Jurnal Tension Pneumothorax

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 13

Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes ----------------------------------- Volume 11 Nomor 2, April

2020
p-ISSN 2086-3098 e-ISSN 2502-7778
DOI: http://dx.doi.org/10.33846/sf11201
Penanganan Gawat Darurat Tension Pneumothorax Dengan Needle Thoracocentesis ICS ke-5
& Pemasangan Mini-WSD: A Case Report
Ricat Hinaywan Malik
Orthopaedi dan Traumatologi, Fakultas Kedokteran Universitas Negeri Sebelas Maret
/
Fakultas Kedokteran, Universitas Islam Sultan Agung, Semarang; [email protected]
(koresponden)
ABSTRACT
Background: Tension pneumothorax is an emergency with high mortality rate that can be handled with
simple action. Besides due to many thoracic trauma, tension pneumothorax is rarely caused by infectious
diseases such as pulmonary tuberculosis. During this time, the treatment is with needle thoracocentesis
in the second intercostal space in mid-clavicle line and installation of chest tube-WSD in the fifth intercostal
space. Objective: To discuss emergency treatment with limited facilities and resources in tension
pneumothorax patients using needle thoracocentesis in the fifth intercostal space in mid-clavicle line and
mini-WSD installation. Methods: Case report, case choosed from a rare case that emergency which
patient treated and can survive until discharge from hospital with limited facilities and resources. Results:
A 38-year-old man was admitted to a hospital ward with shortness of breath that was getting heavier the last
week, coughing up sparse phlegm, and a fever. Physical examination: composmentis, normal blood pressure,
HR 132x/min, RR 34 x/min, temperature
o
37,5 C, SpO2 80%. There is an increase in JVP, asymmetric chest (left higher than right), right chest motion
left behind, no chest pain, hypersonor right chest, right chest auscultation sounds like air passing through
water pipe, left chest sounded roughly crackles. Support: leukocytosis, HIV positive on VCT, chest X-ray
showing severe right pneumothorax and left pulmonary tuberculosis. Patient was diagnosed with tension
pneumothorax
secondary to pulmonary tuberculosis, other than AIDS. Emergency needle thoracocentesis is performed in
the
right fifth intercostal space, mid-axilla line just above the 6th rib, and connected with mini-WSD. The result
is
clinical improvement. Patient was survive until definitive action and further treatment can be taken by the
experts. Conclusion: The needle thoracocentesis of the fifth intercostal space in mid-axilla line and mini-
WSD is easier to perform and improve the clinical state of tension pneumothorax patient.
Keywords: thoracocentesis; decompression; intercostal space; mini-water sealed drainage; secondary
tension pneumothorax
ABSTRAK
Latar Belakang: Tension pneumothorax merupakan keadaan gawat darurat dengan angka kematian tinggi
yang bisa ditangani dengan tindakan sederhana. Selain banyak disebabkan karena trauma toraks, tension
pneumothorax jarang disebabkan penyakit infeksi seperti tuberkulosis paru. Selama ini penanganannya
dengan needle thoracocentesis di sela iga kedua linea mid-klavikula dan pemasangan chest tube-WSD di
sela iga kelima. Tujuan: Mendiskusikan penanganan emergensi dengan keterbatasan fasilitas dan sumber
daya pada pasien tension pneumothorax menggunakan needle thoracocentesis di sela iga kelima linea mid-
klavikula dan pemasangan mini-WSD. Metode: Laporan Kasus, kasus dipilih dari kasus emergensi yang
jarang terjadi berupa kasus emergensi dimana pasien diberi penanganan dan dapat bertahan hidup hingga
pulang dari rumah sakit dengan keterbatasan fasilitas dan sumber daya. Hasil: Seorang laki-laki, 38 tahun,
dirawat di bangsal rumah sakit dengan sesak nafas yang semakin memberat 1 minggu terakhir, batuk
berdahak jarang, dan demam. Pemeriksaan fisik: komposmentis, TD normal, HR 132x/min, RR 36 x/min,
suhu 37,5oC, SpO2 80%. Terdapat peningkatan JVP, dada asimetris (kiri lebih tinggi dibanding kanan), gerak
dada kanan tertinggal, tak ada nyeri tekan dada, dada kanan hipersonor, auskultasi dada kanan terdengar
seperti udara yang melewati pipa air, dada kiri terdengar ronki kasar. Penunjang: leukositosis, VCT positif
HIV, foto toraks menunjukkan pneumotoraks kanan berat dan TB aktif paru kiri. Pasien didiagnosis tension
pneumothorax sekunder karena TB paru, selain AIDS. Dilakukan tindakan emergensi needle thoracocentesis
di ICS 5 linea mid-aksila kanan tepat di atas kosta ke-6, dan disambung dengan mini-WSD. Hasilnya terdapat
perbaikan klinis. Pasien bertahan hidup hingga dapat dilakukan tindakan definitif dan penanganan lebih lanjut
oleh ahlinya. Kesimpulan: Needle thoracocentesis sela iga kelima linea mid-aksila dan mini-WSD lebih
mudah dilakukan dan memperbaiki keadaan klinis pasien tension pneumothorax.
Kata kunci: torakosintesis; dekompresi; sela iga; mini-WSD; tension pneumothorax
sekunder
PENDAHULUAN

113 Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes ------ http://forikes-


ejournal.com/index.php/SF
Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes ----------------------------------- Volume 11 Nomor 2, April
2020 Pneumotoraks spontan dibagi menjadi 2, yaitu primer (terjadi tanpa adanya penyakit paru yang
p-ISSN
diketahui,2086-3098
termasuk e-ISSN 2502-7778
iatrogenik) dan sekunder (terjadi pada pasien yang mengidap penyakit paru).
(1,2)

Pneumotoraks spontan sekunder tersering terjadi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronik (PPOK)
sebanyak 70%, diikuti penyakit paru lain seperti tuberkulosis.(2) Angka kejadian pneumotoraks spontan
(1)
terdapat 18 hingga 28 kasus pada laki-laki dan 2 hingga 6 kasus pada wanita untuk tiap 100.000 populasi.

114 ejournal.com/index.php/SF
(3)
Simple pneumothorax dapat berubah cepat menjadi tension pneumothorax bila tak segera dikenali.
(4,5)
Tension pneumothorax adalah keadaan yang mengancam nyawa. Tension pneumothorax terjadi
melalui mekanisme kebocoran udara “katup satu arah” dari paru-paru atau melalui dinding dada. Udara
terperangkap dalam kavum pleura dan dengan cepat membuat paru-paru kolaps. Mediastinum terdorong
ke sisi yang berlawanan dari sisi pneumothorax. Gejala dan tanda tension pneumothorax diantaranya adalah:
nyeri dada, ingin makan udara (air hunger), takipnea, distres respirasi, takikardi, hipotensi, deviasi trakhea
menjauhi sisi pneumotoraks, distensi vena leher, tidak adanya suara nafas di sisi pneumotoraks, perkusi
didapatkan hiper- resonan/hipersonor, dan sianosis (manifestasi terlambat), serta saturasi arteri dengan pulse
(5) (2)
oxymeter hasilnya menurun. Hipoksemia dan hiperkapnia terjadi pada kasus berat.
(4,5)
Diagnosis dilakukan secara klinis tanpa pemeriksaan radiologi yang menunda penanganan.
Tension pneumothorax biasanya ditangani secara darurat dengan dekompresi jarum (needle decompression
atau disebut juga needle thoracocentesis) dengan cara memasukkan kateter jarum besar ke dalam ruang
(2,5) (4)
pleura (kavum pleura). Lokasi penusukan di interkostal kedua (ICS II) di linea mid-klavikula. Karena
faktor tebalnya dinding dada, kekakuan kateter, dan komplikasi teknis atau anatomis, dekompresi dengan
jarum bisa gagal.
Faktor ketebalan dinding dada, misalnya pasien dengan otot dada tebal atau obesitas(4)
mempengaruhi
(5) (6)
keberhasilan dekompresi needle. Selain itu, kesalahan identifikasi ICS kedua juga sering terjadi. Panjang
needle 5 cm akan dapat menembus kavum pleura >50%, sedangkan panjang needle 8 cm dapat menembus
kavum pleura >90%. Bukti terbaru mendukung penempatan kateter needle ukuran besar di interkostal kelima
(5) (7)
(ICS V). Dokter umum memiliki kompetensi bisa melakukan needle dekompresi secara mandiri. Tidak
semua rumah sakit memiliki chest tube yang disambungkan ke Water Sealed Drainage (WSD) dan tidak
semua dokter bedah (atau sub-bedah) standby terutama di rumah sakit daerah pedalaman (rural area),
sehingga dokter umum setempatlah yang berperan menyelamatkan nyawa pasien tension pneumothorax.
Laporan kasus ini akan mendiskusikan kasus seorang laki-laki dengan tension pneumothorax sekunder
yang dilakukan tindakan emergensi needle thoracocentesis di spatium intercostal kelima linea mid-aksila dan
pemasangan mini-WSD di rumah sakit dengan fasilitas dan sumber daya yang terbatas.
METODE
Metode yang digunakan oleh penulis adalah Case Report. Studi dilakukan di rumah sakit
dengan keterbatasan fasilitas dan jumlah sumber daya di kota Demak, dicari kasus pasien yang bersifat
emergensi (mengancam nyawa) yang jarang terjadi yaitu tension pneumothorax tetapi berada di bangsal antara
tahun 2013 hingga tahun 2014.
Setelah ditemukan pasien dengan diagnosis tersebut, disiapkan semua alat dan bahan yang dibutuhkan,
yaitu: lidokain, spuit, kasa steril, alkohol, IV cath no.14G, plester, infus/transfusion set, flabot kosong (bekas
infus 500 cc berisi cairan sekitar separuhnya, dan gunting. Semua alat dan bahan tersebut seharusnya berada
di IGD maupun bangsal rumah sakit manapun (termasuk rumah sakit terpencil). Pasien dilakukan anestesi
lokal di sela iga kelima (ICS V) linea mid-aksila. Setelah anestesi lokal, sebuah IV cath ukuran
terbesar (14G) ditusukkan sebagai torakosintesis di spatium interkosta kelima (ICS 5) tepat di sisi atas kosta
ke-6 linea mid- aksila kanan sesuai update terbaru Advance Trauma Life Support (ATLS).(5) Jarum (needle)
diambil dan cath tetap menancap yang kemudian difiksasi dengan plester.
Setelah tidak didapatkan udara keluar dari needle, dilanjutkan pemasangan mini-water sealed drainage
Hematotoraks adalah adanya darah dalam rongga pleura. Sumber perdarahan dapat berasal dari dinding
dada, parenkim paru-paru, jantung atau pembuluh darah besar. Jumlah perdarahan pada hematotoraks dapat
mencapai
1500 ml, apabila jumlah perdarahan lebih dari
1500 ml disebut hematotoraks masif.1 Sejauh ini
penyebab paling umum dari hematotoraks adalah trauma, baik trauma yang tidak disengaja,
disengaja, atau iatrogenik.2 Sekitar
(mini-WSD) yang dapat dibuat menggunakan alat sederhana. Mini-WSD terdiri dari selang infus yang
disambungkan dengan IV cath di satu sisi, sedangkan sisi lainnya digunting/dipotong sebelum ujungnya dan
dimasukkan ke dalam botol infus yang berisi air setengah botol, dengan ujung selang infus tenggelam hingga
dasar botol. Pasien dievaluasi undulasi dan gelembung udara (bubble) yang muncul tiap pasien inspirasi.
Pasien diikuti perkembangannya (follow-up) dan data didokumentasikan secara lengkap, untuk
kemudian dilaporkan dalam bentuk laporan kasus (case report).
HASIL
Seorang laki-laki berusia 38 tahun dibawa ke IGD, dilanjutkan foto toraks dan rawat inap di bangsal
rumah sakit dengan keluhan sesak nafas. Pasien mengeluh sesak sejak sekitar 1 minggu yang lalu,
telah diperiksakan ke perawat dekat rumahnya, didiagnosis asma dan mendapat obat tetapi sesak nafas
tidak berkurang dan semakin berat. Pasien mengeluh demam sejak 4 hari terakhir, batuk jarang sejak 5 bulan
terakhir dengan dahak kadang putih, kuning, dan hijau kental. Pasien tidak pernah sakit seperti ini
sebelumnya, bukan perokok, tidak pernah menjalani pengobatan TB dan hipertensi. Pasien memiliki riwayat
trauma dada sekitar 1 minggu yang lalu karena jatuh di toilet dan dadanya membentur pipa, nyeri dan tidak
langsung sesak saat itu.
Pemeriksaan fisik di bangsal: status generalis tampak sulit bernafas, kesadaran komposmentis,
gizi cukup. Tanda vital: tekanan darah 120/80 mmHg, HR 132 kali/menit, RR 36 kali/menit, dan suhu tubuh
o
37,5 C (aksila). Saturasi oksigen perifer (SpO 2) 80% dan dikoreksi menjadi 91% dengan oksigen non-
rebreathing mask (NRM). Rambut, kepala, kulit, mata, hidung, telinga, mulut, tenggorokan, jantung,
abdomen, anogenital, dan
ekstremitas dalam batas normal. Lehernya simetris, tidak teraba deviasi trakhea, tetapi tampak jelas
peningkatan tekanan vena jugularis (dilatasi vena).

Gambar 1. EKG menunjukkan sinus takikardi

(a) (b)
Gambar 2. Foto toraks pertama saat masuk rumah sakit (Gambar
2a).
Foto toraks kedua beberapa jam post Needle Thoracocentesis dan pemasangan Mini-WSD yang
diaplikasikan
selama beberapa jam (hari kedua di rumah sakit) (Gambar
2b).
Inspeksi toraks tampak asimetris, hemitoraks kiri lebih tinggi daripada kanan, pergerakan hemitoraks
kanan tertinggal serta tidak dapat mengembang dengan baik, dan tampak tato di dada kiri atas. Pada
palpasi tidak terdapat nyeri tekan di seluruh lapang toraks. Perkusi hipersonor di hemitoraks kanan,
sedangkan hemitoraks kiri sonor. Auskultasi suara jantung terdengar cepat, tanpa gallop maupun murmur.
Hemitoraks kanan tidak terdengar vesikuler, tidak ada ronki, tidak ada wheezing, suara seperti udara yang
melewati pipa dan lebih kuat di thoraks tengah kanan baik saat inspirasi maupun ekspirasi. Hemitoraks kiri
terdengar vesikuler, ronki kasar lebih keras di apeks terutama saat ekspirasi, dan tanpa wheezing.
Pada pemeriksaan penunjang, pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 15.3 g%, leukosit 16.900/mm3,
hitung jenis leukosit eosinofil/basofil/stab/segmen/limfosit/monosit berturut-turut 0/0/0/82/15/3,
platelet 3
397.000/mm , LED 1 dan 2 jam berturut-turut 78 dan 104. Gula Darah Sewaktu (GDS) sebanyak 149
mg/dl, urea 47 mg/dl, kreatinin 1.27 mg/dl, SGOT 65 mg/dl, SGPT 40 mg/dl, BTA sewaktu negatif dan BTA
pagi juga negatif. VCT dari HIV ditemukan reaktif.
EKG didapatkan hasil sinus takikardi (Gambar 1). Pemeriksaan radiologi dari X-foto toraks pertama
(saat masuk RS) didapatkan hasil Ahli Radiologi: pneumotoraks kanan berat (ada deviasi trakhea), paru
kanan kolaps berat, tampak tuberkulosis aktif, dan tidak didapatkan kardiomegali (Gambar 2a).

Gambar 3. Skema Needle Thoracocentesis sela iga kelima dilanjutkan pemasangan Mini-Water Sealed
Drainage
(Mini-WSD)
Pasien diberikan oksigenasi adekuat dan diberikan penanganan gawatdarurat tanpa adanya dokter
spesialis bedah dan dokter spesialis paru yang standby saat itu, dan tanpa adanya chest-tube serta WSD di
bangsal tersebut. Setelah anestesi lokal, sebuah IV cath ukuran terbesar (14G) ditusukkan sebagai
torakosintesis di spatium interkosta kelima (ICS 5) tepat di sisi atas kosta ke-6 linea mid-aksila kanan. Suara
seperti ban bocor terdengar sangat keras. Jarum (needle) diambil dan cath tetap menancap yang
kemudian difiksasi dengan plester. Sekitar setengah jam kemudian sudah tidak ada suara udara keluar
lagi, kemudian IV cath disambungkan dengan WSD kecil (mini-WSD). Mini-WSD terdiri dari selang infus
yang disambungkan dengan IV cath yang menancap di dada pada satu sisi, sedangkan sisi lainnya
digunting/dipotong sebelum ujungnya dan dimasukkan ke dalam botol infus yang berisi air setengah botol,
dengan ujung selang infus tenggelam hingga dasar botol (Gambar 3). Tampak undulasi dan gelembung udara
(bubble) berlebihan yang muncul tiap pasien inspirasi.
Pemeriksaan follow-up 2 jam setelah pemasangan mini-WSD, pasien masih tampak sesak nafas tetapi
hasil anamnesis merasa lebih baik (sesak berkurang, RR menjadi 32 kali/menit), dan sudah tidak tampak
undulasi dan bubble lagi. Mini-WSD dilepas dan luka bekas jarum ditutup dengan kasa povidon iodin dan
diplester. Pemeriksaan radiologi X-foto toraks ulang tidak dapat dilakukan karena keterbatasan sumber daya
manusia, sehingga baru dapat dilakukan 6 jam kemudian (masuk hari kedua), dengan hasil menurut Ahli
Radiologi bahwa pneumothorax kanan relatif sama, emfisema subkutis kanan, dan masih tampak TB aktif
paru kiri. Tak tampak cairan di kedua sisi hemotoraks (Gambar 2b).
Hari kedua, pasien ditangani dengan penanganan standar berupa continuous WSD dan obat anti-
tuberkulosis (OAT) oleh Ahli Paru (pulmonologis), serta antibiotik, anti-HIV, dan simtomatik oleh
Ahli Penyakit Dalam (internis), dan dilakukan fisioterapi dada oleh Fisioterapis selama rawat inap. Paru
mulai mengembang (Gambar 4) dan keadaan pasien berangsur membaik. WSD standar dilepas setelah 20
hari, dan pasien keluar dari rumah sakit dengan lama rawat inap seluruhnya 21 hari (Tabel 1).
(a) (b)
Gambar 4. Foto toraks ketiga setelah WSD-Chest Tube terpasang, paru kanan mulai mengembang
(hari
kesembilan di rumah sakit) (Gambar 4a). Foto toraks keempat dimana pengembangan paru kanan
relatif sempurna saat WSD-Chest Tube masih terpasang (hari ketujuh belas di rumah sakit) (Gambar
4b).
Tabel 1. Hasil Follow-Up setelah tindakan dekompresi Needle dan pemasangan Mini-
WSD
Waktu Hasil follow-up
Hari ke-2 Sesak nafas (+).
jam 07.00 RR = 32 x/mnt, HR = 120 x/mnt. Dilakukan foto toraks ke-2. Pemeriksaan BTA. Mulai terapi
OAT. Hasil dokter radiologi: pneumotoraks relatif sama dengan foto pertama.
jam 21.30 Dilakukan pemasangan WSD-chest tube di ICS V linea axillaris anterior dextra oleh Dokter Paru.
Bubble (+). Emfisema Subkutis (+), sesak berkurang. BTA sewaktu (-).
Hari ke-3 Sesak berkurang, nyeri di tempat post-pemasangan WSD. Komposmentis.
TD: 120/80 mmHg. Hasil VCT Reaktif.
Hari ke-4 Sesak berkurang. Batuk (+). Wheezing (+)/(+), Rhonki kasar (+)/(+).
Hari ke-5 Pindah ruang isolasi. Mulai terapi antivirus (ARV). Evaluasi WSD:
- Emfisema subkutis (+) di axilla, punggung, dada kanan, leher.
- Undulasi (+) ± 5 cm.
Hari ke-6 Krepitasi/emfisema subkutis berkurang tinggal di leher & axilla kanan.
Hari ke-7 TD: 110/80 mmHg. Evaluasi WSD:
- Emfisema subkutis di axilla (+) sedikit, punggung (-), dada kanan (-), leher (-).
- Undulasi (+).
Hari ke-8 Masih sesak. Lepas kateter urin (DC). Emfisema subkutis di Axilla Dextra.
Auskultasi Toraks: kiri Vesikuler, kanan Vesikuler sangat lemah.
Hari ke-9 Tak ada keluhan. Hasil VCT istri & anak non-reaktif. Dilakukan foto toraks ulang. Hasil: Tampak
selang WSD, tampak infiltrat pulmo kanan, paru kanan mulai mengembang.
Hari ke-10 Mual muntah sedikit. Emfisema subkutis axilla kanan berkurang.
Hari ke-11 Masih batuk dan nyeri dada kanan di lokasi WSD.
Hari ke-12 Dipasang WSD Continuous 14,5 mmHg. Emfisema subkutis (-). Suara paru kanan (-).
Hari ke-13 Suara paru kanan mulai muncul (vesikuler). Fisioterapi (breathing exercise) dimulai.
Hari ke-14 Suara paru kanan terdengar vesicular (+) jelas. Fisioterapi ditambah (IR punggung + dada, breathing
exercise, postural drainage).
Hari ke-15 Pasien mengatakan tak ada keluhan. Pemeriksaan fisik semua dalam batas normal.
Hari ke-16 Mengeluhu batuk (+) sedikit, sesak nafas mulai tidak terasa.
Hari ke-17 Merasa tidak sesak nafas. Foto toraks ulang. Hasil: Paru kanan mengembang relatif sempurna, selang
WSD terdesak ke dinding dada kanan.
Hari ke-18 WSD diklem. Pasien stabil.
Hari ke-19 Pasien tetap stabil.
Hari ke-20 WSD dan infus dilepas.
Hari ke-21 Pasien pulang.
PEMBAHASAN
Diagnosis
Diagnosis kasus ini dikonfirmasi setelah melihat foto toraks di bangsal, karena sudah dilakukan foto
ketika dikirim dari IGD. Diagnosis tension pneumothorax seharusnya tegak dan ditangani di IGD ketika
(4) (5)
pasien datang. Hal ini tidak sesuai dengan Sutton & Jonas dan American College of Surgeons dimana
diagnosis
tension pneumothorax ditegakkan secara klinis, tanpa melakukan pemeriksaan radiologi sehingga akan
menunda penanganan. Bila ada ultrasonografi, dapat didiagnosis dengan pemeriksaan FAST yang diperluas
(5)
(extended FAST/eFAST).
Datangnya pasien dalam keadaan tension pneumothorax yang merupakan komplikasi pneumotoraks
(2)
spontan sekunder akibat TB merupakan keterlambatan. Bagaimanapun juga menurut Zarogoulidis et al.,
beberapa pasien membutuhkan waktu beberapa hari sebelum mencari pertolongan medis. Telah diamati
bahwa pneumotoraks spontan primer jarang menyebabkan tension pneumothorax.
Penanganan
Pasien dilakukan penanganan needle thoracocentesis sebagai upaya drainase dan dilanjutkan dengan
(8)
mini-WSD sebagai upaya re-ekspansi paru. Ini sesuai dengan Nason et al. yang menyatakan bahwa
manajemen pneumotoraks spontan sekunder serupa dengan pneumotoraks spontan primer yaitu membutuhkan
drainase dan re-ekspansi paru.
Faktor yang mempengaruhi keberhasilan pemasangan needle yaitu lokasi penempatan, ketebalan
dinding dada, panjang needle, karakteristik pasien, body mass index (BMI), umur, jenis kelamin, dan posisi
(9–13)
lengan pasien. Penempatan needle di ICS V linea mid aksila pada kasus ini juga sesuai dengan American
(5)
College of Surgeons yang menyatakan bahwa ada bukti terbaru yang mendukung penempatan kateter
needle ukuran besar di interkostal kelima (ICS V).
(11)
Chang et al. menjelaskan bahwa ketebalan dinding dada ICS keempat di linea aksila anterior
lebih tipis dibandingkan ICS kedua linea midklavikula. Rentang ketebalan dinding dada di ICS kedua linea
midklavikula adalah antara 4,33 – 4,67 cm, sedangkan di ICS keempat linea aksila anterior antara 3,76 –
(12)
3,99 cm. Sejalan dengan itu, Akoglu et al. juga menjelaskan bahwa rata-rata ketebalan dinding dada ICS
kedua linea midklavikula pada laki-laki 3,8 cm, sedangkan pada perempuan 5,2 cm. Sedangkan rata-rata
ketebalan
dinding dada ICS kelima linea mid aksila pada laki-laki 3,3 cm, sedangkan pada perempuan 3,8
cm.
Sehingga juga dibutuhkan panjang needle setidaknya 5 cm di linea mid aksila ICS ke-4 atau ke-5 agar
(14)
kemungkinan besar bisa menembus hingga kavum pleura. Hal ini didukung pernyataan Ball et al. bahwa
penggunaan kateter dengan panjang minimal 4,5 cm dengan lokasi di daerah aksila meningkatkan
angka keberhasilan pada pasien obesitas.
Pengamatan lanjutan (Monitoring & Follow-
up)
Follow-up kasus ini kurang lengkap karena hanya melihat undulasi dan bubble di hari pertama
walaupun foto toraks dilakukan berulang. Ini karena terbatasnya jumlah sumber daya dan catatan medis tidak
(15)
lengkap. Hal ini tidak sesuai dengan Hisyam & Budiono yang menjelaskan bahwa follow-up yang
lengkap meliputi penilaian undulasi, bubble, warna dan jumlah cairan dalam 24 jam, serta foto rontgen dada
ulang.
Foto toraks kedua menunjukkan hasil tension pneumothorax yang relatif sama dengan foto pertama.
Seharusnya needle yang disambungkan Mini-WSD tidak langsung dilepas walaupun bubble dan undulasi
menghilang, sampai terpasang chest tube-WSD definitif. Ini tidak sesuai dengan Hisyam & Budiono(15) dan
(2)
Zarogoulidis et al. yang menyatakan bahwa jarum atau kanul tetap dibiarkan di tempat sampai chest tube
bisa dimasukkan. Kateter yang tercabut, kusut, tersumbat, atau bila akumulasi udara masuk berlebihan
(6)
melebihi kemampuan evakuasi kateter bisa menyebabkan terjadinya tension pneumothorax lagi.
Permasalahannya adalah untuk memfiksasi needle dengan plester saja tidak kuat (mudah lepas
sehingga tidak masuk cavum pleura) sehingga seharusnya dipegang terus hingga terpasang chest tube-WSD
yang baru bisa dipasang beberapa jam kemudian. Bertambahnya komplikasi pneumotoraks seperti emfisema
subkutis dan gambaran radiologis pneumotoraks yang relatif sama beberapa jam setelah Mini-WSD dicabut,
yang seharusnya ada perbaikan gambaran radiologis, bisa dikarenakan kembali meningkatnya tension
(16)
pneumothorax walaupun sudah dilakukan dekompresi. Hal ini sesuai dengan Gordon et al. yang
menyatakan bahwa pneumotoraks iatrogenik sering menjadi komplikasi dari torakosintesis dan sering
membutuhkan pemasangan chest tube.
(5)
Pemeriksaan ulang terus menerus dibutuhkan setelah tindakan dekompresi. Walaupun sudah dirawat
bersama beberapa dokter, lamanya perawatan pasien mencapai 3 minggu yang menunjukkan
(2)
penanganan pneumotoraks kadang tidak mudah dilakukan. Ini sesuai dengan Zarogoulidis et al. yang
menyatakan bahwa
penanganan pneumotoraks tergantung beberapa faktor dan dapat bervariasi, termasuk faktor dokter
yang
menangani pasien.
Kegagalan/Keberhasilan dibandingkan Pengalaman/Fakta
Kepustakaan
Dengan tindakan needle thoracocentesis di ICS 5, dokter jaga berhasil mengurangi keluhan
(5)
sesak sementara. Ini sesuai dengan American College of Surgeons bahwa needle dekompresi mengubah
(6)
tension pneumothorax menjadi simple pneumothorax, dan sesuai dengan Wernick et al. bahwa alternatif
yang lebih baik sebagai pertimbangan adalah penempatan needle thoracocentesis di linea mid-aksila kelima.
Penanganan mini-WSD yang disambungkan dengan needle tidak bertahan lama dalam mengatasi
masalah sesak pasien seperti pada kasus ini, bahkan beberapa kasus pengalaman penulis gagal karena tidak
bisa
(5)
menembus cavum pleura. Ini seperti pernyataan American College of Surgeons bahwa bagaimanapun juga,
tindakan needle dekompresi tidak selalu berhasil. Sehingga guideline National Institute for Health and Care
(17)
Excellence merekomendasikan penanganan tension pneumothorax menggunakan open thoracostomy
(dekompresi dengan jari) daripada needle decompression bila penolong memiliki keahlian tersebut.
(5)
Pemasangan tube thoracostomy tetap diperintahkan setelah tindakan needle atau dekompresi dengan jari.
KESIMPULAN
Pada penanganan tension pneumothorax, needle thoracocentesis di sela iga kelima linea mid-aksila
dan pemasangan mini-WSD lebih mudah dilakukan dan bisa dilakukan di rumah sakit dengan fasilitas kurang
dan sumber daya terbatas, bahkan di bawah standar. Needle thoracocentesis di sela iga kelima lebih
mudah dilakukan dikarenakan dinding dada yang lebih tipis daripada di sela iga kedua linea mid klavikula.
Mini-WSD juga bisa dilakukan, terutama bila tidak ada chest tube, WSD definitif, ahli paru maupun ahli
bedah. Needle thoracocentesis dan mini-WSD dapat memperbaiki keadaan pasien tension pneumothorax.
Penanganan open thoracostomy dianggap lebih baik dan direkomendasikan bila penolong memiliki keahlian
tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ashby M, Haug G, Mulcahy P, Ogden KJ, Jensen O WJ. Conservative Versus Interventional
Management for Primary Spontaneous Pneumothorax in Adults. Cochrane Database Syst Rev.
2014;12(12):CD010565. doi:10.1002/14651858.CD010565.pub2
2. Zarogoulidis P, Kioumis I, Pitsiou G, et al. Review Article: Pneumothorax: From Definition to
Diagnosis and Treatment. J Thor Dis. 2014;6(4). doi: 10.3978/j.issn.2072-1439.2014.09.24
3. Hefny AF, Kunhivalappil FT, Paul M, Almansoori TM, Zoubeidi T A-ZF. Anatomical locations of air
for rapid diagnosis of pneumothorax in blunt trauma patients. World J Emerg Surg.
2019;14:44.
doi:https://dx.doi.org/10.1186%2Fs13017-019-0263-0
4. Sutton D, Jonas M. The Management of Major Injuries. In: Apley & Solomon’s System of
Orthopaedics and Trauma 10th Ed. CRC Press; 2018:651-710.
5. ACS “American College of Surgeons.” Thoracic Trauma. In: Advanced Trauma Life Support
Student
Course Manual 10th Ed. ; :65-66.
6. Wernick B, Hon H, Mubang R, et al. Complications of Needle Thoracostomy: A Comprehensive
Clinical
Review. Int J Crit Illn Inj Sci. 2015;5(3):160-169. doi:10.4103/2229-5151.164939
7. KKI “Konsil Kedokteran Indonesia.” Standar Kompetensi Dokter Indonesia.;
2012.
8. Nason K, Maddaus M, Luketich J. Chapter 19: Chest Wall, Lung, Mediastinum, and Pleura. In:
Schwartz’s
Principles of Surgery 10th Ed. ; 2015:605-694.
9. Zengerink I, Brink P, Laupland K, Raber E, Zygun D, Kortbeek J. Needle Thoracostomy in The
Treatment of A Tension Pneumothorax in Trauma Patients: What Size Needle. J Trauma. 2008;64:111-
114. doi:10.1097/01.ta.0000239241.59283.03
10. Sanchez L, Straszewski S, Saghir A, et al. Anterior Versus Lateral Needle Decompression of
Tension
Pneumothorax: Comparison by Computed Tomography Chest Wall Measurement. Acad Emerg Med.
2011;18:1022-1026. doi:DOI: 10.1111/j.1553-2712.2011.01159.x.
11. Chang SJ, Ross SW, Kiefer DJ, Anderson WE, Rogers AT, Sing RF CD. Evaluation of 8.0-cm needle
at the fourth anterior axillary line for needle chest decompression of tension pneumothorax. J Trauma
Acute Care Surg. 2014;76:1029-1034. doi:10.1097/TA.0000000000000158
12. Akoglu H, Akoglu EU, Evman S, Akoglu T, Altinok AD, Guneysel O, Onur OE ES. Determination of
the appropriate catheter length and place for needle thoracostomy by using computed tomography scans
of pneumothorax patients. Injury. 2013;44:1177-1182. doi:10.1016/j.injury.2012.10.005
13. Powers W, Clancy T, Adams A, West T, Kotwall C, Hope W. Proper catheter selection for needle
thoracostomy: A height and weight-based criteria; Injury. Injury. 2014;455:107-111.
doi:DOI:
10.1016/j.injury.2013.08.026.
14. Ball CG, Wyrzykowski AD, Kirkpatrick AW, Dente CJ, Nicholas JM, Salomone JP, Rozycki
GS,
Kortbeek JB FD. Thoracic Needle Decompression for Tension Pneumothorax: Clinical Correlation with
Catheter Length. Can J Surg. 2010;53(3):184-188.
15. Hisyam B, Budiono E. Pneumotoraks. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Ed.IV Jilid II. ; :1646-
1649.
16. Gordon CE, Feller-Kopman D, Balk EM et al. Pneumothorax Following Thoracentesis: A
Systematic
Review and Meta-analysis. Arch Intern Med. 2010;170(4):332-339. doi:10.1001/archinternmed.2009.548
17. NICE “National Institute for Health and Care Excellence.” Major Trauma: Assessment and
Initial
Management. NICE Guidel. 2016:1-23.

You might also like