FIKIH MINORITAS PERSPEKTIF KEMAJUAN ZAMAN GLOBAL Edit Akhir

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 37

PERAN FIQH AL-AQALLIYAT (FIKIH

MINORITAS)
Fiki Nuafi Qurrota Aini
Pascasarjana Prodi Ilmu Falak
Universitas Islam Negeri Walisongo
Jl. Walisongo No.3-5 Tambakaji, Ngaliyan, Semarang
Email: [email protected]

Abstrak: Seluruh ketentuan Allah (syari’at) yang


terdapat dalam sumber primer ajaran Islam, yakni yang
berbentuk dalam hukum-hukum syara’ (yang berkenaan
dengan segala perbuatan manusia) disadur, hingga
terbentuklah sebuah paham yang dinamakan “Fikih”.
Seiring berjalannya waktu, terdapat beberapa golakan
sosial yang “mendesak” keadaan para kaum muslim untuk
terpaksa keluar dari beberapa ketetapan syara’. Dengan
segala keadaannya yang terbatas, membuat Muslim
minoritas berada di antara dua posisi, yakni prioritas sosial
serta prioritas agama. Sehingga, sangatlah diperlukan
adanya produk fikih yang “memihak” Muslim minoritas,
yang tidak memberatkan dan tidak pula membuat mereka
keluar dari jalur syara’. Kemudian, terbentuklah sebuah
produk fikih yang disebut dengan Fiqh al Aqalliyat, yang
sama-sama menyadur dari sumber yang sama dengan
produk fikih pada umumnya, yakni al Quran serta Sunnah
Nabi, namun dikemas dalam perspektif yang berbeda.
Persoalan yang berbeda, memerlukan penyelesaian yang
berbeda pula.
Kata Kunci: fikih, syara’, sosial, Muslim minoritas
Aqalliyat.
Pendahuluan

Dewasa kini, merupakan masa perkembangan


zaman yang sangat pesat. Berbagai hal dapat kita lakukan
dan peroleh, di zaman yang serba canggih ini. Namun,
dalam berkehidupan sosial yang cenderung dapat dikatakan
“bebas” ini, banyak sekali persoalan-persoalan
berkehidupan sosial, yang terkadang terabaikan. Salah satu
hal yang terabaikan pada zaman maju seperti sekarang ini
adalah, sikap toleransi yang sedikit demi sedikit cenderung
disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu.

Sebagai umat Muslim, sikap toleransi tentu sudah


banyak diajarkan dalam kehidupan kita. Namun, dalam hal
bertoleransi tersebut, terdapat beberapa ketetapan yang
harus kita patuhi. Seperti halnya tetap berpegang teguh
terhadap prinsip “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”.
Toleransi bukan berarti dengan menghalalkan
(memperbolehkan), apa yang bukan menjadi adat istiadat
serta ajaran kita, masuk ke dalam tatanan kehidupan umat
Muslim. Mirisnya, banyak umat Muslim yang dengan
mengatasnamakan toleransi ini, sedikit demi sedikit

2
terjerumus ke dalam hal-hal yang bersifat menyimpang dari
ajaran kita. Mengabaikan apa yang telah tercantum dalam
fikih dan syara’-Nya.

Namun terdapat satu hal yang harus kita pahami,


bahwa sebagai umat Muslim tidak harus selalu langsung
bersikap “take a judge”, mengambil kesimpulan bahwa
seluruh hal yang bersifat tidak (belum diajarkan atau tidak
terdapat) dalam syara’, sifatnya adalah haram atau dosa.
Hal ini dikarenakan, sejatinya Islam merupakan ajaran
agama yang memiliki sifat universalitas yang tinggi dan
dinamis mengikuti perkembangan zaman. Akan tetapi,
keterbatasan pemahaman manusia dalam memahami kalam
Allah inilah, yang terkadang membuat pemahaman agama
Islam tersebut, mengalami kontradiski di dalamnya.

Banyak kasus yang terjadi di antara kita sebagai


umat Muslim dalam berkehidupan sosial, yang terkadang
“memaksa” kita, untuk bersikap lebih terhadap kaum
beragama lain. Muslim minoritas dapat dijadikan contoh,
bahwa sangat dibutuhkannya suatu produk yuridiksi Islam,
yang tidak terlalu memberatkan namun juga tidak membuat
para Muslim minoritas tersebut keluar jalur dari syara’.
3
Tidak memberatkan, dalam artian para Muslim
minoritas ini tidak terbatasi aktifitasnya serta kehidupan
sosialnya, terhadap kaum mayoritas (yang beragama non
Muslim). Tidak keluar jalur syara’, yang berarti bahwa
Muslim minoritas tetap berada dalam garis yuridiksi Islam
yang sesuai dengan ketetapan Allah serta ajaran Rasul-Nya.
Karena dalam berkehidupan sosial, kita tidak dapat
memungkiri keberadaan kita di tengah suatu kaum, yang
berbeda keyakinan dengan kaum Muslim.

Golongan yang disebut sebagai “Muslim Minoritas”


Dari segi bahasa, minoritas didefinisikan sebagai
golongan sosial yang yang jumlah warganya jauh lebih kecil
jika dibandingkan dengan golongan lain dalam suatu
masyarakat, dan karena itu didiskriminasi oleh golongan
lainnya. Sejauh ini memang tidak terdapat definisi tunggal
mengenai minoritas. Namun, umumnya istilah tersebut
lebih menekankan pada keberadaan minoritas sebagai
persoalan fakta dan definisinya harus memasukkan
beberapa faktor objektif, seperti fakta pluralitas bahasa,
etnis atau agama, serta berbagai faktor subjektif, termasuk

4
bahwa individu tersebut harus mengidentifikasi dirinya
sebagai anggota kelompok minoritas tertentu.1
Muslim minoritas, dimaksudkan sebagai kelompok
minoritas yag disatukan dalam satu keberagaman yang
sama, yaitu agama Islam. Taj al-Sirr Ahmad Harran
mendefinisikan minoritas Muslim dengan “sekelompok
orang Muslim yang hidup di bawah kekuasaan pemerintah
non-Muslim di tengah mayoritas masyarakat yang tidak
beragama Islam”. Dengan kata lain, mereka hidup di negara
dimana Islam merupakan agama yang bukan menjadi
rujukan aturan dan juga bukan menjadi budaya mayoritas
penduduknya. Salah Sultan 2 , menyatakan bahwa terma
minoritas Muslim tidak hanya dilihat dari sisi jumlah,
namun juga dari hak-hak hukum yang mereka miliki.
Menurutnya, ada dua bentuk minoritas muslim, (1)
Minoritas atas dasar jumlah jiwa sebagaimana yang ada di
eropa, Amerika, India dan Cina; dan (2) Minoritas atas dasar

1
Ahmad Suaedy, Alamsyah M.Dja’far, dkk., Islam Dan Kaum
Minoritas: Tantangan Kontemporer, Cet.I, (Jakarta: The Wahid
Institute, Desember 2012), hlm.7-8.
2
Salah seorang sarjana pemerhati minoritas Muslim dan
sekaligus pendukung hadirnya fiqh al-aqalliyat. Baca, Ahmad Imam
Mawardi, Fiqh Minoritas “Fiqh al-Aqalliyat dan Evolusi Maqashid al-
Syariah dari Konsep ke Pendekatan”, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta,
2010), hlm.43.
5
hak hukum. Dalam kasus yang kedua ini, walaupun dalam
posisi sebagai mayoritas, kaum Muslim mengalami nasib
seperti kebanyakan minoritas, yakni senantiasa
mendapatkan pelecehan dan diskriminasi, seperti halnya
yang terjadi di Kashmir, Chechnya, Uzbekistan dan
Azerbaijan.3
M. Ali Kettani menjelaskan ada tiga bentuk
munculnya minoritas Muslim; Pertama, suatu komunitas
Muslim dijadikan tidak efektif oleh kelompok non-Muslim
yang menduduki wilayah komunitas Muslim, meskipun
umat Islam di wilayah itu secara jumlah tergolong
mayoritas. Dalam rentangan waktu yang lama, karena
pengaruh pendudukan oleh komunitas non-Muslim
tersebut, komunitas Muslim yang tadinya secara jumlah
mayoritas, berubah menjadi minoritas karena pengusiran
secara besar-besaran oleh komunitas non-Muslim. Dis sisi
lain terjadi gelombang imigran non-Muslim secara besar-
besaran. Kedua, ketika pemerintah Muslim di suatu negara
tidak berlangsung secara lama, atau usaha menyebarkan

Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas “Fiqh al-Aqalliyat


3

dan Evolusi Maqashid al-Syariah dari Konsep ke Pendekatan”,


(Yogyakarta: LkiS Yogyakarta, 2010), hlm.43-44.
6
Islam tidak cukup efektif untuk mengubah Muslim menjadi
mayoritas dalam jumlah negeri-negeri yang mereka kuasai.
Berbagai kekuasaan politiknya tumbang dan umat Islam
mendapati dirinya turun status dari mayoritas menjadi
minoritas dalam negerinya sendiri seperti India dan
Balkan.4
Ketiga, minoritas Muslim terjadi ketika non-Muslim
di lingkungan non-Muslim pindah agama menjadi Muslim.
Jika pemeluk Islam yang baru ini menyadari akan
pentingnya keyakinan Islam mereka dan memberikan
prioritas atas ciri-ciri lain dan mencapai solidaritas sesama
karena mereka memiliki keyakinan yang sama maka
terbentuklah suatu minoritas Muslim baru. Biasanya arus
imigran dan muallaf menyatu untuk membentuk suatu
minoritas Muslim seperti kasus Srilangka, karena di negeri
tersebut umat Islam merupakan penyatuan antara imigran
Arab Selatan dan Muslim muallaf Srilangka.5

4
Mubasirun, Persoalan Dilematis Muslim Minoritas dan
Solusinya, (Jurnal Episteme, Vol.10, No.1, Juni 2015), hlm.103.
4
Yogi Zul Fadhli, Kedudukan Kelompok Minoritas dalam
Perspektif HAM dan Perlindungan Hukumnya di Indonesia¸ (Jurnal
Konstitusi, Vol.11, No.2, Juni 2014), hlm.356.
5
Mubasirun, Persoalan Dilematis Muslim Minoritas dan
Solusinya......, hlm.103.
7
Kaum Muslim Minoritas dan Kehidupan Sosial

Dari kacamata sosiologi, yang dimaksudkan dengan


minoritas adalah kelompok-kelompok yang paling tidak
memenuhi tiga gambaran berikut, (1) anggotanya sangat
tidak diuntungkan, sebagai akibat dari tindakan
diskriminasi orang lain terhadap mereka; (2) anggotanya
memiliki solidaritas kelompok dengan “rasa kepemilikan
bersama”, dan mereka memandang dirinya sebagai “yang
lain” sama sekali dari kelompok mayoritas; (3) biasanya
secara fisik dan sosial terisolasi dari komunitas yang lebih
besar.6

Bersendikan anasir di atas (posisi yang tidak


diuntungkan, jumlah anggota yang biasanya sedikit,
tindakan diskriminasi, terisolasi), maka kelompok minoritas
digolongkan sebagai salah satu kelompok rentan, yang

6
Yogi Zul Fadhli, Kedudukan Kelompok Minoritas dalam
Perspektif HAM dan Perlindungan Hukumnya di Indonesia¸ (Jurnal
Konstitusi, Vol.11, No.2, Juni 2014), hlm.356.
8
karena kerentanan itu hak sipil politik maupun ekonomi,
sosial, budaya yang dimiliki sewaktu-waktu.7

Muslim minoritas memainkan peran penting dalam


pandangan dunia Barat terhadap Islam dan kaum Muslim.
Kehadiran Muslim minoritas dalam masyarakat Barat,
berlanjut dalam bentuk menambah hak untuk arus para
imigran, para pencari suaka dari area (dampak) perang, dan
kelompok yang mengungsi karena bencana alam,serta
meningkatnya penganut agama Islam baru-baru ini.8

Seiring dengan adanya keterbukaan dan maraknya


seruan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM), migrasi
penduduk dari satu negara ke negara lain menjadi sebuah
keniscayaan. Tidak terdaat satu negara pun yang luput dari
arus migrasi. Lebih-lebih pada saat ini, dimana konflik dan
perang saudara melanda kawasan Timur Tengah yang
masyarakatnya mayoritas adalah Muslim. Maka, tidak

7
Yogi Zul Fadhli, Kedudukan Kelompok Minoritas dalam
Perspektif HAM dan Perlindungan Hukumnya di Indonesia.........,
hlm.356.
8
Imam Mohamed Magid dan Humera Khan, The Roles of
Muslim-Majority and Muslim-Minority Communities in a Global
Context, (U.S. Islamic World Forum Papers, 2011), hlm.2.
9
terjadi gelombang migrasi Muslim ke negara lain, terutama
ke kawasan Eropa dan Amerika. Kenyataan ini menjadikan
jumlah Muslim di negara-negara non-Muslim tersebut
semakin meningkat, walaupun mereka harus menanggung
resiko psikologis yang cukup akut sebagai pendatang,
terutama berkenaan dengan praktik pengalaman keagamaan
mereka. Keberadaan minoritas tidak jarang melahirkan
anggapan bahwa mereka adalah warga asing sehingga,
diperlakukan secara diskriminatif. Paling tidak ada dua
problematika besar yang mereka hadapi, yaitu:
problematika sosio-politik dan problematika dalam
menjalankan ajaran agama. Problematika sosio-politik
adalah permasalahan yang paling sering mereka hadapi,
yang bermula dari perbedaan latarbelakang hidup, sosial
dan budaya, ras, etnis dan keyakinan atau agama kelompok
minoritas yang berbeda dengan yang disandang oleh
kelompok mayoritas. Problematika ini berpusat pada dua
sudut yang saling berhubungan; sudut internal dan sudut
eksternal. Sudut internal, bisa berwujud ketidakmampuan
minoritas Muslim untuk berasimilasi dengan budaya dan
nilai-nilai hidup setempat yang disebabkan oleh kurangnya
pemahaman mereka menyelesaikan konflik nilai yang

10
dihadapi. Dari sudut eksternal, problematika sosial-politik
minoritas Muslim di Barat dapat dilihat dari sikap ambigu
negara-negara barat ketika menetapkan kebijakan yang
cenderung diskriminatif terhadap masyarakat Muslim.9

Adapun problematika ajaran agama dapat berasal


dari faktor internal maupun eksternal. Faktor internal
berasal dari fakta bahwa tidak semua minoritas Muslim
mengerti dan mengikuti perkembangan dan pemikiran
hukum Islam dan cenderung memahami doktrin-doktrin
agama secara literal atau tekstual dibandingkan dengan
kontekstual. Faktor eksternal berwujud sikap masyarakat
Barat yang cenderung mendudukkan agama di luar ranah
publik dan menjadikannya semata-mata urusan privat
seseorang. Liberalisme, yang menjadi dasar pemikiran
Barat, telah memberikan hak otonomi individual berupa
kebebasan menjalankan ajaran agama dan kepercayaan
masyarakatnya. Hal ini berbeda dari keyakinan minoritas

9
Abdul Wahab Khalil, Prinsip Al-Taysir dalam Fiqh al-
Aqalliyat Yusuf Al-Qardawi, (Empirisma, Vol.25, No.1, 1 januari 2016),
hlm.36-37.
11
Muslim yang mempercayai bahwa agama bukan hanya
untuk ranah privat namun juga ranah publik.10

Fiqh al-‘Aqalliyat (Fikih Muslim Minoritas)

Istilah fiqh al-aqalliyat ini sebenarnya muncul pada


awal tahun 1990-an. Tokoh pendirinya adalah Thaha Jabir
al-Alwani dan Yusuf al-Qardlawi. Tepatnya, Thaha Jabir
menggunakan istilah ini pertama kali pada tahun 1994 di
saat Fiqh Council of North America yang dipimpinnya
memberikan fatwa boleh bagi umat Muslim Amerika
memberikan suaranya pada pemilihan presiden di Amerika,
yang nota bene calonnya adalah non-Muslim. Sementara
itu, Yusuf al-Qardlawi mendirikan European Council for
Fatwa and Research (ECFR) di London pada tahun 1997
dengan tujuan utama memberikan layanan hukum Islam
p a d a m a s ya r a k a t m i n o r i t as M us l i m di E r o p a . 11

10
Abdul Wahab Khalil, Prinsip Al-Taysir dalam Fiqh al-
Aqalliyat Yusuf Al-Qardawi, (Empirisma, Vol.25, No.1, 1 januari 2016),
hlm.36-37.
11
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Aqalliyat Pergeseran Makna
Fiqh dan Usul Fiqh, (Asy-Syir’ah: Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum,
Vol.48, No.2, Desember 2014), hlm.320.
12
Fiqh al-aqaliyyât (yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia menjadi “fikih minoritas”), terdiri atas
dua kata: fiqh dan aqalliyyah. Kata fiqh, secara etimologis
berarti “paham yang mendalam”. Secara terminologis, fikih
berarti ilmu tentang hukum-hukum syarak yang bersifat
‘amaliyyah atau praktis yang digali dan ditemukan dari
dalil-dalil yang terperinci. Kata “amaliyyah” yang terdapat
dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fikih itu hanya
menyangkut tindak-tanduk manusia yang bersifat lahiriah.
Dengan demikian, hal-hal yang bersifat bukan lahiriah,
seperti masalah keimanan atau akidah tidak termasuk dalam
ruang lingkup fikih. Kata “aqalliyyah” berasal dari kata
qallala yang berarti sedikit, lawan dari banyak. 12

Secara terminologis, fiqh al-aqaliyyât ialah bentuk


fikih yang memelihara keterkaitan hukum syarak dengan
dimensi-dimensi suatu komunitas dan dengan tempat di
mana mereka tinggal. Fikih ini merupakan fikih komunitas
terbatas yang memiliki kondisi khusus yang memungkinkan
sesuatu yang tidak sesuai bagi orang lain menjadi sesuai

12
Nurhayati, Fikih Minoritas: Suatu Kajian Teoretis, (Jurnal
Ahkam, Vol.XIII, No.2, Juli 2013), hlm.193-194.
13
bagi mereka. Cara memperolehnya membutuhkan aplikasi
sebagian ilmu kemasyarakatan secara umum dan ilmu
sosiologi, ekonomi, dan beberapa ilmu politik dan
h u b u n g a n i n t e r n a s i o n a l s e c a r a k h u s u s . 13

Sehingga konklusinya, fiqh al aqalliyat dijadikan


sebagai sarana untuk membantu kaum Muslim di Barat,
melindungi hak-hak mereka, mencari solusi untuk masalah
mereka, yang hidup dan berjuang sebagai kaum minoritas
di Barat.14

Solusi Sosial terhadap Muslim Minoritas

Komunitas Muslim yang berada di negeri-negeri


non-Muslim seharusnya tidak boleh diperlakukan sebagai
kelompok minoritas. Istilah yang digunakan bagi kaum
Muslimin di seluruh dunia adalah “ummah” yang

13
Nurhayati, Fikih Minoritas: Suatu Kajian Teoretis, (Jurnal
Ahkam, Vol.XIII, No.2, Juli 2013), hlm. 194.
14
Ahmad Nabil Amir dan Tasnim Abdul Rahman, The
Protection of Human Rights in Islam: As Discoursed in the Works of Al-
Qaradawi, (Justicia Islamica, Vol.14, No.2 Tahun 2017), hlm.189.
14
merupakan konsep multidimensi yang tidak dibatasi oleh
ruang, waktu, ikatan ras, dan sebagainya.15

Istilah “ummah” tersebut paling tidak memiliki


empat dimensi: (a) Ia meliputi kaum Muslimin yang hidup
di setiap zaman dan babakan sejarah, sejak datangnya Islam
hingga alam baka (dimensi “panjang”); (b) Ia mencakup
kaum Muslimin di seluruh dunia tanpa memandang batasan
geografi (dimensi “lebar”); (c) Ia meliputi segala ras, warna
kulit atau pun bentuk tubuh (dimensi “luas” atau “volume”);
dan (d) Ia memperkokoh ikatan kerjasama di antara
berbagai kelompok dan anggota masyarakat yang meliputi
segala bidang kehidupan manusia, baik itu bersifat fisik,
spiritual, keuangan, sosial, dan sebagainya (dimensi
“tinggi”). Tentu saja topik ini tidak harus berarti
pemahaman bahwa Islam tidak mengenal pembagian aspek-
aspek kemanusiaan ke dalam berbagai bentuk pengertian

15
Bukhari Abdul Shomad, Problem Minoritas dalam
Perspektif Al-Quran, (Jurnal Analisis, Vol.XII, No.1, Juni 2012),
hlm.108-109.
15
minoritas dan mayoritas karena Islam justru
memperkenalkan konsepnya yang khas.16

Ukuran dalam Penetapan Fikih Muslim Minoritas


1) Fikih minoritas dilihat sebagai upaya membangun
fleksibilitas hukum Islam ketika umat Islam berada
dalam posisi minoritas dalam sebuah negara atau ketika
umat Islam hidup bukan di negara yang tidak
menjadikan Islam sebagai dasar negara. Dalam konteks
sosial politik, fikih minoritas merupakan fikihnya orang
kalah dan tidak berdaya. Dalam ketidakberdayaan itu,
tema tema yang dipermaslahkan seperti memilih
pemimpin non-Muslim, soal sembelihan binatang yang
diduga tanpa baca bacaan basmallah, hukum seorang
Muslim yang bekerja di rsetoran untuk berjualan
minuman keras, memberi salam kepada non-Muslim
dan sebagainya.
2) Melalui cara berpikir tersebut, maka fikih minoritas
cenderung diletakkan sebagai “langkah darurat” dari
situasi yang dianggap “tidak normal”. Dengan

16
Bukhari Abdul Shomad, Problem Minoritas dalam
Perspektif Al-Quran................., hlm.108-109.
16
menggunakan logika darurat ini, maka umat Islam
diperbolehkan melakukan sesuatu yang semula
diwajibkan.17

Kaidah fikih yang biasa digunakan untuk melegitimasi hal


ini adalah adh-dharuratu tubth almahzhurat (kondisi
darurat memperbolehkan seserang untuk melakukan
sesuatu yang dilarang). Dengan demikian, fiqh al aqalliyat
mendasarkan argumentasi-argumentasinya pada logika dan
metodologi hukum Islam yang dirumuskan para Ulama’.
Landasan paling dasar yang biasa digunakan, doktrin
kemaslahatan dan ‘urf (tradisi). Dengan demikian, sumber-
sumber penetapan hukum seperti al Quran, hadits, ijma’
dan qiyas (analogi) harus diletakkan dalam konsepsi
tersebut. Disamping itu, konsepsi maqashid asy syari‘ah
(tujuan dasar pemberlakuan hukum Islam) yang berintikan
perlindunan pada lima hal pokok (dharuriyat al khamsah)
baik pada tingkatan dharuriyat, hajiyyat maupun
tahsiniyyat, merupakan prisnsip umum yang berintikan
pada keadilan dan kebaikan. Maka, inti ajaran Islam yang
terdapat dalam universalitas al Quran adalah penegakan

Ahmad Suaedy, Alamsyah M. Dja’far, dkk., Islam dan


17

Kaum Minoritas, (Jakarta: The Wahid Institute, 2012), hlm.27.


17
prinsip kemanusiaan, dimana perbedaan Muslim dan non-
Muslim menjadi tidak terlalu relevan diperdebatkan.18
Produk Fatwa dalam Fiqh al Aqalliyat
ECFR yang diketuai oleh Yusuf al Qardhawi barangkali
adalah satu-satunya lembaga fatwa di Eropa yang
terorgansasi dengan baik. Hal ini dapat dilihat dari tiga sisi:
1) Sarjana dan tokoh agama yang terlibat di dalamnya
memiliki kualifikasi pendidikan yang mumpuni dalam
bidang-bidang yang diperlukan untuk memberikan
fatwa yang tepat bagi permasalahan hukum Islam di
Barat. Sarjana-sarjana yang terlibat di dalamnya tidak
hanya dari sarjana yang bertempat tinggan di Eropa,
namun juga yang bertempat tinggal di luar Eropa.
Bahkan, terdapat pula yang bertempat tinggal di negara
non-Barat.
2) Metodologi yang digunakan dalam menentukan hukum
itu tegas, yakni ijtihad yang didasarkan pada maqashid
al syari‘ah.

18
Ahmad Suaedy, Alamsyah M. Dja’far, dkk., Islam dan
Kaum Minoritas...................., hlm.27-28.
18
3) Masalah-masalah yang diberikan fatwa atau diputuskan
hukumnya oleh ECFR didokumentasikan dengan
baik.19

Sementara itu, FCNA yang juga giat membahas dan


memberikan jawaban atas permasalahan masyarakat
minoritas muslim, belum mendokumentasikan kajiannya
dalam bentuk buku, tetapi masih dalam bentuk format arsip
digital dalam situs resmi yang dimilikinya. Meskipun
demikian, beberapa sarjana yang terlbat di dalamnya,
seperti Thaha Jabir al-Alwani dan Salah Sultan
menuangkan beberapa putusan atau pandangan fiqh al
aqalliyat dalam beberapa tulisan mereka.
Berikut adalah beberapa contoh kasus hukum yang telah
diberikan fatwanya dan diterbitkan oleh lembaga ECFR
sendiri, terutama yang dikutip dalam kita fiqh al aqalliyat
yang ditulis oleh pemimpin lembaga tersebut, Yusuf al
Qardhawi serta salah satu anggotanya, Bin Bayyah serta
yang dilansir oleh FCNA yang sebagian disampaikan oleh
mantan pemimpinnya, yakni Thaha Jabir al Alwani:

19
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas (Fiqh al Aqalliyat
dan Evolusi Maqashid al Syari‘ah dari Konsep ke Pendekatan),
(Yogyakarta: LkiS, 2010), hlm.153-154.
19
1. Bidang Keyakinan dan Ibadah Ritual
Merupakan bidang kajian utama dalam setiap agama.
Berbagai persoalan dalam bidang ini menjadi persoalan
yang paling sensitif, krusial dan penting jika
dibandingkan dengan bidang lainnya.
Contoh yang terdapat dalam bidang ini salah satunya
yakni ‘Ucapan Selamat atas Hari Raya Ahli Kitab’.
Masalah ini merupakan hal yang senantiasa
dipertanyakan, baik di negara yang Muslim nya
menjadi mayoritas maupun Muslimnya merupakan
minoritas. Pertanyaan ini juga pernah disampaikan oleh
seorang Muslim kandidat doktor dari Jerman pada
ECFR.20
Jawaban yang diberikan adalah bahwa menyampaikan
selamat atas hari raya ahli kitab itu diperbolehkan,
berdasarkan pada dalil al Quran, yang berada pada
Surat ke 60, al Mumtahanah ayat 8 dan 9:
‫ال ينها كم هللا عن الذين لم يقاتلوكم فى الدين و لم يخرجوكم من دياركم‬
‫ أنما ينهاكم هللا عن‬. ‫أن تبروهم وتقسطوا أليهم أن هللا يحب المقسطين‬

20
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas..............., hlm.154-
155.
20
‫الذين قاتلوكم فى الدين وأخرجوكم من دياركم و ظهروا على أخرا جكم‬
. ‫ و من يتولهم فأ آل ئك هم الظالمون‬. ‫أن تولو هم‬
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang
memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari
negerimu, dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka
sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim.”
Menurut Yusuf Qardhawi, ayat ini secara jelas dan
tegas mengajarkan dua pola interaksi dengan non-
Muslim, yakni: berlaku baik dan adil kepada mereka
yang tidak memusuhi, serta tidak menjadikan mereka
yang memusuhi atau memerangi umat Islam sebagai
kawan. Berbuat adil yang dimaksud adalah, tidak
mengurangi hak mereka, sementara kita berbuat baik
yang dimaksud adalah memberikan sebagian hak kita

21
kepada mereka. Menyampaikan ucapan selamat hari
raya kepada mereka adalah suatu perbuatan yang
diperbolehkan, karena bagian dari perbuatan yang baik
ketika memberikan efek yang positif dalam pola
interaksi kemanusiaan (yang tidak diperbolehkan
dalam hal ini adalah mengikuti acara ritual keagamaan
mereka).21
22
Selain itu, orang-orang Ahlul Kitab memiliki
kedudukan khusus yang tidak dimiliki oleh orang-
orang non-Muslim selain mereka, dalam perlakuan
umum maupun penentuan hukum.23
Memanglah banyak para Ulama’ yang dengan tegas
mengharamkan ucapan selamat dan mengikuti hari raya
Ahli Kitab. Ibnu Taymiyyah seorang yang secara tegas
mengulas hal ini dalam kitabnya, Iqtidha’ al Shirath al

21
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas ............, hlm.155-
156.
22
Yang dimaksud dengan ahlul Kitab ialah mereka yang
agamanya (pada mulanya) berdasarkan Kitab Samawi meskipun
kemudian mengalami perusakan dan penggantian, seperti kaum Yahudi
dan Nasrani yang agama mereka berdasarkan Taurat dan Injil. Lihat
pada Yusuf Qardhawi, Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat
Islam, hlm.16.
23
Yusuf Qardhawi, Minoritas Non-Muslim di dalam
Masyarakat Islam, yang diterjemahkan oleh Muhammad Baqir,
(Bandung: Mizan, Oktober 1985), hlm.16.
22
Mustaqim Mukhalafah Ahl al Jahim. Yusuf Qardhawi
menyatakan kesepakatannya dengan Ibnu Taymiyyah
dalam hal keharaman umat Islam mengikuti hari raya
mereka atau mereka mengikuti hari raya umat Islam.
Namun, Yusuf Qardhawi dengan ECFR-nya tidak
sependapat dengan keharaman ucapan selamat hari
raya kepada non-Muslim, apalagi jika mereka masih
terdapat ikatan kekeluargaan, tetangga ataupun
hubungan kerja. Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa
pernyataan Ibnu Taymiyyah tersebut sesuai dengan
konteks zamannya ketika fatwa itu disampaikan.24
2. Bidang Ekonomi
Masalah-masalah yang berhubungan dengan ekonomi
menjadi masalah hukum yang secara nyata dihadapi
secara langsung oleh masyarakat muslim minoritas di
Barat. Banyak masalah ekonomi yang mereka ajukan
pada lembaga fatwa ECFR, di antaranya adalah tentang
hukum membeli rumah tempat tinggal secara kredit
bank di Barat.

24
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas ............, hlm.156.
23
Permasalahn ini menjadi urgent, karena rumah
merupakan tempat tinggal yang menjadi kebutuhan
vital bagi masyarakat Muslim di Barat, tetapi menjadi
problematis ketika mayoritas Ulama’ mengharamkan
semua transaksi yang memiliki unsur riba. Akan tetapi,
hal ini merupakan sesuatu yang urgent mendapatkan
perhatian dan kepastian hukum ketika diletakkan dalam
konteks kebutuhan primer masyarakat minoritas
Muslim di Barat.25
Yusuf al Qardhawi mengetahui bahwa mayoritas
Ulama’ mengharamkan praktik riba dalam bentuk
apapun dan menganggapnya sebagai salah satu dosa
dari tujuh dosa besar yang harus dihindari. Namun,
ketika melihat realitas yang terjadi, beliau menganggap
bahwa adanya kebutuhan yang bisa menempati posisi
sebagai kondisi darurat yang dalam kaidah fikih
menjadi sebab bolehnya sesuatu yang dilarang (al
hajatu tanzilu manzilat al dharurah). Pandangan Yusuf
Qardhawi ini didasarkan kepada beberapa pendapat
fuqaha kontemporer seperti Muhammad Rasyid Ridha,

25
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas ............, hlm.159-
160.
24
Musthafa al Zarqa dan keputusan beberapa lembaga
fatwa internasional seperti Lembaga Fatwa Kuwait,
Majlis Ulama Dunia, ECFR dan FCNA yang memiliki
kesimpulan sama tentang bolehnya membeli rumah
dengan memanfaatkan kredit bank berbunga (ribawi)
karena suatu kebutuhan yang mendesak. Alasan
lainnya yang dikemukakan adalah analisis manfaat dan
keuntungan yang akan mengantarkan pada
kemaslahatan hidup minoritas Muslim di Barat.26
3. Bidang Politik
Salah satu contoh dari bidang politik fiqih minoritas,
adalah hukum ikut serta dalam masalah politik. Jika
dilihat dalam konteks dar al Islam fiqh al siyasah,
menegaskam bahwa berpartisipasi dalam masalah
politik merupakan sesuatu yang disyari‘atkan dalam
upaya membangun kemaslahatan bersama dan
menegakkan prinsip-prinsip Islam yang agung.
Partisipasi yang dimaksud disini adalah partisipasi
yang berkaitan dengan hal yang bersifat umum, mulai
dari yang paling dasar, yakni memenuhi hak dan

26
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas ............, hlm.160.
25
kewajiban politik sebagai warga negara, mengikuti
pemilu, mencalonkan diri untuk suatu jabatan politis,
dan lain sebagainya. Hal ini menjadi sebuah
permasalahan, jika diletakkan dalam konteks
partisipasi umat Islam dalam kegiatan politik di negara-
negara non-Islam di Barat.
Pertanyaan tentang kebolehan umat Islam di Barat ikut
pemilihan presiden yang mana calon-calonnya tersebut
beragama non-Islam merupakan satu contoh
permasalahan, sebab syarat menjadi pemimpin menurut
fikih klasik sangat ketat meliputi masalah agama,
kepribadian, keilmuan serta syarat lainnya.27
Atas permaslahan inilah, ECFR memberi pandangan
hukum sebagai berikut:
1) Tujuan kerjasama atau ikut serta dalam politik
adalah untuk ikut menjaga hak, kebebasan dan
mempertahankan nilai-nilai diri serta eksistensi
umat Islam di negara tersebut.
2) Hukum asal menentukan disyari‘atkannya
kerjasama politik bagi umat Islam di negara Eropa

27
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas ............, hlm.165.
26
dengan status hukum boleh, sunnah dan wajib atas
dasar ayat al Quran, yakni surat ke-5, surat al
Maidah ayat 2,
‫ و تعاااا ونوا على البر و التقو و ال تعااااونوا على اال م و‬....
.... ‫العدوان‬
“....dan tolong menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan
tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran.”
3) Kerjasama politik meliputi, menjadi anggota
lembaga kemasyarakatan, ikut serta dalam partai
politik dan lain sebagainya.
4) Kaidah yang pling penting dalam kerjasama politik
ini adalah tetap berpegang teguh pada akhak Islami
seperti kejujuran, keadilan, tanggung jawab serta
menghargai pluralisme dan pandangan yang
berbeda.
5) Ikut serta dalam pemilihan umum dengan syarat
berpegang pada kaidah-kaidah syari‘at, etika dan
perundang-undangan, dengan niat kemaslahatan
dan tidak didasarkan pada kepentingan individu.

27
6) Bolehnya menggunakan harta benda untuk
kepentingan pemilihan umum tersebut walaupun
yang dipilih bukan seorang Muslim, sepanjang
dipandang mampu mewujudkan kemaslahatan
umum.
7) Kebolehan kerjasama poloitik tersebut berlaku
sama bagi perempuan Muslimah sebagaimana yang
berlaku pada laki-laki.28

Pandangan ECFR di atas lebih menekankan kepada


konteks dan berorientasi pada kemaslahatan, yang
merupakan inti dari maqashid al syari‘ah. Teks-teks
dalil yang digunakan sebagai dasar dalam fikih klasik,
seperti karya al-Ghazali, al-Mawardi dan al-Farra’,
lebih dipahami sisi tujuannya dibandingkan dengan sisi
makna harfiyyah teks itu sendiri. Pandangan ECFR ini
sangat sesuai dengan pandangan FCNA dan beberapa
sarjana Muslim Amerika kontemporer seperti
Muqtedar Khan yang jelas-jelas mendukung Obama
pada Pemilu Amerika tahun 2008 dengan menjadikan

28
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas ............, hlm.166.
28
terwujudnya kemaslahatan bagi umat Islam khususnya
dan dunia pada umumnya, sebagai konsiderasi utama.29
4. Bidang Hukum Keluarga
Salah satu konsentrasi dalam bidang hukum keluarga
pada fikih minoritas adalah tentang konversi agama
seorang Istri menjadi muslimah, sementara suaminya
tetap memeluk agama asalnya. Maka timbullah
pertanyaan, apakah Istri tersebut harus bercerai dengan
suaminya ataukah tidak? Konteks pertanyaan ini adalah
adanya konflik psikologis, karena di stu sisi mayoritas
Ulama berpendapat bahwa Istri tersebut harus
mengajukan cerai, sementara pada sisi yang lain Istri
keberatan meninggalkan Suami yang dicintainya dan
mengorbankan anak dan keluarga yang telah terbangun
secara harmonis.
Jawaban fikih klasik atas permasalahan tersebut di atas
cukup beragam, namun mayoitas masyarakat dan
Ulama’ berkeyakinan akan keharusan cerai di antara
keduanya, dan hal ini pula lah yang meyakinkan Yusuf
Qardhawi untuk ikut memberi fatwa bahwa perceraian

29
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas ............, hlm.166-
167.
29
harus terjadi di antara keduanya, sebelum beliau
mengetahui betul bahwa Muslimah tersebut berada
pada ranah minoritas Muslim di Barat. Setelah
mengetahui hal tersebut, lantas beliau merubah
pandangannya serta menyatakan bahwa Istri tersebut
berhak tinggal bersama Suaminya atas dasar
kemaslahatan yang ingin dipeliharanya.
Pandangan ini dihasilkan dari metode tarjih
30
maqashidi atas beberapa pendapat yang ada di
kalangan Ulama’. Yusuf al Qardhawi mengemukakan
9 (sembilan) pendapat Ibn Qayyim atas permasalahan
tersebut:
1) Batalnya pernikahan setelah masuk agama Islam;
2) Pernikahan batal apabila Suami tidak mau diajak
masuk Islam;
3) Batalnya pernikahan setelah masa ‘iddah jika Istri
telah digauli dan langsung batal tanpa menunggu
‘iddah jika belum digauli;

30
Pengunggulan suatu pendapat atas beberapa pendapat atas
beberapa pendapat yang didasarkan pada dominasi nilai
kemaslahatannya.
30
4) Jika Istri masuk Islam sebelum Suami masuk Islam,
maka perceraian terjadi seketika itu juga. Namun,
jika Suami masuk Islam sebelum Istri, kemudian
Istri masuk Islam dalam masa ‘Iddah, maka ia tetap
sah menjadi Istrinya. Sementara jia tidak, maka
terjadilah perceraian dengan berakhirnya ‘iddah;
5) Mempertimbangkan ‘iddah bagi pasangan Suami-
Istri, yakni bahwa jika salah satu masuk Islam
sebelum berhubungan badan maka batallah
nikahnya. Jika masuk Islam setelah berhubungan
badan, dan pasangannya masuk Islam ketika masih
dalam keadaan ‘iddah maka tetap sah
perkawinannya. Sementara jika ‘iddah berakhir
sebelum pasangannya masuk Islam maka batallah
pernikahannya;
6) Istri tetap bersama dengan Suaminya dan
menunggu untiuk memeluk Islam walaupun
membutuhkan waktu penantian bertahun-tahun;
7) Suami lebih berhak terhadap Istrinya selama Istri
tidak keluar dari rumahnya;
8) Suami-Istri tersebut tetap dalam pernikahannya
selama tidak dipisahkan olh Sultan;

31
9) Istri tetap bersama dengan Suaminya, tetapi tidak
boleh terjadi hubungan Suami-Istri.31

Ibnu Qayyim dan gurunya, Ibn Taymiyyah memilih


pendapat keenam sebagai pendapat yang paling tepat,
yakni memberikan kesempatan walaupun berthaun-
tahun bagi Istri untuk tetap bersama Suami seraya
berharap Suaminya masuk Islam, dengan catatan
bahwa keduanya tidak boleh melakukan hubungan
Suami-Istri. Sementara itu, Yusuf Qardhawi
menganggapnya sebagai pilihan yang kurang tepat
dikarenakan bertentangan dengan tabiat serta
kecenderungan psikologis manusia untuk tetap
melaksanakan hubungan Suami-Istri, terlebih ketika
cinta dan kasih sayang di antara mereka berdua
masihlah ada. Sehingga, Yusuf al Qardhawi memilih
pendapat ketujuh serta kedelapan yang memberikan
keleluasaan bagi Suami-Istri tersebut untuk tetap
sebagai Suami-Istri selama tidak dipisahkan oleh

31
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas ............, hlm.166-
171.
32
penguasa (Sultan). Pendapat inilah yang dianggap lebih
memberikan kemaslahatan.32

Kesimpulan
Bahwasanya, Muslim minoritas dengan Muslim
yang berada pada negara-negara ataupun pada
lingkungan Muslim pada umumnya, merupakan dua
kajian yang berbeda. Maka, sangatlah diperlukannya
sebuah produk fikih yang dapat digunakan oleh Muslim
minoritas. Muslim minoritas tidak hanya sekedar
bentuk dari sebuah perkembangan dinamika
masyarakat, namun juga sebagai bentuk dari adanya
dinamika hukum Islam. Hadirnya fiqh al-Aqalliyat
yang dirancang oleh Taha Jabir serta al-Qardhawi,
diharapkan mampu dalam menangani berbagai macam
permaslahan yang dihadapi para kaum Muslim
minoritas tersebut. Tidak hanya membantu Muslim
minoritas, namun juga diharapkan dapat lebih

32
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqalliyat
dan Evolusi Maqashid al-Syariah dari Konsep ke Pendekatan...........,
hlm.172.
33
membuka wawasan yuridiksi hukum Islam terhadap
perkembangan zaman.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Ahmad Nabil, dan Tasnim Abdul Rahman, The

Protection of Human Rights in Islam: As Discoursed in the

Works of Al-Qaradawi, (Justicia Islamica, Vol.14, No.2

Tahun 2017).

Fadhli, Yogi Zul, Kedudukan Kelompok Minoritas dalam

Perspektif HAM dan Perlindungan Hukumnya di

Indonesia¸ (Jurnal Konstitusi, Vol.11, No.2, Juni

2014).

Khalil, Abdul Wahab, Prinsip Al-Taysir dalam Fiqh al-

Aqalliyat Yusuf Al-Qardawi, (Empirisma, Vol.25,

No.1, 1 januari 2016).

Magid, Imam Mohamed, dan Humera Khan, The Roles of

Muslim-Majority and Muslim-Minority Communities


34
in a Global Context, (U.S. Islamic World Forum

Papers, 2011)

Mawardi, Ahmad Imam, Fiqh Aqalliyat Pergeseran Makna

Fiqh dan Usul Fiqh, (Asy-Syir’ah: Jurnal Ilmu Syari’ah

dan Hukum, Vol.48, No.2, Desember 2014).

Mawardi, Ahmad Imam, Fiqh Minoritas (Fiqh al Aqalliyat

dan Evolusi Maqashid al Syari‘ah dari Konsep ke

Pendekatan), (Yogyakarta: LkiS, 2010)

Mubasirun, Persoalan Dilematis Muslim Minoritas dan

Solusinya, (Jurnal Episteme, Vol.10, No.1, Juni 2015).

Nurhayati, Fikih Minoritas: Suatu Kajian Teoretis, (Jurnal

Ahkam, Vol.XIII, No.2, Juli 2013).

Qardhawi, Yusuf, Minoritas Non-Muslim di dalam

Masyarakat Islam, yang diterjemahkan oleh

Muhammad Baqir, (Bandung: Mizan, Oktober 1985).

35
Shomad, Bukhari Abdul, Problem Minoritas dalam

Perspektif Al-Quran, (Jurnal Analisis, Vol.XII, No.1,

Juni 2012).

Suaedy, Ahmad, Alamsyah M.Dja’far, dkk., Islam Dan

Kaum Minoritas: Tantangan Kontemporer, Cet.I,

(Jakarta: The Wahid Institute, Desember 2012).

36
37

Anda mungkin juga menyukai