9447 26417 1 PB

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 19

Vol. 3 No. 2 Jurnal BUSINESS UHO: Jurnal Administras Bisnis. July 2018.

Faculty of Social and


Political Sciences, Halu Oleo University Kendari. Southeast Sulawesi. Indonesia. ISSN 2503-
1406. Open Access At. Ojs.uho.ac.id/index.php.BUSINESSUHO.

Analisis Usaha Tataniaga Kopra Dalam Meningkatkan


Pendapatan Keluarga Di Desa Oengkapala Kecamatan
Wakorumba Utara Kabupaten Buton Utara

Nyilan Sari1, Muhammad Basri2 dan Makmur Kambolong3


1
Mahasiswa dan 2,3Dosen Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Universitas Halu Oleo Kendari Sulawesi Tenggara, Indonesia
[email protected]

ABSTRACT

This study aims to determine the system of trade in copra business in


increasing family income and to find out the obstacles faced by copra craftsmen in
increasing family income in the village of Oengkapala, North Wakorumba
District, North Buton Regency. Data collection techniques are carried out by
means of library research and field research using interview methods,
documentation, and observation...
Based on the results of the research, the copra marketing channel in the
study area has 2 trading channels, channel I, starting from producers to collecting
traders to consumers and channel II starting from producers directly to consumers.
Both of these channels have the same goal of distributing copra to consumers. The
trading channel used by copra processors in Oompala Village prefers to market
their copies through marketing agencies from copra processors to collecting
traders. The reason for copra processors selling their copies to collectors is the
amount of marketing costs and lack of transportation. The analysis of the increase
in copra processing income in Oompala Village in the harvest season I was less
increased while the harvest season II was in the increasing category. In the five
selected informants, the copra craftsmen all experienced an increase in income
during the second harvest season. because the copra processing income is due to,
among other things, the difference in the selling price of copra and the difference
in the amount of copra production from each coconut harvest season to copra.

Keywords: Income; Trading

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan Untuk mengetahui sistem tataniaga usaha kopra


dalam meningkatkan pendapatan keluarga di Desa Oengkapala Kecamatan
Wakorumba Utara Kabupaten Buton Utara. Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan cara studi kepustakaan dan penelitian lapangan dengan menggunakan
metode wawancara, dokumentasi, dan observasi
Berdasarkan hasil penelitian Saluran pemasaran kopra di daerah penelitian
terdapat 2 saluran tataniaga, saluran I mulai dari produsen kepedagang pengumpul
hingga kepada konsumen dan saluran II mulai dari produsen langsung kepada
Vol. 3 No. 2. pp. 283-301. Jurnal BUSINESS UHO: Jurnal Administras Bisnis. July 2018. Faculty
of Social and Political Sciences, Halu Oleo University Kendari. Southeast Sulawesi. Indonesia.
ISSN 2503-1406. Open Access At. Ojs.uho.ac.id/index.php.BUSINESSUHO.

konsumen. Kedua saluran ini memiliki tujuan yang sama yaitu mendistribusikan
kopra sampai ke konsumen. Salurantataniaga yang digunakanolehpengolahkopra di
Desa Oengkapala lebih memilih memasarkan kopranya melalui lembaga
pemasaran dari pengolah kopra kepedagang pengumpul. Alasan pengolah kopra
menjual kopranya kepada pedagang pengumpul yaitu besarnya biaya pemasaran
dan kurangnya transportasi. Analisis peningkatan pendapatan pengolah kopra di
Desa Oengkapala pada musim panen I kurang meningkat sedangkan musim panen
II termaksud dalam kategori meningkat. Dalam kelima informan terpilih yakni
pengolah kopra semuanya mengalami peningkatan pendapatan pada musim panen
II dikarenakan Pendapatan pengolah kopra ini disebabkan antara lain perbedaan
hargajual kopra dan perbedaan besarnya hasil produksi kopra masing-masing
musim panen kelapa menjadi kopra.

Kata Kunci: Pendapatan; Tataniaga

I. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan produsen kelapa terbesar di dunia dengan luas


tanaman kelapa sekitar 3,85 juta ha dan produksi sekitar 16,498 miliar butir
kelapa (3,3 juta ton setara kopra). Kopra adalah salah satu hasil olahan kelapa
yang banyak diusahakan oleh masyarakat Indonesi. Komoditi ini umumnya
digunakan sebagai bahan baku pembuatan minyak kelapa. Kopra dihasilkan dari
daging buah kelapa yang dikeringkan (Palungkun, 1999). Namun demikian
menurut Budianto dan Allorerung (2003), bila dilihat dari segi pendapatan petani,
potensi ekonomi kelapa yang sangat besar itu belum dimanfaatkan secara optimal
karena adanya berbagai masalah internal baik dalam proses produksi, pengolahan,
pemasaran maupun kelembagaan (Kasryno : 1998). Salah satu kendala yang
menyebabkan pendapatan perajin kopra dan pedagang kopra masih rendah
yaitu kurangnya industri pengolahan kopra. Masalah tersebut menyebabkan
perajin tidak mempunyai alternatif lain untuk memasarkan kopra. Padahal dari
komoditi ini mempunyai nilai ekonomis dan prospek pasar yang baik
(Palungkun,1999). Kabupaten Buton Utara terletak di Pulau Buton yang merupakan
pulau terbesar di luar pulau induk Kepulauan Sulawesi, yang menjadikannya pulau
ke-130 terbesar di dunia. Luas lahan panen perkebunan Kecamatan dan jenis
tanaman di Kabupaten Buton Utara untuk tanaman kelapa seluas 4.132 Ha dimana
Kecamatan Wakorumba berada di urutan kelima dengan luas lahan 519 Ha (Dinas
Pertanian Kabupaten Buton Utara, 2016). Keberadaan pertanian kelapa diharapkan
dapat menambah penghasilan masyarakat sehingga mencukupi kebutuhan
keluarganya. Kondisi perekonomian di Kecamatan Wakorumba belum merata. Hal
ini disebabkan distribusi pendapatan yang belum merata pula. Keberadaan usaha
pengolahan kelapa menjadi kopra diharapkan dapat menambah penghasilan
masyarakat sehingga penduduk mendapat penghasilan tambahan.

Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana usaha tataniaga
kopra dalam meningkatkan pendapatan keluarga di Desa Oengkapala Kecamatan
Wakorumba Utara Kabupaten Buton Utara ?

284
Vol. 3 No. 2. pp. 283-301. Jurnal BUSINESS UHO: Jurnal Administras Bisnis. July 2018. Faculty
of Social and Political Sciences, Halu Oleo University Kendari. Southeast Sulawesi. Indonesia.
ISSN 2503-1406. Open Access At. Ojs.uho.ac.id/index.php.BUSINESSUHO.

II. METODE PENELITIAN


A. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Desa Oengkapala Kecamatan
Wakorumba Utara Kabupaten Buton Utara. Waktu penelitian ini akan
dilaksanakan pada bulan Januari-februari 2018.
B. Informan Penelitian
Informan penelitian ditetapkan dengan purposive sampling (sengaja) yaitu
teknik untuk menentukan sampel penelitian dengan beberapa pertimbangan
tertentu yang bertujuan agar data yang diperoleh nantinya bisa lebih representatif
(Sugiyono, 2010). Informan dalam penelitian ini sebanyak 5 orang Perajin Kopra
di Desa Oengkapala Kecamatan Wakorumba Utara Kabupaten Buton Utara
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Wawancara, Dokumentasi, Observasi
D. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan mengatur catatan lapangan, dan
bahan-bahan lainnya yang ditemukan di lapangan. Teknik analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah analisis survey dengan pendekatan kualitatif
yang berpijak dari data yang di dapat dari hasil wawancara serta hasil dokumentasi,
melalui tahapan Reduksi Data, Penyajian Data, Mengambil Kesimpulan atau
Verifikasi Data

III. Hasil Penelitian


Karakteristik Informan
a. Karakteristik Informan Berdasarkan Umur Informan
Berdasarkan data yang diperoleh di lapangan yang memiliki informan
sebanyak 5 orang dapat dilihat pada tabel berikut menunjukan bahwa mayoritas
memiliki responden diperoleh karakteristik informan berdasarkan usia yang
disajikan pada Tabel berikut :
Tabel 1. Karakteristik Informan Berdasarkan Umur di Desa Oengkapala
Kecamatan Wakorumba Utara Kabupaten Buton Utara Tahun 2018
No Umur (Tahun) Jumlah Presentase (%)
1 43 1 20,00
2 32 1 20,00
3 26 1 20,00
4 55 1 20,00
5 56 1 20,00
Total 5 100,00
Sumber : Data primer diolah, 2018
Berdasarkan Tabel 1, menunjukan bahwa informan memiliki umur yang
berbeda-beda, dengan persentase masing masing sekitar 20%. Umur mempunyai
peran yang sangat penting dalam suatu kegiatan usaha pengolahan kopra karena
tenaga atau kemampuan fisik perajin kopra cukup berpengaruh bagi
keberlangsungan usaha, hal ini disebabkan petani yang masih muda mempunyai
kemampuan yang cendrung kuat dibandingkan petani yang sudah berada pada
usia lanjut.

285
Vol. 3 No. 2. pp. 283-301. Jurnal BUSINESS UHO: Jurnal Administras Bisnis. July 2018. Faculty
of Social and Political Sciences, Halu Oleo University Kendari. Southeast Sulawesi. Indonesia.
ISSN 2503-1406. Open Access At. Ojs.uho.ac.id/index.php.BUSINESSUHO.

b. Karakteristik Informan Berdasarkan Tanggungan Keluarga


Tanggungan keluarga adalah jumlah keluarga yang ditanggung segala
kebutuhan hidupnya, yang termasuk dalam tanggungan keluarga yaitu istri dan
anak ataupun yang lainya yang biaya hidupnya dibiayai oleh satu kepala
keluarga yaitu ayah. Selain itu untuk tanggungan keluarga yang usianya sudah
mencapai usia produktif merupakan sumber tenaga kerja tambahan yang utama
untuk kegiatan usahatani. Untuk lebih jelasnya mengenai tanggungan keluarga
dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 2. Karakteristik Informan Berdasarkan Tanggungan Keluarga di Desa
Oengkapala Kecamatan Wakorumba Utara Kabupaten Buton Utara Tahun
2018
No Jumlah Tanggungan Jumlah Penduduk Presentase (%)
1 1–4 4 80,00
2 >4 1 20,00
Total 5 100,00
Sumber : Data primer diolah, 2018
Melihat data tersebut di atas menunjukan keadaan tanggungan keluarga
responden umumnya masih cukup memadai dalam melakukan kegiatan usahanya.

c. Karakteristik Informan Berdasarkan Pengalaman Usahatani


Pengalaman usahatani merupakan salah satu faktor yang sangat mendukung
dalam salah satu kegiatan usaha, karena orang yang memiliki pengalaman berusaha
lebih mudah mengatasi berbagai masalah yang timbul dalam suatu kegiatan usaha.
Menurut Soeharjo dan Patong (1984), bahwa pengalaman berusahatani akan
dikatakan berpengalaman apabila sudah menggeluti usahanya selama 5-10 tahun,
sedangkan sepuluh tahun ke atas dikategorikan berpengalaman dan kurang dari 5
tahun dikategorikan kurang berpengalaman. Untuk lebih jelasnya pengalaman
usahatani dapat dilihat pada Tabel berikut ini:
Tabel 3. Karakteristik Informan Berdasarkan Pengalaman Usahatani di Desa
Oengkapala Kecamatan Wakorumba Utara Kabupaten Buton Utara Tahun
2018
No Pengalaman Usaha Jumlah Penduduk Presentase (%)
1 5 – 10 3 60,00
2 11 – 20 2 40,00
Total 5 100,00
Sumber : Data primer diolah, 2018
Berdasarkan tabel 3, menunjukan bahwa pengolah kopra di Desa
Oengkapala mempunyai pengalaman yang sangat baik dalam bercocok tanam
sehingga dengan pengalaman tersebut dapat menjadi acuan bagi mereka agar
lebih giat lagi untuk terus meningkatkan produksinya sehingga kebutuhan akan
kopra terpenuhi.
d. Luas lahan garapan
Lahan merupakan sebidang tanah yang digarap untuk menghasilkan produksi
dibidang pertanian. Luas lahan menentukan dalam pengambilan keputusan seorang
petani dalam melaksanakan kegiatan usahanya. Luas lahan garapan yang dapat
diusahakan dan dikelola dengan baik oleh seorang petani akan berpengaruh

286
Vol. 3 No. 2. pp. 283-301. Jurnal BUSINESS UHO: Jurnal Administras Bisnis. July 2018. Faculty
of Social and Political Sciences, Halu Oleo University Kendari. Southeast Sulawesi. Indonesia.
ISSN 2503-1406. Open Access At. Ojs.uho.ac.id/index.php.BUSINESSUHO.

terhadap jumlah produksi yang dihasilkan, dengan asumsi bahwa semakin luas
lahan yang digarap dengan baik maka akan memberikan hasil yang semakin baik
pula.
Adapun luas lahan yang dimaksud adalah luas lahan yang diusahan pengolah
kopra untuk pertanaman kelapa. Mengenai luas lahan garapan dapat dilihat pada
tabel berikut:

Tabel 4. Luas Lahan Informan di Desa Oengkapala Kecamatan Wakorumba Utara


Kabupaten Buton Utara Tahun 2018
No Luas Lahan (Ha) Jumlah Penduduk Presentase (%)
1 0,5 – 1 3 60,00
2 1,5 – 2 2 40,00
Total 5 100,00
Sumber : Data primer diolah, 2018
Berdasarkan tabel 4, bahwa 3 Informan pengolah Kopra mempunyai luas
lahan rata-rata 0,5 – 1 ha atau 60,00%, dan 2 informan perajin kopra mempunyai
luas lahan rata-rata 1,5 – 2 ha atau 60,00%. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa luas lahan yang digarap sudah cukup memadai sehingga diharapkan dapat
memperoleh produksi yang cukup tinggi yang berarti pula dapat meningkatkan
pendapatan keluarganya.
Melakukan suatu usaha maka seseorang pengusaha akan berpikir bagaimana
cara yang dilakukan agar memperoleh produksi yang maksimal dan pendapatan
yang tinggi guna menutupi biaya-biaya yang dikeluarkan. salah satu ukuran
keberhasilan perajin kopra dalam berusahatani adalah adanya kenaikan produksi
yang diperoleh daru usahanya, sebagaimana imbalan dari kegiatan usahanya pada
luas lahan dan jangka waktu tertentu. besarnya hasil yang diperoleh dan harga jual
dari masing-masing komoditi akan sangat berpengaruh terhadap penerimaan
perajin kopra. Dalam penelitian ini yang dimaksud produksi adalah jumlah kopra
yang diperoleh dalam jangka waktu satu waktu tertentu mengenai tingkat produksi
kopra dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 5. Data Jumlah Tingkat Produksi Kopra Informan di Desa Oengkapala


Kecamatan Wakorumba Utara Kabupaten Buton Utara Tahun 2018
No Tingat Poduksi (Kg/Ha) Jiwa Presentase (%)
1 1.000 – 1.900 1 20,00
2 2.000 – 2.900 1 20,00
3 >3.000 3 60,00
Total 5 100,00
Sumber : Data primer diolah, 2018
Berdasarkan tabel 5, dapat disimpulkan bahwa informan sudah mempunyai
produksi yang cukuptinggidari luas lahan yang dimiliki serta jumlah pohon kelapa
yang produktif, produksi kopra tersebut masih dapat ditingkatkan lagi karena
produksi kopra yang baik adalah umur 15 – 25 tahun sebesar 2.300 kg/ha/tahun.

287
Vol. 3 No. 2. pp. 283-301. Jurnal BUSINESS UHO: Jurnal Administras Bisnis. July 2018. Faculty
of Social and Political Sciences, Halu Oleo University Kendari. Southeast Sulawesi. Indonesia.
ISSN 2503-1406. Open Access At. Ojs.uho.ac.id/index.php.BUSINESSUHO.

e. Status Kepemilikan Tanah


Status yang digarap seorang petani mempengaruhi jumlah produk yang diperoleh
petani penggarap dan pada akhirnya akan mempengaruhi jumlah bagian hasil
produk yang dapat dijual petani.
Dari hasil wawancara yang dilakukan terhadap perajin kopra diperoleh data
bahwa pengolah kopra pada saat penelitian ini berlangsung keseluruhannya
merupakan hak milik informan dengan demikian seluruh informan atau pengolah
kopra berstatus sebagai petani “pemilik dan penggarap”.

2. Analisis Tataniaga Kopra


Tataniaga seringkali menjadi kunci keberhasilan pengembangan komoditas
pertanian dan menjadi syarat mutlak yang diperlukan dalam pembangunan
pertanian. Tataniaga dapat menciptakan nilai tambah melalui guna tempat, guna
bentuk dan guna waktu. Namun yang terjadi, tidak jarang produksi yang tinggi
masih membawa kerugian yang tidak kecil bagi petani, karena tidak terjualnya
produk-produk pertanian. Kalaupun terjual petani mendapatkan harga yang kurang
layak.
a. Saluran Tataniaga
Saluran pemasaran kopra di daerah penelitian terdapat 2 saluran tataniaga,
mulai dari produsen ke pedagang pengumpul hingga kepada konsumen dan mulai
dari produsen langsung kepada konsumen. Kedua saluran ini memiliki tujuan yang
sama yaitu mendistribusikan kopra sampai ke konsumen. Berdasarkan hasil
penelitian maka skema saluran tataniaga kopra di Desa Oengkapala dapat
digambarkan sebagai berikut:

Dari skema di atas diketahui bahwa terdapat dua saluran pemasaran kopra di
Desa Oengkapala. Untuk lebih rinci, saluran pemasaran dapat dilihat pada bahasan
berikut:
1) Saluran Pemasaran I
Pada saluran I, pengolah kopra menjual kopranya ke pedagang pengumpul
kemudian pedagang pengumpul langsung menjualnya ke pedagang besar. pengolah
kopra menjual ke pedagang pengumpul yang ada di Desa Oengkapala dengan
sistem menunggu yaitu pedagang pengumpul datang ke tempat pengolahan untuk
membeli kopra. Pedagang pengumpul membeli kopra dengan harga Rp. 4.300/kg.
2) Saluran Pemasaran II

288
Vol. 3 No. 2. pp. 283-301. Jurnal BUSINESS UHO: Jurnal Administras Bisnis. July 2018. Faculty
of Social and Political Sciences, Halu Oleo University Kendari. Southeast Sulawesi. Indonesia.
ISSN 2503-1406. Open Access At. Ojs.uho.ac.id/index.php.BUSINESSUHO.

Pada saluran II, pengolah kopra mengolah sendiri kelapa kupas sampai
menjadi kopra yang kemudian langsung dijual kepada pedagang besar atau kilang
minyak. pengolah kopra tidak menjual kelapa kupas namun langsung menjual
kopra dengan harga Rp. 5.200/kg.
Dalam pelaksanaan fungsi pemasaran kopra di wilayah penelitian, para
pengolah kopra sebenarnya dapat meningkatkan keuntungannya dengan melakukan
fungsi-fungsi tataniaga / pemasaran yang sebenarnya dapat ditanggulangi oleh para
pengolah kopra itu sendiri, yaitu melakukan kerjasama dalam kegiatan pemasaran,
perajin dapat memperbear volume penjualan mereka sehingga akan menekankan
biaya-biaya pemasaran yang digunakan serta untuk memperoleh kualitas kopra
yang baik merupakan standar mutu oleh pedagang besar.

b. Lembaga Tataniaga
Mengenai harga dan jumlah pengolah Kopra yang menjual hasil produksinya
pada masing-masing lembaga pemasaran dapat dilihat pada tabel berikut ini:
Tabel 6. Harga Kopra Dan Jumlah Informan Yang Memasarkan Pada Tiap
Lembaga Pemasaran Di Desa Oengkapala Kecamatan Wakorumba Utara
Kabupaten Buton Utara Tahun 2018
Presentase
Harga (Rp/Kg) Jiwa
Lembaga (%)
No
Pemasaran Musim Musim Panen
Panen I II
1. Pedagang 4.000 4.300 4 80,00
Pengumpul
2. Pedagang Besar 5.000 5.200 1 20,00
Jumlah 5 100,00
Sumber : Data primer diolah, 2018
Tabel 7. Jumlah Informan Yang Memasarkan Pada Tiap Lembaga Pemasaran Di
Desa Oengkapala Kecamatan Wakorumba Utara Kabupaten Buton Utara
Tahun 2018
Presentase
Lembaga Tataniaga
(%)
No Nama Pengolah Kopra
Pedagang Pedagang
Pengumpul Besar
1 Abdul Mutalib PD - 20%
2 Firmansyah PD - 20%
3 Safiruddin PD - 20%
4 La Dahili PD - 20%
5 La Payo - PB 20%
Jumlah 4 1 100%
Sumber : Data primer diolah, 2018
Berdasarkan tabel 7 menunjukan bahwa 5 informan terdapat 4 orang yang
menggunakan lembaga pemasaran melalui pedagang pengumpul dan 1 informan
yang menggunakan lembaga pemasaran melalui pedagang besar. Harga pembelian
kopra cukup tinggi terjadi pada musim panen II pada pedagang besar yaitu Rp
5.200, sedangkan melalui pedagang pengumpul harga yang diperoleh lebih rendah

289
Vol. 3 No. 2. pp. 283-301. Jurnal BUSINESS UHO: Jurnal Administras Bisnis. July 2018. Faculty
of Social and Political Sciences, Halu Oleo University Kendari. Southeast Sulawesi. Indonesia.
ISSN 2503-1406. Open Access At. Ojs.uho.ac.id/index.php.BUSINESSUHO.

yaitu sebesar Rp. 4.300. sedangkan pada musim panen I harga kopra relatif
menurun pada pedagang besar sebesar Rp. 4000 dan pada pedagang pengumpul
yaitu Rp. 5.000.
Berdasarkan hasil Penelitian pada tabel 11 menunjukan ke empat informan
perajin kopra lebih banyak memilih menjual hasil produksi kopranya pada
pedagang pengumpul sedangkan satu informan memilih menjual hasil produksi
kopranya pada pedagang besar. Pada tabel di atas terlihat bahwa informan lebih
memilih penjualan kopra kepada pedagang pengumpul. Hal ini disebabkan karena
tingginya biaya pemasaran yang akan digunakan oleh pengolah kopra jika mereka
menjual kopranya pada pedagang besar.
3. Analisis Bauran Pemasaran (Marketing Mix)
Menurut Kotler (2002;17-18) bauran pemasaran dapat diklasifikasikan
menjadi 4P (Product, Price, Place, Promotion). Untuk lebih jelasnya, penulis akan
membahas secara singkat mengenai keempat elemen bauran pemasaran antara lain
sebagai berikut:
1. Produk ( Product )
Produk yang dihasilkan oleh perusahaan pengolahan yaitu kelapa kering
menjadi produk akhir berupa kopra. Produk akhir tersebut dikemas dalam karung
goni, dan siap diangkut oleh pedagang pengumpul atau disalurkan ke pedagang
besar. Adapun cara proses produksi kelapa menjadi kopra di Desa Oengkapala:
a. Peralatan Pengolahan Kopra
Peralatan merupakan suatu bagian yang sangat penting dalam setiap
kegiatan karena dapat mempermudah petani dalam melakukan pengolahan kopra
baik secara manual maupun menggunakan mesin. Adapun jenis-jenis alat yang
digunakan yaitu:
1. Parang merupakan alat yang digunakan untuk melakukan pemanjatan, agar
dengan mudah untuk menjatuhkan buah kelapa, selain itu parang digunakan
untuk membelah kelapa.
2. Sula/ alat Pencungkil merupakan alat yang digunakan untuk mencungkil
kelapa atau pemisahan antara daging kelapa dengan tempurung kelapa
sehingga mempermudah dalam melakukan pengasapan.
3. Gerobak kayu merupakan alat yang digunakan untuk melakukan
pengumpulan buah kelapa yang sudah selesai dipanjat.
4. Terpal merupakan alat yang digunakan untuk menghalangi angin
sehingga dapat mempercepat pengeringan selain itu terpal digunakan untuk
menutupi kopra (kelapa olahan) agar agar terlindung dari air hujan.
5. Bangku merupakan alat yang digunakan sebagai tempat duduk agar
mempermudah dalam melakukan proses pencungkilan daging kelapa dan
pembelahan kelapa.
6. Rumah-rumahan pemanggangan kopra yaitu tempat proses pengolahan buah
kelapa menjadi kopra.
1. Proses Produksi kopra
Bahan dasar pembuatan kopra adalah daging buah kelapa. Pada umur 160
hari daging buah (endosperm) mulai terbentuk, pada umur 300 hari mencapai
maksimal, dan pada umur 12 bulan buah menjadi masak.
Berdasarkan hasil penelitian di Desa oengkapala Adapun proses pembuatan
kopra sebagai berikut:

290
Vol. 3 No. 2. pp. 283-301. Jurnal BUSINESS UHO: Jurnal Administras Bisnis. July 2018. Faculty
of Social and Political Sciences, Halu Oleo University Kendari. Southeast Sulawesi. Indonesia.
ISSN 2503-1406. Open Access At. Ojs.uho.ac.id/index.php.BUSINESSUHO.

a. Pemetikan buah kelapa


Menyediaan buah kelapa merupakan hal yang pertama, hal ini sangat penting
karena kelapa sebagai bahan baku utama dalam proses pengolahan kopra. bahan
baku berasal dari kelapa yang sudah dipanjat kemudian dikumpulka seperti gambar
1 di atas agar mempermudah melakukan pembelahan. Ada dua cara pemetikan
buah kelapa yaitu
1. Menanti buah jatuh sendiri
2. Buah sengaja dipetik.
Pemetikan buah kelapa dilakukan selama 2 sampai 3 hari. Produksi buah
kelapa rata-rata untuk setiap pohon adalah 40-60 butir kelapa per pohon, produksi
buah kelapa terbaik atau teringgi adalah 80 butir per pohon, serta produksi buah
kelapa yang paling jelek atau sangat jelek adalah 0 – 20 buah kelapa per pohon.
b. Pengangkutan bahan
Hasil pemetikan harus segera dibawa ketempat pembuatan proses
pengangkutan bahan dilakukan selama 1 hari setelah pemetikan kelapa. Lama
waktu setelah pembelahan berpengaruh terhadap kerusakan yang ditimbulkan
sebelum pengeringan, serta mutu kopra. Semakin lama jarak waktu antara
pembelahan dan pengeringan akan meningkatkan jumlah dan persentase kopra
yang bermutu rendah / berwarna merah kemerahan dan merah hitam.
c. Penghilangan sabut dan pembelahan buah
Tujuan penghilangan sabut dan pembelahan pengolahan kopra di Desa
Oengkapala adalah untuk memudahkan proses selanjutnya sekaligus mengeluarkan
air buah dan memudahkan proses pencungkilan. Setelah air menetes habis, harus
seger dikeringkan.
Dari pembuatan kopra dihasilkan limbah berupa air kelapa, sabut kelapa
/serabut kelapa dan tempurung kelapa / batok kelapa. Tempurung atau batok kelapa
dapat dimanfaatkan menjadi aneka barang kerajinan rumah tangga, meskipun
banyak juga yang hanya memanfaatkannya untuk bahan bakar pembuatan kopra.
3. Pemanggangan / Pengasapan
Berdasarkan hasil penelitian di Desa Oengkapala bahwa proses pengeringan
daging buah kelapa menjadi kopra dilakukan dengan beberapa cara yaitu
menggunakan sinar matahari dan pengasapan, tetapi yang sering dilakukan yaitu
menggunakan cara pengasapan atau pemanggangan. hal ini dilakukan karena
merupakan cara yang paling mudah dan tidak merepotkan perajin kopra ketika
terjadi hujan. Dengan cara ini, daging buah akan kontak langsung dengan gas-gas
yang timbul dari pembakaran dalam dapur api, dengan ciri khas berbau asap
dengan pemukaan berwarna putih kecoklatan. Contoh model alat pengeringan ini
yaitu rak-rak bambu dengan dinding terbuat dari daun-daun kelapa. Model
pengeringan ini merupakan alat pengeringan buatan paling sederhana. Bahan bakar
menggunakan temputung kering dan sabut kelapa.
4. Pencungkilan
Pencungkilan adalah proses pemisahan antara daging kelapa dengan
tempurung kelapa. hal ini dilakukan agar mempermudah dalam melakukan proses
pengeringan. Proses pencungkilan ini dilakukan selama beberapa hari sekitar 2
sampai 4 hari.
5. Kopra di cincang

291
Vol. 3 No. 2. pp. 283-301. Jurnal BUSINESS UHO: Jurnal Administras Bisnis. July 2018. Faculty
of Social and Political Sciences, Halu Oleo University Kendari. Southeast Sulawesi. Indonesia.
ISSN 2503-1406. Open Access At. Ojs.uho.ac.id/index.php.BUSINESSUHO.

Setelah proses pencungkilan kopra di cincang agar lebih efisien dan mudah
di simpan di masukan ke dalam karung Produk Kopra siap di pasarkan. berikut
strukrur proses pembuatan kelapa menjadi kopra :

Pemetikan Buah Kelapa

Pengangkutan Bahan

Penghilangan Sabut dan Pembelahan Kelapa

Pemanggangan / Pengasapan

Pemanggangan / Pengasapan

Pencungkilan

Kopra

b. Harga ( Price )
Harga jual untuk produk olahan kopra yaitu ditetapkan sesuai dengan asumsi
pada saluran I yaitu Rp 4.300 /Kg sedangkan pada saluran II yaitu sebesar Rp
5.200 /Kg. Penetapan harga tersebut merupakan penetapan harga berdasarkan yang
sudah di oleh pemerintah dan tergantung pada permainan tengkulak yang tetapkan
oleh masing-masing lembaga dan konsumen akhir. Harga tersebut dimaksudkan
juga untuk memperoleh pasar yang lebih baik sebagai strategi harga oleh
perusahaan.
c. Tempat ( Place )
Tempat produksi kopra berlokasi di Desa Oengkapala biasanya diproduksi di
lahan atau kebun kelapa. Sedangkan produk akan didistribusikan untuk memenuhi
pasar Jabodetabek dan sekitarnya utamanya. Hal tersebut karena Jabodetabek
terutama kendari mempunyai pasar yang ramai sesuai dengan peluang pasar.
Produk dapat didistribusikan dengan menggunakan beberapa cara yaitu pengiriman
dari perusahaan atau dengan pihak distributor mendatangi perusahaan.
d. Promosi ( Promotion )
Berdasarkan hasil penelitian Proses pemasaran yang mencakup kegiatan
promosi dapat dilakukan dengan cara pengolah kopra mendatangi sendiri pedagang
besar dan pedagang pengumpul atau lewat alat komunikasi Handphone/HP
langsung menghubungi pedagang pengumpul. Komunitas usaha sejenis, yaitu
pengolahan kelapa, merupakan komunitas yang baik sebagai awal pemasaran dan
juga sebagai sumber informasi bagi perusahaan. Berdasarkan hasil observasi,
komunitas usaha jenis kelapa belum terbentuk, namun komunitas yang
berhubungan dengan agribisnis kelapa cukup banyak. Komunitas tersebut antara
lain Perkosmi (Persatuan Perusahaan Kosmetika Indonesia) dan The Green Coco

292
Vol. 3 No. 2. pp. 283-301. Jurnal BUSINESS UHO: Jurnal Administras Bisnis. July 2018. Faculty
of Social and Political Sciences, Halu Oleo University Kendari. Southeast Sulawesi. Indonesia.
ISSN 2503-1406. Open Access At. Ojs.uho.ac.id/index.php.BUSINESSUHO.

Island. Hal tersebut cukup berguna untuk menjaga pemasaran produk dan bukan
hanya saat pengenalan saja.
Informasi pasar sangat berguna untuk mengetahui keadaan produk yang
bersangkutan sehingga petani, pedagang dan konsumen dapat mengetahui harga
dan situasi pasar. Bagi petani ini berfungsi untuk mengetahui berapa harga jual
hasil produksi pada saat itu sehingga petani tidak akan tertipu oleh situasi pasar.
Akan tetapi keadaan ini masih sulit dilakukan, informasi pasar ini sering terlambat
sampai ke petani. Kebanyakan para pedagang masih cenderung dapat menekan
harga sesuai dengan kesepakatan diantara pedagang dan keadaan daerah-daerah
pasarnya. Dengan demikian kekuatan tawar menawar petani masih rendah.

3. Analisis Biaya Produksi dan Pendapatan


a. Penerimaan Pengolah Kopra
Analisis penerimaan ini akan menjelaskan mengenai tingkat pendapatam
pengolah kopra di Desa Oengkapala Kecamatan Wakorumba Utara Kabupaten
Buton Utara. Selain memberikan penjelasan mengenai jumlah pendapatan bersih
pengolah kopra, juga akan dijelaskan jumlah hasil pendapatan dalam satu bulan,
serta jumlah biaya yang dikeluarkan pengolah kopra dalam selama dua musim
panen. Untuk lebih jelasnya dapat total penerimaan produksi kopra dapat dilihat
pada tabel sebagai berikut:
Tabel 8. Total Peneriman Produksi Kopra Pada Musim Panen I di Desa
Oengkapala, Tahun 2018
Jumlah
Nama Pengolah Total Penerimaan
No Produksi (Kg) Harga /Kg
Kopra (Kg/Rp)
1 Abdul Mutalib 1.000 4.000 4.000.000
2 Firmansyah 900 4.000 3.880.000
3 Safiruddin 800 4.000 3.200.000
4 La Dahili 1.100 4.000 4.400.000
5 La Payo 1.500 5.000 7.500.000
Jumlah 5.300 - 22.980.000
RataRata 1.060 - 4.596.000
Sumber : Data primer diolah, 2018
Tabel 9. Total Penerimaan Produksi Kopra Pada Musim Panen II di Desa
Oengkapala, Tahun 2018
Jumlah
Nama Pengolah Total Penerimaan
No Produksi (Kg) Harga /Kg
Kopra (Kg/Rp)
1 Abdul Mutalib 1.200 4.300 5.160.000
2 Firmansyah 980 4.300 4.214.000
3 Safiruddin 900 4.300 3.870.000
4 La Dahili 1200 4.300 5.160.000
5 La Payo 1600 5.200 8.320.000
Jumlah 5.880 - 26.724.000
RataRata 1.176 - 5.344.800
Sumber : Data primer diolah, 2018
Berdasarkan tabel 9 dapat dijelaskan bahwa pada musim panen I total
penerimaan masing-masing informan pengolah kopra di Desa Oengkapala

293
Vol. 3 No. 2. pp. 283-301. Jurnal BUSINESS UHO: Jurnal Administras Bisnis. July 2018. Faculty
of Social and Political Sciences, Halu Oleo University Kendari. Southeast Sulawesi. Indonesia.
ISSN 2503-1406. Open Access At. Ojs.uho.ac.id/index.php.BUSINESSUHO.

Kecamatan Wakorumba Utara Kabupaten Buton Utara mempunyai total


penerimaan yang berbeda-beda. Penerimaan tertinggi pada jumlah produksi kopra
pada musim panen I yaitu diperoleh Bapak La Payo sebesar Rp. 7.500.000 dan
penerimaan terendah adalah Bapak Safiruddin sebesar Rp. 3.200.000.
Kemudian Berdasarkan tabel 13 menunjukan bahwa pada musim panen II
total penerimaan produksi kopra mengalami peningkatan. Penerimaan terbesar
pada jumlah produksi kopra diperoleh bapak La payo Rp. 8.320.000, sedangkan
penerimaan terendah kepada Bapak firmansyah dan syafiruddin adalah sebesar Rp.
3.870.000. Perbedaan ini disebabkan antara lain besarnya biaya-biaya yang
dieluarkan dalam prosess produksi kopra dan perbedaan harga jual kopra serta
perbedaan besarnya hasil produksi kopra masing-masing perajin kopra.
b. Biaya Produksi
Biaya adalah semua pengeluaran untuk memperoleh faktor-faktor produksi
dan bahan penunjang lainnya yang akan digunakan agar produk-produk tertentu
yang telah direncanakan dapat terwujud dengan baik. Selanjutanya produksi adalah
suatu proses pendayagunaan sumber-sumber yang telah tersedia dengan
mengharapkan sumber-sumber yang telah dengan mengharapkan hasil yang lebih
besar dari semua pengorbanan yang telah dikeluarkan.
Jumlah uang yang dikeluarkan oleh produsen (perajin kopra) untuk
membayar input suatufaktor produksi (total cost). Besar kecilnya tergantung
banyak sedikitnya input dan tinggi rendahnya harga input yang digunakan. Jumlah
dan harga input tergantung banyak sedikitnya output (barang atau jasa) yang
diproduksi oleh produsen. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa jumlah biaya
produksi dipengaruhi oleh jumlah output. Ada dua komponen biaya dalam
produksi yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap terdiri dari biaya alat
produksi dan biaya penyusutan alat produksi. Biaya tetap dalam pengolahan kopra
diperhitungkan sebagai penyusutan kemampuan kerja dari alat-alat produksi yang
digunakan dalam memproduksi kopra meliputi biaya bahan baku serta tenaga luar
keluarga. Hal ini dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 10 Total Komponen Biaya Informan Produksi Biaya Produksi Kopra di
Desa Oengkapala Kecamatan Wakorumba Utara Kabupaten Buton Utara
Musim Panen I Musim Panen II
No Komponen Biaya Komponen Biaya
(Rp) (Rp)

1. Biaya Variabel Pembersihan Lahan 375.000


Pengupasan 1.950.000 1.200.000
Transportasi 900.000 950.000
Tali Rafia 25.000 25.000
Sub Total Biaya Variabel (Rp) 2.875.000 2.550.000
2. Biaya Tetap
Biaya Penyusutan Gerobak Kayu 200.000
Terpal 300.000 600.000
Parang 200.000 100.000
Sula/ Alat Pengupas 200.000
Kelapa
Arko 500.000
Pencungkil Kelapa 200.000
Sub Total Biaya Tetap (Rp) 1.800.000 1.100.000
Sumber : Data primer diolah, 2018

294
Vol. 3 No. 2. pp. 283-301. Jurnal BUSINESS UHO: Jurnal Administras Bisnis. July 2018. Faculty
of Social and Political Sciences, Halu Oleo University Kendari. Southeast Sulawesi. Indonesia.
ISSN 2503-1406. Open Access At. Ojs.uho.ac.id/index.php.BUSINESSUHO.

Berdasarkan tabel 14 di ketahui total biaya produksi kopra di Desa


Oengkapala bahwa biaya variabel produksi kopra pada musim Panen I dan musim
panen II lebih tinggi dibanding biaya penyusutan produksi Kopra.
1. Biaya variabel total (total variabel cost/ TVC)
Biaya variabel total merupakan sejumlah pengeluaran yang secara langsung
dilibatkan dalam proses produksi, sehingga jumlahnya biasanya ditentukan oleh
besar kecilnya produksi. Untuk megetahui besarnya biaya variabel yang digunakan
pengolah kopra di Desa Oengkapala dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 11. Jumlah Biaya Variabel (TVC) Informan Di Desa Oengkapala, Tahun
2018
Nama Pengolah Kopra No Total Biaya Variabel (TVC)
MP I MP II
Abdul Mutalib 1 440.000 530.000
Firmansyah 2 405.000 480.000
Safiruddin 3 390.000 180.000
La Dahili 4 555.000 630.000
La Payo 5 1.085.000 730.000
Jumlah 2.875.000 2.550.000
Rata-rata 575.000 510.000
Sumber : Data primer diolah, 2018
Berdasarkan tabel 11 menunjukan bahwa (TVC) atau biaya variabel adalah
biaya yang dikeluarkan oleh pengolah kopra yang dapat berubah sesuai dengan
kebutuhan informan. Adapun biaya variabel yang dikeluarkan oleh informan
perajin kopra pada musim panem I yang tertinggi kepada Bapak La payo berupa
total biaya pembersihan lahan, biaya pengupasan, biaya transportasi, dan biaya-
biaya lainnya sebesar Rp. 1.085.000 dan biaya terendah kepada Bapak Safiruddin
yaitu Rp. 390.000 dengan total rata-rata sebesar Rp. 575.000 sedangkan pada
musim panen II biaya variabel yang di keluarkan oleh informan perajin kopra yang
tertinggi kepada informan yang sama yaitu Bapak La payo sebesar Rp. 730.000
dan terendah kepada Bapak Safiruddin yaitu Rp. 180.000 dengan total rata-rata
sebesar Rp. 510.000.
2. Biaya Tetap Total (Total Fixet Cast/ TFC)
Biaya tetap (TFC) adalah sejumlah pengeluaran yang tidak secara langsung
dilibatkan dalam kegiatan produksi, akan tetapi masih merupakan bagian dari biaya
produksi. Dengan demikian, biaya tetap juga ikut menentukan besar kecilnya
pendapatan yang diterima oleh pengolah kopra. Untuk mengetahui besar kecilnya
biaya tetap (TFC) yang digunakan P pengolah Kopra di Desa Oengkapal dapat
dilihat pada tabel berikut.

295
Vol. 3 No. 2. pp. 283-301. Jurnal BUSINESS UHO: Jurnal Administras Bisnis. July 2018. Faculty
of Social and Political Sciences, Halu Oleo University Kendari. Southeast Sulawesi. Indonesia.
ISSN 2503-1406. Open Access At. Ojs.uho.ac.id/index.php.BUSINESSUHO.

Tabel 12. Jumlah Biaya Tetap (TVC) Pada Musim panen I dan Musim Panen II
Informan Di Desa Oengkapala, Tahun 2018
Total Biaya Tetap (TFC)
No Nama Pengolah Kopra
MP I MP II
1 Abdul Mutalib 300.000 200.000
2 Firmansyah - -
3 Safiruddin 500.000 100.000
4 La Dahili 200.000 100.000
5 La Payo 300.000 450.000
Jumlah 1.300.000 950.000
Rata-rata 260.000 190.000
Sumber : Data primer diolah, 2018

Berdasarkan tabel di atas maka dapat dilihat bahwa biaya tetap (TFC) adalah
jumlah biaya-biaya yang di keluarkan oleh perajin kopra. Biaya ini meliputi biaya
penyusutan peralatan yang digunakan oleh informan. Pada musim panen I jumblah
biaya penyusutan yang tertinggi di peroleh Bapak Safiruddin sebesar Rp. 500.000
dan musim panen II Biaya tetap total (TFC) jumlah biaya penyusutan yang
tertinggi yakni diperoleh Bapak La Payo sebesar Rp. 450.000, sedangkan yang
tidak mengeluarkan biaya penyusutan yaitu Bapak Firmansyah.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa informan pengolah kopra tidak terlalu
banyak menggunakan biaya tetap (penyusutan) dalam pengolahan kopra, ini
disebabkan karena setiap peralatan yang rusak akan diganti dengan peralatan baru
sesuai dengan kebutuhan informan perajin kopra. Oleh karena itu biaya peralatan
akan muncul pada saat peralatan yang digunakan rusak.

Pendapatan Bersih pengolah Kopra


Pendapatan merupakan selisih antara penerimaan dengan semua biaya atau
total biaya produksi. Menurut Sukino (2002) pendapatan total usaha kopra
(pendapatan bersih) adalah selisih penerimaan total denga biaya total yang
dikeluarkan dalam proses produksi, dimana semua input yang dimiliki keluarga
dihitung sebagai biaya produksi.
Untuk lebih jelasnya mengenai jumlah pendapatan bersih yang dikeluarkan
informan pengolah kopra pada musim panen I dan musim panen II dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 13. Jumlah Pendapatan Bersih Informan pengolah Kopra Musim Panen I
Desa Oengkapala, Tahun 2018
Total Pendapatan (TR) Total Biaya (TC) Pendapatan Bersih
No Nama Pengolah Kopra
(Rp) (Rp) (Rp)
1 Abdul Mutalib 4.000.000 740.000 3.260.000
2 Firmansyah 3.880.000 405.000 3.475.000
3 Safiruddin 3.200.000 890.000 2.310.000
4 La Dahili 4.400.000 755.000 3.645.000
5 La Payo 7.500.000 1.385.000 6.115.000
Jumlah 22.980.000 4.175.000 18.805.000
Rata-rata 4.596.000 835.000 3.761.600

296
Vol. 3 No. 2. pp. 283-301. Jurnal BUSINESS UHO: Jurnal Administras Bisnis. July 2018. Faculty
of Social and Political Sciences, Halu Oleo University Kendari. Southeast Sulawesi. Indonesia.
ISSN 2503-1406. Open Access At. Ojs.uho.ac.id/index.php.BUSINESSUHO.

Sumber : Data primer diolah, 2018


Tabel 14. Jumlah Pendapatan Bersih Informan Perajin Kopra Musim Panen II
Desa Oengkapala, Tahun 2018
N Nama Pengolah Kopra Total Pendapatan (TR) Total Biaya (TC) Pendapatan Bersih
o (Rp) (Rp) (Rp)
1 Abdul Mutalib 5.160.000 730.000 4.430.000
2 Firmansyah 4.214.000 480.000 3.734.000
3 Safiruddin 3.870.000 280.000 3.590.000
4 La Dahili 5.160.000 730.000 4.430.000
5 La Payo 8.320.000 1.180.000 7.140.000
Jumlah 26.724.000 3.400.000 23.324.000
Rata-rata 5.344.800 680.000 4.664.800
Sumber : Data primer diolah, 2018
Dari tabel 14 menunjukkan pendapatan bersih yang diterima oleh pengolah
kopra di Desa Oengkapala. Dari kelima informan pengolah kopra yang menjadi
informan penulis, maka jumlah pendapatan bersih pada musim panen I yang paling
tinggi di peroleh Bapak La Payo sebesar Rp. 6.115.000 dan pendapatan bersih
yang sedang diperoleh Bapak La Dahili sebesar 3.645.000 dan Bapak Firmansyah
sebesar Rp. 3.475.000, selanjutnya Bapak Abdul Mutalib sebesar Rp. 3.475.000
sedangkan pendapatan bersih yang terendah adalah Bapak Safiruddin sebesar Rp.
2.310.000. Pendapatan bersih diperoleh dari keuntungan penjualan yang diterima
pengolah kopra dikurangi dengan biaya-biaya-biaya produksi kopra.
Kemudian pada tabel 18 jumlah pendapatan bersih musim panen II
mengalami peningkatan, dengan jumlah yang tertinggi diperoleh pengolah kopra
masih diperoleh kepada Bapak La Payo sebesar Rp. 7.140.000 dan pendapatan
bersih yang sama diperoleh Bapak Abdul Mutalib dan Bapak La Dahili sebesar
Rp. 4.430.000 selanjutnya Bapak Firmansyah sebesar Rp. 3.734.000 dan
pendapatan bersih terendah adalah diperoleh Bapak safiruddin sebesar Rp
2.590.000. perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan besar hasilnya produksi
kopra masing-masing informan perajin kopra dan biaya-biaya yang dikeluarkan
dalam usaha tataniaga kopra. Dan untuk menghitung tenaga kerja yang digunakan
pengolah kopra di Desa Oengkapal secara matematis masih menggunakan tenaga
kerja yang digunakan oleh pengolah kopra yang menjadi informan penulis adalah
keluarga sendiri sehingga sulit untuk menghitung biaya tenaga kerja.

III. Pembahasan
1. Analisi Usaha Tataniaga Kopra Dalam Meningkatkan Pendapatan
Keluarga Di Desa Oengkapala
Menurut Kotler (2002), saluran tataniaga adalah serangkaian lembaga yang
melakukan semua fungsi yang digunakan untuk menyalurkan produk dan status
kepemilikannya dari produsen ke konsumen. Produsen memiliki peranan utama
dalam menghasilkan barang-barang dan sering melakukan sebagian kegiatan
pemasaran, sementara itu pedagang menyalurkan komoditas dalam waktu, tempat,
bentuk yang diinginkan konsumen. Hal ini berarti bahwa saluran tataniaga yang
berbeda akan memberikan keuntungan yang berbeda pula kepada masing-masing
lembaga yang terlibat dalam kegiatan tataniaga tersebut.
Berdasarkan hasil penelitian Saluran pemasaran kopra di daerah penelitian
terdapat 2 saluran tataniaga, mulai dari produsen ke pedagang pengumpul hingga
kepada konsumen dan mulai dari produsen langsung kepada konsumen. Kedua

297
Vol. 3 No. 2. pp. 283-301. Jurnal BUSINESS UHO: Jurnal Administras Bisnis. July 2018. Faculty
of Social and Political Sciences, Halu Oleo University Kendari. Southeast Sulawesi. Indonesia.
ISSN 2503-1406. Open Access At. Ojs.uho.ac.id/index.php.BUSINESSUHO.

saluran ini memiliki tujuan yang sama yaitu mendistribusikan kopra sampai ke
konsumen. Berdasarkan hasil penelitian maka skema saluran tataniaga kopra di
Desa Oengkapala dapat digambarkan sebagai berikut:

1) Saluran Pemasaran I
Pemilik kopra Pedagang Pedagang
pengumpul Besar

2) Saluran Pemasaran II

Pemilik kopra Pedagang Besar

Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa 5 informan terdapat 4 orang


yang menggunakan lembaga pemasaran melalui pedagang pengumpul dan 1
informan yang menggunakan lembaga pemasaran melalui pedagang besar. Harga
pembelian kopra cukup tinggi terjadi pada musim panen II pada pedagang besar
yaitu Rp 5.200, sedangkan melalui pedagang pengumpul harga yang diperoleh
lebih rendah yaitu sebesar Rp. 4.300. sedangkan pada musim panen I harga kopra
relatif menurun pada pedagang besar sebesar Rp. 4000 dan pada pedagang
pengumpul yaitu Rp. 5.000.
Kemudian menunjukan ke empat informan perajin kopra lebih banyak
memilih menjual hasil produksi kopranya pada pedagang pengumpul sedangkan
satu informan memilih menjual hasil produksi kopranya pada pedagang besar. Pada
tabel di atas terlihat bahwa informan lebih memilih penjualan kopra kepada
pedagang pengumpul. Hal ini disebabkan karena tingginya biaya pemasaran yang
akan digunakan oleh pengolah kopra jika mereka menjual kopranya pada pedagang
besar.
Menurut Kotler (2002:9), pemasaran sebagai berikut: Pemasaran adalah
suatu proses sosial yang didalamnya individu dan kelompoknya mendapatkan apa
yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan secara
bebas mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain
Berdasarkan hasil penelitian bauran pemasaran ( marketing mix ) di Desa
Oengkapala Kecamatan Wakorumba Utara Kabupaten Buton Utara yaitu dapat
diklasifikasikan menjadi 4P (Product, Price, Place, Promotion)
1. Produk ( produc ) yang dihasilkan oleh perusahaan pengolahan yaitu kelapa
kering menjadi produk akhir berupa kopra
2. Harga ( price ) Harga jual untuk produk olahan kopra yaitu ditetapkan sesuai
dengan asumsi pada saluran I yaitu Rp 4.300 /Kg sedangkan pada saluran II
yaitu sebesar Rp 5.200 /Kg. Penetapan harga tersebut merupakan penetapan
harga berdasarkan yang sudaah di tetapkan oleh masing-masing lembaga dan
konsumen akhir. Harga tersebut dimaksudkan juga untuk memperoleh pasar
yang lebih baik sebagai strategi harga oleh perusahaan.
3. Tempat ( place ) Tempat produksi kopra berlokasi di Desa Oengkapala
biasanya diproduksi di lahan atau kebun kelapa

298
Vol. 3 No. 2. pp. 283-301. Jurnal BUSINESS UHO: Jurnal Administras Bisnis. July 2018. Faculty
of Social and Political Sciences, Halu Oleo University Kendari. Southeast Sulawesi. Indonesia.
ISSN 2503-1406. Open Access At. Ojs.uho.ac.id/index.php.BUSINESSUHO.

4. Promosi ( promotion ) Berdasarkan hasil penelitian Proses pemasaran yang


mencakup kegiatan promosi dapat dilakukan dengan cara pengolah kopra
mendatangi sendiri pedagang besar dan pedagang pengumpul atau langsung
menghubungi pedagang pengumpul
Berdasarkan hasil penelitian di Desa Oengkapal rata-rata berusaha kopra
walaupun yang sifatnya musiman atau tidak bisa dilakukan setiap hari, meskipun
sifatnya musiman, setidaknya pekerjaan musiman itu juga sangat membantu
pengolah kopra dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya. Dan
mereka juga memiliki pekerjaan sampingan selain bertani, seperti ada yang
memiliki usaha kecil-kecilan dan ada yang menjadi buruh bangunan.
Menurut Budiono (2002: 150) mengemukakan bahwa pendapatan bersih
adalah hasil keseluruhan output yang dihasilkan setelah dikurangi biaya-biaya yang
dioergunakan selama kegiatan perekonomian berlangsung. Pendapatan pengolah
kopra antara satu dengan yang lainnya berbeda-beda. Berdasarkan hasil
wawancara, besar kecilnya pendapatan utama yang diperoleh pengolah kopra dari
hasil usahanya tergantung pada banyaknya jumlah produksi dan luas lahan petani.
Jika melihat hasil penelitian dengan perhitungan total biaya-biaya yang
dikeluarkan dan pendapatan bersih pengolah kopra maka peningkatan pendapatan
pengolah kopra dari kelima informan tersebut meningkat dari musim panen I dan
musim panen II. seperti yang kita ketahui jumlah pendapatan bersih pada musim
panen I yang paling tinggi Bapak La Payo sebesar Rp 6.115.000 dan pendapatan
bersih yang sedang diperoleh Bapak La Dahili sebesar Rp. 3.645.000, selanjutnya
Bapak Firmansyah sebesar Rp. 3.475.000, dan Bapak Abdul Mutalib sebesar Rp.
3.260.000 sedangkan pendapatan bersih yang paling rendah adalah Bapak
Safiruddin sebesar Rp. 2.310.000. Pendapatn bersih diperoleh dari keuntungan
penjualan yang diterima pengolah kopra dikurangi dengan biaya-biaya-biaya
produksi kopra.
Kemudian pada tabel 17 pendapatan bersih tertinggi yang diperoleh p
pengolah kopra masih diperoleh kepada Bapak La Payo sebesar Rp. 7.140.000 dan
pendapatan bersih yang sedang diperoleh oleh Bapak Bapak Abdul Mutalib dan
Bapak La Dahili sebesar Rp. 4.430.000 selanjutnya Bapak Firmansyah sebesar Rp.
3.734.000 dan pendapatan bersih yang paling rendah adalah diperoleh Bapak
safiruddin sebesar Rp 2.590.000. perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan
harga kopra pada setiap musim serta perbedaan besar hasilnya produksi kopra
masing-masing informan pengolah kopra dan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam
usaha tataniaga kopra. Dan untuk menghitung tenaga kerja yang digunakan
pengolah kopradi Desa Oengkapal secara matematis masih menggunakan tenaga
kerja yang digunakan oleh pengolah kopra yang menjadi informan penulis adalah
keluarga sendiri sehingga sulit untuk menghitung biaya tenaga kerja.
Jadi besarnya pendapatan yang diterima oleh perajin kopra, ada yang mampu
untuk memenuhi kehidupannya sendiri dan keluarganya serta ada yang hanya bisa
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri dari hasil produksi kopranya. Bagi
pengolah kopra yang menerima pendapatan rendah dari hasil usaha kopra, maka
mengharuskan mereka untuk mencari pekerjaan sampingan untuk dapat memenuhi
kebutuhan hidupnya dan keluarganya.
2. Kendala Perajin Kopra dalam Meningkatkan Pendapatan Keluarga

299
Vol. 3 No. 2. pp. 283-301. Jurnal BUSINESS UHO: Jurnal Administras Bisnis. July 2018. Faculty
of Social and Political Sciences, Halu Oleo University Kendari. Southeast Sulawesi. Indonesia.
ISSN 2503-1406. Open Access At. Ojs.uho.ac.id/index.php.BUSINESSUHO.

Berdasarkan hasil wawancara di lapangan bahwa kendala-kendala yang


dihadapi oleh pengolah kopra dalam meningkatkan pendapatan keluarganya,
berikut kutipan wawancara dari seorang informan yang ada di Desa Oengkapala.
Berikut jawaban informan :
Biasanya kendala yang dihadapi adalah tidak menentunya harga pemasaran kopra
dan harga jual beli harga kopra kadang naik, kadang turun disitulah kendala
tersebut. dari harga pemanjatan saja terdapat Rp. 5.000 per pohon, pengupasan
Rp. 150. harga kopra Rp. 4.000 per Kg. Dan saya tidak melakukan biaya
pemanjatan dikarenakan biaya yang dikeluarkan terlalu besar. Apabila harga
kopra turun drastis dengan harga tersebut, maka para pembuat kopra kewalahan
menghadapi naik turunnya harga.
(wawancara 20 februari 2018, Bapak Firmansyah 31 tahun)

Dari kutipan wawancara tersebut dapat dinyatakan bahwa Bapak Firmansyah


memasarkan kopranya masih tergantung harga kopra yang ditetapkan karena harga
dapat mempengaruhi peningkatan pendapatan keluarganya. Berdasarkan hasil
wawancara dari kelima informan bahwa mereka tidak melakuakan biaya
pemanjatan dikarenakan biaya yang dikeluarkan informan akan mempengaruhi
pendapatan hasil produksinya dan mereka melakukan pemanjatan memakai tenaga
kerja keluarga. Berdasarkan hasil wawancara dari informan pengolah kopra masih
banyak yang menyebabkan rendahnya pendapatan yang diterima perajin kopra
antara lain :
1. Harga jual yang diterima oleh pengolah kopra rendah karena hasil
produksinya dijual kepada pedagang pengumpul dengan harga yang lebih
rendah.
2. Adanya sistem penjualan bartner dan panjar.
3. Biaya produksinya masih tinggi karena sistem pengolahan kopranya masih
bersifat tradisional dan belum efisien.
4. Kualitas produksi masih rendah.
5. Penanganan pasca panen yang belum efisien.

DAFTAR PUSTAKA

Afifiddin, H, dan Beni Ahmad Saebeni. 2009, Metodologi Penelitian Kualitatif.


Bandung Pustaka Setia.
Anggraini, E. 2005. Analisis Biaya Transaksi dan Penerimaan Nelayan dan Petani
di Pelabuhan Ratu Kabupaten Sukabumi. Thesis. Sekolah Pascasarjana IPB.
Bogor.

Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tenggara. 2017. Kabupaten Buton Utara
Dalam Angka 2017. Sulawesi Tenggara: Badan Pusat Statistik.

Boediono. 2002. Prinsip-Prinsip Ilmu Ekonomi; BPFW UI Jakarta.


Hermanto. 2003. Pemasaran Hasil Pertanian. Griya Pertama: Surabaya.
Hutabarat, R.C. 2012. Analisis Kelembagaan dan Biaya Transaksi dalam
Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kecamatan Labuhan Kabupaten
Pandeglang. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB. Bogor.

300
Vol. 3 No. 2. pp. 283-301. Jurnal BUSINESS UHO: Jurnal Administras Bisnis. July 2018. Faculty
of Social and Political Sciences, Halu Oleo University Kendari. Southeast Sulawesi. Indonesia.
ISSN 2503-1406. Open Access At. Ojs.uho.ac.id/index.php.BUSINESSUHO.

Hutagaol, E. 2009. Analisis Tingkat Keuntungan dan Faktor-Faktor yang


Mempengaruhi Keuntungan Usaha Dagang Jeruk Medan di Pasar BSD City
Kecamatan Serpong, Kabupaten Tangerang. Skripsi. Institut Pertanian
Bogor. \Bogor.
Philip Kotler, 2002, Manajemen Pemasaran, Edisi Millenium, Jilid 2, PT
Prenhallindo, Jakarta
Philip Kotler dan Gary Amstrong, 1997, Prinsip-Prinsip Pemasaran, Erlangga,
Jakarta
Kotler, Philip. 2005. Manajamen Pemasaran, Jilid 1 dan 2. Jakarta: PT.
IndeksKelompok Gramedia.
Sugiyono.2010. Metode Penelitian Kualitatif & R & D. Bandung :Alfabeta.

301

You might also like