Pengaruh Berbagai Bahan Pembenah Tanah Terhadap Sifat Fisik Tanah Latosol Untuk Budidaya Tanaman Sayuran
Pengaruh Berbagai Bahan Pembenah Tanah Terhadap Sifat Fisik Tanah Latosol Untuk Budidaya Tanaman Sayuran
Oleh:
IMA MAFTUHAH
A24104022
Oleh:
IMA MAFTUHAH
A24104022
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Menyetujui,
Dr. Ir. Astiana Sastiono, M.Sc Dr. Ir. Basuki Sumawinata, M.Agr
NIP. 19501108 197903 2 002 NIP. 19570610 198103 1 003
Mengetahui,
Tanggal Lulus:
RIWAYAT HIDUP
Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara, pasangan Bapak Mursid
dan Ibu Suharni. Penulis dilahirkan di Pandeglang, pada tanggal 19 Juli 1986.
Pandeglang pada tahun 1998. Selanjutnya pada tahun 2001 penulis menyelesaikan
Swasta Mathla’ul Anwar Menes, Pandeglang pada tahun 2004. Pada tahun yang
SWT atas segala rahmat dan hidayah-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian dan penulisan skripsi. Skripsi ini merupakan hasil penelitian sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pertanian dari Departemen Ilmu
Sifat Fisik Tanah Latosol untuk Budidaya Tanaman Sayuran” ini tidak lepas dari
bantuan berbagai pihak yang telah memberikan masukan dan dukungan baik
dalam penelitian maupun dalam penulisan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
1. Dr. Ir. Astiana Sastiono, M.Sc dan Dr. Ir. Basuki Sumawinata, M.Agr selaku
2. Dr. Ir. Suwardi, M.Agr dan Dr. Rahayu Widyastuti selaku dosen penguji
3. Dr. Ir. Dwi Putro Tejo Baskoro, MSc terimakasih atas saran-sarannya.
dukungan moril dan materiil yang telah diberikan selama ini yang
tersayang Imam Maulana dan Levi St Nurkhafidzoh atas canda tawa dan
kebersamaanya.
6. Segenap keluarga yang senantiasa mendukung dalam do’a dan
7. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan,
10. Semua pihak yang telah membantu selama penelitian dan penulisan ini
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
I. PENDAHULUAN ................................................................................. 1
LAMPIRAN ................................................................................................ 33
DAFTAR TABEL
No Halaman
Teks
2. Hasil Pengukuran Bobot Jenis Partikel (BJP), Bobot Isi (BI) dan
Total Ruang Pori Tanah ......................................................................... 19
Lampiran
1. Hasil Analisis Volume Padatan Tanah dengan Three Phase Meter ......... 34
7. Hasil Analisis Bobot Jenis Partikel dengan Three Phase Meter .............. 39
No Halaman
Teks
memiliki aerasi dan drainase yang baik, serta mampu menahan air yang cukup
banyak. Kondisi tanah yang demikian merupakan prasyarat agar akar tanaman
sayuran yang relatif halus dapat berkembang dengan baik. Tanaman sayuran pada
umumnya dibudidayakan pada tanah Andosol yang memiliki kondisi fisik yang
Akan tetapi, budidaya tanaman sayuran pada tanah Andosol sangat terbatas
terbatas, yaitu menempati dataran tinggi volkan mulai dari 1000 meter dari
permukaan laut (Soepardi, 1983). Selain itu, tanah Andosol umumnya ditemukan
di daerah pegunungan memiliki sifat yang mudah tererosi sehingga sebagian besar
tanah Andosol merupakan lahan konservasi atau hutan lindung, meskipun tanah
sayuran perlu dipelajari teknik perbaikan sifat tanah pada tanah-tanah selain tanah
memiliki area yang luas di Indonesia dengan ketinggian dari 10 meter sampai
1000 meter dari permukaan laut (Soepardi, 1983). Oleh karena itu, tanah Latosol
tanaman sayuran. Namun demikian, tanah Latosol memiliki kondisi fisik yang
masih kurang baik untuk budidaya tanaman sayuran dibandingkan dengan tanah
tanaman sayuran, maka perlu adanya pemberian bahan pembenah tanah pada
tanah Latosol.
Wahjudin, 2003) akan tetapi para peneliti tersebut umumnya lebih memfokuskan
terhadap perbaikan sifat kimia tanah dari pengaruh pemberian berbagai bahan
terhadap sifat fisik tanah dalam kondisi di lapangan belum banyak didentifikasi.
Oleh karena itu, analisis terhadap sifat fisik tanah sebagai akibat dari pemberian
1.2 Tujuan
1.3 Hipotesis
2. Setiap jenis bahan pembenah tanah mempunyai sifat yang spesifik dan
Istilah ”sayuran” biasanya digunakan untuk merujuk pada tunas, daun, buah,
dan akar tanaman yang lunak dan dapat dimakan secara utuh atau sebagian,
segar/mentah atau dimasak. Sayuran biasanya dipanen bila tanaman segar dan
kandungan airnya tinggi dan dengan demikian dibedakan dari tanaman pangan
yang lain (Williams et al, 1991). Tanaman sayuran dikenal sebagai tanaman
hortikultura. Hortikultura berasal dari bahasa latin yaitu hortus (tanaman kebun)
atau di seputar tempat tinggal (Janick, 1986 dalam Ashari, 1995). Hortikultura
tanaman sayuran, dan budidaya tanaman hias. Menurut Terra (1948 dalam
lahan yang bertopografi datar/dataran dengan atau sedikit landai. Lahan yang
terlalu miring tidak cocok karena biasanya miskin unsur hara dan memerlukan
sayuran yang baik sebetulnya lebih ditentukan oleh iklim seperti suhu, dan curah
hujan.
lebih dari tanaman lain. Agar hasil bertanam sayuran maksimal, perlu
pemeliharaan tanaman.
Komoditas hortikultura yang memiliki prospek di masa depan adalah
dalam negeri dengan produksi dalam negeri dan sebagian diimpor. Namun
demikian, Indonesia masih mengimpor tanaman sayuran dalam jumlah yang besar
organik atau mineral berbentuk padat atau cair yang dapat memperbaiki sifat fisik,
Soepardi (1983) bahan organik berfungsi sebagai pemantap tanah, pengatur aerasi
dan cenderung dapat meningkatkan jumlah air yang tersedia bagi tanaman serta
berpengaruh terhadap hampir semua sifat fisik tanah kecuali tekstur. Bahan
seperti ini merupakan bentuk aktif dilapuk dan menjadi sasaran serangan
organisme tanah, karena itu bahan ini merupakan bahan transisi dan harus terus
diambil tanaman.
Menurut Dalzell et al., (1987) bahan organik tanah terbentuk dari tanaman
dan hewan yang telah mati. Bahan organik ini selalu mengandung C, H, dan O
temperatur yang tinggi di tanah-tanah tropik dan subtropik, maka laju pelapukan
tinggi sehingga sering kali sulit untuk mempertahankan kadar bahan organik
tanah tetap tinggi. Kondisi ini memerlukan usaha keras yang harus dilakukan
tanah dengan jumlah yang tidak besar, hanya sekitar 3-5%, tetapi pengaruhnya
terhadap sifat-sifat tanah besar sekali. Bahan organik berfungsi sebagai pemantap
tanah, pengatur aerasi dan cenderung meningkatkan jumlah air yang tersedia bagi
tanaman serta berpengaruh terhadap hampir semua sifat fisik tanah kecuali tekstur
(Soepardi, 1983).
Pembakaran sekam padi dilakukan pada suatu lubang yang berukuran panjang 50
cm, tinggi 30 cm dan diameter 50 cm dengan kapasitas 5 kg. Sekam yang sudah
terbakar tersebut ditutup tanah dan diatasnya diberi sampah. Pada salah satu sudut
lubang diberi pipa udara. Arang sekam yang dihasilkan dari pembakaran tersebut
dapat digunakan sebagai media tanam karena mikroba pathogen telah mati selama
disterilisasi lagi. Sedangkan jika sekam mentah yang digunakan langsung sebagai
media tanaman dapat mendorong tumbuhnya bakteri pembusuk akar dan jamur
karenanya pembuatan arang sekam ini bertujuan untuk memperbaiki sifat sekam
agar lebih mudah ditangani dan dimafaatkan lebih lanjut sebagai media tumbuh
tanaman.
Arang sekam mempunyai sifat yang sangat ringan, bobot isi 0.20 g/cm3,
kasar sehingga sirkulasi udara tinggi, kapasitas menahan air tinggi, dan dapat
mengatakan bahwa arang sekam yang ditambahkan ke dalam suatu media tanam
dapat menurunkan bobot isi media tanam, meningkatkan ruang pori drainase
2.2.2 Cocopeat
Cocopeat merupakan gabus yang berasal dari serabut buah kelapa. Cocopeat
bersifat mampu menyimpan dan menahan air (Anonim, 2009). Sifat ini
kelembaban atau media tanam yang tidak terlalu kering. Cocopeat juga
mempunyai porositas 95% dan bobot isi 0.25 g/cm3 serta mengandung unsur hara
makro yang dibutuhkan tanaman seperti P 330 ppm, K 9787 ppm, Ca 2521 ppm,
terbuka dan membiarkannya di udara terbuka selama 3 bulan. Tujuan proses ini
untuk menetralisir unsur hara yang terkandung di dalamnya dan menjaga pH 6-7.
2.2.3 Kompos
organik matang dengan sifat-sifat yang berbeda dengan bahan organik segar.
dipengaruhi oleh aerasi dari pada faktor-faktor lain (Russel dan Russel, 1956
dalam Yustiningsih, 1981). Jika timbunan kompos terlalu kompak, kering atau
terlalu jenuh, maka hanya sedikit perombakan bahan organik yang terjadi
sedangkan jika timbunan lepas dan cukup mengandung air maka perombakan
Perbedaan yang nyata antara kompos dan bahan organik yang belum matang
adalah di dalam sifat fisiknya. Bahan organik yang belum matang mempunyai
struktur yang lebih kasar dan kapasitas menahan air yang lebih kecil. Menurut
Russel dan Russel (1956 dalam Yustiningsih, 1981) tanaman mempunyai respon
berlangsung di dalam tanah dari pada bahan organik yang membusuk di dalam
amonia selama berlangsungnya proses pengomposan. Hal ini tidak terjadi jika
memegang air, dan mengandung unsur C yang relatif tinggi (Paul dan Clark, 1989
kesuburan tanah, baik secara fisik, kimia, maupun biologi. Sifat fisik tanah yang
penambahan unsur hara makro N, P, dan K, dan perbaikan sifat biologi berupa
Andosol terbentuk dari bahan induk tufa atau abu volkan, memiliki reaksi
tanah berkisar dari agak masam sampai netral, kejenuhan basa sekitar 20-40%
dengan KTK ≥24 me/100 g, dengan mineral liat didominasi oleh liat alofan,
mempunyai bobot isi ≤0.85 g/cm3, lembab dengan kandungan bahan organik
cukup tinggi (5-20% pada lapisan atas), mempunyai kemampuan mengikat air
yang tinggi, sangat gembur serta memiliki derajat ketahanan struktur yang tinggi
sehingga mudah diolah akan tetapi mudah tererosi (Soil Survey Staf, 1990).
Andosol tersebar pada topografi medan datar, agak miring, datar sampai
tinggi mulai dari 1000 meter dari permukaan laut dengan curah hujan 2000 mm/th
tanpa bulan kering yang pasti. Vegetasi utama adalah hutan hujan tropika lebat
Latosol adalah tanah mineral yang terbentuk dari bahan induk volkan
mineral primer dan unsur hara rendah, pH rendah 4.5-5.5, kandungan bahan
organik rendah, kejenuhan basa ≤35% dengan KTK ≤24 me/100g, stabilitas
agregat tinggi, dan terjadi akumulasi sesquioksida akibat pencucian silika (Dudal
Latosol mempunyai sifat fisik baik yaitu permeabilitas lambat sampai sedang,
ketinggian 10 meter sampai 1000 meter dari permukaan laut, tahan terhadap erosi
dan memiliki curah hujan ≥2000 mm/th dengan bulan kering <3 bulan. Curah
hujan yang tinggi merupakan syarat terjadinya latosolisasi yang meliputi proses
miskin akan hara, silika dan bahan organik serta adanya senyawa Fe yang
khususnya dalam menentukan pengelolaan tanah karena sifat fisik tanah pada
bobot isi sebagai karakter sifat fisik tanah yang penting bagi pertumbuhan
tanaman. Sistem tata air dan aerasi (peredaran udara) yang buruk, secara langsung
Akibatnya tanaman tidak dapat berkembang dengan normal dan tetap kerdil.
Bobot isi (bulk density) adalah bobot bagian padat (bobot tanah kering)
dibagi dengan volume total, termasuk volume butir-butir padat dan volume ruang
pori. Sedangkan kerapatan jenis partikel atau bobot jenis partikel (particle
density) yaitu bobot bagian padat dibagi dengan volume bagian padat dari tanah
dan air (Foth, 1984). Besarnya ukuran pori dan pori total tanah sangat ditentukan
oleh bentuk dan ukuran partikel yang menyusun tanah. Tanah yang bertekstur
kasar akan mempunyai ruang pori total yang lebih kecil, karena terdiri dari pori
makro yang menyebabkan aerasi yang baik. Pada tanah bertekstur liat mempunyai
aerasi yang buruk ketika basah karena sebagian pori mikro terisi air. Menurut
Brady (1990) pori tanah digolongkan dalam pori makro dan pori mikro. Pori
makro yaitu pori yang bersifat memberi kesempatan pergerakan udara dan
perkolasi air sangat cepat, sedangkan pori mikro adalah pori yang dapat
ukurannya total ruang pori dapat dikelompokkan ke dalam: (1) ruang pori kapiler,
yang dapat menghambat pergerakan air menjadi pergerakan kapiler, dan (2) ruang
pori non kapiler, yang dapat memberi kesempatan pergarakan udara dan perkolasi
air secara cepat sehingga sering disebut sebagai pori drainase. Pori drainase dapat
dikelompokkan ke dalam tiga kelompok yaitu: (1) pori drainase sangat cepat
(PDSC), bergaris tengah ≥300 µm dan akan kosong pada pF 1, (2) pori drainase
cepat (PDC), bergaris tengah antara 300-30 µm dan akan kosong pada pF 1 dan
pF 2, (3) pori drainase lambat (PDL) bergaris tengah antara 30-9 µm dan akan
sedikit mempunyai ruang pori non kapiler kurang baik bagi pertumbuhan akar
karena aerasinya buruk. Sebaliknya tanah yang didominasi oleh ruang pori non
kapiler aerasinya akan baik tetapi kapasitas menahan airnya rendah sehingga tidak
baik pula bagi pertumbuhan tanaman. Menanggapi hal ini Baver (1956 dalam
Kramer 1983) mengatakan bahwa tanah yang ideal adalah tanah yang seimbang
antara pori kapiler dan pori non kapilernya, sehingga tanah mampu memberikan
Aplikasi bahan pembenah tanah dilakukan pada bulan Mei 2006. Penelitian
pembenah tanah yaitu arang sekam, cocopeat dan kompos pupuk kandang dari
kompos kotoran sapi. Selanjutnya tanah ditanami dengan tanaman Sawi (Brassica
pemanenan, tanah dibiarkan secara alami selama satu tahun. Selanjutnya pada
bulan Mei 2008 dilakukan pengambilan contoh tanah untuk melihat pengaruh dari
berbagai pemberian bahan pembenah tanah tersebut terhadap beberapa sifat fisik
tanah.
beberapa macam bahan pembenah tanah yaitu arang sekam, cocopeat, kompos
Alat yang digunakan dalam penelitian adalah ring sampel 100 ml dan ring
holder, three phase meter, piknometer, mesin pengayakan basah, dan peralatan
laboratorium lainnya.
3.3 Metode Penelitian
(*/ Tanah : Arang Sekam; ½ : ½ berarti Tanah 50% Volume dan Arang Sekam 50% Volume)
Setiap petak dipisahkan oleh jarak selebar 20 cm dan antar ulangan dipisahkan
oleh jalan selebar 1 m serta dibatasi dengan fiber. Pengambilan contoh tanah
untuk pengamatan sifat fisik tanah dilakukan pada dua lapisan kedalaman tanah
bahan pembenah tanah dilakukan dengan melihat beberapa parameter dari metode
Bobot isi diukur pada dua lapisan kedalaman (0-5) dan (5-10) cm, yaitu
menggunakan ring sampel 100 ml dan ring holder. Volume tanah sama
dengan volume ring yang digunakan. Bobot isi (BI) tanah diperoleh dengan
2. Bobot jenis partikel (BJP) tanah yaitu bobot tanah kering persatuan volume
three phase meter disajikan pada Tabel Lampiran 1 sedangkan cara kerjanya
partikel tanah. Adapun cara kerja penetapan bobot jenis partikel tanah
tepat.
(D) 5. Keluarkan tanah dari piknometer, isi dengan air destilata yang telah
100
(B-A) x -----------
100+KA
BJP = ----------------------------------------- (g/cm3)
100
( (B-A) x ----------- ) - (C-D)
100+KA
3. Total ruang pori (TRP) tanah adalah volume seluruh pori dalam suatu
Bobot Isi
TRP = ( 1 - ---------------------------- ) x 100% (%volume)
Bobot Jenis Partikel
bobot tanah basah (Tabel Lampiran 3) dengan bobot tanah kering (Tabel
Lampiran 4).
Bobot Air = Bobot Tanah Basah-Bobot Tanah Kering (g)
yaitu menimbang ±10 g contoh tanah dalam keadaan basah (bobot tanah
basah), kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 105°C selama 24 jam,
dan ditimbang lagi (bobot tanah kering). Kadar air tanah (% b/b) dihitung
7. Distribusi pori tanah, didasarkan pada kandungan air tanah (% volume) yang
berada dalam keseimbangan dengan tekanan udara yang digunakan yaitu 0.1
bar (pF 2.00), 0.3 bar (pF 2.54) dan 15 bar (pF 4.20). Contoh tanah
pF 2.54 dan 2.00 dan pada “pressure membrane apparatus” untuk pF 4.20.
Dari angka kandungan air tersebut dihitung persentase pori drainase sangat
cepat (PDSC), pori drainase cepat (PDC), pori drainase lambat (PDL), pori
air tersedia (PAT), dan pori air tidak tesedia (PATT) dengan persamaan
sebagai berikut:
PDSC = TRP-kandungan air pada pF 1.00
PAT = k.a pada pF 2.54-k.a pF 4.20 (kadar air pada kapasitas lapang)
PATT = k.a pada pF 4.20 (kadar air pada titik layu permanen)
lampiran 6). Prinsip penetapan cara ini adalah sejumlah bahan organik yang
sebagai berikut:
Keterangan:
f = 1.33
me = NxV
N = normalitas
V = volume
BKM = bobot tanah kering oven 105°C contoh tanah yang
digunakan
Pengaruh berbagai perlakuan terhadap nilai bobot jenis partikel (BJP) tanah
pada dua lapisan kedalaman tanah (0-5) dan (5-10) cm yang diperhitungkan
dengan menggunakan metode three phase meter dan piknometer disajikan pada
Tabel 2, sedangkan rinciannya disajikan dari pada Tabel Lampiran 7 dan Tabel
Lampiran 8.
Tabel 2. Hasil Pengukuran Bobot Jenis Partikel (BJP), Bobot Isi (BI) dan Total
Ruang Pori Tanah
Total Volume-2 (%)
Kedalaman BJP-1 BJP-2 BI-2
Perlakuan Ruang Air
(cm) (g/cm3) (g/cm3) (g/cm3) Udara Padatan
Pori-2 (%) Lapang
Arang Sekam 0 -5 2.24 2.47 0.70 69.69 35.02 34.67 30.31
5-10 2.58 2.58 0.80 66.90 44.77 22.13 33.10
Cocopeat 0 -5 2.93 2.72 0.77 71.64 41.30 30.34 28.36
5-10 2.54 2.79 0.86 68.86 55.54 13.32 31.14
Kompos 0 -5 2.57 2.60 0.77 70.27 38.41 31.86 29.73
5-10 2.62 2.83 0.90 67.84 55.79 12.05 32.16
Kompos+Arang Sekam 0 -5 2.63 2.87 0.87 68.53 46.64 21.89 31.47
5-10 2.61 3.02 0.92 69.17 57.90 11.26 30.83
Kompos+Cocopeat 0 -5 2.66 2.76 0.79 71.21 47.98 23.23 27.79
5-10 2.67 2.96 0.84 70.89 57.70 13.19 29.11
Kontrol 0 -5 2.69 3.02 0.83 72.58 39.99 32.59 27.42
5-10 2.68 3.04 0.93 68.93 51.22 17.71 31.07
Keterangan: 1= Metode Piknometer; 2= Metode Three Phase Meter
menggunakan metode three phase meter menghasilkan nilai bobot jenis partikel
yang lebih tinggi dari pada pengukuran bobot jenis partikel dengan menggunakan
bobot jenis partikel lebih tinggi dari pada metode piknometer, akan tetapi hasil
memiliki pola/trend yang sama yang ditunjukkan oleh koefisien korelasi yang
menggunakan metode three phase meter dan hasil pengukuran bobot jenis partikel
Pada metode three phase meter digunakan ring sampel dengan ukuran
kemungkinan batu (±0.5 mm) ikut terbawa dalam ring dan mempengaruhi bobot.
tanah. Mengingat bobot jenis partikel yang dimiliki batu yaitu 2.6-3.1 g/cm3
(Wirjodihardjo, 1952) hal inilah yang menyebabkan nilai bobot jenis partikel
dengan menggunakan metode three phase meter lebih tinggi daripada nilai bobot
beberapa jenis batuan kristalin penting di dalam penyusunan tubuh bumi: Granit
2.62 g/cm3, Diorit 2.93 g/cm3, Amphibolit 3.10 g/cm3, Basalt 2.90-3.00 g/cm3.
Metode three phase meter dipandang lebih baik dalam menentukan bobot
jenis partikel dibandingkan dengan metode piknometer, karena pada metode three
phase meter pengukuran dilakukan pada contoh tanah utuh yang sesuai atau sama
pembenah tanah tidak mempengaruhi total ruang pori tanah secara nyata terhadap
kontrol, (rinciannya disajikan pada Tabel Lampiran 9). Nilai total ruang pori tanah
bervariasi dari 69.69% sampai 72.58% untuk lapisan atas (0-5) cm, sedangkan
total ruang pori untuk lapisan dibawahnya (5-10) cm bervariasi dari 66.90%
sampai 68.93%. Demikian pula untuk nilai bobot isi tanah yang bervariasi, yaitu
dari 0.70 g/cm3 sampai 0.83 g/cm3 untuk lapisan atas (0-5) cm, sedangkan untuk
lapisan dibawahnya (5-10) cm bervariasi dari 0.80 g/cm3 sampai 0.93 g/cm3.
mempengaruhi nilai bobot jenis partikel tanah. Nilai bobot jenis partikel terendah
dengan menggunakan metode three phase meter adalah bobot jenis partikel tanah
akibat pemberian arang sekam yaitu 2.47-2.58 g/cm3, sedangkan bobot jenis
penambahan bahan pembenah tanah. Untuk nilai bobot jenis partikel terendah
sama yaitu bobot jenis partikel tanah akibat pemberian arang sekam yaitu 2.24-
2.58 g/cm3, dan bobot jenis partikel tertinggi adalah 2.68-2.69 g/cm3 akibat
pengolahan tanah tanpa penambahan bahan pembenah tanah. Secara umum nilai
bobot jenis partikel lapisan atas (0-5) cm cenderung lebih rendah dari pada nilai
oleh para ahli tanah sebesar 2.65 g/cm3 (Herudjito dan Djojoprawiro, 1986) dapat
membuat data total ruang pori dan distribusi ukuran pori tanah yang sangat
penting bagi pendugaan karakteristik fisik tanah menjadi kurang valid. Tanah-
tanah yang diberi perlakuan bahan pembenah tanah sebaiknya ditetapkan dari
perhitungan nilai bobot partikel padatan dibagi dengan volume padatan yang
Pengaruh berbagai perlakuan terhadap nilai bobot isi (BI) tanah pada lapisan
sedangkan rinciannya disajikan dari pada Tabel Lampiran 10. Dari data pada
pengukuran bobot isi dari 2 petak ulangan yang berbeda menghasilkan nilai bobot
isi tanah yang cukup teliti yang ditunjukkan oleh nilai standar deviasi (∆X) yang
sangat kecil.
dilakukan pengadukan secara merata, akan tetapi berdasarkan data yang diperoleh
menunjukkan bahwa pada lapisan atas (0-5) cm untuk semua perlakuan memiliki
nilai bobot isi yang lebih rendah dari pada nilai bobot isi pada lapisan dibawahnya
(5-10) cm. Hal ini menunjukkan bahwa pergerakan air dapat menimbulkan
pergerakan partikel tanah yang lebih halus ke lapisan lebih bawah. Oleh karena
itu, tanah dapat menjadi lebih padat pada lapisan lebih bawah.
menunjukkan nilai bobot isi terendah pada dua lapisan kedalaman (0-5) dan (5-
10) cm masing-masing yaitu 0.70 dan 0.80 g/cm3, sedangkan perlakuan
bobot isi tertinggi untuk dua lapisan kedalaman (0-5) dan (5-10) cm masing-
masing yaitu 0.83 dan 0.93 g/cm. Hal ini terjadi karena penambahan arang sekam
Keadaan air tanah dalam kondisi lapang pada lapisan atas (0-5) cm
cenderung lebih rendah dari pada lapisan bawah (5-10) cm (Tabel 3). Hal ini
umum terjadi karena pada lapisan atas, air tanah lebih mudah hilang melalui
dapat meningkatkan volume air lapang tanah. Berikut ini berturut turut nilai
volume air lapang pada lapisan atas (0-5) cm dari yang terendah adalah perlakuan
arang sekam, kompos, kontrol, cocopeat, kompos ditambah arang sekam, dan
dan 47.98%. Untuk volume air lapang pada lapisan dibawahnya (5-10) cm juga
perlakuan arang sekam lebih rendah dari kontrol, cocopeat dan kompos, yaitu
44.77% untuk perlakuan arang sekam, 51.22% untuk kontrol, 55.54% untuk
arang sekam dan kompos ditambah cocopeat memiliki volume air lapang berkisar
pada nilai 57%. Secara umum pada lapisan atas (0-5 cm) dan lapisan dibawahnya
(5-10 cm), perlakuan bahan pembenah tanah berturut turut dapat meningkatkan
nilai volume air lapang tanah dari yang terendah yaitu perlakuan arang sekam
ditambah arang sekam (52.27%), dan kompos ditambah cocopeat (52.84%). Dari
seluruh perlakuan yang digunakan, volume air lapang tanah tersebut masih berada
di atas kadar air titik layu permanen (pF 4.2) dan kadar air kapasitas lapang (pF
Tabel 3. Hubungan Berbagai Jenis Perlakuan terhadap Volume Air Lapang dan
Kurva pF (pF 1, pF 2, pF 2.54, pF 4.2)
Kedalaman Volume Air
Perlakuan pF 1 pF 2 pF 2.54 pF 4.2
(cm) Lapang
Arang sekam 0- 5 51.20 41.01 31.41 21.31 35.02
5-10 64.35 50.05 41.85 33.65 44.77
Cocopeat 0- 5 56.60 50.17 44.21 25.22 41.30
5-10 61.41 51.60 43.25 31.75 55.54
Kompos 0- 5 45.16 43.47 34.27 24.10 38.41
5-10 60.36 48.86 47.75 30.66 55.79
Kompos+Arang Sekam 0- 5 55.68 51.37 42.96 28.46 46.64
5-10 56.01 53.99 52.21 31.73 57.90
Kompos+Cocopeat 0- 5 50.52 49.83 45.61 27.26 47.98
5-10 56.37 52.21 47.35 30.49 57.70
Kontrol 0- 5 49.01 44.95 40.29 28.34 39.99
5-10 52.26 48.98 47.01 32.42 51.22
Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa volume air lapang baik untuk
lapisan atas (0-5) cm maupun lapisan bawah (5-10) cm untuk semua perlakuan
sedikit lebih besar dari pF 2.54, kecuali untuk perlakuan kontrol dan perlakuan
cocopeat pada lapisan atas (0-5) cm. Hal ini mencerminkan bahwa volume air
lapang lebih besar dari kadar air kapasitas lapang, sehingga persentase volume
udara tanah akan menjadi lebih rendah dari pada bila tanah tersebut berada pada
pada kurva pF. Di dalam kondisi lapangan, tanah yang mempunyai drainase baik
maka ruang pori yang berukuran besar akan diisi udara dan ruang ini disebut pori
aerasi tanah atau pori makro tanah. Sedangkan pori-pori yang relatif kecil
cenderung untuk diisi air dan umumnya disebut pori-pori kapiler atau pori mikro.
Tabel 4. Hubungan Berbagai Jenis Perlakuan terhadap Volume Air Lapang dan
Distribusi Ukuran Pori Tanah
Volume
Kedalaman PATT PAT PDL PDC PDSC
Perlakuan Air
(cm)
Lapang Pori Mikro Pori Makro
----------------------------------%--------------------------
Arang Sekam 0- 5 35.02 21.31 10.10 9.60 10.19 18.48
5-10 44.77 33.65 8.20 8.20 14.30 2.55
Cocopeat 0- 5 41.30 25.22 18.99 5.96 6.43 15.04
5-10 55.54 31.75 11.50 8.35 9.81 7.45
Kompos 0- 5 38.41 24.10 10.17 9.20 1.69 25.11
5-10 55.79 30.66 17.09 1.11 11.50 7.48
Kompos+Arang Sekam 0- 5 46.64 28.46 14.50 8.41 4.31 12.85
5-10 57.90 31.73 20.48 1.78 2.02 13.16
Kompos+Cocopeat 0- 5 47.98 27.26 18.35 4.22 0.69 20.69
5-10 57.70 30.49 16.86 4.86 4.16 14.52
Kontrol 0- 5 39.99 28.34 11.95 4.66 4.06 23.57
5-10 51.22 32.42 14.59 1.97 3.28 16.67
Catatan: Bar kelabu menunjukkan air pada pori dalam keadaan lapang
Keterangan: Pori Air Tidak Tersedia (PATT): diameter ≤ 0.2 μm (akan kosong pada pF 4.20)
Pori Air Tersedia (PAT): diameter 8.6 – 0.2 μm (akan kosong pada pF 2.54 - 4.20)
Pori Drainase Lambat (PDL): diameter 30 – 9 μm (akan kosong pada pF 2.00 - 2.54)
Pori Drainase Cepat (PDC): diameter 300 – 30 μm (akan kosong pada pF 1.00 - 2.00)
Pori Drainase Sangat Cepat (PDSC): diameter ≥300 μm (akan kosong pada pF 1.00)
Dari data pada Tabel 4 terlihat bahwa perlakuan bahan pembenah tanah
tanah dalam menahan air. Seluruh perlakuan bahan pembenah tanah memiliki
volume air lapang yang melebihi kadar air kapasitas lapang (pF 2.54). Meskipun
pengambilan contoh tanah dilakukan pada saat 2 hari tidak ada hujan. Secara
umum volume air lapang menduduki pori drainase lambat (PDL), kecuali untuk
perlakuan kontrol dan cocopeat pada lapisan atas (0-5) cm. Perlakuan arang
sekam pada lapisan atas (0-5) cm dan lapisan dibawahnya (5-10) cm, kompos,
kompos ditambah arang sekam, dan kompos ditambah cocopeat pada lapisan atas
dan kontrol pada lapisan dibawahnya (5-10) cm, volume air lapang berkisar
ditambah arang sekam dan kompos ditambah cocopeat pada lapisan (5-10) cm
Data pada Tabel 4 juga dapat dilihat bahwa jumlah pori drainase sangat
cepat pada lapisan bawah (5-10) cm lebih sedikit dibandingkan dengan pori
drainase sangat cepat pada lapisan diatasnya (0-5) cm. Diduga penurunan jumlah
pori drainase sangat cepat disebabkan oleh adanya penghancuran tanah pada
lapisan atas (0-5 cm) yang kemudian menimbun atau mengisi pori drainase sangat
jenis perlakuan terhadap volume air lapang dan C-organik tanah (Tabel 5).
Tabel 5. Hubungan Berbagai Jenis Perlakuan terhadap Volume Air Lapang dan
C-Organik Tanah
Volume Air Lapang C-Organik
Perlakuan Kedalaman (cm)
--------------------------%----------------------
Arang Sekam 0- 5 35.02 3.14
5-10 44.77 2.92
Cocopeat 0- 5 41.30 3.43
5-10 55.54 3.71
Kompos 0- 5 38.41 4.08
5-10 55.79 3.78
Kompos+Arang Sekam 0- 5 46.64 3.96
5-10 57.90 3.99
Kompos+Cocopeat 0- 5 47.98 4.18
5-10 57.70 4.29
Kontrol 0- 5 39.99 2.83
5-10 51.22 2.67
Perlakuan berbagai bahan pembenah tanah tidak memperlihatkan adanya
lapang.
terhadap pengikisan tanah oleh air. Pengaruh berbagai jenis perlakuan terhadap
distribusi ukuran agregat pada dua lapisan kedalaman (0-5) dan (5-10) cm, serta
cocopeat lapisan atas (0-5) cm sangat rentan terhadap proses pengayakan basah,
yang ditunjukkan dengan rendahnya agregat yang berukuran ≥2 mm, dan cukup
tingginya agregat yang berukuran ≤2 mm. Pada setiap perlakuan, lapisan atas (0-
mm berturut turut dari yang tertinggi yaitu perlakuan arang sekam, cocopeat,
Tanah dengan ukuran agregat ≤2 mm dan ≥2 mm yang terlalu tinggi tidak ideal
untuk pertumbuhan akar tanaman. Menanggapi hal ini perlakuan yang ideal untuk
5.1 Kesimpulan
menurunkan nilai bobot isi (BI). Perlakuan arang sekam menunjukkan nilai
bobot isi terkecil pada dua lapisan kedalaman (0-5) dan (5-10) cm masing-
masing yaitu 0.70 dan 0.80 g/cm3, sedangkan perlakuan pengolahan tanah
isi tertinggi untuk dua lapisan kedalaman (0-5) dan (5-10) cm masing-
volume air lapang tanah dari yang terendah yaitu perlakuan arang sekam
pertumbuhan akar tanaman. Menanggapi hal ini perlakuan yang ideal untuk
Brady, N. C. 1990. The Nature and Properties of Soil. 10th ed. MacMilan
Publishing Company. New York.
Foth, H. D. 1978. Fundamental of Soil Science. 6th ed. John Wiley and Sons, Inc.
New York.
Hakim, N. 1982. Pengaruh Pemberian Pupuk Hijau dan Kapur pada Podzolik
Merah Kuning terhadap Ketersediaan Fosfor dan Produksi Tanaman
Jagung (Zea Mays L). Disertasi. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah. Fakultas
Pertanian, IPB. Bogor.
Sitorus, S. R P., O, Haridjaja dan K. R. Brata. 1981. Penuntun Praktikum Fisika Tanah.
Departemen Ilmu-Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian, IPB. Bogor.
Situmorang, R. 1999. Pemanfaatan Bahan Organik Setempat Mucuna sp dan Fosfat Alam
untuk Memperbaiki Sifat-Sifat Tanah Palehumults di Miramontana, Sukabumi.
Disertasi. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian, IPB. Bogor.
Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah. Fakultas
Pertanian, IPB. Bogor.
Soil Survey Staff. 1990. Key Soil Taksonomy. Agency for Internasional Development
United: States Departemen of Agriculture and Soil Management Support Service.
Yustiningsih, N. 1981. Pengaruh Penambahan Urea dan P-alam terhadap Beberapa Sifat
Kompos. Skripsi. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian, IPB. Bogor.
Wahjudin, H. U. M. 2003. Manfaat Devirat Asam Fenolat dan Karboksilat dari Kompos
Sisa Tanaman terhadap Kandungan Unsur Beracun (Al dan Fe) dalam Tanah
Vertic Hapludult dari Gajrug, Banten. Disertasi. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah.
Fakultas Pertanian, IPB. Bogor.
Wuryaningsih, S., dan Darliah. 1994. Pengaruh Media Sekam Padi Terhadap
Pertumbuhan Tanaman Hias Pot Spathiphyllum. Bul.Penel.Tan.Hias. 2(2): 119–
129. ISSN:0854-7289.
LAMPIRAN
Tabel Lampiran 1. Hasil Analisis Volume Padatan Tanah dengan Three Phase Meter
Volume Padatan Tanah (%)
Perlakuan Kedalaman Rata-rata
(cm) 1 2 3 4 5 6 7 8
Arang Sekam 0 -5 35.02 27.06 31.41 43.80 19.85 40.79 21.80 22.63 30.31 ± 8.43
5-10 47.93 30.21 30.32 30.81 28.43 48.45 20.43 28.28 33.11 ± 10.36
Cocopeat 0 -5 26.34 22.93 28.06 29.85 31.56 30.27 32.15 25.67 28.35 ± 2.94
5-10 33.52 28.08 27.54 32.98 34.23 27.05 35.26 30.43 31.14 ± 3.46
Kompos 0 -5 27.44 28.28 31.72 32.47 25.41 35.95 29.74 26.77 29.72 ± 3.59
5-10 28.52 37.41 29.91 37.84 26.21 30.85 32.35 34.22 32.16 ± 4.16
Kompos+Arang Sekam 0 -5 29.81 31.44 27.58 25.40 26.47 45.67 32.87 32.44 31.46 ± 5.36
5-10 28.97 28.12 26.72 28.70 33.11 38.23 31.82 31.04 30.84 ± 2.12
Kompos+Cocopeat 0 -5 26.70 25.87 29.05 27.87 32.47 31.57 28.11 28.68 28.79 ± 1.76
5-10 29.33 29.41 22.87 27.70 33.81 32.68 24.39 32.65 29.11 ± 3.72
Kontrol 0 -5 27.69 22.71 29.23 26.27 28.61 30.48 27.68 26.71 27.42 ± 2.20
5-10 30.67 35.49 27.68 28.23 32.16 31.95 27.26 35.13 31.07 ± 3.41
Tabel Lampiran 2. Hasil Analisis Volume Air Lapang
Tabel Lampiran 7. Hasil Analisis Bobot Jenis Partikel Tanah dengan Three
Phase Meter