Analisis Wacana Kritis Sara Mills Di Media Daring RRI Samarinda
Analisis Wacana Kritis Sara Mills Di Media Daring RRI Samarinda
Analisis Wacana Kritis Sara Mills Di Media Daring RRI Samarinda
ABSTRAK
Kasus kekerasan terhadap anak di wilayah Kalimantan timur mencapai 1.386
aduan sejak tahun 2019. Melalui wacana kritis dapat diketahui bagaimana
bahasa media dalam menyampaikan informasi kepada pembaca melalui
penekanan aktor yang diposisikan dalam teks. Penelitian ini merupakan
penelitian deskriptif kualitatif yang menekankan pada analisis dokumentasi
dengan mengkaji sumber tertulis yang dipublikasikan, yaitu berita yang berjudul
Kisah Pilu Korban Pemerkosaan Dipaksa Menikah dengan Pelaku. Berdasarkan
strategi wacana yang digunakan oleh penulis terlihat bahwa “kisah pilu korban
pemerkosaan” ini menjadi objek penceritaan. Hal ini terbukti dengan
penggunaan pemarkah seperti seorang bocah, kekerasan seksual, dipaksa
menikah, pemerkosaan, memperparah trauma, dan korban kian terpuruk. Berita
tersebut dipaparkan berdasarkan peristiwa yang terjadi yang muncul karena
uraian dari aktor lain sebagai subjek pencerita, bukan berdasarkan keterangan
korban atas apa yang dialaminya. Teks berita tersebut mengungkapkan
gambaran mengenai posisi subjek dan objek penceritaan sehingga dapat
menentukan cara teks tersebut hadir kepada pembaca. Teks berita tersebut
mengandung bias gender karena peristiwa tersebut tidak diceritakan dalam
pandangan perempuan sebagai korban.
Diglosia: Jurnal Kajian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya is licensed under a Creative Commons
Attribution-Share Alike 4.0 International License.
N. Q. H. Putri, F. E. Dianastiti, & Sumarlam
A. Pendahuluan
Dewasa ini, peran teknologi sangat besar dalam penyebaran dan pencarian
informasi. Pemberitaan dalam media massa dalam jaringan (online) menjadi
salah satu media informasi yang dipilih oleh masyarakat karena dapat diakses
dengan mudah tanpa terhalang ruang dan waktu. Namun, disadari maupun
tidak, pada dasarnya bahasa pada suatu wacana di surat kabar tidaklah netral,
tetapi memiliki hubungan khusus dengan kelompok atau kekuatan yang
dominan.
Selain itu, surat kabar juga menjadi representasi simbolis dan nilai
masyarakat telah membentuk stereotip yang sering melakukan pemarginalan,
merugikan pihak tertentu dengan citra yang negatif dan memosisikan pihak lain
dengan citra yang positif, pemarginalan tersebut dilakukan dengan bagaimana
suatu aktor ditekankan dalam teks. Pemosisian tersebut berdasarkan pen-
subjek-an di satu pihak sebagai penafsir dan objek sebagai pihak yang
ditafsirkan (Badara, 2014). Posisi wartawan dan media dalam keseluruhan
struktur sosial dan kekuatan sosial yang ada dalam teks akan dikaji
berdasarkan paradigma kritis (Eriyanto, 2015).
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan bagaimana posisi
perempuan ditampilkan dalam teks dengan objek penelitian berupa berita di
media massa RRI Samarinda yang dimuat secara daring dengan judul Kisah
Pilu Korban Pemerkosaan Dipaksa Menikah dengan Pelaku menggunakan teori
analisis wacana kritis dengan pendekatan Kajian Sara Mills sehingga dapat
mengungkapkan bagaimana bahasa media dalam menyampaikan informasi
kepada pembaca melalui penekanan aktor yang diposisikan dalam teks. Kajian
Sara Mills dipilih karena dapat menghubungkan antara teks dengan penulis dan
teks dengan pembaca, sehingga dapat lebih kompleks dalam memahami suatu
teks yang tidak hanya berkaitan pada produksi tetapi juga resepsi, kemudian
menempatkan pembaca sebagai bagian yang penting karena teks merupakan
bagian suatu media untuk berkomunikasi kepada khalayak dengan segala
ragam kata sapaannya (Badara, 2014).
Selain itu, kajian Mills lebih memusatkan pada gender dan pemosisian
pembaca sebab laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan persepsi dalam
membaca suatu teks dan menempatkan posisi dirinya dalam teks. Selain itu,
Mills juga menyatakan bahwa gerakan perempuan itu penting bagi banyak
perempuan dalam memetakan peran diskursif baru baik untuk laki-laki dan
wanita. The Women’s Movement has been important for many women in
mapping out new discursive roles both for men and women. These roles are
strongly contested by media representations and by the representations which
are constructed through people’s interactions with stereotypes of all kinds. But
this type of critical knowledge has fundamentally changed and represented
what it means to exist as a gendered subject (Mills, 2001). Peran analisis
wacana kritis dalam sebuah media adalah tentang bagaimana
mengembangkan fakta yang ada di lapangan dengan menganalisisnya ke
dalam praktik sosial yang berkembang di masyarakat (Novianty & Burhanudin,
2020).
B. Metode
C. Pembahasan
Isu gender pada perempuan sudah sejak lama muncul dari masyarakat
tradisional yang memberikan pandangan bahwa perempuan hanya berperan
sebagai ibu rumah tangga dengan pergerakan yang hanya terbatas pada
kehidupan sosial di sekitar rumah dan keluarga. Pandangan tersebutlah yang
menyebabkan perempuan dianggap tidak memiliki kelayakan sebagai seorang
pemimpin (Sobari & Faridah, 2012). Stereotip ini tidak hanya terjadi di
Indonesia saja, tetapi berdasarkah hasil penelitian hal ini telah menjadi
anggapan yang dianggap normal secara global. Hal ini diperkuat dengan
pernyataan (Kiprotich & Chang ’orok, 2015) yang menyatakan bahwa stereotip
gender juga terjadi karena diperkuat oleh fitur budaya dan sosial ekonomi.
Perempuan dipandang sebagai jenis kelamin yang lebih lemah, mudah
didominasi oleh laki-laki maskulin yang kuat secara fisik, terkendali secara
emosional dan yang juga mampu menafkahi keluarga mereka.
Peran dan posisi pada perempuan dan laki-laki menyebabkan stereotip
gender kian terbentuk. Wanita dipandang sebagai jenis kelamin yang lebih
lemah, dengan mudah didominasi oleh laki-laki maskulin yang kuat secara fisik,
terkendali secara emosional dan juga mampu menyediakan untuk keluarga
mereka. Stereotip gender berada di sepanjang garis yang berbeda yang
ditentukan sebelumnya oleh ras, usia, kebangsaan, kelas sosial dan tingkat
pendidikan di antara faktor-faktor lainnya. Stereotip inilah yang menyebabkan
posisi perempuan pada media dieksploitasi secara negatif. Perempuan
dipandang sebagai pihak yang lemah dan tidak berdaya. Pandangan
masyarakat terhadap stereotip bahwa laki-laki menempati wilayah di sebelah
kiri dengan keidentikan aktif, beradab, rasional, dan cerdas sedangkan
perempuan berada di wilayah sebelah kanan dengan gambaran yang pasif,
emosional, dekat dengan alam, dan kurang cerdas. Hal inilah yang
menyebabkan perempuan dengan mudah dieksploitasi oleh media (Mills,
2001).
Selama stereotip terhadap perempuan seperti ini masih terus dipercaya
oleh masyarakat, maka ketidakadilan atau diskriminasi terhadap perempuan
terus saja ditampilkan oleh media walaupun sudah ada paham feminisme.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia menyampaikan bahwa segala bentuk ketidakadilan gender bermula
pada kesamaan sumber kekeliruan, yaitu mengenai stereotip gender pada laki-
laki dan perempuan ((Novianty dan Burhanudin, 2020:75). Bahkan pada
penelitian lain disebutkan bahwa salah satu film yang digemari dan ramah
anak, yaitu film-film produksi Disney juga turut menyumbangkan fondasi
dan objek akan memiliki dampak terhadap peran pembaca dalam teks yang
pada hakikatnya merupakan hasil negosiasi yang dilakukan oleh pembaca dan
penulis (Sobari & Faridah, 2012).
Eriyanto (2015) mengemukakan bahwa model Sara Mills dalam
menganalisis wacana pemberitaan lebih menekankan pada posisi perempuan
yang digambarkan dalam teks. Tingkat posisi subjek-objek lebih mengarah
pada bagaimana peristiwa tersebut dilihat, dari persepsi sudut pandang siapa
peristiwa itu diuraikan. Siapa tokoh yang mendapat posisikan sebagai pencerita
(subjek) dan siapa diposisikan sebagai objek yang diceritakan. Apakah setiap
aktor dan kelompok sosial memiliki kesempatan untuk menampilkan dirinya,
sudut pandangnya, atau kehadiran dan sudut pandangnya ditampilkan melalui
kelompok lain. Posisi penulis-pembaca menjelaskan bagaimana posisi tersebut
diceritakan pada teks. Peran pembaca dalam memosisikan dirinya pada teks
yang ditampilkan dan lebih condong pada kelompok apakah pembaca dalam
mengidentifikasi dirinya.
Aktor yang menjadi objek korban pemerkosaan pada pemberitaan, yaitu
anak perempuan berusia 13 tahun. Konteks berita terjadi di dalam rumah
tangga. Berdasarkan strategi wacana yang digunakan oleh penulis terlihat
bahwa “kisah pilu korban pemerkosaan” ini menjadi objek penceritaan, hal ini
terbukti dengan penggunaan pemarkah seperti seorang bocah, kekerasan
seksual, dipaksa menikah, pemerkosaan, memperparah trauma, dan korban
kian terpuruk. Berawal dari pemilihan judul dengan verba pasif “Kisah Pilu
Korban Pemerkosaan Dipaksa Menikah dengan Pelaku”, wartawan
merepresentasikan menonjolkan posisi korban perempuan sebagai sosok yang
tidak berdaya. Diksi “dipaksa” bermakna suatu keadaan yang mendorong ke
posisi atau keadaan tertentu dengan menggunakan kekuatan fisik maupun
psikis. Eksploitasi perempuan dalam judul tampil dengan frasa “kisah pilu”,
sebab diketahui bahwa pembaca berita dan pada umumnya masyarakat lebih
tertarik membaca atau menyimak hal-hal yang menimbulkan simpati. Lebih
lanjut, representasi kelemahan perempuan yang ditampilkan dalam teks berita
terdapat dalam data-data sebagai berikut.
(1) Korban pemerkosaan dipaksa untuk menikah dengan pelaku atau sang predator. Hal
inilah yang terjadi di Kalimantan Timur tepatnya di Kabupaten Kutai Kartanegara di
mana seorang bocah 13 tahun harus mengalami tindak kekerasan seksual hingga
pemerkosaan yang dilakukan oleh Ayah tiri. Naasnya setelah 7 tahun perilaku tak
bermoral ini baru diketahui oleh sang ibu, itu pun karena sang anak hamil 5 bulan.
Sang ibu kandung tak menyangka, suami yang ia cintai dan ia layani sepenuh hati,
tega melakukan tindakan keji tersebut kepada anak perempuannya. Mirisnya, sang
anak sebutlah Dahlia akhirnya dipaksa menikah dengan ayah tirinya untuk menutupi
malu yang membuat mereka hidup bertiga sebagai keluarga namun tak lagi sebagai
ayah, ibu, dan anak melainkan Suami dan dua istri.
ancaman ayah tiri. Namun, berdasarkan kutipan teks tersebut dapat membuat
pembaca berasumsi bahwa korban menikah dengan ayah tiri berdasarkan
paksaan dari ibu kandung untuk menutupi malu setelah mengetahui bahwa
korban sudah diperkosa selama tujuh tahun dan mengandung lima bulan.
Sosok anak yang lemah karena masih bergantung kepada orang dewasa
mengakibatkan anak-anak tidak memiliki kekuatan dan keberdayaan dari
ancaman untuk tidak menceritakan apa yang dialaminya kepada siapa pun.
Kebanyakan kasus yang terjadi pada kekerasan seksual anak terungkap bahwa
pelaku tindak kejahatan tersebut adalah orang dekat korban maupun yang
memiliki dominasi tinggi, misalnya orang tua dan guru. Siapa pun dapat menjadi
pelaku kekeran seksual terhadap anak. Pelaku akan menggunakan tipu daya,
ancaman, tindakan kekerasan kepada anak sehingga anak tidak dapat
melakukan perlawanan. Kekerasan seksual pada anak merupakan segala
bentuk aktivitas seksual yang melibatkan anak sebelum mencapai Batasan
umur tertentu berdasarkan usia yang telah ditetapkan oleh negara dan
dilakukan oleh orang yang lebih tua darinya untuk kesenangan maupun
aktivitas seksual (CASAT Programme, Child Development Institute; Boyscouts
of America; Komnas PA:14)
Tentu saja jika pernyataan dalam berita tersebut memang bersumber dari
aktor subjek sebagai ibu, maka posisi perempuan yang memiliki peran sebagai
ibu korban akan dipertanyakan bagaimana pemikiran dan naluri keibuannya.
Apakah ia jujur dalam menyampaikan sudut pandangnya atau terpaksa ia
lakukan agar selamat dari ancaman suami. Kasus pemerkosaan pada
perempuan merupakan salah satu contoh bagaimana rendahnya posisi
perempuan dalam kepentingan seksual laki-laki. Perempuan yang menjadi citra
sebagai objek seksual laki-laki berakibat pada kehidupan sehari hari
perempuan yang identik dengan mendapatkan kekerasan, perlakuan paksa,
dan perbuatan penyiksaan baik secara fisik maupun psikologis sehingga
menjadi daya tarik media massa dalam memusatkan wanita sebagai
pemberitaan Kedudukan wanita sebagai korban merupakan akibat dari citra
perempuan yang selalu tunduk terhadap laki-laki dan tidak memiliki kekuatan
dalam melampaui kekuasaan laki-laki sehingga perempuan dalam media
massa selalu diidentikkan dengan penggambaran yang tertindas (Novianty &
Burhanudin, 2020).
Dominasi laki-laki kepada perempuan secara tidak langsung diterima oleh
masyarakat dai generasi ke generasi. Indonesia merupakan salah satu negara
dengan hegemoni patriarki dengan posisi bapak yang memiliki kekuasaan
dalam keluarga (Dalem, 2013). Patriarki merupakan penggambaran sistem
sosial pada pihak laki-laki yang mengendalikan kekuasaan terhadap
perempuan. Laki-laki memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan perempuan. Adanya perbedaan yang jelas antara peran laki-laki dan
perempuan dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya kehidupan dalam
keluarga. Laki-laki menjadi pemimpin dengan otoritas yang mencakup kontrol
pada sumber daya ekonomi dan pembagian dalam peran kerja di keluarga. Hal
ini yang menjadikan perempuan memiliki akses si sektor publik dengan akses
(2) Melihat dan mendengar kejadian ini, Tim Reaksi Cepat Perlindungan Perempuan dan
Anak atau TRC PPA Provinsi Kalimantan Timur geram dan melakukan komunikasi
dengan korban, Ibu Kandung korban, keluarga korban hingga tokoh masyarakat
setempat, akhirnya disepakati kasus ini dibawa ke ranah hukum, karena menurut Rina
Zainun ketua TRC PPA Kaltim kasus ini adalah sebuah kejahatan yang harus
dilaporkan dan pelaku harus mendapat hukum yang setimpal. Saat ini kasus sedang
berproses di meja hijau dan korban telah melahirkan anak buah hasil pemerkosaan.
Rina menyayangkan kasus seperti ini terus terjadi, baik pemerkosaan oleh oknum
Ayah Tiri, Ayah Kandung hingga tindak pelecehan seksual di dalam rumah tangga.
Menurutnya, akibat seorang perempuan tidak bekerja, pasrah dan mengantungkan
diri kepada Suami sehingga siap menerima perilaku apa pun hingga sebuah dosa
besar yakni memperkosa anak kandungnya sendiri, oleh karena itu Rina mengajak
perempuan Kaltim untuk bekali diri dengan keterampilan atau tetap bekerja agar tidak
diperlakukan semena-mena oleh oknum suami.
Pada kutipan di atas, perlakuan yang dilakukan oleh aktor lain sebagai TRC
PPA Kaltim melakukan tindakan yang berpihak kepada korban dengan
memberikan hukuman kepada pelaku pemerkosaan, tetapi tidak menjelaskan
langkah apa yang dilakukan pascakasus tersebut apakah memberikan
perlindungan, penyembuhan secara psikologis, maupun perawatan kepada
korban dan anak yang telah dilahirkannya. Hal ini seolah memberikan kesan
kepada pembaca bahwa setelah pelaku dipenjara maka masalah tersebut telah
selesai dan korban yang menjadi objek cerita tersebut sudah tidak dipedulikan
lagi kondisinya. Hal ini yang akan membuat pembaca seolah korban kasus
pemerkosaan tidak memiliki dampak negatif dan perspektif tersebutlah yang
akan semakin melemahkan posisi perempuan. Hal ini senada dengan yang
dinyatakan oleh Mills (1991) bahwa penggambaran sebagai perempuan yang
lemah dan bergantung pada laki-laki untuk perlindungan.
Kekerasan seksual berakibat pada timbulnya dampak traumatis. Sebagian
besar kasus kekerasan seksual tidak terungkap karena adanya penyangkalan.
Kekerasan seksual yang terjadi pada anak-anak akan menjadi lebih sulit karena
anak-anak tidak menyadari bahwa dirinya telah menjadi korban kekerasan
seksual. Selain itu anak-anak memiliki ketakutan untuk melaporkan tindak
kekerasan seksual yang terjadi dan memiliki kesulitan dalam mempercayai
orang lain sehingga peristiwa kekerasan seksual yang terjadi hanya
dirahasiakan karena anak merasa bahwa kasus kekerasan tersebut hanya
membuat nama keluarga menjadi tercoreng. Akhirnya anak menjadi
powerlessness, yaitu adanya rasa tidak berdaya dan tersiksa pada korban pada
saat mengungkap kejadian pelecehan seksual tersebut (Noviana, 2015)
(3) Menurutnya, akibat seorang perempuan tidak bekerja, pasrah dan mengantungkan diri
kepada Suami sehingga siap menerima perilaku apa pun hingga sebuah dosa besar
yakni memperkosa anak kandungnya sendiri, oleh karena itu Rina mengajak
perempuan Kaltim untuk bekali diri dengan keterampilan atau tetap bekerja agar tidak
diperlakukan semena-mena oleh oknum suami.
(4) Dari ramainya polemik ini, Ustad Pink Al-Koetai mengingatkan bagi para perempuan
yang ingin menikah dan telah memiliki seorang anak perempuan untuk lebih berhati-
hati dalam mencari suami, selain itu Ustad Pink juga memberi saran ketika telah
menikah sebaiknya anak perempuan yang belia ini, hidup terpisah dari ayah tirinya,
bisa dengan menitipkannya kepada nenek atau kakeknya atau di sekolahkan di
asrama hingga pesantren agar terhindar dari hal-hal yang tidak diharapkan tersebut.
ditujukan kepada kaum perempuan tetapi tidak kepada kaum pria, seolah pria
tidak menjadi penyebab dalam terjadinya peristiwa tersebut.
Berita tersebut dipaparkan berdasarkan peristiwa yang terjadi yang muncul
karena uraian dari aktor lain sebagai subjek pencerita, bukan berdasarkan
keterangan korban atas apa yang dialaminya. Teks berita pada media tersebut
memberikan gambaran bagaimana posisi subjek dan objek penceritaan yang
ditampilkan dalam teks memberikan gambaran kepada pembaca. Pada teks
berita yang ditampilkan terdapat bias gender sebab peristiwa yang dijabarkan
tidak diceritakan melalui sudut pandang perempuan sebagai korban.
D. Penutup
Daftar Pustaka
Angjaya, S. (2021). the Power of Bu Tejo and Dian? the Analysis of Feminist
Power Relation in the Film Tilik. Capture : Jurnal Seni Media Rekam, 12(2),
132–159. https://doi.org/10.33153/capture.v12i2.3613
Badara, A. (2014). Analisis Wacana: Teori, Metode, dan penerapannya pada
Wacana Media. Kencana.
Dalem, D. N. (2013). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Bias Gender
Penggunaan Kontrasepsi pada Pasangan Usia Subur di Desa Dawan Kaler
Kecamatan Dawan Klungkung. Piramida, 8(2), 93–102.
https://ojs.unud.ac.id/index.php/piramida/article/view/7001
Dawn, E., Descrates, L., & Collier, M. A. (2011). Gender Role Portrayal and the
Disney Princesses. Sex Rolex, 64, 555–567.
https://link.springer.com/article/10.1007/s11199-011-9930-7
Eriyanto. (2015). Analisis Wacana. Yogyakarta: LKiS.
Kiprotich, A. J., & Chang ’orok, J. R. (2015). Gender Communication
Stereotypes: A Depiction of the Mass Media. IOSR Journal Of Humanities
And Social Science, 20(11), 69–77. https://doi.org/10.9790/0837-
201156977
Lesmana, I. B. G. A. S., Udasmoro, W., & Hayuningsih, A. A. C. (2021).