Urgensi Revisi Uu No 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Urgensi Revisi Uu No 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Urgensi Revisi Uu No 6 Tahun 2014 Tentang Desa
1 (2020): 245-266
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)
Dian Herdiana *
Abstract
The enactment of Law Number 6 of 2014 on Villages brings optimism to the creation
of village development that is able to realize village autonomy. But in practice, the
Village Law has not been able to realize the development goals. On this basis, this
article is intended to examine village development from the perspective of the
substance of the Village Law. The method used in this study is a juridical-normative
method with a descriptive approach. The results of the study show that the substance
of the Village Law does not give full authority to the villages in local-participatory
development, even the Village Law still provides opportunities for local governments
to intervene in the implementation of development. The mechanism stipulated in the
Village Law makes the village busy with administrative obligations in village
development. The implication is that although the village is no longer a vertical
government structure under the Regency/City government, empirically the role of the
Regency/City government is still dominant. These problems construct a substantial
impulse to revise the Village Law, specifically regarding arrangements for village
development.
Keywords: village development, government, village regulation.
Abstrak
Disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa membawa
optimisme penciptaan pembangunan desa yang mampu mewujudkan kemandirian
desa. Namun dalam realitasnya UU Desa belum mampu mewujudkan tujuan tersebut.
Atas dasar permasalahan di atas, artikel ini ditujukan untuk mengkaji substansi UU
Desa perihal pembangunan desa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
metode penelitian yuridis-normatif dengan pendekatan deskriptif. Hasil penelitian
menunjukan bahwa substansi UU Desa tidak memberikan kewenangan sepenuhnya
kepada desa dalam pembangunan secara lokal-partisipatif, bahkan UU Desa masih
memberikan peluang bagi dominasi pemerintah daerah dalam proses pembangunan
desa yang tengah dilaksanakan. Aturan yang ada menjadikan desa sibuk dengan
kewajiban administratif dalam pembangunan desa. Implikasinya, meskipun posisi desa
bukan lagi menjadi struktur pemerintahan vertikal di bawah pemerintah
Kabupaten/Kota, campur tangan pemerintah Kabupaten/Kota mengakibatkan distraksi
terhadap kewenangan pembangunan desa yang seharusnya dijalankan penuh oleh
pemerintah desa. Permasalahan tersebut mengkonstruksikan dorongan secara substansi
untuk merevisi UU Desa, khususnya pengaturan tentang kewenangan pembangunan
desa.
Kata Kunci: pembangunan desa, pemerintah, pengaturan desa
Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id
DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol50.no1.2493
246 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020
I. PENDAHULUAN
Desa dalam konteks Indonesia memiliki bagian penting dan strategis, desa tidak
hanya dilihat dari aspek kuantitas yang didiami oleh banyak penduduk, tetapi juga
desa dianggap mampu untuk turut menentukan tatanan sosial, ekonomi dan politik
secara nasional 1. Eksistensi desa sudah diakui sebelum Indonesia merdeka yaitu pada
saat penjajahan Belanda, salah satu buktinya dapat dilihat dari adanya aturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah Hindia-Belanda tahun 1854 tentang
“Regeeringsreglement” yang mana dalam pasal 71 (pasal 128.I.S.) desa disebut
dengan istilah “Inlandsche Gemeenten” yang memiliki hak untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri yang dijamin langsung oleh Gubernur Jenderal2.
Pasca Indonesia merdeka, eksistensi desa termuat dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 (sebelum perubahan) yang
menyatakan bahwa dalam teritori Negara Kesatuan Republik Indonesia terdapat
“zelfbesturende landschappen” dan “volksgemeens-chappen” yang mana negara
menghormati dan mengakui kedudukan daerah-daerah istimewa yang ada tersebut
dengan segala hak-hak asal usulnya3. Dalam perkembangannya, terdapat inkonsistensi
negara mengakui kedudukan desa beserta hak otonominya, hal ini bisa terlihat dari
pengaturan desa yang dimulai dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang
mengatur kedudukan Desa dan kekuasaan Komite Nasional Daerah. Dalam Undang-
Undang ini dijelaskan bahwa letak otonomi terbawah bukanlah berada di struktur
pemerintahan kecamatan, tetapi berada di struktur pemerintahan desa sebagai kesatuan
masyarakat yang memiliki hak mengatur rumah tangganya sendiri. Sejalan dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, pengaturan desa kemudian diatur dalam
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja yang menempatkan desa
sebagai kesatuan masyarakat hukum4.
Distorsi kedudukan desa mulai terjadi masa Orde Baru ketika Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah diberlakukan
yang menempatkan desa bagian dari pemerintah daerah dengan dilandaskan kepada
asas sentralisasi dan birokratisasi. Keadaan tersebut berlanjut ketika diberlakukan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa yang
menyeragamkan struktur pemerintahan desa secara nasional dan menjadikan
pemerintah desa sebagai perpanjangan tangan negara yang diharuskan taat kepada
kebijakan pemerintah pusat5.
Pasca Orde Baru meskipun sudah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan dasar adanya
pemberian asas desentralisasi, kedua perundang-undangan tersebut mendapatkan kritik
yang mana desa masih ditempatkan sebagai sub-ordinat dari pemerintah daerah dan
1
Agusniar Rizka Luthfia, “Menilik Urgensi Desa Di Era Otonomi Daerah,” Journal of Rural and
Development 3, no. 2 (2013): 136–137; Firda Nuryani Khoerunnisa, “Pengaruh Pembangunan Nasional
Terhadap Pembangunan Desa,” Lembaran Masyarakat 4, no. 1 (2018): 1–18.
2
Nur M Alamsyah, “Memahami Perkembangan Desa Di Indonesia,” Jurnal Academica 3, no. 2
(2011): 647–660, http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/academica/article/view/2284; Turiman
Fachturahman Nur, “Sejarah Humum Pengaturan Pemerintahan Desa (Sebuah Catatan Analisis Hukum
Tata Pemerintahan Desa),” Rajawaligarudapancasila.Blogspot.Com.
3
Richard Timotius, “Revitalisasi Desa Dalam Konstelasi Desentralisasi Menurut Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa,” Jurnal Hukum dan Pembangunan 48, no. 2 (2018): 323–
344, http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/1666.
4
Hadis Turmudi, Desa Dan Otonomi Asli (Studi Tentang Perangkat Desa Menuju Terciptanya
Desa Yang Berotonomi Asli) (Surakarta, 2017).
5
Suhardiman Syamsu, “Memahami Perkembangan Desa Di Indonesia,” Government: Jurnal
Ilmu Pemerintahan 1, no. 1 (2008): 77–88.
Urgensi Revisi Undang-Undang, Dian Herdiana 247
6
Hasrat Arif Saleh, “Kajian Tentang Pemerintahan Desa Perspektif Otonomi Daerah,” Jurnal
Government 1, no. 1 (2008): 1–23; Sakinah Nadir, “Otonomi Daerah Dan Desentralisasi Desa : Menuju
Pemberdayaan Masyarakat Desa,” Jurnal Politik Profetik 1, no. 1 (2013); M Silahuddin, Kewenangan
Desa Dan Regulasi Desa (Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi Republik Indonesia, 2015); Udiyo Basuki, “Desa Mawa Cara Negara Mawa Tata:
Dinamika Pengaturan Desa Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,” Jurnal Al-Mazahib 5, no. 2
(2017): 321–344; Nurcholis Hanif, “Dua Ratus Tahun Praktik Demokrasi Desa: Potret Kegagalan
Adopsi Demokrasi Barat Oleh Bangsa Indonesia,” Jurnal Ilmu Pemerintahan 1, no. 3 (2012): 67–83.
7
Heru Cahyono, ed., Konflik Elit Politik Pedesaan Di Indonesia (Jakarta: Pusat Penelitian
Politik LIPI, 2005); Siti Nuraini, “Hubungan Kekuasaan Elit Pemerintahan Desa,” Jurnal Kybernan 1,
no. 1 (2010): 1–13; Iis Mardeli, “Kedudukan Desa Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”
(Universitas Atma Jaya, 2015); Hanif Nurcholis, “Pemerintahan Desa: Unit Pemerintahan Palsu Dalam
Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia,” Jurnal Politica 5, no. 1 (2014): 1–19.
8
Nurcholis, “Pemerintahan Desa: Unit Pemerintahan Palsu Dalam Sistem Administrasi Negara
Republik Indonesia”; Basuki, “Desa Mawa Cara Negara Mawa Tata: Dinamika Pengaturan Desa Dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia”; Miftakhul Khayri Kusuma, “Negaranisasi Desa: Studi
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Pacul Dan Desa Kasiman Kabupaten Bojonegoro PAsca Otonomi
Daerah,” Jurnal Politik Muda 3, no. 2 (2014): 129–139; M.Iwan Satriawan, “Politik Hukum
Pemerintahan Desa Di Indonesia,” Jurnal Fiat Justisia 7, no. 2 (2013): 149–159.
248 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020
9
Naeni Amanulloh, Demokratisasi Desa (Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2015); Sutoro Eko, Desa Membangun Indonesia
(Jakarta: Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), 2014); Sutoro Eko, Kaya Proyek Miskin
Kebijakan: Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa, ed. Sutoro Eko, 1st ed. (Yogyakarta: Institute
for Reseach and Empowerment (IRE), 2006).
10
Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Indonesia, 2014).
11
Sutoro Eko, Regulasi Baru, Desa Baru (Jakarta: Forum Pengembangan Pembaharuan Desa
(FPPD), 2015); Mardeli, “Kedudukan Desa Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”; Lalu
Sabardi, “Konstruksi Makna Yuridis Hukum Adat Dalam Pasal 18B UUDN RI Tahun 1945 Untuk
Identifikasi Adanya Masyarakat Hukum Adat,” Jurnal Hukum dan Pembangunan 43, no. 2 (2013):
170–196; Aji Ian, “Undang-Undang Desa Sebagai Legitimasi Desa (Desa Dalam Hukum
Ketatanegaraan Indonesia),” Jurnal Ilmu Hukum 1, no. 1 (2017): 46–62.
12
Yansen Tipa Padan, Revolusi Dari Desa: Saatnya Dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya
Kepada Rakyat (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2014); Yusuf Maulana, “Membangun
Kemandirian Desa Dalam Bingkai Otonomi Daerah,” Jurnal Penelitian Politik 13, no. 2 (2016): 261–
267; Kushandajani, “Implikasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Terhadap
Kewenangan Desa,” Jurnal Yustisia 4, no. 2 (2015): 369–396.
Urgensi Revisi Undang-Undang, Dian Herdiana 249
dalam penelitian ini yaitu: “Substansi apa dalam UU Desa yang menjadi dasar
urgensitas untuk melakukan revisi UU Desa ?”.
III. METODOLOGI
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian yuridis-
normatif13 yang mana penelitian ini mendasarkan kepada kajian terhadap penerapan
kaidah-kaidah yang ada dalam hukum positif, dalam hal ini berupa kajian pasal-pasal
perundangan perihal pembangunan desa. Implikasi dari penggunaan metode yuridis-
normatif dalam penelitian ini yaitu analisis didasarkan kepada norma hukum positif
baik dalam bentuk kajian perundang-undangan maupun kajian literatur mengenai
nomena empiris yang ada.
Data dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang terdiri dari bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder yang bisa dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, bahan hukum primer yang merupakan jenis bahan hukum yang memiliki
keabsahan dan kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang dalam
penelitian ini terdiri dari UU Desa sebagai dasar kajian utama dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 114 tahun 2014 Tentang Pedoman Pembangunan Desa
(selanjutnya disingkat Permendagri Tentang Pedoman Pembangunan Desa).
Kedua, bahan hukum sekunder yang merupakan jenis bahan hukum yang berupa
dokumen teks yang berisi pandangan-pandangan atau pendapat dari para ahli hukum
seperti buku dan jurnal yang dianggap relevan dengan penelitian ini. Penelitian ini
juga menggunakan dokumen lainnya diluar norma hukum baik berupa buku jurnal dan
referensi lainnya yang relevan, khususnya mengenai konsep dan pandangan-
pandangan mengenai pembangunan desa. Data yang diperoleh baik dari sumber
primer maupun dari sumber sekunder tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif
berupa uraian-uraian tentang perundang-undangan secara deskriptif guna
menghasilkan suatu gambaran yang jelas dan nyata mengenai berjalannya kaidah-
kaidah pembangunan desa dalam konteks empiris secara normatif.
IV. PEMBAHASAN
13
Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia
Publising, 2006).
Urgensi Revisi Undang-Undang, Dian Herdiana 251
Tabel 1
Perbedaan Paradigma Desa
No Aspek UU No. 32/2004 UU No. 6/2014
1. Asas Utama Desentralisasi-residualitas. Rekognisi-subsidiaritas.
2. Pemegang Pemerintah Daerah. Desa (Pemerintah Desa dan
Kewenangan Masyarakat).
3. Konsep terkait Hubungan desa-kota, Kemandirian, kearifan lokal, modal
pertumbuhan, sosial, demokrasi, partisipasi,
infrastruktur, kawasan, pemberdayaan dan lain-lain.
sektoral dan lain-lain.
4. Skema Pemda melakukan Regulasi menetapkan kewenangan
Kelembagaan perencanaan dan skala desa, melembagakan
pelaksanaan didukung perencanaan desa, alokasi dana dan
alokasi dana. Pusat kontrol lokal.
melakukan fasilitasi,
supervisi, akselerasi.
5. Peran Pemerintah Merencanakan, Fasilitasi, supervisi dan
Derah membiayai dan pengembangan kapasitas desa.
melaksanakan.
6. Model Government driven Village driven development.
Pembangunan development atau
community driven
development.
Sumber: Eko, 2014.
252 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020
14
Kementerian Keuangan, Buku Pintar Dana Desa: Dana Desa Untuk Kesejahteraan Rakyat
(Jakarta: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2017).
15
Nilam Indah Susilowati, Dwi Susilowati, and Syamsul Hadi, “Pengaruh Alokasi Dana Desa,
Dana Desa, Belanja Modal Dan Produk Domestik Regional Bruto Terhadap Kemiskinan
Kabupaten/Kota Di Jawa Timur,” Jurnal Ilmu Ekonomi 1, no. 4 (2017): 514–526; Irma Setianingsih,
“Kontribusi Dana Desa Dalam Menurunkan Angka Kemiskinan Di Kabupaten Melawi,” Jurnal
Ekonomi Daerah (JEDA) 1, no. 3 (2016): 1–18.
16
Kementerian Desa Pembanguan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Indeks Desa
Membangun 2015 (Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
Republik Indonesia, 2015).
Urgensi Revisi Undang-Undang, Dian Herdiana 253
17
M.Zaini Harfi, “Politik Hukum Pembentukan Desa Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 Tentang Desa,” Jurnal IUS: Kajian Hukum dan Keadilan 4, no. 3 (2016): 408–422; Mohamad
Shohibuddin, “Peluang Dan Tantangan Undang-Undang Desa Dalam Upaya Demokratisasi Tata Kelola
Sumber Daya Alam Desa: Perspektif Agraria Kritis,” Jurnal Sosiologi 21, no. 1 (2016): 1–33; Eko W
Bunce, “Refleksi Tiga Tahun Implementasi UU Desa No. 6 Tahun 2014,” Kompasiana.Com, last
modified 2017, https://www.kompasiana.com/tanjabbargo/5a1ee34ffcf681163c3fd222/refleksi-tiga-
tahun-implementasi-uu-desa-no-6-tahun-2014?page=all.
18
Nandang Alamsah Deliarnoor et al., “Memahami Kewenangan Pemerintah Desa: Studi Pada
Desa Cinunuk Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung,” Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat 7,
no. 2 (2018): 568–571.
19
Asas rekognisi dan subsidiaritas diatur dalam UU Desa Pasal 3. Asas rekognisi merupakan
asas pengakuan terhadap hak asal usul desa, sedangkan asas subsidiaritas merupakan penetapan
kewenangan skala lokal desa, termasuk didalamnya pengambilan keputusan di tingkat desa.
20
Bernard van Heck, Participatory Development: Guidelines on Beneficiary Participation in
Agricultural and Rural Development, Second Edi. (Rome-Italy: Food and Agriculture Organization,
2003).
254 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020
mulai dari awal perencanaan pembangunan desa sampai dengan akhir pembangunan
desa.
Adanya pengaturan yang memberikan kesempatan kepada desa untuk
menyelenggarakan pembangunan desa nyatanya tidak sepenuhnya memberikan
kewenangan kepada desa untuk mengambil keputusan secara mandiri di tingkat lokal,
pemerintah daerah masih memiliki peran meskipun pembangunan desa bukan lagi
menjadi bagian dari pelimpahan kewenangan pemerintah daerah. Adanya campur
tangan pemerintah daerah dalam pembangunan desa pada akhirnya menjadikan desa
sibuk dalam urusan administratif dan pelaksanaan program-program yang berasal dari
pemerintah dan pemerintah daerah, sehingga akhirnya memaksa desa untuk tunduk
dan menjadi perpanjangan pemerintah daerah yang disibukan dengan urusan
organisasi supra-desa 21 . Permasalahan tersebut terjadi mulai dari awal perencanaan
pembangunan desa sampai dengan akhir pembangunan desa berupa pelaporan
pembangunan desa.
Proses awal pembangunan desa berupa perencanaan pembangunan desa
memberikan peluang kehadiran pemerintah daerah untuk terlibat didalamnya,
pengaturan yang menjadi awal kehadiran pemerintah daerah dalam pembangunan desa
yaitu dalam Pasal 79 Ayat (1) yang mengatur bahwa perencanaan pembangunan desa
harus mengacu kepada kebijakan perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. Adanya
kewajiban pemerintah desa menjadikan perencanaan pembangunan daerah sebagai
acuan dimaksudkan agar terjadi kesinambungan antara pembangunan yang
dilaksanakan di desa dengan pembangunan yang ada di Kabupaten/Kota. Namun yang
menjadi perhatian yaitu apakah perencanaan pembangunan daerah sudah
mengakomodasi tuntutan dan kebutuhan desa, lebih lanjut seperti apa akomodasi desa
dalam perencanaan pembangunan desa dan apakah perencanaan pembangunan desa
tersebut mengakomodasi heterogenitas karakter dan kebutuhan desa yang ada22.
Akomodasi kepentingan desa dalam perencanaan pembangunan daerah menjadi
penting dikarenakan setiap desa memiliki karakter dan potensi yang dimungkinkan
berbeda dengan karakter dan potensi Kabupaten/Kota, semisal adanya desa pariwisata
yang dalam proses pembangunannya berorientasi kepada pengembangan pariwisata
desa, sedangkan Kabupaten/Kota dimana desa bersangkutan berada tidak menjadikan
pariwisata sebagai potensi daerah, maka menjadi penting untuk mengkaji sejauhmana
adanya keharusan desa untuk senantiasa menjadikan perencanaan pembangunan
daerah sebagai acuan dalam pembangunan desa serta implikasi-implikasi apa yang
akan muncul apabila hal tersebut tidak dilakukan oleh desa. Dengan begitu akan
menciptakan kepastian pengaturan mengenai prakondisi kewajiban desa untuk
menjadikan perencanaan pembangunan daerah sebagai acuan bagi perencanaan
pembangunan desa.
Pemahaman tersebut di atas dilihat dalam konteks kewenangan pembangunan
desa menjadi bukti dari adanya keharusan desa mengakui dan mengikuti kebijakan
pembangunan daerah, sehingga apabila perencanaan pembangunan yang dibuat oleh
pemerintah desa tidak sejalan dengan perencanaan pembangunan daerah, maka desa
tersebut dinilai tidak mengikuti aturan yang ada, sekalipun perencanaan pembangunan
desa yang dibuat tersebut sesuai dengan tuntutan, potensi dan kebutuhan desa. Atas
21
Sarip, “Produk Hukum Pengebirian Pemerintahan Desa,” Jurnal Hukum dan Pembangunan
49, no. 1 (2019): 60–75.
22
Pasal 79 ayat (7) megatur bahwa program perencanaan yang telah dibuat oleh pemerintah desa
dijadikan sebagai bahan penyusunan rencana pembangunan daerah. Adanya pengaturan ini perlu
dipertegas mengenai akomodasi karakteristik kebutuhan dan tuntutan desa dalam pembangunan yang
mana antara satu desa dengan desa lainnya dimungkinkan untuk berbeda sehingga memerlukan
instruken kebijakan yang mengakomodasi perbedaan tersebut.
Urgensi Revisi Undang-Undang, Dian Herdiana 255
dasar pemahaman tersebut maka diperlukan pengaturan lebih lanjut dan rinci
mengenai klausul kewajiban desa menjadikan perencanaan pembangunan daerah
sebagai acuan perencanaan pembangunan desa.
Desa selain harus merencanakan pembangunan dengan mengacu kepada
perencanaan pembangunan daerah, juga harus memuat program-program yang berasal
dari pemerintah dan pemerintah daerah, program-program tersebut menjadi keharusan
bagi desa selain program pembangunan skala lokal yang akan disusun oleh pemerintah
desa dalam proses Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes)23.
Praktenya program-program yang berasal dari pemerintah dan pemerintah
daerah menjadikan desa sibuk untuk menyukseskan program-program tersebut,
sehingga berimplikasi kepada banyaknya program pembangunan yang harus
dilaksanakan oleh desa yang terdiri dari program skala lokal dan program sektoral
pemerintah dan pemerintah daerah. Dalam prosesnya program tersebut menjadikan
desa sibuk dengan kegiatan administrtif mulai dari awal program pembangunan
dilaksanakan sampai dengan pelaporan hasil program pelaksanaan sehingga program
desa yang berskala lokal harus dilaksanakan berbarengan dengan program-program
yang berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah tersebut yang sama-sama
menuntut perhatian baik dari pemerintah desa maupun dari masyarakat.
Kegiatan administrasi dalam pembangunan desa nyatanya dimulai dari tahap
awal sampai dengan tahap akhir. Kegiatan administratif tersebut harus dilaporkan
kepada suprastruktur desa mulai dari pengajuan rencana pembangunan kepada
Bupati/Walikota untuk disahkan menjadi RKPDes sampai dengan pelaporan
pertanggungjawaban pembangunan desa yang dimulai dari pelaksanaan program
sampai dengan laporan keuangan desa yang harus dilaporkan kepada suprastruktur
desa. Aturan tersebut menjadi bukti bahwa kewenangan yang diberikan bagi desa
dalam pembangunan desa selain tidak sepenuhnya diberikan kepada desa, tetapi juga
mengakibatkan desa disibukan dengan urusan administratif yang berhubungan dengan
pemerintah dan pemerintah daerah 24 yang akhirnya kewenangan pemberian
kewenangan pembangunan kepada desa dalam UU Desa menjadi semu dan praktiknya
tidak memiliki perbedaan signifikan apabila dibandingkan dengan pengaturan
pembangunan desa sebelumnya.
Atas dasar tersebut maka pengaturan dalam revisi UU Desa yang mempertegas
adanya kewenangan penyelenggaraan rumah tangga sendiri bagi desa termasuk di
dalamnya kewenangan penyelenggaraan pembangunan desa dimana desa dijadikan
sebagai subjek dan objek dalam menentukan arah dan tujuan pembangunannya
menjadi mutlak dilakukan, hal tersebut harus ditunjukan dalam keseluruhan proses
pembangunan mulai dari proses perencanaan sampai dengan evaluasi dan pelaporan
hasil pembangunan desa, pengaturan mengenai proses pembangunan yang membatasi
campur tangan pemerintah daerah juga perlu dilakukan, jangan sampai kewenangan
pembangunan yang diberikan kepada desa terdistorsi karena adanya kepentingan
pemerintah daerah atas desa.
23
Dalam Pasal 81 Ayat (5) menjelaskan bahwa program pembangunan sekotral baik yang
berasal dari pemerintah maupun pemerintah daerah menjadi bagian dari perencanaan pembangunan
desa yang harus dilaksanakan oleh desa.
24
Sarip, “Produk Hukum Pengebirian Pemerintahan Desa.”
256 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020
merupakan kesatuan masyarakat yang memiliki hak asal usul dan hak tradisional25.
Disahkannya UU Desa meskipun bukan secara langsung ditunjukan sebagai
pengejawantahan dari Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945, namun semangat untuk
mengakui keberagaman kesatuan masyarakat yang tumbuh dan berkembang dalam
wilayah desa merupakan salah satu dasar hukum lahirnya UU Desa tersebut.
Keberagaman desa dalam konteks praktis terjadi hampir dalam keseluruhan
aspek mulai dari hukum adat, penyelenggaraan pemerintahan sampai dengan nilai
tradisi dan budaya. Dalam aspek hukum adat, terdapat hukum adat yang memiliki
strata yang beragam di berbagai desa mulai tingkat hukum dasar atau konstitusi
sampai dengan aturan yang sifatnya operasional. Dilihat dalam proses penerapannya,
terdapat hukum adat yang diterapkan secara langsung maupun secara tidak langsung,
kesemuanya itu didasarkan kepada karakteristik dimana hukum adat tersebut lahir dan
diterapkan 26 . Dalam aspek penyelenggaraan pemerintahan, desa-desa yang ada
memiliki susunan pemerintahan yang asli yang berbeda di tiap-tiap daerah mulai dari
sistem pemerintahan gampong di Aceh 27 sampai dengan sistem pemerintahan desa
yang ada di Papua yang didasarkan kepada pemukiman tiap suku28. Dalam aspek nilai
tradisi dan budaya, setiap desa memiliki perbedaan masing-masing, mengingat
Indonesia merupakan negara yang kaya akan nilai tradisi dan budaya dari satuan
masyarakat lokal/tradisional.
Keberagaman yang ada di desa-desa di seluruh Indonesia tersebut diakomodasi
oleh pemerintah dalam UU Desa29 tentang masyarakat adat dan desa adat yang mana
pemerintah mengakui keberadaan masyarakat adat dan desa adat beserta segala hak
aslinya, sehingga desa-desa adat tersebut dapat menyelenggarakan rumah tangganya
berdasarkan prakarsa sendiri dan melestarikan adat-istiadat yang sudah ada di desanya
tersebut. Menjadi permasalahan kemudian adalah keberagaman desa tidak hanya
terdapat di desa-desa adat semata, tetapi terdapat juga di desa-desa administratif yang
mana dilihat secara kuantifikasi desa administratif merupakan mayoritas jika
dibandingkan dengan desa adat. Dalam konteks ini maka adanya disparitas dalam UU
Desa mengenai keberagaman desa beserta hak-hak asli yang dimilikinya.
UU Desa memberikan disparitas yang jelas antara desa adat dengan desa
administratif yang berimplikasi kepada kewenangan dalam penyelenggaraan rumah
tangga di desa, desa adat diberikan kewenangan menyelenggarakan rumah tangga
sendiri yang didasarkan kepada nilai tradisi asli yang berlaku di desa tersebut,
sedangkan desa administratif tunduk kepada aturan penyeragaman dalam
penyelenggaraan rumah tangganya sesuai dengan aturan yang berlaku secara nasional.
Atas dasar pemahaman tersebut, maka perlu diatur lebih jauh mengenai prakondisi dan
alternatif bagi desa administratif yang memungkinkan akomodasi nilai tradisi dan
budaya dalam penyelenggaraan rumah tangga di desa, sehingga aturan tersebut tidak
hanya akan memberikan ruang bagi eksistensi nilai tradisi dan budaya yang dimiliki
desa administratif tetapi juga akan memperkaya pola penyelenggaraan pemerintahan
desa dan pembangunan desa yang didasarkan kepada nilai-nilai lokal dalam lingkup
desa administratif.
25
Ibid.
26
Suherman Toha, Penelitian Hukum Adat Dalam Pelaksanaan Pemerintahan Desa (Studi
Empirik Di Bali) (Jakarta, 2011).
27
Mahdi Syahbandir, “Sejarah Pemerintahan Imeum Mukmim Di Aceh,” Kanun Jurnal Ilmu
Hukum 16, no. 62 (2014): 1–17.
28
Andreas Jefri Deda and Suriel Samuel Mofu, “Masyarakat Hukum Adat Dan Hak Ulayat Di
Provinsi Papua Barat Sebagai Orang Asli Papuadi Tinjau Dari Sisi Adat Dan Budaya: Sebuah Kajian
Etnografi Kekinian,” Jurnal Administrasi Publik 11, no. 2 (2014): 11–22.
29
Pengaturan mengenai masyarakat adat dan desa adat diatur dalam UU Desa mulai dari pasal 95
sampai dengan pasal 111 yang memuat hak-hak masyarakat adat dan kewenangan desa adat.
Urgensi Revisi Undang-Undang, Dian Herdiana 257
bahkan akan menjadi lebih baik apabila kebijakan pembangunan tersebut bersifat
otonomi penuh, dalam artian desa-desa maju dan desa-desa mandiri tidak perlu
mengajukan persetujuan kepada Bupati atau Walikota mengenai kebijakan
pembangunan desa yang telah disetujui di tingkat desa, hal ini akan menumbuhkan
kemandirian desa dan sebagai bentuk pemberian otonomi penuh sekaligus
kepercayaan dari pemerintah bagi desa untuk merencanakan dan melaksanakan
pembangunan desa secara mandiri karena secara empiris desa tersebut telah mampu
melaksanakan pembangunannya bertumpu pada kapasitas dan potensi sendiri.
Kewenangan ini pula harus meliputi pertanggungjawaban pembangunan yang telah
dilakukan secara lokal di tingkat desa berupa pertanggungjawaban publik kepada
masyarakat desa.
Alternatif pembangunan desa bagi desa yang dikelompokan sebagai desa sangat
tertinggal dan desa tertinggal setidaknya terdapat dua pendekatan kebijakan yang bisa
dimasukan sebagai substansi dalam revisi UU Desa. Pertama, sistem desa binaan yaitu
desa yang sudah bersifat maju dan desa mandiri memposisikan diri sebagai pembina
dalam pembangunan desa bagi desa sangat tertinggal dan desa tertinggal, hal ini
dimungkinkan karena desa yang sudah maju dan mandiri tersebut memiliki kapasitas
dan potensi dalam melaksanakan pembangunan dan bisa dijadikan contoh bagi desa
yang masih berstatus sangat tertinggal atau desa tertinggal. Kedua, alternatif lainnya
yaitu pembangunan desa kolektif, artinya beberapa desa yang tergolong desa sangat
tertinggal dan desa tertinggal yang berada dalam satu kawasan bisa melakukan
perencanaan pembangunan secara bersama-sama sehingga keterbatasan kapasitas yang
dimiliki oleh desa yang satu dalam aspek tertentu bisa dilengkapi atau ditutupi oleh
potensi dari desa lainnya. Pembangunan desa kolektif ini juga memungkinkan akan
mempermudah pembangunan antar desa dalam satu kawasan sehingga mampu
mendorong percepatan pembangunan desa di daerah tersebut.
Alternatif pola pembangunan tersebut di atas didasarkan kepada kapasitas desa
dalam pembangunan desa, sehingga bisa dijadikan substansi revisi terhadap UU Desa
yang secara mendasar mengakui adanya realita bahwa desa tidak bisa disamaratakan,
sehingga pola pembangunan yang diatur dalam UU Desa didasarkan kepada adanya
perbedaan kapasitas desa dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan desa.
Dengan begitu adanya pengakuan negara dalam mengakomodasi heterogenitas desa
baik yang didasarkan kepada kultur, potensi maupun kemampuan desa masing-masing
dalam melaksanakan pembangunan desa.
33
Dalam UU Desa Pasal 82 Ayat (1) yang berbunyi: “Masyarakat Desa berhak mendapatkan
informasi mengenai rencana dan pelaksanaan Pembangunan Desa” menjadi dasar akan hak masyarakat
untuk mengetahui berbagai informasi pembangunan desa, namun dalam prakteknya menjadi sumir
dikarenakan tidak ada aturan turunan yang menjelaskan secara rinci mengenai informasi dan data
seperti apa yang berhak diakses masyarakat serta proses dan cara masyarakat memperoleh data dan
informasi tersebut.
34
Dalam UU Desa Pasal 82 Ayat (2) berbunyi: “Masyarakat Desa berhak melakukan
pemantauan terhadap pelaksanaan Pembangunan Desa”, selanjutnya dalam Ayat (5) yang berbunyi:
“Masyarakat Desa berpartisipasi dalam Musyawarah Desa untuk menanggapi laporan pelaksanaan
260 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020
Pembangunan Desa”. Pengaturan tersebut menjadi landasan bagi adanya pemantauan dan pengawasan
pembangunan desa yang dilakukan oleh masyarakat.
Urgensi Revisi Undang-Undang, Dian Herdiana 261
35
Dalam Permendagri Tentang Pedoman Pembangunan Desa dijelaskan bahwa Musyawarah
Desa diartikan sebagai forum yang bersifat strategis dalam rangka penyusunan rencana pembangunan
desa yang dilaksanakan oleh Badan Permusyawaratan Desa dengan melibatkan Pemerintah Desa dan
unsur masyarakat.
36
Forum pembangunan lainnya yang disebut dalam Permendagri Nomor 114 Tahun 2014
Tentang Pedoman Pembangunan Desa yaitu musyawarah dusun, musyawarah kelompok, musyawarah
pelaksanaan kegiatan desa.
37
Dalam UU Desa Pasal 80 Ayat (4) yang berbunyi: “Prioritas, program, kegiatan, dan
kebutuhan pembangunan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dirumuskan berdasarkan penilaian
terhadap kebutuhan masyarakat Desa yang meliputi: a. peningkatan kualitas dan akses terhadap
pelayanan dasar; b. pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan lingkungan berdasarkan
kemampuan teknis dan sumber daya lokal yang tersedia; c. pengembangan ekonomi pertanian berskala
produktif; d. pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat guna untuk kemajuan ekonomi; dan e.
peningkatan kualitas ketertiban dan ketenteraman masyarakat Desa berdasarkan kebutuhan masyarakat
Desa”.
262 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020
disahkan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam bentuk
RPJM Desa atau RKP Desa38.
Meskipun Musrembang Desa memiliki arti penting dalam proses perencanaan
pembangunan desa yang akan menentukan seperti apa arah pembangunan desa
kedepannya, namun nyatanya Musrembang Desa menyimpan banyak permasalahan
yang berujung kepada esensi kehadiran masyarakat yang dianggap sebagai formalitas
dalam pembangunan desa dibandingkan dengan secara substansi melibatkan
masyarakat sebagai subjek pembangunan yang memiliki hak untuk turut serta
menyampaikan aspirasi dan turut serta menyetujui atau menolak program
pembangunan desa.
Permasalahan dalam Musrembang Desa tersebut di atas yaitu: Pertama,
Musrembang Desa sebagai forum yang menghadirkan masyarakat dalam menentukan
rencana arah pembangunan desa nyatanya tidak memberikan peluang kepada seluruh
elemen masyarakat untuk hadir dan terlibat, tetapi melalui perwakilan yang sudah
ditentukan berdasarkan aturan yang ada yaitu tokoh masyarakat seperti tokoh adat,
tokoh agama dan tokoh masyarakat 39 . Meskipun kehadiran tokoh tersebut
merepresentasikan elemen yang ada di masyarakat, namun tidak bisa dilepaskan
kepada penciptaan forum perencanaan pembangunan yang bersifat elitis yang mana
perencanaan pembangunan desa ditentukan oleh elit-elit desa.
Pemahaman tersebut diatas mendorong adanya urgensi tambahan klausul tentang
aturan yang memungkinkan akomodasi seluruh elemen masyarakat yang ada di desa
tanpa melalui perwakilan tokoh, sehingga masyarakat biasa yang memiliki potensi
berkontribusi dalam proses peembangunan desa atau masyarakat yang memiliki
kebutuhan untuk diakomodasi dalam program pembangunan desa seperti penyandang
keterbatasan fisik/disabilitas dapat memiliki hak untuk hadir dan ikut serta dalam
forum Musrembang Desa.
Kedua, perihal informasi data dan artikulasi isu pembangunan desa. Informasi
mengenai profil desa beserta dengan potensi dan permasalahannya tidak hanya wajib
dimiliki oleh pemerintah desa semata, melainkan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam
Musrembang Desa, sehingga setiap peserta Musrembang Desa dapat menyampaikan
aspirasi, tuntutan serta solusi terhadap permasalahan desa yang didasarkan kepada
informasi desa tersebut40,
Praktiknya informasi mengenai profil desa hanya dimiliki oleh pemerintah desa,
masyarakat memiliki keterbatasan dalam mengakses informasi desa, sehingga akan
berimplikasi kepada tidak optimalnya kontribusi masyarakat dalam Musrembang Desa
dikarenakan isu-isu yang disampaikan oleh pemerintah desa ditanggapi oleh
masyarakat secara terbatas tanpa didasarkan kepada data yang dimiliki masyarakat,
sehingga pemerintah desa mengartikulasikan isu-isu pembangunan desa dan
masyarakat dituntut untuk menyesuaikan dengan isu yang dipaparkan oleh pemerintah
desa. Pemahaman tersebut di atas mendorong adanya aturan yang menjamin
38
Dalam UU Desa Pasal 80 Ayat (3) yang berbunyi: “Musyawarah perencanaan Pembangunan
Desa menetapkan prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa yang didanai oleh
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya masyarakat Desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kabupaten/Kota”.
39
Pengaturan mengenai keterwakilan dalam Musrembang Desa dijelaskan dalam Permendagri
Nomor 114 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pembangunan Desa Pasal 25 Ayat (3).
40
Dalam UU Desa Pasal 82 Ayat (1) yang berbunyi: “Masyarakat Desa berhak mendapatkan
informasi mengenai rencana dan pelaksanaan Pembangunan Desa” menjadi dasar akan hak masyarakat
untuk mengetahui berbagai informasi pembangunan desa, namun dalam prakteknya menjadi sumir
dikarenakan tidak ada aturan turunan yang menjelaskan secara rinci mengenai informasi dan data
seperti apa yang berhak diakses masyarakat serta proses dan cara masyarakat memperoleh data dan
informasi tersebut.
Urgensi Revisi Undang-Undang, Dian Herdiana 263
V. PENUTUP
REFERENSI