Tugas Manajemen Stratejik "Competitive Advantage at Starbucks"
Tugas Manajemen Stratejik "Competitive Advantage at Starbucks"
Tugas Manajemen Stratejik "Competitive Advantage at Starbucks"
The growth of Starbucks is the stuff of business legend. In the 1980s, when the company had
only a handful of stores, the company’s director of marketing, Howard Schultz, returned from a
trip to Italy enchanted with the Italian coffeehouse experience. Schultz, who later purchased the
company and became CEO, persuaded the owners to experiment with the coffeehouse format,
and the Starbucks experience was born. The strategy was to sell the company’s own premium
roasted coffee and freshly brewed espresso-style coffee beverages, along with a variety of
pastries, coffee accessories, and other products, in a tastefully designed coffeehouse setting. The
idea was to transform the act of buying and drinking coffee into a social experience. The stores
were to be “third places,” where people could meet and talk or relax and read. The company
focused on providing superior customer service. Reasoning that motivated employees provide
the best customer service, Starbucks’ executives devoted much attention to employee hiring and
training programs, and progressive compensation policies that gave full-time and part-time
employees stock-option grants and medical benefits. This formula was the bedrock of Starbucks’
competitive advantage. Starbucks went from obscurity to one of the best-known brands in the
United States within a decade. Between 1995 and 2005, Starbucks added U.S. stores at an annual
rate of 27%, reaching almost 12,000 total locations. It also expanded aggressively
internationally. Schultz himself stepped down from the CEO role in 2000, although he remained
chairman. By 2008, however, the company was hitting serious headwinds. Competitors from
small boutique coffee houses to chains like Tully’s and Pete’s Coffee, and even McDonald’s,
were beginning to erode Starbucks’ competitive advantage. Although the company was still
adding stores at a break-neck pace, same-store sales started to fall. Profitability, measured by
return on invested capital (ROIC), slumped from around 21% to just 8.6% in 2008. The stock
price tumbled. At this point, Howard Schultz fired the CEO and again reclaimed the position. His
strategy was to return Starbucks to its roots. He wanted the company to reemphasize the creation
of value through great customer experiences, and he wanted the company to do that as efficiently
as possible. He first closed all Starbucks’ stores for a day, and retrained baristas in the art of
making coffee. A number of other changes followed. The company redesigned many of its stores
to give them a contemporary feel. It stopped selling breakfast sandwiches because Schultz
thought that the smell detracted from the premium coffeehouse experience. Instead of grinding
enough coffee for an entire day, he told employees to grind more coffee each time a new pot was
brewed to create the aroma of freshly brewed coffee. He gave store managers more freedom to
decide on specific aspects of their stores, such as the type of artwork displayed. Starbucks also
dramatically expanded its fair-trade policy, purchasing its coffee beans from growers adhering to
environmentally friendly policies, and it promoted this to customers. To reduce costs, Schultz
announced the closure of 600underperforming U.S. stores. Starbucks used the threat of possible
closure to renegotiate many store leases at lower rates. It cut back on the number of suppliers of
pastries and negotiated volume discounts. A lean thinking team was created, and it was tasked
with the job of improving employee productivity; baristas needed to become more efficient. The
team found that by making simple changes, such as placing commonly ordered syrup flavors
closer to where drinks are made, they could shave several seconds off the time it took to make a
drink, and give employees more time to interact with customers. Faster customer service meant
higher customer satisfaction. The results have been impressive. What was once nearly dismissed
as a stale brand has been reinvigorated. Between 2008 and 2012, Starbucks’ revenues expanded
from $10.4 billion to $13.3 billion against the background of a weak economy, and ROIC surged
from 8.6% to an impressive 26.13%.
1. What is the value that Starbucks creates for its customers? How does the company create
this value?
2. How important have innovation, efficiency, quality, and customer responsiveness been to
Starbucks’ competitive position?
3. Does Starbucks have any distinctive competencies? If so, how do they affect the business?
4. Why do you think the performance of Starbucks started to decline after 2005 ? What was
Schultz trying to do with the changes he made after 2008?
TINJAUAN PUSTAKA
1. Nilai pelanggan yang diciptakan oleh Starbucks adalah emotional value, social value,
quality/performance value, price/value of money. Perusahaan Starbucks menciptakan nilai
pelanggan adalah sebagai berikut:
a. Emotional value, menciptakan pelayanan terbaik yang diberikan oleh para barista dan
pelayan kepada seluruh pengujung store. Pelayanan terbaik dilakukan dengan pemberian
pelatihan kepada seluruh barista dan pelayan store.
b. Social value, mewujudkan nilai sosial yang dapat diciptakan oleh para pengunjung saat
menggunjungi store, karena tidak hanya adanya pengalaman menikmati kopi tetapi juga
disuguhkan dengan suasana store yang bersih dan nyaman untuk berkumpul dan bersantai
bersama keluarga dan teman. Masing-masing store memiliki konsep tema yang berbeda
sehingga akan menciptakan pengalaman yang berbeda para pengunjung apabila
mengunjungi setiap store Starbucks yang ada.
Sosial value yang diciptakan oleh perusahaan adalah membeli dan meminum kopi
sebagai pengalaman sosial yang dapat dirasakan. Selain itu dapat menciptakan kesan
bahwa masing-masing store sebagai “rumah ketiga”
c. Quality/performance value, menyajikan kualitas produk kopi dan makanan yang
ditawarkan dengan kondisi premium dari kopi pilihan dan penyajian yang higienis.
d. Price/value of money, memberikan kualitas setara dengan harga yang harus dikeluarkan
pengunjung. Biaya yang dikeluarkan oleh pelanggan akan sebanding dengan fasilitas dan
kualitas premium dari makanan minuman yang dirasakan. Penyajian yang dilakukan
langsung dapat dilihat oleh pengunjung.
2. Inovasi, efisiensi, kualitas, dan nilai pelanggan memiliki pengaruh yang besar terhadap
keberlanjutan persaingan Starbucks, hal ini diakibatkan hal-hal sebagai berikut:
a. Inovasi, semakin tinggi inovasi perusahaan, semakin tinggi pula kesesuaian produk yang
dihasilkan perusahaan di banding spesifikasi yang ditetapkan pelanggan. Hal ini
disebabkan karena inovasi sebagian besar dilakukan berdasarkan keinginan pelanggan,
Apabila berdasarkan hasil survey pelanggan menginginkan adanya inovasi terkait dengan
menu kopi rasa baru tetapi pihak Starbucks tidak merealisasikan hal tersebut sedangkan
para pesaing sudah mulai melakukan pengadaan. Keadaan tersebut dapat mengakibatkan
pihak starbucks dapat ditinggal oleh pelanggan setianya.
b. Efisiensi, inovasi proses akan meningkatkan efisiensi dalam proses produksi, sehingga
akan meminimalkan biaya perusahaan dalam memproduksi, seperti biaya komplain, biaya
retur. Inovasi proses yang dilakukan oleh pihak Starbucks adalah dengan melakukan
efisien dalam segi penggilingan kopi yang dilakukan dalam bentuk banyak, sehingga
dapat mengurangi biaya operasional apabila dilakukan dalam bentuk yang lebih sedikit
dengan waktu yang lebih sering. Selain itu, dapat menciptakan menciptakan aroma kopi.
Efisiensi dapat menekan biaya operasional perusahan, yang bisa digunakan untuk
melakukan promosi produk atau pengadaan produk baru untuk menambah inovasi rasa
kopi yang ada. Efisiensi dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas karyawan,
barista diperlukan untuk menjadi lebih efisien.
c. Kualitas, kualitas produk yang tinggi menunjukkan bahwa produk sesuai yang diinginkan
pelanggan. Jika produk sesuai dengan keinginan pelanggan volume penjualan akan
meningkat. Pihak Starbucks fokus pada penjualan kopi dengan kualitas kopi premium dan
bekerjasama dengan petani yang menggunakan konsep ramah lingkungan. Hal ini
dilakukan untuk tetap menjaga kualitas produk yang dimiliki oleh perusahaan tersebut.
Apabila kualitas yang diberikan kepada pelanggan menurun akan mengakibatkan kepada
penurunan jumlah pelanggan.
d. Customer value, pelanggan memiliki peran utama dalam keberlangsungan bisnis
perusahaan Starbuck karena pelanggan yang dapat menilai manfaat dan pengorbanan
yang terjadi apabila menggunakan suatu barang atau jasa. Nilai pelanggan salah satunya
dapat diwujudkan dengan pemberian layanan yang prima kepada pelanggan dan tetap
mempertahankan meningkatkan kualitas produk yang dimiliki.
4. Menurut pendapat kami, kinerja Starbucks mulai menurun setelah tahun 2005 diakibatkan
karena adanya perumusan target pasar terkait menu yang tidak sesuai dan tepat sasaran,
penambahan store Starbucks tidak diikuti dengan perencanaan yang matang sehingga tidak
efektif dalam operasionalnya, pembangunan tema store yang tidak terkonsep dengan baik
sehingga tidak menciptakan nilai tambah, menu yang ditawarkan tidak memiliki banyak
ragam dan jenis.
Berdasarkan beberapa kendala yang ditemukan, Schultz mencoba untuk melakukan
beberapa perubahan setelah tahun 2008 adalah sebagai berikut: keberlanjutan persaingan
Starbucks, hal ini diakibatkan hal-hal sebagai berikut:
a. Pengadaan pelatihan kepada barista untuk keahlian tekhnik dalam pembuatan kopi yang
berkualitas
b. Menciptakan inovasi menu kopi dan makanan baru yang diminati oleh pelanggan dengan
tetap menjaga kualitas yang dimiliki. Perusahaan tidak lagi menjual sandwich sarapan
karena Schultz berpikir bahwa bau itu mengurangi pengalaman kedai kopi premium
c. Melakukan pengembangan store dengan tema konsep store yang berbeda-beda untuk
memberikan pengalaman nilai tambah kepada pelanggan
d. Inovasi produk proses penyajian kopi, dimana pelanggan dapat langgsung melihat proses
barista melakukan penyajian kopi untuk menciptakan pengalaman pelanggan
e. Penggunaan produk ramah lingkungan berupa bahan dasar kopi dari petani dengan
pertanian ramah lingkungan, dan perlengkapan store dari bahan yang ramah lingkungan
dan dapat didaur ulang
f. Memberikan service prima kepada setiap pelanggan store dan pelayanan dalam penyajian
kopi yang cepat
DAFTAR PUSTAKA
Guilitnan, Joseph, P, Paul, Gordon W and Madden, Thomas J., 1997, Marketing Management ,
6th edition, n.p: McGraw-Hill Companies
Philip, Kotler. 2004. Manajemen Pemasaran. Edisi Milenium. Jakarta: PT IntanSejati Klaten.
Philips, L., Chang, D., & Buzzel, R. 1983. Product Quality, Cost Position and Business
Performance: a Test of Some Key Hypothesis. Journal of Marketing, 47(2): 26−43.
Prajogo, D. & Sohal, A. 2003. The Relationships between TQM Practices, Quality Performance,
and Innovation Performance. International Journal of Quality and Reliability
Management, 20(8): 901−918.
Slater and Narver, 1994, ”Does Competitive Moderate the Orientation Performance
Relationship?”, Journal of Marketing, 58
Tjiptono, Fandy, 2006, Pemasaran Jasa Malang: Bayumedia Publishing
Tjiptono, F. dan Diana, A. 2005. Total Quality Management. Yogyakarta:Andi Offset.
Walker & Ruekert. 1987. Marketing’s Role in the Implementation of Business Strategies: a
Critical Review and Conceptual Framework. Journal of Marketing, 51: 15−33.