Urgensi Revisi Uu No 6 Tahun 2014 Tentang Desa

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 22

Jurnal Hukum & Pembangunan Vol. 50 No.

1 (2020): 245-266
ISSN: 0125-9687 (Cetak)
E-ISSN: 2503-1465 (Online)

URGENSI REVISI UNDANG-UNDANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG


DESA PERIHAL PEMBANGUNAN DESA

Dian Herdiana *

* Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Cimahi


Korespondensi: [email protected]
Naskah dikirim: 17 Juni 2019
Naskah diterima untuk diterbitkan: 14 September 2019

Abstract
The enactment of Law Number 6 of 2014 on Villages brings optimism to the creation
of village development that is able to realize village autonomy. But in practice, the
Village Law has not been able to realize the development goals. On this basis, this
article is intended to examine village development from the perspective of the
substance of the Village Law. The method used in this study is a juridical-normative
method with a descriptive approach. The results of the study show that the substance
of the Village Law does not give full authority to the villages in local-participatory
development, even the Village Law still provides opportunities for local governments
to intervene in the implementation of development. The mechanism stipulated in the
Village Law makes the village busy with administrative obligations in village
development. The implication is that although the village is no longer a vertical
government structure under the Regency/City government, empirically the role of the
Regency/City government is still dominant. These problems construct a substantial
impulse to revise the Village Law, specifically regarding arrangements for village
development.
Keywords: village development, government, village regulation.

Abstrak
Disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa membawa
optimisme penciptaan pembangunan desa yang mampu mewujudkan kemandirian
desa. Namun dalam realitasnya UU Desa belum mampu mewujudkan tujuan tersebut.
Atas dasar permasalahan di atas, artikel ini ditujukan untuk mengkaji substansi UU
Desa perihal pembangunan desa. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
metode penelitian yuridis-normatif dengan pendekatan deskriptif. Hasil penelitian
menunjukan bahwa substansi UU Desa tidak memberikan kewenangan sepenuhnya
kepada desa dalam pembangunan secara lokal-partisipatif, bahkan UU Desa masih
memberikan peluang bagi dominasi pemerintah daerah dalam proses pembangunan
desa yang tengah dilaksanakan. Aturan yang ada menjadikan desa sibuk dengan
kewajiban administratif dalam pembangunan desa. Implikasinya, meskipun posisi desa
bukan lagi menjadi struktur pemerintahan vertikal di bawah pemerintah
Kabupaten/Kota, campur tangan pemerintah Kabupaten/Kota mengakibatkan distraksi
terhadap kewenangan pembangunan desa yang seharusnya dijalankan penuh oleh
pemerintah desa. Permasalahan tersebut mengkonstruksikan dorongan secara substansi
untuk merevisi UU Desa, khususnya pengaturan tentang kewenangan pembangunan
desa.
Kata Kunci: pembangunan desa, pemerintah, pengaturan desa
Tersedia versi daring: http://jhp.ui.ac.id
DOI: http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol50.no1.2493
246 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020

I. PENDAHULUAN

Desa dalam konteks Indonesia memiliki bagian penting dan strategis, desa tidak
hanya dilihat dari aspek kuantitas yang didiami oleh banyak penduduk, tetapi juga
desa dianggap mampu untuk turut menentukan tatanan sosial, ekonomi dan politik
secara nasional 1. Eksistensi desa sudah diakui sebelum Indonesia merdeka yaitu pada
saat penjajahan Belanda, salah satu buktinya dapat dilihat dari adanya aturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah Hindia-Belanda tahun 1854 tentang
“Regeeringsreglement” yang mana dalam pasal 71 (pasal 128.I.S.) desa disebut
dengan istilah “Inlandsche Gemeenten” yang memiliki hak untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri yang dijamin langsung oleh Gubernur Jenderal2.
Pasca Indonesia merdeka, eksistensi desa termuat dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 18 (sebelum perubahan) yang
menyatakan bahwa dalam teritori Negara Kesatuan Republik Indonesia terdapat
“zelfbesturende landschappen” dan “volksgemeens-chappen” yang mana negara
menghormati dan mengakui kedudukan daerah-daerah istimewa yang ada tersebut
dengan segala hak-hak asal usulnya3. Dalam perkembangannya, terdapat inkonsistensi
negara mengakui kedudukan desa beserta hak otonominya, hal ini bisa terlihat dari
pengaturan desa yang dimulai dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945 yang
mengatur kedudukan Desa dan kekuasaan Komite Nasional Daerah. Dalam Undang-
Undang ini dijelaskan bahwa letak otonomi terbawah bukanlah berada di struktur
pemerintahan kecamatan, tetapi berada di struktur pemerintahan desa sebagai kesatuan
masyarakat yang memiliki hak mengatur rumah tangganya sendiri. Sejalan dengan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, pengaturan desa kemudian diatur dalam
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 tentang Desa Praja yang menempatkan desa
sebagai kesatuan masyarakat hukum4.
Distorsi kedudukan desa mulai terjadi masa Orde Baru ketika Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah diberlakukan
yang menempatkan desa bagian dari pemerintah daerah dengan dilandaskan kepada
asas sentralisasi dan birokratisasi. Keadaan tersebut berlanjut ketika diberlakukan
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa yang
menyeragamkan struktur pemerintahan desa secara nasional dan menjadikan
pemerintah desa sebagai perpanjangan tangan negara yang diharuskan taat kepada
kebijakan pemerintah pusat5.
Pasca Orde Baru meskipun sudah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diganti dengan Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dengan dasar adanya
pemberian asas desentralisasi, kedua perundang-undangan tersebut mendapatkan kritik
yang mana desa masih ditempatkan sebagai sub-ordinat dari pemerintah daerah dan
1
Agusniar Rizka Luthfia, “Menilik Urgensi Desa Di Era Otonomi Daerah,” Journal of Rural and
Development 3, no. 2 (2013): 136–137; Firda Nuryani Khoerunnisa, “Pengaruh Pembangunan Nasional
Terhadap Pembangunan Desa,” Lembaran Masyarakat 4, no. 1 (2018): 1–18.
2
Nur M Alamsyah, “Memahami Perkembangan Desa Di Indonesia,” Jurnal Academica 3, no. 2
(2011): 647–660, http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/academica/article/view/2284; Turiman
Fachturahman Nur, “Sejarah Humum Pengaturan Pemerintahan Desa (Sebuah Catatan Analisis Hukum
Tata Pemerintahan Desa),” Rajawaligarudapancasila.Blogspot.Com.
3
Richard Timotius, “Revitalisasi Desa Dalam Konstelasi Desentralisasi Menurut Undang-
Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa,” Jurnal Hukum dan Pembangunan 48, no. 2 (2018): 323–
344, http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/1666.
4
Hadis Turmudi, Desa Dan Otonomi Asli (Studi Tentang Perangkat Desa Menuju Terciptanya
Desa Yang Berotonomi Asli) (Surakarta, 2017).
5
Suhardiman Syamsu, “Memahami Perkembangan Desa Di Indonesia,” Government: Jurnal
Ilmu Pemerintahan 1, no. 1 (2008): 77–88.
Urgensi Revisi Undang-Undang, Dian Herdiana 247

secara substansi kedua undang-undang tersebut tidak mencerminkan adanya


pemberian otonomi bagi desa6.
Inkonsistensi negara memposisikan desa yang berujung kepada posisi desa
sebagai sub-ordinat dari pemerintah daerah tidak hanya berimplikasi kepada hilangnya
hak-hak asli yang dimiliki desa, tetapi juga berimplikasi kepada terbatasnya hak desa
dalam mengurus rumah tangganya sendiri. Dalam konteks pembangunan, desa tidak
lagi memiliki kewenangan untuk menyusun arah dan rencana pembangunan desa yang
didasarkan kepada prakarsa dan potensi sendiri, pembangunan desa diposisikan
sebagai bagian dari pembangunan daerah, sehingga segala bentuk kebijakan yang
menyangkut pembangunan desa menjadi bagian dari kebijakan pemerintah daerah dan
merupakan bentuk dari pelimpahan kewenangan pemerintah daerah7.
Kondisi tersebut di atas tidak lepas dari politik hukum penguasa pada saat itu,
terutama pada saat Orde Baru yang mana desa salah satunya diposisikan sebagai
stabilisator keamanan dan pendorong pembangunan nasional dengan cara mendistorsi
posisi dan kewenangan desa serta menyeragamkan pola pembangunan desa yang
mengatasnamakan pemerataan pembangunan perdesaan. Dengan begitu, berbagai
tuntutan kepada pemerintah yang muncul diakibatkan adanya kewenangan hak asli
desa dalam mengurus rumah tangganya sendiri menjadi minim, dikarenakan desa tidak
lagi memiliki kewenangannya untuk mengatur pola pembangunan sendiri, ditambah
segala bentuk keberhasilan pembangunan desa akan menjadi bukti akan keberhasilan
pemerintah dalam melakukan pembangunan.
Implikasi dari kondisi tersebut diatas, desa menjadi sangat bergantung baik
kepada pemerintah pusat maupun kepada pemerintah daerah. Dalam
perkembangannya, posisi inferior desa dibawah struktur vertikal pemerintah daerah
selama lebih dari 30 (tiga puluh) tahun berakibat kepada melemahnya kemampuan
desa untuk menggali prakarsa dan potensi dalam membangun desa, sehingga
memunculkan jaringan ketergantungan struktur sosial desa yang tidak bisa dilepaskan
dari pemerintah vertikal di atasnya. Hal ini menjadi dampak dari arah kebijakan politik
hukum negara atas desa pada saat itu yang mana terjadinya negaranisasi terhadap desa
secara sistemik melalui instrumen perundang-undangan 8.
Pelemahan desa yang dilakukan melalui pengaturan perundang-undangan atas
desa selama ini telah mendorong suatu upaya untuk mengembalikan hak-hak desa
untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, desa diupayakan untuk bisa
mandiri berdasarkan potensi dan prakarsa yang dimilikinya, termasuk didalamnya

6
Hasrat Arif Saleh, “Kajian Tentang Pemerintahan Desa Perspektif Otonomi Daerah,” Jurnal
Government 1, no. 1 (2008): 1–23; Sakinah Nadir, “Otonomi Daerah Dan Desentralisasi Desa : Menuju
Pemberdayaan Masyarakat Desa,” Jurnal Politik Profetik 1, no. 1 (2013); M Silahuddin, Kewenangan
Desa Dan Regulasi Desa (Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan
Transmigrasi Republik Indonesia, 2015); Udiyo Basuki, “Desa Mawa Cara Negara Mawa Tata:
Dinamika Pengaturan Desa Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia,” Jurnal Al-Mazahib 5, no. 2
(2017): 321–344; Nurcholis Hanif, “Dua Ratus Tahun Praktik Demokrasi Desa: Potret Kegagalan
Adopsi Demokrasi Barat Oleh Bangsa Indonesia,” Jurnal Ilmu Pemerintahan 1, no. 3 (2012): 67–83.
7
Heru Cahyono, ed., Konflik Elit Politik Pedesaan Di Indonesia (Jakarta: Pusat Penelitian
Politik LIPI, 2005); Siti Nuraini, “Hubungan Kekuasaan Elit Pemerintahan Desa,” Jurnal Kybernan 1,
no. 1 (2010): 1–13; Iis Mardeli, “Kedudukan Desa Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”
(Universitas Atma Jaya, 2015); Hanif Nurcholis, “Pemerintahan Desa: Unit Pemerintahan Palsu Dalam
Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia,” Jurnal Politica 5, no. 1 (2014): 1–19.
8
Nurcholis, “Pemerintahan Desa: Unit Pemerintahan Palsu Dalam Sistem Administrasi Negara
Republik Indonesia”; Basuki, “Desa Mawa Cara Negara Mawa Tata: Dinamika Pengaturan Desa Dalam
Sistem Ketatanegaraan Indonesia”; Miftakhul Khayri Kusuma, “Negaranisasi Desa: Studi
Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Pacul Dan Desa Kasiman Kabupaten Bojonegoro PAsca Otonomi
Daerah,” Jurnal Politik Muda 3, no. 2 (2014): 129–139; M.Iwan Satriawan, “Politik Hukum
Pemerintahan Desa Di Indonesia,” Jurnal Fiat Justisia 7, no. 2 (2013): 149–159.
248 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020

kewenangan untuk melaksanakan pembangunan tingkat lokal desa. Desa


diorientasikan menjadi kekuatan yang mampu membangun dirinya sendiri dan mampu
mendorong pembangunan nasional, sehingga kebijakan pembangunan desa secara
sentralistis yang dilakukan pada masa Orde Baru dapat diubah menjadi pembangunan
yang berbasis kepada potensi dan aspirasi desa, beberapa ahli menyebutnya dengan
perubahan paradigma yang dari awalnya “negara membangun desa” menjadi “desa
membangun negara” yang mana desa dijadikan sebagai subjek utama dalam
keseluruhan proses pembangunan yang dilaksanakan 9.
Disahkannya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (selanjutnya
disingkat UU Desa,) merupakan jawaban dari permasalahan tersebut di atas. UU Desa
menjadi bukti kembalinya pengaturan desa secara khusus yang terpisah dari
pengaturan tentang pemerintahan daerah. Dikaji secara substantif, UU Desa 10 telah
mengatur kedudukan desa yang bukan lagi vertikal berada di bawah pemerintah
daerah, desa dijalankan atas dasar gabungan sistem pemerintahan antara self-
governing community dengan local self-government sebagai bukti adanya pengakuan
dan akomodasi nilai-nilai lokal serta memposisikan masyarakat sebagai subjek dalam
pembangunan desa 11 . Undang-Undang Desa juga memberikan kewenangan
pembangunan kepada pemerintah desa dari yang sebelumnya berada dalam
kewenangan pemerintah daerah (Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004) diubah
menjadi dalam kewenangan pemerintah desa, dengan demikian UU Desa telah
melembagakan kewenangan pembangunan skala lokal desa dimana pemerintah desa
merupakan institusi lokal yang otonom dalam penyelenggaraan pembangunan desa 12.
Meskipun UU Desa telah memberi suatu kerangka regulatif bagi terlaksananya
proses pembangunan desa secara mandiri mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan
sampai dengan evaluasi yang mana desa dijadikan sebagai subjek dalam keseluruhan
prosesnya, namun UU Desa tidak mampu menjadi jawaban atas semua permasalahan
dan tuntutan yang selama ini diperjuangkan bagi terwujudnya otonomi desa beserta
segala hak-hak yang dahulu dimilikinya, khususnya dalam pembangunan desa.
Bahkan beberapa pasal yang ada dalam UU Desa justru mendistorsi kewenangan desa
yang hakekatnya sudah menjadi institusi yang bertanggungjawab dalam pembangunan
desa. Hal-hal yang dianggap kontradiktif dan/atau menjadi kekurangan dalam UU
Desa antar lain menyangkut: Pertama, pelimpahan kewenangan kepada pemerintah
desa untuk merencanakan dan melaksanakan pembangunan yang dari awalnya
merupakan kewenangan pemerintah daerah Kabupaten/Kota nyatanya tidak benar-
benar merupakan pelimpahan kewenangan seutuhnya, pemerintah desa masih harus
mendapat persetujuan dari Bupati/Walikota dalam hal penetapan kebijakan

9
Naeni Amanulloh, Demokratisasi Desa (Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah
Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2015); Sutoro Eko, Desa Membangun Indonesia
(Jakarta: Forum Pengembangan Pembaharuan Desa (FPPD), 2014); Sutoro Eko, Kaya Proyek Miskin
Kebijakan: Membongkar Kegagalan Pembangunan Desa, ed. Sutoro Eko, 1st ed. (Yogyakarta: Institute
for Reseach and Empowerment (IRE), 2006).
10
Indonesia, Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa (Indonesia, 2014).
11
Sutoro Eko, Regulasi Baru, Desa Baru (Jakarta: Forum Pengembangan Pembaharuan Desa
(FPPD), 2015); Mardeli, “Kedudukan Desa Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia”; Lalu
Sabardi, “Konstruksi Makna Yuridis Hukum Adat Dalam Pasal 18B UUDN RI Tahun 1945 Untuk
Identifikasi Adanya Masyarakat Hukum Adat,” Jurnal Hukum dan Pembangunan 43, no. 2 (2013):
170–196; Aji Ian, “Undang-Undang Desa Sebagai Legitimasi Desa (Desa Dalam Hukum
Ketatanegaraan Indonesia),” Jurnal Ilmu Hukum 1, no. 1 (2017): 46–62.
12
Yansen Tipa Padan, Revolusi Dari Desa: Saatnya Dalam Pembangunan Percaya Sepenuhnya
Kepada Rakyat (Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2014); Yusuf Maulana, “Membangun
Kemandirian Desa Dalam Bingkai Otonomi Daerah,” Jurnal Penelitian Politik 13, no. 2 (2016): 261–
267; Kushandajani, “Implikasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa Terhadap
Kewenangan Desa,” Jurnal Yustisia 4, no. 2 (2015): 369–396.
Urgensi Revisi Undang-Undang, Dian Herdiana 249

pembangunan desa, ditambah lagi pemerintah desa dalam proses penyelenggaraan


pembangunan disibukan dengan urusan administratif yang merupakan pelimpahan
urusan dari pemerintah dan pemerintah daerah sehingga berimplikasi kepada desa
yang masih dibayang-bayangi sebagai organisasi vertikal dibawah pemerintah daerah.
Kedua, tidak adanya klausul yang menyatakan pengakuan atas keragaman
kapasitas desa yang ada, padahal kenyataannya desa-desa di Indonesia memiliki
kapasitas yang berbeda dalam melaksanakan pembangunan desa, di satu sisi terdapat
desa yang berstatus desa maju dan desa mandiri, namun di sisi lain mayoritas desa
yang ada berstatus desa sangat tertinggal dan desa tertinggal, sehingga disparitas
tersebut akan berimplikasi kepada output pembangunan desa yang dilaksanakan di
masing-masing desa. Penyeragaman pola pembangunan desa akan menghasilkan
keberhasilan pembangunan bagi desa-desa yang memiliki kapasitas yang baik,
sedangkan bagi desa-desa yang memiliki keterbatasan dimungkinkan akan mengalami
kegagalan dalam pembangunan desa, hal ini dikarenakan kewenangan pembangunan
desa bersifat lokal-partisipatif yang mana desa diberi kewenangan dalam
merencanakan dan melaksanakan pembangunannya secara mandiri.
Ketiga, masyarakat desa yang ditempatkan sebagai subjek pembangunan desa
yang berhak turut serta dalam penyelenggaraan pembangunan, nyatanya tidak
dilibatkan dalam keseluruhan proses pembangunan desa, terlebih lagi dalam proses
evaluasi pembangunan masyarakat tidak dilibatkan untuk menilai hasil dari
pembangunan desa yang telah dilaksanakan, sehingga tidak memunculkan proses
akuntabilitas publik.
Keempat, penyelenggaraan pembangunan tingkat desa nyatanya lebih
didominasi oleh kepala desa selaku pimpinan tertinggi di desa mulai dari tahap
perencanaan sampai tahap evaluasi pembangunan, sedangkan pemangku kepentingan
lainnya memiliki peran yang beragam, bahkan di beberapa fase pembangunan,
keterlibatan pemangku kepentingan lainnya menjadi minim, hal ini tentu saja
bertentangan dengan dasar dari penyelenggaraan pembangunan desa yang diatur
dalam UU Desa yang diselenggarakan secara transparan, akuntabel dan partisipatif.
Berbagai permasalahan yang telah dijelaskan tersebut perlu dikaji secara
mendalam, dengan harapan akan melahirkan suatu konstruksi pemahaman yang utuh
mengenai hak-hak desa, khususnya dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
desa agar peran desa sebagai subjek pembangunan yang seutuhnya dalam menentukan
arah tujuan pembangunan guna mencapai kesejahteraan dan peningkatan kualitas
hidup masyarakat desa dapat terwujud. Pemahaman tersebut pada akhirnya akan
membentuk urgensitas terhadap revisi UU Desa yang ada dengan didasarkan kepada
konstruksi permasalahan yang dikaji tersebut.

II. RUMUSAN MASALAH

Prinsip hukum UU Desa yaitu memberikan kewenangan kepada desa untuk


menyelenggarakan rumah tangganya sendiri, termasuk dengan memberikan
kewenangan pembangunan kepada desa dari yang sebelumnya merupakan
kewenangan pemerintah daerah. Namun secara substantif terdapat beberapa klausul
dalam UU Desa yang justru tidak sejalan dengan prinsip pembangunan desa skala
lokal yang merupakan kewenangan pemerintah desa, sehingga tujuan pembangunan
yang ingin menghadirkan kesejahteraan dan kemandirian desa sulit untuk dicapai.
Permasalahan tersebut mengkontruksikan adanya urgensitas akan perubahan terhadap
UU Desa agar sejalan dengan prinsip pemberian kewenangan pembangunan di tingkat
desa yang mana desa memiliki hak yang utuh dalam pembangunan desa, pertanyaan
250 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020

dalam penelitian ini yaitu: “Substansi apa dalam UU Desa yang menjadi dasar
urgensitas untuk melakukan revisi UU Desa ?”.

III. METODOLOGI

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode penelitian yuridis-
normatif13 yang mana penelitian ini mendasarkan kepada kajian terhadap penerapan
kaidah-kaidah yang ada dalam hukum positif, dalam hal ini berupa kajian pasal-pasal
perundangan perihal pembangunan desa. Implikasi dari penggunaan metode yuridis-
normatif dalam penelitian ini yaitu analisis didasarkan kepada norma hukum positif
baik dalam bentuk kajian perundang-undangan maupun kajian literatur mengenai
nomena empiris yang ada.
Data dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang terdiri dari bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder yang bisa dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, bahan hukum primer yang merupakan jenis bahan hukum yang memiliki
keabsahan dan kekuatan mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang dalam
penelitian ini terdiri dari UU Desa sebagai dasar kajian utama dan Peraturan Menteri
Dalam Negeri Nomor 114 tahun 2014 Tentang Pedoman Pembangunan Desa
(selanjutnya disingkat Permendagri Tentang Pedoman Pembangunan Desa).
Kedua, bahan hukum sekunder yang merupakan jenis bahan hukum yang berupa
dokumen teks yang berisi pandangan-pandangan atau pendapat dari para ahli hukum
seperti buku dan jurnal yang dianggap relevan dengan penelitian ini. Penelitian ini
juga menggunakan dokumen lainnya diluar norma hukum baik berupa buku jurnal dan
referensi lainnya yang relevan, khususnya mengenai konsep dan pandangan-
pandangan mengenai pembangunan desa. Data yang diperoleh baik dari sumber
primer maupun dari sumber sekunder tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif
berupa uraian-uraian tentang perundang-undangan secara deskriptif guna
menghasilkan suatu gambaran yang jelas dan nyata mengenai berjalannya kaidah-
kaidah pembangunan desa dalam konteks empiris secara normatif.

IV. PEMBAHASAN

Keinginan untuk mewujudkan pembangunan desa yang mana desa diberikan


kewenangan yang penuh untuk mengurus rumah tangganya sendiri telah muncul sejak
lama, yaitu ketika pemerintah mendistorsi kewenangan desa melalui peraturan
perundang-undangan yang menjadikan desa sebagai bagian dari struktur pemerintahan
daerah. Penulis berpendapat setidaknya terdapat 2 (dua) tujuan utama yang ingin
dicapai dari keinginan mengembalikan kewenangan mengurus rumah tangga sendiri
kepada desa, yaitu: Pertama, dilihat dari sejarah keberadaan desa yang sejak dalam
penjajahan Hindia-Belanda sudah diberikan hak otonom dalam mengatur rumah
tangganya sendiri, sehingga memunculkan pandangan bahwa adanya pelimpahan
kewenangan penyelenggaraan rumah tangga dari suprastruktur desa (pemerintah
Kabupaten/Kota) kepada pemerintah desa dalam konteks saat ini merupakan bentuk
penghargaan dan pengakuan negara atas eksistensi desa. Kedua, adanya keinginan
untuk mewujudkan kemandirian desa, mengingat desa dalam perkembangannya
diposisikan sub-ordinat dari pemerintah daerah yang berimplikasi selain kepada
bergantungnya desa kepada pemerintah daerah juga kepada berkurangnya kemandirian
desa dalam mengatur rumah tangganya sendiri.

13
Johnny Ibrahim, Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif (Malang: Bayumedia
Publising, 2006).
Urgensi Revisi Undang-Undang, Dian Herdiana 251

Disahkannya UU Desa merupakan jawaban atas 2 tujuan utama tersebut di atas.


Pertama, pengembalian kedudukan desa yang dalam Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah meletakan desa berada di bawah struktur
vertikal pemerintah daerah, diubah oleh UU Desa yang mana posisi desa tidak lagi
merupakan organisasi vertikal dibawah pemerintah daerah. Hal ini tentu menjadi
antitesis dan kritik tajam terhadap Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah yang mana secara substantif tidak mengakui adanya otonomi
desa, melainkan otonomi daerah yang memberikan kewenangan hanya kepada daerah
otonom dan desa merupakan bagian dari unsur daerah otonom tersebut. Hal ini pula
secara tegas merupakan bentuk penghargaan dan pengakuan negara atas keberadaan
desa yang secara historis-empiris merupakan bentuk pemerintahan terendah yang
bersifat mandiri.
Kedua, adanya pelimpahan kewenangan kepada desa untuk mengatur rumah
tangganya sendiri termasuk didalamnya kewenangan untuk dapat merencanakan dan
melaksanakan pembangunan desa merupakan cara negara untuk mewujudkan
kemandirian desa melalui instrumen peraturan perundang-undangan. Desa diberikan
hak untuk dapat menyusun dan melaksanakan pembangunannya sesuai dengan
tuntutan, kebutuhannya dan potensinya sendiri.
Pemberian kewenangan kepada desa tersebut diharapkan selain akan
mengurangi ketergantungan desa terhadap pemerintah daerah, juga akan mewujudkan
kemandirian desa yang mana pemerintah desa beserta masyarakat dituntut untuk bisa
menyusun dan melaksanakan pembangunan yang didasarkan kepada tuntutan,
kebutuhan dan potensi desanya masing-masing. Substansi dalam UU Desa yang
memberikan ruang bagi terselenggaranya kewenangan mengatur rumah tangganya
sendiri bagi desa dapat dijelaskan dalam tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1
Perbedaan Paradigma Desa
No Aspek UU No. 32/2004 UU No. 6/2014
1. Asas Utama Desentralisasi-residualitas. Rekognisi-subsidiaritas.
2. Pemegang Pemerintah Daerah. Desa (Pemerintah Desa dan
Kewenangan Masyarakat).
3. Konsep terkait Hubungan desa-kota, Kemandirian, kearifan lokal, modal
pertumbuhan, sosial, demokrasi, partisipasi,
infrastruktur, kawasan, pemberdayaan dan lain-lain.
sektoral dan lain-lain.
4. Skema Pemda melakukan Regulasi menetapkan kewenangan
Kelembagaan perencanaan dan skala desa, melembagakan
pelaksanaan didukung perencanaan desa, alokasi dana dan
alokasi dana. Pusat kontrol lokal.
melakukan fasilitasi,
supervisi, akselerasi.
5. Peran Pemerintah Merencanakan, Fasilitasi, supervisi dan
Derah membiayai dan pengembangan kapasitas desa.
melaksanakan.
6. Model Government driven Village driven development.
Pembangunan development atau
community driven
development.
Sumber: Eko, 2014.
252 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020

Konstruksi regulatif di atas telah mendorong optimisme bahwa desa akan


menjadi kekuatan tingkat lokal yang tidak hanya bisa membangun dirinya sendiri
secara mandiri dan mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga akan
menjadi tolak ukur penyelenggaraan urusan rumah tangga dan menjadi model
demokrasi baik di tingkat daerah maupun di tingkat nasional.
Pelaksanaan UU Desa mulai dari tahun 2014 sampai dengan saat ini yang sudah
berjalan lebih dai 4 (empat) tahun telah memberi dampak bagi desa, khususnya
apabila ditinjau dari pembangunan desa. Adanya dana desa sebagai konsekuensi dari
UU Desa mengenai kewenangan pembangunan skala lokal desa telah mampu
mewujudkan pembangunan infrastruktur desa. Berdasarkan kepada hasil evaluasi
Kementerian Keuangan terhadap tiga tahun pelaksanaan dana desa, menunjukan
bahwa telah berhasil membangun infrastruktur desa berupa 5,2 ribu kilometer jalan
desa; 914 ribu meter jembatan; 22.616 unit sambungan air bersih; 2.201 unit
tambatan perahu; 14.957 unit PAUD; 4.004 unit Polindes; 19.485 unit sumur;
3.106 pasar desa; 103.405 unit drainase dan irigasi; 10.964 unit Posyandu; dan 1.338
unit embun desa 14 . Keberhasilan pembangunan infrastruktur desa ini merupakan
wujud dari adanya keinginan untuk membangun desa yang diprakarsai oleh tuntutan
dan kebutuhan desa masing-masing, dalam konteks ini maka UU Desa sudah mampu
mewujudkan salah satu tujuan pemberian kewenangan pembangunan kepada desa.
Pelaksanaan UU Desa meskipun sudah berhasil membangun desa khususnya
pembangunan infrastruktur desa, namun di sisi lain memiliki permasalahan tersendiri
bagi desa, antar lain: Pertama, masih terbatasnya kapasitas pemerintah desa,
khususnya sumber daya aparatur desa mengingat masih banyaknya aparatur
pemerintah desa yang memiliki tingkat pendidikan rendah maupun sedikitnya aparatur
pemerintah desa yang sudah mengikuti bimbingan dan pelatihan mengenai
penyelenggaraan pemerintahan desa.
Kedua, tidak optimalnya pengelolaan dana desa untuk menurunkan tingkat
kemiskinan 15 , hal ini berimplikasi kepada tidak optimalnya dana desa dalam
menujudkan kesejahteraan masyarakat, padahal salah satu tujuan adanya pemerian
dana desa yaitu desa mampu membangun desa berdasarkan prakarsa, tuntutan dan
kebutuhannya sendiri sehingga diharapkan mampu menurunkan angka kemiskinan.
Ketiga, tidak signifikannya pembangunan yang dilakukan di desa yang masih
menyisakan banyak desa yang masih berstatus desa tertinggal16. Selain permasalahan
empiris tersebut, UU Desa juga memiliki berrbagai masalah secara substantif yang
mana UU Desa nyatanya tidak memberikan kewenangan yang sepenuhnya bagi desa
untuk menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri, termasuk didalamnya
urusan pembangunan desa. Atas dasar tersebut berikut adalah uraian permasalahan
dalam UU Desa yang secara substanstif mendorong upaya untuk merevisi UU Desa
agar mampu sejalan dengan tujuan yang telah ditetapkan berupa pemberian
kewenangan pembangunan kepada desa yang sepenuhnya:

14
Kementerian Keuangan, Buku Pintar Dana Desa: Dana Desa Untuk Kesejahteraan Rakyat
(Jakarta: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2017).
15
Nilam Indah Susilowati, Dwi Susilowati, and Syamsul Hadi, “Pengaruh Alokasi Dana Desa,
Dana Desa, Belanja Modal Dan Produk Domestik Regional Bruto Terhadap Kemiskinan
Kabupaten/Kota Di Jawa Timur,” Jurnal Ilmu Ekonomi 1, no. 4 (2017): 514–526; Irma Setianingsih,
“Kontribusi Dana Desa Dalam Menurunkan Angka Kemiskinan Di Kabupaten Melawi,” Jurnal
Ekonomi Daerah (JEDA) 1, no. 3 (2016): 1–18.
16
Kementerian Desa Pembanguan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Indeks Desa
Membangun 2015 (Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
Republik Indonesia, 2015).
Urgensi Revisi Undang-Undang, Dian Herdiana 253

4.1. Pelimpahan Kewenangan Pembangunan Desa yang Semu


Desa dilihat dari sejarahnya merupakan bentuk pemerintahan yang otonom yang
memiliki kewenangan mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, namun pasca
Indonesia merdeka posisi desa secara empiris bergantung kepada politik hukum
penguasa 17 , kondisi tersebut yang pada akhirnya menjadikan posisi desa menjadi
bagian dari pemerintahan daerah.
Lahirnya UU Desa dinilai sebagai upaya untuk mengembalikan kewenangan
desa dalam melaksanakan urusan rumah tangganya sendiri, termasuk didalamnya
kewenangan dalam pembangunan desa 18 . Secara substansi UU Desa memberikan
kewenangan kepada pemerintah desa untuk menyelenggarakan rumah tangganya
sendiri, termasuk didalamnya kewenangan menyusun dan melaksanakan
pembangunan desa, UU Desa memberikan kewenangan secara rekognisi dan
subsidiaritas19 bagi terwujudnya pembangunan desa yang didasarkan kepada prakarsa,
tuntutan dan kebutuhan masyarakat desa. Dengan begitu, pembangunan yang
direncanakan dan dilaksanakan oleh desa dengan skala lokal tidak hanya akan
mencerminkan tujuan pembangunan yang sesuai dengan keinginan desa yang
bersangkutan, tetapi juga mampu menjawab permasalahan yang selama ini ada di desa
yang mana pembangunan desa kurang mencerminkan aspirasi, tuntutan dan kebutuhan
masyarakat desa.
Dibandingkan dengan UU Nomor 32 tahun 2014 yang mana desa menerima
pelimpahan kewenangan dari Kabupaten/Kota yang dalam prakteknya desa diberikan
“sisa” kewenangan dari pemerintah daerah dan berimplikasi kepada pembangunan
desa yang tidak mencerminkan aspirasi, tuntutan dan kebutuhan masyarakat desa,
maka dengan pemberian pembangunan kepada desa memberikan peluang pelaksanaan
pembangunan desa secara mandiri berdasar prakarsa dan potensinya.
UU desa apabila ditarik dalam konsep perencanaan pembangunan desa20, maka
pengaturan perencanaan pembangunan desa dalam UU Desa secara tegas telah
menunjukan adanya peralihan pendekatan pembangunan desa dari yang selama ini
menggunakan pendekatan sentralistis (kewenangan perencanaan di pemerintah daerah)
menjadi pendekatan partisipatif atau dalam terminologi lain digunakan istilah
“participatory development planning” (kewenangan desa), hal ini secara tegas termuat
dalam Pasal 26 ayat (2) Butir m yang berbunyi: “mengoordinasikan pembangunan
desa secara partisipatif”, kemudian dipertegas lagi dalam pasal 113 Ayat (1) Butir d
yang berbunyi: “memberikan pedoman penyusunan perencanaan pembangunan
partisipatif”. Sehingga dilihat secara umum bahwa UU Desa telah mengkonstruksikan
kewenangan perencanaan pembangunan desa dimana pemerintah desa beserta
masyarakat memiliki hak dalam menentukan arah perencanaan pembangunan desa

17
M.Zaini Harfi, “Politik Hukum Pembentukan Desa Menurut Undang-Undang Nomor 6 Tahun
2014 Tentang Desa,” Jurnal IUS: Kajian Hukum dan Keadilan 4, no. 3 (2016): 408–422; Mohamad
Shohibuddin, “Peluang Dan Tantangan Undang-Undang Desa Dalam Upaya Demokratisasi Tata Kelola
Sumber Daya Alam Desa: Perspektif Agraria Kritis,” Jurnal Sosiologi 21, no. 1 (2016): 1–33; Eko W
Bunce, “Refleksi Tiga Tahun Implementasi UU Desa No. 6 Tahun 2014,” Kompasiana.Com, last
modified 2017, https://www.kompasiana.com/tanjabbargo/5a1ee34ffcf681163c3fd222/refleksi-tiga-
tahun-implementasi-uu-desa-no-6-tahun-2014?page=all.
18
Nandang Alamsah Deliarnoor et al., “Memahami Kewenangan Pemerintah Desa: Studi Pada
Desa Cinunuk Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung,” Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat 7,
no. 2 (2018): 568–571.
19
Asas rekognisi dan subsidiaritas diatur dalam UU Desa Pasal 3. Asas rekognisi merupakan
asas pengakuan terhadap hak asal usul desa, sedangkan asas subsidiaritas merupakan penetapan
kewenangan skala lokal desa, termasuk didalamnya pengambilan keputusan di tingkat desa.
20
Bernard van Heck, Participatory Development: Guidelines on Beneficiary Participation in
Agricultural and Rural Development, Second Edi. (Rome-Italy: Food and Agriculture Organization,
2003).
254 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020

mulai dari awal perencanaan pembangunan desa sampai dengan akhir pembangunan
desa.
Adanya pengaturan yang memberikan kesempatan kepada desa untuk
menyelenggarakan pembangunan desa nyatanya tidak sepenuhnya memberikan
kewenangan kepada desa untuk mengambil keputusan secara mandiri di tingkat lokal,
pemerintah daerah masih memiliki peran meskipun pembangunan desa bukan lagi
menjadi bagian dari pelimpahan kewenangan pemerintah daerah. Adanya campur
tangan pemerintah daerah dalam pembangunan desa pada akhirnya menjadikan desa
sibuk dalam urusan administratif dan pelaksanaan program-program yang berasal dari
pemerintah dan pemerintah daerah, sehingga akhirnya memaksa desa untuk tunduk
dan menjadi perpanjangan pemerintah daerah yang disibukan dengan urusan
organisasi supra-desa 21 . Permasalahan tersebut terjadi mulai dari awal perencanaan
pembangunan desa sampai dengan akhir pembangunan desa berupa pelaporan
pembangunan desa.
Proses awal pembangunan desa berupa perencanaan pembangunan desa
memberikan peluang kehadiran pemerintah daerah untuk terlibat didalamnya,
pengaturan yang menjadi awal kehadiran pemerintah daerah dalam pembangunan desa
yaitu dalam Pasal 79 Ayat (1) yang mengatur bahwa perencanaan pembangunan desa
harus mengacu kepada kebijakan perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota. Adanya
kewajiban pemerintah desa menjadikan perencanaan pembangunan daerah sebagai
acuan dimaksudkan agar terjadi kesinambungan antara pembangunan yang
dilaksanakan di desa dengan pembangunan yang ada di Kabupaten/Kota. Namun yang
menjadi perhatian yaitu apakah perencanaan pembangunan daerah sudah
mengakomodasi tuntutan dan kebutuhan desa, lebih lanjut seperti apa akomodasi desa
dalam perencanaan pembangunan desa dan apakah perencanaan pembangunan desa
tersebut mengakomodasi heterogenitas karakter dan kebutuhan desa yang ada22.
Akomodasi kepentingan desa dalam perencanaan pembangunan daerah menjadi
penting dikarenakan setiap desa memiliki karakter dan potensi yang dimungkinkan
berbeda dengan karakter dan potensi Kabupaten/Kota, semisal adanya desa pariwisata
yang dalam proses pembangunannya berorientasi kepada pengembangan pariwisata
desa, sedangkan Kabupaten/Kota dimana desa bersangkutan berada tidak menjadikan
pariwisata sebagai potensi daerah, maka menjadi penting untuk mengkaji sejauhmana
adanya keharusan desa untuk senantiasa menjadikan perencanaan pembangunan
daerah sebagai acuan dalam pembangunan desa serta implikasi-implikasi apa yang
akan muncul apabila hal tersebut tidak dilakukan oleh desa. Dengan begitu akan
menciptakan kepastian pengaturan mengenai prakondisi kewajiban desa untuk
menjadikan perencanaan pembangunan daerah sebagai acuan bagi perencanaan
pembangunan desa.
Pemahaman tersebut di atas dilihat dalam konteks kewenangan pembangunan
desa menjadi bukti dari adanya keharusan desa mengakui dan mengikuti kebijakan
pembangunan daerah, sehingga apabila perencanaan pembangunan yang dibuat oleh
pemerintah desa tidak sejalan dengan perencanaan pembangunan daerah, maka desa
tersebut dinilai tidak mengikuti aturan yang ada, sekalipun perencanaan pembangunan
desa yang dibuat tersebut sesuai dengan tuntutan, potensi dan kebutuhan desa. Atas

21
Sarip, “Produk Hukum Pengebirian Pemerintahan Desa,” Jurnal Hukum dan Pembangunan
49, no. 1 (2019): 60–75.
22
Pasal 79 ayat (7) megatur bahwa program perencanaan yang telah dibuat oleh pemerintah desa
dijadikan sebagai bahan penyusunan rencana pembangunan daerah. Adanya pengaturan ini perlu
dipertegas mengenai akomodasi karakteristik kebutuhan dan tuntutan desa dalam pembangunan yang
mana antara satu desa dengan desa lainnya dimungkinkan untuk berbeda sehingga memerlukan
instruken kebijakan yang mengakomodasi perbedaan tersebut.
Urgensi Revisi Undang-Undang, Dian Herdiana 255

dasar pemahaman tersebut maka diperlukan pengaturan lebih lanjut dan rinci
mengenai klausul kewajiban desa menjadikan perencanaan pembangunan daerah
sebagai acuan perencanaan pembangunan desa.
Desa selain harus merencanakan pembangunan dengan mengacu kepada
perencanaan pembangunan daerah, juga harus memuat program-program yang berasal
dari pemerintah dan pemerintah daerah, program-program tersebut menjadi keharusan
bagi desa selain program pembangunan skala lokal yang akan disusun oleh pemerintah
desa dalam proses Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes)23.
Praktenya program-program yang berasal dari pemerintah dan pemerintah
daerah menjadikan desa sibuk untuk menyukseskan program-program tersebut,
sehingga berimplikasi kepada banyaknya program pembangunan yang harus
dilaksanakan oleh desa yang terdiri dari program skala lokal dan program sektoral
pemerintah dan pemerintah daerah. Dalam prosesnya program tersebut menjadikan
desa sibuk dengan kegiatan administrtif mulai dari awal program pembangunan
dilaksanakan sampai dengan pelaporan hasil program pelaksanaan sehingga program
desa yang berskala lokal harus dilaksanakan berbarengan dengan program-program
yang berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah tersebut yang sama-sama
menuntut perhatian baik dari pemerintah desa maupun dari masyarakat.
Kegiatan administrasi dalam pembangunan desa nyatanya dimulai dari tahap
awal sampai dengan tahap akhir. Kegiatan administratif tersebut harus dilaporkan
kepada suprastruktur desa mulai dari pengajuan rencana pembangunan kepada
Bupati/Walikota untuk disahkan menjadi RKPDes sampai dengan pelaporan
pertanggungjawaban pembangunan desa yang dimulai dari pelaksanaan program
sampai dengan laporan keuangan desa yang harus dilaporkan kepada suprastruktur
desa. Aturan tersebut menjadi bukti bahwa kewenangan yang diberikan bagi desa
dalam pembangunan desa selain tidak sepenuhnya diberikan kepada desa, tetapi juga
mengakibatkan desa disibukan dengan urusan administratif yang berhubungan dengan
pemerintah dan pemerintah daerah 24 yang akhirnya kewenangan pemberian
kewenangan pembangunan kepada desa dalam UU Desa menjadi semu dan praktiknya
tidak memiliki perbedaan signifikan apabila dibandingkan dengan pengaturan
pembangunan desa sebelumnya.
Atas dasar tersebut maka pengaturan dalam revisi UU Desa yang mempertegas
adanya kewenangan penyelenggaraan rumah tangga sendiri bagi desa termasuk di
dalamnya kewenangan penyelenggaraan pembangunan desa dimana desa dijadikan
sebagai subjek dan objek dalam menentukan arah dan tujuan pembangunannya
menjadi mutlak dilakukan, hal tersebut harus ditunjukan dalam keseluruhan proses
pembangunan mulai dari proses perencanaan sampai dengan evaluasi dan pelaporan
hasil pembangunan desa, pengaturan mengenai proses pembangunan yang membatasi
campur tangan pemerintah daerah juga perlu dilakukan, jangan sampai kewenangan
pembangunan yang diberikan kepada desa terdistorsi karena adanya kepentingan
pemerintah daerah atas desa.

4.2. Homogenisasi Karakteristik dan Kapasitas Desa


Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan
menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak konstitusionalnya
sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dikaitkan dengan konteks desa maka desa

23
Dalam Pasal 81 Ayat (5) menjelaskan bahwa program pembangunan sekotral baik yang
berasal dari pemerintah maupun pemerintah daerah menjadi bagian dari perencanaan pembangunan
desa yang harus dilaksanakan oleh desa.
24
Sarip, “Produk Hukum Pengebirian Pemerintahan Desa.”
256 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020

merupakan kesatuan masyarakat yang memiliki hak asal usul dan hak tradisional25.
Disahkannya UU Desa meskipun bukan secara langsung ditunjukan sebagai
pengejawantahan dari Pasal 18B Ayat (2) UUD 1945, namun semangat untuk
mengakui keberagaman kesatuan masyarakat yang tumbuh dan berkembang dalam
wilayah desa merupakan salah satu dasar hukum lahirnya UU Desa tersebut.
Keberagaman desa dalam konteks praktis terjadi hampir dalam keseluruhan
aspek mulai dari hukum adat, penyelenggaraan pemerintahan sampai dengan nilai
tradisi dan budaya. Dalam aspek hukum adat, terdapat hukum adat yang memiliki
strata yang beragam di berbagai desa mulai tingkat hukum dasar atau konstitusi
sampai dengan aturan yang sifatnya operasional. Dilihat dalam proses penerapannya,
terdapat hukum adat yang diterapkan secara langsung maupun secara tidak langsung,
kesemuanya itu didasarkan kepada karakteristik dimana hukum adat tersebut lahir dan
diterapkan 26 . Dalam aspek penyelenggaraan pemerintahan, desa-desa yang ada
memiliki susunan pemerintahan yang asli yang berbeda di tiap-tiap daerah mulai dari
sistem pemerintahan gampong di Aceh 27 sampai dengan sistem pemerintahan desa
yang ada di Papua yang didasarkan kepada pemukiman tiap suku28. Dalam aspek nilai
tradisi dan budaya, setiap desa memiliki perbedaan masing-masing, mengingat
Indonesia merupakan negara yang kaya akan nilai tradisi dan budaya dari satuan
masyarakat lokal/tradisional.
Keberagaman yang ada di desa-desa di seluruh Indonesia tersebut diakomodasi
oleh pemerintah dalam UU Desa29 tentang masyarakat adat dan desa adat yang mana
pemerintah mengakui keberadaan masyarakat adat dan desa adat beserta segala hak
aslinya, sehingga desa-desa adat tersebut dapat menyelenggarakan rumah tangganya
berdasarkan prakarsa sendiri dan melestarikan adat-istiadat yang sudah ada di desanya
tersebut. Menjadi permasalahan kemudian adalah keberagaman desa tidak hanya
terdapat di desa-desa adat semata, tetapi terdapat juga di desa-desa administratif yang
mana dilihat secara kuantifikasi desa administratif merupakan mayoritas jika
dibandingkan dengan desa adat. Dalam konteks ini maka adanya disparitas dalam UU
Desa mengenai keberagaman desa beserta hak-hak asli yang dimilikinya.
UU Desa memberikan disparitas yang jelas antara desa adat dengan desa
administratif yang berimplikasi kepada kewenangan dalam penyelenggaraan rumah
tangga di desa, desa adat diberikan kewenangan menyelenggarakan rumah tangga
sendiri yang didasarkan kepada nilai tradisi asli yang berlaku di desa tersebut,
sedangkan desa administratif tunduk kepada aturan penyeragaman dalam
penyelenggaraan rumah tangganya sesuai dengan aturan yang berlaku secara nasional.
Atas dasar pemahaman tersebut, maka perlu diatur lebih jauh mengenai prakondisi dan
alternatif bagi desa administratif yang memungkinkan akomodasi nilai tradisi dan
budaya dalam penyelenggaraan rumah tangga di desa, sehingga aturan tersebut tidak
hanya akan memberikan ruang bagi eksistensi nilai tradisi dan budaya yang dimiliki
desa administratif tetapi juga akan memperkaya pola penyelenggaraan pemerintahan
desa dan pembangunan desa yang didasarkan kepada nilai-nilai lokal dalam lingkup
desa administratif.

25
Ibid.
26
Suherman Toha, Penelitian Hukum Adat Dalam Pelaksanaan Pemerintahan Desa (Studi
Empirik Di Bali) (Jakarta, 2011).
27
Mahdi Syahbandir, “Sejarah Pemerintahan Imeum Mukmim Di Aceh,” Kanun Jurnal Ilmu
Hukum 16, no. 62 (2014): 1–17.
28
Andreas Jefri Deda and Suriel Samuel Mofu, “Masyarakat Hukum Adat Dan Hak Ulayat Di
Provinsi Papua Barat Sebagai Orang Asli Papuadi Tinjau Dari Sisi Adat Dan Budaya: Sebuah Kajian
Etnografi Kekinian,” Jurnal Administrasi Publik 11, no. 2 (2014): 11–22.
29
Pengaturan mengenai masyarakat adat dan desa adat diatur dalam UU Desa mulai dari pasal 95
sampai dengan pasal 111 yang memuat hak-hak masyarakat adat dan kewenangan desa adat.
Urgensi Revisi Undang-Undang, Dian Herdiana 257

Desa dalam kaitannya dengan aspek pertumbuhan dan pembangunan, maka


secara praktis desa-desa yang ada diklasifikasikan menjadi 5 kelompok yaitu desa
sangat tertinggal, desa tertinggal, desa berkembang, desa maju dan desa mandiri.
Pembagian desa tersebut didasarkan kepada aspek sosial, ekonomi dan lingkungan
yang mana sebesar 63, 82% desa yang ada di Indonesia dikelompokan sebagai desa
sangat tertinggal dan desa tertinggal 30 , sedangkan dilihat dari kapasitas aparatur
pemerintah maka hanya 24% aparatur pemerintah desa diklasifikasikan baik,
sedangkan mayoritasnya yaitu sekitar 76% perlu dilakukan pembinaan dan pelatihan
peningkatan kapasitas31.
Data tersebut di atas menunjukan adanya disparitas potensi dan kapasitas antar
desa yang ada di Indonesia yang mana sebagian besar desa yang ada diklasifikasikan
sebagai desa tertinggal dan memiliki kapasitas aparatur pemerintah desa yang kurang
baik. Disparitas desa tersebut dilihat dalam konteks pembangunan desa menjadi bukti
bahwa adanya tuntutan perlakuan yang berbeda dalam pola pembangunan antara satu
desa dengan desa lainnya, hal ini menjadi penting dikarenakan pembangunan harus
didasarkan kepada potensi dan kemampuan desa masing-masing.
Perbedaan kapasitas desa-desa dikaitkan dengan substansi UU Desa maka tidak
adanya ruang untuk membedakan pembangunan desa berdasarkan kepada kapasitas
desa yang dilimiki. UU Desa tidak memberikan perbedaan pola pembangunan bagi
desa-desa baik yang bestatus tertinggal, berkembang maupun maju, hal tersebut
sebagaimana bisa dilihat dalam UU Desa Pasal 78 Ayat (2) yang berbunyi
“Pembangunan Desa meliputi tahap perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan”.
Lebih lanjut dijelaskan dalam Permendagri Tentang Pedoman Pembangunan Desa
yang secara subsatansi menyamaratakan baik proses maupun tahapan pembangunan
desa mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pelaporan dan evaluasi
bagi seluruh desa yang ada, ini artinya desa-desa yang ada di seluruh Indonesia harus
menjalankan pembangunan dengan aturan yang telah dibuat sama secara nasional
tanpa melihat kapasitas dari desa masing-masing. Menjadi pertanyaan kemudian yaitu
apakah pengaturan pembangunan yang homogen seperti ini layak diterapkan untuk
semua desa tanpa melihat adanya disparitas kapasitas desa dalam melakukan
pembangunan desa.
Dari permasalahan tersebut di atas, maka adanya urgensi untuk merevisi
homogenisasi pola pembangunan desa yang selama ini diatur dalam UU Desa.
Pengaturan desa harus mengakomodasi pola pembangunan yang berbeda yang
diperuntukan bagi desa-desa dengan kapasitas yang berbeda sebagaiamana
pengelompokan desa seperti desa maju dan desa mandiri, serta desa tertinggal dan
desa sangat tertinggal. Hal ini penting agar pembangunan desa yang dilakukan mampu
mewujudkan pembangunan desa sebagaimana tujuan yang telah ditetapkan dalam
Undang-Undang Desa32.
Terdapat beberapa alternatif yang bisa dimasukan sebagai substansi perubahan
pola pembangunan desa dalam revisi UU Desa yaitu, bagi desa-desa yang berstatus
maju dan mandiri maka perlu dilakukan penguatan kewenangan dalam pembangunan
desa, hal ini didasarkan kepada sudah terbangunnya kapasitas dan potensi yang ada di
desa tersebut, sehingga kewenangan dalam pembangunan harus diberikan seutuhnya,
30
Kementerian Desa Pembanguan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Indeks Desa
Membangun 2015.
31
Kementerian Dalam Negeri, “Kemendagri Dorong Upaya Peningkatan Kapasitas Aparatur
Desa,” Kemendagri.Go.Id, last modified 2019, https://www.kemendagri.go.id/blog/29254-Kemendagri-
Dorong-Upaya-Peningkatan-Kapasitas-Aparatur-Desa.
32
Dian Herdiana, “Efektivitas Perencanaan Pembangunan Desa Dalam Perspektif Participatory
Development Planning (Studi Di Desa Dayeuh Luhur Kabupaten Sumedang, Desa Kertawangi Dan
Desa Jayamekar Kabupaten Bandung Barat Tahun 2015-2017)” (Universitas Padjadjaran, 2018).
258 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020

bahkan akan menjadi lebih baik apabila kebijakan pembangunan tersebut bersifat
otonomi penuh, dalam artian desa-desa maju dan desa-desa mandiri tidak perlu
mengajukan persetujuan kepada Bupati atau Walikota mengenai kebijakan
pembangunan desa yang telah disetujui di tingkat desa, hal ini akan menumbuhkan
kemandirian desa dan sebagai bentuk pemberian otonomi penuh sekaligus
kepercayaan dari pemerintah bagi desa untuk merencanakan dan melaksanakan
pembangunan desa secara mandiri karena secara empiris desa tersebut telah mampu
melaksanakan pembangunannya bertumpu pada kapasitas dan potensi sendiri.
Kewenangan ini pula harus meliputi pertanggungjawaban pembangunan yang telah
dilakukan secara lokal di tingkat desa berupa pertanggungjawaban publik kepada
masyarakat desa.
Alternatif pembangunan desa bagi desa yang dikelompokan sebagai desa sangat
tertinggal dan desa tertinggal setidaknya terdapat dua pendekatan kebijakan yang bisa
dimasukan sebagai substansi dalam revisi UU Desa. Pertama, sistem desa binaan yaitu
desa yang sudah bersifat maju dan desa mandiri memposisikan diri sebagai pembina
dalam pembangunan desa bagi desa sangat tertinggal dan desa tertinggal, hal ini
dimungkinkan karena desa yang sudah maju dan mandiri tersebut memiliki kapasitas
dan potensi dalam melaksanakan pembangunan dan bisa dijadikan contoh bagi desa
yang masih berstatus sangat tertinggal atau desa tertinggal. Kedua, alternatif lainnya
yaitu pembangunan desa kolektif, artinya beberapa desa yang tergolong desa sangat
tertinggal dan desa tertinggal yang berada dalam satu kawasan bisa melakukan
perencanaan pembangunan secara bersama-sama sehingga keterbatasan kapasitas yang
dimiliki oleh desa yang satu dalam aspek tertentu bisa dilengkapi atau ditutupi oleh
potensi dari desa lainnya. Pembangunan desa kolektif ini juga memungkinkan akan
mempermudah pembangunan antar desa dalam satu kawasan sehingga mampu
mendorong percepatan pembangunan desa di daerah tersebut.
Alternatif pola pembangunan tersebut di atas didasarkan kepada kapasitas desa
dalam pembangunan desa, sehingga bisa dijadikan substansi revisi terhadap UU Desa
yang secara mendasar mengakui adanya realita bahwa desa tidak bisa disamaratakan,
sehingga pola pembangunan yang diatur dalam UU Desa didasarkan kepada adanya
perbedaan kapasitas desa dalam merencanakan dan melaksanakan pembangunan desa.
Dengan begitu adanya pengakuan negara dalam mengakomodasi heterogenitas desa
baik yang didasarkan kepada kultur, potensi maupun kemampuan desa masing-masing
dalam melaksanakan pembangunan desa.

4.3. Distorsi Peran Masyarakat sebagai Subjek Pembangunan Desa


UU Desa mensyaratkan pembangunan desa dilakukan secara partisipatif, artinya
masyarakat dihadirkan dalam penyelenggaraan pembangunan desa, hal ini didasarkan
kepada pemahaman bahwa masyarakat merupakan subjek sekaligus objek dari
pembangunan desa yang harus mengetahui berbagai kebijakan pembangunan yang
melibatkan masyarakat, sehingga kebijakan yang dihasilkan merupakan cerminan dari
tuntutan dan kebutuhan masyarakat dalam pembangunan desa.
Pembangunan desa sebagaimana diatur dalam Pasal 78 Ayat (3) dibangun atas
dasar kebersamaan, kekeluargaan dan gotong-royong. Hal ini mengandung artian
bahwa pembangunan tidak hanya harus mampu mewujudkan kesejahteraan mayarakat
semata, tetapi juga proses yang dilalui harus juga menjungjung nilai-nilai tersebut
diatas. Nilai-nilai inilah yang seharusnya menjadi landasan dalam pembangunan desa,
termasuk di dalamnya menjadi pedoman bagi pengaturan pembangunan desa.
Nilai-nilai kebersamaan, kekeluargaan dan gotong-royong tersebut di atas
menjadi terdistorsi ketika pembangunan desa diterjemahkan kepada pemberian
kewenangan kepada pemerintah desa sepenuhnya dan bertanggungajawab dalam
Urgensi Revisi Undang-Undang, Dian Herdiana 259

keseluruhan pelaksanaan pembangunan desa. Pengaturan ini hakekatnya menjadi


pedoman bagi pemerintah desa sebagai representasi negara di desa yang
bertanggungjawab menyelenggarakan urusan rumahtangganya termasuk di dalamnya
pelaksanaan pembangunan desa. Namun pada praktiknya, besarnya kewenangan
pemerintah desa dalam pembangunan desa berimplikasi kepada para pemangku
lainnya yang ada di desa yang mana diposisikan inferior dibanding dengan pemerintah
desa dalam pembangunn desa, termasuk di dalamnya peran masyarakat dalam
pembangunan desa.
Tahap perencanaan pembangunan yang mana merupakan tahap awal dari
pembangunan desa yang akan menentukan arah pembangunan desa, keterlibatan
masyarakat hanya dimungkinkan dalam dua forum yaitu forum Musyawarah Desa dan
forum Musrembang Desa yang mana perwakilan dari masyarakat diberikan hak untuk
terlibat menyampaikan gagasan dan tuntutannya dalam pembangunan desa. Sedangkan
dalam proses awal seperti penyelarasan program yang akan masuk ke desa dan
penetapan pagu indikatif masyarakat memiliki peran yang minim, bahkan tidak
dilibatkan sama sekali. Padahal proses awal ini menjadi bagian yang penting
dikarenakan tidak hanya menjadi keharusan masyarakat untuk mengetahui dan terlibat
dari awal dalam perencanaan pebangunan, tetapi juga kehadiran masyarakat akan
mampu menciptakan transparansi dan akuntabilitas dalam proses perencanaan
pembangunan desa. Kehadiran masyarakat yang turut serta menyusun rencana
pembangunan desa termasuk didalamnya rencana anggaran yang akan diterima desa
dianggap sebagai salah satu cara masyarakat untuk dapat memantau penyimpangan
program pembangunan dan korupsi yang ada di desa 33 , dengan begitu kehadiran
masyarakat akan menjadi pemantau bagi pemerintah agar melaksanakan perencanaan
pembangunan dengan baik.
Hal lainnya dalam tahap perencanaan pembangunan desa yang luput dari
pengaturan akan adanya keharusan melibatkan masyarakat yaitu proses penetapan
rencana pembangunan desa baik berupa RPJM maupun RKP Desa. Dalam
pengaturannya berdasarkan kepada Permendagri Tentang Pedoman Pembangunan
Desa bahwa proses pengesahan tersebut merupakan kewenangan pemerintah desa
beserta Badan Permusyawaratan Desa (BPD), sehingga peran masyarakat dianggap
tidak diperlukan dikarenakan BPD sendiri merupakan representasi dari masyarakat.
Akan tetapi dalam konteks pembangunan partisipatif, kehadiran masyarakat perlu
diupayakan sampai dengan proses akhir, sekalipun dalam kontes penetapan RPJM
Desa maupun RKP Desa masyarakat dihadirkan sebagai pemantau. Atas dasar
pemahaman tersebut maka perlu adanya pengaturan yang mengharuskan adanya
kehariran masyarakat mulai dari proses awal sampai dengan proses akhir perencanaan
pembangunan desa.
Minimnya pengaturan kewajiban melibatkan masyarakat tidak hanya terjadi
dalam proses perencanaan pembangunan desa saja, akan tetapi dalam proses akhir
berupa pemantauan dan pengawasan pembangunan desa. UU Desa menjelaskan bahwa
masyarakat memiliki hak untuk melakukan pemantauan pelaksanaan pembangunan
desa34 yang kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam Permendagri Tentang Pedoman

33
Dalam UU Desa Pasal 82 Ayat (1) yang berbunyi: “Masyarakat Desa berhak mendapatkan
informasi mengenai rencana dan pelaksanaan Pembangunan Desa” menjadi dasar akan hak masyarakat
untuk mengetahui berbagai informasi pembangunan desa, namun dalam prakteknya menjadi sumir
dikarenakan tidak ada aturan turunan yang menjelaskan secara rinci mengenai informasi dan data
seperti apa yang berhak diakses masyarakat serta proses dan cara masyarakat memperoleh data dan
informasi tersebut.
34
Dalam UU Desa Pasal 82 Ayat (2) berbunyi: “Masyarakat Desa berhak melakukan
pemantauan terhadap pelaksanaan Pembangunan Desa”, selanjutnya dalam Ayat (5) yang berbunyi:
“Masyarakat Desa berpartisipasi dalam Musyawarah Desa untuk menanggapi laporan pelaksanaan
260 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020

Pembangunan Desa bahwa hasil pemantauan tersebut disampaikan dalam forum


Musrembang Desa. Menjadi permasalahan kemudian yaitu bentuk penyampaian hasil
pemantauan dan pelaporan yang disampaikan melalui forum Musyawarah Desa
menjadi tidak proporsional yang mana dalam forum tersebut posisi masyarakat sebagai
pihak yang diundang dan inferior dibanding pemerintah desa, sehingga akan
memunculkan bias terhadap pemantauan dan pelaporan masyarakat tersebut.
Pemahaman tersebut di atas mendorong adanya pengaturan yang lebih lanjut
mengenai bagaimana masyarakat melakukan pemantauan dan pengawasan secara jelas
dan rinci mulai dari elemen masyarakat mana saja yang memiliki hak untuk
melakukan pemantauan dan pengawasan, indikator dan kritria apa yang dijadikan
dasar pemantauan dan pengawasan serta bentuk pertanggungjawaban hasil
pemantauan dan pengawasan seperti apa yang ideal dilakukan dalam konteks
pembangunan desa.
Hal lainnya mengenai pembangunan desa yang tidak dimuat dalam UU Desa
yaitu transparansi publik dan akuntabilitas publik. Konteks pembangunan partisipatif
yang menjadi semangat UU Desa harusnya memuat bagaimana masyarakat hadir
sebagai bagian dari proses mewujudkan pembangunan desa yang terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan kepada masyarakat, mengingat masyarakat memiliki hak
untuk mengetahui dan menilai pembangunan yang telah dilaksanakan. Sehingga
pembangunan desa tidak hanya akan melahirkan output berupa pembangunan desa
yang akomodatif terhadap tuntutan masyarakat, tetapi juga mampu melahirkan proses
pembangunan yang transparan dan akuntabel. Atas dasar pemahaman tersebut, adanya
urgensi revisi terhadap UU Desa yang wajib memasukan klausul tentang bagaimana
masyarakat memiliki hak keterbukaan proses pembangunan desa dan hak untuk
menilai proses pertanggungjawaban pembangunan desa yang telah dilaksanakan.
Selain permasalahan tersebut di atas, terminologi “mengikutsertakan” yang
digunakan dalam UU Desa khususnya dalam Pasal 80 Ayar (1) yang berbunyi
“Perencanaan Pembangunan Desa diselenggarakan dengan mengikutsertakan
masyarakat desa” dipandang kurang tepat. Dikarenakan tafsir dalam aturan turunannya
seperti dalam Tentang Pedoman Pembangunan Desa diterjemahkan sebagai
kewenangan perencanaan pembangunan berada sepenuhnya di tangan pemerintah
desa, sedangkan masyarakat menjadi bagian yang “disertakan” dalam perencanaan
pembangunan desa.
Pemahaman tersebut pada akhirnya membentuk tafsir pemerintah desa
mempunyai kuasa atas penyelenggaraan perencanaan pembangunan desa dimana
masyarakat menjadi bagian unsur di dalamnya. Implikasinya pembangunan desa
merupakan keinginan pemerintah desa beserta dengan segala kewenangannya dan
posisi masyarakat hanya dijadikan alat justifikasi atas kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah desa tersebut, bukan dijadikan sebagai objek dalam merencanakan
pembangunan desa. Oleh sebab itu perlu adanya perubahan terminologi “disertakan”
diubah menjadi “partisipasi aktif”. Hal ini didasarkan kepada pemahaman adanya
kewajiban desa untuk melibatkan masyarakat dalam pembangunan desa serta
keharusan bagi masyarakat untuk terlibat dalam pembangunan desa, sehingga adanya
sifat aktif dari kedua belah pihak yaitu pemerintah dan masyarakat untuk secara
bersama-sama menyelenggarakan pembangunan desa. Atas dsar tersebut maka klausul
yang diajukan yaitu: “Penyelenggaraan perencanaan pembangunan desa didasarkan
kepada partisipasi aktif masyarakat desa”.

Pembangunan Desa”. Pengaturan tersebut menjadi landasan bagi adanya pemantauan dan pengawasan
pembangunan desa yang dilakukan oleh masyarakat.
Urgensi Revisi Undang-Undang, Dian Herdiana 261

4.4. Musrembang Desa: Antara Menjunjung Asas Partisipatif dan


Formalisme
Pembangunan desa yang partisipatif sebagaimana diatur dalam UU Desa Pasal
80 Ayat (1) mengharuskan masyarakat hadir dan berpartisipasi dalam pembangunan
yang tengah dilaksanakan, bentuk perwujudan dari kehadiran masyarakat dalam
pembangunan desa salah satunya diwujudkan dengan adanya forum perencanaan
pembangunan yang terdiri dari Musyawarah Desa dan Musrembang Desa, kedua
forum tersebut menjadi sarana masyarakat dalam menyampaikan aspirasi dan
tuntutannya dalam proses perencanaan pembangunan desa serta menjadi ruang publik
yang memberikan hak kepada masyarakat untuk bersama-sama dengan pemerintah
desa untuk membahas dan menyetujui berbagai program pembangunan yang akan
dilaksanakan di desa. Meskipun hanya Musrembang Desa yang merupakan forum
perencanaan yang secara implisit disebut dalam UU Desa yaitu dalam Pasal 80 Ayat
(2), namun forum Musyawarah Desa tidak kalah pentingnya dan diatur dalam
Permendagri Tentang Pedoman Pembangunan Desa.35
Meskipun terdapat 2 (dua) tahap forum perencanaan pembangunan yang diatur
secara jelas yaitu Musyawarah Desa dan Musrembang Desa36, namun Musrembang
Desa menjadi nilai paling penting dalam proses perencanaan pembangunan desa bagi
masyarakat untuk turut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pembangunan desa, hal
ini didasarkan kepada beberapa alasan yaitu: Pertama, Musyawarah Desa merupakan
tahap yang mana penyampaian aspirasi dan tuntutan masyarakat masih sebatas usulan
awal masyarakat yang dimungkinkan untuk bisa berubah, sedangkan Musrembang
Desa merupakan tahap akhir yang mana aspirasi dan tuntutan masyarakat sudah
diwujudkan dalam bentuk usulan rencana program pembangunan desa yang akan
dibahas dan dikaji bersama-sama untuk kemudian menjadi program pembangunan
desa.
Kedua, dibandingkan dengan Musyawarah Desa yang mana aspirasi dan
tuntutan masyarakat hanya menjadi masukan terhadap usulan rencana program
pembangunan dan tidak adanya kewajiban dari pemerintah desa menetapkan hasil
Musyawarah Desa sebagai program pembangunan desa, keterlibatan masyarakat
dalam Musrembang Desa menuntut pemerintah desa melibatkan masyarakat untuk
menyetujui atau menolak usulan program pembangunan yang telah dikaji dan dibahas
sebelumnya, sehingga adanya persetujuan atau penolakan masyarakat terhadap
rencana program yang disusun akan menentukan seperti apa program rencana
pembangunan desa kedepannya37.
Ketiga, masyarakat memiliki hak untuk terlibat dalam proses pengambilan
keputusan yang pada akhirnya akan melahirkan hasil kesepakatan Musrembang Desa
yang menjadi dasar rencana pembangunan desa untuk kemudian diajukan untuk

35
Dalam Permendagri Tentang Pedoman Pembangunan Desa dijelaskan bahwa Musyawarah
Desa diartikan sebagai forum yang bersifat strategis dalam rangka penyusunan rencana pembangunan
desa yang dilaksanakan oleh Badan Permusyawaratan Desa dengan melibatkan Pemerintah Desa dan
unsur masyarakat.
36
Forum pembangunan lainnya yang disebut dalam Permendagri Nomor 114 Tahun 2014
Tentang Pedoman Pembangunan Desa yaitu musyawarah dusun, musyawarah kelompok, musyawarah
pelaksanaan kegiatan desa.
37
Dalam UU Desa Pasal 80 Ayat (4) yang berbunyi: “Prioritas, program, kegiatan, dan
kebutuhan pembangunan desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dirumuskan berdasarkan penilaian
terhadap kebutuhan masyarakat Desa yang meliputi: a. peningkatan kualitas dan akses terhadap
pelayanan dasar; b. pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan lingkungan berdasarkan
kemampuan teknis dan sumber daya lokal yang tersedia; c. pengembangan ekonomi pertanian berskala
produktif; d. pengembangan dan pemanfaatan teknologi tepat guna untuk kemajuan ekonomi; dan e.
peningkatan kualitas ketertiban dan ketenteraman masyarakat Desa berdasarkan kebutuhan masyarakat
Desa”.
262 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020

disahkan oleh Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa dalam bentuk
RPJM Desa atau RKP Desa38.
Meskipun Musrembang Desa memiliki arti penting dalam proses perencanaan
pembangunan desa yang akan menentukan seperti apa arah pembangunan desa
kedepannya, namun nyatanya Musrembang Desa menyimpan banyak permasalahan
yang berujung kepada esensi kehadiran masyarakat yang dianggap sebagai formalitas
dalam pembangunan desa dibandingkan dengan secara substansi melibatkan
masyarakat sebagai subjek pembangunan yang memiliki hak untuk turut serta
menyampaikan aspirasi dan turut serta menyetujui atau menolak program
pembangunan desa.
Permasalahan dalam Musrembang Desa tersebut di atas yaitu: Pertama,
Musrembang Desa sebagai forum yang menghadirkan masyarakat dalam menentukan
rencana arah pembangunan desa nyatanya tidak memberikan peluang kepada seluruh
elemen masyarakat untuk hadir dan terlibat, tetapi melalui perwakilan yang sudah
ditentukan berdasarkan aturan yang ada yaitu tokoh masyarakat seperti tokoh adat,
tokoh agama dan tokoh masyarakat 39 . Meskipun kehadiran tokoh tersebut
merepresentasikan elemen yang ada di masyarakat, namun tidak bisa dilepaskan
kepada penciptaan forum perencanaan pembangunan yang bersifat elitis yang mana
perencanaan pembangunan desa ditentukan oleh elit-elit desa.
Pemahaman tersebut diatas mendorong adanya urgensi tambahan klausul tentang
aturan yang memungkinkan akomodasi seluruh elemen masyarakat yang ada di desa
tanpa melalui perwakilan tokoh, sehingga masyarakat biasa yang memiliki potensi
berkontribusi dalam proses peembangunan desa atau masyarakat yang memiliki
kebutuhan untuk diakomodasi dalam program pembangunan desa seperti penyandang
keterbatasan fisik/disabilitas dapat memiliki hak untuk hadir dan ikut serta dalam
forum Musrembang Desa.
Kedua, perihal informasi data dan artikulasi isu pembangunan desa. Informasi
mengenai profil desa beserta dengan potensi dan permasalahannya tidak hanya wajib
dimiliki oleh pemerintah desa semata, melainkan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam
Musrembang Desa, sehingga setiap peserta Musrembang Desa dapat menyampaikan
aspirasi, tuntutan serta solusi terhadap permasalahan desa yang didasarkan kepada
informasi desa tersebut40,
Praktiknya informasi mengenai profil desa hanya dimiliki oleh pemerintah desa,
masyarakat memiliki keterbatasan dalam mengakses informasi desa, sehingga akan
berimplikasi kepada tidak optimalnya kontribusi masyarakat dalam Musrembang Desa
dikarenakan isu-isu yang disampaikan oleh pemerintah desa ditanggapi oleh
masyarakat secara terbatas tanpa didasarkan kepada data yang dimiliki masyarakat,
sehingga pemerintah desa mengartikulasikan isu-isu pembangunan desa dan
masyarakat dituntut untuk menyesuaikan dengan isu yang dipaparkan oleh pemerintah
desa. Pemahaman tersebut di atas mendorong adanya aturan yang menjamin

38
Dalam UU Desa Pasal 80 Ayat (3) yang berbunyi: “Musyawarah perencanaan Pembangunan
Desa menetapkan prioritas, program, kegiatan, dan kebutuhan Pembangunan Desa yang didanai oleh
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, swadaya masyarakat Desa, dan/atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah Kabupaten/Kota”.
39
Pengaturan mengenai keterwakilan dalam Musrembang Desa dijelaskan dalam Permendagri
Nomor 114 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pembangunan Desa Pasal 25 Ayat (3).
40
Dalam UU Desa Pasal 82 Ayat (1) yang berbunyi: “Masyarakat Desa berhak mendapatkan
informasi mengenai rencana dan pelaksanaan Pembangunan Desa” menjadi dasar akan hak masyarakat
untuk mengetahui berbagai informasi pembangunan desa, namun dalam prakteknya menjadi sumir
dikarenakan tidak ada aturan turunan yang menjelaskan secara rinci mengenai informasi dan data
seperti apa yang berhak diakses masyarakat serta proses dan cara masyarakat memperoleh data dan
informasi tersebut.
Urgensi Revisi Undang-Undang, Dian Herdiana 263

kebebasan masyarakat untuk mengakses informasi desa, sehingga dengan adanya


keterbukaan informasi tersebut, masyarakat selain mengetahui mengenai permasalahan
yang sebenarnya juga mampu menyampaikan aspirasi dan solusi yang didasarkan
kepada data desa yang telah dimiliki sebelumnya.
Ketiga, posisi ketidaksetaraan masyarakat dengan aktor lainnya. Musrembang
desa sebagai forum yang mempertemukan berbagai pihak untuk membahas mengenai
perencanaan pembangunan desa sudah seharusnya menempatkan para pemangku
kepentingan dalam kedudukan yang setara, dalam artian setiap pihak memiliki
kebebasan untuk menyampaikan aspirasi, tuntutan dan menentukan arah perencanaan
pembangunan desa. Namun Musrembang desa menempatkan masyarakat sebagai
pihak yang diundang oleh pemerintah desa yang mana posisi pemerintah desa sebagai
penyelenggara Musrembang Desa.
Keadaan tersebut diatas berdampak kepada posisi masyarakat yang inferior
dibanding dengan pemerintah desa, sehingga baik dalam proses penyampaian masalah
desa dan usulan program pembangunan desa sampai dengan tahap memutuskan
program pembangunan desa sebagai hasil Musrembang Desa posisi pemerintah desa
sangat dominan dan masyarakat dalam prakteknya mengikuti apa yang disampaikan
pemerintah desa dan kemudian menyetujui menjadi kebijakan pembangunan desa
sebagai hasil Musrembang Desa, keadaan tersebut pada akhirnya gagal mewujudkan
Musrembang Desa yang bersifat dialogis dimana adanya kesetaraan dan kebebasan
dalam menyampaikan pendapatnya.
Pemahaman tersebut diatas menjadi bukti bahwa adanya ketidaksetaraan
masyarakat dengan aktor lainnya, khususnya pemerintah desa mengakibatkan
masyarakat bersipat pasif dan mengikuti arahan pemerintah desa yang berujung
kepada sikap masyarakat untuk menyetujui berbagai kebijakan pembangunan desa
sesuai dengan apa yang telah disampaikan oleh pemerintah desa, atas dasar tersebut
perlu adanya pengaturan yang menjamin kesetaraan masyarakat dengan aktor lainnya
dalam Musrembang Desa, sehingga masyarakat memiliki hak yang sama baik dalam
menyampaikan aspirasi, tuntutan dan solusi terhadap permasalahan yang ada di desa
dalam forum Musrembang Desa. Kesetaraan tersebut salah satu caranya dengan
mengakomodasi unsur masyarakat sebagai pimpinan dalam forum Musrembang Desa.
Berbagai permasalahan dalam Musrembang Desa tersebut mengakibatkan nilai
kesetaraan dalam berkomunikasi, bekerja sama, bermitra dan bersepakat dalam
menyusun perencanaan pembangunan desa yang menjadi ciri dari perencanaan
pembangunan desa secara partisipatif tidak dapat diwujudkan dan digantikan oleh
dominasi artikulasi kepentingan pemerintah desa, sehingga perlu diupayakan
pengaturan yang lebih jelas dan rinci yang mengakomodasi solusi terhadap
permasalahan yang ada.
Musrembang desa sudah seharusnya diatur secala runut dan jelas dalam UU
Desa, mengingat forum perencanaan pembangunan tersebut menjadi bagian penting
dalam proses perencanaan partisipatif yang mana para pemangku kepentingan bertemu
dan membahas secara bersama-sama mengenai arah pembangunan desa, adanya
restrukturisasi forum Musrembang Desa yang didasarkan kepada akomodasi terhadap
solusi dari permasalahan yang telah diuraikan di atas menjadi penting. Tujuan
restrukturisasi Musrembang Desa selain ditujukan untuk lebih mencerminkan forum
musyawarah dalam perencanaan partisipatif juga ditujukan secara substantif untuk
lebih mengakomodasi kepentingan masyarakat yang mana dalam pembangunan desa
dijadikan objek sekaligus subjek pembangunan desa yang harus turut aktif
berpartisipasi dan menjadi objek pertama yang mendapatkan manfaat dari
pembangunan desa.
264 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020

V. PENUTUP

Substansi UU Desa telah memberikan kewenangan pembangunan kepada desa


dari yang awalnya merupakan kewenangan pemerintah daerah. Namun banyaknya
klausul pengaturan yang berkaitan dengan suprastruktur desa berimplikasi kepada
kewenangan pembangunan desa yang diberikan menjadi tidak sepenuhnya menjadi
hak desa. Secara administratif desa disibukan dengan rigid-nya tahapan dan pelaporan
pembangunan desa yang harus disampaikan kepada pemerintah dan pemerintah daerah.
Secara substantif campur tangan pemerintah daerah dalam pembangunan desa
diwujudkan dengan adanya kewajiban desa untuk tetap berkoordinasi dengan
pemerintah daerah dalam perencanaan, pelaksanaan dan pelaporan pembangunan desa,
serta masuknya program sektoral yang berasal dari pemerintah dan pemerintah daerah
mengakibatkan termarginalkannya program pembangunan asli desa. Permasalahan
tersebut selain sulit mewujudkan kemandirian desa dalam merencanakan dan
melaksanakan pembangunan desa yang didasarkan kepada prakarsa dan potensi lokal
juga memunculkan distraksi kewenangan pembangunan desa yang melahirkan adanya
kewenangan pembangunan yang semu bagi desa.
Kondisi tersebut di atas melahirkan urgensitas akan revisi terhadap UU Desa
yang mana kewenangan pembangunan yang telah dilimpahkan kepada desa harus
didukung dengan aturan yang mendorong penguatan dan pemberdayaan desa untuk
bisa mewujudkan kemandirian pembangunan berdasar kepada prakarsa dan potensi
desa, sehingga diharapkan tidak hanya akan mampu menciptakan kesejahteraan dan
peningkatan kualitas hidup masyarakat desa, tetapi juga mampu menciptakan pola
pembangunan yang berdasar kepada kemandirian, karakter dan ciri khas dari desa
yang ada.

REFERENSI

Alamsyah, Nur M. “Memahami Perkembangan Desa Di Indonesia.” Jurnal Academica


3, no. 2 (2011): 647–660.
http://jurnal.untad.ac.id/jurnal/index.php/academica/article/view/2284.
Amanulloh, Naeni. Demokratisasi Desa. Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan
Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2015.
Basuki, Udiyo. “Desa Mawa Cara Negara Mawa Tata: Dinamika Pengaturan Desa
Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia.” Jurnal Al-Mazahib 5, no. 2 (2017):
321–344.
Bunce, Eko W. “Refleksi Tiga Tahun Implementasi UU Desa No. 6 Tahun 2014.”
Kompasiana.Com. Last modified 2017.
https://www.kompasiana.com/tanjabbargo/5a1ee34ffcf681163c3fd222/refleksi-
tiga-tahun-implementasi-uu-desa-no-6-tahun-2014?page=all.
Cahyono, Heru, ed. Konflik Elit Politik Pedesaan Di Indonesia. Jakarta: Pusat
Penelitian Politik LIPI, 2005.
Deda, Andreas Jefri, and Suriel Samuel Mofu. “Masyarakat Hukum Adat Dan Hak
Ulayat Di Provinsi Papua Barat Sebagai Orang Asli Papuadi Tinjau Dari Sisi
Adat Dan Budaya: Sebuah Kajian Etnografi Kekinian.” Jurnal Administrasi
Publik 11, no. 2 (2014): 11–22.
Deliarnoor, Nandang Alamsah, Soni Akhmad Nulhaqim, Iwang Gumilar, and
Suryanto. “Memahami Kewenangan Pemerintah Desa: Studi Pada Desa Cinunuk
Kecamatan Cileunyi Kabupaten Bandung.” Jurnal Pengabdian Kepada
Urgensi Revisi Undang-Undang, Dian Herdiana 265

Masyarakat 7, no. 2 (2018): 568–571.


Eko, Sutoro. Desa Membangun Indonesia. Jakarta: Forum Pengembangan
Pembaharuan Desa (FPPD), 2014.
———. Kaya Proyek Miskin Kebijakan: Membongkar Kegagalan Pembangunan
Desa. Edited by Sutoro Eko. 1st ed. Yogyakarta: Institute for Reseach and
Empowerment (IRE), 2006.
———. Regulasi Baru, Desa Baru. Jakarta: Forum Pengembangan Pembaharuan
Desa (FPPD), 2015.
Hanif, Nurcholis. “Dua Ratus Tahun Praktik Demokrasi Desa: Potret Kegagalan
Adopsi Demokrasi Barat Oleh Bangsa Indonesia.” Jurnal Ilmu Pemerintahan 1,
no. 3 (2012): 67–83.
Harfi, M.Zaini. “Politik Hukum Pembentukan Desa Menurut Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2014 Tentang Desa.” Jurnal IUS: Kajian Hukum dan Keadilan 4, no. 3
(2016): 408–422.
Heck, Bernard van. Participatory Development: Guidelines on Beneficiary
Participation in Agricultural and Rural Development. Second Edi. Rome-Italy:
Food and Agriculture Organization, 2003.
Herdiana, Dian. “Efektivitas Perencanaan Pembangunan Desa Dalam Perspektif
Participatory Development Planning (Studi Di Desa Dayeuh Luhur Kabupaten
Sumedang, Desa Kertawangi Dan Desa Jayamekar Kabupaten Bandung Barat
Tahun 2015-2017).” Universitas Padjadjaran, 2018.
Ian, Aji. “Undang-Undang Desa Sebagai Legitimasi Desa (Desa Dalam Hukum
Ketatanegaraan Indonesia).” Jurnal Ilmu Hukum 1, no. 1 (2017): 46–62.
Ibrahim, Johnny. Teori Dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia Publising, 2006.
Indonesia. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Indonesia, 2014.
Kementerian Dalam Negeri. “Kemendagri Dorong Upaya Peningkatan Kapasitas
Aparatur Desa.” Kemendagri.Go.Id. Last modified 2019.
https://www.kemendagri.go.id/blog/29254-Kemendagri-Dorong-Upaya-
Peningkatan-Kapasitas-Aparatur-Desa.
Kementerian Desa Pembanguan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Indeks Desa
Membangun 2015. Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal
dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2015.
Kementerian Keuangan. Buku Pintar Dana Desa: Dana Desa Untuk Kesejahteraan
Rakyat. Jakarta: Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, 2017.
Khoerunnisa, Firda Nuryani. “Pengaruh Pembangunan Nasional Terhadap
Pembangunan Desa.” Lembaran Masyarakat 4, no. 1 (2018): 1–18.
Kushandajani. “Implikasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
Terhadap Kewenangan Desa.” Jurnal Yustisia 4, no. 2 (2015): 369–396.
Kusuma, Miftakhul Khayri. “Negaranisasi Desa: Studi Penyelenggaraan Pemerintahan
Desa Pacul Dan Desa Kasiman Kabupaten Bojonegoro PAsca Otonomi Daerah.”
Jurnal Politik Muda 3, no. 2 (2014): 129–139.
Luthfia, Agusniar Rizka. “Menilik Urgensi Desa Di Era Otonomi Daerah.” Journal of
Rural and Development 3, no. 2 (2013): 136–137.
Mardeli, Iis. “Kedudukan Desa Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.”
Universitas Atma Jaya, 2015.
Maulana, Yusuf. “Membangun Kemandirian Desa Dalam Bingkai Otonomi Daerah.”
Jurnal Penelitian Politik 13, no. 2 (2016): 261–267.
Nadir, Sakinah. “Otonomi Daerah Dan Desentralisasi Desa : Menuju Pemberdayaan
Masyarakat Desa.” Jurnal Politik Profetik 1, no. 1 (2013).
Nur, Turiman Fachturahman. “Sejarah Humum Pengaturan Pemerintahan Desa
266 Jurnal Hukum & Pembangunan Tahun ke-50 No.1 Januari-Maret 2020

(Sebuah Catatan Analisis Hukum Tata Pemerintahan Desa).”


Rajawaligarudapancasila.Blogspot.Com.
Nuraini, Siti. “Hubungan Kekuasaan Elit Pemerintahan Desa.” Jurnal Kybernan 1, no.
1 (2010): 1–13.
Nurcholis, Hanif. “Pemerintahan Desa: Unit Pemerintahan Palsu Dalam Sistem
Administrasi Negara Republik Indonesia.” Jurnal Politica 5, no. 1 (2014): 1–19.
Padan, Yansen Tipa. Revolusi Dari Desa: Saatnya Dalam Pembangunan Percaya
Sepenuhnya Kepada Rakyat. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo, 2014.
Sabardi, Lalu. “Konstruksi Makna Yuridis Hukum Adat Dalam Pasal 18B UUDN RI
Tahun 1945 Untuk Identifikasi Adanya Masyarakat Hukum Adat.” Jurnal
Hukum dan Pembangunan 43, no. 2 (2013): 170–196.
Saleh, Hasrat Arif. “Kajian Tentang Pemerintahan Desa Perspektif Otonomi Daerah.”
Jurnal Government 1, no. 1 (2008): 1–23.
Sarip. “Produk Hukum Pengebirian Pemerintahan Desa.” Jurnal Hukum dan
Pembangunan 49, no. 1 (2019): 60–75.
Satriawan, M.Iwan. “Politik Hukum Pemerintahan Desa Di Indonesia.” Jurnal Fiat
Justisia 7, no. 2 (2013): 149–159.
Setianingsih, Irma. “Kontribusi Dana Desa Dalam Menurunkan Angka Kemiskinan Di
Kabupaten Melawi.” Jurnal Ekonomi Daerah (JEDA) 1, no. 3 (2016): 1–18.
Shohibuddin, Mohamad. “Peluang Dan Tantangan Undang-Undang Desa Dalam
Upaya Demokratisasi Tata Kelola Sumber Daya Alam Desa: Perspektif Agraria
Kritis.” Jurnal Sosiologi 21, no. 1 (2016): 1–33.
Silahuddin, M. Kewenangan Desa Dan Regulasi Desa. Jakarta: Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia, 2015.
Susilowati, Nilam Indah, Dwi Susilowati, and Syamsul Hadi. “Pengaruh Alokasi Dana
Desa, Dana Desa, Belanja Modal Dan Produk Domestik Regional Bruto
Terhadap Kemiskinan Kabupaten/Kota Di Jawa Timur.” Jurnal Ilmu Ekonomi 1,
no. 4 (2017): 514–526.
Syahbandir, Mahdi. “Sejarah Pemerintahan Imeum Mukmim Di Aceh.” Kanun Jurnal
Ilmu Hukum 16, no. 62 (2014): 1–17.
Syamsu, Suhardiman. “Memahami Perkembangan Desa Di Indonesia.” Government:
Jurnal Ilmu Pemerintahan 1, no. 1 (2008): 77–88.
Timotius, Richard. “Revitalisasi Desa Dalam Konstelasi Desentralisasi Menurut
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa.” Jurnal Hukum dan
Pembangunan 48, no. 2 (2018): 323–344.
http://jhp.ui.ac.id/index.php/home/article/view/1666.
Toha, Suherman. Penelitian Hukum Adat Dalam Pelaksanaan Pemerintahan Desa
(Studi Empirik Di Bali). Jakarta, 2011.
Turmudi, Hadis. Desa Dan Otonomi Asli (Studi Tentang Perangkat Desa Menuju
Terciptanya Desa Yang Berotonomi Asli). Surakarta, 2017.

You might also like