Kedudukan Perjanjian Bersama (PB) Terhadap Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Dalam Hubungan Industrial
Kedudukan Perjanjian Bersama (PB) Terhadap Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Dalam Hubungan Industrial
Kedudukan Perjanjian Bersama (PB) Terhadap Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Dalam Hubungan Industrial
ABSTRAK
Legally that the relationship between workers and employers are the same even though the
socio-economic position between employees and employers is different, the nature of the
employment law has resulted in employment relationships are not always harmonious
between workers / unions and employers in industrial relations, the number of employers
who eliminate or reduce workers' rights to conduct collective bargaining (PB) to deviate
the collective Labour agreement (CLA), whereas in the company there has been a Labour
agreement (CLA) is still valid by reason of the collective labor agreement (CLA), which is not
in accordance with laws and regulations.
The conclusion obtained is that the position of the Collective Agreement (PB) as a Source of
Law Autonomous Employment Law is part of the Collective Labor Agreement for the
duration of the validity of PKB there are things that do not fit in the employment
relationship so it is possible made the Collective Agreement which will then be included in
the change PKB with the provisions PB must be registered at the Industrial Relations court,
the legal effect of the NT tertentangan with CLA, PB may be declared null and void,
cancellation of PB can be done through the judicial land in the area of collective agreements
made, since the Industrial Relations court has no competence to resolve disputes
cancellation of the Collective Agreement.
Pendahuluan
Perjanjian dalam ranah industrial menjadi hal yang patut dan wajib untuk
diterapkan dalam setiap perusahaan, agar dapat menciptakan pola hubungan kerja yang
tertata dengan rapi, dengan aturan-aturan yang termuat dalam perjanjian bersama
antara pihak pengusaha dan pekerja dalam sebuah perusahaan. Perjanjian Kerja Bersama
(PKB) sebagai sebuah aturan bersama akan menjadi suatu petunjuk teknis pelaksanaan
aturan ketenagakerjaan yang telah diterapkan dalam sistem ketenagakerjaan negara
Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Keberadaan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) menjadi begitu penting dalam sebuah
perusahaan sebagai peraturan bagi para pihak dalam melaksanakan hak dan kewajiban
masing-masing. Hal ini bertujuan untuk menghindari tumpang tindih hak dan kewajiban
antara pengusaha dan pekerja.
1 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta:
2003, hlm.49
2 Idem, hlm. 50
undang, yang akibatnya bertentangan dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang telah
dibuat. Perjanjian Bersama baru yang dibuat bukan berbentuk PKB melainkan
kesepakatan bersama antara pengusaha dan pihak pekerja (serikat pekerja) untuk
menggantikan salah satu ketentuan dalam PKB yang dalam perjalanan hubungan
industrial mengalami perkembangan berdasarkan kebutuhan dalam hubungan industrial
tersebut.
Perjanjian Besama (PB) merupakan jalan keluar yang ditempuh dalam hubungan
industrial agar hubungan kerja dapat berjalan harmonis antara pihak pengusaha /
perusahaan dan pekerja, namun yang menjadi permasalahan adalah bagaimana apabila
perjanjian kerja yang dibuat tersebut bertentangan / melanggar ketentuan undang-
undang yang telah ditetapkan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB), jika ketentuan baru
yang dibuat melalui Perjanjian Bersama (PB) pihak pekerja lebih menguntungkan dari
pada ketentuan PKB dan undang-undang tentu bukan suatu masalah, namun jika
sebaliknya maka tentu akan menimbulkan suatu perselisihan. Contoh yang telah terjadi
yaitu pada salah satu perusahaan industri di Kabupaten Karawang yang menetapkan
Perjanjian Bersama (PB) mengenai waktu kerja, karena dalam Perjanjian Kerja Bersama
(PKB) yang berlaku di perusahaan terdapat interpretasi yang berbeda antara pihak
pengusaha dan pekerja, disepakati dalam Perjanjian Bersama tersebut waktu kerja
selama 40 jam dalam seminggu tanpa batas waktu kerja 7-8 jam sehari, tentu saja hal
tersebut bertentangan dengan undang-undang dan bertentangan dengan isi dalam
Perjanjian Kerja Bersama yang telah ada.
Adapun ketentuan di bidang perburuhan yang dibuat oleh buruh dan majikan
yang biasanya berbentuk perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama dan peraturan
perusahaan. Hukum perburuhan otonom tidak boleh bertentangan dengan dengan
hukum perburuhan heteronom dan dianggap tidak berlaku sehingga yang berlaku adalah
ketentuan yang ada dalam hukum perburuhan heteronom. Hukum perburuhan otnom
baru berlaku apabila isi dari hukum perburuhan diatas atau minimal sama dengan norma
hukum perburuhan heteronom. Artinya, isi hukum perburuhan otonom memiliki
kualitas3 di atas hukum perburuhan heteronom. Artinya hukum perburuha heteronom
menjadi standart minimal yang harus dipatuhi dalam membuat hukum perburuhan
otonom. Bahkan sesungguhnya pembuatan hukum perburuhan otonom menjadi tidak
perlu apabila isinya sama dengan hukum heteronom karena sesungguhnya akan menjadi
duplikasi yang tidak perlu antara hukum perburuhan heteronom dan hukum perburuhan
otonom.
a. Perjanjian Kerja
Perjanjian Kerja dalam Bahasa Belanda disebut Arbeidsoverenkoms, mempunyai
beberapa pengertian. Pasal 1601 a KUHPerdata memberikan pengertian :
Perjanjian kerja dapat dibuat dalam bentuk tertulis atau lisan.7 Secara normatif
bentuk tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi
perselisihan akan sangat membantu proses pembuktian.
Dasar pengaturan Perjanjian Bersama adalah Pasal 7, 13, 23 UU No. 2 Tahun 2004
tentang Peradilan Perselisihan Hubungan Industrial yang mensyaratkan adanya
perundingan untuk penyelesaian perselisihan sebelum putusan pengadilan, dan apabila
disepakati dibuat dalam akta Perjanjian Bersama antara para pihak dan didaftarkan di
Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial.
Dalam hal perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak
mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian
bipartit telah dilakukan. Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud tidak dilampirkan
11 Zainal Asikin, dkk, Dasar-Dasar Hukum Peburuhan, cetakan kelima, Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2004
, hlm. 202
maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan
berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak
tanggal diterimanya pengembalian berkas. Setelah menerima pencatatan dari salah satu
atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan setempat
wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui
konsiliasi atau melalui arbitrase. Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan
penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian
perselisihan kepada mediator.12 Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk
penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Penyelesaian melalui arbitrase
dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh. Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak
tercapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapatmengajukan gugatan kepada
Pengadilan Hubungan Industrial.
12 Arief Alimuddin, “Perjanjian Kerja Bersama antara Karyawan dengan Perusahaan”, Volume 12
Nomor 2 November 2012, Jurnal Ar-Risalah , hlm. 365
13 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaya, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo
Pasal 1335 KUHPerdata tersebut, dapat ditarik kesimpulan sebab yang halal itu
adalah bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak bertentangan dengan
kesusilaan, ketertiban umum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Syarat obyektif wajib dan harus ada dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
Jika syarat obyektif tidak disebutkan atau tidak terpenuhi oleh para pihak maka
akibatnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum.
PB dapat di buat apabila dalam pelaksanaan PKB antara pekerja dan pengusaha
memiliki perbedaan penafsiran / interpretasi terhadap ketentuan PKB namun yang
dibuat tidak boleh bertentangan dengan UU, seperti yang ditetapkan dalam Pasal 78 ayat
(1) huruf a, b sehingga Pengusaha mengambil keuntungan dari klausa pasal tersebut
tanpa memperhatikan ketentuan ayat (2)tentang waktu lembur.
Terhadap ketentuan PB yang menyimpang dari PKB tersebut maka dapat dilakukan
pembatalan perjanjian, dengan alasan perjanjian yang dibuat tidak memenuhi syarat
objektif suatu perjanjian (hal tertentu atau causa yang halal) sehingga karenanya
perjanjian tersebut batal demi hukum (null and void) artinya adalah dari semula
dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu
perikatan (never existed).
Kesimpulan
2. Akibat hukum terhadap PB yang tertentangan dengan PKB, maka PB tersebut dapat
dinyatakan batal demi hukum, pembatalan PB dapat dilakukan melalui peradilan
negeri pada wilayah perjanjian bersama dibuat, karena Peradilan Hubungan Industrial
tidak memiliki kompetensi untuk menyelesaikan perselisihan pembatalan Perjanjian
Bersama.
Saran
Diperlukan pelatihan hukum ketenagakerjaan bagi pengusaha dan pekerja agar adanya
kesamaan pemahaman terhadap hukum ketenagakerjaan sehingga dapat
meminimalisasi konflik / perselisihan antara kepentingan pihak pengusaha / Organisasi
pengusaha dan pekerja / serikat pekerja
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
1 F.X. Djumialdji & Wiwoho Soejono, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan
Pancasila, Bina Aksara, Jakarta: 1987
1 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaya, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja
Grafindo Persada, Jakarta : 2002
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada,
Jakarta: 2003
1 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta: 2002
1 Zainal Asikin, dkk, Dasar-Dasar Hukum Peburuhan, cetakan kelima, Raja Grafindo
Persada, Jakarta : 2004
B. Sumber Lain
1 Arief Alimuddin, “Perjanjian Kerja Bersama antara Karyawan dengan Perusahaan”,
Volume 12 Nomor 2 November 2012, Jurnal Ar-Risalah
Herdiansyah Hamzah, “Tinjauan Yuridis Kedudukan dan Fungsi Perjanjian Kerja
Bersama dalam Hubungan Industrial”, 2009, Volume 5 Nomor 1, Jurnal Risalah
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur
C. Perundang-undangan
KUHPerdata
KUHAPerdata
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Peradilan Perselisihan Hubungan Industrial