Jurnal Al-Ma'iyyah (Putus Sekolah)
Jurnal Al-Ma'iyyah (Putus Sekolah)
Jurnal Al-Ma'iyyah (Putus Sekolah)
Abstrac
Leaving school and joblessness were the problematic social reality in
education. The factors of dropping out today are endogenous (self) and
exogenous (environmental) factors. This paper tries to describe the social
education. This is due to the lack of religious social upbringing, lack of parents'
understanding of education in economic and social conditions, and cultural,
social environment and low IQ factors. While the problem of unemployment is
more dominant due to professionalism or educational skills that are oriented to
the fulfillment of the world of work.
Alternative solutions to solving the problem of leaving school
include: (a) equitable distribution of the educational social environment; (b)
promote the concept of lifelong education; (c) the use of various work activities
for school dropouts and unemployment; (d) maximizing the role of the family's
social environment in the continuation of children's education; (e) implement
free education policy efforts. The availability of educational institutions that
are equitable with the support of adequate facilities, then supported by the
atmosphere of a social environment that is oriented to improving the quality of
education that is sustainable will be able to develop an educational orientation
based on work professionalism.
Abstrak
Putus sekolah dan pengangguran merupakan problematika realitas
sosial dalam dalam dunia pendidikan. Faktor-faktor terjadinya putus sekolah
dewasa ini adalah faktor endogen (diri sendiri) dan faktor eksogen
(lingkungan). Tulisan ini mencoba mendeskripsikan secara sosial pendidikan.
Hal ini diakibatkan kurangnya didikan sosial keagamaan, kurangnya
pengertian orang tua tentang pendidikan keadaan ekonomi dan sosial, dan
faktor budaya, lingkungan sosial dan IQ yang rendah. Sedangkan masalah
pengangguran lebih dominan diakibatkan oleh faktor profesionalisme atau
keterampilan pendidikan yang berorientasi pada pemenuhan dunia kerja.
Solusi alternatif pemecahan masalah putus sekolah, antara lain: (a)
pemerataan lingkungan sosial pendidikan; (b) menggalakkan konsep
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak-anak diarahkan untuk bersekolah di berbagai lembaga
pendidikan, karena pendidikan adalah suatu kebutuhan pokok, ia setara dengan
kebutuhan manusia terhadap pangan dan sandang. Dewasa ini, ternyata masih
ada sebagian masyarakat yang tidak mampu menyelesaikan pendidikan di
berbagai tingkatan, jenis dan struktur lembaga pendidikan dengan berbagai
alasan. Mereka akhirnya putus sekolah yang antara lain alasannya adalah faktor
dana dan pembiayaan. Sekarang ini, pemerintah Repulik Indonesia, khususnya
dalam lingkup Pemerintahan Daerah telah beramai-ramai mencanangkan
pendidikan gratis sekolah untuk mengantisipasi banyaknya masyarakat putus
sekolah, utamanya karena faktor dana dan alasan biaya yang tidak mencukupi.
Sebagai akibat dari putus sekolah, terutama bagi mereka dalam usia
remaja memiliki dampak pengaruh di tengah-tengah masyarakat, tentu saja
harus segera diantisipasi. Untuk mengetahui hal tersebut, maka diperlukan
kajian lebih lanjut tentang sejumlah indikator akibat terjadinya putus sekolah
yang berimplikasi munculnya pengangguran. Berbagai upaya yang telah
dilakukan untuk mengantisipasi kedua penomena sosial dalam lingkup
masyarakat sekarang ini, namun ironisnya ternyata sejumlah indikator yang ada
belum sepenuhnya memenuhi perubahan sosial pendidikan, baik dalam lingkup
strukturalisasi pendidikan maupun dalam lingkup kulturasi sosial-budaya
secara umum.
Secara nasional, tujuan pendidikan diletakkan pada tiga pilar, yaitu (1)
pemerataan kesempatan dan perluasan akses; (2) peningkatan mutu, relevansi,
dan daya saing; (3) penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan pencitraan publik.
Pilar Pemeratan kesempatan dan perluasan akses merupakan salah satu upaya
meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui penciptaan dan
peningkatan layanan pendidikan kepada seluruh warga negara. Pemerintah
mencanangkan program Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun yang
bermutu dan tuntas pada tahun 2008. Namun sebuah fakta muncul kemudian,
bahwa gerakan Wajib Belajar 9 Tahun justru menenggelamkan nilai-nilai
pendidikan yang sebenarnya diakibatkan oleh berbagai penyimpangan dalam
peningkatan dan penggunaan anggaran pendidikan dasar. Bahkan program
Wajar 9 Tahun hanya dijadikan sebagai akses penguatan informasi publik yang
syarat dengan berbagai kepentingan untuk memegang kendali pemerintahan.
Kondisi serupa semakin diperparah oleh kondisi sosial pendidikan
pada jenjang pendidikan selanjutnya, yakni pada tingkat SMA/SMU hingga di
Perguruan Tinggi, justru semakin mengalami masalah besar seiring dengan
semakin melebarnya akses pendidikan, utamanya dalam memasuki ambang
pintu dunia kerja. Relevansi antara kondisi sosial pendidikan akibat putus
sekolah dengan maraknya pengangguran merupakan realitas yang tidak
terbantahkan lagi. Putus sekolah yang berakibat lahirnya penganggurang
memiliki pengaruh signifikan dalam membentuk citra, watak dan martabat
kehidupan harmonis dalam berkebangsaan, berperadaban dan berkeagamaan.
Olehnya itu, capaian tujuan sosial pendidikan yang diharapkan adalah menata
kondisi ranah sosial-budaya masyarakat dan dipahami sebagai bagian integral
dari nilai-nilai universal dari tujuan pendidikan. Makalah ini akan melirik
sebuah realitas sosial masyarakat dalam dimensi pendidikan dengan
menfokuskan pada capaian tujuan pendikan secara simultan dan paripurna.
B. Rumusan Masalah
Relevan dengan uraian yang telah dikemukakan di atas, maka masalah
pokok yang akan dijadikan subjek kajian, sebagai berikut:
1. Apa indikator yang mempengaruhi terjadinya putus sekolah dan
pengangguran?
2. Bagaimana pengaruh putus sekolah dan pengangguran terhadap kondisi
sosial remaja dan impilikasinya bagi kondisi sosial masyarakat?
3. Bagaimana alternatif pemecahan masalah dalam mengantisipasi terjadinya
putus sekolah dan penganggurang?
II. PEMBAHASAN
A. Pengertian Konsep
Secara kebahasaan putus sekolah1 mengandung arti tidak adanya
hubungan lagi dengan sekolah. Sebagaimana dalam definisi yang dikemukakan
Moh. Shohib, bahwa :
Putus sekolah adalah keadaan tidak melanjutkan pendidikan pada
lembaga pendidikan formal, baik karena dikeluarkan dari sekolah, atau
karena tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan formal
berikutnya yang lebih tinggi dengan berbagai alasan.2
1
Secara etimologi, putus artinya, tidak berhubungan, rampung, berakhir, hilang tidak
adalagi kaitan. Departemen Pendidikan Nasional RI, Kamus Besar Besar Bahasa Indonesia
(Cet.IX; Jakarta: Balai Pustaka, 1997), h. 914. Sedangkan sekolah adalah lembaga pendidikan
formal misalnya SD sederajat, SMP sederajat atau SMU sederaja.
2
Moh. Shohib, Pola Asuh Orang Tua (Cet. I; Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1998), h. 18
3
Lihat: http://dimas-apriyana.blogspot.com/.html.
4
Ibid.
5
Kemudian Presiden mengeluarkan Instruksi No. 5 Tahun 2006 tentang Gerakan
Percepatan Penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun, namun target ketuntasan nya sebagaimana
yang diharapkan empat tahun terakhir belum mencapai hasil yang significant.
6
Selengkapnya lihat http://www.menegpp.go.id/index.php?option=com,- putus
sekolah menjadi masalah . Dari data yang diakses ini ternyata dilihat secara persentase, jumlah
total siswa yang putus sekolah dari SD atau SMP memang hanya berkisar 2 hingga 3 persen
dari total jumlah siswa. Namun, persentase yang kecil tersebut menjadi besar jika dilihat angka
sebenarnya. Jumlah anak putus sekolah SD setiap tahun rata-rata berjumlah 600.000 hingga
700.000 siswa. Sementara itu, jumlah mereka yang tidak menyelesaikan sekolahnya di SMP
sekitar 150.000 sampai 200.000 orang.
7
Lihat, Moekti Ali, Generasi Muda Islam (Cet.II; Bandung: Remaja Rosdakarya,
1998), h. 46.
8
Kartini Kartono, Patalogi Sosial 2 Kenakalan Remaja (Cet II; Jakarta : Rajawali,
1992), h. 3.
hambatan dalam perkembangan hati nurani yang bersih dan agamis, ketidak
mampuan mempergunakan waktu luang secara tidak sehat dan ekonomis.
Kedua, kualitas ekonomi yang rendah dan lingkungan keluarga dalam
keadaan pra sejahtera. Dalam hal keadaan ekonomi yang tidak mendukung
kemauan dan kesempatan belajar mengakibatkan mereka putus sekolah.9
Sementara faktor lain yang secara ringkas disebutkan dapat
menyebabkan putus sekolah adalah : (1) Faktor kurangnya pembinaan dan
bimbingan orang tua, (2) Faktor ekonomi atau kemiskinan, (3) Faktor
demoralisasi seksual dan demoralisasi akibat dari perubahan dan globalisasi,
(4) Faktor keinginan yang tidak terkendali, dan (5) Pengaruh alkohol dan
kebiadaban.10 Demikian pula faktor kultur budaya masyarakat peternalistik.
Indikator lain menyebabkan terjadinya putus sekolah secara fisik dan
fisikis yang berakibat pada dekadensi moral khususnya kepada generasi muda,
dapat diidentifikasi, antara lain: (1) Ekonomi yang tidak mapan; (2)
Meningkatnya agresivitas dan dorongan seksualnya; (3) Salah asuh dan salah
didik orang tua, sehingga anak jadi manja dan bermental lemah; (4) Hasrat
untuk berkumpul, hura-hura dan kesukaan untuk meniru-niru perilaku orang
lain; (5) Kecenderungan pembawaan yang patologis atau abnormal; dan (6)
Konflik batin sendiri, kemudian menggunakan cara-cara pelarian diri dan
pembelaan diri yang irasional.11
Sesungguhnya masih banyak faktor dan sebab-sebab yang dapat
menyebabkan putus sekolah, dan timbulnya dekadensi moral, antara lain
disebabkan oleh faktor ekonomi sebagaimana yang berkali-kali disebutkan,
lingkungan keluarga, ekonomi, sosial, budaya, lingkungan pergaulan dan lain-
lain. Selain perilaku-peerilaku yang tidak baik yang didapatkan dari orang
dewasa seperti film, komik yang bersifat porno dan tidak mengindahkan nilai-
nilai dan mutu tetapi hanya mementingkan segi komersial semata-mata.12
Searah dengan terma ini maka dapat dirumuskan, sebagai berikut:13
1. Kurangnya didikan sosial keagamaan.
Didikan agama bukan hanya sebatas pengajaran agama yang diberikan
secara sengaja dan teratur seperti yang dilakukan oleh guru di sekolah, namun
yang lebih penting adalah penanaman jiwa agama yang dimulai di rumah
tangga sejak kecil dengan cara pembiasaan, latihan dan pengalaman-
pengalaman. Kebiasaan-kebiasaan yang baik itu sesuai dengan pendidikan
9
Yudha Purwoko, Memecahkan Masalah Remaja (Cet I; Bandung: Nuansa, 2001), h.
15.
10
Lihat, Ibid., h. 22.
11
Lihat, Ibid.
12
Lihat H. A. Rahman Getteng, Pendidikan Islam dalam Pembangunan (Ujung
Pandang : Yayasan al-Ahkam, 1997), h. 55.
13
Rumusan yang dikemukakan disadur dari Yudha Purwoko, op. cit., h. 24-30.
agama, yaitu lebih mudah tertanam pada jiwa anak, apabila orang dewasa
dalam lingkungan rumah tangga terutama kedua orang tua memberi contoh
teladan yang baik dalam kehidupan.
2. Kurang pengertian orang tua tentang pendidikan
Memberikan pendidikan pada anak mengalami kesulitan disebabkan
karena masih banyaknya orang tua yang belum mengerti tentang bagaimana
sebenarnya menanamkan pendidiakn agama terhadap anaknya, mereka
beranggapan bahwa apabila sudah memenuhi kebutuhan makan, pakaian cukup
sesuai dengan kebutuhan selesailah tugas mereka, tidak memperdulikan
pendidikan padahal pendidikan merupakan suatu usaha atau perbaikan bagi
orang yang bertanggung jawab terhadap anak-anak yang sedang mengalami
pertumbuhan budi pekerti, akhlak yang baik, intelek serta jasmaninya menuju
kepada kedewasaan dan bertanggung jawab.
M. Ngalim Purwanto mengemukakan bahwa berhasil baik atau
tidaknya pendidikan di sekolah bergantung pada dan dipengaruhi oleh
pendidikan di dalam keluarga. Pendidikan keluarga adalah fundamen atau
dasar dari pendidikan anak selanjutnya. Hasil-hasil pendidikan yang diperoleh
anak dalam keluarga menentukan pendidikan anak itu selanjutnya, baik di
sekolah maupun di masyarakat.14 Pandangan tersebut di atas menunjukkan
betapa perlunya orang tua senantiasa memperhatikan perkembangan dan
kemajuan pendidikan anak-anaknya, sebab perhatian dan bimbingan yang
cukup dari orang tua sangat menunjang bagi keberhasilan pendidikan anak.
Dalam lingkungan keluarga yang terpenting bagi anak adalah
keseluruhan perlakuan-perlakuan orang tua terhadap putera-puteranya yang
diterima dalam lingkungan keluarga, mereka merasa disayangi dan
diperhatikan oleh kedua orang tuanya. Bahkan anak membutuhkan kasih
sayang tertentu jika orang mengalami kekurangan kasih sayang maka
perkembangan anak menjadi tidak baik. Bila mana anak merasa tidak
disayangi dan kurang mendapat perhatian dari orang tuanya maka ia mencari
jalan lain yang bermacam-macam cara yang ditempuhnya misalnya
melaksanakan kelakuan-kelakuan yang menarik perhatian, tidak mau
mengindahkan apa-apa yang disampaikan akibat perasaan yang tertekan maka
makin menjadi-jadi kelakuannya.
3. Faktor keadaan Ekonomi dan Sosial
Apabila keadaan ekonomi tidak stabil dan stabiltas sosial tidak terjaga,
maka masyarakat akan mengalami kegoncangan dan kegelisahan disebabkan
karena perubahan yang menimbulkan kegoncangan. Hal ini timbul di
masyarakat dan bisa berbias pada terjadinya putus sekolah, dan pengangguran
yang merajalela.
14
M. Ngalim Purwanto, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis (Cet. XV; Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2003), h. 79.
15
Bahaking Rama, Sejarah Pendidikan Islam; Pertumbuhan dan Perkembangan
Hingga Masa Khulafaurrasyidin (Cet. I; Jakarta: Paradotama Wiragemilang, 2002), h. 8. Llihat
juga H. Mappanganro, Implementasi Pendidikan Islam di Sekolah (Cet.I; Ujung Pandang:
Yayasan Ahkam, 1996), h. 10.
16
Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan ( Bandung: Remaja Rosda Karya,
2004), h. 79.
17
Tery Page, et. all, International Dictionary of Education (Camridge: The MIT Press,
1980), h. 206
18
Burhanuddin Salam, Dasar-dasar Paedagogie (Jakarta: Bumi Aksara, 1989), h. 214.
19
Lihat M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an; Tafsir Mawdhui atas Pelbagai
Persoalan Umat. Cet. XV (Jakarta: Mizan, 2004), h. 224.
20
Lihat M. Quraish Shihab, op. cit., h. 225-226.
nonformal ini, secara tidak langsung memberi peluang kepada mereka yang
putus sekolah untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya pada
jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu, namun tidak dapat dipungkiri
bahwa lembaga pendidikan tersebut, belum dapat dinikmati oleh semua lapisan
masyarakat.
4. Memaksimalkan peran lingkungan sosial keluarga dalam kelanjutan
Pendidikan Anak
Lingkungan keluarga, utamanya orang tua merupakan pendidik utama
dan pertama bagi anak-anak mereka. Corak pendidikan dalam rumah tangga
secara umum tidak berpangkal tolak dari kesadaran dan pengertian yang lahir
dari pengetahuan mendidik, melainkan secara kodrati suasana dan strukturnya
memberikan kemungkinan alami membangun situsi atau iklim pendidikan yang
berkelanjutan. Timbulnya iklim atau suasana tersebut, karena adanya interaksi
yaitu hubungan pengaruh mempengaruhi secara timbal balik antara orang tua
dan anak.21 Orang tua memegang peranan yang penting dan sangat
berpengaruh atas pendidikan anak-anaknya. Begitu pentingnya tanggung jawab
orang tua dalam memberikan pendidikan terhadap anak-anaknya, Syauqih
mengatakan seperti yang dikutip oleh Khaeruddin bahwa:
Bukanlah anak yatim itu adalah seorang anak yang kedua orang tuanya
telah pergi dari kesusahan hidup dan meninggalkannya dalam keadaan
hina, sesungguhnya anak yatim itu adalah anak yang mendapatkan
seorang ibu yang mengabaikannya atau seorang ayah yang sibuk. 22
Seorang anak apabila telah memasuki usia sekolah menjadi tugas dan
tangung jawab orang tua untuk menyerahkan anaknya kepada sekolah. Hal ini
tidak berarti bahwa, orang tua tersebut sudah lepas dari tanggung jawab, sebab
pelayanan sekolah terhadap pendidikan anak juga sangat terbatas dalam waktu
tertentu serta bahan pelajaran tertentu pula, selebihnya menjadi tugas dan
tanggung jawab orang tua di rumah untuk memberikan pelayanan,
pengawasan, perhatian, bahkan bimbingan belajar di rumah. Faktor lain yang
menjadi tanggung jawab orang tua terhadap pendidikan anak adalah
menyediakan alat-alat perlengkapan belajar anak di rumah, memperhatikan
lingkungan pergaulan, memberikan kesempatan kepada anak untuk
menyampaiakan dan mengungkapkan masalahnya.
5. Pendidikan Gratis.
Pemerintah mengeluarkan kebijakan pendidikan gratis, hal ini tentu
tidak berlaku kepada semua daerah, karena ini merupakan program pemerintah
daerah sendiri dan sifatnya tidak menyeluruh artinya kebijakan ini tidak
berlaku secara nasional. Kebijakan pendidikan gratis merupakan kebijakan
21
Khaeruddin, Ilmu Pendidikan Islam (Cet. I; Makassar: Yayasan Pendidikan Fatiah,
2002)., h. 100
22
Ibid., h. 102.
III. KESIMPULAN
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan:
1. Masalah putus sekolah dan pengangguran merupakan realitas sosial yang
memiliki kaitan langsung dalam dunia pendidikan. Keduanya dapat
DAFTAR PUSTAKA