An Masyarakat Multikultural Melalui Pendidikan Kewarganegaraan
An Masyarakat Multikultural Melalui Pendidikan Kewarganegaraan
An Masyarakat Multikultural Melalui Pendidikan Kewarganegaraan
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Oleh
Dikdik Baehaqi Arif
Abstrak
A. Pendahuluan
Negara bangsa Indonesia terdiri atas sejumlah besar kelompok-kelompok
etnis, budaya, agama dan lain-lain. Hefner (2007:16) mengilustrasikan Indonesia
sebagaimana juga Malaysia dan Singapura memiliki warisan dan tantangan
pluralisme budaya (cultural pluralism) secara lebih mencolok, sehingga
dipandang sebagai lokus klasik bagi bentukan baru masyarakat majemuk
(plural society). Kemajemukan masyarakat Indonesia paling tidak dapat dilihat
dari dua cirinya yang unik, pertama secara horizontal, ia ditandai oleh kenyataan
adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan perbedaan suku bangsa, agama, adat,
serta perbedaan kedaerahan, dan kedua secara vertikal ditandai oleh adanya
perbedaan-perbedaan vertikal antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup
tajam (Nasikun, 2007:33). Kondisi di atas tergambar dalam prinsip bhinneka
1
2
kehidupan manusia dan terjadi secara terus menerus. Dalam dimensi manusia,
perubahan yang terjadi menyangkut perubahan yang berkaitan erat langsung atau
tak langsung dengan pemikiran, sikap, dan tindakan manusia dalam lingkup
global, memberi konteks terhadap pemikiran, sikap dan tindakan manusia.
Azra, 2006). Lebih jauh, dalam kerangka itu, seluruh warganegara dapat
menemukan ruang politik dan institusional untuk mengidentifikasi diri mereka
dengan negara-bangsa mereka sekaligus dengan identitas-identitas kultural
lainnya. Semua ini mendorong tumbuhnya ''trust'' secara bersama-sama dalam diri
warganegara, sehingga memperkuat partisipasi mereka dalam proses-proses
politik demokratis.
B. Pendidikan Multikultural
agama resmi (Leo Suryadinata, dkk., 2003: 30, 71, 104, dan 179). Paling tidak
keragaman latar belakang siswa di lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia
terdapat pada paham keagamaan, afiliasi politik, tingkat sosial ekonomi, adat
istiadat, jenis kelamin, dan asal daerahnya (perkotaan atau pedesaan).
Karena teori pertama tidak demokratis, maka muncullah teori kedua, yaitu
Melting Pot II: Ethnic Synthesis. Teori yang dipopulerkan oleh Israel Zangwill ini
memandang bahwa individu-individu dalam suatu masyarakat yang beragam latar
belakangnya, disatukan ke dalam satu wadah, dan selanjutnya membentuk wadah
baru, dengan memasukkan sebagian unsur budaya yang dimiliki oleh masing-
masing individu dalam masyarakat tersebut. Identitas agama, etnik, bahasa, dan
8
budaya asli para anggotanya melebur menjadi identitas yang baru, sehingga
identitas lamanya menjadi hilang. Bila dalam suatu masyarakat terdapat individu-
individu yang beretnik Jawa, Sunda, dan Batak, misalnya, maka identitas asli dari
ketiga etnik tersebut menjadi hilang, selanjutnya membentuk identitas baru. Islam
Jawa di kraton dan masyarakat sekitarnya yang merupakan perpaduan antara nilai-
nilai Islam dan nilai-nilai kejawen adalah salah satu contohnya. Teori ini belum
sepenuhnya demokratis, karena hanya mengambil sebagian unsur budaya asli
individu dalam masyarakat, dan membuang sebagian unsur budaya yang lain.
Dari ketiga teori komunal di atas, teori ketigalah yang dijadikan dasar oleh
pendidikan multikultural, yaitu teori Cultural Pluralism: Mosaic Analogy. Untuk
konteks Indoneisa, teori ini sejalan dengan semboyan negara Indonesia, Bhinneka
Tunggal Ika. Secara normatif, semboyan tersebut memberi peluang kepada semua
bangsa Indonesia untuk mengekspresikan identitas bahasa, etnik, budaya, dan
agama masing-masing, dan bahkan diizinkan untuk mengembangkannya.
9
Definisi lain yang relevan untuk dikutip di sini adalah pendapat James A.
Bank. Menurutnya, pendidikan multikultural adalah konsep atau ide sebagai suatu
rangkaian kepercayaan (set of believe) dan penjelasan yang mengakui dan menilai
pentingnya keragaman budaya dan etnis dalam membentuk gaya hidup,
pengalaman sosial, identitas pribadi dan kesempatan-kesempatan pendidikan dari
individu, kelompok maupun negara (James A. Bank, 2001: 28). Pendidikan itu
sangat diperlukan terutama oleh negara demokrasi baru seperti Indonesia, untuk
melakukan rekontruksi sosial dengan mengembangkan civic skill, yakni
keterampilan menjadi warga dari masyarakat demokratis yang di antaranya
mampu bersikap toleran dan mengakomodasi berbagai jenis perbedaan untuk
kesejahteraan bersama.
Perubahan yang dilakukan tidak hanya terbatas pada kurikulum, tetapi juga aspek
lain seperti metode, strategi, manajemen pembelajaran, dan lingkungan sekolah.
Dari aspek prosesnya, pendidikan multikultural dapat dipahami sebagai proses
untuk mencapai tujuan agar kesetaraan pendidikan dapat dicapai oleh semua
siswa. Kesetaraan pendidikan, seperti kemerdekaan dan keadilan tidak mudah
dicapai, karena itu proses ini harus berlangsung terus-menerus.
orang-orang yang memiliki agama, budaya, dan etnik tertentu dalam pergaulan
sehari-hari. Dalam momen-momen tertentu, diadakan proyek dan kepanitiaan
bersama, dengan melibatkan aneka macam siswa dari berbagai agama, etnik,
budaya, dan bahasa yang beragam. Sedangkan melalui observasi dan penanganan
kasus, siswa dan guru difasilitasi untuk tinggal beberapa hari di masyarakat
multikultural. Mereka diminta untuk mengamati proses sosial yang terjadi di
antara individu dan kelompok yang ada, sekaligus untuk melakukan mediasi bila
ada konflik di antara mereka.
Aly, 2005) menambahkan kompetensi multikultural lain yang harus dimiliki oleh
guru, yaitu: (a) sensitif terhadap perilaku etnik para siswa, (b) sensitif terhadap
kemungkinan adanya kontroversi tentang materi ajar, dan (c) menggunakan teknik
pembelajaran kelompok untuk mempromosikan integrasi etnik dalam
pembelajaran.
D. Penutup
Daftar Pustaka
Aly, Abdullah. (2005). Pendidikan Multikultural dalam Tinjauan Pedagogik .
Makalah dipresentasikan pada Seminar Pendidikan Multikultural sebagai
Seni Mengelola Keragaman , yang diselenggarakan oleh Pusat Studi
Budaya dan Perubahan Sosial (PSB-PS) Universitas Muhammadiyah
Surakarta, pada Sabtu, 8 Januari 2005.
Azra, Azyumardi. (2004). Demokrasi Multikultural . Harian Republika, 12
Agustus 2004.
-----------------------. (2006). Pancasila dan Identitas Nasional Indonesia:
Perspektif Multikulturalisme . Dalam Restorasi Pancasila: Mendamaikan
Politik Identitas dan Modernitas. Bogor: Brighten Press.
Blum, Lawrence A. (2001). Antirasisme, Multikulturalisme, dan Komunitas
Antar-Ras: Tiga Nilai yang Bersifat Mendidik bagi Sebuah Masyarakat
Multikultural . Dalam May, Larry, Shari Collins-Chobanian, and Kai
Wong (Eds). Etika Terapan I: Sebuah Pendekatan Multikultural.
Terjemahan oleh Sinta Carolina dan Dadang Rusbiantoro. Yogyakarta: PT
Tiara Wacana.
17
MAKALAH
Oleh
DIKDIK BAEHAQI ARIF
0603849