Analisis Wacana Kritis Sara Mills Di Media Daring RRI Samarinda

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 12

Terakreditasi Sinta 3 | Volume 5 | Nomor 1 | Tahun 2022 | Halaman 1—12

P-ISSN 2615-725X | E-ISSN 2615-8655


http://diglosiaunmul.com/index.php/diglosia/article/view/313

Narasi Korban Perkosaan pada Pemberitaan di Media Daring


RRI Samarinda: Analisis Wacana Kritis Model Sara Mills
The narrative of rape victims in online news RRI Samarinda: Critical discourse analysis
Sara Mills model

Nina Queena Hadi Putri1, Firstya Evi Dianastiti2,*, dan Sumarlam3


1Universitas Mulawarman, Jalan Kuaro, Gn. Kelua, Kec. Samarinda Ulu, Kota Samarinda, Kalimantan Timur, Indonesia
Email: [email protected]; Orcid: https://orcid.org/0000-0001-6907-6044
2,*Universitas Tidar, Jalan Kapten Suparman No. 39, Kec. Magelang Utara, Kota Magelang, Jawa Tengah, Indonesia

Email: [email protected]; Orcid: https://orcid.org/0000-0003-2395-175X


3Universitas Sebelas Maret, Jalan Ir. Sutami No.36, Kentingan, Kec. Jebres, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia

Email: [email protected]; Orcid: https://orcid.org/0000-0001-9370-0425

ARTICLE HISTORY ABSTRACT


Received 15 October 2021 Cases of violence against children in the East Kalimantan region have reached
Accepted 01 December 2021 1,386 complaints since 2019. Through critical discourse, it can be seen how the
Published 1 February 2022 language of the media conveys information to readers through the emphasis on
actors positioned in the text. This qualitative descriptive research emphasizes
documentary analysis by reviewing published written sources, namely the news
KEYWORDS entitled “Kisah Pilu Korban Pemerkosaan Dipaksa Menikah dengan Pelaku”.
rape victims, mass media, Based on the discourse strategy used by the author, it can be seen that this
critical discourse analysis, Sara “heartbreaking story of a rape victim” becomes the object of the story. It is
Mills. evidenced by the use of markers such as a child, sexual violence, forced
marriage, rape, exacerbating trauma, and the victim getting worse. The news is
presented based on events that emerged because of the description of other
KATA KUNCI actors as the storyteller's subject, not based on the victim's information about
perkosaan, media massa, what he experienced. The news text reveals a picture of the position of the
analisis wacana kritis, Sara subject and the object of the story so that it can determine the way the text is
Mills. presented to the reader. The news text contains a gender bias because the
incident is not told from the perspective of women as victims.

ABSTRAK
Kasus kekerasan terhadap anak di wilayah Kalimantan timur mencapai 1.386
aduan sejak tahun 2019. Melalui wacana kritis dapat diketahui bagaimana
bahasa media dalam menyampaikan informasi kepada pembaca melalui
penekanan aktor yang diposisikan dalam teks. Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif kualitatif yang menekankan pada analisis dokumentasi
dengan mengkaji sumber tertulis yang dipublikasikan, yaitu berita yang berjudul
Kisah Pilu Korban Pemerkosaan Dipaksa Menikah dengan Pelaku. Berdasarkan
strategi wacana yang digunakan oleh penulis terlihat bahwa “kisah pilu korban
pemerkosaan” ini menjadi objek penceritaan. Hal ini terbukti dengan
penggunaan pemarkah seperti seorang bocah, kekerasan seksual, dipaksa
menikah, pemerkosaan, memperparah trauma, dan korban kian terpuruk. Berita
tersebut dipaparkan berdasarkan peristiwa yang terjadi yang muncul karena
uraian dari aktor lain sebagai subjek pencerita, bukan berdasarkan keterangan
korban atas apa yang dialaminya. Teks berita tersebut mengungkapkan
gambaran mengenai posisi subjek dan objek penceritaan sehingga dapat
menentukan cara teks tersebut hadir kepada pembaca. Teks berita tersebut
mengandung bias gender karena peristiwa tersebut tidak diceritakan dalam
pandangan perempuan sebagai korban.

To cite this article:


Putri, N. Q. H., Dianastiti, F. E., & Sumarlam, S. (2022). Narasi Korban Perkosaan pada Pemberitaan di Media Daring
RRI Samarinda: Analisis Wacana Kritis Model Sara Mills. Diglosia: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya,
5(1), 1—12. https://doi.org/10.30872/diglosia.v5i1.313

Diglosia: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya is licensed under a Creative Commons
Attribution-Share Alike 4.0 International License.
N. Q. H. Putri, F. E. Dianastiti, & Sumarlam

A. Pendahuluan

Dewasa ini, peran teknologi sangat besar dalam penyebaran dan pencarian
informasi. Pemberitaan dalam media massa dalam jaringan (online) menjadi
salah satu media informasi yang dipilih oleh masyarakat karena dapat diakses
dengan mudah tanpa terhalang ruang dan waktu. Namun, disadari maupun
tidak, pada dasarnya bahasa pada suatu wacana di surat kabar tidaklah netral,
tetapi memiliki hubungan khusus dengan kelompok atau kekuatan yang
dominan.
Selain itu, surat kabar juga menjadi representasi simbolis dan nilai
masyarakat telah membentuk stereotip yang sering melakukan pemarginalan,
merugikan pihak tertentu dengan citra yang negatif dan memosisikan pihak lain
dengan citra yang positif, pemarginalan tersebut dilakukan dengan bagaimana
suatu aktor ditekankan dalam teks. Pemosisian tersebut berdasarkan pen-
subjek-an di satu pihak sebagai penafsir dan objek sebagai pihak yang
ditafsirkan (Badara, 2014). Posisi wartawan dan media dalam keseluruhan
struktur sosial dan kekuatan sosial yang ada dalam teks akan dikaji
berdasarkan paradigma kritis (Eriyanto, 2015).
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana posisi
perempuan ditampilkan dalam teks dengan objek penelitian berupa berita di
media massa RRI Samarinda yang dimuat secara daring dengan judul Kisah
Pilu Korban Pemerkosaan Dipaksa Menikah dengan Pelaku menggunakan teori
analisis wacana kritis dengan pendekatan Kajian Sara Mills sehingga dapat
mengungkapkan bagaimana bahasa media dalam menyampaikan informasi
kepada pembaca melalui penekanan aktor yang diposisikan dalam teks. Kajian
Sara Mills dipilih karena dapat menghubungkan antara teks dengan penulis dan
teks dengan pembaca, sehingga dapat lebih kompleks dalam memahami suatu
teks yang tidak hanya berkaitan pada produksi tetapi juga resepsi, kemudian
menempatkan pembaca sebagai bagian yang penting karena teks merupakan
bagian suatu media untuk berkomunikasi kepada khalayak dengan segala
ragam kata sapaannya (Badara, 2014).
Selain itu, kajian Mills lebih memusatkan pada gender dan pemosisian
pembaca sebab laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan persepsi dalam
membaca suatu teks dan menempatkan posisi dirinya dalam teks. Selain itu,
Mills juga menyatakan bahwa gerakan perempuan itu penting bagi banyak
perempuan dalam memetakan peran diskursif baru baik untuk laki-laki dan
wanita. The Women’s Movement has been important for many women in
mapping out new discursive roles both for men and women. These roles are
strongly contested by media representations and by the representations which
are constructed through people’s interactions with stereotypes of all kinds. But
this type of critical knowledge has fundamentally changed and represented
what it means to exist as a gendered subject (Mills, 2001). Peran analisis
wacana kritis dalam sebuah media adalah tentang bagaimana
mengembangkan fakta yang ada di lapangan dengan menganalisisnya ke
dalam praktik sosial yang berkembang di masyarakat (Novianty & Burhanudin,
2020).

2 Diglosia: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya


Volume 5 Nomor 1 (2022)
Narasi Korban Perkosaan pada Pemberitaan di Media Daring RRI Samarinda:
Analisis Wacana Kritis Model Sara Mills

Eriyanto (2015) menyatakan bahwa dengan menggunakan analisis wacana


kritis Sara Mills, peneliti menelaah bagaimana perempuan ditampilkan dalam
teks berita dengan menunjukkan bagaimana teks bias dalam menampilkan
wanita, memaparkan bagaimana perempuan digambarkan, dan bagaimana
bentuk yang dilakukan. Selain itu, peneliti akan menguraikan teks-teks yang
menyudutkan pihak perempuan dengan menjabarkan bagaimana aktor tersebut
dimunculkan dalam teks dengan menguraikan posisi subjek dan objek
penceritaan serta pembaca dan penulis. Melalui analisis wacana, teks pada
media memberikan pandangan secara menyeluruh pada berita yang bukan
hanya pada proses produksi, tetapi juga struktur sosialnya (Eriyanto, 2015).
Dalam surat kabar, bahasa dapat memberikan citra pada realitas media
maupun khalayak (Badara, 2014).
Artikel ini difokuskan pada wacana feminisme yang menjelaskan
bagaimana posisi perempuan ditampilkan dalam teks. Hal ini dilakukan karena
banyaknya berita dengan menekankan pada perempuan sebagai objek
penceritaan (Sobari & Faridah, 2012). Ketertindasan yang dialami oleh kaum
perempuan dianggap sebagai dampak dari mengakarnya sistem patriarki di
tubuh masyarakat (Lesmana et al., 2021). Dibandingkan dengan laki-laki,
perempuan acapkali ditampilkan sebagai sosok yang lemah dan dimarginalkan.
Citra buruk yang ditampilkan secara tidak adil inilah yang menjadi perhatian
utama dalam penulisan artikel ini. Mintarsih (2019) dalam penelitiannya Media
Coverage of a Shelter for Abandoned Children in Indonesia: A Feminist Critical
Discourse Analysis of the Representation of Female Migrant Workers
menyimpulkan bahwa media seringkali tidak memiliki perspektif gender ketika
memberitakan perihal tenaga kerja wanita terlebih yang merupakan TKI luar
negeri. Hasil penelitian tersebut menjadi salah satu acuan yang digunakan
dalam menganalisis data dalam penelitian ini dikarenakan memiliki dasar teori
dan metode penelitian yang sama, yaitu analisis wacana kritis yang berfokus
pada gender.

B. Metode

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang menekankan


pada analisis dokumentasi dengan mengkaji sumber tertulis dengan objek
penelitian berupa berita yang berjudul Kisah Pilu Korban Pemerkosaan Dipaksa
Menikah dengan Pelaku. Berita tersebut dimuat secara daring (online) dalam
laman rri.co.id 1 . Berita tersebut dirilis pada tanggal 23 Juni 2021 Analisis
terhadap pemberitaan tersebut dipilih karena adanya tokoh perempuan sebagai
korban perkosaan berusia 13 tahun dalam pemberitaan yang merupakan
bagian dari objek kajian Sara Mills dengan berbasis gender. Analisis wacana
kritis Sara Mills memiliki beberapa fokus analisis, yaitu: (a) posisi subjek-objek,
(b) posisi pembaca (pendengar), dan (c) posisi media.
Pengumpulan data dilakukan dengan membaca secara intensif, mencatat
hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian, dan melakukan studi pustaka.
Analisis data dalam artikel ini dengan menggunakan analisis wacana kritis Sara
1https://rri.co.id/samarinda/sosbud/feature/1088585/kisah-pilu-korban-pemerkosaan-dipaksa-menikah-dengan-pelaku

Diglosia: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya 3


Volume 5 Nomor 1 (2022)
N. Q. H. Putri, F. E. Dianastiti, & Sumarlam

Mills, yang memusatkan bagaimana suatu teks menempatkan posisi subjek


objek maupun posisi pembaca. Data yang telah disusun secara sistematis
kemudian dianalisis dengan menggunakan teori analisis wacana kritis Sara
Mills berdasarkan posisi subjek objek maupun pembaca kemudian menjelaskan
bagaimana perempuan diinterpretasikan dalam berita tersebut dan posisi yang
menjelaskan siapa yang menjadi pencerita dalam teks.

C. Pembahasan

Isu gender pada perempuan sudah sejak lama muncul dari masyarakat
tradisional yang memberikan pandangan bahwa perempuan hanya berperan
sebagai ibu rumah tangga dengan pergerakan yang hanya terbatas pada
kehidupan sosial di sekitar rumah dan keluarga. Pandangan tersebutlah yang
menyebabkan perempuan dianggap tidak memiliki kelayakan sebagai seorang
pemimpin (Sobari & Faridah, 2012). Stereotip ini tidak hanya terjadi di
Indonesia saja, tetapi berdasarkah hasil penelitian hal ini telah menjadi
anggapan yang dianggap normal secara global. Hal ini diperkuat dengan
pernyataan (Kiprotich & Chang ’orok, 2015) yang menyatakan bahwa stereotip
gender juga terjadi karena diperkuat oleh fitur budaya dan sosial ekonomi.
Perempuan dipandang sebagai jenis kelamin yang lebih lemah, mudah
didominasi oleh laki-laki maskulin yang kuat secara fisik, terkendali secara
emosional dan yang juga mampu menafkahi keluarga mereka.
Peran dan posisi pada perempuan dan laki-laki menyebabkan stereotip
gender kian terbentuk. Wanita dipandang sebagai jenis kelamin yang lebih
lemah, dengan mudah didominasi oleh laki-laki maskulin yang kuat secara fisik,
terkendali secara emosional dan juga mampu menyediakan untuk keluarga
mereka. Stereotip gender berada di sepanjang garis yang berbeda yang
ditentukan sebelumnya oleh ras, usia, kebangsaan, kelas sosial dan tingkat
pendidikan di antara faktor-faktor lainnya. Stereotip inilah yang menyebabkan
posisi perempuan pada media dieksploitasi secara negatif. Perempuan
dipandang sebagai pihak yang lemah dan tidak berdaya. Pandangan
masyarakat terhadap stereotip bahwa laki-laki menempati wilayah di sebelah
kiri dengan keidentikan aktif, beradab, rasional, dan cerdas sedangkan
perempuan berada di wilayah sebelah kanan dengan gambaran yang pasif,
emosional, dekat dengan alam, dan kurang cerdas. Hal inilah yang
menyebabkan perempuan dengan mudah dieksploitasi oleh media (Mills,
2001).
Selama stereotip terhadap perempuan seperti ini masih terus dipercaya
oleh masyarakat, maka ketidakadilan atau diskriminasi terhadap perempuan
terus saja ditampilkan oleh media walaupun sudah ada paham feminisme.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia menyampaikan bahwa segala bentuk ketidakadilan gender bermula
pada kesamaan sumber kekeliruan, yaitu mengenai stereotip gender pada laki-
laki dan perempuan ((Novianty dan Burhanudin, 2020:75). Bahkan pada
penelitian lain disebutkan bahwa salah satu film yang digemari dan ramah
anak, yaitu film-film produksi Disney juga turut menyumbangkan fondasi

4 Diglosia: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya


Volume 5 Nomor 1 (2022)
Narasi Korban Perkosaan pada Pemberitaan di Media Daring RRI Samarinda:
Analisis Wacana Kritis Model Sara Mills

terhadap pembangunan stereotip tersebut, “Most Disney films, especially the


ones produced in earlier years, depict traditional gender roles. Men are often
depicted as adventurous, physically strong, and brave, whereas women are
typically shown to be physically attractive, affectionate, and even troublesome
(Dawn et al., 2011).
Selain itu, persoalan kejahatan seksual dapat ditinjau sebagai akibat dari
relasi sosial, baik relasi antarlingkungan dengan masyarakat ataupun laki-laki
dengan perempuan. Praktik selama ini mengakibatkan kecenderungan
memandang suatu kejahatan seksual dalam bentuk “keinginan seksual” dan
akan berubah menjadi sudut pandang kejahatan seksual sebagai bentuk
“dominasi seksual”. Berawal dari perspektif seperti inilah, hukum apositif yang
mengatur tentang kejahatan seksual dapat dilihat. Dari kejadian tersebut
tentunya perempuan akan memikul akibat dari itu, apalagi sampai ia
mengandung di luar pernikahan. Hal tersebut menunjukkan bagaimana
rendahnya penghargaan laki-laki kepada perempuan dengan memosisikan
perempuan hanya sebagai objek pemuas kebutuhan biologis (Novianty &
Burhanudin, 2020).
Diskriminasi dan hambatan kemajuan pada kaum perempuan disebabkan
adanya kekerasan pada perempuan (pasal 2) yang mencakup (a) kekerasan
secara fisik, maupun seksual, dan psikologis yang terjadi di dalam keluarga.
Pemukulan, penyalahgunaan seksual terhadap anak dan perempuan dalam
lingkup rumah tangga, kekerasan yang berkaitan dengan perkosaan dalam
ikatan perkawinan, perusakan atau penganiayaan pada alat kelamin
perempuan dan kekejaman lain seperti kekerasan di luar hubungan suami istri
dan kekerasan yang berkaitan dengan eksploitasi. (b) kekerasan secara fisik,
seksual, psikologis pada masyarakat luas yaitu pelecehan, pemerkosaan,
penyalahgunaan seksual, maupun ancaman seksual yang terjadi di lingkungan
kerja, Lembaga Pendidikan, dsb. Termasuk juga kekerasan yang berkaitan
dengan perdagangan perempuan maupun pelacuran paksa. (c) kekerasan
secara fisik, maupun seksual, dan psikologis yang dibenarkan oleh negara di
lokasi mana pun (Novianty & Burhanudin, 2020).
Sumber pemberitaan dengan menitikberatkan kekerasan pada perempuan
di media masa dapat dianalisis dengan menggunakan analisis wacana kritis
Sara Mills yang menekankan pada feminisme untuk menunjukkan bagaimana
Wanita ditampilkan secara bias dalam teks. Perbedaan gagasan dari Sara Mills
berbeda dengan model critical linguistic yang hanya memusatkan perhatian
pada struktur kebahasaan dan bagaimana pengaruhnya dalam pemaknaan
khalayak. Metode ini hanya meninjau struktur kebahasaan tanpa melihat
bagaimana tokoh dalam pemberitaan tersebut ditampilkan, apakah ia memiliki
ruang yang sama untuk berpendapat atau hanya meninjau dari satu sisi sudut
pandang saja. Sedangkan Sara Mills (dalam Eriyanto, 2015)lebih memusatkan
bagaimana peran pelaku, pembaca, dan penulis ditampilkan dalam teks. Gaya
pemaparan dan peran yang diposisikan dalam teks akan membentuk pihak
yang mengarah pada posisi legitimasi dan sebaliknya. Pemosisian seseorang
sebagai penafsir dan posisi yang ditafsirkan akan menunjukkan bagaimana
aktor tersebut diposisikan dalam teks. Peran teks dalam memosisikan subjek

Diglosia: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya 5


Volume 5 Nomor 1 (2022)
N. Q. H. Putri, F. E. Dianastiti, & Sumarlam

dan objek akan memiliki dampak terhadap peran pembaca dalam teks yang
pada hakikatnya merupakan hasil negosiasi yang dilakukan oleh pembaca dan
penulis (Sobari & Faridah, 2012).
Eriyanto (2015) mengemukakan bahwa model Sara Mills dalam
menganalisis wacana pemberitaan lebih menekankan pada posisi perempuan
yang digambarkan dalam teks. Tingkat posisi subjek-objek lebih mengarah
pada bagaimana peristiwa tersebut dilihat, dari persepsi sudut pandang siapa
peristiwa itu diuraikan. Siapa tokoh yang mendapat posisikan sebagai pencerita
(subjek) dan siapa diposisikan sebagai objek yang diceritakan. Apakah setiap
aktor dan kelompok sosial memiliki kesempatan untuk menampilkan dirinya,
sudut pandangnya, atau kehadiran dan sudut pandangnya ditampilkan melalui
kelompok lain. Posisi penulis-pembaca menjelaskan bagaimana posisi tersebut
diceritakan pada teks. Peran pembaca dalam memosisikan dirinya pada teks
yang ditampilkan dan lebih condong pada kelompok apakah pembaca dalam
mengidentifikasi dirinya.
Aktor yang menjadi objek korban pemerkosaan pada pemberitaan, yaitu
anak perempuan berusia 13 tahun. Konteks berita terjadi di dalam rumah
tangga. Berdasarkan strategi wacana yang digunakan oleh penulis terlihat
bahwa “kisah pilu korban pemerkosaan” ini menjadi objek penceritaan, hal ini
terbukti dengan penggunaan pemarkah seperti seorang bocah, kekerasan
seksual, dipaksa menikah, pemerkosaan, memperparah trauma, dan korban
kian terpuruk. Berawal dari pemilihan judul dengan verba pasif “Kisah Pilu
Korban Pemerkosaan Dipaksa Menikah dengan Pelaku”, wartawan
merepresentasikan menonjolkan posisi korban perempuan sebagai sosok yang
tidak berdaya. Diksi “dipaksa” bermakna suatu keadaan yang mendorong ke
posisi atau keadaan tertentu dengan menggunakan kekuatan fisik maupun
psikis. Eksploitasi perempuan dalam judul tampil dengan frasa “kisah pilu”,
sebab diketahui bahwa pembaca berita dan pada umumnya masyarakat lebih
tertarik membaca atau menyimak hal-hal yang menimbulkan simpati. Lebih
lanjut, representasi kelemahan perempuan yang ditampilkan dalam teks berita
terdapat dalam data-data sebagai berikut.

(1) Korban pemerkosaan dipaksa untuk menikah dengan pelaku atau sang predator. Hal
inilah yang terjadi di Kalimantan Timur tepatnya di Kabupaten Kutai Kartanegara di
mana seorang bocah 13 tahun harus mengalami tindak kekerasan seksual hingga
pemerkosaan yang dilakukan oleh Ayah tiri. Naasnya setelah 7 tahun perilaku tak
bermoral ini baru diketahui oleh sang ibu, itu pun karena sang anak hamil 5 bulan.
Sang ibu kandung tak menyangka, suami yang ia cintai dan ia layani sepenuh hati,
tega melakukan tindakan keji tersebut kepada anak perempuannya. Mirisnya, sang
anak sebutlah Dahlia akhirnya dipaksa menikah dengan ayah tirinya untuk menutupi
malu yang membuat mereka hidup bertiga sebagai keluarga namun tak lagi sebagai
ayah, ibu, dan anak melainkan Suami dan dua istri.

Terungkapnya perbuatan asusila yang ternyata sudah terjadi selama tujuh


tahun, itu pun karena sang anak sudah hamil lima bulan. Seolah memberikan
gambaran bahwa korban tidak melakukan hal apa pun hingga perilaku
pemerkosaan tersebut terjadi selama tujuh tahun, seolah korban menerima,
menjalani, bahkan menikmati keadaan tersebut. Kasus yang terjadi di dalam

6 Diglosia: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya


Volume 5 Nomor 1 (2022)
Narasi Korban Perkosaan pada Pemberitaan di Media Daring RRI Samarinda:
Analisis Wacana Kritis Model Sara Mills

rumah tersebut seolah menyatakan bahwa korban tidak melakukan kegiatan


perlawanan apa pun, seperti mencoba kabur saat pelaku bekerja atau tidak
berdaya seperti saat mandi, tidur, dan sebagainya. Selama tujuh tahun seolah
korban tidak meminta pertolongan kepada siapa pun, baik kepada tetangga,
kepada ibu kandungnya sendiri, maupun melapor kepada pihak yang berwajib.
Pada berita tersebut penulis, yang dalam hal ini adalah seorang wartawan,
tidak saja memosisikan korban sebagai perempuan yang lemah, tetapi sang ibu
korban juga turut diberitakan dengan menggunakan perspektif gender yang
menyatakan pria lebih berkuasa dan maskulin. Wartawan menggunakan pilihan
klausa “ia layani sepenuh hati” pada kalimat “Sang ibu kandung tak
menyangka, suami yang ia cintai dan ia layani sepenuh hati, tega melakukan
tindakan keji tersebut kepada anak perempuannya”. Pemilihan diksi “layani”
mengacu pada infeoritas suami yang disebutkan di awal kalimat sebagai
subjek. Pilihan kata dalam konteks pemberitaan tersebut semakin menegaskan
definisi teori dominasi sebagai mereka yang berfokus pada 'cara laki-laki
memiliki kekuasaan atas perempuan'. Pandangan tentang gender ini
menunjukkan bahwa perempuan tidak berdaya sedangkan laki-laki yang
berkuasa (Angjaya, 2021).
Kedudukan objek sebagai korban menjadi semakin lemah yang ternyata
aktor perempuan lain yang memiliki tingkat kekuasaan lebih tinggi yaitu ibu
kandung juga tidak berpihak kepadanya. Aktor ibu digambarkan memiliki peran
inferior yang tidak memberikan pengaruh positif apa pun dalam keselamatan
sang anak dari tindak asusila yang dilakukan oleh suaminya sendiri sehingga
bisa hidup bertiga dengan tidak lagi sebagai ayah, ibu, dan anak. Namun,
sebagai suami dan dua istri. Hal ini sejalan dengan yang dinyatakan oleh
Purwanti & Zalianti (2018) bahwa kekerasan seksual dapat terjadi bukan hanya
di ruang publik, tetapi juga dapat terjadi di ruang domestik dengan korban yang
dianggap lemah, yaitu perempuan dan anak-anak. Hal ini terjadi karena anak-
anak masih memiliki tingkat ketergantungan yang besar kepada orang dewasa
sehingga rentan mendapat kekerasan seksual yang dilakukan oleh orang
dewasa.
Subjektivitas gender yang dilakukan oleh penulis yaitu wartawan dilakukan
dengan pilihan kalimat “Mirisnya, sang anak sebutlah Dahlia akhirnya dipaksa
menikah dengan ayah tirinya untuk menutupi malu”. Penggunaan kalimat pasif
dengan verba “dipaksa” merepresentasikan posisi korban sebagai perempuan
yang menjadi objek yang semakin tersudut ketika mendapatkan kekerasan
seksual yaitu dipaksa menikah dengan ayah tiri yang memperkosanya untuk
menutupi malu dikarenakan mengandung lima bulan. Penggunaan klausa aktif
“untuk menutupi malu” merepresentasikan bahwa Dahlia (korban) yang justru
menjadi pihak yang berjuang untuk mengatasi permasalahannya sendiri.
Perspektif tersebut semakin merendahkan kaum perempuan seolah perempuan
menjadi tumpuan kesalahan atas kehamilan akibat dari perbuatan
pemerkosaan sehingga ia harus bertanggung jawab dengan menurut untuk
dinikahi. Ambiguitas informasi juga terdapat dalam kalimat tersebut dikarenakan
dalam teks tersebut wartawan tidak menjelaskan korban dipaksa menikah oleh
siapa, apakah paksaan murni dari ibu kandung, ayah tiri, atau ibu kandung atas

Diglosia: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya 7


Volume 5 Nomor 1 (2022)
N. Q. H. Putri, F. E. Dianastiti, & Sumarlam

ancaman ayah tiri. Namun, berdasarkan kutipan teks tersebut dapat membuat
pembaca berasumsi bahwa korban menikah dengan ayah tiri berdasarkan
paksaan dari ibu kandung untuk menutupi malu setelah mengetahui bahwa
korban sudah diperkosa selama tujuh tahun dan mengandung lima bulan.
Sosok anak yang lemah karena masih bergantung kepada orang dewasa
mengakibatkan anak-anak tidak memiliki kekuatan dan keberdayaan dari
ancaman untuk tidak menceritakan apa yang dialaminya kepada siapa pun.
Kebanyakan kasus yang terjadi pada kekerasan seksual anak terungkap bahwa
pelaku tindak kejahatan tersebut adalah orang dekat korban maupun yang
memiliki dominasi tinggi, misalnya orang tua dan guru. Siapa pun dapat menjadi
pelaku kekeran seksual terhadap anak. Pelaku akan menggunakan tipu daya,
ancaman, tindakan kekerasan kepada anak sehingga anak tidak dapat
melakukan perlawanan. Kekerasan seksual pada anak merupakan segala
bentuk aktivitas seksual yang melibatkan anak sebelum mencapai Batasan
umur tertentu berdasarkan usia yang telah ditetapkan oleh negara dan
dilakukan oleh orang yang lebih tua darinya untuk kesenangan maupun
aktivitas seksual (CASAT Programme, Child Development Institute; Boyscouts
of America; Komnas PA:14)
Tentu saja jika pernyataan dalam berita tersebut memang bersumber dari
aktor subjek sebagai ibu, maka posisi perempuan yang memiliki peran sebagai
ibu korban akan dipertanyakan bagaimana pemikiran dan naluri keibuannya.
Apakah ia jujur dalam menyampaikan sudut pandangnya atau terpaksa ia
lakukan agar selamat dari ancaman suami. Kasus pemerkosaan pada
perempuan merupakan salah satu contoh bagaimana rendahnya posisi
perempuan dalam kepentingan seksual laki-laki. Perempuan yang menjadi citra
sebagai objek seksual laki-laki berakibat pada kehidupan sehari hari
perempuan yang identik dengan mendapatkan kekerasan, perlakuan paksa,
dan perbuatan penyiksaan baik secara fisik maupun psikologis sehingga
menjadi daya tarik media massa dalam memusatkan wanita sebagai
pemberitaan Kedudukan wanita sebagai korban merupakan akibat dari citra
perempuan yang selalu tunduk terhadap laki-laki dan tidak memiliki kekuatan
dalam melampaui kekuasaan laki-laki sehingga perempuan dalam media
massa selalu diidentikkan dengan penggambaran yang tertindas (Novianty &
Burhanudin, 2020).
Dominasi laki-laki kepada perempuan secara tidak langsung diterima oleh
masyarakat dai generasi ke generasi. Indonesia merupakan salah satu negara
dengan hegemoni patriarki dengan posisi bapak yang memiliki kekuasaan
dalam keluarga (Dalem, 2013). Patriarki merupakan penggambaran sistem
sosial pada pihak laki-laki yang mengendalikan kekuasaan terhadap
perempuan. Laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan perempuan. Adanya perbedaan yang jelas antara peran laki-laki dan
perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya kehidupan dalam
keluarga. Laki-laki menjadi pemimpin dengan otoritas yang mencakup kontrol
pada sumber daya ekonomi dan pembagian dalam peran kerja di keluarga. Hal
ini yang menjadikan perempuan memiliki akses si sektor publik dengan akses

8 Diglosia: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya


Volume 5 Nomor 1 (2022)
Narasi Korban Perkosaan pada Pemberitaan di Media Daring RRI Samarinda:
Analisis Wacana Kritis Model Sara Mills

yang lebih terbatas dibandingkan dengan laki-laki (Dalem, 2013). Data


selanjutnya yaitu sebagai berikut.

(2) Melihat dan mendengar kejadian ini, Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan
Anak atau TRC PPA Provinsi Kalimantan Timur geram dan melakukan komunikasi
dengan korban, Ibu Kandung korban, keluarga korban hingga tokoh masyarakat
setempat, akhirnya disepakati kasus ini dibawa ke ranah hukum, karena menurut Rina
Zainun ketua TRC PPA Kaltim kasus ini adalah sebuah kejahatan yang harus
dilaporkan dan pelaku harus mendapat hukum yang setimpal. Saat ini kasus sedang
berproses di meja hijau dan korban telah melahirkan anak buah hasil pemerkosaan.

Rina menyayangkan kasus seperti ini terus terjadi, baik pemerkosaan oleh oknum
Ayah Tiri, Ayah Kandung hingga tindak pelecehan seksual di dalam rumah tangga.
Menurutnya, akibat seorang perempuan tidak bekerja, pasrah dan mengantungkan
diri kepada Suami sehingga siap menerima perilaku apa pun hingga sebuah dosa
besar yakni memperkosa anak kandungnya sendiri, oleh karena itu Rina mengajak
perempuan Kaltim untuk bekali diri dengan keterampilan atau tetap bekerja agar tidak
diperlakukan semena-mena oleh oknum suami.

Pada kutipan di atas, perlakuan yang dilakukan oleh aktor lain sebagai TRC
PPA Kaltim melakukan tindakan yang berpihak kepada korban dengan
memberikan hukuman kepada pelaku pemerkosaan, tetapi tidak menjelaskan
langkah apa yang dilakukan pascakasus tersebut apakah memberikan
perlindungan, penyembuhan secara psikologis, maupun perawatan kepada
korban dan anak yang telah dilahirkannya. Hal ini seolah memberikan kesan
kepada pembaca bahwa setelah pelaku dipenjara maka masalah tersebut telah
selesai dan korban yang menjadi objek cerita tersebut sudah tidak dipedulikan
lagi kondisinya. Hal ini yang akan membuat pembaca seolah korban kasus
pemerkosaan tidak memiliki dampak negatif dan perspektif tersebutlah yang
akan semakin melemahkan posisi perempuan. Hal ini senada dengan yang
dinyatakan oleh Mills (1991) bahwa penggambaran sebagai perempuan yang
lemah dan bergantung pada laki-laki untuk perlindungan.
Kekerasan seksual berakibat pada timbulnya dampak traumatis. Sebagian
besar kasus kekerasan seksual tidak terungkap karena adanya penyangkalan.
Kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak akan menjadi lebih sulit karena
anak-anak tidak menyadari bahwa dirinya telah menjadi korban kekerasan
seksual. Selain itu anak-anak memiliki ketakutan untuk melaporkan tindak
kekerasan seksual yang terjadi dan memiliki kesulitan dalam mempercayai
orang lain sehingga peristiwa kekerasan seksual yang terjadi hanya
dirahasiakan karena anak merasa bahwa kasus kekerasan tersebut hanya
membuat nama keluarga menjadi tercoreng. Akhirnya anak menjadi
powerlessness, yaitu adanya rasa tidak berdaya dan tersiksa pada korban pada
saat mengungkap kejadian pelecehan seksual tersebut (Noviana, 2015)

(3) Menurutnya, akibat seorang perempuan tidak bekerja, pasrah dan mengantungkan diri
kepada Suami sehingga siap menerima perilaku apa pun hingga sebuah dosa besar
yakni memperkosa anak kandungnya sendiri, oleh karena itu Rina mengajak
perempuan Kaltim untuk bekali diri dengan keterampilan atau tetap bekerja agar tidak
diperlakukan semena-mena oleh oknum suami.

Diglosia: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya 9


Volume 5 Nomor 1 (2022)
N. Q. H. Putri, F. E. Dianastiti, & Sumarlam

Realitas kondisi perempuan yang tidak bekerja seperti yang diungkapkan


oleh Rina dalam teks berita tersebut senada dengan yang dikatakan oleh
Sobari & Faridah (2012) bahwa secara umum masyarakat memandang pihak
lali-laki memiliki peran menjadi nakhoda dalam lingkungan keluarga dan peran
dalam pemberian nafkah.. Perempuan hanyalah sebagai pengurus rumah dan
pendidikan anak-anaknya. Pilihan frasa “siap menerima” merepresentasikan
perempuan sebagai korban yang seakan dianggap layak diperlakukan seperti
itu oleh pria. Selanjutnya, wartawan memosisikan seolah posisi perempuan
menjadi korban kekerasan seksual disebabkan karena kesalahan perempuan
yang tidak memiliki kemampuan dalam hal finansial bukan dari kesalahan pria
yang tidak mampu mengontrol pikiran kotor dan hasrat seksualnya. Hal ini
dapat memberikan kesan kepada pembaca tentang betapa rendahnya
penghargaan laki-laki terhadap perempuan, seolah perempuan hanya sebagai
objek pemuas nafsu dan memiliki posisi yang semakin lemah ketika ia tidak
berdaya secara finansial. Senda dengan hal tersebut Mills (2001)
mengungkapkan whereas a straight female might be interpreted as displaying
submissiveness to males, yaitu perempuan diinterpretasikan dengan
menunjukkan ketundukannya kepada laki-laki. Ketundukan ini terjadi karena
perempuan memiliki ketergantungan kepada laki-laki secara finansial.

(4) Dari ramainya polemik ini, Ustad Pink Al-Koetai mengingatkan bagi para perempuan
yang ingin menikah dan telah memiliki seorang anak perempuan untuk lebih berhati-
hati dalam mencari suami, selain itu Ustad Pink juga memberi saran ketika telah
menikah sebaiknya anak perempuan yang belia ini, hidup terpisah dari ayah tirinya,
bisa dengan menitipkannya kepada nenek atau kakeknya atau di sekolahkan di
asrama hingga pesantren agar terhindar dari hal-hal yang tidak diharapkan tersebut.

Ketidakberpihakan wartawan, atau narasumber, terhadap perempuan


direpresentasikan pula melalui kalimat “Ustad Pink Al-Koetai mengingatkan
bagi para perempuan yang ingin menikah dan telah memiliki seorang anak
perempuan untuk lebih berhati-hati dalam mencari suami”. Penggunaan verba
aktif “mengingatkan” yang ditujukan kepada para perempuan seolah
menegaskan bahwa dalam kasus ini yang salam adalah perempuan,
seharusnya perempuanlah yang diharapkan dapat memilih suami dengan baik,
hingga perempuanlah yang harus di tempatkan jauh dari laki-laki dewasa
meskipun itu ayahnya sendiri. Padahal, kalimat tersebut dapat diubah menjadi
sudut pandang lain agar pro gender, seperti misalnya menjadi mengingatkan
bagi para laki-laki untuk mampu bersikap dewasa dan berhati-hati dalam
mengendalikan hawa nafsu.
Perkosaan yang dialami korban mencitrakan bahwa perempuan menempati
posisi yang lemah dan tidak memiliki keberdayaan terhadap ancaman yang
mengintai dengan lebih memberikan saran atau mengingatkan kaum
perempuan agar lebih menyeleksi calon suami dan menjauhkan anak kepada
ayah tirinya. Berita tersebut mencitrakan seolah perempuan sebagai penyebab
sumber dari awal mula kasus pemerkosaan dengan adanya korban bersama
pelaku dalam satu atap. Ketimpangan ini tampak karena peringatan hanya

10 Diglosia: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya


Volume 5 Nomor 1 (2022)
Narasi Korban Perkosaan pada Pemberitaan di Media Daring RRI Samarinda:
Analisis Wacana Kritis Model Sara Mills

ditujukan kepada kaum perempuan tetapi tidak kepada kaum pria, seolah pria
tidak menjadi penyebab dalam terjadinya peristiwa tersebut.
Berita tersebut dipaparkan berdasarkan peristiwa yang terjadi yang muncul
karena uraian dari aktor lain sebagai subjek pencerita, bukan berdasarkan
keterangan korban atas apa yang dialaminya. Teks berita pada media tersebut
memberikan gambaran bagaimana posisi subjek dan objek penceritaan yang
ditampilkan dalam teks memberikan gambaran kepada pembaca. Pada teks
berita yang ditampilkan terdapat bias gender sebab peristiwa yang dijabarkan
tidak diceritakan melalui sudut pandang perempuan sebagai korban.

D. Penutup

Berdasarkan analisis teks dengan pendekatan analisis wacana kritis Sara


Mills disimpulkan bahwa pemberitaan Kisah Pilu Korban Pemerkosaan Dipaksa
Menikah dengan Pelaku yang terbit dalam media massa daring RRI Samarinda
berisi deskripsi uraian dari aktor lain sebagai subjek pencerita, bukan
berdasarkan keterangan korban atas apa yang dialaminya. Teks berita
tersebut memberikan gambaran terkait posisi subjek dan objek penceritaan dan
menentukan bagaimana teks hadir kepada pembaca. Teks berita yang
ditampilkan tersirat bias gender, karena peristiwa yang terjadi tidak
diungkapkan dalam sudut pandang perempuan sebagai korban.
Ketidakberpihakan wartawan pada posisi perempuan direpresentasikan melalui
penggunaan pemarkah seperti: seorang bocah, kekerasan seksual, dipaksa
menikah, pemerkosaan, memperparah trauma, siap menerima, korban kian
terpuruk, dan mengingatkan bagi para perempuan.

Daftar Pustaka

Angjaya, S. (2021). the Power of Bu Tejo and Dian? the Analysis of Feminist
Power Relation in the Film Tilik. Capture : Jurnal Seni Media Rekam, 12(2),
132–159. https://doi.org/10.33153/capture.v12i2.3613
Badara, A. (2014). Analisis Wacana: Teori, Metode, dan penerapannya pada
Wacana Media. Kencana.
Dalem, D. N. (2013). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Bias Gender
Penggunaan Kontrasepsi pada Pasangan Usia Subur di Desa Dawan Kaler
Kecamatan Dawan Klungkung. Piramida, 8(2), 93–102.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/piramida/article/view/7001
Dawn, E., Descrates, L., & Collier, M. A. (2011). Gender Role Portrayal and the
Disney Princesses. Sex Rolex, 64, 555–567.
https://link.springer.com/article/10.1007/s11199-011-9930-7
Eriyanto. (2015). Analisis Wacana. Yogyakarta: LKiS.
Kiprotich, A. J., & Chang ’orok, J. R. (2015). Gender Communication
Stereotypes: A Depiction of the Mass Media. IOSR Journal Of Humanities
And Social Science, 20(11), 69–77. https://doi.org/10.9790/0837-
201156977
Lesmana, I. B. G. A. S., Udasmoro, W., & Hayuningsih, A. A. C. (2021).

Diglosia: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya 11


Volume 5 Nomor 1 (2022)
N. Q. H. Putri, F. E. Dianastiti, & Sumarlam

Konstruksi dan Kontestasi Kuasa Perempuan pada Naskah Drama Les


Bonnes Karya Jean Genet. Diglosia: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan
Pengajarannya, 4(1), 65–78. https://doi.org/10.30872/diglosia.v4i1.124
Mills, S. (1991). Discours of Diferensi Discours of Diferensi. London: Routledge.
Mills, S. (2001). Discourse. London: Routledge.
Mintarsih, A. R. (2019). Media coverage of a shelter for abandoned children in
Indonesia: A feminist critical discourse analysis of the representation of
female migrant workers. Pertanika Journal of Social Sciences and
Humanities, 27(4), 2621–2634.
http://www.pertanika.upm.edu.my/pjssh/browse/regular-
issue?article=JSSH(S)-1094-20
Noviana, I. (2015). Kekerasan Seksual terhadap Anak: Dampak dan
Penanganannya. Sosio Informa, 1(1), 13–28.
https://doi.org/10.33007/inf.v1i1.87
Novianty, F., & Burhanudin, M. (2020). Bias Gender dalam Berita “Kasus Driver
Taksi Online Setubuhi Mahasiswi Asal Malang di Dalam Mobil” (Analisis
Wacana Kritis Sara Mills). Orasi, 11(1), 71–76.
http://dx.doi.org/10.24235/orasi.v11i1.6240
Purwanti, A., & Zalianti, M. (2018). Strategi Penyelesaian Tindak Kekerasan
Seksual Terhadap Perempuan san Anak Melalui RUU Kekerasan Seksual.
Masalah-Masalah Hukum, 47(2), 138.
https://doi.org/10.14710/mmh.47.2.2018.138-148
Sobari, T., & Faridah, L. (2012). Model Sara Mills dalam Analisis Wacana Peran
dan Relasi Gender. Semantik, 6(1), 88–99. http://e-
journal.stkipsiliwangi.ac.id/index.php/semantik/article/view/464/333

12 Diglosia: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya


Volume 5 Nomor 1 (2022)

You might also like