Sumber Dan Metode Pembentukan Hukum Islam
Sumber Dan Metode Pembentukan Hukum Islam
Sumber Dan Metode Pembentukan Hukum Islam
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Islam mencerminkan seperangkat norma Ilahi yang mengatur tata
hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia lainnya
dalam kehidupan sosial hubungan manusia dengan benda dan alam lingkungan
hidupnya.
Norma Illahi yang mengatur tata hubungan tersebut adalah kaidah-kaidah
dalam arti khusus atau kaidah ibadah murni, mengatur cara dan upacara hubungan
langsung antara manusia dengan sesamanya dan makhluk lain di lingkungannya.
Ciri khas hukum Islam, yakni berwatak universal, berlaku abadi untuk
umat Islam dimanapun mereka berada, tidak terbatas pada umat Islam dimanapun
mereka berada, tidak terbatas pada umat Islam di suatu tempat atau negara pada
suatu masa, menghormati martabat manusia sebagai kesatuan jiwa dan raga,
rohani dan jasmani, serta memuliakan manusia dan kemanusiaan secara
keseluruhan, pelaksanaan dalam praktik digerakkan oleh iman dan akhlak umat
Islam. Banyak teori tentang sumber hukum Islam, tetapi penulis akan menuliskan
tentang sumber hukum Islam yang terdiri dari Al-Quran, Hadits, dan Ijtihad.
Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai sumber-sumber hukum
Islam dan metode pembentukan hukum Islam.
B. Tujuan
Tujuan dituliskannya makalah ini adalah untuk menambah pengetahuan
kita akan sumber hukum Islam dan metode penetapannya dari zaman Rasul
sampai kepada zaman sekarang ini.
1
BAB II
1
Azyumardi Azra, Buku Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, cet.
III.Direktorat Perguruan Agama Islam, Jakarta, 2002, hlm. 61.
2
Ibid,halaman 62.
2
datang dari sisi Allah ialah ketidaksanggupan (kelemahan) orang-orang
membuat tandingannya walaupun mereka sastrawan sekalipun.
b. Al-Qur’an sampai kepada kita secara mutawatir, yakni dengan cara
penyampaian yang menimbulkan keyakinan tentang kebenarannya, karena
disampaikan oleh sekian banyak orang yang mustahil mereka bersepakat
bohong.
c. Tidak ada yang bisa memalsukan Al-Qur’an karena ia terjaga keasliannya.
Firman Allah dalam surat Al-Hijr ayat 9 yang artinya “sesungguhnya Kami
telah menurunkan Al-Qur’an, dan sungguh Kami yang memeliharanya”.
3
tidak integral.3 Kedua, penafsiran dengan cara menghimpun dalam tema-tema.
Cara yang kedua ini dianggap cara yang termodern karena dengan menghimpun
terlebih dahulu, kita dapat membandingkan dan mengambil kesimpulan yang
tepat.
2.2.Al-Hadits
3
Nata, Abuddin. Al-Quran dan Hadits, cet. VII. PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000,
hlm. 76.
4
Azyumardi Azra, Pendidikan Agama Islam Pada Perguruan Tinggi Umum, cet.
III.Direktorat Perguruan Agama Islam, Jakarta, 2002, hlm. 82.
5
Hadits Bukhari dan Muslim.
6
Qawa’id al-Tahdits, h. 35-38 dan Tawjih al-Nahdar, h. 3.
7
Mustafa al-Siba’i. Sunnah dan Peranannya Dalam Penetapan Hukum Islam. Pustaka
Firdaus, Jakarta, cet. I, 1991, hlm. 1
4
b. Sunnah fi’liyah (perbuatan), yaitu segala tindakan Rasulullah saw. sebagai
Rasul. Misalnya tindakan beliau mengerjakan shalat 5 waktu dengan
menyempurnakan cara-cara, syarat-syarat dan rukun-rukun melaksanakan,
menjalankan ibadah haji, memutuskan perkara berdasarkan bukti atau saksi
dan mengadakan penyumpahan terhadap seorang pendakwa.
c. Sunnah taqririyah (persetujuan) perkataan atau perbuatan sebagian sahabat
yang telah disetujui oleh Rasulullah saw. secara diam-diam atau tidak di
bantahnya atau disetujui melalui pujian yang baik. Persetujuan beliau terhadap
perbuatan yang dilakukan oleh sahabat itu dianggap sebagai perbuatan yang
dilakukan oleh beliau sendiri. Sebagai contoh misalnya periwayatan seorang
sahabat yang menceritakan bahwa: Ada dua orang sahabat bepergian,
kemudian setelah datang waktu shalat mereka bertayammum karena mereka
tidak mendapatkan air. Setelah mereka melanjutkan perjalanan kembali, di
tengah jalan mereka mendapatkan air, sedang waktu shalat masih ada. Lalu
salah seorang dari mereka berwudhu dan mengulang shalatnya kembali,
sedang yang satunya tidak melakukan yang demikian. Ketika kedua orang
tersebut melaporkan kepada rasulullah saw. apa yang telah mereka lakukan,
maka beliau membenarkan tindakan yang telah mereka lakukan masing-
masing. Beliau berkata kepada orang yang tidak mengulang
shalatnya:”perbuatanmu adalah sesuai dengan sunnah, karena itu shalat yang
sudah kamu kerjakan itu sudah cukup”. Kepada orang yang mengulang
shalatnya beliau berkata:”kamu akan memperoleh pahala dua kali”.
5
2. Memberikan keterangan (bayan) ayat-ayat Al-Qur’an, artinya memberikan
perincian ayat-ayat Qur’an yang masih umum. Misalnya dalam Qur’an hanya
dicantumkan kewajiban shalat dan sunnah menerangkan waktu-waktu shalat,
jumlah rakaatnya, syarat-syarat dan rukunnya dengan mempraktekkannya
langsung melalui perbuatan beliau dalam kehidupan sehari-hari.
• Pembagian Sunnah
Di tinjau dari sedikit atau banyaknya orang-orang yang meriwayatkan,
sunnah dibagi menjadi tiga, yaitu:
1. Sunnah mutawatirah, yaitu sunnah yang diriwayatkan oleh sekian banyak
sahabat Nabi, dan dari sahabat-sahabat tersebut diriwayatkan pula oleh para
tabi’i dan orang berikutnya dalam jumlah yang seimbang dengan jumlah
sahabat yang meriwayatkan pertama. Sunnah ini banyak ditemukan pada
sunnah amaliah (yang langsung dikerjakan oleh Rasul) misal cara melakukan
shalat, puasa, haji dan lain-lain dimana perbuatan-perbuatan Rasul tersebut
disaksikan sendiri secara langsung oleh para sahabat dengan tidak ada
perubahan sedikitpun pada waktu disampaikan kepada para tabi’i dan orang-
orang pada generasi berikutnya.
2. Sunnah masyhurah, yakni sunnah yang diriwayatkan oleh seorang sahabat
atau dua orang atau lebih yang tidak sampai mencapai derajat mutawatirah ,
kemudian dari sahabat tersebut diriwayatkan oleh sekian banyak tabi’i yang
mencapai derajat mutawatirah dan dari sekian banyak tabi’i ini diriwayatkan
oleh sekian banyak rawi yang mutawatir pula.
3. Sunnah ahad, sunnah yang diriwayatkan oleh seorang sahabat, dua orang atau
lebih yang tidak sampai derajat mutawatir, kemudian diriwayatkan lagi oleh
seorang tabi’i, dua orang atau lebih dan seterusnya diriwayatkan oleh perawi-
perawi dalam keadaan tidak mutawatir juga. Sunnah ahad ini yang paling
banyak dijumpai dalam kitab-kitab sunnah. Sunnah ahad terbagi menjadi tiga:
a. Hadits shahih, ialah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil dan
sempurna ketelitiannya, sanadnya bersambung kepada Rasulullah, dan
tidak mempunyai cacat (‘illat) .
6
b. Hadits hasan, ialah hadist yang diriwayatkan oleh perawi yang adil tetapi
kurang ketelitiannya, sanadnya bersambung sampai kepada Rasulullah dan
tidak mempunyai cacat.
c. Hadits dha’if, ialah hadits yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits
ahahih dan hadits hasan. Jumhur ulama sepakat dalam membolehkan
hadits dha’if untuk menerangkan fadha’ilul amal, bukan untuk menetapkan
hukum-hukum yang pokok, seperti untuk menghalalkan atau
mengharamkan suatu perbuatan apalagi untuk menetapkan soal-soal
aqidah.
2.3.Ijtihad
Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan berfikir untuk
mengeluarkan hukum syar’i dari dalil-dalil syara’, yaitu Al-Qur’an dan hadits.
Orang-orang yang mampu menetapkan hukum suatu peristiwa dengan jalan ini
disebut mujtahid. Peristiwa-peristiwa yang dapat diijtihadkan yaitu:
a. Peristiwa-peristiwa yang ditunjuk oleh nash yang zhaniyulwurud (hadits-
hadits ahad) dan zhaniyud dalalah (nash Al-Qur’an dan hadits yang masih
dapat ditafsirkan dan dita’wilkan)
b. Peristiwa yang tidak ada nashnya sama sekali. Peristiwa-peristiwa semacam
ini dapat diijtihadkan dengan leluasa baik dengan perantaraan qiyas, istihsan,
istishab, maslahat mursalah atau dengan jalan lainnya.
c. Peristiwa yang sudah ada nashnya yang qath’iyuttsubut dan qath’iyud dalalah.
Yang terakhir ini adalah khusus dijalankan oleh Umar bin Khattab r.a. beliau
meneliti nash-nash tersebut tentang tujuan syar’i dalam mensyari’atkan
hukum. Kemudian beliau menerapkan ijtihadnya pada peristiwa sekalipun
sudah ada nashnya yang qath’i.
7
BAB III
METODE PEMBENTUKAN/PENETAPAN HUKUM ISLAM
Sumber hukum pada masa Rasulullah tetap berpegang teguh pada Al-
Quran Al-Karim dan Sunnah Rasulullah. Pengenalan Al-Quran terhadap hukum,
mayoritasnya bersifat universal tidak parsial dan global tidak rinci. Untuk
memahami Al-Quran, dibutuhkan Sunnah. Oleh karena itu, sumber dari Al-Quran
yang universal diperjelas dengan sunnah.
Dalam istilah ilmu Ushul Fiqh motede penemuan hukum dipakai dengan
istilah “Istinbath”. Istinbath artinya adalah mengeluarkan hukum dari dalil, jalan
istinbath ini memberikan kaidah-kaidah yang bertalian dengan pengeluaran
hukum dari dalil.
Ahli Ushul Fiqh menetapkan ketentuan bahwa untuk mengeluarkan hukum
dari dalilnya harus terlebih dahulu mengetahui kaidah syar’iyyah dan kaidah
lughawiyyah. Kaidah syar’iyah berarti ketentuan umum yang ditempuh syara’
dalam menetapkan hukum dan tujuan penetapan hukum bagi subyek hukum
(mukallaf) serta perlu juga diketahui tentang penetapan dalil yang dipergunakan
dalam penetapan hukum, urut-urutan dalil, tujuan penetapan hukum dan
sebaginya. Sedangkan kaidah lughawiyyah berarti berasal dari ketentuan-
ketentuan ahli lughat (bahasa) yang dijadikan sandaran oleh ahli ushul dalam
memahami arti lafaz menurut petunjuk lafaz dan susunannya.
Para ulama dalam membagi periode-periode hukum Islam menempuh dua
jalan, yaitu;
1. Menyamakannya dengan pertumbuhan manusia, maka sebagaimana manusia
melewati masa kanak-kanak, remaja dewasa lalu masa tua, begitu pula dengan
pertumbuhan hukum Islam.
2. Mendasarkan pada perbedaan dan keistimewaan yang memiliki pengaruh jelas
dalam hukum pada masa yang berbeda.
Metode pembentukan hukum Islam terbagi dalam beberapa masa. Masa
yang pertama adalah pada masa Rasulullah saw. Kedua, pada masa Khulafa ar-
rasyidun. Ketiga, pada akhir masa khulafa ar-rasyidun. Keempat, pada awal abad
kedua sampai pertengahan abad keempat hijriah. Kelima, pertengahan keempat
8
sampai jatuhnya kota baghdad tahun 656 H. terakhir adalah pertengahan abad
ketujuh sampai sekarang. 8
8
Muhammad Ali As-Sayis. Sejarah Pembentukan Dan Perkembangan Hukum Islam.
(terj) oleh Drs. H. Dedi Junaedi dan Dra. H. Hamidah, dari judul asli Tarikh Al-Fiqh Al-Islami,
CV Akademia Pressindo, Jakarta, 1996, Cet. I, hlm. 13-190.
9
Pada masa Khulafa Ar-Rasyidun
Pada masa Khulafa Ar-Rasyidun, hukum Islam memeiliki pendalaman
istilah pada ijtihad. Ijtihad para sahabat dalam pengertiannya sangan luas. Mereka
melihat indikasi nash dan beranalogi, menganggap hal-hal baik dan sesebagainya.
Mereka menyebutnya “ra’yu” (pendapat) terhadap sesuatu yang dpertimbangkan
hati setelah berpikir, merenung, dan mencari, untuk menyelesaikan suatu masalah.
Ijma’ dan ra’yu merupakan sumber hukum Islam pada masa Khulafa Ar-
Rasyidun setelah Al-Quran dan Hadits. Ijma adalah kesepakatan semua mujtahid
dari umat ini pada suatu masa terhadap suatu hukum syara’.9 Sedangkan ra’yu
(pendapat) adalah mengkaji masalah hingga tampak sisi kebenarannya dalam
hukumnya dengan mengambil petunjuk umum syariat dan kaidahnya yang
universal.
Tujuan ijma’ adalah untuk menentukan jalan keluar pada suatu masalah
dengan cara bermusyawarah antara semua mujtahid. Maksudnya, para mujtahid
(tidak sebagian) harus ikut dan menentukan kebenarannya. Apabila ada mujtahid
yang tidak sepakat maka batallah ijma’ tersebut. Tujuan dari ra’yu adalah seperti
yang telah disebutkan, mengkaji masalah hingga tampak sisi kebenarannya dalam
hukumnya dengan mengambil petunjuk umum syariat dan kaidahnya yang
universal. Pada dasarnya, ijma’ dan ra’yu merupakan ijtihad yang dilakukan oleh
para sahabat dan ulama pada saat itu.
9
Ibid,halaman 71.
10
Pada pertengahan abad keempat sampai jatuhnya kota Baghdad tahun 656H
Pada pertengahan abad keempat sampai jatuhnya kota Baghdad tahun 656
H, para pengikut dari suatu mazhab komitmen dengan mazhab tertentu dan
mencurahkan kekuatannya utuk menyokong mazhab tersebut, baik global atau
terinci.
11
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Islam mempunyai dua sumber hukum yang utama yaitu Al-Qur’an dan
Hadits, sedangkan untuk merumuskan suatu hukum baru yang tidak
terdapat pada keduanya diperlukanlah ijtihad yang tetap mendasarkan pada
Al-Qur’an dan hadits.
2. Pembentukan hukum Islam memiliki proses yang cukup panjang.
Pembentukan tersebut berdasarkan kejadian yang terjadi pada zaman itu.
Setiap proses (periode) memiliki perkembangan masing-masing.Periode
yang pertama adalah pada masa Rasulullah saw. Kedua, pada masa
Khulafa ar-rasyidun. Ketiga, pada akhir masa khulafa ar-rasyidun.
Keempat, pada awal abad kedua sampai pertengahan abad keempat hijriah.
Kelima, pertengahan keempat sampai jatuhnya kota baghdad tahun 656 H.
terakhir adalah pertengahan abad ketujuh sampai sekarang.
B. Saran
12
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang selalu memberikan
rahmat dan hidayat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat
pada waktunya.
Terima kasih kami ucapkan kepada dosen pengajar mata kuliah Studi
Islam yang telah membimbing kami baik dalam perkuliahan maupun dalam
pembuatan makalah. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada teman-teman
TI 08 B yang selalu memberikan motivasi untuk kami.
Kami menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam makalah ini.
Oleh karena itu, kami mohon maaf atas kekurangan tersebut dan kami mohon
kritik dan sarannya demi kebaikan pembuatan makalah selanjutnya.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan
penyusun pada khususnya.
Penyusun
13
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................... i
Daftar isi ............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang............................................................................ 1
B. Tujuan ........................................................................................ 1
BAB II SUMBER-SUMBER HUKUM ISLAM
2.1 Al-Quran Al-Karim..................................................................... 2
2.2 Al-Hadits .................................................................................... 4
2.3 Ijtihad ......................................................................................... 7
14
DAFTAR PUSTAKA
13
15
STUDI ISLAM
Disusun Oleh :
Aenun
Damar
Gilang