Jenis Dan Proses Terjadinya Kontaminasi Selama Penyimpanan

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 12

JENIS DAN PROSES TERJADINYA KONTAMINASI SELAMA

PENYIMPANAN (FOOD ADDITIVE) PRODUK PERTANIAN


Ditujukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Toksikologi

Disusun oleh:

Mayang Winoti 150110080216

Riski Laila Annisa 150110080221

Nur Qomariah Mtd 150110080224

Imam Muddin 150110080225

Muhammad Fadhil A. 150110080226

Lina Marlina 150110080233

Irsan Maulana 150110080242

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

JATINANGOR

2011
BAB I

PENDAHULUAN

Makanan merupakan sumber energi yang dibutuhkan oleh manusia dan hewan untuk
melangsungkan kehidupannya. Namun, makanan dapat menjadi sumber penyakit jika tidak
memenuhi kriteria sebagai makanan baik, sehat dan aman. Berbagai kontaminan dapat
mencemari bahan pangan dan pakan sehingga tidak layak untuk dikonsumsi.

Mikroba, termasuk mikroba patogen, yang mengkontaminasi buah dan sayur segar bisa
berasal dari segala sesuatu yang kontak dengan mereka selama budidaya, pengolahan awal
(pemanenan, penanganan pasca panen, distribusi) dan preparasi buah dan sayur sebelum
dikonsumsi. Pada saat diladang atau dikebun, kontaminasi bisa berasal dari hewan liar, pupuk
kandang, pekerja maupun air yang digunakan untuk keperluan budidaya. Pada saat pengolahan
awal, kontaminasi bisa berasal dari air dan es yang digunakan untuk mencuci dan mendinginkan
produk, wadah dan peralatan yang digunakan serta pekerja. Pada saat preparasi di jasa boga atau
rumah tangga, kontaminasi kembali bisa terjadi melalui penggunaan peralatan dan wadah yang
kotor, permukaan dan tangan untuk menangani buah dan sayur pada saat bersamaan juga dipakai
untuk menangani daging, ayam atau bahan hewani lainnya, melalui kontaminasi silang selama
penyimpanan atau dari pekerja yang menangani buah dan sayur segar tersebut dalam kondisi
sakit atau terinfeksi patogen (tetapi tidak menunjukkan gejala sakit).

Di Amerika Serikat, data yang dikumpulkan oleh Centers for Disease Control and
Prevention menunjukkan terjadinya peningkatan kasus infeksi dan keracunan yang dihubungkan
dengan konsumsi buah dan sayur segar serta juice yang tidak dipasteurisasi. Hal ini sejalan
dengan meningkatnya konsumsi buah dan sayur segar di negara tersebut.
Kualitas makanan atau bahan makanan di alam ini tidak terlepas dari berbagai pengaruh
seperti kondisi dan lingkungan, yang menjadikan layak atau tidaknya suatu makanan untuk
dikonsumsi. Berbagai bahan pencemar dapat terkandung di dalam makanan karena penggunaan
bahan baku pangan terkontaminasi, proses pengolahan, dan proses penyimpanan. Di antara
kontaminan yang sering ditemukan adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang.

Selama penyimpanan, makanan atau bahan makanan sangat mudah ditumbuhi oleh
kapang. Iklim tropis yang dimiliki Indonesia dengan curah hujan, suhu dan kelembaban yang
tinggi sangat mendukung pertumbuhan kapang penghasil mikotoksin. Kontaminasi mikotoksin
tidak hanya menurunkan kualitas bahan pangan/pakan dan mempengaruhi nilai ekonomis, tetapi
juga membahayakan kesehatan manusia dan hewan. Berbagai penyakit dapat ditimbulkan oleh
mikotoksin, seperti kanker hati yang disebabkan oleh aflatoksin, salah satu jenis mikotoksin yang
paling banyak ditemukan di negara beriklim tropis.

Karena adanya kontaminasi mikotoksin tidak kasat mata, terlebih lagi pada makanan
olahan, maka diperlu kewaspadaan dalam memilih makanan terutama bahan makanan atau
makanan olahan yang telah disimpan dalam waktu lama.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Mikotoksin

Mikotoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spesies kapang tertentu


selama pertumbuhannya pada bahan pangan maupun pakan (Fox dan Cameron, 1989).
Mikotoksin mulai dikenal sejak ditemukannya aflatoksin yang menyebabkan Turkey X –
disease pada tahun 1960.

Hingga saat ini telah dikenal 300 jenis mikotoksin (Cole dan Cox, 1981), lima jenis
diantaranya sangat berpotensi menyebabkan penyakit baik pada manusia maupun hewan, yaitu
aflatoksin, okratoksin A, zearalenon, trikotesena (deoksinivalenol, toksin T2) dan fumonisin.
Menurut Bhat dan Miller (1991) sekitar 25-50% komoditas pertanian tercemar kelima jenis
mikotoksin tersebut. Penyakit yang disebabkan karena adanya pemaparan mikotoksin
disebut mikotoksikosis.

Perbedaan sifat-sifat kimia, biologik dan toksikologik tiap mikotoksin menyebabkan


adanya perbedaan efek toksik yang ditimbulkannya. Selain itu, toksisitas ini juga ditentukan
oleh: (1) dosis atau jumlah mikotoksin yang dikonsumsi; (2) rute pemaparan; (3) lamanya
pemaparan; (4) spesies; (5) umur; (6) jenis kelamin; (7) status fisiologis, kesehatan dan gizi; dan
( 8 ) efek sinergis dari berbagai mikotoksin yang secara bersamaan terdapat pada bahan pangan
(Bahri et al., 2002).

2.2 Aflatoksin

Aflatoksin berasal dari singkatan Aspergillus flavus toxin. Toksin ini pertama kali


diketahui berasal dari kapang Aspergillus flavus yang berhasil diisolasi pada tahun 1960. A.
flavus sebagai penghasil utama aflatoksin umumnya hanya memproduksi aflatoksin B1 dan
B2 (AFB1 dan AFB2) Sedangkan A. parasiticus memproduksi AFB1, AFB2, AFG1, dan AFG2. A.
flavus dan A. parasiticus ini tumbuh pada kisaran suhu yang jauh, yaitu berkisar dari 10-120C
sampai 42-430C dengan suhu optimum 320-330C dan pH optimum 6.
Diantara keempat jenis aflatoksin tersebut AFB1 memiliki efek toksik yang paling tinggi.
Mikotoksin ini bersifat karsinogenik, hepatatoksik dan mutagenik sehingga menjadi perhatian
badan kesehatan dunia (WHO) dan dikategorikan sebagai karsinogenik gol 1A. Selain itu,
aflatoksin juga bersifat immunosuppresif yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh.

Gambar 1 Aspergillus Jamur ini Flavus, Yang Menghasilkan Aflatoksin

Di Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin yang sering ditemukan pada produk-


produk pertanian dan hasil olahan (Muhilal dan Karyadi, 1985, Agus et al., 1999). Selain itu,
residu aflatoksin dan metabolitnya juga ditemukan pada produk peternak seperti susu (Bahri et
al., 1995), telur (Maryam et al., 1994), dan daging ayam (Maryam, 1996). Sudjadi et al (1999)
melaporkan bahwa 80 diantara 81 orang pasien (66 orang pria dan 15 orang wanita) menderita
kanker hati karena mengkonsumsi oncom, tempe, kacang goring, bumbu kacang, kecap dan ikan
asin. AFB1, AFG1, dan AFM1 terdeteksi pada contoh liver dari 58% pasien tersebut dengan
konsentrasi diatas 400 µg/kg.

2.3 Okratoksin

Okratoksin, terutama Okratoksin A (OA) diketahui sebagai penyebab keracunan ginjal


pada manusia maupun hewan, dan juga diduga bersifat karsinogenik. Okratoksin A ini pertama
kali diisolasi pada tahun 1965 dari kapang Aspergillus ochraceus. Secara alami A.
ochraceus terdapat pada tanaman yang mati atau busuk, juga pada biji-bijian, kacang-kacangan
dan buah-buahan. Selain A.ochraceus, OA juga dapat dihasilkan olehPenicillium
viridicatum (Kuiper-Goodman, 1996) yang terdapat pada biji-bijian di daerah beriklim sedang
(temperate), seperti pada gandum di eropa bagian utara.

P.viridicatum tumbuh pada suhu antara 0 – 310 C dengan suhu optimal pada 200C dan pH
optimum 6 – 7. A.ochraceus tumbuh pada suhu antara 8 – 370C. Saat ini diketahui sedikitnya 3
macam Okratoksin, yaitu Okratoksin A (OA), Okratoksin B (OB), dan Okratoksin C (OC). OA
adalah yang paling toksik dan paling banyak ditemukan di alam.

Hal penting yang berkaitan dengan perdagangan komoditas kopi di pasar internasional
adalah bahwa sebagian besar negara pengimpor/ konsumen kopi mensyaratkan kadar OA yang
sangat rendah atau bebas OA.Selain pada produk tanaman, ternyata OA dapat ditemukan pada
berbagai produk ternak seperti daging babi dan daging ayam.  Hal ini karena OA bersifat larut
dalam lemak sehingga dapat tertimbun di bagian daging yang berlemak.  Manusia dapat
terekspose OA melalui produk ternak yang dikonsumsi.

2.4 Zearelanon

Zearalenon adalah toksin estrogenik yang dihasilkan oleh kapang Fusarium


graminearum, F.tricinctum, dan F. moniliforme.  Kapang ini tumbuh pada suhu optimum 20 –
250C dan kelembaban 40 – 60 %. Zearalenon pertama kali diisolasi pada tahun 1962. 
Mikotoksin ini cukup stabil dan tahan terhadap suhu tinggi.

Hingga saat ini paling sedikit terdapat 6 macam turunan zearalenon, diantara nya α-zearalenol
yang memiliki aktivitas estrogenik 3 kali lipat daripada senyawa induknya. Senyawa turunan
lainnya adalah 6,8-dihidroksizearalenon, 8-hidroksizearalenon, 3-hidroksizearalenon, 7-
dehidrozearalenon, dan 5- formilzearalenon. Komoditas yang banyak tercemar zearalenon adalah
jagung, gandum, kacang kedelai, beras dan serelia lainnya.

2.5 Trikotesena

Mikotoksin golongan trikotesena  dihasilkan oleh kapang Fusarium spp, Trichoderma,


Myrothecium, Trichothecium dan Stachybotrys. Mikotoksin golongan ini dicirikan dengan
adanya inti terpen pada senyawa tersebut. Toksin yang dihasilkan oleh kapang-kapang tersebut
diantaranya adalah toksin T-2 yang merupakan jenis trikotesena paling toksik. Toksin ini
menyebabkan iritasi kulit dan juga diketahui bersifat teratogenik. Selain toksin T-2, trikotesena
lainnya seperti deoksinivalenol, nivalenol dapat menyebabkan emesis dan muntah-muntah
(Ueno et al., 1972 dalam Sinha, 1993).

2.6 Fumonisin

Fumonisin termasuk kelompok toksin fusarium yang dihasilkan oleh


kapang Fusariumspp., terutama F. moniliforme dan F. proliferatum.  Mikotoksin ini relatif baru
diketahui dan pertama kali diisolasi dari F. moniliforme pada tahun 1988 (Gelderblom, et al.,
1988).  Selain F. moniliforme dan F. proliferatum, terdapat pula kapang lain yang juga mampu
memproduksi fumonisin, yaitu F.nygamai, F. anthophilum, F. diamini dan F. napiforme.

F. moniliforme tumbuh pada suhu optimal antara 22,5 – 27,50 C dengan suhu maksimum
32 – 370C.  Kapang Fusarium ini tumbuh dan tersebar diberbagai negara didunia, terutama
negara beriklim tropis dan sub tropis.  Komoditas pertanian yang sering dicemari kapang ini
adalah jagung, gandum, sorgum dan berbagai produk pertanian lainnya.

Hingga saat ini telah diketahui 11 jenis senyawa Fumonisin, yaitu Fumonisin B 1(FB1),
FB2, FB3 dan FB4, FA1, FA2, FC1, FC2, FP1, FP2 dan FP3.  Diantara jenis fumonisin tersebut,
FB1 mempunyai toksisitas yang dan dikenal juga dengan nama Makrofusin. FB 1 dan FB2 banyak
mencemari jagung dalam jumlah cukup besar, dan FB 1 juga ditemukan pada beras yang
terinfeksi oleh F.proliferatum.

Keberadaan kapang penghasil fumonisin dan kontaminasi fumonisin pada komoditi


pertanian, terutama jagung di Indonesia telah dilaporkan oleh Miller et al. (1993), Trisiwi
(1996), Ali et al., 1998 dan Maryam  (2000b). Meskipun  kontaminasi fumonisin pada hewan
dan manusia belum mendapat perhatian di Indonesia, namun keberadaannya perlu diwaspadai
mengingat mikotoksin ini banyak ditemukan bersama-sama dengan aflatoksin sehingga dapat
meningkatkan toksisitas kedua mikotoksin tersebut (Maryam, 2000a).

2.7 Kunci Untuk Meminimalkan Kontaminasi Pada Buah Dan Sayur

Penyakit tanaman, kerusakan permukaan sebelum, selama dan setelah pemanenan,


lamanya waktu antara dari proses panen ke proses pencucian, serta kondisi transportasi dan
penyimpanan yang buruk setelah pemanenan, selama pengolahan dan preparasi akan
menyebabkan jumlah mikroba meningkat secara pesat. Untuk meminimalkan resiko kontaminasi
mikroba ke dalam buah dan sayur, ada lima hal yang penting diperhatikan selama proses
budidaya, pemanenan dan penanganan pasca panen, distribusi dan preparasi buah dan sayur
sebelum dikonsumsi, yaitu:

1. Memperhatikan mutu air.

Karena air yang terkontaminasi bisa menjadi kendaraan untuk mengkontaminasi buah
dan sayur, maka kebersihan air yang digunakan menjadi faktor kritis terutama bagi buah dan
sayur yang akan dikonsumsi dalam bentuk segar, yang tidak dan/atau hanya mengalami proses
pengolahan yang minimal (tanpa pemanasan). Air yang digunakan untuk keperluan budidaya
maupun untuk pendinginan dan pengolahan harus air bersih. Air tercemar yang digunakan untuk
irigasi juga bisa menjadi sumber kontaminasi pada produk, jika selama proses irigasi air tersebut
kontak dengan bagian tanaman yang sifatnya dapat dimakan (bagian edible portion).

2. Perlindungan dari kontaminasi fekal.

Selama diladang atau dikebun, buah dan sayur sangat mudah terkontaminasi secara
langsung atau tidak langsung dengan pupuk yang berasal dari kotoran hewan (kompos), kotoran
hewan maupun kotoran manusia. Pemotongan jaringan tanaman pada saat panen meningkatkan
peluang masuknya patogen dari permukaan potongan yang terkontaminasi ke bagian dalam
tanaman.

3. Pencucian dan sanitasi buah dan sayur.

Saat ini banyak tersedia bahan pencuci dan sanitaiser yang bisa mengurangi tingkat
kontaminasi permukaan dari buah dan sayur segar. Akan tetapi, penggunaan bahan pencuci dan
sanitaiser ini harus diikuti pula dengan melakukan teknik pencucian dan sanitasi yang baik, agar
sanitaiser bisa berpenetrasi kebagian-bagian produk yang menjadi tempat berlindung patogen.

4. Penerapan suhu dingin sepanjang rantai distribusi dan penyimpanan.


Pengunaan suhu dingin selama distribusi dan penyimpanan produk akan mengurangi
resiko kontaminasi dengan menekan pertumbuhan mikroba patogen.

5. Perlindungan dari kontaminasi oleh pekerja.

Pekerja yang sakit atau yang terinfeksi (tanpa terlihat sakit) oleh patogen merupakan
sumber kontaminasi utama dari beberapa mikroba patogen seperti norovirus, virus hepatitis A,
Shigella, Staphylococcus dan Salmonella. Sehingga, kesehatan dan higiene pekerja penting
diperhatikan selama menangani buah dan sayur yang akan dikonsumsi segar.
BAB III

PENUTUP

Kontaminasi mikotoksin pada makanan sulit dihindari dan merupakan masalah  global,
terutama di Indonesia yang mempunyai iklim yang sangat mendukung pertumbuhan kapang
penghasil mikotoksin. Umumnya kontaminasi mikotoksin terjadi pada komoditi pertanian dan
hasil olahannya, atau pada bahan makanan yang disimpan terlalu lama. Mikotoksikosis dapat
terjadi karena adanya rantai makanan yang saling berkaitan, dimana pemaparan mikotoksin ke
dalam tubuh terjadi karena konsumsi bahan pangan yang sudah tercemar (efek primer) dan
konsumsi produk hewani (efek sekunder).

Dari begitu banyaknya jenis mikotoksin yang telah ditemukan, aflatoksin merupakan
mikotoksin yang paling banyak dijumpai di alam terutama di negara beriklim tropis, dan
mempunyai toksisitas yang lebih tinggi dari mikotoksin lainnya. Namun, toksisitas mikotoksin
tergantung beberapa faktor seperti dosis, rute pemaparan, lamanya pemaparan, spesies, umur,
jenis kelamin, status fisiologis ( kese-hatan dan gizi), serta adanya efek sinergis dari berbagai
mikotoksin dalam makanan.

Umumnya mikotoksin bersifat kumulatif, sehingga efeknya tidak dapat dirasakan dalam
waktu cepat dan sulit dibuktikan secara etiologi. Masalah lainnya, kontaminasi pada makanan
tidak dapat terlihat sehingga tidak mudah untuk  mengindikasi suatu makanan telah tercemar
mikotoksin kecuali dengan melakukan analisa laboratorium.

Namun demikian, cemaran mikotoksin dapat diindikasikan dengan terlihatnya infestasi


kapang meskipun adanya pertumbuhan kapang tidak selalu identik dengan produksi mikotoksin
karena mikotoksin dihasilkan pada kondisi tertentu. Suatu bahan makanan dapat saja terdapat
beberapa spesies kapang yang menghasilkan beberapa jenis mikotoksin yang saling beriteraksi
dan saling memperkuat tingkat toksisitas (efek sinergis).

Oleh karena alasan tersebut di atas, maka perlunya meningkatkan kewaspadaan dalam
memilih bahan makanan atau makanan olahan yang akan dikonsumsi dan tidak mengkonsumsi
makanan yang sudah kadaluarsa atau yang disimpan terlalu lama.
DAFTAR PUSTAKA

http://shantybio.transdigit.com

http://mtmiftahulkhoir.wordpress.com/2008/08/05/mewaspadai-bahaya-kontaminasi-mikotoksin-
pada-makanan/

http://minalove.com/kontaminasi-makanan-dan-penyakit-bawaan-makanan-yang-
ditimbulkan.html

http://foodsafety-quality.com/fsq-articles/keamanan-mikrobiologis-buah-dan-sayur-segar/

http://analisispengujianmutupangan.blogspot.com/2010/10/pengendalian-kontaminasi-
aflatoksin.html

Anda mungkin juga menyukai