Seni Budaya

Dwipa Ceritakan Keresahan Tergerusnya Budaya Bali Melalui Karya 'Hanuman Last Dance'

Seni lukis kerap kali menjadi wadah untuk mengungkapkan keresahan, akan isu-isu yang berkembang.

Istimewa
Karya-karya Dwipa yang ditunjukkan pada pameran Peta Tanpa Arah di ruang pameran Paduraksa, Fakultas Bahasa dan Seni (FBS) Undiksha belum lama ini. 

Dwipa Ceritakan Keresahan Tergerusnya Budaya Bali Melalui Karya 'Hanuman Last Dance'

TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA - Seni lukis kerap kali menjadi wadah untuk mengungkapkan keresahan, akan isu-isu yang berkembang.

Seperti yang dilakukan Ida Bagus Made Duwipayana. Mahasiswa seni rupa angkatan 2021 ini resah akan perkembangan teknologi dengan keberlangsungan budaya Bali. 

Keresahan pemuda yang akrab disapa Dwipa ini ditunjukkan melalui pameran 'Peta Tanpa Arah'.

Baca juga: Pemkot Denpasar Kembali Luncurkan Perpustakaan Kontainer, Tingkatkan Budaya Literasi Pengunjung

Setidaknya ada empat karya yang dibuat pemuda asal Lingkungan Sangket, Kelurahan Sukasada, Kecamatan Buleleng ini.

Meliputi Hanuman Last Dance, Mechanical Woman, Just Need Smartphone, dan Then and Now, yang seluruhnya merupakan karya seni lukis

Dwipa mengungkapkan, pada karya-karyanya ia sengaja menambahkan goresan drawing pen, dengan penekanan garis putus-putus seakan tidak terhubung.

Baca juga: Gereja Palasari dan Rumah Panggung di Puri Negara Diusulkan Jadi Cagar Budaya, Sudah Didaftarkan

Sehingga secara tidak langsung menghasilkan efek visual yang samar serta tidak begitu realis.

"Ini untuk memberikan kesan kebudayaan yang mulai pudar dan dilupakan," ucapnya, Minggu (19/1/2025).

Seperti pada karya 'Hanuman Last Dance'.

Dwipa menjelaskan karya ini menceritakan keresahannya akan Budaya Bali yang dulunya dikenal sakral kini malah seperti menyewakan budaya atau tradisinya. 

Baca juga: 10 Objek Pemajuan Kebudayaan & 1 Cagar Budaya Jadi Kosentrasi FGD Jelang Kongres pada Desember 2024

"Runtutan yang tadinya benar-benar sakral, kini malah dipertunjukan kepada turis luar. Kalau membahas itu saja rasanya sudah umum dan kali ini saya membahas tradisi itu diperdagangkan atau ditukar menukar dengan teknologi," ucap pemuda 21 tahun ini.

Menurut Dwipa, orang-orang yang duduk di belakang Hanuman dan hanya fokus dengan smartphone-nya, menggambarkan jika penonton seolah sudah terbiasa dan mulai bosan dengan jalan cerita dalam pertunjukan tersebut.

Sehingga tidak memperhatikan pertunjukan tersebut dengan sungguh-sungguh. 

Baca juga: Wamen Kebudayaan Giring: Jamu Tidak Hanya Jadi Simbol Budaya Tetapi Juga Pilar Ekonomi

Halaman
12
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved