Perkembangan Pemekaran Daerah Tingkat Provinsi Di Indonesia Pada Masa Orde Lama, 1948-1964

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 18

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/361541853

Perkembangan Pemekaran Daerah Tingkat Provinsi di Indonesia pada Masa


Orde Lama, 1948-1964

Article · June 2022


DOI: 10.29408/fhs.v6i1.4551

CITATIONS READS

0 24

1 author:

Anwar Firdaus Mutawally


Universitas Pendidikan Indonesia
8 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Anwar Firdaus Mutawally on 02 October 2022.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Fajar Historia
Jurnal Ilmu Sejarah dan Pendidikan
https://e-journal.hamzanwadi.ac.id/index.php/fhs/index
ISSN: 2549-5585 (online), Vol. 6 No. 1 Juni 2022, hal 43-59

Perkembangan Pemekaran Daerah Tingkat Provinsi di Indonesia pada


Masa Orde Lama, 1948-1964
Anwar Firdaus Mutawally1*
1
Universitas Pendidikan Indonesia; [email protected]
*
Korespondensi

Dikirim: 22-11-2021; Diterima: 26-03-2022; Diterbitkan: 25-06-2022

Abstract: Regional expansion is a logical consequence of the development of the times as the
community's need for government services increases. Hence, the regions need to be re-divided
so that regional development can occur properly. This study aims to explain the developments
and the factors that encouraged and hindered the division of provinces in Indonesia during the
Old Order era. The method used in this research is the historical method with data collection
techniques using literature studies and documentation studies. Results showed that the number
of provinces in Indonesia increased from 8 provinces at the beginning of independence to 24
provinces at the end of the Old Order. In addition, three provinces have received special status
from the government of the Republic of Indonesia. Among them are Aceh, DKI Jakarta, and
Yogyakarta. The factors that hindered the process of regional expansion were the political
conditions during the Old Order, which were less stable, so regional expansion could not occur,
and limited infrastructure facilities at that time. At the same time, the factors that encouraged
regional divisions included the emergence of regional sons in local government after the 1955
elections, the breakup of the dwi-tunggal Republic of Indonesia (Soekarno-Hatta), the
emergence of demands from the Banteng Council, and the PRRI and Permesta Rebellions which
accelerated regional expansion in Indonesia at that time.
Keywords: history; old order era; regional expansion; province
Abstrak: Pemekaran wilayah merupakan konsekuensi logis dari perkembangan zaman seiring
dengan meningkatnya kebutuhan masyarakat akan pelayanan pemerintah. Oleh karena itu,
perlu dilakukan pemekaran daerah agar pembangunan daerah dapat berjalan dengan baik.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan perkembangan dan faktor-faktor yang mendorong
dan menghambat pemekaran provinsi di Indonesia pada masa Orde Lama. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah dengan teknik pengumpulan data
menggunakan studi kepustakaan dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
jumlah provinsi di Indonesia meningkat dari 8 provinsi pada awal kemerdekaan menjadi 24
provinsi pada akhir Orde Lama. Selain itu, tiga provinsi mendapat status khusus dari pemerintah
Republik Indonesia. Diantaranya adalah Aceh, DKI Jakarta, dan Yogyakarta. Faktor
penghambat proses pemekaran daerah adalah kondisi politik pada masa Orde Lama yang
kurang stabil sehingga pemekaran daerah tidak dapat terjadi, dan sarana prasarana yang terbatas
pada saat itu. Sementara itu, faktor yang mendorong pemekaran daerah antara lain munculnya
putra daerah dalam pemerintahan daerah pasca Pemilu 1955, pecahnya dwi-tunggal Republik
Indonesia (Soekarno-Hatta), munculnya tuntutan Dewan Banteng, serta Pemberontakan PRRI
dan Permesta yang mempercepat pemekaran daerah di Indonesia saat itu.
Kata Kunci: Orde Lama; pemekaran daerah; provinsi; sejarah

Jurnal Fajar Historia is licensed under a Creative Commons Attribution-


ShareAlike 4.0 International License.

DOI: https://doi.org/10.29408/fhs.v6i1.4551 Page 43 of 59


Anwar Firdaus Mutawally
Perkembangan Pemekaran Daerah Tingkat Provinsi di Indonesia pada Masa Orde Lama, 1948-1964

Pendahuluan
Pemekaran daerah secara harfiah merupakan upaya pemerintah untuk membentuk satuan
wilayah administratif baru baik tingkat provinsi, kota, maupun kabupaten dari induknya (Bakar
et al., 2018). Senada dengan pengertian sebelumnya, Makagansa (2008) mengungkapkan
bahwa pemekaran daerah ialah upaya memisah atau memecah suatu wilayah untuk membentuk
unit administrasi lokal baru lainnya. Sehingga dari kedua pengertian tersebut dapat diketahui
bahwa pemekaran daerah merupakan upaya pemerintah untuk membentuk wilayah administrasi
lokal baru dari wilayah induknya. Sedangkan provinsi berasal dari bahasa Latin Pro yang
berarti “untuk” dan vincere yang berarti “dikalahkan”. Pada zaman dahulu bangsa Romawi
menggunakan kata provinsi untuk wilayah yang berhasil mereka taklukan. Seiring
perkembangan zaman, kata provinsi berubah makna menjadi satuan wilayah yang lokasinya
jauh dari ibukota (Vanagaitė, 2018).
Hernawati (2011) mengungkapkan bahwa pemekaran daerah dikenal juga dengan nama
pembentukan daerah dan memiliki tiga makna dalam pelaksanaannya. Pemekaran daerah dapat
berupa penetapan daerah bekas satuan administrasi lokal (misal bekas kotapraja), pembentukan
daerah RI yang sebelumnya direbut oleh Belanda, atau satuan pemerintahan yang baru
bergabung (misal Papua atau Timor Timur). Selain itu Pratikno (Hernawati, 2011), menjelaskan
ada beberapa implikasi yang harus dipertimbangkan dari suatu pemekaran daerah diantaranya
ialah faktor sosial-politik, sosial kultural, sosial-ekonomi, pelayanan publik, perkembangan
ekonomi, dan integrasi nasional. Sehingga dalam pelaksanaannya pemerintah perlu
memperhatikan banyak faktor untuk memekarkan suatu provinsi.
Pada masa kerajaan Hindu-Buddha dan Islam, negara-negara di Nusantara menganut
sistem pemerintahan tradisional dimana raja merupakan penguasa tunggal dengan
pemerintahan daerah dipimpin oleh bangsawan yang bersifat aristokratis. Sejak abad ke-19,
Bangsa Indonesia berada di bawah kekuasaan Belanda, maka pola tradisional mulai
ditinggalkan mengikuti kebijakan pemerintahan kolonial. Dalam praktik pembagian
administratif, pemerintah kolonial Belanda membagi Hindia Belanda menjadi beberapa daerah
otonom seperti Gewest (provinsi), Stadgemeente (Kotapraja), dan Regenschap (Kabupaten)
(Laely, 2018). Hal ini menunjukan bahwa Belanda memulai penggunaan sistem provinsi di
Indonesia dan kelak digunakan juga oleh pemerintah RI.
Setelah Indonesia merdeka, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
menyelenggarakan sidang kedua pada tanggal 19 Agustus 1945. Dari sidang tersebut kemudian
menghasilkan tiga keputusan yakni pembentukan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP),
pembentukan 12 departemen beserta menteri-menterinya, serta membagi administratif
Indonesia menjadi 8 provinsi (Rohayuningsih, 2009). Delapan provinsi tersebut antara lain
Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan
Maluku. Namun pembagian provinsi ini menimbulkan permasalahan sebab jika dikaitkan
dengan implikasi yang harus diperhatikan pemerintah saat pembentukan daerah. Pembagian
wilayah ini terkesan terburu-buru dan kurang memperhatikan banyak aspek didalamnya.
Misalnya Provinsi Sumatra yang memiliki wilayah yang sangat luas dengan etnis yang

Page 44 of 59
Anwar Firdaus Mutawally
Perkembangan Pemekaran Daerah Tingkat Provinsi di Indonesia pada Masa Orde Lama, 1948-1964

beragam. Tentunya sangat menyulitkan pemerintah daerah untuk mengembangkan daerah-


daerahnya.
Oleh sebab itu, maka pemekaran daerah merupakan pertimbangan yang tepat untuk
mengatasi permasalahan tersebut. Pada tahun 1948, pemerintah RI mengeluarkan Undang-
Undang Nomor. 22 Tahun 1948 yang membahas mengenai peraturan pokok pemerintahan
daerah. Sehingga undang-undang tersebut menjadi regulasi awal pemerintahan daerah di
Indonesia dan pelopor proses pemekaran daerah pada masa Orde Lama. Dari rentang tahun
1945 hingga 1966 pada masa Orde Lama, jumlah provinsi di Republik Indonesia melalui
perubahan yang pesat mulai dari 8 provinsi pada 1945 hingga 24 provinsi pada akhir masa Orde
Lama. Hal ini tentunya menarik untuk dikaji terlebih bagaimana proses pemekaran provinsi
tersebut dapat terlaksana.
Penulis menemukan beberapa penelitian terdahulu mengenai pemekaran provinsi di
Indonesia. Penelitian pertama ialah Tesis berjudul “Pemekaran Unit Administratif Provinsi di
Kalimantan 1950-an” karya Haris Zaky Mubarak (2016). Tesis ini membahas mengenai proses
pemekaran daerah dan dinamika politik yang berkembang di Provinsi Kalimantan pada tahun
1950-an. Perbedaan antara penelitian yang dilakukan penulis dengan penelitiannya terletak
pada cakupan penelitian yang dilakukan. Penelitian yang dilakukan Mubarak hanya terfokus
pada Kalimantan Saja. Penelitian kedua ialah jurnal berjudul “Pemekaran Daerah di Indonesia”
karya Nunik Retno Hernawati (2011). Jurnal ini membahas mengenai pemekaran daerah di
Indonesia, isu-isu di dalamnya, serta kajian pemekaran daerah ditinjau dari segi politik.
Meskipun menyertakan tabel kronologis pemekaran provinsi di Indonesia, namun tabel tidak
ditunjang dengan penjelasan sejarah yang berkembang di dalamnya. Penelitian ketiga ialah
Jurnal berjudul “Pemikiran Politik Lokal: Sejarah Pembentukan Provinsi Sulawesi Tengah”
karya Haliadi dan Leo Agustino (2015). Jurnal ini membahas mengenai proses pembentukan
Provinsi Sulawesi Tengah.
Berdasarkan latar belakang sebelumnya penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang perkembangan pemekaran daerah tingkat provinsi di Indonesia pada masa Orde Lama
(1948-1964). Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini ialah untuk menjelaskan
perkembangan beserta faktor-faktor yang mendorong dan menghambat pemekaran provinsi di
Indonesia pada masa Orde Lama. Tahun 1948 dipilih sebagai tahun awal penelitian dengan
peristiwa pemekaran Provinsi Sumatra menjadi tiga provinsi (Sumatra Utara, Sumatra Tengah,
dan Sumatra Selatan). Sedangkan tahun 1964 dipilih sebagai tahun akhir penelitian dengan
hadirnya Provinsi Lampung, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Tengah yang merupakan
provinsi terakhir bentukan pemerintah masa Orde Lama. Terdapat suatu pertimbangan penulis
untuk melakukan penelitian ini, yakni penulis belum menemukan penelitian yang membahas
sejarah pemekaran daerah tingkat provinsi pada masa Orde Lama secara menyeluruh.
Keterbaruan penelitian ini yaitu menjelaskan tentang faktor-faktor yang menghambat dan
mendorong pemekaran provinsi pada masa Orde Lama.

Page 45 of 59
Anwar Firdaus Mutawally
Perkembangan Pemekaran Daerah Tingkat Provinsi di Indonesia pada Masa Orde Lama, 1948-1964

Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode sejarah atau metode historis.
Metode sejarah terdiri dari empat tahap yakni heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi
(Sjamsuddin, 2012). Tahap pertama yang dilakukan ialah heuristik, pada tahap ini penulis
mencari sumber-sumber yang relevan dengan tema dalam penelitian ini. Pencarian sumber
dilakukan melalui studi kepustakaan dan dokumentasi. Sedangkan sumber yang digunakan
dalam penelitian ini ialah sumber primer dan sekunder. Simanjuntak dan Sosrodiharjo (2014)
mengungkapkan bahwa studi kepustakaan merupakan penelitian yang membuat peneliti banyak
“berdialog” dengan sumber-sumber seperti buku, jurnal, dan sumber lainnya. Sumber primer
diperoleh dari arsip peraturan perundang-undangan Republik Indonesia melalui lembaga arsip
negara. Sedangkan sumber sekunder diperoleh melalui buku, jurnal, dan sumber-sumber
lainnya yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Kemudian tahap kedua ialah kritik,
pada tahap ini peneliti menyeleksi sumber untuk mendapatkan fakta yang dapat
dipertanggungjawabkan. Tahap ketiga ialah interpretasi, pada tahap ini penulis menganalisis
fakta yang diperoleh untuk mendapatkan hubungan peristiwa yang utuh. Kemudian tahap
terakhir adalah historiografi, pada tahap ini penulis melakukan penulisan sejarah atau
historiografi (Gottschalk, 1986).
Hasil Penelitian
Perkembangan Provinsi di Sumatra
Pemekaran provinsi di wilayah Sumatra telah dilakukan sejak tahun 1948. Pada saat
tersebut pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-undang Nomor. 10 Tahun 1948
yang berisi pemekaran Provinsi Sumatra menjadi tiga provinsi yakni Provinsi Sumatra Utara,
Sumatra Tengah, dan Sumatra Selatan. Beberapa saat setelah pemekaran provinsi tersebut, pada
tanggal 15 Juni 1948, Presiden Soekarno melakukan pertemuan dengan Kepala Residen Aceh
bernama Daud Bereueh. Saat pertemuan, Daud Bereueh meminta agar Soekarno menjadikan
Aceh sebagai wilayah otonom dengan syari’at Islam. Soekarno kemudian menyetujui keinginan
tersebut dan menjanjikan kepada rakyat Aceh mengenai berdirinya daerah istimewa sesuai
syari’at Islam (Ridwansyah, 2016). Namun pembentukan Daerah Istimewa Aceh tak dapat
terlaksana sebab Ibukota RI di Yogyakarta berhasil ditaklukan Belanda pada masa Agresi
Militer Belanda II. Setelah jatuhnya ibukota Republik Indonesia di Yogyakarta, tampuk
pemerintahan RI kemudian diserahkan kepada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia
(PDRI) di Bukit Tinggi.
Pada tahun 1949, beberapa tokoh Aceh datang ke Bukit Tinggi untuk bertemu dengan
Wakil Perdana Menteri Syafaruddin Prawiranegara. Mereka mendesak agar pemerintah segera
menepati janjinya untuk membentuk Provinsi Aceh. Permintaan tersebut kemudian dikabulkan
dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor: 8/Des./WKPM tahun 1949. Isi peraturan
tersebut ialah membagi kembali wilayah Sumatra Utara menjadi Provinsi Sumatra Utara dan
Aceh (Ibrahim et al., 1991; Ridwansyah, 2016). Menurut Huda (2014), alasan dikabulkannya
pemekaran Provinsi Aceh ialah untuk meningkatkan perjuangan rakyat Aceh dalam

Page 46 of 59
Anwar Firdaus Mutawally
Perkembangan Pemekaran Daerah Tingkat Provinsi di Indonesia pada Masa Orde Lama, 1948-1964

mempertahankan kemerdekaan RI, sebab Aceh merupakan salah satu basis perjuangan
kemerdekaan yang tersisa saat tersebut.
Pada tanggal 1 Januari 1950, Pemerintah Daerah di Aceh mengirim perwakilan Tengku
Muhammad Daud Beureueh untuk diangkat menjadi gubernur Aceh. Pada hari yang sama Daud
Bereueh resmi diangkat menjadi gubernur Aceh pertama. Alasan Daud Bereueh diangkat
sebagai gubernur Aceh karena pada saat tersebut ia telah menjadi gubernur militer Karesidenan
Aceh sejak tahun 1947, sehingga posisinya di Aceh tak patut dipertanyakan kembali (Ibrahim
et al., 1991).
Namun pengangkatan Daud Bereueh menimbulkan kontra dari pemerintah pusat. Sebab
pemerintah pusat menganggap pengangkatan gubernur Aceh bertentangan dengan Undang-
undang No. 22/1948 yakni pemimpin daerah harus diangkat oleh presiden. Sehingga
pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS) kemudian melakukan sidang untuk membahas
kembali pembagian administratif tingkat provinsi RI pada tanggal 19 Mei 1950. Setelah melalui
persidangan akhirnya pemerintah RIS mengeluarkan Ketetapan Sidang Dewan Menteri 8
Agustus 1950 dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1950 pada 14 Agustus 1950. Isi
peraturan pemerintah tersebut ialah menetapkan wilayah Indonesia menjadi 10 provinsi yang
terdiri dari Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatra Utara, Sumatra Selatan,
Sumatra Tengah, Kalimantan, Sulawesi, Sunda Kecil, dan Maluku (Ridwansyah, 2016).
Untuk mengatasi status Provinsi Aceh yang menggantung kejelasannya. Pemerintah juga
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 5 Tahun 1950 yang
berisi pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor: 8/Des./WKPM tahun 1949. Isi peraturan
tersebut ialah mencabut Peraturan Pemerintah Nomor: 8/Des./WKPM tahun 1949 dan
membentuk kembali Provinsi Sumatra Utara yang terdiri dari bekas wilayah Karesidenan Aceh,
Sumatra Timur, dan Tapanuli. Akibatnya Provinsi Aceh harus dibubarkan dan kembali
digabungkan kedalam Provinsi Sumatra Utara (Ibrahim et al., 1991).
Namun proses penggabungan Aceh kedalam Provinsi Sumatra Utara menimbulkan
permasalahan sebab rakyat Aceh secara tegas menolak proses penggabungan. Karena hal
tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Aceh kemudian mengajukan permintaan
kepada pemerintah pusat untuk mengembalikan otonomi daerah Aceh. Permasalahan ini
menjadi batu sandungan dalam proses penggabungan Aceh kedalam Sumatra Utara (Ibrahim et
al., 1991).
Untuk mengatasi masalah tersebut, beberapa pejabat RI melakukan kunjungan untuk
menyelesaikan sengketa di Aceh. Diantaranya seperti Mr. Asaat (menteri dalam negeri),
Sjafruddin Prawiranegara (menteri keuangan), dan Moh. Hatta (wakil presiden RI). Ketiganya
mengunjungi Aceh pada akhir tahun 1950. Namun upaya mereka bertiga tak kunjung
membuahkan hasil. Sehingga untuk mempercepat kembalinya Aceh ke Provinsi Sumatra Utara.
Pada tanggal 23 Januari 1951, Perdana Menteri Muhammad Natsir melakukan kunjungan ke
Aceh dan mengadakan musyawarah dengan petinggi Provinsi Aceh. Hasil musyawarah
menghasilkan perintah untuk pembubaran Provinsi Aceh. Tengku Muhammad Daud Bereueh
juga diperintahkan untuk menyerahkan jabatannya sebagai gubernur pada hari yang sama.

Page 47 of 59
Anwar Firdaus Mutawally
Perkembangan Pemekaran Daerah Tingkat Provinsi di Indonesia pada Masa Orde Lama, 1948-1964

Peristiwa tersebut menimbulkan kekecewaan bagi rakyat Aceh, terlebih mereka menganggap
pemerintah RI lupa akan janjinya yang akan menciptakan daerah otonomi khusus dengan
syariat Islam. Karena kekecewaan tersebut, Daud Bereueh dan Rakyat Aceh memutuskan
melepas diri dari RI dan bergabung dengan Darul Islam/ Tentara Islam Indonesia pada tahun
1953 (DI/TII) (Satriya et al., 2019).
Pada tanggal 21 September 1953, Daud Beureueh dan rakyat Aceh menandatangani
Piagam Bate Krueng. Dengan piagam ini, rakyat Aceh secara resmi menyatakan diri bergabung
dengan DI/TII. Peristiwa ini menimbulkan permasalahan besar, sebab pemberontakan
menimbulkan kerusakan yang besar. Karena peristiwa tersebut, DPR kemudian mendesak
pemerintah untuk menjadikan Aceh sebagai daerah otonom. Setelah melewati serangkaian
proses sidang yang panjang, akhirnya pemerintah mengesahkan Undang-undang Nomor.
24/1956 yang berisi pemisahan provinsi Aceh dari Sumatra Utara. Meskipun demikian,
pemberontakan DI/TII belum kunjung selesai dan membutuhkan beberapa tahun agar Aceh
kembali ke pangkuan RI (Ibrahim et al., 1991).
Pada tempat yang berbeda, Provinsi Sumatra Tengah juga tidak luput dari masalah.
Selama eksistensinya, Provinsi Sumatra Tengah berada tertinggal dibandingkan provinsi-
provinsi di Jawa. Serta dari segi domestik, pembangunan infrastruktur dan pembagian
administratif kabupaten hanya terfokus di wilayah Sumatra Barat saja. Untuk melakukan
pemerataan ekonomi dan pelayanan yang lebih baik, sekelompok militer revolusi pemerintahan
bernama Dewan Banteng mengambil alih pemerintahan Provinsi Sumatra Tengah dari tangan
gubernur Ruslan Mulyoharjo dan mengangkat secara sepihak Ahmad Husein yang menjabat
sebagai ketua Dewan Banteng sebagai pemimpin baru Sumatra Tengah (Wati et al., 2020).
Perebutan kekuasaan ini menimbulkan kecemasan masyarakat Sumatra Tengah terhadap
kondisi daerah yang tidak aman. Pada tahun 1957, perwakilan dari penduduk Jambi dan Riau
mengajukan permohonan kepada pemerintah pusat untuk mendirikan provinsinya masing-
masing. Permintaan ini lalu dikabulkan dengan dikeluarkannya Undang-Undang Darurat
Republik Indonesia Nomor. 19 Tahun 1957. Undang-undang ini berisi pemekaran Provinsi
Sumatra tengah menjadi tiga provinsi yakni Provinsi Sumatra Barat, Riau, dan Jambi (Wati et
al., 2020). Meskipun demikian untuk Provinsi Jambi, Ahmad Husein sempat ingin menunda
mekarnya Jambi menjadi Daerah Tingkat I (Provinsi). Namun upaya tersebut gagal dengan
terjadinya Kongres Pemuda Jambi yang menghasilkan ikrar “Timbul sama terapung dan
tenggelam sama terbenam” yang memperkuat keinginan rakyat Jambi untuk lepas dari Sumatra
Tengah. Akibatnya Ahmad Husein memberikan izin agar wilayah Jambi lepas dari kekuasaan
Dewan Banteng (Purnomo & Indrayani, 2020)
Hingga tahun 1957, perjuangan untuk mengembalikan Aceh tak kunjung efektif. Karena
hal tersebut, pemerintah mencoba jalan alternatif untuk menyelesaikan permasalahan DI/TII
dengan jalur diplomasi dan pengangkatan orang asli Aceh sebagai pemimpin daerah. Jalur ini
ditempuh dengan pengangkatan Ali Hasymi sebagai gubernur Aceh pada 27 Januari 1957
(Ibrahim et al., 1991). Selain itu, pemerintah juga mengangkat Syamaun Gaharu dan T. Hamzah
yang asli Aceh sebagai pimpinan militer. Oleh sebab itu, maka timbul gagasan bagi rakyat Aceh

Page 48 of 59
Anwar Firdaus Mutawally
Perkembangan Pemekaran Daerah Tingkat Provinsi di Indonesia pada Masa Orde Lama, 1948-1964

untuk kembali bekerjasama dengan Pemerintah RI dengan diumumkannya Ikrar Lam The
(Muhajir, 2016). Ikrar ini menjadi titik terang upaya pemerintah untuk mengembalikan wilayah
Aceh ke pangkuan RI.
Pada bulan Mei 1959, pemerintah pusat mengirim Mr. Hardi sebagai perwakilan RI untuk
bernegosiasi dengan DI/TII. Misi perdamaian ini dikenal dengan nama “Missi Hardi”.
Setibanya disana, Mr. Hardi melakukan pembicaraan dengan anggota DI/TII Aceh. Hasil
pembicaraan kemudian menghasilkan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor.
1/Missi/1959, yang menyatakan Daerah Tingkat I Aceh menjadi daerah Otonom serta memiliki
kebebasan untuk mengatur bidang keagamaan, adat, dan pendidikan sendiri (Muhajir, 2016).
Missi Hardi terbukti berhasil meredam pemberontakan DI/TII. Satu persatu anggota
DI/TII mulai melepas senjatanya dan bergabung kembali dengan RI. Walaupun mereka
melakukan pemberontakan selama bertahun-tahun, para pejuang DI/TII diberikan amnesti dan
abolisi dengan dengan Keputusan Presiden Nomor. 1 Tahun 1959 serta Keputusan Presiden
Nomor. 449 Tahun 1961. Meskipun demikian, tak seluruh pasukan DI/TII mengetahui kabar
tersebut. Daud Bereueh tetap melakukan perlawanan dari hutan hingga 9 Mei 1962. Setelah
Daud Bereueh menyerah, ia kemudian ditawari rumah dan satu mobil pemberian pemerintah
RI di Banda Aceh. Daud Bereueh menolak semua pemberian tersebut dan memilih pulang ke
kampungnya di Sigli untuk menjadi petani. Menyerahnya Daud Bereuh secara de facto menjadi
awal Aceh kembali bergabung dengan RI (Ibrahim et al., 1991; Muhajir, 2016)
Pemekaran daerah di Sumatra Selatan hadir belakangan dibandingkan provinsi Sumatra
Utara dan Sumatra Tengah. Pada tahun 1957, Dewan Garuda yang terinspirasi dari Dewan
Banteng melakukan perebutan kekuasaan pemerintahan Provinsi Sumatra Selatan dari
Gubernur Winarno. Pemerintahan kemudian dipegang oleh Letkol Barlian. Pada tahun 1958,
Dewan Garuda bergabung dengan Dewan Banteng dan Gajah untuk membentuk pemerintahan
tandingan bernama Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia. Ide bergabungnya Dewan
Garuda kedalam PRRI ditentang oleh Letkol Barlian yang lebih mengedepankan cara damai
dengan pemerintah pusat, akibatnya Letkol Barlian mundur dari kepemimpinan.
Kepemimpinan Dewan Garuda kemudian diambil alih oleh Mayor Nawawi. Pada tahun
tersebut, terjadi pertempuran antara PRRI dan RI. Namun usaha revolusi gagal dan PRRI
akhirnya dapat dikalahkan (Apriansyah & Wargadalem, 2020).
Pemberontakan PRRI membuka jalan bagi pemerintah pusat untuk memperbaiki berbagai
daerah termasuk Sumatra Selatan. Pada tanggal 4 Juli 1959, pemerintah pusat mengeluarkan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor. 25 Tahun 1959. Undang-undang ini menjadikan
Sumatra Selatan sebagai wilayah Dati I. Setelah mempertimbangkan potensi ekonomi dan luas
wilayah bekas Karesidenan Lampung. Pemerintah kemudian mengesahkan Undang-undang
Nomor. 14 Tahun 1964. Isi undang-undang ini ialah memekarkan wilayah Lampung dari
provinsi Sumatra Selatan. Setelah provinsi Lampung dimekarkan, pemerintah kemudian
mengangkat Kusno Danopoyo sebagai gubernur lampung pertama (Bukri, 1998).

Page 49 of 59
Anwar Firdaus Mutawally
Perkembangan Pemekaran Daerah Tingkat Provinsi di Indonesia pada Masa Orde Lama, 1948-1964

Perkembangan Provinsi di Wilayah Jawa


Sebelum pemekaran provinsi Yogyakarta tahun 1950. Pada tanggal 4 Januari 1946,
Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta, dan beberapa pejabat RI lainnya
melakukan pengungsian ke Yogyakarta dan memindahkan ibukota RI dari Jakarta ke
Yogyakarta (Triyana, 2013). Setelah ibukota dipindahkan, wilayah Yogyakarta mengalami
perkembangan secara admistratif. Pada tahun 1947, pemerintah pusat mengeluarkan Undang-
undang Nomor. 17 Tahun 1947 yang menjadikan kesultanan Yogyakarta dan Pakualaman
kotapraja otonom.
Pada tahun 1950, pemerintahan RI mengesahkan Undang-undang Nomor. 3 Tahun 1950.
Undang-undang ini berisi pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan wilayah meliputi
Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman yang beribukota di Kota Yogyakarta.
Menurut Baharudin dkk (2016), ada beberapa alasan yang menyebabkan pemerintah
menjadikan Yogyakarta menjadi wilayah otonom istimewa yakni sebagai berikut:
1. Setelah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Sultan Hamengku Buwono IX dan
Adipati Paku Alam VIII secara gamblang memutuskan untuk bergabung dengan RI.
2. Kasultanan Yogyakarta, Kadipaten Pakualaman, beserta rakyatnya memiliki jasa yang
besar saat Revolusi kemerdekaan berlangsung yakni dengan berjuang mempertahankan
kemerdekaan RI.
3. Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman dapat menjadi simbol pengayom
masyarakat Yogyakarta.
Sejak 17 Agustus 1950, ibukota Indonesia kembali dipindahkan ke Jakarta. Meskipun
demikian, status Jakarta pada masa tersebut masih berada dalam wilayah Provinsi Jawa Barat.
Pada tahun 1959, status Kota Jakarta diubah menjadi daerah tingkat satu (Dati I) yang dipimpin
oleh gubernur. Pemerintah kemudian mengangkat Soemarno Sosroatmodjo sebagai gubernur
pertama Provinsi Jakarta. Sejak tahun 1961, status Jakarta kembali diubah dan dijadikan daerah
istimewa bernama Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta (Suryana, 2012). Baharudin (2016)
mengungkapkan beberapa alasan yang menyebabkan DKI Jakarta dapat menjadi wilayah
otonomi khusus yakni sebagai berikut:
1. Provinsi DKI Jakarta memiliki satuan pemerintahan yang khusus, sebab DKI Jakarta
berkedudukan sebagai ibukota negara.
2. Provinsi DKI Jakarta memiliki karakteristik yang kompleks sehingga perlu pemecahan
masalah yang khusus dibandingkan provinsi lainnya.
Perkembangan Provinsi di wilayah Kalimantan
Menurut Mubarak (2016), pemekaran daerah di wilayah Kalimantan terjadi karena tiga
faktor yakni kegagalan sistem pemerintahan Provinsi Kalimantan, terjadinya sentimen etnis
antara putra daerah dengan Gubernur Kalimantan yang berasal dari Jawa, serta kemunculan
huru-hara politik yang dipengaruhi oleh para pejabat daerah. Contoh sentimen antar etnis
misalnya di wilayah Kalimantan Tengah. Setelah pemilu 1955, Christian Simbar membentuk

Page 50 of 59
Anwar Firdaus Mutawally
Perkembangan Pemekaran Daerah Tingkat Provinsi di Indonesia pada Masa Orde Lama, 1948-1964

organisasi gerilya senjata Dayak di pedalaman Kalimantan Tengah. Pembentukan organisasi


gerilya dipengaruhi sentimen antara pendatang dan penduduk asli Dayak. Sehingga ia meminta
agar pemerintah pusat mendirikan Provinsi Dayak Kalimantan Tengah. Gagasan tersebut
kemudian didukung oleh para pembesar lokal lainnya. Sehingga dengan kehadiran kondisi
tersebut, pemerintah merasa perlu memekarkan Provinsi Kalimantan (Raben & Bemmelen,
2011).
Pemekaran provinsi di wilayah Kalimantan dimulai pada tanggal 29 November 1956.
Pada saat tersebut pemerintah mengeluarkan Undang-undang No. 25 Tahun 1956 yang
memecah Provinsi Kalimantan menjadi tiga provinsi yakni Provinsi Kalimantan Barat,
Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Provinsi Kalimantan Barat memiliki wilayah yang
terdiri dari Kabupaten Pontianak, Ketapang, Sambas, Sintang, Sanggau, Kapuas-Hulu, dan
Kota Pontianak. Provinsi Kalimantan Selatan terdiri dari Kabupaten Banjar, Hulu Sungai
Selatan, Hulu Sungai Utara, Barito, Kotawaringin, Kapuas, Kotabaru, dan Kota Banjarmasin.
Sedangkan Provinsi Kalimantan Timur terdiri dari Kabupaten Kutai, Berau, dan Bulongan.
Namun pembagian provinsi ini tak berlangsung lama, sebab pada tangal 2 sampai 5
Desember 1956, penduduk Kalimantan Tengah mengadakan Kongres Rakyat Kalimantan
Tengah di Banjarmasin. Kongres ini menghasilkan perjanjian bernama “Ikrar Bersama”. Ikrar
Bersama merupakan perjanjian yang berisi keinginan rakyat Kalimantan Tengah untuk
mendirikan provinsinya sendiri. Perjanjian ini menjadi mempercepat pemekaran Provinsi
Kalimantan Tengah. Keinginan rakyat Kalimantan Tengah lalu terwujud dengan
dikeluarkannya Undang-undang Darurat No. 10 Tahun 1957 dan Lembaran Negara No. 53
Tahun 1957. Kedua Undang-undang ini berisi perubahan Undang-undang Nomor. 25 tahun
1956. Perubahan yang terlihat ialah pemekaran Kalimantan Tengah dari Provinsi Kalimantan
Selatan (Patianom, 1992).
Sayangnya tak seperti ketiga provinsi sebelumnya yang telah memiliki kota-kota khusus
yang dapat dijadikan ibukota, saat pemekaran Kalimantan Tengah tidak memiliki ibukota
Provinsi. Sehingga untuk sementara waktu, pemerintahan daerah dilaksanakan di Kalimantan
Selatan hingga pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor. 27 Tahun 1959 yang
menjadikan Kota Palangka Raya sebagai ibukota Provinsi Kalimantan Tengah (Patianom,
1992).
Perkembangan Provinsi di Wilayah Nusa Tenggara
Setelah Negara Indonesia Timur (NIT) pada tanggal 17 Agustus 1950. Satu persatu
wilayah bekas NIT bergabung kembali ke RI. Sesuai dengan Undang-undang Nomor 21 Tahun
1950, wilayah Bali dan Nusa Tenggara tergabung kedalam Provinsi Sunda Kecil. Pemerintah
kemudian mengangkat R.M.A.A. Koesoemo Oetoyo sebagai gubernur Sunda Kecil pada
tanggal 16 Oktober 1950. Langkah yang dilakukan pemerintah daerah Sunda Kecil ialah
mengubah satu persatu bentuk pemerintahan daerah telah berkembang pada masa NIT.
Lembaga pemerintahan seperti Paruman Agung, Paruman Negara, atau Dewan Raja-raja
dibubarkan dan digantikan dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) serta Dewan
Pemerintah Daerah (DPD) (Swandewi & Alit, 2019).

Page 51 of 59
Anwar Firdaus Mutawally
Perkembangan Pemekaran Daerah Tingkat Provinsi di Indonesia pada Masa Orde Lama, 1948-1964

Pada tahun 1953, posisi gubernur Sunda Kecil yang sebelumnya dipimpin oleh R.M.A.A
Koesoemo Oetoyo digantikan oleh Sarimin Reksodihardjo. Pada masa pemerintahan Sarimin,
Provinsi Sunda Kecil mengalami banyak perubahan. Contohnya pada tanggal 28 Mei 1954,
pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Darurat No. 9 Tahun 1954 yang mengubah nama
Sunda Kecil menjadi Nusa Tenggara. Alasan perubahan nama ini dikarenakan nama “Sunda
Kecil” yang terlalu merendahkan, sehingga nama tersebut perlu diganti.
Pada tahun 1956, masyarakat Provinsi Nusa Tenggara menyampaikan keinginannya
untuk melakukan pemekaran daerah pada pemerintah pusat. Keinginan tersebut kemudian
dikabulkan dengan dibentuknya Panitia Pembagian Daerah sesuai Keputusan Presiden Nomor.
202 Tahun 1956 (Suwondo, 1980). Satu tahun kemudian, Pemerintah pusat mengeluarkan
Undang-undang No. 1 Tahun 1957 yang isinya membahas mengenai pencabutan Undang-
Undang RI No. 22 Tahun 1948, pencabutan Undang-undang Negara Indonesia Timur No. 44
tahun 1950, dan regulasi baru pemerintahan daerah. Dengan adanya undang-undang Ini,
Gubernur Sarimin Reksodihardjo mengusulkan kepada pemerintah pusat untuk membagi
Provinsi Nusa Tenggara menjadi Provinsi Nusa Tenggara Barat dengan ibukota di Singaraja
serta Nusa Tenggara Timur dengan ibukota di Kupang. Sayangnya ide tersebut ditolak dan
ditinjau ulang satu tahun kemudian. Akhirnya pada tahun 1958, Provinsi Nusa Tenggara
dipecah menjadi tiga yakni Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur
dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor. 64 Tahun 1958 (Swandewi & Alit, 2019).
Perkembangan Provinsi di Wilayah Sulawesi
Setelah bubarnya NIT, seluruh wilayah Sulawesi dan pulau sekitarnya tergabung dalam
Provinsi Sulawesi. Penggabungan seluruh Sulawesi kedalam satu provinsi menimbulkan
permasalahan. Sebab pulau Sulawesi terdiri dari berbagai suku seperti Bugis, Minahasa,
Mandar, dan lain sebagainya. Jika ditinjau dari segi geografis, Provinsi Sulawesi seperti
layaknya Provinsi lainnya pada masa awal kemerdekaan memiliki wilayah yang sangat luas
sehingga menyulitkan program pembangunan. Selain itu pada tahun 1953, Kabinet Ali I (1953-
1954) juga menerapkan kebijakan dropping pegawai dari pusat. Hal ini tentunya memberikan
dampak yang negatif bagi perkembangan ekonomi di daerah, tak terkecuali di wilayah Sulawesi
dimana pegawai-pegawai dari Jawa di utus untuk memerintah disana. Sehingga sistem ini
menimbulkan kecemburuan dari putra daerah, kecenderungan dominasi pemerintah pusat yang
sentralistik, dan korupsi di daerah yang merajalela (Maulida, 2018; Rasyid, 2017).
Akibatnya pada tahun 1957, terbentuklah gerakan bernama Permesta (Perjuangan Rakyat
Semesta). Pembentukan gerakan Permesta disebabkan oleh beberapa hal seperti dominasi suku
Jawa dalam pemerintahan RI, penyelenggaraan otonomi daerah yang tidak merata, dan sistem
dropping pegawai. Gerakan Permesta menuntut peningkatan otonomi daerah di wilayah
Sulawesi. Meskipun demikian, pemerintah RI nampaknya tidak menanggapi serius permintaan
tersebut. Karena kekecewaan tersebut, gerakan Permesta berubah menjadi pemberontakan yang
berlangsung selama beberapa tahun (Maulida, 2018; Rasyid, 2017).
Meskipun demikian, tak seluruh penduduk Sulawesi mendukung gerakan Permesta yang
keras terhadap pemerintah RI. Contohnya seperti Kabupaten Poso yang membentuk Gerakan

Page 52 of 59
Anwar Firdaus Mutawally
Perkembangan Pemekaran Daerah Tingkat Provinsi di Indonesia pada Masa Orde Lama, 1948-1964

Pemuda Sulawesi Tengah (GPST) pada 5 Desember 1957. Gerakan ini mendukung RI dalam
penumpasan Permesta di Sulawesi Tengah. Meskipun mendukung RI, terdapat kesamaan pula
antara GPST dengan Permesta. GPST juga menginginkan otonomi daerah di Sulawesi dengan
pemekaran Provinsi Sulawesi Tengah (Haliadi & Agustino, 2015).
Setelah pemberontakan Permesta mereda, pemerintah RI mulai memperhatikan otonomi
Provinsi Sulawesi. Langkah yang dilakukan ialah mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor. 5
Tahun 1960. Perpres ini berisi pemekaran Provinsi Sulawesi menjadi dua provinsi yakni
Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan. Dalam Perpres ini juga disebutkan ibukota masing-
masing provinsi. Provinsi Sulawesi Utara beribukota di Manado. Sedangkan Provinsi Sulawesi
Selatan beribukota di Makassar. Perpres tersebut kemudian mendapatkan revisi ulang pada
tanggal 13 Desember 1960 dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor. 47 Tahun 1960. Peraturan tersebut berisi pengubahan Provinsi Sulawesi Utara
menjadi Provinsi Sulawesi Utara-Tengah dan Provinsi Sulawesi Selatan menjadi Provinsi
Sulawesi Selatan-Tenggara (Suwondo, 1982).
Pembentukan Sulawesi menjadi dua provinsi bukanlah hal yang tepat. Dalam suatu kasus,
terdapat isu politik yang mengingatkan rakyat Sulawesi Tenggara akan dominasi orang bugis
di masa lalu. Isu politik ini dimanfaatkan oleh beberapa politikus untuk menghindari dominasi
pemerintah Makassar. Kasus ini kemudian menimbulkan tuntutan dari penduduk Sulawesi
Tenggara yang menjadi penyebab terbaginya kembali wilayah Sulawesi (Raben & Bemmelen,
2011).
Tahun 1964 menjadi tahun penting bagi wilayah Sulawesi, sebab pada tahun tersebut
pemerintah mengeluarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor. 13 Tahun 1964. Isinya
ialah pemekaran Sulawesi menjadi empat provinsi yakni Provinsi Sulawesi Utara, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara. Baik provinsi Sulawesi Utara dan Sulawesi
Selatan tetap beribukota di tempat yang sama (Manado dan Makassar). Sedangkan provinsi
baru yakni Sulawesi Tengah beribukota di Palu dan Sulawesi Tenggara beribukota di Kendari.
Selain keempat provinsi yang dijelaskan sebelumnya. Sebenarnya ide pembentukan
Provinsi Sulawesi Barat telah ada sejak tahun 1960. Ketika itu, masyarakat Mandar di Sulawesi
Selatan pernah mengajukan usulan untuk membentuk Provinsi Sulawesi Barat. Alasan utama
yang menyebabkan masyarakat Mandar ingin terbebas dari Sulawesi Selatan adalah karena
faktor geografis, ekonomi, dan sosial-budaya. Secara geografis, wilayah mayoritas Mandar
berada jauh dari ibukota Sulawesi Selatan di Makassar. Secara ekonomi, pembangunan di
wilayah Mandar lebih tertinggal dibandingkan wilayah Sulawesi Selatan lainnya. Sedangkan
dari segi sosial-budaya, masyarakat Mandar bersifat egaliter dibandingkan Bugis yang bersifat
hierarkis (Basri, 2020). Sehingga alasan-alasan tersebut menjadi penting agar masyarakat
Mandar memiliki provinsi sendiri.
Usulan provinsi Sulawesi Barat awalnya dinamai “Provinsi Mandar” namun nama
tersebut kembali diubah menjadi “Sulawesi Barat” di rumah H. A. Depu (tokoh penting
pemekaran Sulawesi barat) pada tahun 1961. Sayangnya pada tahun 1963, usulan tersebut
ditolak pemerintah pusat yang memilih berdirinya Provinsi Sulawesi Tenggara. Usaha rakyat

Page 53 of 59
Anwar Firdaus Mutawally
Perkembangan Pemekaran Daerah Tingkat Provinsi di Indonesia pada Masa Orde Lama, 1948-1964

Sulawesi Barat untuk memperjuangkan provinsinya baru terwujud sekitar tahun 2004 (Basri,
2020).
Faktor yang Menghambat Proses Pemekaran Provinsi
Faktor pertama yang menghambat proses pemekaran provinsi ialah kondisi politik
Indonesia pada saat tersebut. Setelah berakhirnya revolusi nasional, suku-suku di Indonesia
belum pernah bersatu secara politik maupun kultur yang seragam. Sesuatu yang
mempersatukan hanya kesamaan nasib di bawah pemerintah kolonial. Sehingga untuk
mempersatukan suku yang beragam diperlukan dua dimensi yakni membangun masyarakat
teritorial yang homogen dan masyarakat politik yang berpartisipasi. Menurut Wiener, agar
integrasi nasional dapat terjadi, kesetiaan nasional hanya dapat diperoleh dengan mengurangi
atau menghilangkan kesetiaan primordial. Salah satu masalah negara multietnis seperti
indonesia ialah masalah primoridalisme dimana rasa bangga berlebihan akan kesukuan dapat
menimbulkan konflik. Sehingga pemerintah perlu alat yang tepat agar negara bisa menampung
kesetiaan primordial pada saat bersamaan menyalurkannya dalam ikatan yang terpadu (Rasyid,
2017).
Oleh sebab itu, upaya yang dilakukan pemerintah pada saat itu ialah membentuk 10
provinsi pasca bubarnya RIS pada tahun 1950. Pembentukan provinsi tidak didasari atas
identitas kesukuan, melainkan batas-batas geografis tertentu. Dalam artian pemerintah berusaha
menstabilkan suku-suku di Indonesia agar memiliki tujuan yang sama dengan negara. Sehingga
dengan alasan tersebut, pemerintah tidak bisa menerima tuntutan dari suku tertentu untuk
kepentingan daerahnya sendiri. Melainkan harus didasari atas kepentingan bersama (Rasyid,
2017). Maka tidak mengherankan jika pada awal hingga pertengahan 1950-an, Indonesia tidak
memekarkan satupun provinsi selain 10 provinsi yang dijelaskan pada bab sebelumnya.
Faktor kedua ialah aplikasi perundang-undangan otonomi daerah dan kemampuan
pemerintah untuk mengaplikasikannya. Pada masa Orde Lama, mulai Kemerdekaan hingga
Demokrasi Terpimpin. Indonesia mengeluarkan empat undang-undang yang membahas
otonomi daerah. Diantaranya ialah Undang-undang No. 1 Tahun 1945, Undang-undang No. 22
Tahun 1948, Undang-undang No. 1 Tahun 1957, dan Undang-undang No. 18 Tahun 1965
(Sufianto, 2020). Undang-undang yang memberikan dampak paling besar dalam pemekaran
daerah masa Orde Lama ialah Undang-Undang No. 22 Tahun 1948 dan Undang-undang No. 1
Tahun 1957. Secara isi, Undang-undang kedua (Undang-undang No. 22 Tahun 1948)
memperjelas isi undang-undang pertama yang hanya memuat 6 pasal saja. Berlakunya undang-
undang ketiga memperjelas undang-undang kedua yakni dilengkapi dengan tinjauan
pembentukan daerah seperti luas otonomi, sistem pengawasan, penyerahan urusan, hubungan
keuangan, dan aparatur pemerintah daerah.
Namun pada kenyataannya aplikasi dari undang-undang tidak dapat dilakukan dengan
baik. Menurut Sufianto (2020), Undang-undang No. 22 Tahun 1948 tidak menegaskan sama
sekali pemberian otonomi daerah yang jelas. Karena hal demikian pemerintah tidak mampu
untuk menentukan bagaimana cara untuk menyikapi tuntutan yang muncul dari putra daerah.
Disamping itu (Rasyid, 2017) juga mengemukakan bahwa pada masa tersebut, Indonesia juga

Page 54 of 59
Anwar Firdaus Mutawally
Perkembangan Pemekaran Daerah Tingkat Provinsi di Indonesia pada Masa Orde Lama, 1948-1964

masih kekurangan tenaga ahli, sumber keuangan, dan sebagainya di daerah. Sehingga dapat
diketahui bahwa prasarana juga kurang mendukung untuk mengembangkan otonomi daerah
seperti pemekaran provinsi.
Karena kurangnya tenaga ahli di daerah, pada masa pemerintahan Kabinet Ali
Sastroamidjojo I, pemerintah pusat bahkan mengeluarkan kebijakan dropping pegawai di
berbagai daerah. Kebijakan dropping pegawai dilakukan dengan cara mengirim pegawai dari
pusat di Jawa ke daerah-daerah lainnya. Meskipun bertujuan awal untuk meratakan sarana
prasarana pemerintahan. Namun kebijakan tersebut malah menimbulkan kecemburuan sosial
khususnya dari penduduk asli, kedatangan para pendatang dari Jawa seringkali menimbulkan
gesekan dan protes dengan penduduk sekitar. Contohnya seperti di Kalimantan, Sulawesi, dan
Nusa Tenggara. Kehadiran Suku Jawa dalam pemerintahan daerah selalu dikaitkan dengan
istilah “kolonisasi Jawa” (Maulida, 2018; Raben & Bemmelen, 2011).
Faktor yang Mendorong Proses Pemekaran Provinsi
Faktor pertama yang mendorong pemekaran provinsi ialah munculnya semangat putra
daerah dalam dunia politik. Setelah berlangsungnya Pemilihan Umum pada tahun 1955, putra
daerah mulai menujukkan pengaruhnya di pemerintahan daerah. Banyak putra daerah yang
mendirikan partai lokal atau bergabung dengan partai besar. Upaya yang dilakukan putra daerah
dalam memperoleh otonomi daerah atau pemekaran daerah seperti melalui jalur damai atau
kekerasan. Secara damai dilakukan dengan cara melobi parlemen atau jika memungkinkan
langsung menghadap Presiden. Sedangkan cara lainnya dilakukan dengan melakukan
pertemuan antar putra daerah untuk merencanakan usulan pemekaran provinsi (Raben &
Bemmelen, 2011).
Pada tahun 1956, terjadi peristiwa yang dikenal sebagai pecahnya dwi-tunggal RI.
Mohammad Hatta meninggalkan jabatan wakil presiden akibat hubungan yang merenggang
dengan Soekarno. Pada masa Orde Lama, berkembang suatu mitos yang dipercayai penduduk
luar Jawa bahwa Soekarno adalah perwakilan Jawa, sedangkan Mohammad Hatta adalah
perwakilan luar Jawa. Keduanya merupakan tokoh dwi-tunggal yang mempersatukan
Indonesia. Namun setelah terjadinya peristiwa perpecahan tersebut, penduduk luar Jawa
percaya bahwa mereka benar-benar berada dalam dominasi pemerintahan Jawa. Sehingga dari
hal tersebut memunculkan isu-isu politik dari perspektif kesukuan dan kedaerahan, bahwa
mereka harus memperoleh pemerintahan daerah sendiri (Rasyid, 2017).
Faktor selanjutnya ialah kehadiran dewan-dewan militer dalam pemerintahan daerah.
Pada masa Orde Lama terbentuk pola unik dimana pemerintahan daerah diambil alih oleh
militer yang prihatin dengan kondisi daerahnya sendiri. Contohnya Dewan Banteng yang
berasal dari mantan perwira dan perwira aktif Divisi Banteng. Pada tanggal 11 Oktober 1956,
Dewan Banteng yang dipimpin Letkol Ahmad Husein melakukan reuni untuk memperingati
perjuangan Divisi Banteng semasa memperjuangkan kemerdekaan. Namun disisi lain, reuni ini
juga menghasilkan empat gagasan penting yang menjadi katalis percepatan pemekaran daerah
tingkat provinsi. Menurut Leiressa dalam Maulida (2018) Empat poin tersebut antara lain
sebagai berikut:

Page 55 of 59
Anwar Firdaus Mutawally
Perkembangan Pemekaran Daerah Tingkat Provinsi di Indonesia pada Masa Orde Lama, 1948-1964

1. Perbaikan yang progresif dan radikal menyangkut pimpinan negara


2. Pemberian otonomi seluas-luasnya bagi pemerintah daerah
3. Penyelesaian kericuhan dalam pimpinan angkatan darat
4. Penghapusan sentralisme dalam birokrasi yang menyebabkan stagnasi dan korupsi dalam
pembangunan.
Berdasarkan empat gagasan tersebut diketahui bahwa Dewan Banteng tidak
menginginkan untuk melakukan makar terhadap RI. Akan tetapi mereka menginginkan
pemerintah yang lebih terbuka khususnya menghentikan praktik politik sentralistik. Selain itu
dari gagasan tersebut juga mengindikasikan bahwa Dewan Banteng menginginkan agar putra
daerah memerintah daerahnya masing-masing dengan otonomi yang luas. Meskipun gagasan
tersebut tidak dihiraukan oleh pemerintah pusat, namun gagasan tersebut menyebar dan
menghasilkan dewan-dewan lainnya. Contohnya seperti terbentuknya Dewan Gajah (Medan),
Dewan Manguni (Sulawesi), Dewan Garuda (Sumatra Selatan).
Akibatnya Dewan Banteng menanggapi hal tersebut dengan merebut pemerintahan
Sumatra Tengah dari gubernur resmi RI, serta menghentikan membayar upeti ke pemerintah
pusat. Langkah ini juga dilakukan dewan-dewan lainnya, misal Dewan Manguni yang berubah
menjadi gerakan Permesta (Perjuangan Rakyat Semesta), Dewan Garuda merebut
pemerintahan Sumatra Selatan, dan Dewan Gajah yang mengambil alih beberapa aset negara
penting di Medan. Keadaan negara saat tersebut dalam keadaan yang tidak stabil. Pembentukan
dewan-dewan ini ditanggapi serius oleh pemerintah yang menyatakan Indonesia berada dalam
darurat perang. Ketidakmampuan pemerintah untuk menangani permasalahan otonomi daerah
berimbas pada munculnya beberapa pemberontakan putra daerah seperti PRRI (Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia) dan Permesta yang berusaha merevolusi otonomi daerah RI
secara radikal.
Kesimpulan
Dari tahun 1948 hingga tahun 1964, jumlah provinsi di Indonesia mengalami peningkatan
yang pesat. Berdasarkan pembahasan di atas diketahui bahwa provinsi di Indonesia awalnya
sejumlah 8 provinsi pada tahun 1945. Jumlah provinsi mengalami peningkatan menjadi 24
provinsi pada tahun 1964. Provinsi-provinsi yang merupakan pemekaran antara lain Provinsi
Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, Jambi, Lampung, DKI Jakarta, Yogyakarta,
Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, Bali, NTT,
NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Utara. Dari 24
provinsi tersebut terdapat 3 provinsi yang mendapatkan perlakukan khusus dari pemerintah RI
yakni DKI Jakarta, Yogyakarta, dan Aceh. Perkembangan jumlah provinsi mengalami
peningkatan yang pesat setelah tahun 1955.
Pemekaran provinsi di Indonesia sebelum tahun 1955 berlangsung kurang baik. Faktor
yang menghambat tersebut dikarenakan pada saat tersebut Republik Indonesia dalam proses
konsolidasi untuk menyatukan rasa kebangsaan, yakni menghapus atau mengurangi
primordialisme di antara kesukuan di Indonesia. Selain itu, kondisi perundang-undangan serta

Page 56 of 59
Anwar Firdaus Mutawally
Perkembangan Pemekaran Daerah Tingkat Provinsi di Indonesia pada Masa Orde Lama, 1948-1964

prasarana daerah saat tersebut juga kurang memadai, sehingga pelaksanaan pemekaran daerah
sulit dilaksanakan. Sehingga tidak mengherankan jika banyak pegawai dari pusat dikirimkan
ke daerah, hal ini bertujuan untuk mengembangkan daerah-daerah di luar pulau Jawa dan
menciptakan rasa kesatuan.
Pemekaran Provinsi di Indonesia sebagian besar dilakukan setelah pemilihan umum tahun
1955, hal ini dikarenakan pemilu memunculkan gerakan-gerakan dari putra daerah untuk
membentuk daerahnya sendiri. Banyak diantaranya yang bergabung dengan partai besar atau
mendirikan partai lokal. Para putra daerah mulai menganggap bahwa kehadiran pegawai
pemerintah dari pusat adalah bentuk kolonialisme Jawa terhadap daerahnya. Selain itu
pecahnya dwi-tunggal (Soekarno-Hatta), ketimpangan pembangunan daerah, dan kecemburuan
terhadap pembangunan di wilayah Jawa juga memperbesar keinginan penduduk daerah luar
Jawa untuk memekarkan provinsinya. Cara yang dilakukan para putra daerah untuk
memekarkan daerah diantaranya dengan cara damai (misal: melobi parlemen atau langsung ke
presiden, dan melakukan kongres) atau keras dan revolusioner (misal: Dewan Banteng yang
menghentikan upeti ke pemerintah pusat agar keinginannya terwujud, serta pemberontakan
PRRI dan Permesta).
Daftar Rujukan
Apriansyah, D. T., & Wargadalem, F. R. (2020). Pemberontakan PRRI Sumatra Selatan
Tanpa Dewan Garuda. Sejarah Dan Budaya : Jurnal Sejarah, Budaya, Dan
Pengajarannya, 14(2), 32. https://doi.org/10.17977/um020v14i22020p32-44
Baharudin, B. (2016). Desain Daerah Khusus/Istimewa dalam Sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia Menurut Konstitusi. Masalah-Masalah Hukum, 45(2), 85–92.
https://doi.org/https://doi.org/10.14710/mmh.45.2.2016.85-92
Bakar, A. A., Mawar, S., & Syah, N. (2018). Dampak Pemekaran Daerah pada Pelayanan
Publik Di Tinjau menurut Sistem Hukum Indonesia. PETITA: JURNAL KAJIAN ILMU
HUKUM DAN SYARIAH, 3(2), 145–155.
https://doi.org/https://doi.org/10.22373/petita.v3i2.50
Basri, S. (2020). Tinjauan Kritis Pemekaran Daerah: Pembentukan 8 Provinsi Baru. JIA
Sandikta, 83. https://stiasandikta.ac.id/repo/jia_sandikta_vol_6_no_8_april_2020.pdf
Bukri, B. (1998). Sejarah Daerah Lampung. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Gottschalk, L. (1986). Mengerti Sejarah. UI Press.
Haliadi, H., & Agustino, L. (2015). Pemikiran Politik Lokal: Sejarah Pembentukan Provinsi
Sulawesi Tengah. CosmoGov: Jurnal Ilmu Pemerintahan, 1(2), 354–375.
https://doi.org/https://doi.org/10.24198/cosmogov.v1i2.11843
Hernawati, N. R. (2011). Pemekaran Daerah Di Indonesia. POLITIKA-Jurnal Ilmu Politik,
2(1), 57–65. https://doi.org/https://doi.org/10.14710/politika.2.1.2011.57-65
Huda, N. (2014). Desentralisasi Asimetris Dalam NKRI Kajian Terhadap Daerah Istimewa,
Daerah Khusus dan Otonomi Khusus. Bandung: Nusa Media.
Ibrahim, M., Arifin, M., Sulaiman, N., Sufi, R., Ahmad, Z., & Alfian, T. I. (1991). Sejarah
daerah propinsi daerah istimewa Aceh. Direktorat Jenderal Kebudayaan.

Page 57 of 59
Anwar Firdaus Mutawally
Perkembangan Pemekaran Daerah Tingkat Provinsi di Indonesia pada Masa Orde Lama, 1948-1964

Laely, N. (2018). Sistem Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda di Onderafdeling Bonthain


1905-1942. Universitas Negeri Makassar. http://eprints.unm.ac.id/11608/1/ARTIKEL
TESIS.pdf
Makagansa, H. R. (2008). Tantangan pemekaran daerah. Fuspad.
Maulida, F. H. (2018). Hitam Putih PRRI-Permesta: Konvergensi Dua Kepentingan Berbeda
1956-1961. Paradigma, Jurnal Kajian Budaya, 8(2), 174.
https://doi.org/10.17510/paradigma.v8i2.180
Mubarak, H. Z. (2016). Pemekaran Unit Administratif Provinsi di Kalimantan 1950-an.
Universitas Gadjah Mada.
Muhajir, A. (2016). Politik Daud Beureueh Dalam Gerakan DI/TII Aceh. Kalam: Jurnal
Agama Dan Sosial Humaniora, 4(1).
https://journal.lsamaaceh.com/index.php/kalam/article/view/18
Patianom, J. (1992). Sejarah Sosial Palangkaraya. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Purnomo, B., & Indrayani, N. (2020). Gerakan Pasca Proklamasi Kemerdekaan (Kasus
Pembentukan Propinsi Jambi 1946-1958). ISTORIA: Jurnal Pendidikan Dan Sejarah,
16(2). https://doi.org/https://doi.org/10.21831/istoria.v16i2.33212
Raben, R., & Bemmelen, S. Van. (2011). Antara Daerah dan Negara Indonesia tahun 1950-
an. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Rasyid, S. (2017). Permesta Menggugat (Telaah Atas Pemberlakuan Otonomi Daerah). Jurnal
Al-Hikmah, 19(2), 119–134. http://journal.uin-
alauddin.ac.id/index.php/al_hikmah/article/view/4368
Republik Indonesia. (1954). Undang-Undang Darurat No. 9 Tahun 1954 tentang pengubahan
nama Propinsi Sunda-Kecil menjadi Propinsi Nusa Tenggara.
Republik Indonesia. (1956). Undang-undang No. 25 Tahun 1956 Pembentukan Daerah-
Daerah Otonom Propisi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
Republik Indonesia. (1964). Undang-undang No. 13 Tahun 1964 Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 1964 Tentang Pembentukan
Daerah Tingkat I Sulawesi Tengah Dan Daerah Tingkat I Sulawesi Tenggara Dengan
Mengubah Undang-Undang No. 47 Prp Tahun 1960.
Ridwansyah, M. (2016). Mewujudkan Keadilan, Kepastian dan Kemanfaatan Hukum dalam
Qanun Bendera dan Lambang Aceh. Jurnal Konstitusi, 13(2), 278.
https://doi.org/10.31078/jk1323
Rohayuningsih, H. (2009). Peranan BPUPKI dan PPKI dalam Mempersiapkan Kemerdekaan
Indonesia. Forum Ilmu Sosial, 36(2).
https://doi.org/https://doi.org/10.15294/fis.v36i2.1507
Satriya, B., Suwirta, A., & Santosa, A. B. (2019). Ulama Pejuang dari Serambi Mekkah:
Teungku Muhammad Daud Beureueh dan Peranannya dalam Revolusi Indonesia di
Aceh, 1945-1950. INSANCITA, 4(1), 35–54.
https://journals.mindamas.com/index.php/insancita/article/download/1198/1045
Sjamsuddin, H. (2012). Metodologi Sejarah. Ombak.

Page 58 of 59
Anwar Firdaus Mutawally
Perkembangan Pemekaran Daerah Tingkat Provinsi di Indonesia pada Masa Orde Lama, 1948-1964

Sufianto, D. (2020). Pasang Surut Otonomi Daerah Di Indonesia. Jurnal Academia Praja,
3(2), 271–288. https://doi.org/10.36859/jap.v3i2.185
Suryana, D. (2012). Provinsi-Provinsi Di Indonesia: Tempat-Tempat Di Provinsi Indonesia.
Createspace Independent Pub.
Suwondo, B. (1980). Sejarah Daerah Nusa Tenggara Timur. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Suwondo, B. (1982). Sejarah Daerah Sulawesi Utara. Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Swandewi, N. K. A., & Alit, D. M. (2019). Perpindahan Ibukota Provinsi Bali Dari Singaraja
Ke Denpasar Tahun 1958-1960. Social Studies, 7(2), 10–28.
https://ojs.mahadewa.ac.id/index.php/socialstudies/article/view/559
Triyana, H. (2013). Perpindahan Ibukota RI dari Jakarta ke Yogyakarta Pada 4 Januari 1946.
Avatara, 1(2). https://ejournal.unesa.ac.id/index.php/avatara/article/view/2388
Vanagaitė, G. (2018). Lithuanian literature in 1918–1940: the dynamics of influences and
originality. Interlitteraria, 23(2), 340–353.
https://doi.org/https://doi.org/10.12697/IL.2018.23.2.10
Wati, D., Nopriyasman, N., & Samry, W. (2020). Riau Pascakeluar Dari Sumatera Tengah
1957-1985. NUSANTARA: Jurnal Ilmu Pengetahuan Sosial, 7(1), 31–51.
http://jurnal.um-tapsel.ac.id/index.php/nusantara/article/view/1257

Page 59 of 59

View publication stats

You might also like