Profil Jemaat Moria Tentena

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 10

SELAYANG PANDANG SATU ABAD JEMAAT MORIA TENTENA DALAM MENGGAPAI HARAPAN Lahirnya Jemaat Moria Tentena tidak

lepas dari keberadaan kedua Kelurahan yaitu Tentena dan Sangele, (dahulu dikenal dengan Kampung), karena dari kedua Kelurahan inilah cikal bakal jemaat mula-mula yang sekarang kita kenal dengan nama Jemaat Moria Tentena. I. ASAL USUL TENTENA Nama Tentena diambil dari nama sebuah sungai yang mengalir di sekitar dataran pemukiman. Awalnya kata Tentena berasal dari kata Tentenya. Cerita ini diawali dari dua orang yang berburu. Setelah mereka mendapatkan hasil buruan, mereka membawanya di pinggir sungai dan di bakar dan sebagian diisi dalam bambu (nda ituwu). Penduduk yang bermukim di wilayah dataran Tentena berasal dari beberapa wilayah yang berada di sekitar perbukitan. Adapun nama-nama wilayah tersebut yaitu Wawolembo, Wawondoda, Mogumpo, Posea dan Dulungi. Awalnya mereka bermukim di sekitar tanah datar di muara sungai Tentena dan sungai Latea pada tahun 1906. Pada tahun 1908 pemukiman baru ini resmi menjadi kampung yang disebut Lipu Tentena. Oleh karena perkembangan penduduk yang semakin meningkat, maka pada tahun 1910, Lipu Tentena terbagi menjadi dua kampung yaity Lipu Tentena dan Lipu Sangele. Kehidupan masyarakat kampung Tentena terus berjalan serta mengalami banyak perubahan dan perkembangan dalam tatanan kehidupan. Sejak berdiri sendiri menjadi sebuah Kampung telah mengalami beberapa pergantian pemimpin dan status dari kampung, desa pada akhirnya menjadi sebuah kelurahan. Sejak terbentuknya pemukiman Tentena menjadi Kampung Tentena, telah mengalami tiga kali perubahan status, yaitu : 1. Tahun 1910 1967 : Berstatus Kampung dan dipimpin oleh 14 orang Kepala Kampung 2. Tahun 1967 - 1981 : Berstatus Desa dan dipimpin oleh 4 orang Kepala Desa 3. Tahun 1981 sekarang : Berstatus Kelurahan dan dipimpin oleh 12 orang Lurah II. ASAL USUL SANGELE Sangele merupakan nama sebuah dataran yang berada di sekitar danau Poso. Pada tahun 1905, ketika Pemerintah Belanda mulai menguasai wilayah-wilayah yang berada di daerah perbukitan, maka mereka mulai mencari daerah lain untuk menghindari pengaruh penjajah. Komunitas yang berasal dari Langgadopi, Posunga, Petiro Lemba, Petirowuko, Yosi, Bulowa dan Tamungku Tala menemukan sebuah dataran yang bernama Sangele. Sejak saat itu komunitas yang berasal dari berbagai komunitas tersebut bermukim di daerah dataran ini. Kata Sangele berasal dari dua kata yaitu Sagele dan Raya. Kata ini jika diterjemahkan secara bebas berarti hati yang gembira/senang.

Jumlah kepala keluarga yang mendiami dataran Sangele pada waktu itu yakni 90 KK yang tinggal di 9 buah rumah dengan diperintah oleh seorang Mokole Lipu ( Kepala Kampung) yang disebut Mokole Lipu Tentena karena pada waktu itu dataran Sangele dan dataran Tentena dipimpin oleh seorang Mokole Lipu. Seiring berjalannya waktu, pada akhir tahun 1910, masyarakat yang mendiami pemukiman Sangele, mengajukan permohonan kepada Witi Mokole (Perwakilan Raja) pada waktu itu yakni L. Tobogu/Tamembue agar mendapatkan seorang Kepala Kampung untuk berdiri sendiri. Maka atas persetujuan Witi Mokole, pada hari Kamis, tanggal 20 Oktober 1910, Kepala Desa yang dicalonkan masyarakat pemukiman Sangele yaitu Naromba Ngkila/Tampedasi dilantik oleh Witi Mokole untuk menjadi Kepala Kampung pertama sejak berpisah dari Tentena. Kehidupan masyarakat kampung Sangele terus berjalan serta mengalami banyak perubahan dan perkembangan dalam tatanan kehidupan. Sejak berdiri sendiri menjadi sebuah Kampung telah mengalami beberapa pergantian pemimpin dan status dari kampung, desa pada akhirnya menjadi sebuah kelurahan. Sejak terbentuknya pemukiman Sangele menjadi Kampung Sangele, telah mengalami tiga kali perubahan status, yaitu : 1. Tahun 1910 1967 : Berstatus Kampung dan dipimpin oleh 14 orang Kepala Kampung 2. Tahun 1967 - 1981 : Berstatus Desa dan dipimpin oleh 4 orang Kepala Desa 3. Tahun 1981 sekarang : Berstatus Kelurahan dan dipimpin oleh 12 orang Lurah III. LAHIRNYA JEMAAT MORIA TENTENA Lahirnya Jemaat Moria Tentena tidak lepas dari pekerjaan para Pekabar Injil Belanda pada waktu itu yakni A.C. Kruyt dan Dr. N. Adriani dan peristiwa Pembaptisan pertama orang Pamona yaitu Papa I Wunte pada tahun 1909 serta peranan dari Pentjali Sigilipu sebagai Guru Injil pertama. Hal inilah yang merupakan tonggak awal lahirnya Jemaat Moria Tentena. Ketika para Pekabar Injil Belanda tiba di wilayah Pamona khususnya di daerah pinggiran danau Poso, mereka mulai memberitakan firman Tuhan bersama-sama Guru Injil pada waktu itu yakni Petjali Sigilipu, sehingga mulailah masyarakat yang ada di sekitarnya khususnya Tentena dan Sangele, mengenal firman Tuhan, yang mana sebelumnya masih mo lamoa (menyembah berhala). Seiring dengan berjalannya waktu sebagai hasil Pekerjaan Roh Kudus lewat pelayanan para Pekabar Injil tersebut, maka pada hari Minggu, 3 Maret 1912, dilakukanlah Pembaptisan pertama oleh A.C. Kruyt maka sejak itu mulailah terbentuk persekutuan yang disebut Jemaat Tentena dan juga tanggal inilah yang ditetapkan sebagai hari lahirnya Jemaat Moria Tentena. Di samping itu pula, dengan kata lain bahwa mereka yang dibaptis pertama ini merupakan orangorang Kristen pertama yang ada di wilayah Tentena dan telah berhak disebut Anggota Jemaat. Orang-orang yang menerima baptisan pertama tersebut berasal dari Tentena dan Sangele yaitu:

a. Tentena 5 orang, yakni : 1. Bide Rampalimbo (Perempuan) lahir tahun 1896 2. Tongga Tauno ( Laki-laki) lahir tahun 1892 3. Mopea Talaga (Laki-laki) lahir tahun 1893 4. Padekui Mainti (laki-laki) lahir tahun 1880 5. Paewe Tambena (laki-laki) lahir 1900 b. Sangele 7 orang, yakni: 1. Embo Rangkintowe (perempuan) lahir tahun 1898 2. Kumpile Tamepusuyu (perempuan) lahir tahun 1895 3. Basi Tulaema (perempuan) lahir tahun 1898 4. Upe Rantelangi (perempuan) lahir tahun 1900 5. Pouma Tobondo (laki-laki) lahir tahun 1894 6. Batengkilo Sambali (laki-laki) lahir tahun 1900 7. Gale Rangga (laki-laki) lahir tahun 1985. Kedua belas orang Kristen pertama di wilayah Tentena dan Sangele ini dibaptis di gedung sekolah yang sekaligus menjadi tempat pelaksanaan Ibadah Minggu. Setelah pembatasan pertama ini, selanjutnya dilakukan pembaptisan terbanyak pada Ibadah Natal tahun itu juga. IV. ASAL USUL GEDUNG GEREJA MORIA Setelah dilakukan pembaptisan pertama tersebut, mulailah dilakukan persekutuan ibadah baik itu Ibadah hari Sabtu (mo agama) yang dilakukan pada Sabtu Malam dan Ibadah Hari Minggu (mo minggu) yang dilakukan pada Minggu pagi. Pelaksanaan ibadah pada waktu itu masih dilakukan di gedung sekolah. Lokasi gedung sekolah (sekarang tempat berdirinya Gedung Gereja Moria) ini merupakan milik keluarga Sigilipu yang diserahkan untuk kepentingan pelayanan khususnya untuk pendidikan pada waktu itu. Lokasi ini mulai dibuka pada tanggal 3 Agustus 1909. Gedung pertama yang digunakan untuk tempat beribadah ini ( juga sebagai gedung sekolah) masih sangat darurat (Pamona Saka) dengan beratap dan berdinding daun rumbia (ata ngkonau), bertiang kayu dan berlantai tanah. Selanjutnya Gedung ini mengalami perubahan yaitu atap diganti dengan sirap (kayu baalani), dinding dari bambu (petate) dan masih berlantai tanah. Seiring dengan berjalannya waktu, gedung Gereja ini mengalami lagi perubahan yang ketiga kalinya. Atas kesepakatan bersama dari kedua kampung pada waktu itu, masing-masing warga jemaat (laki-laki dan perempuan) menyumbang sebesar 1 Ringgit (sama dengan Rp. 2,50) , maka gedung Gereja ini mengalami perubahan dengan menggunakan atap seng, dinding dari kayu, lantai dari kayu dengan memakai tiang. Pembangunan Gedung Gereja ini dilakukan secara gotong royong dibawah pengaturan Bapak. Lempo Laando sebagai Kepala Bas dan diberi upah. Atas upaya dan kerja keras seluruh anggota jemaat pada saat itu serta pertolongan dari Tuhan, maka pada tahun 1927 Gedung ini mulai difungsikan. Bersamaan dengan pembangunan gedung ini, dibangun juga Rumah Guru/Kepala Sekolah yang terletak di sebelah kiri bangunan yang ada.

Pada tahun 1964, mulailah direncanakan perubahan ke-4 dari Gedung ini, sehubungan dengan mulai bertambahnya anggota jemaat. Adapun konstruksi bangunan ini yaitu menggunakan atas seng, dinding dan lantai dari beton. Pada saat pembangunan gedung ini, yang menjadi Gembala Jemaatnya yaitu Pdt. B. Siombo, meskipun beliau tidak sempat menggunakan gedung ini. Pada tahun 1967, atas upaya dari seluruh warga jemaat, gedung tersebut sudah dapat difungsikan dan Gembala pada saat itu yaitu Pdt. G. Tayaya. Pada tahun 1982, atas kesepakatan jemaat, mulailah direncanakan pembangunan gedung Gereja yang baru (yang ada sekarang ini). Pembangunan Gedung Gereja ini mulai pada tahun 1985. Atas upaya dari seluruh warga jemaat dan pertolongan Tuhan Sang Pemilik Gereja, maka pada Ibadah Minggu, 23 Nopember 1988 Gedung Gereja baru ini ditahbiskan oleh Ketua Majelis Sinode GKST pada waktu itu yakni Pdt. J.P. Lagarense dan diresmikan oleh Azis Lamadjido, SH sebagai Gubernur Propinsi Sulawesi Tengah pada saat itu. Adapun yang menjadi Gembala Jemaat pada saat pentahbisan dan peresmian gedung Gereja yang baru ini yaitu Pdt. J. Towengke. Seiring dengan bertambahnya jumlah anggota Jemaat Moria Tentena dan berkembangnya wilayah pelayanan, maka dalam rangka pengefektifan pelayanan, pada tahun 1992 dimulailah kegiatan Ibadah Kelompok Kebaktian bagi anggota Jemaat Moria Tentena yang bermukim di wilayah Tandongkayuku, Pamona/Yosi bertempat di Aula Gedung STT GKST. Pelayan Firman/pemimpin dilakukan secara bergantian. Gembala Jemaat waktu itu yakni Pdt. J. Towengke, kemudian diganti oleh Pdt. R. Bandjolu, SmTh dan selanjutnya Pdt. O. Kambodji, M.Th. Mencermati perkembangan anggota jemaat yang terus menigkat, maka atas keputusan Majelis Jemaat, dilakukanlah rencana pembangunan gedung Gereja yang baru dan peletakan batu pertama dilakukan pada tanggal 31 Maret 1997 oleh Drs. B. Tobondo mewakili Gubernur Sulawesi Tengah dan ibadah syukur peletakan batu pertama dipimpin oleh Pdt. Hr. Langkamuda, S.Th (Sekretaris Umum Majelis Sinode GKST pada waktu itu). Sejak dilakukannya peletakan batu pertama tersebut, mulailah pembangunan Gereja yang baru yang berlokasi di wilayah Pamona (Toimola). Adapun yang menjadi Ketua Pembangunan I yaitu A. Tobondo, selanjutnya digantikan oleh Pdt. M. Kapang, S.Th dan terakhir Y. Tobogu, SH, sampai pada pentahbisannya. Lokasi ini sebelumnya merupakan milik dari Keluarga Sabintoe-Naromba. Dalam proses pembangunannya, secara bersama-sama warga jemaat bergotong royong untuk merealisasikan rumah ibadah tersebut dengan kepala bas Bpk D. Pasambaka (Alm). Pada Ibadah Natal tanggal 24 Desember 2000 gedung baru ini mulai digunakan untuk pertama kalinya sebagai beribadah meskipun berlantai pasir. Sejak saat itu gedung baru ini diberi nama Bukit Moria. Dalam pengaturan pelayanan masih dipusatkan di Gereja Moria Tentena pada masa pelayanan Pendeta: - Pdt. R. Perutu S.Th dan Pdt. Alfrida Gintu, S.Th (Tahun 1998-2001) - Pdt. L.M.A.B. Meringgi, S.Th, Pdt. Maisuri Botilangi, SPAK, Pdt. I. Ketut Yakobus, S.Th (Tahun 2001 2005)

Pdt. Y. Tolewo, S.Th, Pdt. E.A. Mokale, S.Th, Pdt. Chrisusanti Sujitno, S.Th, Pdt. Aulin Sabintoe, S.Th (tahun 2005 pada saat penthabisan). Selama kurung waktu 10 tahun, kerinduan dari seluruh warga jemaat, berdirilah satu gedung Gereja baru seperti yang ada sekarang ini. Maka pada tanggal 18 Oktober 2006 atas perkenan Tuhan dilakukan ibadah Pentahbisan gedung ini oleh Pdt. Ishak Pole M.Si (Ketua Majelis Sinode GKST) dan diresmikan oleh Drs. R. Kandolia mewakili Bupati Poso. Selanjutnya, dalam rangka memandirikan pelayanan di Gereja Bukit Moria, maka atas kesepakatan seluruh warga Jemaat dalam Rapat Jemaat Februari 2006, disepakatilah Kelompok Kebaktian Bukit Moria untuk berdiri sendiri. Selanjutnya pada November 2008 dalam Sidang Sinode GKST menyetujui pemekaran Kelompok Kebaktian Jemaat Moria di wilayah Pamona menjadi Jemaat baru yaitu Jemaat Bukit Moria Pamona. Pada tanggal 1 Februari 2009 secara administratif Jemaat Bukit Moria Pamona berdiri sendiri melalui penyerahan pelayanan yang diatur oleh Majelis Klasis Pamona Utara oleh Sekretaris Klasis yakni Pnt. S. Suman, SPt kepada Pdt. Aulin Sabintoe, S.Th dalam satu Ibadah yang dipimpin oleh Pdt. F. Kulas, M.Th selaku Sekretaris I Majelis Sinode GKST. Sejak saat itu resmilah Jemaat Bukit Moria berdiri sendiri dengan Pendeta Jemaat I yaitu Pdt. A. Sabintoe, S.Th. Seiring berjalannya waktu, setelah Gereja Bukit Moria selesai dibangun,maka atas kerinduan warga jemaat yang berdomisili di wilayah Dongi berharap kiranya dapat dibangun satu gedung Gereja lagi. Atas kesepakatan Majelis Jemaat pada waktu itu, maka atas perkenan Tuhan dilakukanlah peletakan batu pertama pada tanggal 3 Maret 2004, dengan pimpinan Ibadah Pdt. L.M.A.B. Meringgi, S.Th ( Ketua Majelis Jemaat saat itu) dan peletakan batu pertama oleh Bpk. Obed Tampai, S.Sos (Lurah Tentena saat itu). Hal lain yang sangat penting dengan kebutuhan pelayanan, maka atas kesepakatan seluruh jemaat yang ada mulailah dilaksanakan pembangunan Pastori 2. Atas upaya dari seluruh anngota Jemaat dan perkenan Tuhan, Pastori 2 dapat diselesaikan dalam jangka waktu 3 (tiga bulan) dengan menggunakan dana spontanitas dari warga jemaat dan proses pembangunnya di koordinasi oleh Bapak Umar Bedu (Kepala Bas). Pastori 2 diresmikan penggunaannya pada bulan Desember 2004 oleh Ketua II Majelis Sinode GKST Pdt. A. Sigilipu, S.Th melalui ibadah syukur yang dipimpin oleh Pdt. M. Kapang, S.Th. Pengguntingan pita dilakukan oleh Ibu. A. Tobondo-Torisumbi dan pembukaan pintu oleh Bpk. A. Tobondo. Selanjutnya, dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan, dibangun lagi Pastori 3. Maka pada akhir tahun 2009 dilakukanlah peletakan batu pertama. Atas upaya dari seluruh warga jemaat dan pertolongan Tuhan Sang Pemilik Gereja serta pengaturan dari Panitia Pembangunan yang diketuai oleh Bpk. Pdt. R. Mbio, S.Th, maka pada tanggal 21 April 2010 dilakukanlah peresmian penggunaannya oleh Pdt. Felix Anthonie, M.Teol melalui ibadah syukur yang dipimpin oleh Pdt. Y. Tolewo, S.Th (Ketua Majelis Klasis Pamona Utara). Selanjutnya pengguntingan pita dilakukan oleh Bpk. I. Dj. Kaluti dan pembukaan pintu dilakukan oleh Ibu. Pdt. M. Kambodji-Tamauka. Pada saat itu juga dirangkaikan dengan peresmian penggunaan Roda Empat yang merupakan Kendaraan Operasiional pelayanan Jemaat.

V. PELAYAN YANG PERNAH MELAYANI DI JEMAAT MORIA TENTENA Sejak berdirinya Jemaat Tentena yaitu pada pembaptisan pertama tanggal 3 Maret 1912, Jemaat ini telah dilayani oleh sejumlah Guru Injil, Vicaris dan Pendeta, yaitu : 1. Tahun 1909 1924 : Pn. Sigilipu (Guru Injil) 2. Tahun 1924 1934 : L. Molindo (Guru Injil) 3. Tahun 1934 - 1937 : K. Pangkeni (Guru Injil) 4. Tahun 1937 1940 : Pdt. T. Magido 5. Tahun 1940 1949 : Pdt. S. Tobogu 6. Tahun 1949 1950 : Pdt. M. Tiolemba 7. Tahun 1950 1952 : Pdt. E. Sarubonto 8. Tahun 1952 1954 : Pdt. U. Modjepe 9. Tahun 1954 1955 : Pdt. B. Tuwuntjaki 10. Tahun 1955 1959 : Pdt. H. Labiro 11. Tahun 1959 1960 : Pdt. H. Gundo 12. Tahun 1960 1964 : Pdt. Dj. Kambodji 13. Tahun 1964 1966 : Pdt. M. Tamauka 14. Tahun 1966 1967 : Pdt. M. Siombo 15. Tahun 1967 : Pdt. G. Tayaya 16. Tahun 1968 : Pdt. L. Sangkide 17. Tahun 1968 1969 : Pdt. M.Y. Kasodu 18. Tahun 1969 1971 : Pdt. P. Manyonyo, S.Th 19. Tahun 1971 1977 : Pdt. Dj. Tanggerahi 20. Tahun 1977 1978 : Pdt. M. Kapang 21. Tahun 1978 1982 : Pdt. B. Tindjabate 22. Tahun 1982 1985 : Pdt. M. Kapang, S.Th 23. Tahun 1985 1987 : Pdt. E. Rompis Vic. B. Rupang, S.Th 24. Tahun 1987 1994 : Pdt. J. Towengke Vic. Made Suhendra, S.Th 25. Tahun 1994-1995 : Pdt. R. Bandjolu, SM.Th (Ketua) Pdt. O. Kambodji, S.Th 26. Tahun 1995 1996 : Pdt. O. Kambodji, S.Th (Ketua) Pdt. R. Perutu, S.Th Vic. H. Kopalit, S.Th 27. Tahun 1996 2001 : Pdt. R. Perutu, S.Th (Ketua) Pdt. A. Gintu, S.Th Vic. C. Tindatu, S.Th 28. Tahun 2001 2005 : Pdt. L.M.A.B. Meringgi, S.Th (Ketua) Pdt. M. Botilangi, SPAK Pdt. I. Ketut Yakobus, S.Th

Vic. Martin Basamba, S.Th Vic. Nova Bunga, S.PAK 29. Tahun 2005-2006 : Pdt. Y. Tolewo, S.Th (Ketua) Pdt. Chrisusanti Sujitno, S.Th (2005 2006) Pdt. A. Sabintoe, S.Th (2005 2008) Pdt. E.A. Mokale, S.Th (2005 sekarang) Vic. J.D. Sahetapy, S.Th 30. Tahun 2006-2010 : Pdt. R. Methusala, M. Teol (Ketua) Pdt. A. Sabintoe, S.Th Pdt. E.A. Mokale, S.Th Pdt. M. Pollo, S.Th ( Mulai 2008) Pdt. E. Nua, S.Th ( Mulai 2009) 31. Tahun 2010 sekarang : Pdt. S. Rarea, S.Th (Ketua) Pdt. E.A. Mokale, S.Th Pdt. E. Nua, S.Th Pdt. M. Pollo, S.Th Pdt. S. R. Wutabisu, STh (Mulai 1 Juli 2012) Pdt. M. Pollo, S.Th terhitung sejak 1 Juli 2012 melanjutkan studi pada Program Pasca Sarjana Universitas Kristen Tomohon (PPS UKIT) Pdt. S. R. Wutabisu, S.Th terhitung sejak 1 Juli 2012 dimutasikan dari Jemaat Yordan Toinasa ke Jemaat Moria Tentena menggantikan Pdt. M. Pollo, S.Th yang melanjutkan studi ke Program S2. Pdt. E.A. Mokale, STh terhitung sejak 1 Pebruari 2013 dimutasikan ke Jemaat Eklesia Sangele. Berdasarkan daftar tersebut di atas, dalam kurung waktu 101 tahun (1912-2013), Jemaat Moria Tentena telah dilayani oleh : - 3 orang Guru Injil - 7 orang Vicaris - 35 orang Pendeta. VI. KOSTOR/PEKARYA Ketika bangunan pertama yang digunakan bersama sebagai tempat belajar dan beribadah, kebersihan halaman dan gedung dilakukan oleh anak-anak sekolah (SR) yang dipimpin oleh guru dan kepala sekolah. Setelah pemakaian gedung terpisah, setelah gedung Gereja dibangun tersendiri dan gedung sekolah dipindahkan di lokasi SD GKST 1 Tentena sekarang, maka kebersihan gedung dan halaman Gereja dilakukan oleh anggota jemaat, maka ditunjuklah seorang tenaga khusus sebagai pelaksana harian. Tenaga khusus ini disebut pekarya. Disamping bertugas membersihkan gedung dan halaman Gereja, kostor juga bertugas untuk membunyikan lonceng Gereja sebagai tanda untuk beribadah.

Sejak berdirinya Gereja Moria Tentena, Jemaat Moria Tentena telah dilayani oleh beberapa kostor yaitu Bapak Palaso Liwulanga merupakan kostor Pertama selanjutnya diteruskan oleh Bapak Eli Liwulanga (anak dari Bapak P. Liwulanga). Setelah Bapak E. Liwulanga, pekerjaan kostor diteruskan oleh Bpk. D. Pasambaka dan pada masa tugasnya, beliau dibantu oleh Bpk. N. Rarea (orang tua dari Bpk. Pdt. S. Rarea, S.Th. Gembala Jemaat Moria sekarang). Ketika Bpk. N. Rarea berhenti, beliau digantikan oleh Bpk. E. Wutabisu hingga sekarang, dalam jabatan sebagai pekarya khusus pemeliharaan kebersihan halaman Gereja. Ketika Bpk. D. Pasambaka meninggal, maka tugas untuk membunyikan lonceng dilanjutkan oleh Bpk. Ys. Pesilika. Sementara bapak. E. Wutabisu tetap melaksanakan tugas sebagai pekarya. Selanjutnya untuk lebih memaksimalkan tugas sebagai kostor/pekarya, maka direkrut lagi seorang pekarya yaitu sdr. W. Mobantjue (Cucu dari Bpk. P. Liwulanga) untuk membantu tugas-tugas kostor.pekarya. Ketika Bpk. Ys. Pesilika meninggal dunia, diangkatlah Sdr. F. Lingkua untuk menggantikan almarhum. Sering dengan meningkatnya volume pelayanan di Gereja, maka untuk mengatur administrasi Gereja, maka diangkatlah Tata Usaha yang bertugas untuk hal tersebut. Adapun tata usaha yang pernah bertugas di Gereja Moria Tentena yaitu Bpk. M. Tauna, merupakan tata Usaha pertama dan dibantu oleh Ibu. Wutabisu Bando. Setelah Bpk. M. Tauna mengundurkan diri maka tanggung jawab ini diserahkan kepada Ibu. Wutabisu Bando (pada waktu itu beliau menjadi Majelis Jemaat sekaligus merangkap Tata Usaha) dan dibantu oleh Bpk. J. Lumentut. Setelah Ibu. Wutabisu Bando dan Bpk. J. Lumentut berhenti maka tugas Tata Usaha diteruskan oleh Bpk. Pdt. J.M. Magido, SmTh bersama Sdr. H Lantigia. Pada waktu itu Bpk. JM. Magido ditetapkan sebagai Kepala Tata Usaha. Setelah sdr. H. Lantigia berhenti, tugas sebagai Tata Usaha dilanjutkan oleh Sdr. M. Tangkidi, selanjutnya ditangani oleh Sdr. D. Rania. Ketika terjadi kekosongan staf tata usaha, maka tugas sebagai tata usaha ditangani langsung oleh Bp. I. Tondowala, yang pada saat itu menjabat sebagai Wakil Sekretaris Jemaat Moria Tentena dan selanjutnya. Setelah Bp. I. Tondowala, tugas tata Usaha diteruskan oleh Sdr. A. Kuhe, bersamaan pada waktu, Bpk. Pdt. J.M. Magido,SmTh meninggal. Setelah Sdr. Anto mengundurkan diri, maka tugas tata usaha diteruskan sdr. Erwin Chris Sigilipu hingga sekarang. Di samping tata usaha yang bertugas menangani urusan administrasi kantor Jemaat Moria, diangkat pula seorang tata usaha yang bertugas untuk menangani administrasi bidang keuangan hingga sekarang ini, yaitu Ibu E. Maino-Bedu. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka selama kurun waktu 100 tahun, Jemaat Moria Tentena telah dilayani oleh : - 8 orang kostor/pekarya - 12 orang tata usaha.

VII. SEJARAH LONCENG GEREJA Sejak pemakaian Gedung Gereja yang memakai tiang (Bangunan ke-3) tanda pelaksanaan Ibadah Minggu (Pamona : Mominggu) ditandai dengan bunyi lonceng. Adapun tanda bunyi lonceng dibunyikan yaitu sebagai berikut : - Lonceng pertama : Tanda bersiap-siap ke Gereja - Lonceng Kedua : (1/2 jam) sebelum ibadah - Lonceng ketiga : Tanda ibadah dimulai. Jauh sebelum ada lonceng sebagai tanda Ibadah, alat yang digunakan sebagai tanda Ibadah yaitu gendang besar (ganda bangke). Kemudian ketika seorang Pelayan Tuhan dari Belanda yang melayani di wilayah Bada dan Tentena yaitu Pdt. H.J. Wesseldyk berupaya memediasi pengadaan lonceng untuk Gereja Moria bersama Pdt. J.H. Wesseldyk ( Kedua hamba Tuhan ini bersaudara kandung. Pada waktu itu terdapat lonceng yang merupakan sumbangan seorang Pendeta dari negeri Belanda yaitu Ten Kate (tertulis dalam lonceng). Beliau pernah melayani di Jemaat Watutau Napu. Akibat sulitnya pengiriman lonceng tersebut ke Watutau (berat dan kondisi jalan pada waktu tidak memungkinkan) atas mediasi yang dilakukan oleh kedua pelayan Tuhan (Pdt. J.H. Wesseldyk dan Pdt. H.J. Wesseldyk) maka disepakati yaitu lonceng yang diperuntukkan jemaat Watutau diserahkan untuk Jemaat Moria, sedangkan Perangkat Alat Perjamuan ( Tempat Anggur dan Tempat Roti) untuk Jemaat Moria Tentena diserahkan untuk Jemaat Watutau. Pada pembangunan Gereja yang ke-3, lonceng Gereja tersebut digantung di bangunan kecil di depan Gereja karena Gereja tersebut belum memiliki menara. Selanjutnya pada pembangunan Gereja yang ke-4, lonceng Gereja tersebut telah digantung di menara, karena sudah memiliki menara, seterusnya hingga sekarang, walaupun pada beberapa tahun terakhir ini tidak dibunyikan lagi. VIII. PENUTUP Tanpa terasa, Jemaat Moria kini telah berusia satu abad. Begitu banyak suka dan duka yang telah dilewati, semua boleh terlewati atas kasih dan perkenan Tuhan Sang pemilik Gereja. Kini, dalam mengemban tugas bersekutu, bersaksi dan melayani, Jemaat Moria terus bertumbuh dalam upaya menggapai harapan. Dalam mendukung tugas pelayanan telah dilengkapi dengan perangkat-perangkat pelayanan seperti: 1. Majelis Jemaat 2. Komisi Pelayanan Kategorial (Bapak, Ibu, Pemuda, Remaja dan Sekolah Minggu) 3. BPKP 4. Panitia Pembangunan 5. Panitia Anggaran 6. Panitia Pengadaan Roda Empat 7. Kostor 8. Pekarya 9. Tata Usaha

10. Dll Sejak pembaptisan pertama sejumlah 12 orang yang merupakan jemaat mula-mula Tentena, kini Jemaat Moria Tentena dalam usianya satu abad telah berjumlah 898 KK dengan jumlah Anggota Baptis 3.952 orang dan jumlah anggota sidi 2.723 orang. Demikianlah selayang pandang seabad Jemaat Moria dalam menggapai harapan. Selamat merayakan HUT Jemaat Moria yang ke-100, semoga di hari yang berbahagia kita semua warga jemaat akan semakin tumbuh dalam iman . Tuhan memberkati. Tentena, 2 Maret 2012 TIM PENYUSUN Ketua Sekretaris Anggota : Pdt. L.M.A.B. Meringgi, S.Th : Irsan B. Tondowala, S.Pd, M.Hum : 1. Im. Pesudo, S.Pd 2. Drs. S. Ganta 3. Pnt. F. Sigilipu 4. Dkn. A. Djendjengi 5. Pnt. N. Tauro Rahamis

Anda mungkin juga menyukai