Penerapan Prinsip-Prinsip Cognitive Behavior Therapy (BT) Untuk Meningkatkan Self-Esteem Pada Remaja Perempuan

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 18

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/342152198

Penerapan Prinsip-Prinsip Cognitive Behavior Therapy (BT) untuk


Meningkatkan Self-Esteem Pada Remaja Perempuan

Article  in  Persona Jurnal Psikologi Indonesia · December 2018


DOI: 10.30996/persona.v7i2.1832

CITATIONS READS

0 625

2 authors, including:

Rini Hildayani
University of Indonesia
26 PUBLICATIONS   13 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Mother-child interaction in families of middle-to-low socioeconomic status - A descriptive status View project

All content following this page was uploaded by Rini Hildayani on 13 June 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Volume 7, No. 2, Desember 2018
Nafisa Alif Amalia,
ISSN. 2301-5985 Rini Hildayani
(Print), 2615-5168 (Online) Volume 7, No. 2, Desember 2018
DOI: https://doi.org/10.30996/persona.v7i2.1832
Website: http://jurnal.untag-sby.ac.id/index.php/persona
Penerapan Prinsip-Prinsip Cognitive Behavior Therapy (BT) untuk Meningkatkan
Self-Esteem Pada Remaja Perempuan

Nafisa Alif Amalia, Rini Hildayani


E-mail: [email protected]
Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia

Abstract
This study aimed to determine effectiveness the principles of Cognitive
Behavior Therapy (CBT) to increase self-esteem. This study uses single-subject
research design. The participant of this study is a 13 years 8 months old girl who
has low self-esteem. Self-esteem was measured by a Coopersmith Self-Esteem
Inventory (CSEI) from Coopersmith (1967), adolescent’s behavior was measured
by Child Behavioral Checklist (CBCL), and supported by interview with adolescent
and parent. This intervention consists of three stages, such as the pre-
intervention that consists of one session, the intervention that consists of eight
sessions, and the post-intervention that consist of one session. The result of this
study indicates that CBT can increase self-esteem, especially in certain domains,
such as school and general self. Meanwhile, adolescent’s behavior also changes,
especially in thought problem aspect. However, other problem experienced by
adolescent can be obstacle to effectiveness the principles of Cognitive Behavior
Therapy (CBT) to increase self-esteem.
Keywords: Cognitive Behavior Therapy (CBT), Self-Esteem

Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas penerapan prinsip-
prinsip Cognitive Behavior Therapy (CBT) untuk meningkatkan self-esteem.
Penelitian ini menggunakan single-subject research design. Partisipan dalam
penelitian ini adalah remaja perempuan berusia 13 tahun 8 bulan yang memiliki
self-esteem rendah. Self-esteem diukur dengan menggunakan skala Coopersmith
Self-Esteem Inventory (CSEI) dari Coopersmith (1967), perilaku remaja diukur
dengan menggunakan kuesioner Child Behavioral Checklist (CBCL), dan didukung
dari hasil wawancara dengan remaja dan orang tua. Intervensi ini terdiri dari tiga
tahapan. Tahap pertama yaitu pre-intervensi yang dilakukan sebanyak satu sesi,
tahap kedua yaitu tahap intervensi yang terdiri dari 8 sesi, dan tahap ketiga yaitu
post-intervensi yang dilakukan sebanyak satu sesi. Hasil penelitian ini
menunjukkan adanya peningkatan self-esteem pada domain sekolah dan general
self. Sementara itu, remaja juga mengalami perubahan perilaku, terutama pada
aspek thought problem. Akan tetapi, adanya masalah lain yang dialami remaja
dapat menjadi hambatan terhadap efektivitas penerapan prinsip-prinsip
Cognitive Behavior Therapy (CBT) untuk meningkatkan self-esteem.
Kata Kunci: Cognitive Behavior Therapy (CBT), Self-Esteem

Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Fakultas Psikologi


Persona:
E-mail: Jurnal Psikologi Indonesia
[email protected] [118] Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online) Page | 118
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Volume 7, No. 2, Desember 2018
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)

Pendahuluan
Menurut Erikson, remaja masuk ke dalam tahap perkembangan psikososial identity
and repudiation versus identity diffusion (Miller, 2011). Pada tahap ini, remaja menyusun
kembali identitas dirinya yang disesuaikan dengan kebutuhan, keterampilan, dan
tujuannya di masa remaja. Identitas diri pada masa remaja adalah salah satu hal yang
penting dan penuh makna (Rezaee, 2016). Sejalan dengan hal tersebut, Erikson dan Harter
(dalam Luyckx et al., 2013) menyatakan bahwa tidak hanya identitas diri yang penting pada
masa remaja, namun self-esteem juga memegang peranan penting dalam transisi remaja
menuju kedewasaan. Identitas diri dan self-esteem adalah mekanisme yang saling
memperkuat dan bergantung satu sama lain untuk membentuk individu secara
keseluruhan (Leary & Tangney dalam Luyckx et al., 2013). Secara lebih spefisik, semakin
kuat identitas diri remaja, semakin banyak individu yang menyadari kekuatan dan
kelemahan diri, maka semakin kuat self-esteem mereka. Sebaliknya, semakin banyak
individu yang mengalami kebingungan mengenai identitas diri mereka, maka semakin
lemah self-esteem mereka (Luyckx et al., 2013). Oleh karena itu, self-esteem merupakan hal
penting untuk membantu remaja mencapai tahap perkembangan dan kesejahteraan
mereka.
Papalia, Olds, dan Feldman (2009) mendefinisikan self-esteem sebagai penilaian
menyeluruh individu terhadap diri mereka dan terhadap keberhargaan diri mereka. Sejalan
dengan hal tersebut, Shamloo menyatakan bahwa self-esteem adalah tingkat persetujuan,
konfirmasi, penerimaan, dan penilaian yang dimiliki individu mengenai dirinya sendiri,
kemudian perasaan tersebut dapat dibandingkan dengan orang lain (Rezaee, 2016).
Dengan demikian, self-esteem melibatkan perasaan penerimaan diri, berbeda dengan
penghargaan diri yang berlebihan atau membanggakan diri sendiri yang mencirikan
individu narsistik (Orth & Robins, 2014). Pada remaja, perkembangan self-esteem biasanya
terkait dengan hubungan pertemanan, daya tarik lawan jenis, dan kemampuan pekerjaan
atau prestasi mereka (Berk, 2012). Selain itu, self-esteem/harga diri pada remaja juga
berhubungan erat dengan kepuasan terhadap penampilan (Barker & Bornstein, 2010).
Bagi sebagian anak, self-esteem mereka mencerminkan persepsi yang tidak selalu
sesuai dengan kenyataan yang ada mengenai diri mereka (Krueger, Vohs, & Baumeister
dalam Santrock, 2010). Self-esteem yang rendah dapat mencerminkan persepsi yang akurat

Nafisa Alif Amalia, Rini Hildayani Page I 119


Nafisa Alif Amalia, Rini Hildayani Volume 7, No. 2, Desember 2018

mengenai kekurangan individu atau mengalami distorsi/persepsi yang salah dan


merasakan adanya kelemahan diri (Santrock, 2010). Pada tiap individu, memiliki self-esteem
yang tinggi adalah hal yang penting bagi kehidupan mereka. Self-esteem yang tinggi
berhubungan dengan kepuasan hidup dan dapat memprediksi kesuksesan dan
kesejahteraan dalam beberapa domain kehidupan, seperti hubungan antar-individu,
pekerjaan, dan kesehatan (Moksnes & Espnes, 2013; Orth & Robins, 2014). Sebaliknya, self-
esteem yang rendah pada remaja awal dapat memprediksi gejala depresi pada remaja akhir
dan dewasa muda, serta sebagai indikator dari berbagai bentuk internalizing
psychopathology (Masselink, Roekel, & Oldehinkel, 2018; Isomaa et al., 2013). Hal tersebut
karena individu dengan self-esteem yang rendah diasumsikan memiliki sumber coping yang
terbatas, sehingga mereka lebih rentan terhadap masalah emosional (Moksnes & Espnes,
2012). Sementara itu, perilaku externalizing, seperti agresif juga berhubungan dengan self-
esteem yang rendah (Van Orden, 2011).
Berdasarkan penjabaran sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa self-esteem yang
rendah dapat berpotensi menimbulkan dampak negatif yang dapat mengganggu
kesejahteraaan psikologis dan kepuasan hidup remaja, saat ini maupun di kemudian hari.
Menurut Orth dan Robins (2014), self-esteem meningkat dari remaja ke dewasa
pertengahan, memuncak pada usia 50 hingga 60 tahun, dan menurun dengan cepat pada
usia lanjut. Oleh karena itu, self-esteem yang rendah pada remaja harus segera
ditanggulangi agar tidak semakin berdampak pada kehidupannya, maupun menimbulkan
masalah lain bagi dirinya atau orang lain. Sejalan dengan hal tersebut, penelitian ini
bertujuan untuk membantu seorang remaja perempuan, berinisial D yang berusia 13 tahun
8 bulan, untuk meningkatkan self-esteem-nya yang rendah. Peneliti akan melihat
efektivitas penerapan prinsip-prinsip Cognitive Behavior Therapy (CBT) untuk
meningkatkan self-esteem.
D merupakan seorang klien di Klinik Terpadu Fakultas Psikologi Universitas
Indonesia. Berdasarkan hasil pemeriksaan, ia mendapatkan skor self-esteem yang rendah
dengan menggunakan skala Coopersmith Self-Esteem Inventory dari Coopersmith (1967).
Skor self-esteem yang ia dapatkan menunjukkan bahwa self-esteem D rendah secara
signifikan, terutama pada domain sekolah dan general self. D memiliki pandangan negatif
mengenai dirinya sendiri. Pandangan negatif tersebut spesifik pada hal-hal yang terkait

Persona: Jurnal Psikologi Indonesia


ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online) Page | 120
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Volume 7, No. 2, Desember 2018
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)

dengan penampilan dan kemampuan akademisnya di sekolah. Terkait pandangan negatif


mengenai penampilan, D merasa bahwa dirinya gemuk dan tidak cantik sehingga ia tidak
disukai oleh lawan jenis dan teman-temannya. Ia merasa bahwa ia berbeda dari teman-
temannya yang langsing dan cantik. Ia juga berpikir bahwa ia akan di-bully karena tidak
cantik. Sementara itu, terkait pandangan negatif mengenai kemampuan akademis di
sekolah, D merasa bahwa ia tidak pintar meskipun sudah berusaha belajar sehingga ia tidak
akan bisa berhasil. Ia juga merasa bahwa ia sangat kesulitan saat belajar, terutama pada
pelajaran matematika. Selain itu, ia berpikir bahwa ia tidak dapat masuk ke sekolah
menengah atas yang bagus karena tidak pintar.
Terkait dengan penampilan, D masih memiliki tubuh yang ideal. Berdasarkan
perhitungan Body Mass Index (BMI) untuk menggolongkan tingkat kegemukan dan
obesitas, D memiliki tinggi badan 158 cm dan berat badan 57 kg dengan BMI sebesar 22.8
yang masuk ke dalam kriteria tubuh ideal. Perhitungan tersebut menggunakan Standar
Badan Kesehatan Singapura sebagai acuan body mass index untuk orang Indonesia dan
Asia yang memiliki kadar lemak yang lebih tinggi daripada orang Barat. Akan tetapi, D tetap
menganggap bahwa tubuhnya gemuk dan ia tidak cantik. Sementara itu, terkait dengan
kemampuan inteligensi, hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa kemampuan inteligensi D
berfungsi pada taraf di bawah rata-rata (Full Scale IQ = 84, skala WISC-R). Walaupun
demikian, saat ini D bersekolah di SMP Negeri yang cukup berkualitas di Jakarta dengan
akreditasi A dan masuk ke dalam kriteria Sekolah Standar Nasional (SSN). Selain itu,
prestasi akademik D di sekolah cukup baik dengan beberapa kali masuk ke peringkat 10
besar di kelasnya.
Menurut McManus, Waite, dan Shafran (2009), Cognitive Behavior Therapy (CBT)
efektif untuk individu dengan self-esteem rendah, gejala depresi dan kecemasan.
Henderson dan Thompson (2015) menyatakan bahwa CBT diterapkan dengan
mengkombinasikan metode perubahan perilaku dan pikiran untuk menghasilkan perilaku
dan perasaan yang lebih baik pada klien. Terapi kognitif ini memiliki pembelajaran khusus
untuk membantu klien mengatur pikiran negatif mereka; mengenali hubungan antara
pikiran, perasaan, dan perilaku; memeriksa bukti yang mendukung dan membantah pikiran
negatif mereka; mengganti pikiran negatif menjadi pikiran yang lebih realistis; serta belajar
mengidentifikasi dan mengubah keyakinan yang salah (Henderson & Thompson, 2015).
Oleh karena itu, peneliti memilih untuk menggunakan prinsip-prinsip Cognitive Behavior

Nafisa Alif Amalia, Rini Hildayani Page I 121


Nafisa Alif Amalia, Rini Hildayani Volume 7, No. 2, Desember 2018

Therapy (CBT) untuk meningkatkan self-esteem pada remaja berinisial D, terutama self-
esteem yang terkait dengan penampilan dan kemampuan akademiknya di sekolah yang
sudah diilustrasikan sebelumnya. Berdasarkan pemaparan yang sudah dijelaskan, maka
rumusan masalah yang akan dijawab pada penelitian ini adalah, Apakah penerapan prinsip-
prinsip Cognitive Behavior Therapy (CBT) efektif untuk meningkatkan self-esteem pada
remaja?
Berikut ini adalah model kognitif terkait self-esteem penampilan dan akademis D:

Pengalaman Awal
Pengalaman Awal
• Sejak kecil, kemampuan motorik • Pernah ditertawakan oleh teman saat
terlambat. presentasi materi di depan kelas.
• Saat bersekolah, malu dan iri pada teman • Saat diminta untuk mengerjakan soal di
yang dapat berlari cepat dan melompat. depan kelas, D salah menjawab dan
• Saat ini, D sering membandingkan ditertawakan teman sekelas.
penampilannya dengan teman lain. • Beberapa kali mendapat nilai
matematika yang di bawah standar.

Pembentukan Keyakinan
Pembentukan Keyakinan
yang Tidak Benar
yang Tidak Benar
• “Aku tidak pintar”
• “Aku jelek”, “Aku tidak cantik”
• “Aku udah belajar, tapi masih ada
• “Tubuhku gendut”
nilai yang jelek”

Perkembangan Asumsi Perkembangan Asumsi


yang Tidak Benar yang Tidak Benar
“Kalau aku gendut dan tidak cantik, • “Kalau aku menjawab pertanyaan dan
teman-teman akan mem-bully aku, salah, aku akan diketawain dan di-bully
aku tidak punya teman, dan tidak ada teman-teman”
laki-laki yang menyukaiku”. • “Aku sudah belajar, tapi nilaiku tetap ada
yang jelek, nilaiku tidak pernah bagus”

Peristiwa Kritis
Di-bully saat kelas 7 dengan dianggap Peristiwa Kritis
gendut dan tidak ada laki-laki yang Peringkat turun drastis dari peringkat
menyukainya. 2 ke peringkat 10.

Simtom Simtom
• Perilaku: Menarik diri, jarang • Perilaku: Terkadang menyerah
bergaul meski ada teman dekat saat belajar, menunda belajar
• Emosi: Sedih, kesepian, malu • Emosi: Sedih, merasa bersalah,
• Kognitif: Menyalahkan diri sendiri, cemas, malu
diri selalu dianggap buruk • Kognitif: Menyalahkan diri sendiri
• Fisiologis: Sulit tidur, melamun • Fisiologis: Sulit tidur

Gambar 1. Model Kognitif dari Kasus D (Penampilan dan Akademik)

Persona: Jurnal Psikologi Indonesia


ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online) Page | 122
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Volume 7, No. 2, Desember 2018
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)

Metode
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel terikat, yaitu self-esteem dan
variabel bebas, yaitu Cognitive Behavior Therapy (CBT). Penjelasan dari variabel akan
dijelaskan sebagai berikut:
Berk (2012) menyatakan bahwa self-esteem adalah penilaian seseorang terhadap
dirinya dan perasaan yang terkait dengan penilaian tersebut. Self-esteem yang tinggi
berimplikasi pada penilaian realistis dari kompetensi seseorang, ditambah dengan adanya
penerimaan dan penghargaan diri (Berk, 2012). Self-esteem yang rendah dapat
mencerminkan distorsi/persepsi yang salah dan merasakan adanya kelemahan diri
(Santrock, 2010).
Cognitive Behavior Therapy (CBT) adalah sebuah metode yang mengkombinasikan
terapi pikiran dan perilaku, serta bertujuan untuk mengurangi distress psikologis dan
pikiran yang salah dengan cara mengetahui bagaimana integrasi pikiran, perasaan, dan
perilaku terhadap masalah yang terjadi (Cully & Teten, 2008; Teater, 2014). Cully dan Teten
(2008) menyatakan bahwa asumsi dasar pada CBT adalah perasaan/emosi sulit untuk
diubah secara langsung, sehingga CBT menyasar perasaan klien dengan cara mengubah
pikiran dan perilaku yang berkontribusi pada perasaan yang mengganggu atau membuat
stres. Oleh karena itu, CBT membuat serangkaian kemampuan yang memungkinkan
individu untuk menyadari pikiran dan perasaan; mengidentifikasi bagaimana situasi,
pikiran, dan perilaku memengaruhi perasaan/emosi; dan meningkatkan perasaan yang
lebih baik dengan mengubah pikiran dan perilaku yang salah (Cully & Teten, 2008).
Dalam pengaplikasiannya, Teater (dalam Teater, 2014) menyatakan bahwa CBT
meliputi tiga tahap, yaitu: 1) Asesmen, untuk mengetahui hubungan antara pikiran,
perasaan, dan perilaku klien yang berkontribusi terhadap munculnya masalah perilaku; 2)
Intervensi CBT dapat meliputi beberapa bentuk, seperti cognitive restructuring, teknik
relaksasi, pelatihan social-skills, assertion training dan kemampuan penyelesaian masalah,
systematic desensitization, dan reinforcement, modeling, dan role-plays; 3) Evaluasi, untuk
melihat perubahan perilaku klien setelah intervensi CBT diberikan, yaitu pada sebelum/pre
dan sesudah/post intervensi CBT. Hubungan variabel dalam penelitian ini dapat dijelaskan
pada bagan berikut:

Nafisa Alif Amalia, Rini Hildayani Page I 123


Nafisa Alif Amalia, Rini Hildayani Volume 7, No. 2, Desember 2018

Intervensi CBT:
Cognitive Restructuring

Intervensi CBT: Psikoedukasi


Kesalahan Berpikir

Intervensi CBT: Meningkatkan


Klien
Teknik Relaksasi Self-esteem

Intervensi CBT:
Problem Solving Skill
Orang
Tua

Intervensi CBT:
Role-play

Psikoedukasi:
Distorsi Kognitif
dan Self-esteem

Gambar 2. Hubungan antar Variabel dalam Penelitian

Desain penelitian ini adalah single-subject research design, yaitu desain


eksperimental yang memeriksa hubungan sebab-akibat antara variabel bebas dan terikat
(Horner dalam Alnahdi, 2015). James (2016) menambahkan bahwa desain penelitian ini
adalah sebuah pendekatan metodologis eksperimental dengan subjek tunggal sebagai
sampel klinis penelitian yang dilakukan untuk mengetahui dampak dari tindakan intervensi
yang diberikan kepada subjek tersebut. Dalam jenis eksperimen ini, data dikumpulkan pada
beberapa kesempatan atau kondisi berbeda (A-B) dari tiap subjek dan data akan diperiksa
setelah dilakukan intervensi (Alnahdi, 2015). Penelitian ini menggunakan single-subject
research design karena menggunakan satu subjek penelitian dan sesuai dengan tujuan
penelitian, yaitu mengetahui efektivitas penerapan prinsip-prinsip Cognitive Behavior
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online) Page | 124
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Volume 7, No. 2, Desember 2018
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)

Therapy (CBT) untuk meningkatkan self-esteem. Sama seperti kriteria pada single-subject
research design, peneliti juga menggunakan 1 orang sebagai subjek, yaitu remaja
perempuan berinisial D. Oleh karena itu, penelitian ini fokus pada perubahan perilaku dari
variabel terikat/dependent pada 1 subjek/klien yang terjadi sepanjang intervensi
(A hingga B) berdasarkan pemberian variabel bebas/independent, yaitu Cognitive Behavior
Therapy.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan alat ukur/kuesioner,
wawancara, dan observasi. Indikator keberhasilan pada penelitian ini adalah adanya
perubahan skor mentah/raw score pada kuesioner self-esteem dan CBCL, serta kualitas
pikiran, perasaan, dan perilaku subjek pada wawancara yang semakin baik. Kuesioner yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Coopersmith Self-Esteem Inventory (CSEI) untuk
mengukur self-esteem dan Child Behavioral Checklist (CBCL) untuk perubahan perilaku anak
yang diberikan sebelum dan sesudah intervensi.
CSEI adalah salah satu kuesioner self-report yang yang digunakan untuk mengukur
sikap terhadap diri sendiri dalam berbagai bidang, seperti keluarga, teman sebaya,
sekolah, dan aktivitas secara umum pada remaja dan orang dewasa (Coopersmith dalam
Potard, 2017). CSEI terdiri dari 50 item dan menghasilkan skor yang spesifik mengenai self-
esteem pada domain general self, hubungan sosial, orang tua di rumah, dan akademis di
sekolah, serta delapan item tambahan mengenai skala kebohongan/lie (Potard, 2017).
Pada penelitian ini, peneliti akan membandingkan perubahan self-esteem subjek dari
sebelum dan sesudah intervensi, spesifik pada beberapa domain self-esteem melalui skor
mentah/raw score. Intervensi dikatakan berhasil jika terjadi peningkatan skor mentah/raw
score self-esteem pada spesifik domain, yaitu sekolah dan general self.
Kuesioner lain yang digunakan adalah CBCL, yaitu kuesioner screening terstandar
yang digunakan secara internasional untuk mengidentifikasi masalah emosi/perilaku dan
kompetensi sosial pada anak dan remaja (usia 4 hingga 18 tahun) (Bordin et al., 2013). Pada
penelitian ini, peneliti akan membandingkan perubahan perilaku bermasalah, yaitu
thought problems dari sebelum dan sesudah intervensi. Intervensi ini dikatakan berhasil
jika terjadi penurunan skor mentah/raw score perilaku bermasalah (thought problems).
Secara lebih spefisik, peneliti menargetkan agar tidak ada perilaku bermasalah dalam
kuesioner CBCL yang masuk ke dalam borderline dan clinical range. Selain itu, pengumpulan
data juga dilakukan melalui metode wawancara, yaitu untuk mengetahui gambaran

Nafisa Alif Amalia, Rini Hildayani Page I 125


Nafisa Alif Amalia, Rini Hildayani Volume 7, No. 2, Desember 2018

mendalam mengenai pikiran, perasaan, dan perilaku subjek. Observasi juga dilakukan
dalam penelitian ini, yaitu untuk mendapatkan hal-hal yang tidak didapatkan melalui
kuesioner dan wawancara, seperti sikap dan perilaku non-verbal.
Berikut ini adalah penjabaran mengenai kuesioner yang diberikan kepada subjek
dan orang tua:

Tabel 1. Instrumen Penelitian


Waktu Pemberian Instrumen Diberikan kepada
Sebelum Intervensi Coopersmith Self-Esteem Subjek
Inventory
Child Behavioral Checklist Orang tua
Pelaksanaan Intervensi Informed Consent Subjek dan Orang tua
Modul CBT Subjek dan Orang tua
Sesudah Intervensi Coopersmith Self-Esteem Subjek
Inventory
Child Behavioral Checklist Orang tua

Sebelum melakukan intervensi, ada kegiatan yang dilakukan, yaitu informed


consent mengenai informasi yang terkait dengan penelitian, seperti tujuan, prosedur,
kerahasiaan, hak subjek, dan sebagainya yang terkait dengan persetujuan penelitian.
Terkait dengan pelaksanaan intervensi CBT, peneliti menggunakan pendekatan CBT
dan acuan lembar kerja atau modul yang diperkenalkan oleh Stallard pada tahun 2002.
Sementara itu, terkait dengan jumlah sesi pemberian intervensi, peneliti menggunakan
acuan yang diungkapkan oleh Kennerly, Kirk, dan Westbrook (2016) bahwa untuk tipe
permasalahan ringan hingga sedang, jumlah sesi yang perlu diberikan dalam CBT adalah
sekitar 6 sampai 12 sesi. Pada penelitian ini, peneliti akan memberikan 8 sesi CBT kepada D
sebagai subjek penelitian. Peneliti berpikir bahwa D memiliki masalah tipe 2 (ringan hingga
sedang) karena pada saat pre-intervensi, D memiliki skor self-esteem yang rendah, dan skor
perilaku bermasalah pada child behavior checklist (CBCL) yang masuk ke dalam borderline
range. Akan tetapi, masalah D belum menyebabkan munculnya personality disorder
tertentu. Berikut ini adalah penjabaran secara spefisik mengenai modul intervensi CBT:

Persona: Jurnal Psikologi Indonesia


ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online) Page | 126
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Volume 7, No. 2, Desember 2018
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)

Tabel 2. Rancangan Intervensi (Modul CBT)


Sesi Tujuan Metode
1. Pendahuluan CBT - Diskusi dan formulasi masalah klien. - Diskusi
Durasi: 120 menit - Paparan mengenai intervensi CBT dan penetapan - Psikoedukasi
jadwal intervensi. - Mengisi lembar kerja
- Anak dan orang tua mengetahui hubungan antara 1. “Lingkaran ‘Happy’”
pikiran, perasaan, dan perilaku sebagai dasar dari 2. “Kotak ‘Sulit’”
intervensi CBT.
2. Identifikasi: - Membantu anak untuk mengidentifikasi pikiran - Diskusi
Bagaimana aku otomatis mereka dan alasan mengapa pikiran - Mengisi lembar kerja
berpikir? otomatis mudah muncul. 1. “Catatan Harian: Pikiran
Durasi: 90 menit - Melihat dampak positif dan negatif terhadap dan Perasaanku”
perasaan dan perilaku dari pikiran otomatis yang 2. “Pikiran Negatif?”
muncul.
- Tujuan utama: mengidentifikasi pikiran yang dapat
menghasilkan perubahan emosional.
3. Identifikasi: - Mengetahui beberapa tipe kesalahan berpikir. - Materi kesalahan berpikir
Mengapa pikiranku - Mampu mengidentifikasi dan memahami tipe - Lembar kerja
salah? kesalahan berpikirnya. 1. “Identifikasi Pikiranku”
Durasi: 90 menit - Membuat anak agar memiliki keinginan untuk 2. Kasus kesalahan berpikir
mengubah cara berpikirnya yang salah. 3. “Catatan Harian: Pikiranku”
4. Evaluasi: Balanced - Menganalisis pikiran mereka apakah termasuk Mengisi lembar kerja
Thinking kesalahan berpikir atau tidak. 1. “Catatan Harian: Mencari
Durasi: 90 menit - Memeriksa bukti-bukti yang mendukung atau Bukti”
membantah pikiran negatif mereka. 2. “Berpikir Seimbang”
- Mendapatkan alternatif pikiran dan pikiran yang
lebih seimbang.
5. Psikoedukasi - Orang tua memahami kesalahan berpikir/distorsi Materi/modul kepada orang
Orang tua kognitif yang dilakukan anak tua untuk membantu anak
Durasi: 120 menit - Orang tua memahami kesulitan anak untuk dalam meningkatkan self-
mengubah kondisinya. esteem
- Orang tua dapat membantu anak untuk
meningkatkan self-esteem-nya.
6. Pengembangan: - Membantu anak untuk menyadari pikiran yang salah - Diskusi dan role-play
Bagaimana dan menghilangkan dampak yang terjadi setelahnya. - Mengisi lembar kerja
Mengatur Pikiranku? - Mengembangkan dan menerapkan balanced 1. “Menantang Pikiranmu”
Durasi: 90 menit thinking melalui strategi positive self-talk. 2. “Lihat Positifmu”
3. “Positive Self-Talk”
7. Pengembangan: - Meningkatkan kesadarkan mengenai perasaan dan - Diskusi
Bagaimana mendeskripsikan emosi yang membuat tidak nyaman, - Psikoedukasi
Mengatur seperti marah, depresi, dan stres. - Mengisi lembar kerja
Perasaanku? - Mengidentifikasi perasaan yang mereka rasakan jika 1. “Apa yang Terjadi?”
Durasi: 120 menit berpikir mengenai hal yang negatif. 2. “Where’s My Feeling?”,
- Mengetahui cara untuk menenangkan diri atau 3. Materi “Belajar untuk
relaksasi ketika merasa tidak nyaman. Relaksasi” dan role-play
8. Pengembangan: - Membuat langkah-langkah mengubah perilaku. - Diskusi dan lembar kerja
Mengubah Perilaku - Mengembangkan kemampuan penyelesaian 1. “Menaiki Tangga”
Durasi: 90 menit masalah yang lebih efektif. 2. “Identifikasi Solusi”
3. “Talk Yourself”

Nafisa Alif Amalia, Rini Hildayani Page I 127


Nafisa Alif Amalia, Rini Hildayani Volume 7, No. 2, Desember 2018

Hasil
Berdasarkan analisis hasil, intervensi Cognitive Behavior Therapy (CBT) yang
diberikan kepada D (remaja berusia 13 tahun 8 bulan) terbukti efektif untuk meningkatkan
self-esteem-nya. Hal ini terbukti dari data yang diperoleh melalui kuesioner, wawancara,
dan observasi selama melakukan intervensi. Pada kuesioner Coopersmith Self-Esteem
Inventory (CSEI), terjadi peningkatan skor self-esteem pada dua domain yang disasar, yaitu
domain sekolah dan general self. Pada kuesioner Child Behavior Checklist (CBCL), terjadi
penurunan skor perilaku bermasalah yang ditunjukkan oleh D, yaitu thought problems.
Selain itu, hasil wawancara menunjukkan bahwa terdapat kualitas yang lebih baik pada
pikiran, perasaan, dan perilaku D sebelum dan sesudah intervensi. D mengaku bahwa ia
sudah mengaplikasikan beberapa prinsip atau materi yang diberikan selama sesi intervensi
CBT ini. Berikut ini adalah hasil perbandingan dari aspek pikiran, perasaan, dan perilaku D
saat sebelum dan sesudah intervensi CBT dilakukan:

Tabel 3. Perbandingan Pikiran, Perasaan, dan Perilaku Sebelum dan Sesudah Intervensi
Aspek Sebelum Intervensi Sesudah Intervensi
- D menyalahkan diri sendiri karena - D berusaha untuk tidak menyalahkan diri
kekurangannya dalam penampilan, yaitu tidak sendiri dan menerapkan positive self-talk
cantik dan gendut
- D berpikir bahwa ia memiliki kelemahan - D tidak berpikir bahwa ia lemah pada bidang
Pikiran
dalam bidang akademik (tidak pintar dan akademik dan terus berusaha untuk belajar
dapat nilai jelek)
- D lebih memilih untuk pasif di kelas karena - D mencoba untuk lebih aktif dengan
takut salah dan ditertawakan menjawab soal dan presentasi
- D sering merasa sedih dan kesepian saat - Saat D merasa sedih, ia mengalihkan dengan
berpikir kekurangannya dalam penampilan hal lain yang lebih bermanfaat, seperti
dan akademik membaca buku
- D sering merasa malu dan iri saat melihat - D tidak lagi merasa malu dan iri, serta sudah
Perasaan
temannya yang lebih langsing, cantik, dan lebih percaya diri dengan penampilannya
pintar
- D sering merasa tidak percaya diri karena - D percaya diri dengan kelebihan dan
tidak memiliki kelebihan mengurangi pikiran negatif
- D terkadang menarik diri dari lingkungannya - D berusaha untuk lebih banyak bergaul dan
dan menyendiri bercerita dengan ibu
Perilaku
- D sering sulit tidur karena berpikir mengenai - D tidak sulit tidur dan sering menerapkan
kekurangan dirinya teknik relaksasi pada CBT dan positive self-talk

Terdapat peningkatan skor mentah/raw score dari kuesioner Coopersmith Self-


esteem Inventory (CSEI) yang diberikan saat sebelum/pre-test dan sesudah/post-test
intervensi CBT diberikan. Skor self-esteem mengalami peningkatan pada domain sekolah
dan general self. Peningkatan skor self-esteem pada kedua domain tersebut sangat sesuai
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online) Page | 128
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Volume 7, No. 2, Desember 2018
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)

dengan sasaran intervensi CBT ini, yaitu self-esteem pada ranah pikiran negatif mengenai
penampilan dan kemampuan akademis di sekolah. Dalam hal ini, penampilan masuk ke
dalam domain self-esteem general self. Pada domain sekolah, terjadi peningkatan sebesar
4 skor dari pre dan post-intervensi. Pada domain general self, terjadi peningkatan sebesar
6 skor pada domain. Sejalan dengan hal tersebut, domain kebohongan menurun 1 skor dari
pre dan post-intervensi. Akan tetapi, pada domain orang tua di rumah, terjadi penurunan 5
skor dari pre ke post-intervensi. Satu-satunya domain yang menurun ini akan dibahas lebih
lanjut pada sub-bab pembahasan. Walaupun terjadi peningkatan skor pada dua domain
yang disasar, yaitu sekolah dan general self, namun secara keseluruhan skor self-esteem D
masih berada pada kategori rendah. Hal ini akan dibahas lebih lanjut pada bagian
pembahasan.
Berikut ini adalah penjabaran skor mentah kuesioner self-esteem (CSEI):

16

14

12

10

8 Pre-test
6 Post-test
4

0
School (8 item) Social (8 item) General Self Home (8 item) Lie (8 item)
(26 item)

Gambar 3. Perbandingan Pre-test dan Post-test Raw Score CSEI

Berikut ini adalah penjabaran mengenai perubahan self-esteem pada kuesioner


CSEI, spesifik pada domain sekolah dan general self yang sudah dianalisa berdasarkan
wawancara tambahan dengan D:

Nafisa Alif Amalia, Rini Hildayani Page I 129


Nafisa Alif Amalia, Rini Hildayani Volume 7, No. 2, Desember 2018

Tabel 4. Perubahan Pre-test dan Post-test CSEI


Domain Pre-Test Post-Test
Saya merasa sulit untuk berbicara di Saya mau mencoba dan berusaha lebih sering
depan umum berbicara di depan kelas
Saya tidak melakukan sebaik apa yang Saya terus berusaha belajar sesuai dengan apa
diharapkan di sekolah yang saya harapkan di sekolah agar mendapat
nilai bagus
School
Guru membuat saya merasa bahwa saya Guru di sekolah tidak membuat saya berpikir
tidak cukup baik/tidak pintar bahwa saya tidak pintar
Merasa tidak percaya diri di sekolah Saya lebih percaya diri di sekolah, seperti maju
untuk menjawab soal dan presentasi di depan
kelas
Sering menghabiskan banyak waktu Tidak banyak melamun, berusaha untuk
untuk melamun mengisi waktu dengan kegiatan yang
bermanfaat, seperti membaca buku
Terkadang minta maaf untuk perbuatan Saya mencoba untuk selalu meminta maaf
yang saya lakukan dengan kesalahan yang saya lakukan
Saya kurang memahami diri saya sendiri Saya memahami diri saya, seperti keinginan
dan tujuan yang akan saya lakukan, misalnya
cita-cita saya
Selalu berfikir negatif/ minder/ tidak Berusaha untuk menghilangkan pikiran-
percaya diri terhadap diri saya pikiran negatif, seperti minder dan tidak
percaya diri terkait kemampuan saya di
sekolah
Saya tidak berpenampilan menarik D berusaha untuk berpikir bahwa cantik itu
seperti kebanyakan orang relatif, setiap orang memiliki kelebihan dan
kekurangan
General Self
Saya tidak peduli apa yang terjadi Peduli dengan apa yang terjadi kepada saya,
terhadap saya karena masalah kecil dapat menjadi besar dan
tidak terselesaikan
Saya adalah kegagalan Saya berpikir bahwa saya tidak selalu gagal,
bahwa masih ada hal-hal baik yang saya miliki
dan lakukan selama ini
Saya merasa bahwa saya tidak bisa Saya berpikir bahwa teman saya masih dapat
diandalkan oleh orang lain mengandalkan saya, seperti pada pelajaran
bahasa. Ibu juga bisa mengandalkan saya
dengan bercerita
Banyak hal yang membuat saya tidak Saya mencoba untuk berpikir tentang
menyukai diri saya kelebihan saya dan menyukai banyak hal
tentang diri saya sendiri

Tidak hanya perubahan yang positif pada kuesioner self-esteem, perubahan juga
tampak pada perilaku bermasalah dalam kuesioner child behavior checklist (CBCL) sebelum
dan sesudah intervensi. Skor CBCL sebelum intervensi menunjukkan bahwa pada ranah
tingkah laku bermasalah, yaitu thought problems, perilaku D tergolong ke dalam kategori
borderline range. Akan tetapi, terjadi penurunan perilaku setelah intervensi diberikan, yaitu
semua ranah masuk ke dalam kategori normal.

Persona: Jurnal Psikologi Indonesia


ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online) Page | 130
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Volume 7, No. 2, Desember 2018
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)

Pembahasan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa intervensi Cognitive Behavior Therapy


(CBT) efektif untuk meningkatkan self-esteem pada remaja yang memiliki self-esteem
rendah. Hasil tersebut sesuai dengan penelitian sebelumnya mengenai studi kasus CBT
yang dilakukan oleh McManus, Waite, dan Shafran (2009) bahwa Cognitive Behavior
Therapy (CBT) untuk self-esteem yang rendah efektif untuk membantu klien mereka. Di
akhir intervensi, klien dalam penelitian tersebut tidak lagi menunjukkan kriteria
diagnostik dari gangguan psikiatri, seperti kecemasan, depresi, dan self-esteem rendah.
Terdapat beberapa faktor yang mendorong keberhasilan intervensi pada
penelitian ini. Pertama, Wanders, Serra, dan de Jongh (2008) menyatakan bahwa terapi
atau intervensi yang dilakukan akan lebih efektif jika terapis sudah mengetahui klien
secara lebih mendalam, tidak hanya pada saat sesi intervensi saja. Hal tersebut agar
beberapa poin penting yang menjadi isu klien dapat kita dalami saat sesi terapi
berlangsung. Pada penelitian ini, subjek penelitian merupakan klien peneliti di Klinik
Terpadu Universitas Indonesia. Sebelum memberikan intervensi CBT kepada subjek,
peneliti sudah memeriksa permasalahan subjek secara menyeluruh. Oleh karena itu,
peneliti sudah mengetahui secara mendalam mengenai self-esteem rendah yang D alami
dan kejadian atau hal-hal yang melatarbelakangi adanya permasalahan tersebut. Faktor
kedua adalah sikap yang ditunjukkan oleh subjek selama menjalani intervensi. Pada
penelitian ini, D menunjukkan sikap yang cukup kooperatif selama menjalani intervensi.
D selalu mengerjakan tugas yang diberikan, baik tugas yang harus dikerjakan saat sesi
intervensi berlangsung, maupun tugas yang harus dikerjakan di rumah. Walaupun
demikian, D terkadang tidak datang tepat waktu ke tempat pelaksanaan intervensi,
sehingga waktu pelaksanaan intervensi lebih lama. Faktor ketiga adalah klien yang
menyadari bahwa ia memiliki masalah dan berkeinginan untuk menyelesaikan
masalahnya. Pada penelitian ini, D sadar bahwa ia memiliki masalah, yaitu self-esteem
rendah dan masalah tersebut sudah mengganggu kehidupannya. Ia pun berkomitmen
untuk mengikuti sesi intervensi ini dengan baik.
Faktor keempat adalah penyesuaian materi/modul CBT dan metode dengan
karakteristik atau perkembangan remaja. Modul yang diberikan disesuaikan dengan

Nafisa Alif Amalia, Rini Hildayani Page I 131


Nafisa Alif Amalia, Rini Hildayani Volume 7, No. 2, Desember 2018

acuan CBT dari Stallard (2002). Metode yang ditampilkan diusahakan agar dapat menarik
minat remaja untuk terlibat, seperti adanya role-play, contoh kasus, dan materi singkat.
Faktor kelima, peran orang tua, yaitu ibu juga sangat penting terhadap intervensi ini. Hal
tersebut karena salah satu sesi intervensi CBT ini melibatkan peran orang tua, yaitu
psikoedukasi terkait dengan self-esteem anak. Pada penelitian ini, ibu dari D dapat
kooperatif dengan hadir saat sesi dengan orang tua berlangsung.
Selain adanya faktor yang mendukung pelaksanaan intervensi CBT ini, terdapat
pula faktor yang menghambat efektivitas intervensi yang diberikan. Faktor penghambat
tersebut adalah hubungan orang tua dengan anak. Pada penelitian ini, total skor global
self-esteem dari kuesioner Coopersmith Self-esteem Inventory (CSEI) menunjukkan
bahwa self-esteem D masih tetap rendah. Hal tersebut disebabkan karena menurunnya
skor self-esteem secara drastis pada domain orang tua di rumah (home), dari skor 5 (pre-
test) ke skor 0 (post-test). Pada saat pelaksanaan intervensi CBT, hubungan D dengan
orang tuanya mengalami masalah karena orang tua akan bercerai. Berdasarkan hasil
kuesioner CSEI dan wawancara, kondisi tersebut sangat memengaruhi D. Saat ini, D
merasa bahwa ia dan orang tuanya tidak lagi bersenang-senang bersama, ia merasa
mudah kesal/kecewa di rumah, dan orang tua tidak mempertimbangkan perasaannya.
Selain itu, D juga merasa bahwa tidak ada yang memberi perhatian pada D di rumah dan
orang tuanya tidak mengerti kondisi D saat ini. Hal tersebut sejalan dengan penelitian
yang dilakukan oleh Raboteg-Šarić, Merkaš, dan Miljević (2018) bahwa hubungan remaja
dengan orang tua sangat berkontribusi terhadap global self-esteem pada remaja. Peran
orang tua dalam kehidupan remaja sangat penting sebagai penentu global self-esteem
mereka (Raboteg-Šarić, Merkaš, dan Miljević, 2018). Pada D, terjawab bahwa salah satu
hal penting yang menyebabkan ia tetap memiliki global self-esteem yang rendah adalah
karena adanya masalah dengan orang tua saat sesi intervensi CBT berlangsung.

Simpulan
Intervensi Cognitive Behavior Therapy (CBT) yang dilakukan pada penelitian ini
terbukti efektif untuk meningkatkan self-esteem pada remaja yang menjadi subjek
penelitian ini (inisial D, usia 13 tahun 8 bulan). Hal tersebut spefisik pada sasaran CBT
yang diberikan, yaitu self-esteem mengenai penampilan dan kemampuan akademik.
Hasil menunjukkan bahwa terdapat peningkatan pada skor Coopersmith Self-esteem
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online) Page | 132
Persona: Jurnal Psikologi Indonesia Volume 7, No. 2, Desember 2018
ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online)

Inventory (CSEI), yaitu pada domain sekolah dan general self-esteem. Terdapat beberapa
hal yang mendukung proses intervensi ini, seperti terapis yang sudah memeriksa klien
secara lebih mendalam, sikap kooperatif yang ditunjukkan klien, klien yang menyadari
masalahnya, dan modul yang sesuai untuk D. Sementara itu, terdapat faktor penting
yang menghambat meningkatnya global self-esteem D yaitu hubungan D dengan orang
tuanya yang sedang mengalami masalah. Rekomendasi terhadap penelitian selanjutnya
adalah sebaiknya intervensi CBT diberikan saat anak sedang tidak mengalami masalah
lain di luar dari masalah/target CBT yang dilakukan.

Referensi
Alnahdi, G. H. (2015). Single-subject designs in special education: advantages and
limitations. Journal of Research in Special Educational Needs, 15(4), 257-265.
Barker, E. T., & Bornstein, M. H. (2010). Global self-esteem, appearance satisfaction, and
self-reported dieting in early adolescence. The journal of early adolescence, 30(2),
205-224.
Berk, L. E. (2012). Child development. Pearson.
Bordin, I. A., Rocha, M. M., Paula, C. S., Teixeira, M. C. T., Achenbach, T. M., Rescorla, L.
A., & Silvares, E. F. (2013). Child Behavior Checklist (CBCL), Youth Self-Report
(YSR) and Teacher's Report Form (TRF): an overview of the development of the
original and Brazilian versions. Cadernos de Saúde Pública, 29, 13-28.
Cully, J. A., & Teten, A. L. (2008). A therapist’s guide to brief cognitive behavioral
therapy. Houston: Department of Veterans Affairs South Central MIRECC.
Henderson, D. A., & Thompson, C. L. (2015). Counseling children. Cengage Learning.
Isomaa, R., Väänänen, J. M., Fröjd, S., Kaltiala-Heino, R., & Marttunen, M. (2013). How
low is low? Low self-esteem as an indicator of internalizing psychopathology in
adolescence. Health Education & Behavior, 40(4), 392-399.
James, K. P. (2016). Single-subject research method: The needed simplification. British
Journal of Education, 4(6), 68-95.
Kennerley, H., Kirk, J., & Westbrook, D. (2016). An introduction to cognitive behaviour
therapy: Skills and applications. Sage.
Luyckx, K., Klimstra, T. A., Duriez, B., Van Petegem, S., Beyers, W., Teppers, E., &
Goossens, L. (2013). Personal identity processes and self-esteem: Temporal
sequences in high school and college students. Journal of Research in
Personality, 47(2), 159-170.
Masselink, M., Van Roekel, E., & Oldehinkel, A. J. (2018). Self-esteem in early adolescence
as predictor of depressive symptoms in late adolescence and early adulthood:
the mediating role of motivational and social factors. Journal of youth and
adolescence, 47(5), 932-946.
McManus, F., Waite, P., & Shafran, R. (2009). Cognitive-behavior therapy for low self-
esteem: a case example. Cognitive and Behavioral Practice, 16(3), 266-275.
Miller, P. H. (2011). Theories of developmental psychology. Macmillan.

Nafisa Alif Amalia, Rini Hildayani Page I 133


Nafisa Alif Amalia, Rini Hildayani Volume 7, No. 2, Desember 2018

Moksnes, U. K., & Espnes, G. A. (2012). Self-esteem and emotional health in adolescents–
gender and age as potential moderators. Scandinavian Journal of Psychology, 53,
483–489.
Moksnes, U. K., & Espnes, G. A. (2013). Self-esteem and life satisfaction in adolescents—
gender and age as potential moderators. Quality of Life Research, 22(10), 2921-
2928.
Orth, U., & Robins, R. W. (2014). The development of self-esteem. Current Directions in
Psychological Science, 23(5), 381-387.
Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human Development. USA: Mc Graw
Hill.
Potard, C. (2017). Self-Esteem Inventory (Coopersmith). Encyclopedia of Personality and
Individual Differences, 1-3.
Raboteg-Šarić, Z., Merkaš, M., & Miljević, T. (2018). Family Relations and Relationships
with Peers as Determinants of Self-Esteem in Adolescents. Central European
Journal of Paediatrics, 14(2), 190-200.
Rezaee, A. (2016). Relation between self-esteem and identity styles with mental health
of students majoring in Psychology, University of Payame Noor, Mahabad
center. World Scientific News, (33), 122-134.
Santrock, J. W. (2010). Child development. Belmont, CA: McGraw-Hill Higher Education.
Stallard, P. (2002). Think good-feel good: A cognitive behaviour therapy workbook for
children and young people. John Wiley & Sons.
Teater, B. (2014). An introduction to applying social work theories and methods. McGraw-
Hill Education (UK).
Van Orden, L. (2011). Internalizing behavior, externalizing behavior and social support in
relation to self-concept in children. Magistarski rad. Sveuĉilište u Tulburugu.
Preuzeto s: http://arno. uvt. nl/show. cgi.
Wanders, F., Serra, M., & de Jongh, A. (2008). EMDR versus CBT for children with self-
esteem and behavioral problems: a randomized controlled trial. Journal of EMDR
Practice and Research, 2(3), 180-1

Persona: Jurnal Psikologi Indonesia


ISSN. 2301-5985 (Print), 2615-5168 (Online) Page | 134

View publication stats

You might also like