BELENGGU

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 9

TUGAS BAHASA INDONESIA ANALISIS UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK ROMAN BELENGGU

Nama : Endah Pratiwi Kelas : XII 1 Sekolah : SMKF Harapan Massa

A. Unsur Intrinsik dalam Roman Belenggu


1. Tema Kritik sosial dan politik tentang problematika cinta segitiga / kehidupan seseorang dan kritik
sosial terhadap para perempuan yang masih memandang seseorang dari status sosial.

2. Alur Alur yang terdapat dalam roman belenggu termasuk alur maju. 3. Penokohan a. Sukartono ( Tono) Seorang dokter yang baik hati dan menolong pasiennya tanpa meminta imbalan. Dia juga menyukai seni seperti musik keroncong. b. Sumartini ( Tini ) Perempuan modern yang mempunyai masa lalu yang kelam karena pernah di tinggal mati oleh kekasihnya dahulu yang sebenarnya tidak mati. c. Siti Rohayah ( Yah, Siti Hayati ) Perempuan yang dipaksa menikah dengan lelaki yang lebih tua darinya. Dia merasa frustasi, sehingga terjerumus kelembah kenistaan. Dia juga teman dokter sukartono yang secara diam diam mencintainya. d. Karno, Bujang ( Pembantu ) sukartono yang sudah bersamanya selama ia masih sekolah. e. Abdul, Supir sukartono f. Aminah, Perempuan yang pernah mencintai sukartono dulu. g. Pasangan Mangunsucipto dan Tati, paman dan bibi Tini h. Ibu Rusdio, Nyonya Sutatmo, Nyonya Sumarjo
i. Hartono, Kekasih sumartini dulu yang dianggapnya sudah mati yang ternyata adalah teman sukartono semasa sekolah dulu.

4. Latar / Setting a. Latar waktu - Malam Mobil melancar, hari sudah hampir gelap, lampu di tepi jalan sudah di pasang. ( Belenggu 2006 : 19 )

b. Latar tempat - Ruang Tengah Rumah Sukartono Seperi biasa, setibanya di rumah lagi, dr. sukartono terus saja menghampiri meja kecil, di ruang tengah, di bawah tempat telepon. ( Belenggu 2006 : 15 ) - Hotel dr. sukartono diam saja sejurus memandang ke arah hotel itu, dia merasa heran sedikit. ( Belenggu 2006 : 20 ) - Rumah Yah ( Siti Rohayah ) Benar Yah, kalau aku di sini, di rumahmu ini. ( Belenggu 2006 : 35 ) c. Latar Sosial Berada di lingkungan kaum cendikiawan yakni seorang dokter. 5. Amanat / Pesan Kritik sosial yang tajam alam kisah ini bisa menjadi sebuah pembelajaran bagi para generasi muda dalam menjalani kehidupan yang terhegemoni oleh sebuah system yang menindas. Dan semua ini berlaku terhadap semua orang baik tua muda, kaya miskin, pria wanita. 6. Sudut pandang Sudut pandang yang terdapat dalam roman ini adalah sudut pandang mahakuasa. 7. Gaya Bahasa / Majas a. Majas Simile Majas yang mengungkapkan dengan perbandingan eksplisit yang dinyatakan dengan kata depan atau penghubung. Majas ini berfungsi sebagai pembanding dua hal dengan memanfaatkan kata penghubung tertentu. Berikut adalah kutipannya; Di dalam pikiran dokter Sukartono seolah-olah ada yang memberatkan, yang menjadikan hatinya tawar (Belenggu, 2006: 15) Perempuan tambun, tegap sikapnya, dikepalanya seolah-olah kembang melati putih (Belenggu, 2006: 15) perhatiannya seolah-olah meraba-raba dalam pikirannya (Belenggu, 2006: 18) b. Majas Personifikasi Majas personifikasi adalah majas yang pengungkapannya dengan menyampaikan benda mati atau tidak bernyawa sebagai manusia. Majas ini berfungsi untuk menggambarkan benda mati

seolah-olah mempunyai sifat atau kemampuan seperti manusia. Berikut adalah kutipan penggunaan majas dalam teks: cahaya tanda girang yang mengerlip dalam mata perempuan itu (Belenggu, 2006: 20) hatinya hendak membacanya, hendak membaca olokannya (Belenggu, 2006: 31) c. Majas Hiperbola Majas hiperbola yang digunakan untuk mengungkapkan sesuatu hal dengan berlebihan juga. Majas ini digunakan untuk memberikan gambaran tentang sesuatu sehingga mampu memberikan efek yang lebih mendalam. Dalam novel ini, majas hiperbola digunakan untuk mempertegas pengungkapan dari tokoh dan penegasan tentang suatu perwatakan dari tokoh. Kutipannya sebagai berikut; Air mata yang membendung hatiku telah mengalirtidakkah engkau ingat Rohayah? (Belenggu, 2006: 48) Tini gunung berapi yang banyak tingkah. (Belenggu, 2006: 67) Kedua belah tangannya memegang stir mobilnya dengan keras, badannya membungkuk, mobil melancar, kerusuhan jiwanya seolah-olah mengalir ke roda mobil, memutar roda biar cepat secepatnya. (Belenggu, 2006: 73) d. Majas Metafora Majas metafora adalah majas perbandingan hanya tidak menggunakan kata-kata pembanding. Metafora dalam novel ini berfungsi untuk membandingkan dua hal secara singkat dan mampu menggambarkan apa yang sedang terjadi atau mampu menggambarkan apa yang dibandingkan itu. Seperti kutipan ini; Kartono melihat sikap tini menggerendeng pula, seolah-olah harimau tertangkap, maka hatinya makin tenang. Hariamu ini mesti ditundukkan! (Belenggu, 2006: 59) Jujur katamu? Kejujuran bohong. Bidadari ialah setan, setan ialah bidadari engkau, siapakah engkau? (Belenggu, 2006: 121) e. Majas Ironi Majas ironi adalah majas sindiran yang melukiskan sesuatu dengan menyatakan sebaliknya dari apa yang sebenarnya dengan maksud untuk menyindir orang. Dan majas ironi berfungsi sebagai penggunjingan tergadap tokoh tertentu. Majas ironi terdapat dalam kutipan berikut ini: Mengapa? tanya Mardani. Bukan tingkahnya hendak menarik mata laki-laki saja?

Mardani tersenyum, merasa puteri Kartini cemburu. Katanya, hendak berolok-olok: Ah bukanlah salahnya kalau mata laki-laki tertarik. Memang sudah dasarnya. Itulah yang tiada baik itu, sudah dasarnya! (Belenggu, 2006: 83) f. Majas Sinestasia Majas sinestasia adalah majas metafora yang berupa ungkapan yang berhubungan dengan suatu indra untuk dikenakan pada indra lain. Majas ini berfungsi penghubung dua indra itu seperti punya kesamaan sifat. Berikut adalah kutipannya; Malam sedap, enak makan angin naik mobil (Belenggu, 2006: 25) Sukartono senyum masam sama saja (Belenggu, 2006: 25) g. Majas Repetisi Majas repetisi adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan mengulang kata atau beberapa kata. Repetisi pada novel ini biasanya digunakan pada saat percakapan. Fungsi majas repetisi pada novel ini adalah untuk menegaskan apa yang disampaikan tokoh pada lawan bicaranya. Seperti kutipan berikut ini; Kartono bangun berdiri karena heran: Rohayah, Rohayah! katanya berulang-ulang seolaholah menghafalkan nama negeri, hendak mengingatkan barang apa yang sudah dipelajarinya tentang negeri itu. Engkau Rohayah? Rohayah kawanku dahulu? (Belenggu, 2006: 48) h. Majas Alegori Majas alegori digunakan pengarang untuk menggambarkan tokoh dengan beberapa kiasan atau ungkapan. Majas alegori terdapat pada kutipan berikut ini: Kalau Yah tiada tahu namanya, kalau tiada disengajanya memangilnya, adakah Yah akan mengenal dia, kalau tiba-tiba bersua ditengah jalan? Yah mengenal dia karena sudah maklum lebih dahulu. Yah, tiada yang gelap, tiada yang tersembunyi, ialah pemandangan luas, disinari matahari, pemandangan lepas, tiada teralang oleh barang sesuatu juga. Tini gelap, pintu jiwanya tertutup, dikuncinya, kesimpulan pikiran yang hidup tersembunyi dalam dirinya. Tini gunung berapi yang banyak tingkah! (Belenggu, 2006: 67) i. Majas Tautologi Majas tautologi adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan mempergunakan katakata yang sama artinya (bersinonim) untuk mempertegas arti. Tautologi digunakan untuk

mempertegas sesuatu hal apa yang diungkapkan oleh tokoh. Tetapi sebenarnya fungsinya malah kurang memperjelas maksudnya. Berikut kutipannya: Di beranda muka hotel sudah lama nyonya Eni berjalan hilir mudik dengan gelisah. (Belenggu, 2006: 26) j. Majas Sarkasme Majas sarkasme adalah majas sindiran yang terkasar serta lengsung menusuk perasaan. Majas ini ditemukan dalam percakapan saat konflik terjadi. Fungsi majas ini dalam novel ini adalah untuk menjelekkan tokoh lain yang sedang mengalami konflik dengan tokoh tersebut. Atau juga penggunaan sarkasme adalah untuk menjelekkan diri sendiri. Berikut adalah kutipannya; Aku bukan terlalu kolot. (Belenggu, 2006: 53) Eh, sebagai barang simpanan, berbedak dan berpakaian bersih-bersih, sekali setahun dijemur diluar. (Belenggu, 2006: 53) k. Majas Alonim Armijn Pane juga menggunakan majas alonim yaitu penggunaan varian-varian dari nama untuk menegaskan sesuatu. Berikut adalah kutipannya; Jangan pandang dari luar saja, dik Ti; pandanglah lebih dalam. Ingatlah lagi pigura di kamar kita dahulu di Bandung? (Belenggu, 2006: 69) l. Majas Antonomasia Antonomasia adalah majas yang menggunakan nama diri atau gelar untuk menggantikan nama diri. Majas ini dipakai di novel ini karena salah satu tokohnya mempunyai profesi sebagai seorang dokter. seperti kutipan berikut ini; Nyonya Eni tertawa: Duduklah dokter Iapun duduk juga. Tuan dokter, dokter aneh. (Belenggu, 2006: 27) m. Majas Alusio Majas Alusio adalah majas perbandingan dengan mempergunakan ungkapan pribahasa, atau kata-kata yang artinya diketahui umum. Berikut kutipannya: Tono tersenyum memberungut, seperti baru makan asam, karena dia teringat akan tukang biola di waktu bazaar, sepertinya tua, tiada pernah dismer. Tidak tidak! Tidak! (Belenggu, 2006: 104) n. Majas Retoris Majas retoris adalah majas penegasan dengan mempergunakan kalimat tanya yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban karena sudah diketahui. Penggunaan retoris diharapkan mampu

memberikan penegasan apa yang dirasakan atau sedang dibimbangkan oleh tokoh. Berikut adalah kutipannya: Yang manakah? Tono kehilangan pengaharapan? Kehilangan cita-cita? Kehilangan kepercayaan? Entahlah. (Belenggu, 2006: 74) o. Majas Aptronim Novel Belenggu juga terdapat majas aptronim yang berfungsi sebagai penyebutan seseorang dengan sifat yang dimiliki. Berikut kutipannya: Sangkamu engkau yang menang, Tini si Girang itu engkau tundukkan. Apa lagi kehendakmu? Aku sudah menjadi isterimu. (Belenggu, 2006: 61)

B. Unsur Ekstrinsik dalam Roman Belenggu


1. Biografi pengarang Lahir di Muara Sipongi, Tapanuli, 1908. Pendidikan yang ditempuhnya antara lain Stovia di Jakarta, Nias di Surabaya dan akhirnya AMS I bagian sastra di Solo. Ia adalah tokoh kedua Pujangga Baru setelah Takdir. Cakap dalam administratif dan merupakan organisator. Banyak menulis esai, sajak dan cerita pendek dalam majalah Pujangga Baru dengan beberapa nama samaran seperti A.Pandji, A.Mada, A.Djiwa, Adinata, Kasmoto, dsb. Mula-mula ia banyak dipengaruhi oleh sastrawan-sastrawan Biti Suroto (penyair Jawa dalam bahasa Belanda), Rabindranath Tagore, Krisnamurti dan ajaran Theosofi, kemudian mendapat pengaruh kuat dari Gerakan '80 di negeri Belanda. Armijn Pane sering dituduh sebagai sastrawan yang menggunakan bahasa Indonesia kebelanda-belandaan. Karya-karya berupa esai, puisi, drama, roman dan cerita pendek. Dialah salah seorang perintis cerita pendek Indonesia. Karyanya yang sangat terkenal dalam roman Belenggu, yang mula-mula dimuat dalam majalah Pujangga Baru setelah ditolak oleh penerbit Balai Pustaka. Roman itu kemudian diterbitkan sebagai buku pada tahun 1940. Belenggu merupakan salah satu roman besar di Indonesia. Roman itu tidak hanya menceritakan apa yang dilakukan oleh tokohtokohnya, namun lebih-lebih apa yang sedang dipikirkan tokoh-tokohnya. Roman Belenggu juga lebih banyak terjadi dalam batin tokoh-tokohnya daripada seperti apa yang mereka lakukan. Banyak karya-karya Armijn Pane yang terlambat diterbitkan sebagai buku. Kumpulan sajaknya Jiwa Berjiwa, terbit 1939 sebagai nomor istimewa Pujangga Baru. Kumpulan cerita pendeknya, Kisah Antara Manusia, terbit tahun 1953, dan kumpulan dramanya Jinak-jinak Merpati terbit tahun 1954. Kumpulan sajaknya yang lain, Gamelan Jiwa, baru terbit tahun 1960. Siapa menyangka kalau roman Belenggu yang pada awalnya ditolak Balai Pustaka untuk diterbitkan itu selanjutnya menjadi roman besar di negri ini. Jika Armyn Pane saja begitu, apalagi kita yang tak mempunyai nama dan ingin menerbitkan sebuah buku, kesulitan mencari penerbit yang berkenan menerbitkan naskah kita itu bukan suatu yang aneh jadinya 2. Nilai Sosial Membantu seseorang yang sakit seharusnya tanpa imbalan seperti yang dilakukan dr. Sukartono.

3. Nilai Moral Nilai moral yang terdapat dalam roman Belenggu adalah jadilah pribadi yang baik dan suka menolong orang lain dan jangan melihat seseorang dari status sosialnya saja.

Anda mungkin juga menyukai