsih. 2002. Kumpulan Prasasti Suaka Peninggalan Sejarah dan
Purbakala Yogyakarta. Bogem: Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Daerah
Istimewa Yogyakarta.

Rizky Sasono, M., Ferry Adyanto & Jean-Pascal Elbaz. 2002. Situs-situs
Marjinal/Sanctuaires retrouvé /Sites out of Sight. Enrique Indonesia.

Sarkar, Himansu Bhusan. 1971. Corpus of the Inscriptions of Java (up to 928 A.D.) Jilid
I. Calcutta: Firma K.L. Mukhopadhyaya.

Soekmono, R. 1979. ―The archaeology of Central Java before 800 A.D.‖ dalam R.B.
Smith & W. Watson (ed.). Early South East Asia. Essays in archaeology, history
and historical geography. New York – Kuala Lumpur: Oxford University Press. Hlm.
457–472.

Stutterheim, W.F. 1924. ―Oudjavaansche plastiek in Europeesche musea‖ dalam BKI 80.
Hlm. 287–301.

______________ 1928. ―Nog eens de collectie Dieduksman‖ dalam Oudheidkundig


Verslag 1927. Hlm. 189–193.

Sudarshana Devi. 1957. Wṛhaspati-tattwa, an Old Javanese philosophical text. Nagpur:


International Academy of Indian Culture.

180 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 161-182


Swellengrebel, J.L. 1936. Korawāśrama. Een Oud-Javaansch proza-geschrift,
uitgegeven, vertaald en toegelicht. Santpoort: C.A. Mees.

Verbeek, R.D.M. 1891. Oudheden van Java. Lijst der voornaamste overblijfselen uit den
hindoetijd op Java met een oudheidkundige kaart. ‘s Gravenhage: Nijhoff dan
Batavia: Landsdrukkerij.

Vogler, E.B. 1953. ―Ontwikkeling van de gewijde bouwkunst in het Hindoeïstische


Midden-Java‖ dalam BKI 109. Hlm. 249–272.

Weatherbee, Donald E. 2000. ―The Hyang Haji of the Gandasuli II Inscription, circa 832
AD‖ dalam Lokesh Chandra (ed.) Society and Culture of Southeast Asia: Continuity
and Changes, Delhi: International Academy of Indian Culture dan Aditya
Prakashan. Hlm. 345–353.

Williams, Joanna. 1981. ―The date of Barabudur in relation to other Central Javanese
monuments‖ dalam L.O. Gomez & H.W. Woodward (ed.) Barabudur. History and
significance of a Buddhist monument. Berkeley Buddhist Studies Series, 2.
Berkeley: University of California Press. Hlm. 25–46.

Zoetmulder, P.J. 1974. Kalangwan. A Survey of Old Javanese Literature. Den Haag:
Martinus Nijhoff.

_____________ 1995. bekerja sama dengan S.O. Robson, Kamus Jawa Kuna-
Indonesia. 2 jilid. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Batu Tabung Berprasasti di Candi Gunung Sari (Jawa Tengah) dan Nama Mata Angin 181
dalam Bahasa Jawa Kuno (Baskoro Daru Tjahjono-Arlo Griffths-Veronique Degroot)
182 Berkala Arkeologi Vol.34 Edisi No.2 November 2014: 161-182

You might also like