Karakteristik Kepemimpinan Pendidikan Islam Berbasis Masjid

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 18

KARAKTERISTIK KEPEMIMPINAN PENDIDIKAN

ISLAM BERBASIS MASJID


Adhwa Annisa Feby

Andri Adriansyah2

Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Agama Islam, Universitas Ibnu Khaldun Bogor.

ABSTRACT

Leadership is the ideal of quality, both in terms of physical, mental, and intellectual. Maturity in
terms ofthis aspect will help a leader in carrying out the task. Knowledge and a wide perspective
is the key in solving many problems that block or make some breakthroughs for the success of
the important task of a leader. Islam encourage every Muslim to have these three types of power.
The strong and good believers are well loved by Allah more than the weak believers, each has a
virtue. For that, the vision and values of leadership comes from the ideal practices of Rasulullah
peace be upon him (Shalallahu 'alaihi wa sallam) and the Companions, it is necessary and must
continue to be extracted, distributed and socialized to become a strong issue in the stage of
leadership in society. Therefore, a good leadership is absolutely needed by the community, and
of course the leaders are expected to appear is a leader that has a nature or character laudable.
That is, on the side of truth, justice, has the nature of trust, a worthy model, simplicity, greatness
of the soul, forgive person, and others who emphasize kindness for the people.One of the
leadership Islamic education models is leadership based mosque, the mosque is a place where
Muslims join together in routines worship, both (hablum minallah) (relationship between human
and Allah) or (hablum minannas) (relationship between human and human). For Muslims, the
mosque become the heart moorings, the port development and the life energy of Muslims.
mosques also function as institutions of education and knowledge of Islam. In addition, the
mosque is also a place that can be delivered candidates Islamic leaders in the future, as
evidenced (applied) by Rasulullah peace be upon him (Shalallahu 'alaihi wa sallam), he built
with the friends so that future generations be able to lead the best and people through
developments that centred in mosque. People were educated in mosques in a shelter of the high
Islamic society and give priority in deliberation for solving problems. The mosque which was
established on the basis of devotion to Allah will inure to the influence of education in human
life. Thus, the mosque-based leadership can bear a good leader, the leader of a people-oriented
development, so that it can be delivered to devotee individuals, able to lead and bring the next
generation achieve their hopes; establishing a believer for himself, family, community, nation
and state.

Keyword: Islamic Education, Leadership, Caracter, Mosqul Based.

ABSTRAK
Kepemimpinan adalah kualitas ideal, baik dari segi fisik, mental intelektual. Kedewasaan dalam
hal aspek ini akan membantu seorang pemimpin dalam menjalankan tugasnya. Pengetahuan dan
perspektif yang luas adalah kunci dalam memecahkan banyak masalah yang membuat terobosan
bagi keberhasilan tugas penting seorang pemimpin. Islam mendorong setiap muslim untuk
memiliki ketiga jenis kekuasaan ini. Orang-orang terpercaya dan kuat lebih dicintai Allah dan
lebih baik dari orang-orang yang lemah, masing-masing memiliki kebajikan. Untuk itu, visi dan
nilai kepemimpinan berasal dari praktik ideal Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam dan para
Sahabat, perlu dan harus terus didistribusikan dan disosialisasikan untuk menjadi isu kuat dalam
tahap kepemimpinan di masyarakat. Oleh karena itu, kepemimpinan yang baik sangat
dibutuhkan oleh masyarakat, dan tentu saja pemimpin diharapkan memiliki sifat atau karakter
terpuji, yaitu, di sisi kebenaran, keadilan, memiliki sifat kepercayaan, model yang layak,
kesederhanaan, kebesaran jiwa, berjiwa besar, dan lain-lain yang menekankan kebaikan bagi
rakyat. Salah satu kepemimpinan model pendidikan Islam adalah kepemimpinan berbasis masjid.
Masjid adalah tempat dimana umat Islam bergabung bersama dalam ibadah rutin, baik hubungan
antara manusia dan Allah atau hubungan antara manusia dan manusia. Bagi umat Islam, masjid
menjadi tambatan hati, pembangunan pelabuhan dan energi kehidupan umat Islam. Masjid juga
berfungsi sebagai institusi pendidikan dan perdaban Islam. Selain itu, masjid juga merupakan
tempat yang bisa mengantarkan calon pemimpin di masa depan, sebagaimana diterapkan oleh
Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, Ia membangun masjid bersama para sahabatnya sehingga
menjadi generasi penerus umat terbaik melalui pembinaan yang berpusat di masjid. Orang-orang
besar itu dididik di masjid yang merupakan tempat pembinaan masyarakat Islami juga dapat
memecahkan permasalahan umat. Masjid yang didirikan atas dasar pengabdian kepada Allah
akan sesuai dengan pengaruh pendidikan dalam kehidupan manusia. Dengan demikian,
kepemimpinan berbasis masjid dapat melahirkan pemimpin yang baik, pemimpin pembangunan
yang visioner sehingga mampu memimpin dan membawa generasi penerus mencapai cita-cita
mereka dengan penuh amanah, baik untuk dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan
negara.

Key Word : pendidikan Islam, kepemimpinan, karakter, berbasis masjid.


PENDAHULUAN
Berbagai persoalan yang kini menimpa umat di berbagai lapangan kehidupan berakar
dari hilangnya “Visi dan Karakter Kepemimpinan Islami” dalam diri para pemimpin itu.
Mencari pemimpin yang memiliki visi dan praktek kepemimpinan yang baik begitu sulit.
Kepemimpinan yang semestinya difahami sebagai amanah, malah dirasakan sebagai
kekuasaan. Pemimpin yang semestinya menjadi pelayan, berubah menjadi penguasa yang
menindas dan mengatur semua urusan dengan mengikuti hawa nafsunya. Kezaliman dan
pengkhianatan akhirnya dirasakan hanya sebagai kealpaan kecil yang harus dimaafkan
dalam kultur mayoritas masyarakat muslim.
Krisis kepemimpinan dapat terjadi karena banyak hal, di antaranya masyarakat merasa
tidak memiliki pemimpin yang amanah, adil dan tegas serta berpihak pada kepentingan
seluruh rakyatnya terutama pada kalangan yang masih hidup dalam kondisi yang sulit.
Namun, harapan rakyat lapisan bawah masih tetap optimis akan tampilnya figur yang
memiliki karakteristik pemimpin yang ideal seperti memiliki visi dan komitmen pada
visinya, kompetensi, integritas, kejujuran, kesediaan mendengar, dan menerima kritik
serta masukan, tidak diktator dalam membuat dan menetapkan suatu kebijakan-
kebijakannya. Penyebab penting lainnya, adalah kurangnya kontrol bawahan atau
masyarakat terhadap kinerja dan perilaku para pemimpin sehingga makin memperparah
situasi krisis yang menjadi penyebab kegaduhan sosial. Memang terjadinya krisis
kepemimpinan di tengah-tengah umat dimulai dari berubahnya persepsi yang benar
tentang suatu paradigma kepemimpinan. Sementara itu, terjadinya krisis kepemimpinan
di tengah-tengah umat dimulai dari berubahnya persepsi yang benar tentang
kepemimpinan. Selain itu, kuatnya cengkeraman budaya dan praktik-praktik
kepemimpinan kotor yang disaksikan sehari-hari, membuat masyarakat memandang
terhadap praktik kemungkaran dan kezaliman sebagai hal yang biasa. Padahal, pemimpin
yang sejati adalah pelayan bagi umat, malah berubah menjadi tirani yang berbuat
sewenang-wenang terhadap bawahannya. Kekuasaan yang semestinya mengharuskan
dirinya melayani rakyat, justru dijadikan sarana untuk memaksakan kehendak dan
kepentingan atau ambisi pribadinya.
Untuk itu, visi dan nilai kepemimpinan ideal yang bersumber dari praktik-praktik
kepemimpinan Rasulullah, Nabi Muhammad (S.A.W) dan para sahabatnya, sangat perlu
dan harus terus digali, disebarkan dan ditradisikan agar menjadi isu kuat dalam
mencerahkan paradigma umat termasuk dalam hal berpolitik dalam kancah suksesi
kepemimpinan di masyarakat. Petunjuk Islam dalam kepemimpinan ini adalah
merupakan kekayaan (turats) bagi umat manusia yang bisa ditemukan dalam berbagai
literatur sejarah, seperti Sirah Nabawiyah, Sirah Shahabat, Tarikh Al-Thabary, Sirah Ibnu
Hisyam, dan lainnya.
Oleh karena itu, kepemimpinan yang baik sangat mutlak dibutuhkan oleh umat, dan
tentunya pemimpin masa depan yang diharapkan tampil adalah pemimpin yang memiliki
sifat-sifat atau karakter terpuji, yakni yang berpihak pada kebenaran, keadilan, memiliki
sifat amanah, jujur, keteladan, kesederhanaan, kebesaran jiwa, pemaaf, dan lain-lainnya
yang mementingkan kemaslahatan bagi umat manusia. Karenanya, pemimpin
membutuhkan arahan (taujih) dan latihan sejak dini, bisa didapatkan dari orang tua, guru,
keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat.
Salah satu model kepemimpinan pendidikan perspektif Islam adalah kepemimpinan
berbasis masjid, yang mana masjid adalah tempat bersatunya umat lslam dalam
pelaksanaan peribadahan, baik ibadah secara vertikal kepada Allah (S.W.T) (hablum
minallah) maupun ibadah yang terkait dengan sesama manusia atau yang disebut (hablum
minannas). Karena itu, umat Islam wajib memakmurkan masjid, karena masjid
merupakan tempat peribadatan, sarana pembinaan umat dan juga menjadi media efektif
dalam mempersatukan umat Islam. Orang yang memakmurkan masjid itu adalah orang
yang jelas terbukti keimanannya, dan ia hanya takut kepada Allah dan takut ancaman
neraka-Nya. Allah (S.W.T) berfirman Alqur‟an surat At-Taubah ayat 18; “Hanya yang
memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada
siapapun) selain kepada Allah, maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk
golongan orang-orang yang mendapat petunjuk”. (QS. At Taubah: 18).
Berdasarkan firman Allah di atas, bahwa kriteria seorang Takmir masjid itu adalah
yang memiliki beberapa komitmen sebagai berikut: 1) Iman kepada Allah (S.W.T) dan
Hari akhir; 2) Tidak mempersekutukan Allah SWT; 3) Menegakkan shalat; 4)
Menunaikan Zakat; dan 5) Independen (mandiri, istiqlal) dan tidak takut kepada siapa
pun selain kepada Allah S.W.T. Dengan demikian, maka masjid didirikan untuk
memenuhi kebutuhan Umat Islam, khususnya kebutuhan spiritual untuk mendekatkan
dirinya kepada Allah (S.W.T) Masjid menjadi tambatan hati, pelabuhan pengembangan
hidup dan energi kehidupan umat Islam. Karena itu, masjid jangan dijadikan sebagai alat
untuk memecah belah umat Islam, sebagaimana intrik yang dilakukan kaum munafik
dahulu dengan mendirikan masjid dhirar-nya Bahkan, masjid yang seperti itu tidak layak
bagi umat Islam untuk beribadah di dalamnya. Sebagaimana pula ditegaskan Allah dalam
Alqur‟an surat At-taubah ayat ke 108
Secara khusus, masjid merupakan tempat dilangsungkannya ibadah shalat. Di sanalah
tempat perjumpaan orang-orang yang patuh dan tunduk kepada aturan Allah (S.W.T) Ia
merupakan taman keimanan dan pahala,seperti yang telah dikatakan oleh Rasulullah
(SAW), "Apabila kalian melihat seseorang yang terbiasa (memakmurkan) Masjid maka
saksikanlah bahwasanya ia beriman." (HR. Ahmad dan At Tirmidzi). (Hamad Hasan
Raqith, 2001: 79). Di samping itu masjid juga merupakan taman ilmu, dzikir dan sarana
dakwah. Rasulullah (SAW) Bersabda, “Tidaklah suatu kaum yang duduk di dalam suatu
rumah Allah (S.W.T), mereka membaca kitab Allah (S.W.T) dan saling mempelajarinya
kecuali mereka dikelilingi para malaikat, dinaungi rahmat Allah (S.W.T) dan diturunkan
kepada mereka ketenangan (sakinah) dan mereka disebutkan oleh Allah (S.W.T)
termasuk orang-orang yang berada di sisi-Nya.” (HR. Muslim).
Makna sakinah yaitu berupa ketenangan dan ketentraman jiwa yang dapat
menghilangkan kegundahan, keguncangan dan penyakit hati serta menghilangkan rasa
dengki (hasad atau ghill) dan takut pada selain Allah (S.W.T). Selain sebagai tempat
shalat, masjid juga memiliki fungsi-fungsi lain. Di dalam masjid, jama'ah juga
bermusyawarah, baik secara formal terarah, maupun secara spontan antara individu
dengan individu, atau antar kelompok. Berbagai pendidikan juga terselenggara di masjid.
Sebagaimana pula yang pernah terjadi di masa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi
wasallama ataupun 3 di masa sesudahnya, masjid menjadi pusat kegiatan kaum muslimin.
Kegiatan di bidang pengetahuan, termasuk idiologi, politik, ekonomi, sosial, peradilan,
dan kemiliteran didiskusikan di masjid, berfungsi pula sebagai tempat pengembangan
kebudayaan Islam, terutama pada saat gedung-gedung khusus untuk kegiatan itu belum
sempat didirikan.Masjid juga merupakan tempat halaqah atau diskusi, tempat mengkaji
untuk memperdalam ilmu pengetahuan agama dan pengetahuan umum. Dalam arti lain,
bahwa masjid berfungsi sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam. Sejalan dengan fungsi
masjid. M.Athiyah Al-Abrasy mengatakan, bahwa dalam masa keemasan Islam yang
pertama, pemuda-pemuda dan orang-orang yang telah berumur bersama-sama duduk di
masjid untuk mengikuti pendidikan, yakni pelajaran-pelajaran yang diberikan, dan di
antara mereka yang telah menjadi siswa di masjid adalah Ali bin Abi Thalib dan
Abdullah Ibn Abbas (M. Athiyah al-Abrasyi: 1990: 58).
Oleh karenanya, pendidikan Islam erat sekali hubungannya dengan Masjid. Masjid
bermanfaat untuk tempat beribadah dan sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan
berbagai pengetahuan. Selain itu, masjid juga merupakan tempat pengkaderan yang dapat
melahirkan calon-calon pemimpin Islam di masa yang akan datang, sebagaimana yang
dibuktikan (diterapkan) Rasulullah (SAW) dengan membina para sahabatnya sehingga
menjadi generasi terbaik dan mampu memimpin umatnya melalui pola pembinaan-
pembinaan yang beliau pusatkan di masjid. Mengingat betapa pentingnya keberadaan
masjid dan Imam masjid dan betapa besar tanggungjawab yang diembannya, dalam
tulisan ini penulis mencoba untuk mengemukakan pembahasan tentang model
kepemimpinan pendidikan Islam berbasis masjid, juga pengaruh masjid terhadap
pendidikan dan hal-hal lain-lain yang berhubungan dengannya.
Manusia Tercipta Sebagai Pemimpin
Dalam pandangan Islam, setiap manusia diciptakan oleh Allah (S.W.T) sebagai
pemimpin, hal ini tentu saja sesuai dengan kapasitas yang dimilikinya.Inti kepemimpinan
adalah tanggungjawab dan amanah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah (SAW) menyatakan
bahwa, ”Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan ditanya tentang
tanggungjawab kepemimpinannya”. (H.R. Al Bukhari dan Muslim). Dalam hadits
tersebut, Rasulullah (SAW) menekankan perkataan “tanggungjawab". Sekecil apapun
atau sesingkat apapun kepemimpinan seseorang, pasti akan ditanya oleh Allah (S.W.T)
tentang keputusan (kebijakan) dalam kepemimpinannya. Oleh karena itu, hubungan
kepemimpinan bukan hanya masalah hubungan manusia dengan manusia (hablum
minannaas), bukan sekedar mu‟amalah, tetapi juga berkaitan dengan masalah aqidah dan
keyakinan.Karena fungsinya yang demikian penting, yang bisa menentukan kualitas
masyarakat, maka dalam berbagai hadits diungkapkan bahwa ada berbagai syarat
kepemimpinan yang harus terpenuhi. Adapun syarat kepemimpinan menurut pandangan
Islam adalah sebagai berikut:
Pertama, seorang pemimpin haruslah orang yang beriman dan bukan orang kafir. Hal
tersebut sejalan dengan perintah Allah (S.W.T) dalam AlQur'an surat At-Taubah ayat 23.
Kemudian, Islam juga telah melarang setiap mukmin memilih orang kafir sebagai
pemimpin dari kalangan Yahudi dan Nashara. Hal ini ditegaskan Allah dalam Alqur‟an
surat Al-Maidah ayat 51.
Kedua, pemimpin adalah orang yang dicintai oleh masyarakatnya, bukan ditakuti.
Karena ketaatan yang didasari oleh kecintaan akan berbeda dengan ketaatan atas dasar
takut. Kalau ketaatan didasari oleh kecintaan, maka biasanya ketaatan itu akan abadi.
Tapi jika ketaatan itu atas dasar rasa takut, maka biasanya ketaatan itu sifatnya sementara.
Maka wajar jikamasyarakat pun terpaksa patuh pada kebijakannya, karena memang
dasarnya karena mereka takut.
Ketiga, pemimpin adalah orang yang menegakkan shalat dan menunaikan zakat, rela
mengeluarkan hartanya untk kepentingan bersama. Dalam Alqur‟an surat Al-Ma‟idah
ayat 55-56.
Keempat, bahwa pemimpin adalah mereka yang mempunyai kemampuan yang terbaik
dan punya prestasi di masyarakatnya.
Sistem Kepemimpinan Masjid
Kriteria Imam Masjid Mengingat betapa penting keberadaan imam dalam masjid dan
betapa besar tanggungjawab yang diembannya, maka tugas ini tidak dapat dipegang oleh
sembarang orang, apalagi karena ambisi dan mengejar keuntungan materi semata-mata,
akan tetapi mestioleh orang yang pada pribadinya telah melekat syarat-syarat
sebagaiberikut, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas'ud, dia berkata.
Rasulullah (SAW) telah bersabda; “Yang pantas dijadikan imam oleh suatu kaum
(jama'ah) adalah yang paling ahli membaca Kitab Allah (Alqur‟an) dan paling awal
(belajar) membacanya. Apabila bacaannya sama, maka hendaklah mereka bermakmum
kepada yang paling dahulu hijrahnya. Apabila dalam hijrahnya pun mereka sama, maka
hendaklah mereka bermakmum kepada yang paling tua usianya. Sungguh janganlah
sekali-kali engkau mengimami seseorang di dalam keluarganya dan kekuasaannya, dan
janganlah engkau duduk di tempatnya yang khusus di rumahnya kecuali dia mengizinkan
atau dengan seizinnya". (H.R. Muslim).
Dari penjelasan hadits di atas, dapat difahami bahwa karakteristik Imam Masjid adalah
orang yang diangkat berdasarkan kriteria di bawah ini, antara lain: a) Dipilih yang paling
banyak hafalannya dan paling fasih bacaannya; b) Yang paling faham terhadap Sunnah
Rasulullah (SAW); c) Yang lebih dahulu hijrah; d) Yang lebih tua usianya; dan e) Tuan
rumah (pribumi). Adapun komitmen makmum (jama‟ah) terhadap seseorang yang
dijadikan Imam shalat maka hendaklah dia mengikutinya dengan ketentuan, antara lain:
a) Tidak boleh mendahului (gerakan) Imam; b) Harus tunduk (mengikuti) Imam; dan c)
Mengingatkan bila (Imam) mendapati sesuatu kesalahan atau kekeliruan yang dilakukan
Imam.
Selain hal di atas, menurut Hammad Hasan Raqith, ada beberapa hal atau tata krama
yang harus diperhatikan oleh seorang Imam menyangkut tugas dan tanggung jawab yang
diembannya, antara lain: a) Bacaan Imam dalam shalat hendaknya jelas tidak dibuat-buat
dapat didengar oleh makmum dengan harapan memberikan pengajaran danmensucikan
juwajiwa mereka; b) Bersikap sederhana (bijaksana) dalam memimpin shalat
denganmemperhatikan kondisi dan waktu para makmum. Jangan sampai terjadi, didapati
orang yang tidak mau berangkat jama'ah ke masjid dikarenakan bacaan shalat yang
dibaca imam terlalu panjang. Hal seperti ini Rasulullah (SAW) pernah menegur Mu'adz
bin Jabal karena bacaannya yang panjang dalam shalat jama'ah, sebagaimana tersebut
dalam hadits shahih, Rasulullah mengatakan, “Wahai Mu'adz, apakah engkau seorang
pembuat fitnah? Bacalah begini,barangsiapa menjadi Imam shalat maka hendaknya dia
meringankan (memilih bacaan yang pendek, karena di antara mereka terdapat orang yang
lemah, orang yang sakit, dan orang yang sedang memiliki hajat (keperluan)." (H.R.
Muslim); c) Thuma'ninah di dalam shalat. Tidak tergesa-gesa dan teriak cepat, baik
dalam gerakan atau pada bacaannya orang yang melakukan seperti itu oleh Nabi (SAW)
disebut sebagai orang yang “mencuri shalat” sebagaimana dalam suatu hadits disebutkan,
"Seburuk-buruk pencuri (yang dilakukan) manusia adalah mencuri sebagian dari
shalatnya. Mereka mengatakan, “Wahai Rasulullah, bagaimana mereka mencuri sebagian
dari shalatnya? Rasulullah menjawab, “dia tidak menyempurnakan ruku' ataupun
sujudnya”. (HR. Ahmad dan AdDarimi); dan d) Temasuk tugas-tugas Imam masjid
adalah berusaha memahamkan jama'ahnya tentang agama Islam, menganjurkan mereka
kepada kebaikan, mencegah mereka dari kejahatan, memotivasi mereka untuk mengingat
Allah (S.W.T) dan mendorong mereka untuk saling menopang dalam hal keimanan dan
ketaqwaan.

Tipologi Kepemimpinan Masjid


Kepemimpinan adalah terjemahan dari leadership. Kata leadership diambil dari kata “to
lead” yang artinya memimpin. Untuk kata pemimpin atau memimpin, di dalam literatur
Islam digunakan sedikitnya empat istilah, antara lain yaitu; Imam, Wali atau Auliya,
Ra'in. Imam adalah orang yang dimakmumi (dijadikan pemimpin) oleh orang lain, di
antaranya adalah imam shalat. Maka seorang imam shalat memegang tanggung jawab
menegakkan shalat berjama'ah dengan kaum muslimin di masjid. Dengan demikian,
kepemimpinan adalah kegiatan mengkoordinir, memotivasi dan mengarahkan individu
atau kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Adapun konsep dasar kepemimpinan
dalam kepengurusan masjid, demikian pula pada organisasi-organisasi muslim lainnya
adalah pengembanan amanah dan partisipasi, bukan perolehan kekuasaan dan masa
bodoh.
Amanah yang diemban pengurus masjid secara hablumminaLlah
dipertanggungjawabkan kepada Allah dan secara hablumminan Naas kepada anggota
dalam forum musyawarah anggota. Sebagaimana dijelaskan dalam Alqur‟an surat An-
Nisaa ayat 58. Pengurus masjid sebagai pemimpin yang memimpin dan mengarahkan
anggotanya, seharusnya berusaha membina keimanan, ibadah maupun akhlak mereka
sesuai dengan batas-batasan tugas dan kewenangan yang dimilikinya. Kepempinan
mengarahkan dan menganjurkan kepada taqwa dan kebajikan bagi semua. Sedangkan
anggota sudah seharusnya rela untuk diatur, memberi dukungan serta berpastisipasi aktif
dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan pengurus. Dalam mengemban amanat
kepemimpinan tersebut, pemimpin memiliki tipe atau gaya sendiri-sendiri. Mohammad
Ayub (1996: 55), menyebutkan ada empat gaya kepemimpinan, antara lain sebagai
berikut: a) Gaya kepemimpinan otoriter atau otokrasi, dengan ciri-cirinya sangat
memaksakan, mendesakkan kekuasaan kepada bawahan; b) Gaya kepemimpinan
demokrasi, dengan ciri; bersikap tengah antara memaksakan kehendak dan memberi
kelonggaran kepada bawahan; c) Gaya kepemimpinan Laisses Faire, yakni memiliki
sikap memberi kebebasan kepada bawahan; dan d) Gaya kepemimpinan situasional,
yakni suatu sikap yang lebih melihat situasi; kapan harus bersikap memaksa, kapan harus
moderat, dan pada situasi apa pula pemimpin harus memberikan keleluasaan pada
bawahan.

Berdasarkan tipe-tipe di atas, tipe pemimpin masjid yang paling cocok menurut
Mohammad Ayub (1996: 56), adalah tipe kepemimpinan situasional, dengan karakteristik
sebagai berikut: a) Supel dan Luwes; b) Berwawasan luas; c) Mudah menyesuaikan diri
dengan lingkungan; d) Mampu menggerakkan bawahan; e) Bersikap keras pada saat-saat
tertentu; f) Berprinsip dan konsisten terhadap suatu masalah; g) Mempunyai tujuan yang
jelas; h) Bersikap terbuka bila menyangkut bawahan; i) Mau membantu memecahkan
permasalahan bawahan; j) Mengutamakan suasana kekeluargaan dan komunikatif; k)
Mengutamakan produktifitas kerja; l) Bertanggungjawab dan mau memberikan
tanggungjawab; m) Memberikan kesempatan pada bawahan untuk mengutarakan
pendapat pada saat-saat tertentu; n) Melakukan atau mengutamakan pengawasan melekat;
o) Mengetahui kelebihan dan kelemahan bawahan; p) Mengutamakan kepentingan
bawahan; q) Bersikap tegas dalam situasi dan kondisi tertentu; dan r) Aspiratif; mau
menerima saran dan kritikan dari bawahan.
Figur dengan karakteristik seperti itu akan mudah diterima oleh jama‟ah yang pada
kenyataannya sangat beragam. Jama'ah masjid memerlukan pemimpin yang ideal dan
tidak kaku yang bisa diajak berbicara oleh lapisan sosial manapun. Pemimpin yang
bertipe situasional merupakan pilihan paling efektif untuk kepentingan jama'ah Masjid.
Sebab kepemimpinan lebih merupakan “Seni” ketimbang ilmu. Kenyataan kerap
menunjukan, seseorang yang piawai menguasai disiplin ilmu tertentu belum tentu mampu
memimpin. (Muhammad E. Ayyub, 1996 : 55-56).
Lebih jauh Ayub menjelaskan, pengurus masjid yang dalam melaksanakan tugas
kegiatan pelaksanaan ibadah memihak satu golongan atau faham akan mengakibatkan
jama'ah itu pasif. Dia menambahkan, menolak sikap/faham golongan yang kebetulan
tidak sehaluan, di samping tidak memperlihatkan jiwa besar, juga akan menjadikan
kegiatan masjid kehilangan gairah. Perbedaan faham dalam masalah khilafiyah, misalnya,
bukan harga mati untuk menolak kerjasama yang berdimensi keagamaan. Adalah ironis
jika pengurus masjid sampai terjebak pada fanatisme sempit atas nuansa perbedaan yang
bersifat tidak terlalu prinsip. Oleh karena itu, pengurus masjid justru harus berangkat dari
kesadaran dan pemahaman bahwa jama'ahnya beraneka ragam. (Muhammad E.Ayub,
1996:56)
Dengan demikian, hubungan dan kerjasama pengurus dengan jama'ah sangat
diperlukan dalam mengatasi berbagai problematika "masjid. Tanpa kerjasama, masalah
tetap tinggal masalah. Kerjasama sangatlah dibutuhkan terutama untuk meringankan
pengurus dalam melaksanakan berbagai kegiatan (syi'ar Islam) di masjid. Dari tipologi
pemimpin berbasis masjid inilah penulis dapat memberi catatan bahwa: a) Imam Masjid
adalah orang yang memiliki wawasan yang lebih (faham ilmu agama) faham tentang ilmu
Alqur'an dan As-Sunnah dan dasar-dasar ilmu agama Islam bacaannya fasih, banyak
hafalannya) daripada makmumnya, dipercaya untuk memimpin jama‟ah khususnya
dalam berkomunikasi secara vertikal dengan Allah. Disamping itu, imam masjid harus
dapat memahami kondisi objektif Masyarakat sekitarnya dari berbagai heterogenitas
sosial, didalamnya termasuk mengetahui aliran (corak) pemahaman keagamaan yang
berkembang dan dianut oleh masyarakat sekitarnya; b) Ketika makmum mendapati
kekeliruan atau kesalahan yang dilakukan oleh Imam, maka makmum wajib
mengingatkannya, tidak boleh berdiam diri. Begitu pula Imam shalat harus menyadari
kesalahannya untuk mau diperbaiki atau dikoreksi, hal ini demi untuk menyelamatkan
pelaksanaan dan kesempurnaan shalat jama‟ah. Ini berarti, bahwa ketika seorang Imam
atau pemimpin berbuat kesalahan maka harus bersedia menerima koreksi, kritik untuk
diperbaiki. Begitu pula bawahan (masyarakat) harus berarti meluruskan kesalahan
pemimpin. Karena bila dibiarkan itu terjadi maka akan menyebabkan kehancuran
terhadap sistem kerja yang menjadi tanggung jawab semua pihak (atasan dan bawahan);
dan c) Seorang pemimpin harus netral dan independent, yakni tidak mementingkan atau
memihak kepada kepentingan salah satu kelompok, baik itu partai atau organisasi
tertentu.

Masjid sebagai Lembaga Pendidikan Islam


Masjid berasal dari kata kerja “sajada” artinya sujud. Kata masjid menunjukan arti nama
tempat yaitu tempat sujud. Masjid sebagai bangunan tempat shalat memiliki bentuk dan
ukuran tertentu yang diadakan karena fungsinya, antara lain lantai segi empat yang
menampung shaf-shaf yang diatur dari barisan terdepan sampai ke belakang (Departemen
Agama RI, 1997: 223). Masjid juga berarti tempat “shalat berjama'ah‟‟ atau tempat
shalat untuk umum (orang banyak). (Hasbullah,1995: 131).
Menurut Mursi, di masa lalu masjid adalah sebagai pusat pendidikan Islam yang paling
vital, kemudian dari masjid itu lahirlah madrasah (sekolahsekolah) yang mempunyai
andil yang sangat besar dalam pendidikan di negara-negara Islam Selain itu, masjid juga
menjadi pusat perpustakaan Umat Islam. (Muhamrnad Munir Mursi, Tt: 199). Sejalan
dengan pendapat di atas, menurut Asrohah, masjid merupakan lembaga pendidikan Islam
yang sudah ada sejak Nabi. Ia mempunyai peranan penting bagi masyarakat Islam sejak
awal sampai sekarang. masjid berfungsi sebagai tempat bersosialisasi, tempat ibadah,
tempat pengadilan dan sebagainya. Tetapi yang lebih penting adalah sebagai lembaga
pendidikan (Hanun Asrohah, 2001 : 56).
Masjid merupakan institusi pendidikan yang pertama dibentuk dalam lingkungan
Masyarakat muslim. Masjid sangat berperan penting dalam pendidikan Islam di
Indonesia, dan bahkan sistem pendidikan atau surau dianggap sebagai lembaga
pendidikan Islam tertua di Indonesia, sebelum adanya pesantren kemudiannya (Hanun
Asrohah, 2001:56). Masjid merupakan institusi pendidikan yang pertama dibentuk dalam
lingkungan masyarakat musim. Masjid sangat berperan penting dalam pendidikan Islam
di Indonesia, sebelum adanya pesantren kemudiannya (Hanun Asrohah, 2001: 132).
Sementara itu, Al-Abrasyi dalam bukunya “AlMadkhal” menyatakan bahwa masjid
merupakan tempat terbaik untuk kegiatan pendidikan. Dengan menjadikan dalam masjid
akan terlihat hidupnya sunnah-sunnah dalam Islam, menghilangkan bid'ah-bid'ah,
mengembangkan hukum-hukum Allah, serta menghilangkan stratifikasi rasa dan status
ekonomi dalam pendidikan (Muhammad Athiyah Al-Abrasi : 271). Senada dengan
pernyataan diatas, Muhammad Abdul Qodir Abu Faris mengemukakan, bahwa masjid
mempunyai risalah yang melewati batas yang difahami manusia sekarang ini. Di antara
fungsinya yang dominan itu adalah: a) Masjid sebagai sarana syi‟ar peribadatan dan
tempat menunaikan shalat berjama‟ah yang merupakan tiang agama; b) Masjid sebagai
universitas, tempat memberikan pengajaran Islam dan bimbingan dari Rasulullah SAW;
c) Masjid sebagai sentral infomasi dan pengetahuan; d) Masjid sebagai tempat merajut
ukhuwwah dan kebersamaan hidup. Lima kali kaum muslimin bertemu untuk saling
mengenal dan menolong di antara mereka; e) Masjid sebagai sentral berkumpul dan
pemberangkatan pasukan Islam, ketika Rasul sebagai panglima tertinggi memanggil
mereka; f) Masjid juga berfungsi sebagai tempat bermusyawarah antara kaum muslimin.
Ia ibarat majlis umat yang membahas berbagai problematika sosial, politik dan ekonomi
(Muhammad Abdul Qodir Abu Faris, 2004: 109).
Sejalan dengan pendapat di atas, Miftah Farid mengemukakan bahwa masjid adalah
gambaran kecil dan suatu masyarakat Islam(miniatur masyarakat Islam), yang di
dalamnya mengandung beberapa ajaran penting, antara lain: (1) Mengajarkan prinsip
ukhuwah, persaudaraan. Pelaksanan ibadah shalat dengan menghadap kearah yang
samatakbir bersama, ruku bersama, sujud bersama, dan lain-lain, menggambarkan nilai-
nilai kebersamaan dan persaudaraan dalam Islam; (2) Prinsip Musawah, persamaan
derajat dihadapan Allah (S.W.T). Keharusan adanya shaf yang lurus dengan tidak
membedakan pangkat, kedudukan dan kekayaan, bahu beradu dengan bahu, danlain-lain,
ini menunjukkan adanya persamaan derajat; (3) Prinsip Imamah. Peragaan shalat
berjama'ah di masjid memiliki beberapa aturan diantaranya: (a) Keharusan adanya
pemimpin; (b) Cara pemilihan penumpin; (c) Kriteria yang paling berhak menjadi
pemimpin; (d) Ketaatan terhadap pemimpin; (e) Koreksi terhadap pemimpin; (f)
Kesediaan pemimpin menerima koreksi (aspiratif dan terbuka); dan (h) Pergantian
pemimpin, dan lain-lain; g) Masjid sebagai pusat kegiatan dakwah. Di masjid
dikumandangkan khutbah, ceramah, ta'lim, tabligh, pendidikan, pengajaran, musyawarah,
dan lain sebagainya. Dari masjid hendaknya keluar kalimat hasanah dan thayyibah,
kalimat-kalimat yang agung dan mulia; h) Masjid merupakan peradaban Islam, masjid
adalah tempat umat Islam berkreasi dan berprestasi, tempat belajar dan mengajar, tempat
berzikir, tempat Umat Islam berjihad dan berijtihad, dan tempat bermusyawarah (Miftah
Farid: 1995).
Dengan demikian, masjid sudah merupakan lembaga kedua setelah keluarga, yang
jenjang pendidikannya terdiri dari sekolah menengah dan sekolah tinggi dalam waktu
yang sama. (Hasan Langgulung, 1988:111). Oleh sebab itu, implikasi masjid sebagai
lembaga pendidikan Islam menurut Abdurrahman An-Nahlawi adalah berfungsi untuk: a)
Mendidik anak untuk tetap beribadah kepada Allah; b) Menanamkan rasa cinta kepada
ilmu pengetahuan dan menanamkan solidaritas sosial, serta menyadarkan hakhak dan
kewajibannya sebagai insan pribadi, sosial dan warga Negara; dan c) Memberi rasa
ketentraman, kekuatan dan kemakmuran potensi-potensi rohani manusia melalui
pendidikan kesabaran, keberanian, kesadaran, optimisme, dan pengadaan penelitian
(Abdurrahman An- Nahlawi, 1979 :13). Dari beberapa pendapat yang dikemukakan di
atas tentang fungsi dan peranan masjid, maka dapat difahami bahwa begitu pentingnya
kedudukan masjid sebagai sebuah lembaga pendidikan Islam di mana masjid berfungsi
sebagai Islamic Center atau sentral kegiatan-kegiatan syi'ar Islam, baik itu kegiatan
pendidikan keagamaan, dakwah, sosial dan kebudayaan bagi kaum muslimin hingga saat
ini.

Fungsi Sosial Masjid


Ketika bencana atau petaka menerpa kaum mukminin, masjid dapat digunakan sebagai
tempat berlindung. Di sana umat Islam dapat menyusun kekuatan untuk mengibarkan
panji-panji Islam dan meninggikan kalimah Allah sebagaimana pernah terjadi dalam
perang Salib pertama atau dalam berbagai gerakan pembebasan melawan tentara Salib
dan Yahudi dalam perang Salib kedua. Yang jelas, ketika itu kaum Muslimin melawan
kaum penjajah yang bercokol selama satu abad di berbagai negara Islam. Revolusi Siria
bergema dari masjid besar yang ada di kota-kota Siria. Revolusi alJazair pun berbasis di
pondok-pondok dan sekolah-sekolah Islam yang berada di masjid-masjid. Demikian pula
gerakan kemerdekaan Islam lainnya, seperti di Pakistan, Afganistan, dan negara lainnya.
(Abdur Rahman AnNahlawi, 1995:138). Bahkan, kegagalan kudeta yang dilancarkan
militer anti Islam Turki belum lama ini juga karena rakyat muslim Turki dipersatukan
dan digerakkan oleh kekuatan jamaah yang berpusat dari masjid. Demikianlah, manusia
dibina dan dididik di masjid-masjid dalam naungan masyarakat muslimyang tinggi dan
mengutamakan musyawarah dalam penyelesaian masalahnya. Jama‟ah yang sakit mereka
tengok dan orang fakir miskin yang membutuhkan pertolongan, mereka beri rizki
(bantuan), yang mereka terima dari Allah. Maka jadilah mereka masyarakat yang kuat,
bersatu, berpatisipasi dalam pendidikan dan pembangunan umat melalui program back to
mosque (memberdayakan masjid).

Fungsi Edukatif Masjid


Aktivitas pertama Rasulullah ketika tiba di Madinah adalah membangun masjid, karena
masjid merupakan tempat yang dapat menghimpun berbagai jenis kaum muslimin (Islam
tidak membeda-bedakan etnis, ras atau golongan, karena yang dinilai di sisi Allah
(S.W.T) adalah ketaqwaannya). Di dalam masjid, seluruh muslim dapat membahas dan
memecahkan persoalan hidup, bermusyawarah untuk mewujudkan berbagai tujuan,
menjauhkan diri dari kerusakan, serta menghadang berbagai penyelewengan aqidah.
Bahkan Masjid pun menjadi tempat mereka berhubungan dengan penciptanya dalam
rangka memohon ketentraman, kekuatan dan pertolongan dari Allah (S.W.T) Di Masjid,
mereka mengisi hatinya dengan kekuatan spiritual sehingga Allah (S.W.T) selalu
menganugerahkan kesabaran, ketangguhan, kesadaran, kewaspadaan serta aktivitas yang
penuh semangat. (Abdur Rahman An-Nahlawi, 1995: 137).
Pada awal penyebaran Islam, masjid memiliki fungsi mulia yang bisa jadi sekarang ini
mulai terlupakan. Pada zaman itu, masjid digunakan sebagai markas besar tentara dan
pusat gerakan pembebasan Umat dari penghambaan kepada manusia, berhala atau
thaghut. Makna thagut ialah setan dan apa saja yang disembah selain Allah. (Tafsir al-
Qur'an surat alBaqarah ayat 256).
Masjid pun digunakan sebagai pusat pendidikan yang mengajak manusia kepada
keutamaan, kecintaan pada pengetahuan, kesadaran sosial, serta pengetahuan mengenai
hak dan kewajiban mereka terhadap negara Islam yang pada dasarnya didirikan untuk
mewujudkan kepada tegaknya syari'at, keadilan, dan rahmat Allah (S.W.T). Masjid
dimanfaatkan juga sebagai pusat gerakan penyebaran akhlak Islam dan pemberantasan
kebodohan.Kondisi sepmi ini terus berlanjut hingga dalam perkembangannya sekarang
ini mengalami berbagai pasang surut yang kadang-kadang menjadikan Masjid berfungsi
sebagai ajang penonjolan fanatisme madzab, golongan, atau kepentingan individu.

Dampak Edukatif dan Sosial Masjid


Masjid yang didirikan atas dasar ketaqwaan kepada Allah (S.W.T) menjadi sarana
efektif dalam melaksanakan pembinaan spiritual kaum muslimin disebabkan semangat
keagamaan yang menekankan pada penguatan aspek keimanan dan terimplementasikan
dalam bentuk aktivitas ubudiyah, baik secara vertikal (hablun minallah) maupun secara
horizontal (hablun minan Naas). Pola pembinaan ubudiyah di masjid secara berjama‟ah
telah mengajarkan cara hidup bermasyarakat yang baik, semangat persatuan yang
dilandasi persaudaraan atas dasar iman berdampak lebih luas terhadap kehidupan
manusia untuk saling memberi manfaat, menyatukan setiap potensi, bersinergi dan saling
menguatkan.
Di masjid itulah terkumpul kaum mukminin atas nama Allah (S.W.T) yang di dalam
dirinya berkembang pengakuan dan kebanggaan sebagai masyarakat muslim. Di masjid,
mereka akan menyimak pendidikan keagamaan dan berbagai pengetahuan umum
sehingga mereka menjalani hidup dengan kesadaran atas akidah Islam, penuh
pemahaman atas tujuan hidup dan bersyukur atas apa yang disediakan Allah (S.W.T)
untuk kepentingan dunia dan akhirat mereka. Mereka mempelajari Alqur‟an dan
membacanya dengan tertib sehingga mereka mampu menyeimbangkan perkembangan
pula pikir dan peradabannya dengan undang-undang Masyarakat Islam dan
perkembangan spiritual yang menjadi pengikat dirinya kepada Sang Khaliq. Hadits, fiqih
dan segala ilmu kemasyarakatan pun mereka pelajari di masjid, termasuk di dalamnya
ilmu yang berhubungan dengan bahasa, sejarah dan sebagainya. Namun, dari semua itu
yang paling penting, melalui masjid, setiap muslimdapat melakukan pertemuanpertemuan
dalam rangka ketaatan kepada Allah (S.W.T). Jika ternyata, pertemuan itu dilakukan
menjelang shalat fardhu‟, mereka menyusun shaf dan mendahulukan shalat. Jika ternyata
pertemuan itu dilakukan tidak pada waktu shalat fardhu, mereka bermusyawarah sambil
menantikan datangnya waktu shalat dan melanjutkan musyawarahnya atau memutuskan
suatu masalah setelah shalat selesai. (Abdnr Rahman An-Nahlawi, 1995 :138).
Pemanfaatan masjid seperti itu akan mendidik manusia untuk mengaitkan segala
persoalan hidup pada ikatan karena Allah (S.W.T) yang bersumber pada pendidikan
Islam yang universal, yaitu penghambaaa diri kepada Allah (S.W.T). Dan itu harus
tertanam dalam diri manusia secara ikhlas tanpa merasa terbebani.

Eksistensi Masjid
Dewasa ini umat Islam terus menerus mengupayakan pembangunan masjid.
Bermunculan masjid-masjid baru di berbagai tempat, disamping renovasi atas Masjid-
masjid lama. Semangat mengupayakan pembangunan rumah-rumah Allah (S.W.T) itu
layak dibanggakan. Hampir di seluruh tanah air tidak ada yang tidak tersentuh oleh
pembangunan masjid. Ada yang berukuran kecil tapi mungil, dan ada yang berukuran
besar dan megah. Namun tidak sedikit pula masjid yang terkatung-katung
pembangunannya dan tidak kunjung rampung, terutama di daerah-daerah yang solidaritas
jamaahnya belum kuat (Muhammad. E. Ayyub, 1997 : 15).
Setelah bangunan masjid itu berdiri, volume kegiatan yang berlangsung di dalamnya
juga beragam. Ada yang mampu mengintensifkan kegiatannya seharian penuh dengan
menyelenggarakan tingkat pendidikan rendah sampai tinggi. Sebaliknya, tidak sedikit
jumlah masjid yang pembangunannya diusahakan dengan susah payah justru sepi dan
kegiatan (syiar). Banyak dijumpai di sana-sini masjid berfungsi hanya satu minggu
sekali, hanya untuk shalat jumat saja.
Pada zaman dahulu, mereka yang membangun masjid mulai dari pengurusannya sampai
tukangnya adalah para iltizam, yaitu pribadi-pribadi yang mempunyai komitmen dengan
Islam. Kini menghimpun dan mengumpulkan sejumlah manusia bertaqwa semacam itu
merupakan pekerjaan sulit. Maka kompromi dengan kondisi dan situasi objektif dengan
zaman mesti diambil. Dalam perkembangannya, sebagaimana yang terjadi saat ini, bahwa
terkadang panitia pembangunan masjid begitu antusias aktif di masjid ketika proses
berlangsungnya pembangunan masjid,karena memang itu menjadi resiko yang logis.
Namun, begitu masjid telah berdiri, seakan tanggung jawabnya juga selesai dan mereka
hanya sesekali mengunjungi masjid. Ironisnya, hal-hal seperti itupun makin menjadi
pemandangan biasa, sebagai “Proyek" si pemborong yang terbiasa berfikir dalam
perhitungan benefit menggunakan para pekerja. Mereka bekerja keras membangun
masjid bahkan tinggal di masjid, tetapi tidak pernah melaksanakan shalat. Bagi mereka
tidak ada bedanya antara kerja membangun gedung biasa dengan mendirikan
masjid.Belum pernah adapihak yang memberlakukan sanksi bagi para pekerja di masjid
yang tidak shalat. Mungkin saja ada yang menasehati mereka tetapi tidak sampai pada
tindakan pemecatan. Padahal, tidak sedikit pemborong bangunan yang berpredikat haji
(Muhammad, E. Ayyub,1997 : 15).
Jika dilihat dari fungsinya, seharusnya setelah masjid itu berdiri dalam rangka
membangun mentalitas dan peradaban umat. Dengan demikian, secara teoritis mestinya
terdapat hubungan timbal balik yang saling memaknai antara keduanya. Kalau pada
mulanya “umat membangun masjid” sekarang saatnya “masjid yang membangun umat”.
Keterikatan semacam ini, khususnya di desa-desa belum terlihat. Karena itu perlu dikaji
kembali fungsi masjid yang sesungguhnya sebagaimana fungsi masjid di zaman
Rasulullah, yakni “masjid didirikan atas dasar taqwa”, sehingga masjid berfungsi yang
sesungguhnya dan berlaku secara permanen sepanjang waktu.
Rasulullah memakmurkan masjid sebagai tempat pembinaan Umat. Benang merah
kemakmuran masjid dirangkai dari pembinaan yang intensif. Pada zaman Nabi, masjid
senantiasa padat dengan kegiatan syi‟arnya, terutama shalat berjama'ah, sehingga masjid
tidak pernah sepi dari kegiatan ubudiyah untuk meningkatkan taqwa. Keadaannya
berbeda dengan zaman ini, wujud/fisik masjid begitu megah, namun sepi dari kegiatan
syi'ar Islam, hal ini merupakan penyimpangan fungsi yang sesungguhnya.
Ketidakberdayaan masjid sebagai media pembinaan umat terlihat dengan jelas, terutama
di masjid-masjid perkampungan. Suara adzan pun terkadang jarang dikumandangkan
setiap awal waktu shalat, apalagi waktu subuh Begitu pula di kota-kota, banyak masjid
yang berdiri megah, indah, tempatnya strategis namun jama'ahnya hanya beberapa orang
saja, lebihlebih pada waktu shalat subuh.

KESIMPULAN
Dari uraian yang telah dipaparkan di atas, bermula dari sejarah kepemimpinan masjid,
peranan dan fungsi kelembagaan masjid. Penulis mencoba menarik benang merah dari
karakteristik kepemimpinan berbasis masjid. Bahwa seorang pemimpin hendaklah
memiliki beberapa kariteria yang perlu ditanamkan, antara lain sebagai berikut: 1)
Kepemimpinan berbasis masjid dapat melahirkan pemimpin yang baik, yaitu pemimpin
yang berorientasi pada pembinaan umat, sehingga dapat melahirkan pribadi-pribadi yang
bertaqwa, mampu mengarahkan dan menghantarkan bawahan (generasi) untuk mencapai
cita-citanya, yakni membentuk pribadi-pribadi yang beriman dan bermaslahat bagi
dirinya, keluarganya, masyarakat dan agamanya. Untuk itulah, nilai-nilai luhur
kepemimpinan yang diajarkan Islam hanya dapat dilaksanakan secara maksimal jika
pelakunya seorang mukmin. Karena seorang mukmin akan menyadari bahwa kebaikan
yang dilakukannya akan mendapat pahala, sedangkan keburukan yang diperbuat akan
berakibat datangnya azab; 2) Keahlian yang teruji dipadu dengan integritas pribadi yang
terpuji membuat seorang pemimpin mudah diterima oleh masyarakat. Tegasnya seorang
pemimpin harus memiliki kemampuan dan keahlian (kapabilitas), ini merupakan syarat
mutlak dalam meletakan amanah di pundak seseorang. Seperti disebutkan dalam teori
manajemen, ”The right man on the right place" (orang yang tepat di tempat yang benar).
Rusaknya sebuah sistem organisasi, banyak diakibatkan oleh penempatan tugas dan
amanah secara asal-asalan, yang seringkali dilatari oleh kepentingan dan subyektifitas; 3)
Pemimpin yang baik senantiasa mengupayakan terwujudnya kemaslahatan umat. Aspek
inilah yang banyak diabaikan oleh pemimpin mat saat ini Orientasi kepemimpinan yang
semestinya ditujukan kepada kemaslahatan umat berubah ke arah kepentingan dan
kekuasaan. Padahal Rasulullah Shallallahu „alaihi wasallamsudah memberi peringatan
keras, “Siapa yang memimpin dan ia tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka
ia tidak termasuk dalam golongan mereka”. (HR Bukhari dan Muslim). Selain itu,
seorang pemimpin hendaknya tidak arogan, tidak otoriter tetapi bersedia menerima
koreksi. Pemimpin yang baik juga memiliki karakter bersahaja dan bijaksana; 4)
Pemimpin yang ideal adalah yang berkualitas, baik dari segi fisik, mental dan intelektual.
Kematangan dalam segi-segi ini sangat membantu seorang pemimpin dalam
melaksanakan tugas. Pengetahuan dan wawasan yang luas, kunci dalam memecahkan
berbagai persoalan yang menghadang atau melakukan terobosan-terobosan penting bagi
keberhasilan tugas seorang pemimpin. Islam sangat menganjurkan kepada setiap muslim
untuk memiliki tiga jenis kekuatan ini, yaitu;bahwa mukmin yang kuat dan baik lebih
dicintai oleh Allah SWT dari pada mukmin yang lemah, masing-masing mempunyai
kebaikan.
Dalam kenyataannya, kepemimpinan seseorang memang tak bisa membuat semua
orang lega. Walaupun demikian, seorang pemimpin yang memiliki program yang benar
dan sudah dimusyawarahkan dengan penasehat-penasehat yang berpengalaman, tak boleh
mundur dan patah semangat. Tentu saja, ia juga harus memiiiki tim kerja yang solid dan
mumpuni, yang sanggup menerjemahkan visi menjadi bukti, tidak sekedar mengumbar
harapan palsu, janji tanpa bukti, atau hanya pintar berkarya dengan kata tanpa berkarya
dengan nyata.
Mudah-mudahan pada setiap pribadi pemimpin di negeri ini, baik pemimpin agama
terlebih pemimpin bangsa dan negara benar-benar terdapat potensi seperti yang
diidamkan oleh seluruh rakyat negeri tercinta ini sebagaimana karakteristik pemimpin
berbasis masjid serta berkomitmen dalam mewujudkan visi dan misinya, dalam upaya
membawa seluruh rakyatnya pada peningkatan kelayakan hidup yang lebih sejahtera,
damai, adil, dan makmur serta berwibawa dalam kancah pergaulan internasional.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an dan Terjemahnya, Madinah Al-Munawarah, KSA: Komp. Percetakan Al-Qur‟an al-
Karim Raja Fahd, 1419 H.
Al-Hadits. Shahih Bukhari Muslim, Tt .
Abu Faris, Muhammad Abdul Qodir, Menelusuri Jejak Hijrah Nabi (Terj.) Nurqosim, Jakarta:
Pustaka Qalami, 2004.
Al-Abrasy, Muhammad Atiyah, Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1970. __________Ruh Al-Tarbiyah Wa Al-Ta'lim, Saudi Arabia: Tt. X.
Asrohah, Hanun, Sejarah Pendidikan di Indonesia, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001, Cet. II.
An-Nahlawi, Abdurrahman, Ushul Al-Tarbiyah al-Islam wa Asaalibuha. Beirut: Darul Fikr,
1979. __________Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah dan Masyarakat, (Terj.) Jakarta: Gema
Insani Press, 1995.
Departemen Agama RI, Ilmu Pendidikan, Jakarta; Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama
Islam, 1997.
E. Ayub, Muhammad, dkk, Manajemen Masjid, Jakarta: Gema Insani Press. 1996.
Farid, Miftah, Masjid, Bandung: Pustaka,1995, Cet-II.
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995.
Langgulung, Hasan, Asas-Asas Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka AlHusna, 1988.
Mursi, Muhammad Munir, Al-Tarbiyah Al-Islamiyah, Qatar: Muntaqah Darul Ma'arif, Tt
Raqith, Hamad Hasan, Mas'uliyatud Da'wah Ilallah, (terj.). Ibnu Burdah: Meraih Sukses
Perjuangan Da'i, Yogyakarta : Mitra Pustaka, 2001.
Siswanto, Panduan Praktis Organisasi Remaja Masjid, Jakarta: Pustaka AlKautsar, 2005.

You might also like