Kedudukan Perjanjian Bersama (PB) Terhadap Perjanjian Kerja Bersama (PKB) Dalam Hubungan Industrial

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 15

KEDUDUKAN PERJANJIAN BERSAMA (PB) TERHADAP

PERJANJIAN KERJA BERSAMA (PKB) DALAM HUBUNGAN INDUSTRIAL

Muhammad Holy One N. Singadimedja


Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung
Karawang, Bandung
[email protected]

ABSTRAK
Legally that the relationship between workers and employers are the same even though the
socio-economic position between employees and employers is different, the nature of the
employment law has resulted in employment relationships are not always harmonious
between workers / unions and employers in industrial relations, the number of employers
who eliminate or reduce workers' rights to conduct collective bargaining (PB) to deviate
the collective Labour agreement (CLA), whereas in the company there has been a Labour
agreement (CLA) is still valid by reason of the collective labor agreement (CLA), which is not
in accordance with laws and regulations.
The conclusion obtained is that the position of the Collective Agreement (PB) as a Source of
Law Autonomous Employment Law is part of the Collective Labor Agreement for the
duration of the validity of PKB there are things that do not fit in the employment
relationship so it is possible made the Collective Agreement which will then be included in
the change PKB with the provisions PB must be registered at the Industrial Relations court,
the legal effect of the NT tertentangan with CLA, PB may be declared null and void,
cancellation of PB can be done through the judicial land in the area of collective agreements
made, since the Industrial Relations court has no competence to resolve disputes
cancellation of the Collective Agreement.

Keywords: Position, the Collective Agreement, Working Agreement

Pendahuluan

Konsep hubungan industrial Negara Indonesia sebagai negara yang menghormati


hak-hak dasar warganya dalam berserikat dan berkumpul serta menyampaikan
pendapat, merupakan pencerminan dari penerapan bangunan prinsip demokrasi di
dalam hubungan ketenagakerjaan. Hal tersebut telah dijamin secara konstitusional pada
Pasal 28 D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
menyebutkan bahwa “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. Landasan undang-undang tersebut
melatarbelakangi pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) sebagai landasan aturan
hukum ketenagakerjaan yang berlaku pada tingkatan unit kerja perusahaan. Perjanjian
Kerja Bersama (PKB) dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Collective Labour
Agrement (CLA), atau dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah Collective Arbeids
Overenkomst (CAO), telah dikenal dalam hukum Indonesia berdasarkan ketentuan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.1 Dalam KUHPerdata Pasal 1601 n disebutkan
“Perjanjian Perburuhan adalah peraturan yang dibuat oleh seseorang atau beberapa
orang perkumpulan majikan yang berbadan hukum, dan atau beberapa serikat buruh
berbadan hukum, mengenai syarat-syarat kerja yang harus diindahkan pada waktu
membuat perjanjian kerja.2 Salah satu hal yang menjadi pilar penting dalam hubungan
industrial, adalah keberadaan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) sebagai dasar hubungan
kerja antara pihak pekerja dengan pihak perusahaan dimana mereka bekerja.

Perjanjian dalam ranah industrial menjadi hal yang patut dan wajib untuk
diterapkan dalam setiap perusahaan, agar dapat menciptakan pola hubungan kerja yang
tertata dengan rapi, dengan aturan-aturan yang termuat dalam perjanjian bersama
antara pihak pengusaha dan pekerja dalam sebuah perusahaan. Perjanjian Kerja Bersama
(PKB) sebagai sebuah aturan bersama akan menjadi suatu petunjuk teknis pelaksanaan
aturan ketenagakerjaan yang telah diterapkan dalam sistem ketenagakerjaan negara
Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan.
Keberadaan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) menjadi begitu penting dalam sebuah
perusahaan sebagai peraturan bagi para pihak dalam melaksanakan hak dan kewajiban
masing-masing. Hal ini bertujuan untuk menghindari tumpang tindih hak dan kewajiban
antara pengusaha dan pekerja.

Dalam pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) pada suatu perusahaan,


terkadang terjadi pertentangan-pertetangan antara kedua belah pihak, sehingga
diperlukan sebuah pemahaman akan arti, tujuan dan manfaat pembuatan Perjanjian
Kerja Bersama (PKB) tersebut. Dalam prakteknya banyak pengusaha dan pekerja yang
tidak melaksanakan ketentuan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB), sehingga di luar
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) tersebut Pengusaha dan Pekerja (melalui Serikat
Pekerja) membuat Perjanjian Bersama (PB) dalam melaksanakan hubungan kerja, pihak
perusahaan (melalui ahli hukum atau pengacaranya) maupun pihak pekerja (melalui
serikat pekerja) memiliki interpretasi sendiri-sendiri terhadap ketentuan undang-

1 Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta:

2003, hlm.49
2 Idem, hlm. 50
undang, yang akibatnya bertentangan dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang telah
dibuat. Perjanjian Bersama baru yang dibuat bukan berbentuk PKB melainkan
kesepakatan bersama antara pengusaha dan pihak pekerja (serikat pekerja) untuk
menggantikan salah satu ketentuan dalam PKB yang dalam perjalanan hubungan
industrial mengalami perkembangan berdasarkan kebutuhan dalam hubungan industrial
tersebut.

Perjanjian Besama (PB) merupakan jalan keluar yang ditempuh dalam hubungan
industrial agar hubungan kerja dapat berjalan harmonis antara pihak pengusaha /
perusahaan dan pekerja, namun yang menjadi permasalahan adalah bagaimana apabila
perjanjian kerja yang dibuat tersebut bertentangan / melanggar ketentuan undang-
undang yang telah ditetapkan dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB), jika ketentuan baru
yang dibuat melalui Perjanjian Bersama (PB) pihak pekerja lebih menguntungkan dari
pada ketentuan PKB dan undang-undang tentu bukan suatu masalah, namun jika
sebaliknya maka tentu akan menimbulkan suatu perselisihan. Contoh yang telah terjadi
yaitu pada salah satu perusahaan industri di Kabupaten Karawang yang menetapkan
Perjanjian Bersama (PB) mengenai waktu kerja, karena dalam Perjanjian Kerja Bersama
(PKB) yang berlaku di perusahaan terdapat interpretasi yang berbeda antara pihak
pengusaha dan pekerja, disepakati dalam Perjanjian Bersama tersebut waktu kerja
selama 40 jam dalam seminggu tanpa batas waktu kerja 7-8 jam sehari, tentu saja hal
tersebut bertentangan dengan undang-undang dan bertentangan dengan isi dalam
Perjanjian Kerja Bersama yang telah ada.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis membatasi permasalahan pada


kedudukan Perjanjian Bersama (PB) terhadap Perjanjian Kerja Bersama (PKB) sebagai
sumber hukum ketenagakerjaan serta bagaimana akibat hukum terhadap Perjanjian
Bersama (PB) yang bertentangan dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dalam
pelaksanaan hubungan industrial.

Hukum Heteronom dan Otonom sebagai Sumber Hukum Ketenagakerjaan

Hukum Perburuhan Heteronom adalah semua peraturan perundang-undangan di


bidang perburuhan yang ditetapkan oleh pemerintah yang berbentuk peraturan
perundang-undangan perburuhan baik yang berbentuk undang-undang, peraturan
pemerintah dan berbagai aturan teknis lainnya. Pada dasarnya hukum perburuhan
heteronom dibuat dalam rangka memberikan pengaturan dasar atas segala hal yang
terkait dengan perburuhan dan wajib ditaati oleh semua pihak. Hukum heteronom
menjadi pedoman utama dalam membuat hukum perburuhan otonom yang dilakukan
oleh buruh dan majikan. Maksud pemerintah membentuk hukum perburuhan heteronom
ini agar para pelaku hubungan kerja yang jumlahnya sangat banyak tidak membuat
ketentuan yang berpotensi menimbulkan konflik sekaligus dapat dijadikan sebagai alat
ukur utama dalam meverifikasi apakah hukum perburuhan otonom yang dibuat telah
sesuai dengan standar normatif atau tidak. Standar normatif ini tidak dimaksudkan agar
setiap pelaku hubungan kerja dalam membuat hukum perburuhan otonom harus selalu
sama persis dengan hukum perburuhan heteronom, namun tidak boleh dibawah norma
dari hukum yang bersangkutan.

Sumber hukum perburuhan heteronom terdiri dari peraturan perundang-


undangan sesuai dengan tingkatannya dalam hierarki perundang-undangan
sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan.

Adapun ketentuan di bidang perburuhan yang dibuat oleh buruh dan majikan
yang biasanya berbentuk perjanjian kerja, perjanjian kerja bersama dan peraturan
perusahaan. Hukum perburuhan otonom tidak boleh bertentangan dengan dengan
hukum perburuhan heteronom dan dianggap tidak berlaku sehingga yang berlaku adalah
ketentuan yang ada dalam hukum perburuhan heteronom. Hukum perburuhan otnom
baru berlaku apabila isi dari hukum perburuhan diatas atau minimal sama dengan norma
hukum perburuhan heteronom. Artinya, isi hukum perburuhan otonom memiliki
kualitas3 di atas hukum perburuhan heteronom. Artinya hukum perburuha heteronom
menjadi standart minimal yang harus dipatuhi dalam membuat hukum perburuhan
otonom. Bahkan sesungguhnya pembuatan hukum perburuhan otonom menjadi tidak
perlu apabila isinya sama dengan hukum heteronom karena sesungguhnya akan menjadi
duplikasi yang tidak perlu antara hukum perburuhan heteronom dan hukum perburuhan
otonom.

Landasan Hukum Perjanjian dalam Hubungan Kerja

3 Kualitas yang dimaksud adalah yang menguntungkan pihak pekerja/buruh


Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) Pasal 1313 menjelaskan
bahawa “Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Sedangkan menurut Subekti
suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau
dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Dari peristiwa ini
ditimbulkan suatu hubungan antara dua orang tersebut yang dinamakan perikatan.
Perjanjianmenerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dalam
bentuknya, perjanjian itu berupa rangkaian perkataan yang mengandung janji janji
kesanggupan yang diucapkan atau ditulis.4

Dalam suatu kontrak perjanjian terdapat banyak perikatan-perikatan berwujud


klausula yang disusun dalam pasal-pasal perjanjian yang berlaku dan mengikat para
pihak untuk melaksanakannya. Kausula-klausula tersebut saling berhubungan satu sama
lain yang dibangun berdasarkan kebebasan para pihak yang terlibat dalam perjanjian. 5
Menurut hukum perjanjian kebebasan kedua pihak dalam melakukan perjanjian, harus
terlebih dahulu dicapai melalui suatu proses negosiasi sebelum masuk pada kesepakatan
yang mengikat. Lebih lanjt dalam Pasal 1233 KUHPerdata, dijelaskan bahwa “perikatan
lahir karena persetujuan dan atau karena undang-undang”. Kaidah hukum pasal tersebut
di atas ditegaskan bahwa perikatan tersebut lahir sebagai konsekuensi hukum dari apa
yang telah diperjanjikan, apa yang diperjanjikan tersebut dapat dipertegas dalam Pasal
1234 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “perikatan ditujukan untuk memberikan
sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.” Selanjutnya untuk
adanya suatu perjanjian dapat diwujudkan dalam dua bentuk yaitu perjanjian yang
dilakukan dengan tertulis dan perjanjian yang dilakukan secara lisan. Untuk kedua
bentuk perjanjian tersebut sama kekuatannya dalam arti sama kedudukannya untuk
dapat dilaksanakan oleh para pihak. Hanya saja bila perjanjian dibuat dengan tertulis
dapat dengan mudah dipakai sebagai alat bukti bila sampai terjadi perselisihanan.

4Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta: 2002, hlm. 1


5Herdiansyah Hamzah, “Tinjauan Yuridis Kedudukan dan Fungsi Perjanjian Kerja Bersama dalam
Hubungan Industrial”, 2009, Volume 5 Nomor 1, Jurnal Risalah Hukum, Fakultas Hukum Universitas
Mulawarman, Kalimantan Timur, hlm. 5
Hubungan Kerja

a. Perjanjian Kerja
Perjanjian Kerja dalam Bahasa Belanda disebut Arbeidsoverenkoms, mempunyai
beberapa pengertian. Pasal 1601 a KUHPerdata memberikan pengertian :

“perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (siburuh)


mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak lain, simajikan untuk suatu
waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah”.6
Sedangkan Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan memberikan pengertian “Perjanjian Kerja adalah suatu perjanjian
antara pekerja / buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat
kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak”.

Selain pengertian normatif di atas, Imam Soepomo memberikan pengertian


perjanjiaan kerja adalah “suatu perjanjian dimana pihak kesatu (buruh) mengikatkan diri
untuk bekerja dengan menerima upah dari pihak kedua yakni majikan, dan majikan
mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah”.

Perjanjian kerja dapat dibuat dalam bentuk tertulis atau lisan.7 Secara normatif
bentuk tertulis menjamin kepastian hak dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi
perselisihan akan sangat membantu proses pembuktian.

b. Perjanjian Kerja Bersama


Perjanjian Perburuhan atau dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan adalah
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dalam Bahasa Inggris dikenal dengan istilah Collective
Labour Aggrement (CLA) atau dalam Bahasa Belanda disebut dengan Collective Arbeids
Overenkomst (CAO),8 perjanjian ini dikenal dalam hukum Indonesia berdasarkan
ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Sedangkan pengertian
perjanjian perburuhan menurut Lotmar, Tarifvertrage ialah suatu “perjanjian antara
seorang majikan atau lebih dengan sekelompk buruh yang memuat syarat-syarat upah dan
kerja untuk perjanjian-perjanjian kerja yang akan diadakan kemudian”.9

6 Lalu Husni, op.cit. hlm. 54-55


7 Pasal 51 ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
8 Lalu Husni, op.cit, hlm 49
9 F.X. Djumialdji & Wiwoho Soejono, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan Pancasila, Bina

Aksara, Jakarta: 1987, hlm. 13


Berdasarkan Pasal 1 angka 21 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jo
Pasal 1 angka 2 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. KEP-
48/MEN/IV/2004, Perjanjian Kerja Bersama yaitu perjanjian yang merupakan hasil
perundingan antara serikat pekerja/serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat
buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan
dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang
memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Dari pengertian di atas terdapat kesamaan yaitu bahawa baik perjanjian
perburuhan atau Perjanjian Kerja Bersama (PKB) adalah dimaksudkan untuk mengatur
hubungan antara kedua belah pihak dalam melakukan hubungn kerja antara
pekerja/buruh dengan majikan/pengusaha. Hal tersebut dimaksudkan juga sebagai
acuan dasar atau sebagai induk dalam membuat perjanjian kerja.
c. Perjanjian Bersama
Pada penyelesaian perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan
penyelesaian melalui perundingan Bipatrit yaitu penyelesaian perselisihan diantara para
pihak baik pekerja dan pengusaha, mengenai perselisihan hak, kepentingan, maupun
perselisihan PHK karena adanya perbedaan penafsiran /interpretasi dalam pelaksanaan
UU dan PKB; jika perundingan mencapai kesepakatan dibuatkan persetujuan bersama
(PB) yang harus di daftarkan pada Peradilan Perselisihan Hubungan Industrial, dan
dibuatkan akta yang di lampirankan bersama dengan Perjanjian Bersama (PB) ; apabila
tidak tercapai kesepakatan, maka dapat dilakukan upaya mediasai, Konsiliasi, dan
arbitrase yang diselesaikan melalui instansi ketenagakerjaan atau lembaga konsiliasi dan
arbitrase dalam penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan.

Dasar pengaturan Perjanjian Bersama adalah Pasal 7, 13, 23 UU No. 2 Tahun 2004
tentang Peradilan Perselisihan Hubungan Industrial yang mensyaratkan adanya
perundingan untuk penyelesaian perselisihan sebelum putusan pengadilan, dan apabila
disepakati dibuat dalam akta Perjanjian Bersama antara para pihak dan didaftarkan di
Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial.

Dalam prakteknya kesepakatan yang dituangkan dalam Perjanjian Bersama


melampaui ketentuan dalam Perjanjian Kerja Bersama sebagai dasar pelaksanaan
hubungan kerja, hal ini sering menimbulkan masalah selanjutnya dari masalah awal yang
telah ada.
Perselisihan Hubungan Industrial

Dalam pengaturan ketenagakerjaan konsep yang dipakai dalam perselisihan


hubungan industrial yaitu perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan
antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat
pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan
kepentingan, dan perselisihan pemutusan hubungan kerja serta perselisihan antar
serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.10

Mengenai perselisihan perburuhan dibedakan antara perselisihan hak


(rechtsgeschillen) dan perselisihan kepentingan (belangen-geschillen) Perselisihan Hak
adalah perselisihan yang timbul karena satu pihak tidak memenuhi isi perjanjian kerja,
perjanjian perburuhan, peraturan perusahaan ataupun menyalahi ketentuan hukum.
Sedangkan perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang terjadi akibat dari
perubahan syarat-syarat perburuhan atau dengan kata lain perselisihan yang timbul
berhubung dngan tidak adanya persesuaian paham mengenai syarat-syarat kerja dan
atau keadaan perburuhan.11

Penyelesaian perselisihan hubungan industrial diatur dengan Undang-Undang


Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial diselesaikan dengan diupayakan
penyelesaian terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk
mencapai mufakat. Penyelesaian melalui bipartit harus diselesaikan paling lama 30 (tiga
puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Apabila dalam jangka waktu 30
(tiga puluh) hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan
perundingan tetapi tidak tercapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap
gagal.

Dalam hal perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak
mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian
bipartit telah dilakukan. Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud tidak dilampirkan

10 Pasal 1 angka 22 Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

11 Zainal Asikin, dkk, Dasar-Dasar Hukum Peburuhan, cetakan kelima, Raja Grafindo Persada, Jakarta : 2004
, hlm. 202
maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan
berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak
tanggal diterimanya pengembalian berkas. Setelah menerima pencatatan dari salah satu
atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab dibidang ketenagakerjaan setempat
wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui
konsiliasi atau melalui arbitrase. Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan
penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian
perselisihan kepada mediator.12 Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk
penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh. Penyelesaian melalui arbitrase
dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh. Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak
tercapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapatmengajukan gugatan kepada
Pengadilan Hubungan Industrial.

Akibat Hukum Perjanjian Bersama (PB) yang Bertentangan dengan Perjanjian


Kerja Bersama (PKB)

Sebelum diuraikan akibat hukum dari Perjanjian Bersama yang bertentangan


dengan Perjanjian Kerja Bersama akan diuraikan terlebih dahulu syarat sah nya
perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata yang juga telah diadopsi oleh
Undang-Undang Ketenagakerjaan pada Pasal 52 ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan.

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya


b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
c. Suatu hal tertentu dan
d. Suatu sebab yang halal
Keempat syarat sahnya perjanjian tersebut, dapat dikelompokkan menjadi dua,
yaitu :13
a. Syarat Subyektif

12 Arief Alimuddin, “Perjanjian Kerja Bersama antara Karyawan dengan Perusahaan”, Volume 12
Nomor 2 November 2012, Jurnal Ar-Risalah , hlm. 365
13 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaya, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo

Persada, Jakarta : 2002, hlm. 94


Syarat yang menyangkut pada subyek perjanjian itu atau dengan kata lain, syarat-
syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian dimana hal ini
meliputi :

1) Sepakat dari mereka yang mengikatkan diri. Kesepakatan para pihak


merupakan unsur mutlak untuk terjadinya suatu kontrak. Kesesuaian kehendak
ini harus dinyatakan dan tidak cukup hanya dalam hati saja, karena hal itu tidak
akan diketahui oleh orang lain. Pernyataan sepakat ini tidak terbatas dengan
dengan mengucapkan kata-kata, akan tetapi juga bisa diwujudkan dengan
tanda-tanda yang dapat diartikan sebagai kehendak untuk menyetujui adanya
perjanjian tersebut seperti tulisan tolok ukur kesepakatan para pihak adalah
pernyataan-pernyataan yang boleh dipegang untuk dijadikan dasar sepakat
adalah pernyataan secara obyektif yang dapat dipercaya14atau yang secara
sungguh-sungguh memang dikehendaki oleh oleh para pihak.
Berdasarkan syarat sahnya perjanjian tersebut di atas, khususnya syarat
kesepakatan yang merupakan penentu terjadinya atau lahirnya perjanjian,
berarti bahwa tidak adanya kesepakatan para pihak maka tidak terjadi kontrak
/perjanjian.
2) Cakap untuk membuat suatu perjanjian.
Untuk mengadakan perjanjian, para pihak harus cakap, namun dapat saja terjadi
bahwa para pihak atau salah satu pihak yang mengadakan perjanjian adalah
tidak cakap menurut hukum. Seorang oleh KUHPerdata dianggap tidak cakap
untuk melakukan perjanjian jika belum berumur 21 tahun, kecuali ia telah
kawin sebelum itu. Sebaliknya setiap orang yang berumur 21 tahun keatas, oleh
hukum dianggap cakap kecuali karena suatu hal dia ditaruh di bawah
pengampuan, seperti dungu, sakit ingatan atau pemboros.
Apabila syarat subyektif tidak terpenuhi oleh para pihak mengakibatkan
perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut dapat dibatalkan. Pihak yang
dapat mengajukan pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau pihak
yang memberikan kesepakatan secara tidak bebas. Jadi perjanjian yang telah

14 Subekti, Hukum Perjanjian, op.cit, hlm 7


dibuat tetap mengikat, selama tidak dibatalkan oleh Pengadilan atas permintaan
yang berkepentingan.
b. Syarat Obyektif
Syarat obyektif adalah syarat yang menyangkut pada obyek perjanjian, meliputi :
1) Suatu yang tertentu
Dalam suatu perjanjian objek perjanjian harus jelas dan ditentukan oleh para
pihak. Objek perjanjian tersebut dapat berupa barang maupun jasa, namun dapat
juga berupa tidak berbuat sesuatu. Hal tertentu dalam perjanjian disebut prestasi
yang dapat berwujud barang, keahlian atau tenaga, dan tidak berbuat sesuatu.
Maka dalam setiap perjanjian baik yang melahirkan perikatan untuk memberikan
sesuatu, perikatan untuk berbuat sesuatu atau perikatan tidak berbuat sesuatu,
senantiasa haruslah jelas yang menjadi objek perjanjiannya, yang selanjutnya akan
menjadi objek dalam perikatan yang lahir (baik secara timbal balik atau tidak)
diantara para pihak yang membuat perjanjian tersebut.15
2) Suatu sebab yang halal
Syarat obyektif lainnya dalam perjanjian yaitu suatu sebab yang halal diatur oleh
Pasal 1335 KUHPerdata yang menerangkan bahwa suatu sebab yang halal adalah :
a) Bukan tanpa sebab, artinya jika ada sebab lain daripada yang dinayatakan
b) Bukan sebab yang palsu, artinya adanya sebab yang palsu atau dipalsukan
c) Bukan sebab yang terlarang, artinya apabila berlawanan dengan kesusilaan
atau ketertiban umum.

Pasal 1335 KUHPerdata tersebut, dapat ditarik kesimpulan sebab yang halal itu
adalah bahwa perjanjian yang dibuat oleh para pihak tidak bertentangan dengan
kesusilaan, ketertiban umum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Syarat obyektif wajib dan harus ada dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
Jika syarat obyektif tidak disebutkan atau tidak terpenuhi oleh para pihak maka
akibatnya adalah perjanjian tersebut batal demi hukum.

Pembatalan Perjanjian dalam Perselisihan Ketenagakerjaa

15 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaya, op.cit, hlm 18


Contoh yang telah disampaikan di atas terjadi yaitu pada salah satu perusahaan
industri tekstil di Kabupaten Karawang yang menetapkan Perjanjian Bersama (PB)
mengenai waktu kerja, karena dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang berlaku di
perusahaan terdapat interpretasi yang berbeda antara pihak pengusaha dan pekerja,
disepakati dalam Perjanjian Bersama tersebut waktu kerja selama 40 jam dalam
seminggu tanpa batas waktu kerja 7-8 jam sehari, perusahaan dapat mempekerjakan
pekerja berapa jam pun dalam satu hari dengan ketentuan bekerja selama 40 jam satu
minggu, tentu saja hal tersebut bertentangan dengan undang-undang dan bertentangan
dengan isi dalam Perjanjian Kerja Bersama yang telah ada.

Pasal 77 ayat (1) UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mewajibkan


pengusaha melaksanakan waktu kerja, 7 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu
untuk 6 hari kerja dalam seminggu, 8 jam dalam 1 hari dan 40 jam dalam 1 minggu untuk
5 hari kerja dalam seminggu. Selanjutnya dalam Pasal 78 UU No. 13 tahun 2003
menyatakan bahwa :

(1) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/ buruh melebihi waktu kerja


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2) harus memenuhi syarat :
a. Ada persetujuan pekerja/buruh yang bersangkutan; dan
b.Waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 3 (tiga) jam dalam
1 (satu) hari dan 14 (empat belas) jam dalam 1 (satu) minggu
(2) Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib membayar upah kerja lembur
Contoh permasalahan tersebut menunjukkan bahwa atas dasar Pasal 77 ayat (2)
huruf a bahwa harus adanya persetujuan terhadap waktu kerja dan Pasal 77 ayat (1)
bahwa dalam satu minggu pekerja bekerja maksimal 40 jam, dibuatlah Perjanjian
Bersama (PB) antara Pengusaha dan Pekerja (Serikat Pekerja) di luar Perjanjian Kerja
Bersama yang telah ada / berlaku.

PB dapat di buat apabila dalam pelaksanaan PKB antara pekerja dan pengusaha
memiliki perbedaan penafsiran / interpretasi terhadap ketentuan PKB namun yang
dibuat tidak boleh bertentangan dengan UU, seperti yang ditetapkan dalam Pasal 78 ayat
(1) huruf a, b sehingga Pengusaha mengambil keuntungan dari klausa pasal tersebut
tanpa memperhatikan ketentuan ayat (2)tentang waktu lembur.
Terhadap ketentuan PB yang menyimpang dari PKB tersebut maka dapat dilakukan
pembatalan perjanjian, dengan alasan perjanjian yang dibuat tidak memenuhi syarat
objektif suatu perjanjian (hal tertentu atau causa yang halal) sehingga karenanya
perjanjian tersebut batal demi hukum (null and void) artinya adalah dari semula
dianggap tidak pernah ada dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu
perikatan (never existed).

Dalam Perselisihan Hubungan Industrial tidak mengatur secara spesifik mengenai


Pembatalan Perjanjian Bersama, namun pada prinsipnya suatu perjanjian tidak dapat di
buat dan atau dibatalkan secara sepihak, pembatalan perjanjian harus melalui proses
hukum. Namun pembatalan PB tidak dapat dijukan / dimintakan kepada PPHI karena
PPHI tidak memiliki kompetensi untuk menyelesaikan perselisihan perjanjian bersama
baik itu yang berakibat hukum dapat dibatalkan maupun batal demi hukum. PPHI hanya
menyelesaikan 4 (empat) perselisihan yang telah ditetapkan dalam UU PPHI.

Proses pembatalan perjanjian dapat diajukan ke Pengadilan Negeri di wilayah


perjanjian tersebut di buat, oleh salah satu pihak yang membuat perjanjian dimana pihak
tersebut dirugikan atas perjanjian yang dibuat.

Kesimpulan

1. Kedudukan Perjanjian Bersama (PB) sebagai Sumber Hukum Otonom Hukum


Ketenagakerjaan merupakan bagian dari Perjanjian Kerja Bersama, dengan ketentuan,
selama masa waktu berlakunya PKB terdapat hal yang tidak sesuai dalam hubungan
kerja sehingga dimungkinkan dibuat Perjanjian Bersama, yang kemudian akan
dimasukan dalam perubahan PKB, dengan ketentuan PB tersebut harus didaftarkan
pada Peradilan Hubungan Industrial

2. Akibat hukum terhadap PB yang tertentangan dengan PKB, maka PB tersebut dapat
dinyatakan batal demi hukum, pembatalan PB dapat dilakukan melalui peradilan
negeri pada wilayah perjanjian bersama dibuat, karena Peradilan Hubungan Industrial
tidak memiliki kompetensi untuk menyelesaikan perselisihan pembatalan Perjanjian
Bersama.

Saran
Diperlukan pelatihan hukum ketenagakerjaan bagi pengusaha dan pekerja agar adanya
kesamaan pemahaman terhadap hukum ketenagakerjaan sehingga dapat
meminimalisasi konflik / perselisihan antara kepentingan pihak pengusaha / Organisasi
pengusaha dan pekerja / serikat pekerja

DAFTAR PUSTAKA
A. Buku-Buku
1 F.X. Djumialdji & Wiwoho Soejono, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan
Pancasila, Bina Aksara, Jakarta: 1987
1 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaya, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja
Grafindo Persada, Jakarta : 2002
Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada,
Jakarta: 2003
1 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta: 2002
1 Zainal Asikin, dkk, Dasar-Dasar Hukum Peburuhan, cetakan kelima, Raja Grafindo
Persada, Jakarta : 2004
B. Sumber Lain
1 Arief Alimuddin, “Perjanjian Kerja Bersama antara Karyawan dengan Perusahaan”,
Volume 12 Nomor 2 November 2012, Jurnal Ar-Risalah
Herdiansyah Hamzah, “Tinjauan Yuridis Kedudukan dan Fungsi Perjanjian Kerja
Bersama dalam Hubungan Industrial”, 2009, Volume 5 Nomor 1, Jurnal Risalah
Hukum, Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur

C. Perundang-undangan
KUHPerdata
KUHAPerdata
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Peradilan Perselisihan Hubungan Industrial

You might also like