332-Article Text-544-1-10-20190528
332-Article Text-544-1-10-20190528
332-Article Text-544-1-10-20190528
Oleh:
Prianik
Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia
Denpasar
[email protected]
Abstract
Death is something that will definitely happen but cannot be sure when the death will come to
someone. For Hindus, death is a process of soul journey to Paramatman. In order for the journey of
Jiwatman to not occur, obstacles need to be helped with the execution of a death ceremony, one of the
ceremonies of the death ceremony of Hindus in Java, namely the Pitungdino death ceremony. In carrying
out the ceremony, did the members of the Majapahid Paguyupan who incidentally live in the
Metropolitan capital still carry out ?, where all members did not come from one area, but from various
regions with different traditional backgrounds. The Pitungdno death ceremony is a Hindu teaching
that has been carried out since our ancestors, and what benefits or benefits can be obtained in carrying
out this ceremony ?. To answer that question this research was conducted. The Pitungdino death
ceremony conducted by members of the Majapahid Association from one region to another is very
different, this is the result of research in one of the villages of the Majapahid Circle of Friends, namely
as follows: Pasrah pancen, enggeh / kenduren, and the Pitra event Puja.
The function of the pitungdino ceremony of death is as a prosecutor’s process or a guide for Jiwatman
to paramatman. This ceremony aims to improve the seven layers in the human body, namely muscle,
flesh, blood, marrow, skin, bones and hair.
The benefit of the pitungdino death ceremony is for the offspring, if it is carried out which is aimed
at dedication and our sincere devotion to our ancestors, raising and perfecting the position of the
spirits of our ancestors in Swah Loka, and paying attention to the interests of parents in realizing
devotion . This was carried out with the realization that as a descendant he had been indebted to his
parents / ancestors (Pitra Rna). The benefits of this series of ceremonies are for children, grandchildren
and their descendants, namely for welfare, and changes in the natural environment on a skala and
niskala.
Abstrak
Kematian adalah sesuatu yang pasti akan terjadi tetapi tidak dapat dipastikan kapan akan
datangnya kematian itu pada seseorang. Bagi umat Hindu kematian merupakan proses perjalanan
jiwatman menuju Paramatman. Agar perjalan jiwatman tidak terjadi hambatan perlu di bantu
dengan adanya pelaksanaan upacara kematian, salah satu pelaksanaan upacara kematian umat
Hindu di Jawa yaitu upacara Pitungdino kematian. Pelaksanaan upacara Pitungdino kematian yang
dilakukan oleh anggota Paguyuban Majapahid dari daerah satu dengan daerah yang lainnya sangat
DHARMASMRTI
28
Vol. 10 Nomor 1 Mei 2019 : 1 - 109
berbeda beda. Fungsi dari pada upacara pitungdino kematian ini adalah sebagai proses penuntut
atau penunjuk jalan bagi jiwatman menuju paramatman. Upacara ini bertujuan untuk proses
penyempurnaan tujuh lapisan yang ada dalam tubuh manusia yaitu otot, daging, darah, sumsum,
kulit, tulang dan rambut. Manfaat upacara pitungdino kematian ini bagi keturunannya, jika di
laksanakan yaitu bertujuan untuk pengabdian dan rasa bhakti kita yang sangat tulus ikhlas kepada
para leluhur kita, mengangkat serta menyempurnakan kedudukan arwah para leluhur kita di alam
Swah Loka, dan memperhatikan kepentingan orang tua dalam mewujudkan rasa bhakti. Hal tersebut
di laksanakan atas kesadaran bahwa sebagai keturunanya ia telah berhutang kepada Orang tua/
leluhur (Pitra Rna). Manfaat yang didapat dari rangkaian upacara tersebut untuk anak, cucu dan
keturunanya yaitu untuk kesejahteraan, dan perubahan alam sekitar secara skala dan niskala.
DHARMASMRTI
30
Vol. 10 Nomor 1 Mei 2019 : 1 - 109
dengan Brahman/Sang Hyang Widhi 2. Banten di meja pemangku yaitu : Pejati
Wasa. . satu set, satu besek sego suci ulam sari,
3. Pitra Puja. dilakukan pada malam hari jajan pasar, satu lepek jenang padang
dan dilakukan setiap malam semenjak lepas (bubur kuning putih), jenang pitara
upacara selametan telongdino. acara ini yaitu bubur putih di atasnya diisi suket
melakukan persembahyangan dan glinting dan kacang ijo.
kekidungan Jawa, untuk mendoakan
yang sudah meninggal.
Artinya:
Seperti halnya orang menanggalkan
pakaian usang yang telah dipakai dan
menggantikanya dengan yang baru.
Demikian pula halnya jiwatman
meninggalkan badan lamanya dan
memasuki jasmani yang baru.
(Bhagawadgita, Pudja 2005 : 44-45)
DHARMASMRTI
32
Vol. 10 Nomor 1 Mei 2019 : 1 - 109
nama Tuhan dengan mengucapkan Om. Bila hal Oleh karena itu kita sadarlah dan
ini terjadi pada orang lain baik itu orang tua kembalilah ke jalan Dharma.
saudara atau siapa saja saat menjelang
meninggalnya dampingi dan bisikan Om pada Sloka dan pupuh tersebut di atas
telinganya sehingga akan mampu menuntun sesungguhnya mengingatkan kepada kita semua
pada penyatuan rohnya dengan Sang Hyang bahwa hidup kita di dunia yang fana ini tidaklah
Widhi. (Wawancara, Pemangku Gusti Ngurah kekal. Setiap manusia pada saatnya nanti akan
Rai, 2018) mendapatkan ajal. Seiring dengan bergantinya
Om ity ekaksarambrahma, wyaharam sang waktu ajal bukannya semakin menjauh,
mam anusamara, dan itulah yang dinamakan dengan kematian
Yah prayati tyajan deham, sa yati bagi raganya tetapi bukan bagi atmannya. Jika
paramam gatim.(Bhagawad Gita.VII.13) saat hidup dia banyak melakukan dosa maka
sang atman tersebut tidak akan pernah
Artinya: mendapatkan kebebasan dan kebahagiaan yang
Ia yang mengucapkan Om aksara tunggal kekal. Oleh karena itu saat hidup di dunia adalah
yaitu Brahman, dan mengingat Aku saat yang tepat bagi manusia untuk menghindari
sewaktu ajal akan meninggalkan badan dosa tersebut dengan senantiasa berpegang
jasmani, ia akan pergi menuju tempat teguh pada ajaran-ajaran dharma (kebenaran).
yang tertinggi (Moksa). Saat itu adalah saat dimana manusia akan
dihadapkan dengan berbagai macam cobaan
Dalam pupuh Kakawin Niti Sastra juga di dan manusia harus dapat menolong dirinya
jabarkan tentang kematian itu, yaitu sebagai sendiri. Jika ia lulus dari cobaan-cobaan tersebut
berikut : maka ia akan dapat menolong dirinya sendiri
Kunang I datengnya ng mreta tepet dari lautan samsara atau reinkarnasi. Hal ini
ambek, sebagaimana disebutkan dalam kitab
Atutura ring yoga tayanging atma. Sarasamuscaya sloka 4 sebagai berikut:
Taki-takepadaki toson pakekesa sang Apan iking dadi wwang, utama juga ya,
wruh, nimittaning mangkana,
Wekasanikang tan hana juga toson. Wenang ya tumulung sakeng sangsara,
makasadhanang subhakarma,
Artinya: Hinganing kottamaning dadi wwang ika.
Seandainya sang maut sudah menjeput,
keteguhan hati kita harus tetap terpagut. Artinya:
Raihlah kesadaran melalui yoga tentang Menjelma menjadi manusia itu adalah
kelepasan jiwa. Segera berlatihlah dan sungguh-sungguh utama; sebabnya
lakukan hal itu dengan berguru kepada demikian, karena ia dapat menolong
mereka yang tahu. Mengingat pada akhir dirinya dari keadaan sengsara (lahir dan
waktu kita tidak ada yang bisa kita mati berulang-ulang) dengan jalan
lakukan. (Kakawin Niti Sastra XIV.2) berbuat baik, demikianlah keuntungannya
dapat menjelma menjadi manusia.
Pupuh di atas senada dengan Canakya (Kakawin Niti Sastra, Miswanto, 2015)
Nitisastra XII.12 yang menyatakan sebagai
berikut : Menyimak hal tersebut maka sudah
Anityani sarirani wibhawo naiwa seharusnya manusia sadar tentang siapa dia,
saswatah. darimana dia berasal, dan kemana dia akan
Nityam samnihito mrtyuh kartawyo kembali setelah mati nantinya. Jika hal tersebut
dharma-samgrahah. sudah dipahami oleh seorang manusia maka ia
tidak akan menjelma kembali ke dunia.
Artinya: Sebaliknya ia akan menyatu dengan Brahman.
Tubuh ini tidaklah kekal, dan kekayaan Hal ini sebagaimana diamanatkan dalam sebuah
kita sama sekali tidak abadi dan hanya Tembang Dandanggula sebagai berikut :
kematianlah yang semakin mendekat. Kawruhana sajatining urip, manungseku urip
DHARMASMRTI
34
Vol. 10 Nomor 1 Mei 2019 : 1 - 109
jasad seseorang. Orang jawa lebih sering prosesi tersebut menciptakan sebuah tembang
menyebutnya dengan hari na-as/geblag/sedone Mocopat Sinom yaitu sebagai berikut:
seseorang, hari kematian ini (dino pasaran) “Siji-siji yen nyurtanah, telu-telu telung
dipergunakan sebagai pedoman awal untuk ari, pitu loro pitung dino, limo-limo
acara prosesi selamatan maupun upacara adat kawandesi, loro limo nyatusi, papat-papat
berikutnya. mendhakipun, kanem klawan kalimo
Hari na-as (jumlah dino pasaran) ini wilujenge sewu ari, den prastitis dino taun
merupakan gambaran masa depan anak cucu sasi tanggal”
atau keturunannya atau keluarganya misalkan
dengan menghitung neptu dino pasaran pada Artinya:
saat meninggal dijumlahkan kemudian dihitung Satu-satu untuk nyurtanah, tiga-tiga
masuk dalam kategori: gunung, Guntur, segoro, untuk tiga hari, tujuh dua untuk tujuh
atau asat. Jika jatuh pada gunung maka rejeki hari, lima-lima untuk empat puluh hari,
keluarga dan anak keturunannya berlimpah dua lima untuk seratus hari, empat-
seperti gunung. Jika jatuh pada Guntur makan empat untuk satun tahun, enam lima
rejeki keluarga yang di tinggalkan akan untuk seribu hari, perhatikan secara
mengalami penurunan atau kekeringan. Jika teliti hari, tahun, bulan dan tanggal.
jatuh pada segara maka rejeki keluarga yang di
tinggalkan akan selalu bersumber dan tidak Tujuan singkatnya adalah untuk
akan ada habis-habisnya seperti air samudera. mengantarkan langkah orang yang sudah mati
Jika jatuh pada asat maka gambaran rejeki tersebut dalam perjalanan menuju
keluarga yang di tinggalakan akan serba pas- kesempurnaan baik jiwa maupun raganya.
pasan bahkan mengarah ke kekurangan Berikut runtutan prosesi upacara kematian adat
termasuk untuk doa selamatan pun selalu serba Jawa:
kekurangan. a. Ngesur/Njur tanah. Acara prosesi yang
dilakukan biasanya setelah jenasah di
2. Brobosan berangkatkan ke pemakan, di siapkan
Yakni suatu upacara atau ritual yang banten tumpeng ungku-ungkur yang
dilakukan di halaman rumah orang yang artinya adalah keluarga berharap yang
meninggal. Waktu dilaksanakan ketika jenazah meninggal dengan ihklas meninggalkan
akan di berangkatkan ke peristirahatan terakhir alam dunia ini dan menuju alam akhirat
(dimakamkan) dan di pimpin oleh salah satu dengan penuh keihklasan dan
anggota keluarga yang paling tua. Tata cara dimudahkan jalannya menuju tempat
pelaksanaanya antara lain : 1) Keranda/peti kuburnya dalam bahasa Jawa dengan
mati di bawa keluar menuju halaman rumah menyebut jembar dalane, ombo kubure.
dan di junjung tingga ke atas setelah doa jenasah Sedangkan yang di tinggalkan semoga
selesai; 2) secara berturut-turut ahli waris yang dapat melupakan yang meninggal dan
di tinggal (mulai darianak laki-laki tertua hingga mengilangkan rasa berkabungnya,
cucu perempuan) berjalan melewati keranda selanjutnya segera dapat mengurus
yang ada di atasnya (mbrobos) sebanyak tiga keluarga yang di tinggalkan/yang masih
kali dan seraah jarum jam. Upacara ini bertujuan hidup di dunia. Jadi prosesi hari pertama
untuk menghormati, menjunjung tinggi, dan atau pas hari meninggalnya, sinep jiwa ini
mengenang jasa-jasa almarhum semasa yaitu tujuan dari pada upacara atau ritual
hidupnya dan memendam hal-hal yang kurang tersebut adalah untuk proses
baik dari almathum. Dalam istilah Jawa nya pengembalikan sang jiwa kepada sang
adalah “mikul dhuwur mendhem jero”. pencipta. (Wawancara, Pandhita Rsi
Agung Hasto Darma Eka Telabah,
3. Prosesi Selamatan Hari Kematian. Sidoarjo, Januari 2019).
Prosesi selamatan orang meninggal dalam
budaya Jawa dilakukan beberapa kali terhitung
semenjak orang tersebut meninggal. Menurut
pujangga untuk mempermudah kita mengingat
DHARMASMRTI
36
Vol. 10 Nomor 1 Mei 2019 : 1 - 109
kecil. (wawancara, Dewo Suratnaya, Dharmaraja diberikan anugerah oleh
Januari, 2, 2019). Sang Nabhe melaksanakan rangkaian
j. Prosesi selamatan setelah satu tahun upacara mengentaskan orang meninggal,
kematian yaitu Pendak sepisan, tujuan turut dalam “barisan” Tri Sadhaka
dari pada selamatan ini adalah untuk Wisesa, sama-sama memberikan tirtha
proses penyatuan, atau telah penglepas kepada orang meninggal di
sempurnanya kulit, daging dan isi perut. jagat Purbha Sasana. Tidak ada yang
Kondisi jasad daging sudah habis tinggal membencanai negerinya itu, malah
tulang belulang. Dan roh sudah mulai bertambah-tambah kesejahteraan dan
menjauh dari keluarga. Dan untuk ditakuti musuh. Sri Jaya Wikrama, dan
menentukan waktu selamatan hari dan seluruh atma orang yang dientaskan oleh
pasaran mendhak sepisan di gunakan Sang Tri Sadhaka wangsa, berubah
rumus nopatsarpat yaitu hari keempat menjadi watek Gandharwa. Segala dosa
dan pasaran keempat. papa-pataka ketika masih ada di alam
k. Prosesi selamatan setelah dua tahun manusia sirna oleh mantra Sang Tri
kematian yaitu Pendak Pindo, tujuan dari Shakti. Itulah sebabnya jagatnya menjadi
pada selamatan ini adalah sempurnanya selamat, tidak ada orang mati semasih
semua anggota badan selain tulang bayi. Tidak ada penyakit, segala yang di
belulangnya. Kondisi jasad tulang tanam tumbuh, murah segala yang di
belulang sudah mulai lepas dari jual, sedikitlah penderitaan di dunia,
persendiannya (balung gonggang) dan karena bhuwana sudah rahayu. Huru-
kondisi roh sudah mulai menjauh dari hara tidak ada, usia orang sesuai dengan
rumah. jatah hidupnya, tercapailah janji
l. Prosesi selamatan setelah seribu hari hidupnya. Sang Brahmana dan satriya
kematian yairu nyewu, cara menentukan ber-iringan, dipastu oleh Bharata Shiwa
waktu selamatan hari dan pasaran nyewu mebuat hidup di dunia jagat, membuat
adalah di gunakan rumus nonemsarma jalan yang benar sampai pada
yaitu hari keenam dan pasaran kelima. kematiannya. Karena Sang Tiga itu adalah
Tujuan dari pada selamatan ini adalah perwujudan dari Shiwa, Sadashiwa,
karena telah sempurnanya jasad manusia Paramashiwa. Sang Wiku Tiga Wisesa
termasuk bau dan rasanya. Sehingga mengasuh dunia siang dan malam, hidup
manusia yang meninngal itu sudah mati, seluruh jagat, sampai Shiwa Budha
menyatu dengan tanah yang merupakan Satriya putus itu pulalah yang
asal muasalnya. Dan untuk memberikan pengelepasan pada Atman.
mengembalikan karma, secara niskala Tu semua karena anugerah Bhatara
yaitu keluarga yang di tinggalkan supaya Shiwa. Agar mencapai sorga atma orang
tidak mengalami, secara skala yaitu di yang meninggal. Seperti itulah
jalankan sesuai karma. Dan selamat ini anugerahku kepada dirimu, muridku.
merupakan Penghormatan terakir Jangan sampai tidak mempercayai
kepada leluhur. Kondisi jasad tinggal ucapan diriku ini. Begitu pula seluruh
tulang belulang dan kondisi roh sudah yang ada di bawah langit ini, Satriya juga
menempati alam yang semestinya sesuai mengentaskan atma. Apabila Brahmana,
dengan karma yang dilakukan semasa raja sampai mati. Pendeta brahmana
hidup di dunia. boleh mengentaskan Shiwa Budha. Kalau
m. Pangentas, prosesi upacara ini yaitu Bujangga Ratu Putus, seluruh Wangsa
prosesi untuk penyempurnaan karma satriya boleh di entaskan sampai pada
untuk bisa mencapai Moksa atau lahir wesya wangsa sudra, seriringan dengan
kembali. Dan upacara ini dilakukan Buddha Shiwa. Kalau yang meninggal
setelah upacara seribu hari. Sebagaimana berwangsa brahmana, tidak boleh
tecantum di dalam pustaka Iswara pendeta satriya memberikan tirtha
Tattwa, sebagai berikut : penglepas atma. Ini patut ditiru, karena
“Ceritakan sekarang Bhagawan menyebabkan kebaikan di dunia”. (IT)
DHARMASMRTI
38
Vol. 10 Nomor 1 Mei 2019 : 1 - 109
adalah tempat untuk menghadirkan dewa-dewi, 2.7 Melaksanakan Upacara Pitungdino
bethara-bethari, maupun para leluhur. Kematian.
Ruang senthong tengah disebut juga dengan Bagi keluarga yang di tinggalkan, tujuan dari
berbagai nama, seperti kerobongan, pasren dan pada upacara Pitra Yajna yaitu upacara
pedaringan. Kerobongan berarti tempat Pitungdino Kematian ini di laksanakan yaitu
pembakaran (berasal dari kata obong yang bertujuan untuk pengabdian dan rasa bhakti
berarti bakar). Di sebut demikian karena kita yang sangat tulus ikhlas kepada para leluhur
senthong tengah merupakan tempat untuk kita, mengangkat serta menyempurnakan
membakar kemenyan ketika si pemilik rumah kedudukan arwah para leluhur kita di alam
melakukan upacara pitra yadnya (pemujaan Swah Loka, dan memperhatikan kepentingan
kepada leluhhur). Pasren berasala dari kata pa- orang tua dalam mewujudkan rasa bhakti. Hal
sri-an, yang berarti tempatnya Dewi Sri, dewi tersebut di laksanakan atas kesadaran bahwa
penguasa tanaman padi. Sedangkan pendaringan sebagai keturunanya ia telah berhutang kepada
berarti tempat padi. Orang tua/leluhur seperti, berhutang badan
Di dalam ruang senthong tengah biasanya (Sarira Khosa) atau disebut dengan istilah
terdapat prasarana upacara untuk menghadirkan Sarirakrit, berhutang budi (Anadatha),
dewa-dewi, bhetara-bhetari atau leluhur yang berhutang jiwa (Pranadatha). Dalam kita
akan di puja. Kelengkapan prasana sembahyang melaksanakan upacara Pitra Yajna salah satunya
tersebut ditentukan oleh kemampuan pemilik Upacara Pitungdino Kematian di dasari atas
rumah. Prasana kelengkapan yang paling hukum sebab akibat juga yaitu dari Karma Phala,
sederhana adalah meja sesaji yang pada sebagai keyakinan adanya Punarbhawa dan kita
umumnya di miliki oleh masyarakat petani. Meja percaya bahwa leluhur itu masih hidup di dunia
sesaji ini fungsinya adalah untuk meletakkan (alam semesta) ini.
sesaji ketika pemilik rumah sembahyang, Pandangan dalam agama Hindu tentang
melakukan upacara slametan/kenduri, atau kehidupan yang ideal duniawi dibentuk oleh
sesaji pas geblaknya sodara yang meninggal, konsep etika tentang konsep tiga hutang bahwa
maupun untuk meditasi. Meja sesaji ini juga di seseorang itu harus membayar selama
gunakan untuk menghaturkan sesaji pada saat kehidupan sesorang. Tiga hutang ini
hari raya Galungan, Kuningan, purnama –tilem, berhubungan dengan tiga hutang dlam
saraswati, Siwaratri dan Nyepi. kehidupan seseorang. Hutang ini bukanlah
Sebagaimana telah di sebutkan di atas, bagi harfiah, dalam pengertian pertanggung jawaban
masyarakat Jawa yang termasuk dalam golongan yang lahir bersama dan menghabiskan
priyayi dan bangsawan, di samping meja sesaji, kehidupannya mencoba untuk membayarnya.
di dalam ruangan senthong tengah juga terdapat Sebaliknya, konsep tiga hutang ini mencerminkan
prasarana berupa tempat tidur berukuran kecil, usaha lain sebagai bagian dari pemikiran Hindu
tetapi lengkap dengan dengan kasur, bantal, untuk menciptakan kesadaran dari tugas dan
guling dan sprei, karena berukuran kecil, tempat tanggung jawab seseorang.
tidur itu tidak mugkin ditempati oleh manusia. Setiap anak mempunyai kewajiban
Tempat tidur tersebut merupakan ‘pelinggih” mendoakan orang tuanya, karena ini merupakan
bagi dewa-dewi, bhetara-bhetari, atau leluhur. bentuk rasa bhakti seorang anak kepada orang
Pada golongan bangsawan tingkat tinggi, di tua. Kita sangat penyadari akan hal ini karena
depan tempat tidur ditambahkan dengan dalam ajaran agama Hindu mengajarkan tentang
sepasang arca pengantin dari tanah liat yang di ini yaitu ajaran tentang Tri Rna yaitu tiga hutang
sebut dengan loroblonyo. Loroblonyo merupakan yang harus kita bayar atau kita laksanakan
lambang daulis dalam kehidupan yang bila dalam hidup ini, tiga hutang itu yaitu pertama
bersatu menimbulan suatu keharmonisan. Dewa Rna yaitu hutang kepada Shang Hyang
Dalam agama Hindu konsep dualis ini disebut Widhi Wasa yaitu hutang berupa jiwa atau
dengan Rwa Bhineda. kehidupan, kita sangat menyadari bahwa dari
Tuhanlah kita hidup. Hutang pertama inilah kita
hars membayar dengan mempersembahkan
kehidupan seseorang untuk melayani Tuhan.
Bagi seorang Hindu, pelayanan pada Tuhan
DHARMASMRTI
40
Vol. 10 Nomor 1 Mei 2019 : 1 - 109
Artinya: Artinya:
Yang memuja dewata pergi kepada para Dengan memahami Weda, melaksanakan
Dewata, kepada leluhur perginya yang maha Yadnya (Panca Yadnya) menurut
memuja leluhur mereka, dan kepada roh kemampuan, dan sabar terhadap
alam perginya yang memuja roh alam, penderitaan, cepat atau lambat akan
tetapi mereka yang memuja-Ku datang menghilangkan semua noda walaupun
pada-Ku. (Bhagawadgita, Pudja 2005:25) sampai dosa besar (XI.246).
Dalam sloka Bhagawad Gita tersebut Demikianlah yadnya yang patut dilaksanakan
menandakan dalm system penyembahan Hindu oleh umat Hindu dengan berpedoman Desa,
dikenal adanya penyembahan berjenjang. dari Kala, Patra/Tattwa/Sastra. Desa adalah tempat
menyembah Bhuta, Dewa dan Pitara (leluhur). dimana yadnya itu dilaksanakan; Kala adalah
Kata sembah berasal dari bahasa Jawa Kuna waktu (saat kapan yadnya itu dilakukan); Patra
yang memiliki lima arti yaitu menghormati, adalah sastra/ajaran agama/petunjuk yang
menyayangi, memohon, menyatukan diri dan benar. Jika di bandingkan Tri Rna dengan Panca
menyerahkan diri secara total. Yadnya maka 1). Dewa Rna dibayar dengan
Demikianlah Tri Rna dimiliki manusia Dewa Yadnya dan Bhuta Yadnya. 2). Pitra Yadnya
sebagai umat Hindu yang wajib dibayar melalui dibayar dengan Pitra Yadnya dan Manusia
pengalaman Panca Yadnya dalam kehidupan ini. Yadnya. 3). Rsi Rna dibayar dengan Rsi Yadnya.
Secara duniawi sesungguhnya setiap orang Dengan memperhatikan bentuk-bentuk
beragama mengakui adanya tiga hutang seperti pelaksanaan yadnya dalam Panca Yadnya,
itu walaupun tidak disebutkan secara jelas jelaslah bahwa itu bukan hanya upacara ritual.
dalam ajaran agama. Panca Yadnya ialah lima
jenis korban suci yang dilaksanakan oleh umat 2.9 Manfaat Upacara pitungdino Kematian
Hindu untuk mencapai kesempurnaan hidup. Manfaat yang didapat dari rangkaian upacara
Orang yang tidak mengamalkan Panca Yadnya tersebut untuk anak, cucu dan keturunanya
akan menjadi semakin banyak hutang yang dia yaitu untuk kesejahteraan, dan perubahan alam
pikul dan mereka akan menjadi semakin serakah sekitar secara skala dan niskala. Dalam Kakawin
serta sombong. Hal itu menyebabkab orang Niti Sastra menjelaskan sebagai berikut:
semakin pasti masuk neraka akhirat. Disamping Mwang dinatithi yogya sunggana dana
Panca Yadnya untuk membalas jasa kepada tekapira sang uttameng praja
Dewa, Rsi dan Pitra/Leluhur, maka yadnya dapat Mwang dewa sthana tan winursita rubuh
mengantarkan pelakunya menuju alam sorga wangunen ika paharja sembahen,
dan moksa. Seperti di sebutkan dalam kitab Dina preta sangaskara ta pahayun
Manawa Dharma Sastra sebagai berikut : lepasakena teken smasana ya,
Dewatathiti bhrtyanam, pitri rnam atman Byakta labhaning aswamedha kretu
as ca yah, labhanira siniwi ring suralaya.
Na nirwapati pancanam, ucchwsanna sa
jiwati (III.72) Artinya:
Orang terkemuka yang di muliakan
Artinya: rakyatnya patut memberikan sedekah
Tetapi mereka yang tidak melaksanakan kepada tamu yang miskin, dan
persembahan Panca Yadnya yaitu kepada membangun kembali candi yang sudah
Tuhan (Dewa-Dewa) orang suci, makhluh roboh dan tidak terpakai lagi, lalu
bawahan, para leluhur dan sesamanya menghiasinya supaya dapat
pada hakekatnya mereka adalah mati dipergunakan lagi sebagai tempat
walaupun bernafas. (III.72) bersembahyang. Ia patut mengadakan
korban bagi jiwa-jiwa yang sengsara,
Wedabhyaso nwaham saktya, supaya jiwa-jiwa itu terlepas dari kubur.
mahayadnya kriya ksama, Dengan jalan begitu ia berjasa seperti
Nasa yantyasu papain, maha pataka orang yang mengadakan korban
janiapi.(XI.246) Aswamedha yang mampu mengantarkan
DHARMASMRTI
42
Vol. 10 Nomor 1 Mei 2019 : 1 - 109
moyang kita dari kediaman Betara Yama. Kretu panca yajna gawayenta panahura
(Kakawin Niti Sastra IX.2) hutangta ring widhi.
Sahuren upadhyaya samasta hutang ira ri
Setiap manusia memiliki kewajjiban untuk sang resiswara.
menghormati para Dewa, leluhur, orang tua, Wara gorawe sira sang abhyagata taman
orang-orang suci dan tamu yang datang ke ayogya sambhraman.
rumahnya. Hal ini merupakan perintah Weda Iti sasaneng tan pale-paleha ri dharma
kepada seluruh umat manusia. Kita berhutang sang wiku.
kepada para Dewa sebagai manifestasi Brahma
yang telah menciptakan dana memelihara alam Artinya:
semesta. Kita juga berhutang kepada para Lima macam kurban suci harus
leluhur dan orang tua yang telah menjadikan senantiasa dilaksanakan sebagai penebus
kita lahir di dunia. Kita berhutang kepada orang- hutang kepada Sang Hyang Widhi Wasa.
orang suci yang telah memberikan pengetahuan Semua hutang ilmu pengetahuan harus
suci kepada umat manusia di dunia. Kita juga dibayarkan kepada orang-orang suci.
berhutang kepada tamu yang hadir dengan Penghormatan yang baik harus diberikan
segala keberuntungan yang dibawanya. kepada tamu yang datang dengan baik-
Senada dengan hal tersebut, pada bab Siksa baik, jangan sampai tidak menjammu
Walli atau Samhita dalam Taittiriya Upanisad I. para tamu tersebut. Inilah aturan untuk
XI.2 sebagai berikut: manusia yang tak boleh diabaikan
Dewa pitr karyabhayam na pramadi terutama dalam hal kewajiban kepada
tawyam, matr dewo bhawa, sang Wiku. (Kakawin Niti Sastra IX.3)
pitr dewo bhawa, acarya dewo bhawa,
atithi dewo bhawa. Dalam ajaran agama Hindu di kenal lima
macam kurban suci yang disebut sebagai Panca
Artinya: Yajna yang terdiri atas : Dewa Yajna (Kurban
Janganlah pernah ingkar terhadap suci kepada Sang Hyang Widhi Wasa beserta
kegiatan pemujaan kepada para Dewa para Dewa sebagai manifestasi-Nya); Bhuta
dan para leluhur. Sebagaimana dikatakan Yajna (kurban suci kepada alam semesta);
dalam Weda bahwa; Ibu adalah Manusa Yajna (kurban suci kepada sesame
perwujudan Dewa; Ayah adalah manusia); Pitr Yajna (kurban suci kepada para
perwujudan Dewa; Guru adalah leluhur); dan Rsi Yajna (kurban suci kepada para
perwujudan Dewa; Tamu adalah rsi dan Guru-guru suci).
perwujudan Dewa. (Kakawin Niti Sastra Kelima macam kurban suci tersebut pada
IX.2). dasaranya dilandasi dengan semangat untuk
membayar tiga hutang yang disebut sebagai Tri
Dari sloka di atas dapat diketahui bahwa Rna. Ketiga hutang ini terdiri atas : Dewa Rna
selain kita tidak boleh mengingkari Tuhan (hutang kepada para Dewa atad hidup dan
beserta manifestasi-Nya, kita juga harus bisa segala yang ada di alam semesta sebagai
menghormati orang tua dan tamu yang datang penunjang kehidupan ini); Pitr Rna (hutang
kepada kita. Di samping menghormati semua kepada para leluhur dan orang tua yang telah
orang adalah kebaikan yang harus selalu melahirkan kita); dan Rsi Rna (hutang kepada
dibiasakan. Dengan selalu menghormati dan para Rsi dan Guru-guru suci atas ilmu
menghargai sesama manusia maka kita menuai pengetahuan yang telah diajarkannya kepada
buah kebajikan untuk kita sendiri. Kita juga umat manusia). Hutang kepada para guru suci
tidak boleh membeda-bedakan sesorang yang tentu harus dibayarkan dalam bentuk daksina
layak untuk kita hormati, misanya seperti orang kepada beliau. Sementara itu hutang kepada
yang berduit saja, orang yang punya kedudukan para tamu sebagaimana telah disinggung di atas
saja, orang yang sederajat saja, dan seterusnya. harus dibayar dengan cara penyambutan yang
Semakin banyak kita menghargai orang lain, baik dan perjamuan yang diberikan kepadanya.
maka semakin banyak pula orang yang akan Yasa kirti karma kena denta tan elem-
menghormati kita. elemeka sighranem.
DHARMASMRTI
44
Vol. 10 Nomor 1 Mei 2019 : 1 - 109
DAFTAR PUSTAKA