Jurnal Al-Ma'iyyah (Putus Sekolah)

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 16

Problematika Putus Sekolah dan Pengangguran

(Analisis Sosial Pendidikan)

Problematika Putus Sekolah Dan Pengangguran


( Analisis Sosial Pendidikan )

Muh. Dahlan Thalib


Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri

Abstrac
Leaving school and joblessness were the problematic social reality in
education. The factors of dropping out today are endogenous (self) and
exogenous (environmental) factors. This paper tries to describe the social
education. This is due to the lack of religious social upbringing, lack of parents'
understanding of education in economic and social conditions, and cultural,
social environment and low IQ factors. While the problem of unemployment is
more dominant due to professionalism or educational skills that are oriented to
the fulfillment of the world of work.
Alternative solutions to solving the problem of leaving school
include: (a) equitable distribution of the educational social environment; (b)
promote the concept of lifelong education; (c) the use of various work activities
for school dropouts and unemployment; (d) maximizing the role of the family's
social environment in the continuation of children's education; (e) implement
free education policy efforts. The availability of educational institutions that
are equitable with the support of adequate facilities, then supported by the
atmosphere of a social environment that is oriented to improving the quality of
education that is sustainable will be able to develop an educational orientation
based on work professionalism.

Keywords: Leaving School, Social Education

Abstrak
Putus sekolah dan pengangguran merupakan problematika realitas
sosial dalam dalam dunia pendidikan. Faktor-faktor terjadinya putus sekolah
dewasa ini adalah faktor endogen (diri sendiri) dan faktor eksogen
(lingkungan). Tulisan ini mencoba mendeskripsikan secara sosial pendidikan.
Hal ini diakibatkan kurangnya didikan sosial keagamaan, kurangnya
pengertian orang tua tentang pendidikan keadaan ekonomi dan sosial, dan
faktor budaya, lingkungan sosial dan IQ yang rendah. Sedangkan masalah
pengangguran lebih dominan diakibatkan oleh faktor profesionalisme atau
keterampilan pendidikan yang berorientasi pada pemenuhan dunia kerja.
Solusi alternatif pemecahan masalah putus sekolah, antara lain: (a)
pemerataan lingkungan sosial pendidikan; (b) menggalakkan konsep

Jurnal Al-Ishlah, Volume XI No. 20 Januari-Juni 2013 1


Problematika Putus Sekolah dan Pengangguran
(Analisis Sosial Pendidikan)

pendidikan seumur hidup; (c) pemaanfaatan berbagai kegiatan kerja bagi


putus sekolah dan pengangguran; (d) memaksimalkan peran lingkungan sosial
keluarga dalam kelanjutan pendidikan anak; (e) melaksanakan upaya
kebijakan pendidikan gratis. Ketersediaan lembaga pendidikan yang merata
dengan dukungan fasilitas yang memadai, kemudian ditunjang oleh suasana
lingkungan sosial masyarakat yang berorientasi pada peningkatan mutu
pendidikan yang berkelanjutan akan mampu mengembangkan orientasi
pendidikan yang berbasis profesinalisme kerja.

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak-anak diarahkan untuk bersekolah di berbagai lembaga
pendidikan, karena pendidikan adalah suatu kebutuhan pokok, ia setara dengan
kebutuhan manusia terhadap pangan dan sandang. Dewasa ini, ternyata masih
ada sebagian masyarakat yang tidak mampu menyelesaikan pendidikan di
berbagai tingkatan, jenis dan struktur lembaga pendidikan dengan berbagai
alasan. Mereka akhirnya putus sekolah yang antara lain alasannya adalah faktor
dana dan pembiayaan. Sekarang ini, pemerintah Repulik Indonesia, khususnya
dalam lingkup Pemerintahan Daerah telah beramai-ramai mencanangkan
pendidikan gratis sekolah untuk mengantisipasi banyaknya masyarakat putus
sekolah, utamanya karena faktor dana dan alasan biaya yang tidak mencukupi.
Sebagai akibat dari putus sekolah, terutama bagi mereka dalam usia
remaja memiliki dampak pengaruh di tengah-tengah masyarakat, tentu saja
harus segera diantisipasi. Untuk mengetahui hal tersebut, maka diperlukan
kajian lebih lanjut tentang sejumlah indikator akibat terjadinya putus sekolah
yang berimplikasi munculnya pengangguran. Berbagai upaya yang telah
dilakukan untuk mengantisipasi kedua penomena sosial dalam lingkup
masyarakat sekarang ini, namun ironisnya ternyata sejumlah indikator yang ada
belum sepenuhnya memenuhi perubahan sosial pendidikan, baik dalam lingkup
strukturalisasi pendidikan maupun dalam lingkup kulturasi sosial-budaya
secara umum.
Secara nasional, tujuan pendidikan diletakkan pada tiga pilar, yaitu (1)
pemerataan kesempatan dan perluasan akses; (2) peningkatan mutu, relevansi,
dan daya saing; (3) penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik.
Pilar Pemeratan kesempatan dan perluasan akses merupakan salah satu upaya
meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui penciptaan dan
peningkatan layanan pendidikan kepada seluruh warga negara. Pemerintah
mencanangkan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang
bermutu dan tuntas pada tahun 2008. Namun sebuah fakta muncul kemudian,
bahwa gerakan Wajib Belajar 9 Tahun justru menenggelamkan nilai-nilai
pendidikan yang sebenarnya diakibatkan oleh berbagai penyimpangan dalam
peningkatan dan penggunaan anggaran pendidikan dasar. Bahkan program

Jurnal Al-Ishlah, Volume XI No. 20 Januari-Juni 2013 2


Problematika Putus Sekolah dan Pengangguran
(Analisis Sosial Pendidikan)

Wajar 9 Tahun hanya dijadikan sebagai akses penguatan informasi publik yang
syarat dengan berbagai kepentingan untuk memegang kendali pemerintahan.
Kondisi serupa semakin diperparah oleh kondisi sosial pendidikan
pada jenjang pendidikan selanjutnya, yakni pada tingkat SMA/SMU hingga di
Perguruan Tinggi, justru semakin mengalami masalah besar seiring dengan
semakin melebarnya akses pendidikan, utamanya dalam memasuki ambang
pintu dunia kerja. Relevansi antara kondisi sosial pendidikan akibat putus
sekolah dengan maraknya pengangguran merupakan realitas yang tidak
terbantahkan lagi. Putus sekolah yang berakibat lahirnya penganggurang
memiliki pengaruh signifikan dalam membentuk citra, watak dan martabat
kehidupan harmonis dalam berkebangsaan, berperadaban dan berkeagamaan.
Olehnya itu, capaian tujuan sosial pendidikan yang diharapkan adalah menata
kondisi ranah sosial-budaya masyarakat dan dipahami sebagai bagian integral
dari nilai-nilai universal dari tujuan pendidikan. Makalah ini akan melirik
sebuah realitas sosial masyarakat dalam dimensi pendidikan dengan
menfokuskan pada capaian tujuan pendikan secara simultan dan paripurna.

B. Rumusan Masalah
Relevan dengan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka masalah
pokok yang akan dijadikan subjek kajian, sebagai berikut:
1. Apa indikator yang mempengaruhi terjadinya putus sekolah dan
pengangguran?
2. Bagaimana pengaruh putus sekolah dan pengangguran terhadap kondisi
sosial remaja dan impilikasinya bagi kondisi sosial masyarakat?
3. Bagaimana alternatif pemecahan masalah dalam mengantisipasi terjadinya
putus sekolah dan penganggurang?

II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Konsep
Secara kebahasaan putus sekolah1 mengandung arti tidak adanya
hubungan lagi dengan sekolah. Sebagaimana dalam definisi yang dikemukakan
Moh. Shohib, bahwa :
Putus sekolah adalah keadaan tidak melanjutkan pendidikan pada
lembaga pendidikan formal, baik karena dikeluarkan dari sekolah, atau
karena tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan formal
berikutnya yang lebih tinggi dengan berbagai alasan.2

1
Secara etimologi, putus artinya, tidak berhubungan, rampung, berakhir, hilang tidak
adalagi kaitan. Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia
(Cet.IX; Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 914. Sedangkan sekolah adalah lembaga pendidikan
formal misalnya SD sederajat, SMP sederajat atau SMU sederaja.
2
Moh. Shohib, Pola Asuh Orang Tua (Cet. I; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), h. 18

Jurnal Al-Ishlah, Volume XI No. 20 Januari-Juni 2013 3


Problematika Putus Sekolah dan Pengangguran
(Analisis Sosial Pendidikan)

Berdasar pada batasan definisi di atas, maka pengertian putus sekolah


dapat dilihat dalam dua segi. Pertama, tidak melanjutkan pedidikan secara
formal di suatu sekolah karena alasan dikeluarkan atau alasan lain. Kedua,
tidak melanjutkan pendidikan formal yang lebih tinggi, misalnya dari tamatan
SD tidak lanjut ke SMP, atau dari SMP ke SMA karena berbagai alasan atau
faktor yang menyebabkannya.
Di negara berkembang seperti Indonesia, persoalan putus sekolah
menjadi suatu problematika tersendiri, dan menyebabkan sebagian besar
penduduk dalam keadaan buta huruf dan pendidikan yang tidak berlanjut. Cara
yang paling efektif untuk keluar dari lingkaran kemelaratan dan kebodohan
adalah melalui pendidikan sosial kemasyarakatan, orang tua sebagai
penanggung jawab keluarga harus menyadari betapa pentingnya bagi anak
untuk mengenyam pendidikan, bila tidak, maka anak kurang mendapat
pendidikan sekolah, putus sekolah atau bahkan tidak pernah sama sekali
mendapat pendidikan dibangku sekolah. Sementara satu sisi pengelola
pendidikan, utamanya penanggungjawab pendidikan harus memiliki fungsi
ganda untuk menyikapi kemungkinan terjadinya putus sekolah bagi peserta
didiknya.
Masalah kependidikan yang serius dihadapi pada umumnya, antara
lain berkisar pada masalah mutu pendidikan, kesiapan tenaga pendidik,
fasilitas, dan lapangan pekerjaan. Masalah yang terakhir memiliki cakupan
yang sangat kompleks sebagai bagian nilai sosial yang berimplikasi dari sebuah
proses pendidikan. Kekurangtersediaan lapangan pekerjaan akan berimbas
pada kemapanan sosial dan eksistensi pendidikan dalam perspektif masyarakat.
Dalam kerangka ini, dipahami bahwa pendidikan harus diposisikan sebagai
sarana untuk peningkatan kesejahteraan melalui pemanfatan kesempatan kerja
yang ada. Sedangkan tujuan akhir program pendidikan bagi masyarakat
pengguna jasa pendidikan, adalah teraihnya lapangan kerja yang diharapkan.
Tidak ditemukan literatur yang pasti mengenai terminologi
pengangguran. Namun dalam pengertian secara publik, pengangguran adalah
orang yang masuk dalam angkatan kerja (berkisar 15 - 64 tahun) yang sedang
mencari dan/atau belum mendapatkan pekerjaan. Orang yang tidak/sedang
mencari kerja, seperti ibu rumah tangga, siswa sekolan SMP, SMA, Mahasiswa
PT, dan sebagainya, tidak/belum dikategorikan membutuhkan pekerjaan.
Sesederhana apapun pengertian tentang arti penganguran, namun yang
sangat penting dan aktual disikapi dalam realitas sosial masyarakat adalah
terkait dengan jenis atau macam pengangguran. Dimas Apriyana
mengemukakan bahwa pengangguran terdiri dari komponen, sebagai berikut:3
1. Pengangguran Friksional (Frictional Unemployment). yakni pengangguran
yang sifatnya sementara yang disebabkan adanya kendala waktu, informasi

3
Lihat: http://dimas-apriyana.blogspot.com/.html.

Jurnal Al-Ishlah, Volume XI No. 20 Januari-Juni 2013 4


Problematika Putus Sekolah dan Pengangguran
(Analisis Sosial Pendidikan)

dan kondisi geografis antara pelamar kerja dengan pembuka lamaran


pekerjaan.
2. Pengangguran Struktural (Structural Unemployment), yakni keadaan di
mana penganggur yang mencari lapangan pekerjaan tidak mampu
memenuhi persyaratan yang ditentukan pembuka lapangan kerja. Semakin
maju suatu perekonomian suatu daerah akan meningkatkan kebutuhan
akan sumber daya manusia yang memiliki kualitas yang lebih baik dari
sebelumnya.
3. Pengangguran Musiman (Seasonal Unemployment), yakni keadaan
menganggur karena adanya fluktuasi kegiaan ekonomi jangka pendek yang
menyebabkan seseorang harus nganggur. Contohnya petani yang menanti
musim tanam, tukang jualan jagung atau durian yang menanti datangnya
musim jagung atau durian.
4. Pengangguran Siklikal, yakni pengangguran yang menganggur akibat
imbas naik turun siklus ekonomi sehingga permintaan tenaga kerja lebih
rendah daripada penawaran kerja.
Terdapat pula jenis pengangguran dalam perpektif lain, yakni
pengangguran sukarela (voluntary unemployment) dan dukalara (involuntary
unemployment). Pengangguran suka rela adalah pengangguran yang
menganggur untuk sementara waktu karena ingin mencari pekerjaan lain yang
lebih baik. Sedangkan pengangguran duka lara adalah pengangguran yang
menganggur karena sudah berusaha mencari pekerjaan namun belum berhasil
mendapatkan kerja.4 Penulis berpendapat bahwa kedua jenis pengangguran ini
dikategorikan sebagai pengangguran disebabkan oleh psiko-sosial dalam
pendidikan.
Sesungguhnya, relevansi antara dunia pendidikan setelah melalui
proses pendidikan dan dinyatakan lulus, kemudian dapat bekerja di sektor
formal, memiliki nilai sosial kejiwaan (psiko-sosial) yang lebih tinggi di
banding sektor informal. Keterbatasan lapangan pekerjaan yang berpotensi
untuk tidak dapat tertampungnya lulusan program pendidikan di lapangan
kerja, secara linear berpotensi menggugat eksistensi dan urgensi pendidikan
dalam perspektif masyarakat. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan secara
signifikan terhadap eksistensi lembaga pendidikan. Lapangan pekerjaan
merupakan indikator penting tingkat kesejahteraan masyarakat dan sekaligus
menjadi indikator keberhasilan penyelenggaraan pendidikan.
B. Faktor-faktor dan Pengaruh terjadinya Putus Sekolah dan
Pengangguran

4
Ibid.

Jurnal Al-Ishlah, Volume XI No. 20 Januari-Juni 2013 5


Problematika Putus Sekolah dan Pengangguran
(Analisis Sosial Pendidikan)

Meskipun pencanangan wajib belajar pendidikan dasar 9 tahun oleh


pemerintah sejak tahun 1994,5 menunjukkan keberhasilan jika dilihat dari
angka partisipasi sekolah di semua tingkatan. Angka partisipasi murni SD saat
ini sudah mencapai 90 persen lebih, sedangkan SMP di angka 60-an persen
dengan tren membaik setiap tahun. Namun, keterbatasan kemampuan sebagian
masyarakat mengelola pendidikan tampak dari masih relatif tingginya angka
putus sekolah. Di tingkat pendidikan dasar, putus sekolah masih menjadi
perhatian serius dalam upaya penuntasan wajib belajar. Angka putus sekolah
seluruh jenjang pendidikan di Indonesia empat tahun terakhir masih di atas satu
juta siswa per tahun. Dari jumlah itu, sebagian besar (80 persen) adalah mereka
yang masih duduk di jenjang pendidikan dasar (SD-SMP).6
Pada kenyataannya, kemajuan dan dunia globalisasi telah banyak
mempengaruhi putus sekolah, terjadinya penyalagunaan narkoba atau
sejenisnya, pergaulan bebas pria dan wanita, kriminalitas, dan lain-lain.7
Fenomena perilaku negatif lain yang terjadi pada generasi muda akibat putus
sekolah adalah terjadinya pengangguran, boleh jadi menggiring diri mereka
pada perilaku kriminalitas dan norma-norma etika agama. Bahkan menurut
laporan dari United Nation Congres of The Prevention of Crime yang
melakukan pertemuan di London pada tahun 1990-an bahwa adanya kenaikan
signifikan jumlah putus sekolah.8 Fakta ini kemudian menunjukkan bahwa
semua tipe kejahatan bagi mereka yang putus sekolah semakin meningkat
seiring dengan semakin lajunya perkembangan industrialisasi dan urbanisasi.
Putus sekolah yang terjadi pada sebagian masyarakat dewasa ini,
adalah faktor endogen (diri sendiri) dan faktor eksogen (lingkungan). Faktor-
faktor tersebut disebabkan oleh beberapa alasan dan keadaan yaitu sebagai
berikut :
Pertama, kualitas diri bagi yang bersangkutan itu sendiri, seperti
perkembangan emosional yang kurang bahkan tidak sehat, mengalami

5
Kemudian Presiden mengeluarkan Instruksi No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan
Percepatan Penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun, namun target ketuntasan nya sebagaimana
yang diharapkan empat tahun terakhir belum mencapai hasil yang significant.
6
Selengkapnya lihat http://www.menegpp.go.id/index.php?option=com,- putus
sekolah menjadi masalah . Dari data yang diakses ini ternyata dilihat secara persentase, jumlah
total siswa yang putus sekolah dari SD atau SMP memang hanya berkisar 2 hingga 3 persen
dari total jumlah siswa. Namun, persentase yang kecil tersebut menjadi besar jika dilihat angka
sebenarnya. Jumlah anak putus sekolah SD setiap tahun rata-rata berjumlah 600.000 hingga
700.000 siswa. Sementara itu, jumlah mereka yang tidak menyelesaikan sekolahnya di SMP
sekitar 150.000 sampai 200.000 orang.
7
Lihat, Moekti Ali, Generasi Muda Islam (Cet.II; Bandung: Remaja Rosdakarya,
1998), h. 46.
8
Kartini Kartono, Patalogi Sosial 2 Kenakalan Remaja (Cet II; Jakarta : Rajawali,
1992), h. 3.

Jurnal Al-Ishlah, Volume XI No. 20 Januari-Juni 2013 6


Problematika Putus Sekolah dan Pengangguran
(Analisis Sosial Pendidikan)

hambatan dalam perkembangan hati nurani yang bersih dan agamis, ketidak
mampuan mempergunakan waktu luang secara tidak sehat dan ekonomis.
Kedua, kualitas ekonomi yang rendah dan lingkungan keluarga dalam
keadaan pra sejahtera. Dalam hal keadaan ekonomi yang tidak mendukung
kemauan dan kesempatan belajar mengakibatkan mereka putus sekolah.9
Sementara faktor lain yang secara ringkas disebutkan dapat
menyebabkan putus sekolah adalah : (1) Faktor kurangnya pembinaan dan
bimbingan orang tua, (2) Faktor ekonomi atau kemiskinan, (3) Faktor
demoralisasi seksual dan demoralisasi akibat dari perubahan dan globalisasi,
(4) Faktor keinginan yang tidak terkendali, dan (5) Pengaruh alkohol dan
kebiadaban.10 Demikian pula faktor kultur budaya masyarakat peternalistik.
Indikator lain menyebabkan terjadinya putus sekolah secara fisik dan
fisikis yang berakibat pada dekadensi moral khususnya kepada generasi muda,
dapat diidentifikasi, antara lain: (1) Ekonomi yang tidak mapan; (2)
Meningkatnya agresivitas dan dorongan seksualnya; (3) Salah asuh dan salah
didik orang tua, sehingga anak jadi manja dan bermental lemah; (4) Hasrat
untuk berkumpul, hura-hura dan kesukaan untuk meniru-niru perilaku orang
lain; (5) Kecenderungan pembawaan yang patologis atau abnormal; dan (6)
Konflik batin sendiri, kemudian menggunakan cara-cara pelarian diri dan
pembelaan diri yang irasional.11
Sesungguhnya masih banyak faktor dan sebab-sebab yang dapat
menyebabkan putus sekolah, dan timbulnya dekadensi moral, antara lain
disebabkan oleh faktor ekonomi sebagaimana yang berkali-kali disebutkan,
lingkungan keluarga, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan pergaulan dan lain-
lain. Selain perilaku-peerilaku yang tidak baik yang didapatkan dari orang
dewasa seperti film, komik yang bersifat porno dan tidak mengindahkan nilai-
nilai dan mutu tetapi hanya mementingkan segi komersial semata-mata.12
Searah dengan terma ini maka dapat dirumuskan, sebagai berikut:13
1. Kurangnya didikan sosial keagamaan.
Didikan agama bukan hanya sebatas pengajaran agama yang diberikan
secara sengaja dan teratur seperti yang dilakukan oleh guru di sekolah, namun
yang lebih penting adalah penanaman jiwa agama yang dimulai di rumah
tangga sejak kecil dengan cara pembiasaan, latihan dan pengalaman-
pengalaman. Kebiasaan-kebiasaan yang baik itu sesuai dengan pendidikan

9
Yudha Purwoko, Memecahkan Masalah Remaja (Cet I; Bandung: Nuansa, 2001), h.
15.
10
Lihat, Ibid., h. 22.
11
Lihat, Ibid.
12
Lihat H. A. Rahman Getteng, Pendidikan Islam dalam Pembangunan (Ujung
Pandang : Yayasan al-Ahkam, 1997), h. 55.
13
Rumusan yang dikemukakan disadur dari Yudha Purwoko, op. cit., h. 24-30.

Jurnal Al-Ishlah, Volume XI No. 20 Januari-Juni 2013 7


Problematika Putus Sekolah dan Pengangguran
(Analisis Sosial Pendidikan)

agama, yaitu lebih mudah tertanam pada jiwa anak, apabila orang dewasa
dalam lingkungan rumah tangga terutama kedua orang tua memberi contoh
teladan yang baik dalam kehidupan.
2. Kurang pengertian orang tua tentang pendidikan
Memberikan pendidikan pada anak mengalami kesulitan disebabkan
karena masih banyaknya orang tua yang belum mengerti tentang bagaimana
sebenarnya menanamkan pendidiakn agama terhadap anaknya, mereka
beranggapan bahwa apabila sudah memenuhi kebutuhan makan, pakaian cukup
sesuai dengan kebutuhan selesailah tugas mereka, tidak memperdulikan
pendidikan padahal pendidikan merupakan suatu usaha atau perbaikan bagi
orang yang bertanggung jawab terhadap anak-anak yang sedang mengalami
pertumbuhan budi pekerti, akhlak yang baik, intelek serta jasmaninya menuju
kepada kedewasaan dan bertanggung jawab.
M. Ngalim Purwanto mengemukakan bahwa berhasil baik atau
tidaknya pendidikan di sekolah bergantung pada dan dipengaruhi oleh
pendidikan di dalam keluarga. Pendidikan keluarga adalah fundamen atau
dasar dari pendidikan anak selanjutnya. Hasil-hasil pendidikan yang diperoleh
anak dalam keluarga menentukan pendidikan anak itu selanjutnya, baik di
sekolah maupun di masyarakat.14 Pandangan tersebut di atas menunjukkan
betapa perlunya orang tua senantiasa memperhatikan perkembangan dan
kemajuan pendidikan anak-anaknya, sebab perhatian dan bimbingan yang
cukup dari orang tua sangat menunjang bagi keberhasilan pendidikan anak.
Dalam lingkungan keluarga yang terpenting bagi anak adalah
keseluruhan perlakuan-perlakuan orang tua terhadap putera-puteranya yang
diterima dalam lingkungan keluarga, mereka merasa disayangi dan
diperhatikan oleh kedua orang tuanya. Bahkan anak membutuhkan kasih
sayang tertentu jika orang mengalami kekurangan kasih sayang maka
perkembangan anak menjadi tidak baik. Bila mana anak merasa tidak
disayangi dan kurang mendapat perhatian dari orang tuanya maka ia mencari
jalan lain yang bermacam-macam cara yang ditempuhnya misalnya
melaksanakan kelakuan-kelakuan yang menarik perhatian, tidak mau
mengindahkan apa-apa yang disampaikan akibat perasaan yang tertekan maka
makin menjadi-jadi kelakuannya.
3. Faktor keadaan Ekonomi dan Sosial
Apabila keadaan ekonomi tidak stabil dan stabiltas sosial tidak terjaga,
maka masyarakat akan mengalami kegoncangan dan kegelisahan disebabkan
karena perubahan yang menimbulkan kegoncangan. Hal ini timbul di
masyarakat dan bisa berbias pada terjadinya putus sekolah, dan pengangguran
yang merajalela.

14
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Cet. XV; Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2003), h. 79.

Jurnal Al-Ishlah, Volume XI No. 20 Januari-Juni 2013 8


Problematika Putus Sekolah dan Pengangguran
(Analisis Sosial Pendidikan)

Dari uraian di atas, maka dapat dipahami bahwa yang menyebabkan


terjadinya putus sekolah, banyak alasan dan faktor-faktor yang
melatarbelakanginya. Hal tersebut bisa terjadi karena adanya faktor interen,
tetapi juga banyak faktor lain diluar dari diri (eksteren) yang dapat
mempengaruhinya. Olehnya karena itu, perlu orang tua, keluarga, masyarakat
dan pemerintah bersama-sama mengantisipasi hal-hal yang dapat menyebabkan
terjadinya putus sekolah, dan di antara upaya itu adalah memasyaratkan
pendidikan seumur hidup. Hubungannya dengan sosialisasi remaja atau
generasi muda khususnya yang mengalami putus sekolah, mengalami
problematika tersendiri baik secara internal dan eksternal bagi diri mereka.
4. Faktor budaya, lingkungan sosial dan IQ yang rendah
Faktor budaya yang dimaksudkan di sini adalah terkait dengan
kebiasaan masyarakat di sekitarnya. Hal ini lebih dominan terjadi di
lingkungan pedesaan, yaitu rendahnya kesadaran orang tua atau masyarakat
akan pentingnya pendidikan. Perilaku masyarakat pedesaan dalam
menyekolahkan anaknya lebih banyak dipengaruhi faktor lingkungan. Mereka
beranggapan tanpa bersekolah pun anak-anak mereka dapat hidup layak seperti
anak lainnya yang bersekolah. Oleh karena di desa jumlah anak yang tidak
bersekolah lebih banyak dan mereka dapat hidup layak maka kondisi seperti itu
dijadikan landasan dalam menentukan masa depan anaknya. Sementara faktor
lainnya adalah cacat, IQ yang rendah, rendah diri, dan umur yang melampaui
usia sekolah. Faktor ini akibat akses informasi pendidikan yang lambat dan
dapat diterima dalam lingkup sosial masyarakat yang paternalistik.
Sedangkan masalah pengangguran lebih dominan diakibatkan oleh
faktor profesionalisme atau keterampilan pendidikan yang berorientasi pada
pemenuhan dunia kerja. Masalah ketenagakerjaan sekarang ini sudah mencapai
kondisi yang cukup memprihatinkan ditandai dengan jumlah penganggur yang
besar, pendapatan yang relatif rendah dan kurang merata. Sebaliknya
pengangguran yang tinggi merupakan pemborosan pemborosan sumber daya
dan potensi yang ada, menjadi beban keluarga dan masyarakat, sumber utama
kemiskinan, dapat mendorong peningkatan keresahan sosial dan kriminal, dan
dapat menghambat pembangunan dalam jangka panjang.
Pengangguran terjadi disebabkan antara lain, yaitu karena jumlah
lapangan kerja yang tersedia lebih kecil dari jumlah pencari kerja, kompetensi
pencari kerja tidak sesuai dengan pasar kerja. Selain itu juga kurang efektifnya
informasi pasar kerja bagi para pencari kerja. Tingginya angka pengangguran,
masalah ledakan penduduk, distribusi pendapatan yang tidak merata, dan
berbagai permasalahan lainnya menjadi salah satu faktor utama rendahnya taraf
hidup para penduduk.
Pengangguran umumnya disebabkan karena jumlah angkatan kerja
tidak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan yang mampu menyerapnya.
Pengangguran seringkali menjadi masalah dalam perekonomian karena dengan

Jurnal Al-Ishlah, Volume XI No. 20 Januari-Juni 2013 9


Problematika Putus Sekolah dan Pengangguran
(Analisis Sosial Pendidikan)

adanya pengangguran, produktivitas dan pendapatan masyarakat akan


berkurang sehingga dapat menyebabkan timbulnya kemiskinan dan masalah
sosial lainnya. Tidak adanya pendapatan menyebabkan penganggur harus
mengurangi pengeluaran konsumsinya yang menyebabkan menurunnya tingkat
kemakmuran dan kesejahteraan. Pengangguran yang berkepanjangan juga
dapat menimbulkan efek psikologis yang buruk terhadap penganggur dan
keluarganya.
Hal ini terjadi karena pengganguran berdampak negatif terhadap
kegiatan perekonomian, seperti yang dijelaskan di bawah ini: pertama,
Pengangguran bisa menyebabkan masyarakat tidak dapat memaksimalkan
tingkat kemakmuran yang dicapainya. Kedua, Pengangguran akan
menyebabkan pendapatan nasional yang berasal dari sektor pajak berkurang.
Ketiga, Pengangguran tidak menggalakkan pertumbuhan ekonomi. Adanya
pengangguran akan menyebabkan daya beli masyarakat akan berkurang
sehingga permintaan terhadap barang-barang hasil produksi akan berkurang.
C. Solusi Alternatif pemecahan Masalah Putus Sekolah dan
Pengangguran.
Beberapa langkah strategis dalam pemecahan masalah putus Sekolah
dan Pengangguran, sebagai berikut:
1. Pemerataan Lingkungan Sosial Pendidikan
Secara universal data dan indikator pendidikan tertumpu pada tiga
aspek penting, yaitu: (1) Pemerataan kesempatan dan perluasan akses; (2)
Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing; dan (3) Peningkatan tata kelola,
akuntabilitas, dan pencitraan publik. Pada aspek pemerataan pendidikan pada
hakikatnya adalah setiap orang/penduduk mempunyai kesempatan yang sama
untuk memperoleh pendidikan pada semua jenis dan tingkatan lembaga
pendidikan, tanpa dibedakan jenis kelamin, status sosial, ekonomi, masyarakat,
agama, suku, dan lokasi geografis. Sasaran aspek pemerataan adalah
menciptakan keadilan dan kesejahteraan yang merata melalui pelayanan
pendidikan. Pemerataan pendidikan mencakup persamaan kesempatan, akses,
keadilan atau kewajaran.
Contoh kegiatan di bidang pemerataan kesempatan dan perluasan
akses pendidikan adalah pemberian beasiswa untuk siswa miskin atau yang
rentan putus sekolah, pelatihan guru PLB, pembenahan SLTP terbuka,
pengembangan SD-SMP Satu Atap, peningkatan angka melanjutkan,
pengurangan angka putus sekolah, dan sebagainya. Dengan demikian
pemerataan pendidikan sebagai indikator pembangunan pendidikan menjadi
permasalahan pokok, sebab dimungkinkan terjadi peningkatan angka anak
tidak dan putus sekolah.
2. Menggalakkan Konsep Pendidikan Seumur Hidup
Pendidikan konsep seumur hidup merupakan pemecahan atas masalah
putus sekolah. Pendidikan dalam rangka pendidikan seumur hidup menjadi

Jurnal Al-Ishlah, Volume XI No. 20 Januari-Juni 2013 10


Problematika Putus Sekolah dan Pengangguran
(Analisis Sosial Pendidikan)

sangat penting untuk mendewasakan warga negara dalam kehidupan


demokrasi, kehidupan berbangsa dan bernegara. Sehingga perkembangan
institusi politik dapat dimainkan secara jujur oleh seluruh komponen bangsa.
Pendidikan adalah proses bimbingan dalam upaya pembentukan akhlak mulia
dengan tidak melupakan kemajuan duniawi dan ilmu pengetahuan yang
berguna untuk perseorangan dan ke-masyarakatan.15 Mengenai pengertian
seumur hidup adalah perjalanan manusia seumur hidup (lifelong).16 Dengan
demikian, konsep pendidikan seumur hidup yang dimaksud di sini adalah
rancangan atau gagasan tentang proses pembimbingan manusia yang terus
berlangsung.
Dari konsep inilah, lahir beberapa istilah yang mengacu pada
termininologi pendidikan seumur hidup, yakni dalam International Dictionary
of Education dikatakan bahwa pendidikan seumur tiada lain kecuali adalah
pendidikan orang dewasa (adult education), pendidikan permanen (educational
permanent) atau pendidikan berulang (recurrent education).17 Istilah-istilah ini,
kemudian terkonsep dalam istilah life long education atau life long integrated
education. Untuk itu, pendidikan formal harus diutamakan bagaimana cara
belajar, menanamkan motivasi yang kuat dalam diri anak didik untuk belajar
terus menerus sepanjang hayatnya.
Kebijaksanaan negara menetapkan prinsip pembangunan nasional,
sebagai pembangunan manusia seutuhnya, di mana pembangunan bangsa dan
watak bangsa di mulai dengan pembangunan subjek manusia. Pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya secara khusus merupakan tanggung jawab
lembaga-lembaga pendidikan, yang berlangsung secara terus-menerus tanpa
batas usia. Dengan demikian, asas pendidikan seumur hidup bertitik tolak atas
keyakinan bahwa proses pendidikan dapat berlangsung selama manusia hidup,
baik di dalam maupun di luar sekolah.
Pendidikan seumur hidup diarahkan kepada orang-orang putus
sekolah yang sadar tentang diri mereka untuk belajar seumur hidup. Sebagai
pelajar seumur hidup, mereka harus melihat sistem belajar baru sebagai cara
yang logis untuk mengatasi problema dan terdorong untuk belajar di seluruh
tingkat usia dan menerima tantangan dari perubahan. Sistem pendidikan
seumur hidup bertujuan membantu perkembangan orang-orang secara sadar
dan sistematik merespon untuk beradaptasi dengan lingkungan. Burhanuddin

15
Bahaking Rama, Sejarah Pendidikan Islam; Pertumbuhan dan Perkembangan
Hingga Masa Khulafaurrasyidin (Cet. I; Jakarta: Paradotama Wiragemilang, 2002), h. 8. Llihat
juga H. Mappanganro, Implementasi Pendidikan Islam di Sekolah (Cet.I; Ujung Pandang:
Yayasan Ahkam, 1996), h. 10.
16
Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan ( Bandung: Remaja Rosda Karya,
2004), h. 79.
17
Tery Page, et. all, International Dictionary of Education (Camridge: The MIT Press,
1980), h. 206

Jurnal Al-Ishlah, Volume XI No. 20 Januari-Juni 2013 11


Problematika Putus Sekolah dan Pengangguran
(Analisis Sosial Pendidikan)

Salam merumuskan pendidikan manusia seutuhnya dan seumur hidup


bertujuan: pertama, Untuk mengembangkan potensi kepribadian manusia
sesuai dengan kodrat dan hakikatnya, yakni seluruh aspek pembawaannya
seoptimal mungkin. Kedua, Berlangsung selama manusia hidup seirama
pertumbuhan kepribadian manusia yang bersifat dinamis.18
Pendapat kedua tokoh pendidikan di atas, memberikan gambaran
bahwa tujuan pendidikan seumur hidup dilaksanakan sebagaimana upaya
pengembangan potensi kepribadian manusia sesuai dengan kodrat
penciptaannya. Makhluk berkepribadian yang memiliki potensi-potensi dan
memiliki hak yang sama dalam menerima pendidikan untuk mengembangkan
seluruh potensinya sepanjang hidupnya.
3. Pemaanfaatan berbagai Kegiatan Kerja bagi Putus Sekolah dan
Pengangguran
Hidup ini harus diisi dengan kegiatan yang bermanfaat. Ajaran Islam,
bahkan seluruh agama tidak memberi peluang sedikit pun bagi seorang untuk
menganggur di sepanjang saat yang dialaminya dalam kehidupan dunia ini.
Seseorang yang telah memenuhi waktunya dengan pekerjaan, kemudian dia
menyelesaikan pekerjaan tersebut, maka waktu antara selesainya pekerjaan
yang pertama dan dimulainya pekerjaan.19
Jika menghadapi dua alternatif untuk melakukan satu di antara dua
pekerjaan yang sama dan memiliki nilai yang sama pula, maka hendaknya
dipilih pekerjaan yang memakan waktu lebih singkat. Di sisi lain, jika ada
pekerjaan yang mengandung nilai tambah dan dapat diselesaikan dalam waktu
yang sama dengan pekerjaan yang tidak memiliki nilai tambah, maka pilihlah
pekerjaan yang memiliki nilai tambah tersebut.20 Di samping pekerjaan
bermanfaat, bagi mereka yang putus sekolah bisa memanfaatkan waktu untuk
tetap melakukan pendidikan secara non formal, sebab sebagaimana yang
dipahami bahwa pendidikan merupakan kebutuhan mutlak yang harus
dipenuhi.
Melalui pendidikan nonformal, mereka yang putus sekolah dapat
hidup berkembang sejalan dengan aspirasi untuk maju, sejahtera, dan bahagia
menurut konsep dan pandangan hidupnya hal ini relevan dengan kebutuhan
bangsa sekarang ini yang masih dalam proses perkembangan. Hal ini berarti
bahwa, setiap manusia diharapkan agar selalu berkembang sepanjang
hidupnya, dan di lain pihak masyarakat dan pemerintah diharapkan agar dapat
menciptakan situasi yang menunjang untuk belajar dan bagi masyarakat
membuka lembaga pendidikan nonformal. Dengan adanya lembaga pendidikan

18
Burhanuddin Salam, Dasar-dasar Paedagogie (Jakarta: Bumi Aksara, 1989), h. 214.
19
Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an; Tafsir Mawdhui atas Pelbagai
Persoalan Umat. Cet. XV (Jakarta: Mizan, 2004), h. 224.
20
Lihat M. Quraish Shihab, op. cit., h. 225-226.

Jurnal Al-Ishlah, Volume XI No. 20 Januari-Juni 2013 12


Problematika Putus Sekolah dan Pengangguran
(Analisis Sosial Pendidikan)

nonformal ini, secara tidak langsung memberi peluang kepada mereka yang
putus sekolah untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya pada
jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu, namun tidak dapat dipungkiri
bahwa lembaga pendidikan tersebut, belum dapat dinikmati oleh semua lapisan
masyarakat.
4. Memaksimalkan peran lingkungan sosial keluarga dalam kelanjutan
Pendidikan Anak
Lingkungan keluarga, utamanya orang tua merupakan pendidik utama
dan pertama bagi anak-anak mereka. Corak pendidikan dalam rumah tangga
secara umum tidak berpangkal tolak dari kesadaran dan pengertian yang lahir
dari pengetahuan mendidik, melainkan secara kodrati suasana dan strukturnya
memberikan kemungkinan alami membangun situsi atau iklim pendidikan yang
berkelanjutan. Timbulnya iklim atau suasana tersebut, karena adanya interaksi
yaitu hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua
dan anak.21 Orang tua memegang peranan yang penting dan sangat
berpengaruh atas pendidikan anak-anaknya. Begitu pentingnya tanggung jawab
orang tua dalam memberikan pendidikan terhadap anak-anaknya, Syauqih
mengatakan seperti yang dikutip oleh Khaeruddin bahwa:
Bukanlah anak yatim itu adalah seorang anak yang kedua orang tuanya
telah pergi dari kesusahan hidup dan meninggalkannya dalam keadaan
hina, sesungguhnya anak yatim itu adalah anak yang mendapatkan
seorang ibu yang mengabaikannya atau seorang ayah yang sibuk. 22
Seorang anak apabila telah memasuki usia sekolah menjadi tugas dan
tangung jawab orang tua untuk menyerahkan anaknya kepada sekolah. Hal ini
tidak berarti bahwa, orang tua tersebut sudah lepas dari tanggung jawab, sebab
pelayanan sekolah terhadap pendidikan anak juga sangat terbatas dalam waktu
tertentu serta bahan pelajaran tertentu pula, selebihnya menjadi tugas dan
tanggung jawab orang tua di rumah untuk memberikan pelayanan,
pengawasan, perhatian, bahkan bimbingan belajar di rumah. Faktor lain yang
menjadi tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak adalah
menyediakan alat-alat perlengkapan belajar anak di rumah, memperhatikan
lingkungan pergaulan, memberikan kesempatan kepada anak untuk
menyampaiakan dan mengungkapkan masalahnya.
5. Pendidikan Gratis.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan pendidikan gratis, hal ini tentu
tidak berlaku kepada semua daerah, karena ini merupakan program pemerintah
daerah sendiri dan sifatnya tidak menyeluruh artinya kebijakan ini tidak
berlaku secara nasional. Kebijakan pendidikan gratis merupakan kebijakan

21
Khaeruddin, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Makassar: Yayasan Pendidikan Fatiah,
2002)., h. 100
22
Ibid., h. 102.

Jurnal Al-Ishlah, Volume XI No. 20 Januari-Juni 2013 13


Problematika Putus Sekolah dan Pengangguran
(Analisis Sosial Pendidikan)

yang diprogramkan oleh pemerintah kepada daerahnya dengan tujuan


memberikan pelayanan pendidikan yang menyeluruh kepada tiap jenjang
masyarakat yang membutuhkan pendidikan keberadaan program sekolah gratis
ini tentunya melalui pertimbangan sebelum melakukan pengambilan keputusan
untuk memberlakukan program ini kepada daerah. Beberapa hal yang
mendasari program pendidikan gratis, di antaranya faktor ekonomi, mutu
pendidikan, tingkat kesejahteraan masyarakat dalam hal pendidikan.
Pendidikan gratis tidak sepenuhnya bisa dikatakan mengenai sasaran, hal ini
disebabkan oleh pemerintah yang belum sepenuhnya merealisasikan. Namun,
pendidikan gratis setidaknya mampu mengurangi pengangguran yang ada dan
diharapkan mampu meningkatkan mutu pendidikan.
Pembangunan bangsa Indonesia kedepan sangat tergantung pada
kualitas sumber daya manusia Indonesia yang sehat fisik dan mental serta
mempunyai keterampilan dan keahlian kerja, sehingga mampu membangun
keluarga yang bersangkutan untuk mempunyai pekerjaan dan penghasilan yang
tetap dan layak, sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup, kesehatan dan
pendidikan anggota keluarganya.
Dalam pembangunan Nasional, kebijakan ekonomi makro yang
bertumpu pada sinkronisasi kebijakan fiskal dan moneter harus mengarah pada
penciptaan dan perluasan kesempatan kerja. Untuk menumbuh kembangkan
usaha mikro dan usaha kecil yang mandiri perlu keberpihakan kebijakan
termasuk akses, pendamping, pendanaan usaha kecil dan tingkat suku bunga
kecil yang mendukung. Kebijakan Pemerintah Pusat dengan kebijakan
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota erupakan satu kesatuan
yang saling mendukung untuk penciptaan dan perluasan kesempatan kerja.
Ketersediaan lembaga pendidikan yang merata dengan dukungan
fasilitas yang memadai, kemudian ditunjang oleh suasana lingkungan sosial
masyarakat yang berorientasi pada peningkatan mutu pendidikan yang
berkelanjutan akan mampu mengembangkan orientasi pendidikan yang
berbasis profesinalisme kerja. Putus sekolah dan pengangguran bukanlah hal
yang mesti ditakuti dan menjadi “jamur-jamur” kehidupan sosial pendidikan
masyarakat apabila akses pemerintah dan masyarakat senantiasa seirama dan
harmonis, sejalan dengan dinamika produktivitas sumber daya alam yang
tersedia. Lapangan kerja senantiasa terbuka lebar apabila masalah-masalah
sosial yang melingkupi dunia pendidikan dijadikan tolok ukur dalam
pengembangan konsep-konsep dan sistem pendidikan serta dijadikan pusat
kajian dalam memperjuangkan hak-hak publik, utamanya dalam pemenuhan
hak-hak dalam memperoleh pendidikan.

III. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan:
1. Masalah putus sekolah dan pengangguran merupakan realitas sosial yang
memiliki kaitan langsung dalam dunia pendidikan. Keduanya dapat

Jurnal Al-Ishlah, Volume XI No. 20 Januari-Juni 2013 14


Problematika Putus Sekolah dan Pengangguran
(Analisis Sosial Pendidikan)

dijadikan sebagai tolok ukur utama dalam menilai keberhasilan dinamika


pendidikan secara universal.
2. Faktor-faktor terjadinya putus sekolah dewasa ini adalah faktor endogen
(diri sendiri) dan faktor eksogen (lingkungan). Hal ini diakibatkan oleh
kurangnya didikan sosial keagamaan, kurang pengertian orang tua tentang
pendidikan keadaan ekonomi dan sosial, dan faktor budaya, lingkungan
sosial dan IQ yang rendah. Sedangkan masalah pengangguran lebih
dominan diakibatkan oleh faktor profesionalisme atau keterampilan
pendidikan yang berorientasi pada pemenuhan dunia kerja.
3. Beberapa upaya solusi alternatif pemecahan masalah putus sekolah, antara
lain: (a) pemerataan lingkungan sosial pendidikan; (b) menggalakkan
konsep pendidikan seumur hidup; (c) pemaanfaatan berbagai kegiatan
kerja bagi putus sekolah dan pengangguran; (d) memaksimalkan peran
lingkungan sosial keluarga dalam kelanjutan pendidikan anak; (e)
melaksanakan upaya kebijakan pendidikan gratis.
4. Ketersediaan lembaga pendidikan yang merata dengan dukungan fasilitas
yang memadai, kemudian ditunjang oleh suasana lingkungan sosial
masyarakat yang berorientasi pada peningkatan mutu pendidikan yang
berkelanjutan akan mampu mengembangkan orientasi pendidikan yang
berbasis profesinalisme kerja.
Wallah A’lam bi al-Shawab.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Moektii, Generasi Muda Islam. Cet.II; Bandung: Remaja Rosdakarya,


1998.
Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia.
Cet.IX; Jakarta: Balai Pustaka, 1997.
Http://dimas-apriyana.blogspot.com/.html.
Http://www.menegpp.go.id/index.php?option=com,- putus sekolah menjadi
masalah.
Kartono, Kartini. Patalogi Sosial 2 Kenakalan Remaja. Cet II; Jakarta:
Rajawali, 1992
Khaeruddin, Ilmu Pendidikan Islam. Cet. I; Makassar: Yayasan Pendidikan
Fatiah, 2002.
Mappanganro, H. Implementasi Pendidikan Islam di Sekolah. Cet.I; Ujung
Pandang: Yayasan Ahkam, 1996.

Jurnal Al-Ishlah, Volume XI No. 20 Januari-Juni 2013 15


Problematika Putus Sekolah dan Pengangguran
(Analisis Sosial Pendidikan)

Mudyahardjo, Redja. Filsafat Ilmu Pendidikan . Bandung: Remaja Rosda


Karya, 2004.
Page, Terry, et. all, International Dictionary of Education. Camridge: The MIT
Press, 1980.
Purwanto, M. Ngalim. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Cet. XV;
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2003
Purwoko, Yudha. Memecahkan Masalah Remaja. Cet I; Bandung: Nuansa,
2001.
Rahman Getteng, H. A. Pendidikan Islam dalam Pembangunan. Ujung
Pandang : Yayasan al-Ahkam, 1997.
Rama, Bahaking. Sejarah Pendidikan Islam; Pertumbuhan dan Perkembangan
Hingga Masa Khulafaurrasyidin. Cet. I; Jakarta: Paradotama
Wiragemilang, 2002
Salam, Burhanuddin Salam, Dasar-dasar Paedagogie. Jakarta: Bumi Aksara,
1989.
Shihab, M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an; Tafsir Mawdhui atas
Pelbagai Persoalan Umat. Cet. XV. Jakarta: Mizan, 2004.
Shohib, Moh., Pola Asuh Orang Tua. Cet. I; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998
Sihombing, U. Konsep dan pengembangan pendidikan berbasis masyarakat.
Dalam Fasli Jalal, & Dedi Supriadi. “Reformasi pendidikan dalam
Konteks Otonomi Daerah”. Yogyakarta: Adicitahal. 2001
Tilaar, H.A.R. Pendidikan Masyarakat Indonesia Baru. Jakarta: Gramedia.
2002
Tobing, Elwin. Pengangguran Tenaga Kerja Terdidik. Media Indonesia. 2004.
Wibawa, B.. Partisispasi masyarakat: Potret tahun kedua di era otonomi
pendidikan. (Makalah). Jakarta: UNJ. 2002

Jurnal Al-Ishlah, Volume XI No. 20 Januari-Juni 2013 16

You might also like