Infeksi Ruang Parafaring

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN Makassar, September 2012

INFEKSI RUANG PARAFARING

Oleh: Aslamia Irpa 110 207 022 Kartika Marola 110 207 028

Pembimbing : dr. Handoko Nugroho Y

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK DI BAGIAN ILMU KESEHATAN THT-KL FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2012

I.

PENDAHULUAN Infeksi ruang leher bagian dalam berpotensi menyebabkan komplikasi yang

serius dan bahkan mengancam hidup, meskipun dengan penggunaan antibiotik telah menurunkan angka kematian dari infeksi ruang leher dalam. (1) Disamping itu higiene mulut yang meningkat juga berperan dalam hal ini. Sebelum era antibiotik, 70 % infeksi leher dalam berasal dari penyebaran infeksi dari faring dan tonsil ke ruang parafaring.(2) Tingkat komplikasi yang luar biasa dari masa lalu telah berkurang dengan munculnya mikrobiologi modern dan hematologi, pengembangan alat diagnostik canggih (misalnya, CT, MRI), efektivitas antibiotik modern, dan kelanjutan pengembangan protokol perawatan intensif medis dan bedah teknik. (3) Selama berabad-abad, diagnosis dan pengobatan infeksi ruang leher dalam telah menantang dokter dan ahli bedah. Kompleksitas dan lokasi dalam daerah ini membuat diagnosis dan pengobatan infeksi di daerah ini sulit. Infeksi ini tetap merupakan masalah kesehatan yang penting dengan resiko yang signifikan dari morbiditas dan mortalitas. Infeksi awal dapat diobati dengan antibiotik namun Setelah terjadi pembentukan abses, operasi masih dianggap sebagai pengobatan utama.(1, 3) Komplikasi yang berbahaya dari infeksi ruang parafaring adalah terkenanya pembuluh darah sekitarnya. Dapat terjadi tromboflebitis septik vena jugularis. Juga dapat terjadi perdarahan massif yang tiba-tiba akibat dari erosi arteri karotis interna. Komplikasi ini dapat memberi kesan dengan adanya perdarahan awal yang kecil (perdarahan tersamar).(4) Oleh karena itu penting untuk memahami patobiologi penyakit serta jalur anatomi penyebaran infeksi. Tujuannya adalah untuk intervensi yang agresif dari segi medis dan jika diindikasikan dilakukannya pembedahan, sebelum terjadinya komplikasi.(1)

II.

ANATOMI LEHER Pada daerah leher terdapat beberapa ruang potensial yang dibatasi oleh fasia

servikal. Fasia servikal dibagi menjadi dua yaitu fasia superfisial dan fasia profunda. Kedua fasia ini dipisahkan oleh otot platisma yang tipis dan meluas ke anterior leher. Otot platisma sebelah inferior berasal dari fasia servikal profunda dan klavikula serta meluas ke superior untuk berinsersi di bagian inferior mandibula. (1, 3, 5)

Gambar 1. Fascia Colli (6)

Gambar 2. Potongan aksial leher setinggi thyroid (1) Fasia superfisial terletak dibawah dermis. Ini termasuk sistem

muskuloapenouretik, yang meluas mulai dari epikranium sampai ke aksila dan dada, dan tidak termasuk bagian dari daerah leher dalam. Fasia profunda mengelilingi daerah leher dalam dan terdiri dari 3 lapisan, yaitu: (1, 3) 1. Lapisan superfisial 2. Lapisan tengah 3. Lapisan dalam

2.1.

Ruang potensial leher dalam Ruang potensial leher dalam dibagi menjadi ruang yang melibatkan daerah

sepanjang leher, ruang suprahioid dan ruang infrahioid.(1, 3) 1. Ruang yang melibatkan sepanjang leher terdiri dari: a) Ruang retrofaring b) Ruang bahaya (danger space) c) Ruang prevertebra

2. Ruang suprahioid terdiri dari: a) Ruang submandibula b) Ruang parafaring c) Ruang parotis d) Ruang mastikor e) Ruang peritonsil f) Ruang temporalis

3. Ruang infrahioid : a) Ruang pretrakeal

Gambar 3. Potongan oblik leher (1)

Gambar 4. Potongan Sagital Leher (1)

2.2

ANATOMI FARING (4, 5, 7) Faring adalah suatu kantong fibromuskular yang berbentuk corong yang besar

di bagian atas dan sempit di bagian bawah. Kantong ini mulai dari dasar tengkorak terus menyambung ke esofagus setinggi vertebra servikal ke VI. Pada bagian atas, faring berhubungan dengan rongga hidung melalui koana, pada bagian depan berhubungan dengan mulut melalui istmus orofaring, sedangkan laring di bawah berhubungan melalui additus laring dan ke bawah berhubungan dengan esofagus. Panjang dinding posterior faring pada orang dewasa kurang lebih 14 cm. Bagian ini merupakan bagian dinding faring yang terpanjang. Bagian faring yang terlebar terdapat setinggi os hyoideum (5cm), dan bagian faring yang tersempit (1,5cm) pada ujung bawahnya, yakni pada peralihannya ke esophagus. Dinding laring dibentuk oleh selaput lendir, fasia faringobasiler, pembungkus otot dan sebagian fasia bukofaringeal. Secara anatomis, faring terbagi menjadi, nasofaring, orofaring, dan laringofaring.

Untuk keperluan klinis faring dibagi menjadi tiga bagian utama yaitu nasofaring, orofaring dan laringofaring atau hipofaring. Sepertiga bagian atas atau nasofaring adalah bagian pernafasan dari faring dan tidak dapat bergerak, kecuali palatum molle bagian bawah. Bagian tengah faring, disebut orofaring, meluas dari batas bawah palatum molle sampai permukaan lingual epiglottis. Pada bagian ini termasuk tonsila palatina dengan arkusnya dan tonsila lingualis yang terletak pada dasar lidah. Bagian bawah faring dikenal dengan laringofaring atau hipofaring, menunjukan daerah jalan nafas bagian atas yang terpisah dari saluran pencernaan bagian atas. a. Nasofaring Nasofaring terletak di belakang rongga hidung, di atas palatum molle. Bila palatum molle diangkat dan dinding posterior faring ditarik ke depan, seperti waktu menelan, maka nasofaring tertutup dari orofaring. Nasofaring mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding lateral. Atap nasofaring dibentuk oleh corpus ossis sphenoidalis dan pars basilaris ossis occipitalis. Kumpulan jaringan limfoid yang disebut tonsila pharyngealis, terdapat di dalam submmucosa daerah ini. Dasar nasofaring dibentuk oleh permukaan atas palatum molle yang miring. Isthmus pharyngeus adalah lubang di dasar nasopharynx di antara pinggir bebas palatum molle dan dinding posterior faring. Selama menelan, hubungan antara naso dan orofaring tertutup oleh naiknya palatum molle dan tertariknya dinding posterior faring ke depan. Dinding anterior nasopharynx dibentuk oleh apertura nasalis posterior, dipisahkan oleh pinggir posterior septum. Dinding posterior membentuk permukaan miring yang berhubungan dengan atap. Dinding ini ditunjang oleh arcus anterior atlantis. Dinding lateral pada tiap-tiap sisi mempunyai muara tuba auditiva ke pharynx. Pinggir posterior tuba membentuk elevasi yang disebut elevasi tuba. M.salphingopharyngeus yang melekat pada pinggir bawah tuba, membentuk lipatan vertical pada membranca mucosa yang disebut plica salphingopharyngeus.

Recessus pharyngeus adalah lekukan kecil pada dinding lateral di belakang elevasi tuba. Kumpulan jaringan limfoid di dalam submucosa di belakang muara tuba auditiva disebut tonsila tubaria. b. Orofaring Orofaring terletak di belakang cavum oris dan terbentang dari palatum molle sampai ke pinggir atas epiglotis. Orofaring mempunyai atap, dasar, dinding anterior, dinding posterior, dan dinding lateral. Atap orofaring dibentuk oleh permukaan bawah palatum molle dan isthmus pharyngeus. Kumpulan kecil jaringan limfoid terdapat di dalam submucosa permukaan bawah palatum molle. Dasar orofaring dibentuk oleh sepertiga posterior lidah (yang hampir vertical) dan celah antara lidah dan permukaan anterior epiglottis. Membrana mucosa yang meliputi sepertiga posterior lidah berbentuk irregular, yang disebabkan oleh adanya jaringan limfoid di bawahnya, disebut tonsila linguae. Membrana mucosa melipat dari lidah menuju epiglottis. Pada garis tengah terdapat elevasi, yang disebut plica glossoepiglottica mediana, dan dua plica glossoepiglottica lateralis. Lekukan kanan dan kiri plica glossoepiglottica mediana disebut vallecula. Dinding anterior terbuka ke dalam rongga mulut melalui isthmus orofaring (isthmus faucium). Di bawah isthmus ini terdapat pars pharyngeus linguae. Dinding posterior orofaring disokong oleh corpus vertebra cervicalis kedua dan bagian atas corpus vertebra cervicalis ketiga. Pada kedua sisi dinding lateral terdapat arcus palatoglossus dan arcus palatopharyngeus dengan tonsila palatina di antaranya. Arcus palatoglossus adalah lipatan membrane mucosa yang menutupi m. palatoglossus yang terdapat di bawahnya. Celah di antara kedua arcus palatoglossus merupakan batas antara rongga mulut dan orofaring dan disebut isthmus faucium. Arcus palatopharyngeus adalah lipatan membrane mucosa pada dinding lateral orofaring, di belakang arcus palatoglossus. Lipatan ini M. palatopharyngeus yang ada di bawahnya. Fossa tonsilaris adalah sebuah recessus berbentuk segitiga pada dinding lateral orofaring di antara arcus palatoglossus di depan dan arcus palatopharyngeus di

belakang. Fossa ini ditempati oleh tonsila palatina. Tonsila palatina merupakan dua massa jaringan limfoid yang terletak pada dinding lateral orofaring di dalam fossa tonsilaris. Setiap tonsil diliputi oleh membran mucosa, dan permukaan medialnya yang bebas menonjol ke dalam faring. Pada permukaannya terdapat banyak lubang kecil, yang membentuk crypta tonsillaris. Permukaan lateral tonsila palatina ini diliputi oleh selapis jaringan fibrosa yang disebut capsula. Tonsila mencapai ukuran terbesarnya pada masa anak-anak, tetapi sesudah pubertas akan mengecil dengan jelas. Batas anterior dari tonsila palatina adalah arcus palatoglossus. Di posterior terdapat arcus palatopharyngeus. Pada superior terdapat palatum molle, disini tonsila palatina dilanjutkan oleh jaringan limfoid di permukaan bawah palatum molle. Di inferior dari tonsila palatina terdapat sepertiga posterior lidah. Di sebelah medial dari tonsila palatina terdapat orofaring. Dan batas lateral tonsila palatine adalah kapsula yang dipisahkan dari m. constrictor pharyngis superior oleh jaringan alveolar jarang. Pendarahan arteri yang mendarahi tonsila adalah a. tonsilaris, sebuah cabang dari a. facialis. Sedangkan aliran vena-vena menembus m. constrictor pharyngis superior dan bergabung dengan v. palatine externa, v. pharyngealis, atau v. facialis. Pada aliran limfe, pembuluh-pembuluh limfe bergabung dengan nodi lymphoidei profundi. Nodus yang terpenting dari kelompok ini adalah nodus nodus jugulodigastricus, yang terletak di bawah dan belakang angulus mandibula. c. Laringofaring Laringofaring terletak di belakang aditus larynges dan permukaan posterior laring, dan terbentang dari pinggir atas epiglottis sampai dengan pinggir bawah cartilago cricoidea. Laringofaring mempunyai dinding anterior, posterior, dan lateral. Dinding anterior laringofaring dibentuk oleh aditus laryngis dan membrane mucosa yang meliputi permukaan posterior laring. Dan dinding posterior laringofaring disokong oleh corpus vertebra cervicalis ketiga, keempat, kelima, dan keenam. Sedangkan dinding lateral laringofaring disokong oleh cartilage thyroidea dan
8

membrane thyroidea. Sebuah alur kecil tetapi penting pada membrane, disebut fossa piriformis, terletak di kanan dan kiri aditus laryngis. Fossa ini berjalan miring ke bawah dan belakang dari dorsum linguae menuju oesophagus. Fossa piriformis dibatasi di medial oleh plica aryepiglottica dan di lateral oleh lamina cartilago thyroidea dan membrane thyroidea. Pada pemeriksaan laringofaring dengan dengan kaca tenggorok pada pemeriksaan laring tidak langsung atau dengan laryngoskop akan tampak struktur yang dinamakan valekula (pills pocket), yang merupakan 2 buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glossoepiglotika medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral pada tiap sisi.

2.3

Ruang Faringeal Ada dua ruang yang berhubungan dengan faring yang secara klinik

mempunyai arti penting, yaitu ruang retrofaring dan ruang parafaring. (8)

a.

Ruang Retrofaring (Retropharyngeal Space) Dinding anterior ruang ini adalah dinding belakang faring yang terdiri dari

mukosa fasia faringobasilar dan otot-otot faring. Ruang ini berisi jaringan ikat jarang dan fasia prevertebralis. Ruang ini mulai dari dasar tengkorak di bagian atas sampai batas paling bawah dari fasia servikalis. Serat - serat jaringan ikat di garis tengah mengikatnya pada vertebra. Di sebelah lateral ruang ini berebatasan dengan fosa faringomaksila. Abses retrofaring sering ditemukan pada bayi atau anak. Kejadiannya ialah karena di ruang retrofaring terdapat kelenjar - kelenjar limfa. Pada peradangan kelenjar limfa itu, dapat terjadi supurasi, yang bilamana pecah, nanahnya akan tertumpah di dalam ruang retrofaring. Kelenjar limfa di ruang retrofaring ini akan banyak menghilang pada pertumbuhan anak. (8)

b.

Ruang Parafaring (Fosa Faringomaksila= Pharyngo-Maxillary Fossa) Ruang ini berebentuk kerucut dengan dasarnya yang terletak pada dasar

tengkorak dekat foramen jugularis dan puncaknya pada kornu mayus os hyoid. Ruang ini dibatasi di bagian dalam oleh M.Konstriktor faring superior, batas luarnya adalah ramus asenden mandibula yang melekat dengan M.Pterigoid interna dan bagian posterior kelenjar parotis.(8) Fosa ini dibagi menjadi dua bagian yang tidak sama besarnya oleh os. Stiloid dengan otot yang melekat padanya. Bagian anterior (prestiloid) adalah bagian yang lebih luas dan dapat mengalami proses supuratif sebagai akaibat tonsil yang meradang, beberapa bentuk mastoiditis atau petrositis, atau dari karies dentis. Bagian yang lebih sempit di bagian posterior (post stiloid) berisi A. Karotis interna, V. Jugularis interna, N.Vagus, yang dibungkus dalam suatu sarung yang disebut selubung karotis (carotid sheath). Bagian ini dipisahkan dari ruang retrofaring oleh suatu lapisan fasia yang tipis. (8)

Gambar 5. Ruang leher bagian dalam (9)

10

Gambar 6. Ruang ruang di leher dilihat dari potongan coronal (10)

III.

DEFENISI

Infeksi leher bagian dalam berkembang dalam ruang faring yang potensial. Sumber infeksi dapat berasal dari gigi geligi, faring, atau traumatik, dimana terjadi perforasi pada membran mukosa pelindung mulut atau ruang faring. (4) Infeksi faring dapat meluas masuk ke ruang potensial yang dikelilingi bidangbidang fasia ini. Karena pada umumnya pasien diobati dengan antibiotik, maka perkembangan klasik dari infeksi ruang fasia dari leher bagian dalam jarang ditemukan pada saat sekarang. Dokter sebaiknya memastikan secara lebih awal ruang yang mana yang paling sering terkena demikian juga dengan organisme yang mungkin jadi penyebab. (4) Jika infeksi meluas dari faring ke ruang ini, pasien akan menunjukkan trismus yang jelas. Sedangkan dinding faring lateral mungkin terdorong ke medial, seperti pada abses peritonsilar, infeksi ini sebaiknya selalu dilakukan drainase melalui insisi servikal. Leher menjadi bengkak dekat sudut mandibula, CT Scan membantu dalam menggambarkan abses.(4) Infeksi leher dalam dapat berkembang menjadi peradangan dan phlegmon atau abses fulminan dengan cairan purulen. (3)

11

Gambar 7. Infeksi Ruang Parafaring (11)

IV.

EPIDEMIOLOGI Belum ada data yang akurat dari frekuensi infeksi ruang leher bagian dalam di

Amerika Serikat atau seluruh dunia saat ini ada. Tingkat komplikasi juga cenderung lebih besar di daerah tanpa akses yang luas untuk pengobatan medis modern, termasuk antibiotik, modalitas pencitraan, dan dukungan perawatan intensif. (3) Ungkanont dkk terakhir 117 anak yang dirawat untuk infeksi leher yang dalam selama periode 6-tahun. Hasil distribusi sebagai berikut : Infeksi Peritonsillar (49%) Infeksi Retropharyngeal (22%) Infeksi Submandibular (14%) Infeksi Buccal (11%) Infeksi Ruang Parapharyngeal (2%) Infeksi ruang Canine (2%)

12

V.

ETIOLOGI

Ruang parafaring dapat mengalami infeksi dengan cara : (8) 1. Langsung, yaitu akibat tusukan jarum pada saat melakukan tonsilektomi dengan analgesia. Peradangan terjadi karena ujung jarum suntik yang telah terkontaminasi kuman menembus lapisan otot tipis (m.konstriktor faring superior) yang memisahkan ruang parafaring dari fossa tonsilaris. 2. Proses supurasi kelenjar limfa leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal, mastoid dan vertebra servikalis dapat merupakan sumber infeksi untuk terjadinya abses ruang parafaring. 3. Penjalaran infeksi dari ruang peritonsil, retrofaring, atau submandibula. Infeksi ruang parapharyngeal dapat terjadi dari :(10) 1. Faring. infeksi akut dan chronic dari tonsil dan adenoid, pecahnya abses peritonsillar. 2. 3. 4. 5. Gigi. infeksi gigi biasanya berasal dari gigi molar terakhir bagian bawah Telinga. Bezolds abcess, petrositis. Tempat lain. Infeksi parotis, retropharyngeal dan ruang submaxillary. Eksternal trauma. Penetrating injuries pada leher, injeksi dari anestesi lokal untuk tonsilectomy atau pada mandibula nerve block.

Gambar 8. Ruang ruang di leher yang berhubungan dengan faring dimana abses berasal. (10)
13

Bakteriologi dari daerah gigi, oro-fasial, dan abses leher, kuman yang paling dominan adalah kuman anaerob yaitu, Prevotella, Porphyromonas, Fusobacterium spp, dan Peptostreptococcus spp. Bakteri aerob dan fakultatif adalah Streptococcus pyogenic dan Stapylococcus aureus. (11)

VI.

GEJALA DAN TANDA KLINIS Gejala dan tanda yang utama ialah trismus, indurasi, atau pembengkakan

disekitar angulus mandibula, demam tinggi dan pembengkakan dinding lateral faring, sehingga menonjol kearah medial. (8) Gejala Klinis tergantung pada kompartemen yang terlibat.(10) Infeksi pada kompartemen anterior menghasilkan tiga gejala: (10) a) b) c) Prolaps tonsil dan tonsil fosa, Trismus (spasme otot pterygoideus medial) dan Eksternal pembengkakan di belakang sudut rahang. Ada odynophagia ditandai terkait dengannya. Keterlibatan kompartemen posterior menghasilkan : (10) a) b) Penonjolan faring pada bagian belakang Kelumpuhan nervus kranialis IX, X, Xl dan XII dan rangkaian saraf simpatik dan c) Pembengkakan daerah parotis. Terdapat trismus minimal atau tonsil prolaps. Demam, odynophagia, sakit tenggorokan, tortikolis (karena spasme otot prevertebral) dan tanda-tanda toxaemia pada umumnya bila mengenai kedua kompartemen.

14

VII.

PATOGENESIS

Gambar 9. Penyebaran infeksi ruang leher bagian dalam (11) Sumber infeksi paling sering pada abses leher dalam berasal dari infeksi tonsil dan gigi. Infeksi gigi dapat mengenai pulpa dan periodontal. Penyebaran infeksi dapat meluas melalui foramen apikal gigi ke daerah sekitarnya. Apek gigi molar I yang berada di atas mylohyoid menyebabkan penjalaran infeksi akan masuk terlebih dahulu ke daerah sublingual, sedangkan molar II dan III apeknya berada di bawah mylohyoid sehingga infeksi akan lebih cepat ke daerah submaksila. (12) Penyebaran abses leher dalam dapat melalui beberapa jalan yaitu hematogen, limfogen, dan celah antar ruang leher dalam. Beratnya infeksi tergantung dari virulensi kuman, daya tahan tubuh dan lokasi anatomi. (12)

15

Infeksi dari submandibula dapat meluas ke ruang mastikor kemudian ke parafaring. Perluasan infeksi ke parafaring juga dapat langsung dari ruang submandibula. Selanjutnya infeksi dapat menjalar ke daerah potensial lainnya. (12)

VIII.

DIAGNOSIS Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat penyakit (tonsilitis,

tonsilektomi, infeksi gigi) , gejala, dan tanda klinik. Bila meragukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen jaringan lunak AP atau CT Scan. CT Scan adalah modalitas utama untuk mengetahui bagian yang terkena. (2, 8)

Gambar 10. CT- Scan abses parafaring. (1)

IX.

DIAGNOSA BANDING Ruang leher yang terletak jauh di dalam leher membuat diagnosis infeksi sulit

karena infeksi leher dalam mungkin sulit untuk dilakukannya palpasi dan sulit dilakukan penilaian dari luar. Tanda dan gejala sangat tergantung pada ruang-ruang tertentu yang terlibat. Nyeri tenggorok dan demam yang disertai dengan terbatasnya gerakan membuka mulut dan leher dapat dijumpai pada abses leher dalam lainnya. Adanya massa pada ruang parapharyng dapat memberikan keluhan utama seperti trismus, disfagia, perubahan suara. (3, 13)

16

a. Abses Retrofaring Penyakit ini terjadi terutama pada bayi atau anak-anak kecil yang berusia di bawah lima tahun. Hal ini terjadi karena pada usia tersebut ruang retrofaring masih berisi kelenjar limfa, masing-masing 2-5 buah pada sisi kanan dan kiri. Pada anak yang lebih tua atau dewasa penyakit ini hampir selalu terjadi sekunder akibat dari penyebaran abses spatium parafaringeum atau gangguan traumatik dari batas dinding faring posterior oleh trauma yang berasal dari benda asing atau selam penggunaan alat-alat atau intubasi. (8) Gejala abses retrofaring ialah rasa nyeri dan sukar menalan. Pada anak kecil, menyebakan anak menangis terus (rewel) dan tidak mau makan atau minum. Juga terdapat demam, leher kaku dan nyeri. Stridor terjadi jika abses semakin besar atau edema meluas ke bawah mengenai laring. Pada dewasa terdapat gejala disfagia, nyeri menelan, dan gejala-gejala yang memberi kesan adanya obstruksi jalan napas. Pada orang dewasa, jika abses semakin besar terdapat nyeri dan pembengkakan pada leher, spatium parafaringeum biasanya terkena secara bersamaan.(8) b. Abses Peritonsilar Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsillitis akut atau infeksi yang bersumber dari kelenjar mucus Weber di kutub atas tonsil. Pada stadium permulaan (stadium infiltrate), selain pembengkakan tampak permukannya hiperemis. (8) Bila proses berlangsung terus, peradangan jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada M. pterigoid interna, sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, mungkin dapat terjadi aspirasi ke paru. (8) Selain gejala dan tanda tonsillitis akut, juga terdapat odinofagia (nyeri menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga terjadi otalgia, mungkin terdapat regurgitasi, foetor ex ore, hipersalivasi, hot potato voice, dan kadang-kadang trismus,serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan. (8)

17

c. Abses Submandibula Abses dapat terbentuk di ruang submandibula atau salah satu komponennya sebagai kelanjutan infeksi dari daerah kepala leher.(8) Infeksi dapat bersumber dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar liur atau kelenjar limfa submandibula. Mungkin juga sebagian kelanjutan infeksi ruang leher dalam lain. Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula dan atau di bawah lidah, mungkin berfluktuasi. Trismus sering ditemukan.(8) d. Tumor Parotis Neoplasma primer yang paling umum muncul dalam ruang parafaringeal yang berasal dari kelenjar ludah. Ini termasuk tumor yang timbul di kelenjar parotis, tumor kelenjar ludah yang timbul dalam mukosa faring dan kemudian menyebar ke parafaringeal. (13) Massa pada ruang parafaring relatif memberikan gejala yang sedikit tetapi tergantung dari pertumbuhan tumornya sendiri. Meskipun demikian penderita dengan tumor pada ruang parafaring memberikan gejala yang spesifik seperti kesulitan menelan, perubahan kualitas suara, disfagia, trismus obstruksi nasi, dan dapat pula terjadi deficit neurologi serta nyeri kepala. (13)

18

X.

TERAPI

Algoritma Penanganan Infeksi Leher Dalam(1) Infeksi leher dalam dapat mengancam jiwa, jika dicurigai atau diagnosa sudah ditegakkan, maka pasien harus dirawat inap. Mengamankan jalan napas adalah

pertimbangan pertama dan paling penting. Endotracheal tube (ETT) dapat dilakukan. Setelah jalan napas terjamin, dapat dilakukan kultur dengan cara aspirasi atau insisi.(1) Antibiotik diberikan sesuai dengan hasil kultur, tapi Kita dapat memberikan antibiotik sistemik secara intravena, seperti Ampisilin-Sulbaktam atau Klindamisin dengan Cephalosporin, seperti Ceftazidime, jika belum ada hasil kultur. Paling sering infeksi disebabkan oleh polimikroba.(1) Evakuasi abses harus segera dilakukan bila tidak ada perbaikan dengan antibiotika dalam 24-48 jam dengan cara eksplorasi dalam narkosis. Caranya melalui isisi dari luar dan intraoral.(8)

19

Gambar 11. Insisi Abses Parafaring (8) Insisi dari luar dilakukan 2 jari dibawah dan sejajar mandibula. Secara tumpul eksplorasi dilanjutkan dari batas anterior m. sternokleidomastoideus ke arah atas belakang menyusuri bagian medial medial mandibula dan M. pterigoid interna mencapai ruang parafaring dengan terabanya prosesus stiloid. Bila nanah terdapat di dalam selubung karotis, insisi dilanjutkan vertikal dari pertengahan insisi horizontal ke bawah di depan M. sternokleidomastoideus (cara Mosher). (8) Insisi intraoral dilakukan pada dinding lateral faring. Dengan memakai klem arteri eksplorasi dilakukan dengan menembus M. konstriktor faring superior ke dalam ruang parafaring anterior. Insisi intraoral dilakukan bila perlu dan sebagai terapi tambahan terhadap insisi eksternal. Pasien dirawat inap sampai gejala dan tanda infeki reda. (8)

IX.

KOMPLIKASI Komplikasi seringkali terjadi akibat keterlambatan diagnosa dan terapi.

Komplikasi yang berbahaya dari infeksi spatium faringomaksilaris adalah terkenanya pembuluh darah sekitarnya. Dapat terjadi tromboflebitis septic vena jugularis. Juga dapat terjadi perdarahan massif yang tiba-tiba akibat dari erosi arteri karotis interna.(1) Komplikasi ini dapat memberi kesan dengan adanya perdarahan awal yang kecil (perdarahan tersamar). Jika diduga terjadi komplikasi ini dan rencana akan dibuat untuk drainase dari abses maka identifikasi arteri karotis interna harus

20

dilakukan. Dengan demikian, jika terjadi perdarahan ketika dilakukan drainase abses, maka dapat segera dilakukan ligasi arteri karotis interna atau arteri karotis komunis.(4) A. Komplikasi Infeksi : (1, 10) Erosi A. carotid dan perdarahan Trombosis V. jugularis Trombosis sinus cavernosus Edema laring Mediastinitis Septikemia

B. Komplikasi Bedah : (1, 10) Kerusakan neurovaskular

- Aspirasi - Septikemia Proses peradangan dapat menjalar secara hematogen, limfogen, atau langsung (perkontinuitatum) ke daerah sekitarnya. Penjalaran ke atas dapat mengakibatkan peradangan mediastinum. intrakranial,
(8)

ke

bawah

menyusuri

selubung

karotis

mencapai

Abses juga dapat menyebabkan kerusakan pembuluh darah bila pembuluh karotis mengalami nekrosis, dapat terjadi rupture, sehingga terjadi perdarahan hebat. Bila terjadi periflebitis atau endoflebitis, dapat timbul tromboflebitis dan septikemia.(8) Komplikasi yang berbahaya dari infeksi spatium faringomaksilaris adalah terkenanya pembuluh darah sekitarnya. Dapat terjadi tromboflebitis septic vena jugularis. Juga dapat terjadi perdarahan massif yang tiba-tiba akibat dari erosi arteri karotis interna. Komplikasi ini dapat member kesan dengan adanya perdarahan awal yang kecil (perdarahan tersamar). Jika diduga terjadi komplikasi ini dan rencana akan dibuat untuk drainase dari abses maka identifikasi arteri karotis interna harus dilakukan. Dengan demikian, jika terjadi perdarahan ketika dilakukan drainase abses, maka dapat segera dilakukan ligasi arteri karotis interna atau arteri karotis komunis.(4)

21

DAFTAR PUSTAKA
1. Gadre AK, Gadre KC. Infection of the deep Space of the neck. Otolaryngology Head and neck surgery. 4th ed. Philadelphia: JB.Lippincott Company 2006. p. 666-81. Quinn F. Deep Neck Abscesses and Life-Threatening Infections of the Head and Neck. 1998 [updated 1998; cited 2012 August, 22th]; Available from: www.otohns.net. Murray AD, Marcincuk MC. Deep neck infections. . [March, 2012; cited 2012 August, 18th]; Available from: http://emedicine.medscape.com/article/837048overview#showall. Adams GL. Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. In: enam k, editor. Boies: Buku ajar penyakit THT. Jakarta: EGC Penerbit Buku Kedokteran; 1997. p. 320-55. Lawrence W.C, Tom, Jacobs. Diseases of the Oral Cavity, Oropharynx, and Nasopharynx. Ballengers Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck Surgery. London: BC Decker2002. p. 372-4. Putz R. Sobotta Atlas Anatomi Manusia. 20 ed. Jakarta: EGC; 2000. p. 141-50. Frenz D, Smith RV. Surgical Anatomy of the Pharynx and Esophagus. Otolaryngology Basic Science and Clinical Review. New York: Thieme Medical Publishers; 2006. p. 553-62. Fachruddin D. Abses leher dalam. Buku Ajar Ilmu Penyakit Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. ke enam ed. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI; 2011. p. 228-9. Natili A, McCammon S. Anatomy of Head and Neck Infections. 2011 [updated 2011; cited 2012 17 August]; Available from: http://www.utmb.edu/otoref/grnds/Head-and-neck-infections-2011-1130/HNinfections-pic-2011-11.pdf. Dhingra P. Head and Neck Space Infections. Diseases of Ear, Nose, and Throat. 4th ed. India: Elsevier; 2007. p. 247-9. Chow A. Life Threatening Head andNeck Infection. 2007 [updated 2007; cited 2012 18 August]; Available from: http://www.hksid.org/pdf/LIFETHREATENINGHEADANDNECKINFECTIO NS.pdf. Novialdi, Pulungan MR. Pola Kuman Abses Leher Dalam. [cited 2012 August, 21th]; Available from: http://www.scribd.com/doc/48074146/POLA-KUMANABSES-LEHER-DALAM-Revisi. Som PM, Curtin HD. Parapharyngeal and Masticator Space Lesions. Mosby; 2003. p. 1954-61.

2.

3.

4.

5.

6. 7.

8.

9.

10. 11.

12.

13.

22

Anda mungkin juga menyukai