Penanggulangan Aflatoksin Pada Jagung

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 24

Penanggulangan Cemaran Aflatoksin Pada Jagung (Zea mays, L.

) untuk memperpanjang Masa Simpan dan Meningkatkan Harga Jual Jagung

Oleh: Siti Aisa Liputo

Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi Manado, 2012

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jagung merupakan komoditas penting di Indonesia setelah beras. Hal ini disebabkan karena jagung banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan, industri pakan ternak, dan bahan dasar industri makanan olahan. Jumlah produksi jagung di Indonesia meningkat secara signifikan pada sepuluh tahun terakhir, dari sekitar 9,7 juta ton pada tahun 2000 menjadi sekitar 17,6 juta ton pada tahun 2009 (Badan Pusat Statistik, 2010). Provinsi Gorontalo merupakan salah satu daerah penghasil jagung terbesar di Indonesia. Tahun 2000, produksi jagung di Gorontalo 76.573 ton dan melonjak menjadi 451.094 ton pada tahun 2005. Penduduk Gorontalo sebagian besar berprofesi sebagai petani jagung. Akan tetapi dalam pembudidayaan dan pendistribusian jagung, petani sering dihadapkan pada berbagai masalah. Salah satu masalah utama dalam pembudidayaan jagung adalah adanya serangan mikotoksin yang disebut aflatoksin, yang sangat beracun jika dikonsumsi oleh manusia dan ternak. Aflatoksin adalah suatu mikotoksin yang merupakan metabolit hasil jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus.(1,2) Aflatoksin merupakan kontaminan yang paling sering dijumpai pada hasil panen pertanian serta bahan makanan pokok di banyak negara berkembang sehingga mengancam keamanan pangan. Toksin yang dikeluarkan oleh jamur ini dapat dijumpai selama masa produksi bahan pangan, pada waktu panen, pada saat penyimpanan dan proses pembuatan makanan (Yenny, 2005). Toksin yang dihasilkan oleh kapang ini bersifat karsinogenik, hepatotoksik, dan mutagenik bagi manusia ( Hedayati dalam Kusumaningrum dkk, 2010). Cemaran aflatoksin pada jagung di Indonesia cukup tinggi. Dari sampel jagung yang ada di pasaran hampir separuhnya tercemari Aspergillus flavus dengan berbagai level

kandungan aflatoksin, bahkan ada yang di atas 1000 ppb. Dibandingkan dengan negara Asia yang lain (Thailand dan Philippina) angka cemaran aflatoksin pada jagung menduduki peringkat tertinggi (Anonim, dalam Rahayu dkk, 2003).

Dalam bisnis perdagangan jagung beberapa parameter yang menentukan kualitas biji jagung antara lain bebas bahan kimia, bebas bau busuk, suhu normal, kadar air + 14%, butir rusak, butir pecah, kotoran, warna lain dan kandungan aflatoksin. Kandungan aflatoksin ini merupakan kriteria penting untuk menentukan kelayakan jagung untuk dikonsumsi maupun untuk pakan ternak. FAO menentukan batas maksimum aflatoksin dalam biji jagung yaitu tidak lebih dari 30 ppb (Beti dalam Tandiabang , 2010), sedang FAO dan USDA memberikan batas 20 ppb untuk sapi perah, anak ternak, anak ayam, 100 ppb untuk hewan muda, 200 ppb untuk babi potong dewasa dan 300 ppb untuk sapi potong dewasa (Jeff dalam Tandiabang, 2010). Para pedagang jagung dan pabrik pakan ternak memberikan batas toleransi kandungan aflatoksin dalam biji jagung yang dapat diterima untuk diolah jadi pakan ternak. Pabrik Pakan JAPFA di Makassar mentoleransi kandungan aflatoksin pada jagung maksimum 200 ppb (Tandiabang, 2010). Agar petani memperoleh keuntungan dari usaha tani jagung dan produknya dapat diterima oleh pasar, maka pengendalian aflatoksin guna perbaikan kualitas biji jagung perlu dilakukan. Di indonesia data mengenai pencemaran aflatoksin pada jagung jarang dilaporkan, padahal menjadi sangat penting mengingat jagung merupakan bahan pangan yang cukup dominan dikonsumsi masyarakat. Khususnya di Gorontalo, publikasi mengenai cemaran dan upaya pencegahan perlu diadakan untuk meningkatkan produksi jagung serta meningkatkan kualitas jagung yang dihasilkan terkait dengan efek bagi kesehatan manusia dan hewan. Upaya pencegahan bisa dilakukan saat pra dan pasca panen, detoksifikasi secara biologi, fisik dan kimia, serta upaya-upaya yang lainnya yang diperoleh pada penelitian-penelitian sebelumnya. 1.2 Rumusan Masalah Sejauh mana upaya penanggulangan cemaran Aflatoksin pada jagung di Indonesia yang telah dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya. 1.3 Tujuan Penulisan Ulasan ilmiah ini bertujuan untuk membahas upaya-upaya pencegahan dan penanggulangan cemaran Aflatoksin pada jagung pada tahapan pra dan pasca panen yang diperoleh dari penelitian-penelitian sebelumnya. 1.4 Manfaat Penulisan Ulasan ilmiah ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai alternatif yang bisa digunakan untuk menanggulangi cemaran Aflatoksin pada tanaman Jagung, yang nantinya

bisa bermanfaat bagi petani, distributor, serta konsumen jagung dalam upaya mencegah dan menanggulangi cemaran dan efek negatif aflatoksin bagi manusia dan hewan ternak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Aflatoksin Aflatoksin adalah suatu mikotoksin yang merupakan metabolit hasil jamur Aspergillus flavus dan A. parasiticus. Aflatoksin merupakan kontaminan yang paling sering dijumpai pada hasil panen pertanian serta bahan makanan pokok di banyak negara berkembang sehingga mengancam keamanan pangan. Toksin yang dikeluarkan oleh jamur ini dapat dijumpai selama masa produksi bahan pangan, pada waktu panen, pada saat penyimpanan dan proses pembuatan makanan.

Sumber : Yenny (2006)

Aflatoksin adalah salah satu dari substansi yang paling toksik yang dapat dijumpai secara alamiah. Keracunan oleh aflatoksin terjadi oleh karena konsumsi dari racun ini yang mencemari bahan makanan dan aflatoksikosis pada manusia dilaporkan dijumpai di banyak tempat di dunia. Badan Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization) memperkirakan bahwa kontaminasi mikotoksin meliputi sekitar 25% dari hasil pertanian di seluruh dunia (Lewis dalam Yenny, 2006). Penyakit-penyakit yang disebabkan karena mengkonsumsi aflatoksin disebut aflatoksikosis. Aflatoksin mempunyai sifat karsinogenik dan hepatotoksik. Sifat ini tergantung pada lama dan tingkat paparan terhadap aflatoksin. Konsumsi aflatoksin dosis tinggi dapat
5

menyebabkan

terjadinya

aflatoksikosis

akut

yang

dapat

menimbulkan

manifestasi

hepatotoksisitas atau pada kasus-kasus berat dapat terjadi kematian akibat fulminant liver failure (Banet dalam Yenny, 2006). Manusia dapat terpapar oleh aflatoksin dengan mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi oleh toksin hasil dari pertumbuhan jamur ini. Kadang paparan sulit dihindari karena pertumbuhan jamur di dalam makanan sulit untuk dicegah. Walaupun kontaminasi bahan makanan oleh aflatoksin dalam jumlah besar tidak diizinkan di negara berkembang, namun diperlukan perhatian terhadap kemungkinan timbulnya efek samping pada paparan aflatoksin kadar rendah dalam bahan makanan. Gejala awal aflatoksikosis yang dapat dikenali pada konsentrasi rendah antara lain berupa menurunnya efisiensi makanan, berkurangnya intake makanan, menurunnya kecepatan pertumbuhan, rambut kasar dan kusam, meningkatnya prevalensi, keparahan atau kegagalan terapi atau vaksinasi penyakit-penyakit infeksi seperti: bloody dysentery, erisipelas, salmonellosis, pneumonia (Beasley dalam Yenny, 2006). Bila aflatoksikosis ini berlanjut maka dapat muncul sindrom penyakit yang ditandai dengan muntah, nyeri perut, edema paru, kejang, koma, dan kematian akibat edema otak dan perlemakan hati, ginjal dan jantung. Keadaankeadaan yang meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya aflatoksikosis akut pada manusia meliputi terbatasnya ketersediaan makanan, kondisi lingkungan yang menguntungkan untuk berkembangbiaknya jam ur di dalam hasil pertanian dan bahan-bahan dagangan, dan masih kurangnya sistem yang mengatur monitoring dan kontrol aflatoksin.

2.2. Cemaran Aflatoksin Pada Jagung Komposisi jagung pada pakan ternak mencapai 60%. Oleh karena itu, penggunaan jagung yang berkualitas baik sangat penting untuk menghasilkan pakan yang bermutu baik. Masalah yang sering timbul dalam pemanfaatan jagung sebagai bahan pangan maupun pakan adalah kontaminasi senyawa aflatoksin. Senyawa ini dihasilkan oleh kapang Aspergilus flavus yang umumnya tumbuh pada jagung yang berkadar air tinggi (>15%) akibat cara penyimpanan yang kurang benar (Rachmawati, 2005). Aspergillus flavus adalah kapang dominan yang

ditemukan pada sampel jagung, dan merupakan penyebab utama kerusakan pada jagung baik pra panen ataupun pascapanen. Mikroorganisme ini biasanya ditemukan pada saat musim kering atau musim kemarau. Konsentrasi aflatoksin tidak akan berkurang selama penyimpanan, bahkan akan bertambah atau tetap (Mulyawanti dkk., 2006).

Di Indonesia kadar Aflatoksin maksimum pada jagung sebagai bahan pangan telah ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan RI sebesar 20 ppb. Hal ini sesuai dengan ketetapan Food and Drug Administration yang mengeluarkan kadar baku tertinggi total Aflatoksin yang diizinkan pada pangan dan pakan komersial yaitu sebesar 20 ppb (Brown dalam Kusumaningrum dkk., 2010). Hasil penelitian Kusumaningrum dkk. (2010) mendapatkan bahwa sekitar 88% sampel jagung ditemukan kapang dan sekitar 40% positif tercemar A.flavus . Jenis Pangan yang paling sering ditemukan kontaminasi A.flavus adalah jagung pipil yaitu sekitar 58,6%. Sedangkan pada produk setengah jadi (tepung/pati/beras jagung) cemaran A.flavus yang ditemukan adalah 30 % dan pada jagung manis 7%. Hasil penelitian Rahayu dkk. (2003) mengenai cemaran Aflatoksin pada produksi Jagung di daerah Jwa Timur diperoleh data Uji aflatoksin pada 70 sampel jagung yang diambil di tingkat petani menunjukkan bahwa 30% jumlah sampel tidak terdeteksi aflatoksinnya; 50% dengan cemaran aflatoksinnya < 20 ppb, 11% dengan 20 100 ppb, dan 9% dengan cemaran > 100 ppb. Cemaran tertinggi pada tingkat petani adalah 353 ppb. Dari 45 sampel jagung yang diambil dari pengumpul dan pedagang, 13% kandungan aflatoksinnya tidak terdeteksi, 29% dengan konsentrasi < 20 ppb, 40% berkisar antara 20 100 ppb, sedang 18% memiliki cemaran > 100 ppb. Cemaran tertinggi adalah 340 ppb. Yusrini (2010) melaporkan bahwa Sebanyak 8 sampel dari 28 sampel jagung yang dianalisis (28,60%) mengandung aflatoksin B1 melebihi standar berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI 2000). Hasil penelitianya dapat dilihat pada tabel 1.

Tabel 1. Kadar Aflatoksin B1 (AFB1) Pada Sampel Jagung, Laboratorium Balitvet, Bogor.
Sampel J1 J2 J3 J4 J5 J6 J7 J8 J9 J10 J11 J12 J13 J14 J15 J16 J17 J18 J19 J20 J21 J22 J23 J24 J25 J26 J27 J28 Kadar AFB1(ppb) tt 2,3 46,8 0,4 1,0 48,9 72,4 56,4 50,2 43,9 34,4 0,7 tt 0,5 0,8 75,7 1,1 0,3 0,2 0,9 > 60 > 60 2,5 0,2 > 60 > 60 > 60 2,5

Sumber:Yusrini (2010)

Menurut Rachmawati (2005), hasil uji banding antar laboratorium dan hasil penelitian kerjasama dengan Pengujian Mutu Pakan Ternak (BPMPT), Direktorat Jenderal Peternakan (tahun 2003-2004) juga menunjukkan bahwa 14% pakan ayam dari jumlah 207 sampel pakan yang dianalisis mengandung aflatoksin melebihi standar mutu berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI). Sampel tersebut dikumpulkan dari beberapa sumber termasuk pabrik pakan, penjual pakan ternak, dan sampel-sampel pakan yang datang ke BPMPT, yang berasal dari beberapa propinsi di Indonesia. Data kandungan aflatoksin pada sampel-sampel tersebut disajikan pada Tabel 2. Ternyata jumlah sampel pakan mengandung aflatoksin tinggi (>SNI, >50 ppb) relatif lebih sedikit, karena pabrik-pabrik pakan telah mengantisipasi kadar aflatoksin pada bahan bakunya, terutama pada jagung .

Tabel 2 . Kadar Aflatoksin Pada Pakan yang Diperoleh Dari Beberapa Sumber
Sumber pakan Jumlah sampel Kisaran kadar(ppb) Jumlah sampe (>standar 0 2 1 4 4 0 0 0 7 6 8 *Sumberpustaka

PT Behn Meyer Kimia Disnak Prop. Sumut PT Altech BPMPT* PT Sinta Prima PT Sierad Tbk Toko pakan, Jabotabek Toko Pakan, Bogor BPMPT* (Tahap 1) BPMPT*(Tahap 2) BPMPT*(Tahap 3)

4 15 1 26 11 15 12 20 30 53 40

12,0-50,0 0.3-123,3 60 <0,3-123,3 0.96-175 .1 0,3-26,0 2,0-38,0 <0,3-23,9 <0,3-107,3 2,2-105,29 1,0-88,9

SUPARTO, 2004 Idem Idem RACHMAWATI, 2004a Idem Idem Idem RACHMAWATI, 2004b RACHMAWATI, 2004c Idem Idem

(Sumber: Rachmawati, 2005)

2.3. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan A. flavus penghasil Aflatoksin Faktor faktor yang secara langsung mempengaruhi pertumbuhan kapang A.flavus pada penanganan pasca panen jagung antara lain kadar air, suhu penyimpanan, kelembapan relatif udara, dan lama penyimpanan (FAO dalam Kusumaningrum dkk, 2010). a. Kadar Air Di Indonesia jagung yang baru dipanen biasanya mempunyai kadar air tinggi (30%) yang apabila tidak segera dikeringkan, maka berbagai cendawan dapat berkembang, termasuk cendawan A. flavus. Cendawan ini menurut Pakki dan Muis dalam Talanca dan Masud (2009) dapat ditemukan pada tanaman jagung fase vegetative dan fase generatif, serta pada pasca panen jagung, sehingga menjadi sumber inokolum pada biji jagung yang akan disimpan. Hal ini memungkinkan karena Indonesia sebagai Negara tropik dengan iklim hujan tropis menyebabkan kondisi kelembaban udara tinggi (RH > 80%), suhu rata-rata 28-33 0C. Kondisi ini sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan cendawan A. flavus penghasil aflatoksin. Di Bulukumba, Sulawesi Selatan petani menanam jagung dua kali, jagung pertama ditanam awal musim hujan, sedang jagung kedua segera sesudah panen. Hasil panen jagung umumnya ditumpuk di bawah kolong rumah tanpa alas, selama kurang lebih satu bulan sambil menyiapkan lahan untuk jagung kedua, selama penumpukan/ penyimpanan ini jagung

terkontaminasi oleh aflatoksin, oleh karena kadar air biji yang meningkat dan juga temperature naik sehingga A. flavus cocok untuk tumbuh dan berkembang (Tabel 3). Di Gorontalo petani setelah panen langsung memipil jagungnya dengan mesin lalu dijemur + 2 hari langsung dijual ke pedagang pengumpul. Di pedagang pengumpul disimpan hanya 1 2 hari kemudian langsung ke pedagang ekspor. Di pedagang ekspor diproses, dikeringkan lalu ditumpuk di udang, sebelum masuk container untuk di ekspor. Oleh karena itu akumulasi kontaminasi aflatoksin terjadi di pedagang ekspor (Tandiabang, 2010). Tabel 3. Kadar Aflatoksin Dari Sampel Jagung Ditingkat Petani
Kabupaten Bulukumba, Sul-Sel Saat pengupasan tongkol Biji disimpan dalam karung pupuk Gorontalo Saat penjemuran (petani) Penyimpanan (pedagang pengumpul) Pedagang ekspor Tanah Laut, Kalsel Pada saat panen (petani) Setelah dipipil (pedagang pengumpul) Jumlah sampel 10 4 Kadar air biji (%) 20,5 24,3 21,3 24,5 Kadar aflatoksin (ppb) 7,1 25,6 48,6 175,8

14 2 5

16 19 19 21 19 22

11,7 54,2 35,5 78,5 79,2 665,0

23 3

30 32 28 30

4 4,50 22,3 27,60

Sumber : Tandiabang , Firmansyah dalam Tandiabang (2010) b. Lama Penyimpanan Di Tanah Laut Kalimantan Selatan tongkol jagung yang telah dipanen langsung di bawah ke pedagang pengumpul, yang kadang tongkol jagung ditumpuk 1 2 hari sebelum dipipil yang kemudian angsung masuk oven pengeringan (flat bed drier). Oleh karena itu kontaminasi aflatoksin cukup rendah. Gambaran di atas menunjukkan makin cepat jagung diproses dan dikeringkan kontaminasi aflatoksin makin rendah. Menurut hasil penelitian Kusumaningrum dkk (2010) Cemaran A.flavus relatif

meningkat di tingkat pengumpul, yang disebabkan kemungkinan besar karena kondisi penyimpanan yang kurang memadai (Tabel 4). Di tingkat pengumpul, kadar air jagung juga relatif meningkat kembali dari 14% di tingkat pemipil menjadi 15%. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) 1995, persyaratan jagung pipil mutu I dan II adalah mempunyai kadar air maksimum 14%. Secara umum, data-data tentang suhu, kelembapan relatif dan lama penyimpanan jagung menunjukkan bahwa penanganan jagung dari tingkat petani sampai dengan

10

pasar induk atau pengecer, rawan terhadap munculnya cemaran A.flavus, karena kondisi penyimpanan dapat memacu tumbuhnya kapang tersebut. Tabel 4. Suhu Dan Kelembapan Relatif Penyimpanan Jagung Pada Tingkat Distribusi
Lokasi Bogor Tingkat Dsitribusi Petani Pengumpul Pasar Induk Pengecer Boyolali Petani Pengumpul Pasar Induk Pengecer Bojonegoro Petani Pemipil Pengering Pengumpul Pasar Induk n 5 5 4 7 15 9 5 5 10 10 8 8 10 Suhu Simpan (0C) 27,1 4,3 31,0 1,4 30,5 0,7 28,5 2,1 32,6 0,5 32,7 0,3 32,3 0,9 33,6 1,2 34,5 0,0 34,6 0,5 34,7 0,9 34,3 0,9 33,6 1,2 Kelembapan Relatif (%) 75,0 5,7 72,5 2,1 74,0 1,4 70,0 7,1 64,6 2,5 69,9 4,3 63,5 1,3 71,0 8,1 51,3 1,3 54,6 2,5 49,9 4,3 53,5 1,3 52,1 2,8 Lama Simpan 3-5jam 4-12iam 1-2 hari 1-2hari 2-5 hari 3-15hai 3-15 hari atau sanpai terjual 3-7 hari atau sanpai terjual 1-3 hari 1-3 hsri 3 hari 7-30 hari 3-15 hari atau sampai terjual

Sumber : Kusumaningrum dkk. (2006) Hasil analisis Bivariat yang dilakukan oleh Kusumanigrum dkk (2010) terhadap faktor yang mempengaruhi pertumbuhan A.flavus dan terbentuknya aflatoksin pada jagung pipil di daerah Bojonegoro, yang disajikan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa tumbuhnya A.flavus tidak mempunyai korelasi secara signifikan dengan kadar air jagung pipil dan suhu penyimpanan, tetapi berkorelasi nyata dengan kelembapan relatif dan lama simpan jagung pipil. Hal ini menunjukkan bahwa upaya untuk menurunkan kadar air jagung pipil sampai dengan 14% secara umum sudah dapat dicapai oleh para pengelola jagung pipil di daerah Bojonegoro, dan tidak mempengaruhi tumbuhnya kapang A. flavus. Sebaliknya, hasil penelitian mengindikasikan bahwa penanganan jagung pipil selama penyimpanan, baik kelembapan relatif lingkungan penyimpanan maupun lama penyimpanan, berpengaruh secara signifikan terhadap tumbuhnya kapang A.flavus.

11

Tabel 5. Hasil Analisis Bivariat terhadap faktor yang mempengaruhi pertumbuhan A.flavus dan Terbentuknya aflatoksin pada jagung pipil di daerah Bojonegoro
Parameter Independen Kadar air Kelembapan Relatif Parameter Dependen A. Falvus N 46 46 46 36 Hasil Uji Korelasi Spearmen 0,036 (tidak signifikan) 0,41 (signifikan pada =1) -0,038 (tidaksignifikan) 0,376 (signifikan pada =0,05)

A. Falvus Suhu A. falvus Lama Simpan A. falvus Sumber : Kusumaningrum, dkk. (2006)

c. Terlambat Panen Kegiatan panen adalah tahapan sangat menentukan kualitas biji jagung yang dihasilkan. Panen seyogyanya dilakukan segera sesudah tanaman mencapai masak fisiologis. Kenyataan di lapangan, petani memanen jagung pada umur lebih 3 bulan hingga 4 bulan. Hal ini menyebabkan hasil panen terinfeksi oleh A. flavus (Tabel 6). Sebelum dipipil, tongkol

sebaiknya segera dikeringkan sesudah panen hingga kadar air 14% untuk menghindari kontaminasi aflatoksin dan biji rusak akibat pemipilan. Penumpukan tongkol kupas yang lama sebelum dikeringkan dan dipipil juga memberi peluang terjadinya infeksi A. Flavus (Tandiabang, 2010) Tabel 6. Pengaruh Terlambat Panen Dan Penumpukan Jagung Terhadap Infeksi A. Flavus. Gorontalo, 2005
Perlakuan Panen terlambat 7 hari Panen ditumpuk 3 hari Panen ditumpuk 5 hari Panen masak fisiologis tanpa ditumpuk Biji terinfeksi A. flavus (%) 18 56 68 9 % biji berkecambah 82 44 32 90 % biji tidak berkecambah 18 56 68 1

Perlakuan 1. Panen terlambat 7 hari sesudah masak fisiologis-kupas-dikeringkan dengan alat pengering hingga k.a 15-17% Perlakuan 2. Panen pada masak fisiologis-kupas-tumpuk 3 hari-dikeringkan dengan alat pengering hingga k.a 15-17% Perlakuan 3. Sama dengan perlakuan 2, tumpuk 5 hari Perlakuan 4. Panen masak fisiologis-kupas-langsung dikeringkan

Sumber : Firmansyah dalam Tandiabang (2010)

12

BAB III PEMBAHASAN

3.1. Persyaratan Penanganan Yang Tepat Untuk Menanggulangi Aflatoksin Penanganan aflatoksin hingga ke tingkat kandungan yang aman harus memenuhi beberapa persyaratan persyaratan sebagai berikut : (1) Tidak boleh menghasilkan senyawa toksik dalam bentuk struktur aflatoksin lain apapun atau meninggalkan sisa residu yang membahayakan bagi kesehatan terhadap

produk/komoditas yang diberi perlakuan; terutama

jika dilakukan penanganan dengan

bahan kimia, diupayakan bahan kimia tersebut tidak akan bereaksi dengan aflatoksin membentuk senyawa lain yng bersifat toksik ataupun yang dapat menganggu kesehatan, misalnya bersifat karsinogenik. (2) Mutu dan kandungan gizi produk yang diproses tidak mengalami penurunan yang serius; dalam hal ini biji jagung yang dihasilkan seteleh melalui tahapan penanganan baik secara fisik, kimia dan biologis tidak akan mengalami penurunan mutu, , apalagi sampai terjadi perubahan kandungan gizinya, seperti kandungan protein, karbohidrat, minyak serta kandungan-kandungan mikro yang terkandung dalam biji jagung. (3) Tidak boleh merusak sifat fisik dan organoleptik produk; penanganan yang dilakukan terhadap biji jagung khususnya yang bertujuan mengurangi cemaran aflatoksin, diharapkan tidak merusak sifat fisik biji jagung tersebut seperti penurunan bobot, perubahan warna, perubahan rasa yang aka mempengaruhi mutu dan harga jual dari biji jagung tersebut (4) Perlakuan yang diterapkan harus layak secara ekonomis dan secara teknis dapat dilakukan; dimaksudkan agar harga jual jagung tidak akan melambung tinggi untuk menyesuaikan biaya pada proses penanganan aflatoksin, oleh sebab itu cara yang dilakukan sebaiknya yang ekonomis sehingga efesien bagi petani, distributor dan konsumen jagung (5) Mempunyai kemampuan merusak spora dan miselia jamur penghasil aflatoksin, karena aflatoksin bisa dihasilkan dari spora dan miselia dari jamur penghasil aflatoksin

(Aspergillus) yang tahan terhadap berbagai perlakuan, oleh sebab itu perlakuan yang dilakukan diupayakan bisa memusnahkan spora dan miselia dari jamur tersebut.

13

3.1. Upaya Yang Telah Dilakukan Untuk Menekan Perkembangan A. Flavus a. Kontrol Lingkungan Pertumbuhan dan perkembangan cendawan A. flavus sangat tergantung pada lingkungannya seperti suhu (25-35 0C), pH (4-6), aktivitas air (80%), dan kondisi atmosfir aerobik, serta kadar air (18 %). Suhu merupakan salah satu faktor penentu dalam pertumbuhan dan perkembangan cendawan A. flavus, sehingga pada kondisi diluar suhu optimal maka cendawan itu susah akan berkembang. Dengan demikian penggunaan suhu (temperatur) untuk pengeringan tongkol jagung sampai kadar air dibawah 18% dapat menghambat pertumbuhan cendawan. Pengeringan jagung dapat pula menurunkan aktifitas air (< 80%), begitu pula terhadap penurunan kadar air (< 18%), maka kondisi ini cendawan A. Flavus pertumbuhannya akan terganggu, bahkan pada kondisi yang ekstrim dapat mematikan (Talanca dan Masud, 2009). b. Upaya Biologis Penggunaan mikoroba antagonis dapat menghambat pertumbuhan cendawan A. flavus, sekaligus mengurangi kandungan aflatoksin (Garber dan Cotty; Pitt dalam Talanca dan Masud, 2009). Selanjutnya Van Veen et al ; Muhilal et al dalam Talanca dan Masud (2009)

melaporkan bahwa cendawan Neurospora sp. Dan Rhizopus sp. dapat menurunkan kandungan aflatoksin masing-masing 50 79%. Marth dan Doyle dalam Talanca dan Masud (2009) menunjukkan bahwa sebagian besar mikroorganisme yang diketahui dapat merusak aflatoksin adalah jenis cendawan dan hanya satu jenis bakteri, serta satu jenis protozoa (Tabel 7).

14

Tabel 7. Daftar Mikroorganisme yang dapat merusak Aflatoksin


Jenis Cendawan

Penicellium raistrickii NRRL 2053 Aspergillus niger A.parasiticus (spora) A.terreus (spora) A. luchuensis NRRL 2053 (spora) Flavobacterium auranticum NRRL B-184 Nocardia asteroids IFM8 Scopularis brevicaulis Rhizopus oryzae Corynrbacrerium rubrum Aspergillus niger Trichoderma viride Mucor ambiguous Dactyliumdendroides NRRL 2575 Dactylium dendroides NRRL Mucor griseocyanys NRRL 3359 Helminhtosporium sativum NRRL 3356 Absidia repens NRRL 3356 Mucor alterans NRRL 3358 Rhizopus arrhizus NRRL 1582 R. stolernifer NRRL 1477 R. oryzae NRRL 359 Tetrahymens pyriformis W

Pengaruh Mengubah sebagian aflatoksin B1, menjadi senyawa Fluoresensi lain. Metabolisme aflatoksin B1, G1, dan M1 mempunyai kemampuan metabolism aflatoksin.

Merubah aflatoksin menjadi aflatoksikol dalam waktu inkubasi 3-4 hari Merubah 60% aflatoksin menjadi aflatoksikol (aflatoksin Ro)

Mengubah aflatoksin B1 menjadi parasitikol (aflatoksin B2)

Sumber :Talanca dan Masud, 2009

c.

Tindakan Fisik Radiasi sinar matahari sangat membantu dalam upaya menekan perkembangan

cendawan A. flavus pada tongkol dan biji jagung. Waktu panen jagung yang tepat saat terbentuknya black layer lebih 50 %, dan bila cuaca memungkinkan, maka pengeringan tongkol diatas tegakan batang jagung beberapa hari sebelum panen sebaiknya dilakukan. Untuk itu sangat dianjurkan agar setelah panen jagung, maka segera tongkol jagung dikeringkan dengan bantuan sinar matahari sampai kadar air 17%, kemudian dilakukan pemipilan dengan menggunakan mesin pemipil (tresser), yang selanjutnya dijemur sampai kadar air 11-12% lalu dimasukkan dalam karung plastik dan disimpan ditempat penyimpanan. Namun apabila kondisi cuaca tidak memungkinkan untuk melakukan pengeringan dengan sinar matahari, maka dapat pula dilakukan pengasapan atau pemberian hembusan hawa panas dengan alat mesin. Penundaan pengeringan tongkol jagung dengan kadar air 26-35% selama 4 hari, maka kandungan aflatoksin bisa mencapai 37 ppb (Paz et al. dalam Talanca dan Masud, 2009). Secara tradisional beberapa petani masih menggunakan pengasapan tongkol
15

jagung diatas dapur mereka, lalu dipipil dan dikeringkan lagi sampai kadar air 12%, kemudian dikarungkan lalu disimpan (Talanca dan Masud, 2009).

d.

Penggunaan bahan Kimia Penggunaan bahan kimia dapat pula dipakai untuk menghambat pertumbuhan dan

perkembangan cendawan A. flavus pada jagung. Sebagai contoh adalah ammonia dan asam propionat yang bersifat asam pada tanaman jagung, yang diduga dapat berpengaruh kontak terhadap A. flavus pada permukaan tanaman, sehingga siklus hidupnya terganggu. Hasil penelitian Pakki (2009) menunjukkan bahwa penyemprotan ammonia atau asam propionat dosis 1,5-2 ml/air pada fase vegetative tanaman jagung, maka dapat mengurangi jumlah spora A. flavus yang menempel pada jambul jagung. Selanjutnya penggunaan asam ammonia pada jagung di Thailand dapat berpengaruh terhadap penurunan kadar aflatoksin dari 1000 ppb menjadi 10 ppb (Ingalantileke dalam Talanca dan Masud, 2009). Efek perlakuan kimiawi terhadap sisa biji jagung yang terinfeksi Aflatoksin disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Persentase Infeksi A. Flavus Pada Biji Jagung Dengan Perlakuan Kimiawi
Perlakuan Propianic acid (2 ml/l) Ammonia (2 ml/l) Ekstrak daun cengkeh (14 mg/l) Kontrol % biji terinfeksi 5,67 c 11,0 b 27,33 a 20,73 a

Sumber : Pakki dalam Tandiabang (2010) e. Penggunaan Varietas tahan A.flavus Penggunaan varietas tahan merupakan cara yang terbaik untuk mengendalikan A. flavus. Meskipun mekanisme ketahanan terhadap A. flavus telah diketahui yaitu biokimia dalam kelompok waxis (bersifat seperti lilin) pada lapisan luar biji yang bersifat antibiosis, tetapi hingga kini belum ada varietas komersial yang tahan. Hasil penelitian Brooks et al. Tandiabang (2010) telah menemukan dua QTL (quantitative Trait Loci) yang memberikan kontribusi dalam resistensi terhadap akumulasi aflatoksin yaitu Locus afl 3 yang ditandai dengan marker bn lg 371 dan lokus afl 5 yang ditandai dengan marker bnlg 2291. QTL ini dapat digunakan secara cepat dalam menyaring plasma nutfah untuk program perbaikan ketahanan A. flavus kedepan. Hasil penelitian di Kabupaten Pangkep dan Sidrap menunjukkan perbedaan ketahanan varietas unggul (Bisma, Bima-1, Sukmaraga, Lamuru, Srikandi Putih, Srikandi Kuning, Pioneer-7, Pioneer-11) lebih toleran terhadap A. flavus dibanding varietas Lokal Pulut Takalar dan jagung manis .

16

Varietas yang tahan kekeringan relatif konsentrasi aflatoksinya rendah (Larson, dalam Tandiabang, 2010), demikian pula varietas dengan penutupan klobot yang baik.

3.3. Penanganan Dalam Tiap Tahap Pertumbuhan Jagung Pendeteksian awal adanya pertumbuhan kapang pada jagung adalah kunci pencegahan pertumbuhan dan produksi aflatoksin dari kapang tersebut. Beberapa cara dapat dilakukan untuk mencegah produksi aflatoksin pada biji jagung adalah mengontrol serangga di kebun dan mendeteksi kerusakan awal yang disebabkan oleh serangga serta ada tidaknya spora Aspergillus. Selain pendeteksian pertumbuhan dan spora jamur semenjak prapanen, sanitasi peralatan penanganan jagung juga harus diperhatikan, termasuk sortasi dan pembersihan jagung dari cemaran-cemaran lainnya. Pengurangan kadar racun aflatoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus dapat dilakukan sebelum dan sesudah panen. Penerapan Good Agricultural Practice (GAP) merupakan perlakuan yang dapat dilakukan sebelum panen, sedangkan perlakuan yang dilakukan setelah panen adalah dengan meminimalisasi aflatoksin, yaitu dapat dilakukan dengan cara curing, pengeringan, sortasi dan prosedur penyimpanan yang tepat (Sudibyo,dalam Mulyawanti dkk, 2006).

a. Tahap Pra panen Penanganan pra panen untuk mencegah tumbuhnya aflatoksin dapat dilakukan dengan berbagai cara seperti : 1. Tanaman sebaiknya merupakan hasil cangkok dan sesuai untuk masing-masing daerah 2. Untuk memperoleh hasil panen yang optimum, dianjurkan untuk menggunakan pupuk 3. Waktu tanam disesuaikan untuk masingmasing lahan 4. Kerusakan butir oleh serangga dapat dikurangi dengan mengikuti rekomendasi management practice 5. Pedoman irigasi selalu diterapkan untuk menyediakan air yang cukup bagi tanaman 6. Mesin dibuat dengan kombinasi antara pemipil dan perontok 7. Jika terjadi kekeringan, usahakan jagung segera dipanen 8. Pemanenan jagung dilakukan pada saat kadar air 24% kemudian segera dikeringkan hingga mencapai 15% dalam waktu 24 jam (Wrather, dalam Mulyawanti dkk, 2006)

17

b. Tahap Panen Kegiatan pada tahapan sangat menentukan kualitas biji jagung yang dihasilkan. Panen seyogyanya dilakukan segera sesudah tanaman mencapai masak fisiologis. Kenyataan di lapangan, petani memanen jagung pada umur lebih 3 bulan hingga 4 bulan. Hal ini menyebabkan hasil panen terinfeksi oleh A. flavus (Tabel 4). Oleh karena itu perlu dihindari panen pada saat hujan. Sebelum dipipil, tongkol sebaiknya segera dikeringkan sesudah panen hingga kadar air 14% untuk menghindari kontaminasi aflatoksin dan biji rusak akibat pemipilan. Penumpukan tongkol kupas yang lama sebelum dikeringkan dan dipipil juga ember peluang terjadinya infeksi A. flavus.

c.

Tahap Pasca penen Petani umumnya mengeringkan jagung dengan sinar matahari, terutama yang dipanen

pada musim kemarau, yakni jagung kedua yang ditanam di lahan kering atau jagung yang ditanam di lahan sawah sesudah padi. Pengeringan jagung di lantai jemur tanpa alas, dan tidak cukup kering, kadar air air diatas 15% disimpan di gudang, cenderung untuk terinfeksi A. flavus, karena A. flavus dan spora paling banyak dijumpai di tanah dan udara sekitar lantai jemur dan gudang. Selama penyimpanan sementara yang masih akan diproses atau dikeringkan hingga kadar air kurang dari 14% dapat digunakan bahan kimia yang dapat menekan perkembangan A. flavus. Hasil penelitian Nesci et al. dalam Mulyawanti et.al (2006) menunjukkan bahwa antioksidan Propyparaben dan butylated hidroxy anisole dapat menghambat produksi aflatoksin B1 pada banyak strain A. flavus, sehingga dapat dipertimbangkan sebagai fungitoksikan untuk A. flavus dan A. parasiticus. Fumigasi dengan CO2 dengan cara memasukkan biji jagung ke dalam wadah plastik atau terpal plastik yang tertutup rapat, udara di dalamnya dikeluarkan dengan vacuum blower, kemudian difumigasi dengan CO2 pada takaran 0,3 0,5 kg/ton. Jika petani atau pedagang ingin menunggu harga yang lebih baik, biji jagung sebaiknya disimpan dalam wadah kedap udara sesudah ikeringkan dengan kadar air < 14%. Penyimpanan diatas 14% dapat menyebabkan berkembangnya A. flavus.

Pada saat penyimpanan, beberapa hal yang perlu diperhatikan meliputi: 1. Tempat penyimpanan harus selalu dibersihkan, lingkungan sekitar dan peralatan penanganan pascapanen sebelum penyimpanan harus dibersihkan 2. Sebelum dilakukan penyimpanan, jagung harus dibersihkan dari rambut, biji pecah dan bendabenda asing

18

3. Jagung harus segera dikeringkan kurang lebih 24 jam hingga kadar air mencapai 15%, sedangkan penyimpanan dalam jangka waktu lama dapat dikeringkan sampai kadar air mencapai 13%. 4. Aerasi biji jagung untuk menjaga dan menstabilkan suhu 5. Penyimpanan biji harus selalu dicek secara teratur untuk menjaga kadar air tetap rendah dan suhu sesuai Menutur hasil penelitian dari Miskiyah dan Widaningsih (2008), cemaran Aflatoksin pada jagung dapat dikendalikan melalui metode HACCP pada tahapan-tahapan yang dianggap kritis mempengaruhi pertumbuhan Aflatoksin pada biji jagung (Tabel 9). HACCP merupakan alat yang tepat untuk menetapkan sistem pengendalian karena berokus pada pencegahan bukan pada produk akhir. Tabel. 9. Lembaran HACCP Penanggulangan Pascapanen jagung Untuk Mengendalikan Aflatoksin
Tahapan proses Pemanasan Deskripsi bahaya Jamur/kontamin asi aflatoksin Kemungkinan untuk mengontrol Panen tepat waktu Prosedur monitoring - Melihat jadwal tanam - Batang, daun, kelobot buah, jagung berubah menjadi kuning atau mulai mengering - Bila jagung dikupas biji jagung nampak keras, bernas dan mengkilap - Bila ditekan dengan kuku tangan pada biji jagung tidak tampak bekas tekanan - Pengupasan dilakukan secepat mungkin, hindari serangga yang dapat mengakibatkan biji rentan terhdap serangan jamur - Bersihkan kotoran yang terikut ketika pengupasan jagung, pekerja menggunakan sandal/alas Cek secara visual Tindakan koreksi Pisahkan tongkol jagung yang terinfeksi serangga/jamur

pengupasan

Jamur, serangga, kotoran rambut jagung, ranting, debu

Meminimalkan pengupasan Sanitasi lingkungan Higiene pekerja

Dibersihkan kembali

Sortasi

Pengeringan

Jamur, serangga, batu, ranting, rambut jagung, dll Jamur, serangga, batu, ranting, rambut jagung, dll

Sortasi dilakuakn oleh pekerja yang terlatih dan teliti Keringkan tongkol jagung sampai AW yang aman (0,82) hindarkan rewetting (lembab kembali) dengan ventilasi penyimpanan yang maksimal Keringkan bijian pada KA yang aman Minimalkan bijian

Sortasi ulang

Bila antar biji jagung digesekgesek akan terdengar bunyi kresek yang nyarign dan atau Uji kadar air

Dilanjutkan pengeringan

Pemipilan

Jamur,

Cek secara visual

sortasi

19

pembersihan

serangga, kerusakan karena pemipilan dengan mesin, adanya kotoran, rambut jagung, raning, dll Jamur, serangga, bakteri Adanya kotoran, rambut jagung, ranting, dll Jamur, serangga, bakteri Adanya kotoran, rambut jagung, ranting, dll Jamur, serangga, bakteri Adanya kotoran, rambut jagung, ranting, dll Jamur, serangga, bakteri Adanya kotoran, rambut jagung, ranting, dll

yang pecah pemipilan

melalui

Sortasi mutu

Higiene pekerja dan sanitasi lingkungan dan peralatan Pekerja yang terampil Insektisida, hindari debu atau bahan organik lain Sortasi dilakukan dengan teliti dengan menggunakan pengemas yang bersih dan kuat

Kotoran maksimal 5%

Sortasi ulang

Cek secara visual Cek dengan indera

Sortasi ulang

pengemasan

Pengemasan dilakukan dengan teliti dan menggunakan pengemas yang bersih dan kuat

Cek secara visual Penimbangan

Gunakan pengemas yang bersih Timbang ulang

Penyimpanan

Sanitasi lingkungan dan higienan pekerja Hindarkan rewtting (lembab kembali) dengan ventilasi penyimpanan yang maksimal Keringkan bijian pada KA yang aman

Cek sanitasi

Pembersihan

Sumber : Miskiyah dan Widaningrum (2008) Berdasarkan hasil penelitian tersebut kita dapat mengetahui beberapa titik kritis selama proses pasca panen jagung. Dapat dilihat bahwa semua tahapan proses dalam pasca panen rentan terhadap bahaya serangan jamur, serangga dan bakteri. Oleh sebab itu perlu ditentukan tindakan monitoring dan tindakan koreksi pada setiap tahap tersebut. Menurut saya, semua tahapan dalam pasca panen ini cukup penting dalam mengantisipasi cemaran jamur A.flavus yang akan menghasilkan aflatoksin, jika semua tahapan ini dilakukan dengan baik beserta koreksi yang disarankan, maka kemungkinan besar kita bisa meminimalisir cemaran aflaoksin dari tahap ke tahap. Dengan demikian gabungan dari semua tindakan yang dipaparkan di atas, baik pada tahap pra panen, panen dan pasca panen dapat berpeluang besar meminimalisir cemaran

Aflatoksin, bahkan meniadakan kadar aflatoksin pada jagung. Jagung dengan cemaran aflatoksin
20

yang minimal, secara otomatis akan menghasilkan nilai jual yang tinggi, yang tentunya dapat meningkatkan pendapatan petani. Konsumen pun akan merasa aman, karena jagung yang dikonsums sudah bebas dari cemaran Aflatoksin.

21

BAB IV PENUTUP

4.1. Kesimpulan Kadar air, suhu penyimpanan, kelembapan relatif udara, dan lama penyimpanan serta keterlambatan panen dapat meningkatkan cemaran Aflatoksin pada Jagung Upaya yang dilakukan untuk mengurangi cemaran Aflatoksin antara lain kontrol lingkungan (suhu, pH, aktivitas air dan kondisi atmosfir aerobik), tindakan fisik

(dikeringkan dengan sinar matahari), penggunaan bahan kimia dan penggunaan varietas tahan. Pengendalian pertumbuhan kapang A.flavus penghasil Aflatoksin dapat dilakukan pada proses mulai dari pra panen sampai pada tahapan pasca panen.

4.2. Saran Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap penggunaan pestisida alami (biopestisida) untuk membunuh kapang Aspergillus flavus, agar penggunaannya aman bagi lingkungan dan aman bagi konsumen jagung lebih khususnya.

22

DAFTAR PUSTAKA

Kusumaningrum, H.et al. 2010. Cemaran Aspergillus Flavus Dan Aflatoksin Pada Rantai Distribusi Produk Pangan Berbasis Jagung Dan Faktor Yang Mempengaruhinya. Departemen Ilmu Dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Jurnal Teknologi Dan Industri Pangan, Vol XXI No.2.

Mulyawanti, et al. 2006. Aflatoksin Pada Jagung Dan Cara Pencegahannya. Buletin Teknologi Pascapanen Pertanian: Vol.2.

Rachmawati, S. 2005. Aflatoksin Dalam Pakan Ternak Di Indonesia : Persyaratan Kadar Dan Pengembangan Teknik Deteksi-Nya. Balai Penelitian Veteriner. Wartazoa Vol. 15 No. I. Talanca, H. dan S, Masud. 2009. Pengelolaan Cendawan Aspergillus Flavus Pada Jagung. Prosiding Seminar Nasional Serealia. ISBN :978-979-8940-27-9 Balai Penelitian Tanaman Serealia

Tandiabang, J. 2010. Pengendalian Aflatoksin Untukperbaikan Kualitas Biji Jagung. Prosiding Seminar Ilmiah Dan Pertemuan Tahunan PEI Dan PFI XX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros

Widaningrum dan Miskiah. 2008. Pengendalian Aflatoksin Pada Jagung Melalui Penerapan HACCP. Jurnal Standarisasi Vol. 10 , No.1:1-10

Yenni. 2006. Aflatoksin Dan Aflatoksikosis Pada Manusia. Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Universa Medicina Januari-Maret. Vol.25 No.1

Yusrini, H. 2010. Teknik Pengujian Kadar Aflatoksin B1 Pada Jagung Menggunakan Kit Elisa. Buletin Teknik Pertanian Vol. 15, No. 1: 28-32.

23

24

Anda mungkin juga menyukai