FIKIH MINORITAS PERSPEKTIF KEMAJUAN ZAMAN GLOBAL Edit Akhir
FIKIH MINORITAS PERSPEKTIF KEMAJUAN ZAMAN GLOBAL Edit Akhir
FIKIH MINORITAS PERSPEKTIF KEMAJUAN ZAMAN GLOBAL Edit Akhir
MINORITAS)
Fiki Nuafi Qurrota Aini
Pascasarjana Prodi Ilmu Falak
Universitas Islam Negeri Walisongo
Jl. Walisongo No.3-5 Tambakaji, Ngaliyan, Semarang
Email: [email protected]
2
terjerumus ke dalam hal-hal yang bersifat menyimpang dari
ajaran kita. Mengabaikan apa yang telah tercantum dalam
fikih dan syara’-Nya.
4
bahwa individu tersebut harus mengidentifikasi dirinya
sebagai anggota kelompok minoritas tertentu.1
Muslim minoritas, dimaksudkan sebagai kelompok
minoritas yag disatukan dalam satu keberagaman yang
sama, yaitu agama Islam. Taj al-Sirr Ahmad Harran
mendefinisikan minoritas Muslim dengan “sekelompok
orang Muslim yang hidup di bawah kekuasaan pemerintah
non-Muslim di tengah mayoritas masyarakat yang tidak
beragama Islam”. Dengan kata lain, mereka hidup di negara
dimana Islam merupakan agama yang bukan menjadi
rujukan aturan dan juga bukan menjadi budaya mayoritas
penduduknya. Salah Sultan 2 , menyatakan bahwa terma
minoritas Muslim tidak hanya dilihat dari sisi jumlah,
namun juga dari hak-hak hukum yang mereka miliki.
Menurutnya, ada dua bentuk minoritas muslim, (1)
Minoritas atas dasar jumlah jiwa sebagaimana yang ada di
eropa, Amerika, India dan Cina; dan (2) Minoritas atas dasar
1
Ahmad Suaedy, Alamsyah M.Dja’far, dkk., Islam Dan Kaum
Minoritas: Tantangan Kontemporer, Cet.I, (Jakarta: The Wahid
Institute, Desember 2012), hlm.7-8.
2
Salah seorang sarjana pemerhati minoritas Muslim dan
sekaligus pendukung hadirnya fiqh al-aqalliyat. Baca, Ahmad Imam
Mawardi, Fiqh Minoritas “Fiqh al-Aqalliyat dan Evolusi Maqashid al-
Syariah dari Konsep ke Pendekatan”, (Yogyakarta: LkiS Yogyakarta,
2010), hlm.43.
5
hak hukum. Dalam kasus yang kedua ini, walaupun dalam
posisi sebagai mayoritas, kaum Muslim mengalami nasib
seperti kebanyakan minoritas, yakni senantiasa
mendapatkan pelecehan dan diskriminasi, seperti halnya
yang terjadi di Kashmir, Chechnya, Uzbekistan dan
Azerbaijan.3
M. Ali Kettani menjelaskan ada tiga bentuk
munculnya minoritas Muslim; Pertama, suatu komunitas
Muslim dijadikan tidak efektif oleh kelompok non-Muslim
yang menduduki wilayah komunitas Muslim, meskipun
umat Islam di wilayah itu secara jumlah tergolong
mayoritas. Dalam rentangan waktu yang lama, karena
pengaruh pendudukan oleh komunitas non-Muslim
tersebut, komunitas Muslim yang tadinya secara jumlah
mayoritas, berubah menjadi minoritas karena pengusiran
secara besar-besaran oleh komunitas non-Muslim. Dis sisi
lain terjadi gelombang imigran non-Muslim secara besar-
besaran. Kedua, ketika pemerintah Muslim di suatu negara
tidak berlangsung secara lama, atau usaha menyebarkan
4
Mubasirun, Persoalan Dilematis Muslim Minoritas dan
Solusinya, (Jurnal Episteme, Vol.10, No.1, Juni 2015), hlm.103.
4
Yogi Zul Fadhli, Kedudukan Kelompok Minoritas dalam
Perspektif HAM dan Perlindungan Hukumnya di Indonesia¸ (Jurnal
Konstitusi, Vol.11, No.2, Juni 2014), hlm.356.
5
Mubasirun, Persoalan Dilematis Muslim Minoritas dan
Solusinya......, hlm.103.
7
Kaum Muslim Minoritas dan Kehidupan Sosial
6
Yogi Zul Fadhli, Kedudukan Kelompok Minoritas dalam
Perspektif HAM dan Perlindungan Hukumnya di Indonesia¸ (Jurnal
Konstitusi, Vol.11, No.2, Juni 2014), hlm.356.
8
karena kerentanan itu hak sipil politik maupun ekonomi,
sosial, budaya yang dimiliki sewaktu-waktu.7
7
Yogi Zul Fadhli, Kedudukan Kelompok Minoritas dalam
Perspektif HAM dan Perlindungan Hukumnya di Indonesia.........,
hlm.356.
8
Imam Mohamed Magid dan Humera Khan, The Roles of
Muslim-Majority and Muslim-Minority Communities in a Global
Context, (U.S. Islamic World Forum Papers, 2011), hlm.2.
9
terjadi gelombang migrasi Muslim ke negara lain, terutama
ke kawasan Eropa dan Amerika. Kenyataan ini menjadikan
jumlah Muslim di negara-negara non-Muslim tersebut
semakin meningkat, walaupun mereka harus menanggung
resiko psikologis yang cukup akut sebagai pendatang,
terutama berkenaan dengan praktik pengalaman keagamaan
mereka. Keberadaan minoritas tidak jarang melahirkan
anggapan bahwa mereka adalah warga asing sehingga,
diperlakukan secara diskriminatif. Paling tidak ada dua
problematika besar yang mereka hadapi, yaitu:
problematika sosio-politik dan problematika dalam
menjalankan ajaran agama. Problematika sosio-politik
adalah permasalahan yang paling sering mereka hadapi,
yang bermula dari perbedaan latarbelakang hidup, sosial
dan budaya, ras, etnis dan keyakinan atau agama kelompok
minoritas yang berbeda dengan yang disandang oleh
kelompok mayoritas. Problematika ini berpusat pada dua
sudut yang saling berhubungan; sudut internal dan sudut
eksternal. Sudut internal, bisa berwujud ketidakmampuan
minoritas Muslim untuk berasimilasi dengan budaya dan
nilai-nilai hidup setempat yang disebabkan oleh kurangnya
pemahaman mereka menyelesaikan konflik nilai yang
10
dihadapi. Dari sudut eksternal, problematika sosial-politik
minoritas Muslim di Barat dapat dilihat dari sikap ambigu
negara-negara barat ketika menetapkan kebijakan yang
cenderung diskriminatif terhadap masyarakat Muslim.9
9
Abdul Wahab Khalil, Prinsip Al-Taysir dalam Fiqh al-
Aqalliyat Yusuf Al-Qardawi, (Empirisma, Vol.25, No.1, 1 januari 2016),
hlm.36-37.
11
Muslim yang mempercayai bahwa agama bukan hanya
untuk ranah privat namun juga ranah publik.10
10
Abdul Wahab Khalil, Prinsip Al-Taysir dalam Fiqh al-
Aqalliyat Yusuf Al-Qardawi, (Empirisma, Vol.25, No.1, 1 januari 2016),
hlm.36-37.
11
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Aqalliyat Pergeseran Makna
Fiqh dan Usul Fiqh, (Asy-Syir’ah: Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum,
Vol.48, No.2, Desember 2014), hlm.320.
12
Fiqh al-aqaliyyât (yang diterjemahkan ke dalam
bahasa Indonesia menjadi “fikih minoritas”), terdiri atas
dua kata: fiqh dan aqalliyyah. Kata fiqh, secara etimologis
berarti “paham yang mendalam”. Secara terminologis, fikih
berarti ilmu tentang hukum-hukum syarak yang bersifat
‘amaliyyah atau praktis yang digali dan ditemukan dari
dalil-dalil yang terperinci. Kata “amaliyyah” yang terdapat
dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fikih itu hanya
menyangkut tindak-tanduk manusia yang bersifat lahiriah.
Dengan demikian, hal-hal yang bersifat bukan lahiriah,
seperti masalah keimanan atau akidah tidak termasuk dalam
ruang lingkup fikih. Kata “aqalliyyah” berasal dari kata
qallala yang berarti sedikit, lawan dari banyak. 12
12
Nurhayati, Fikih Minoritas: Suatu Kajian Teoretis, (Jurnal
Ahkam, Vol.XIII, No.2, Juli 2013), hlm.193-194.
13
bagi mereka. Cara memperolehnya membutuhkan aplikasi
sebagian ilmu kemasyarakatan secara umum dan ilmu
sosiologi, ekonomi, dan beberapa ilmu politik dan
h u b u n g a n i n t e r n a s i o n a l s e c a r a k h u s u s . 13
13
Nurhayati, Fikih Minoritas: Suatu Kajian Teoretis, (Jurnal
Ahkam, Vol.XIII, No.2, Juli 2013), hlm. 194.
14
Ahmad Nabil Amir dan Tasnim Abdul Rahman, The
Protection of Human Rights in Islam: As Discoursed in the Works of Al-
Qaradawi, (Justicia Islamica, Vol.14, No.2 Tahun 2017), hlm.189.
14
merupakan konsep multidimensi yang tidak dibatasi oleh
ruang, waktu, ikatan ras, dan sebagainya.15
15
Bukhari Abdul Shomad, Problem Minoritas dalam
Perspektif Al-Quran, (Jurnal Analisis, Vol.XII, No.1, Juni 2012),
hlm.108-109.
15
minoritas dan mayoritas karena Islam justru
memperkenalkan konsepnya yang khas.16
16
Bukhari Abdul Shomad, Problem Minoritas dalam
Perspektif Al-Quran................., hlm.108-109.
16
menggunakan logika darurat ini, maka umat Islam
diperbolehkan melakukan sesuatu yang semula
diwajibkan.17
18
Ahmad Suaedy, Alamsyah M. Dja’far, dkk., Islam dan
Kaum Minoritas...................., hlm.27-28.
18
3) Masalah-masalah yang diberikan fatwa atau diputuskan
hukumnya oleh ECFR didokumentasikan dengan
baik.19
19
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas (Fiqh al Aqalliyat
dan Evolusi Maqashid al Syari‘ah dari Konsep ke Pendekatan),
(Yogyakarta: LkiS, 2010), hlm.153-154.
19
1. Bidang Keyakinan dan Ibadah Ritual
Merupakan bidang kajian utama dalam setiap agama.
Berbagai persoalan dalam bidang ini menjadi persoalan
yang paling sensitif, krusial dan penting jika
dibandingkan dengan bidang lainnya.
Contoh yang terdapat dalam bidang ini salah satunya
yakni ‘Ucapan Selamat atas Hari Raya Ahli Kitab’.
Masalah ini merupakan hal yang senantiasa
dipertanyakan, baik di negara yang Muslim nya
menjadi mayoritas maupun Muslimnya merupakan
minoritas. Pertanyaan ini juga pernah disampaikan oleh
seorang Muslim kandidat doktor dari Jerman pada
ECFR.20
Jawaban yang diberikan adalah bahwa menyampaikan
selamat atas hari raya ahli kitab itu diperbolehkan,
berdasarkan pada dalil al Quran, yang berada pada
Surat ke 60, al Mumtahanah ayat 8 dan 9:
ال ينها كم هللا عن الذين لم يقاتلوكم فى الدين و لم يخرجوكم من دياركم
أنما ينهاكم هللا عن. أن تبروهم وتقسطوا أليهم أن هللا يحب المقسطين
20
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas..............., hlm.154-
155.
20
الذين قاتلوكم فى الدين وأخرجوكم من دياركم و ظهروا على أخرا جكم
. و من يتولهم فأ آل ئك هم الظالمون. أن تولو هم
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan
berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada
memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku adil.
Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu
menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang
memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari
negerimu, dan membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka
sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang
zalim.”
Menurut Yusuf Qardhawi, ayat ini secara jelas dan
tegas mengajarkan dua pola interaksi dengan non-
Muslim, yakni: berlaku baik dan adil kepada mereka
yang tidak memusuhi, serta tidak menjadikan mereka
yang memusuhi atau memerangi umat Islam sebagai
kawan. Berbuat adil yang dimaksud adalah, tidak
mengurangi hak mereka, sementara kita berbuat baik
yang dimaksud adalah memberikan sebagian hak kita
21
kepada mereka. Menyampaikan ucapan selamat hari
raya kepada mereka adalah suatu perbuatan yang
diperbolehkan, karena bagian dari perbuatan yang baik
ketika memberikan efek yang positif dalam pola
interaksi kemanusiaan (yang tidak diperbolehkan
dalam hal ini adalah mengikuti acara ritual keagamaan
mereka).21
22
Selain itu, orang-orang Ahlul Kitab memiliki
kedudukan khusus yang tidak dimiliki oleh orang-
orang non-Muslim selain mereka, dalam perlakuan
umum maupun penentuan hukum.23
Memanglah banyak para Ulama’ yang dengan tegas
mengharamkan ucapan selamat dan mengikuti hari raya
Ahli Kitab. Ibnu Taymiyyah seorang yang secara tegas
mengulas hal ini dalam kitabnya, Iqtidha’ al Shirath al
21
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas ............, hlm.155-
156.
22
Yang dimaksud dengan ahlul Kitab ialah mereka yang
agamanya (pada mulanya) berdasarkan Kitab Samawi meskipun
kemudian mengalami perusakan dan penggantian, seperti kaum Yahudi
dan Nasrani yang agama mereka berdasarkan Taurat dan Injil. Lihat
pada Yusuf Qardhawi, Minoritas Non-Muslim di dalam Masyarakat
Islam, hlm.16.
23
Yusuf Qardhawi, Minoritas Non-Muslim di dalam
Masyarakat Islam, yang diterjemahkan oleh Muhammad Baqir,
(Bandung: Mizan, Oktober 1985), hlm.16.
22
Mustaqim Mukhalafah Ahl al Jahim. Yusuf Qardhawi
menyatakan kesepakatannya dengan Ibnu Taymiyyah
dalam hal keharaman umat Islam mengikuti hari raya
mereka atau mereka mengikuti hari raya umat Islam.
Namun, Yusuf Qardhawi dengan ECFR-nya tidak
sependapat dengan keharaman ucapan selamat hari
raya kepada non-Muslim, apalagi jika mereka masih
terdapat ikatan kekeluargaan, tetangga ataupun
hubungan kerja. Yusuf Qardhawi menyatakan bahwa
pernyataan Ibnu Taymiyyah tersebut sesuai dengan
konteks zamannya ketika fatwa itu disampaikan.24
2. Bidang Ekonomi
Masalah-masalah yang berhubungan dengan ekonomi
menjadi masalah hukum yang secara nyata dihadapi
secara langsung oleh masyarakat muslim minoritas di
Barat. Banyak masalah ekonomi yang mereka ajukan
pada lembaga fatwa ECFR, di antaranya adalah tentang
hukum membeli rumah tempat tinggal secara kredit
bank di Barat.
24
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas ............, hlm.156.
23
Permasalahn ini menjadi urgent, karena rumah
merupakan tempat tinggal yang menjadi kebutuhan
vital bagi masyarakat Muslim di Barat, tetapi menjadi
problematis ketika mayoritas Ulama’ mengharamkan
semua transaksi yang memiliki unsur riba. Akan tetapi,
hal ini merupakan sesuatu yang urgent mendapatkan
perhatian dan kepastian hukum ketika diletakkan dalam
konteks kebutuhan primer masyarakat minoritas
Muslim di Barat.25
Yusuf al Qardhawi mengetahui bahwa mayoritas
Ulama’ mengharamkan praktik riba dalam bentuk
apapun dan menganggapnya sebagai salah satu dosa
dari tujuh dosa besar yang harus dihindari. Namun,
ketika melihat realitas yang terjadi, beliau menganggap
bahwa adanya kebutuhan yang bisa menempati posisi
sebagai kondisi darurat yang dalam kaidah fikih
menjadi sebab bolehnya sesuatu yang dilarang (al
hajatu tanzilu manzilat al dharurah). Pandangan Yusuf
Qardhawi ini didasarkan kepada beberapa pendapat
fuqaha kontemporer seperti Muhammad Rasyid Ridha,
25
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas ............, hlm.159-
160.
24
Musthafa al Zarqa dan keputusan beberapa lembaga
fatwa internasional seperti Lembaga Fatwa Kuwait,
Majlis Ulama Dunia, ECFR dan FCNA yang memiliki
kesimpulan sama tentang bolehnya membeli rumah
dengan memanfaatkan kredit bank berbunga (ribawi)
karena suatu kebutuhan yang mendesak. Alasan
lainnya yang dikemukakan adalah analisis manfaat dan
keuntungan yang akan mengantarkan pada
kemaslahatan hidup minoritas Muslim di Barat.26
3. Bidang Politik
Salah satu contoh dari bidang politik fiqih minoritas,
adalah hukum ikut serta dalam masalah politik. Jika
dilihat dalam konteks dar al Islam fiqh al siyasah,
menegaskam bahwa berpartisipasi dalam masalah
politik merupakan sesuatu yang disyari‘atkan dalam
upaya membangun kemaslahatan bersama dan
menegakkan prinsip-prinsip Islam yang agung.
Partisipasi yang dimaksud disini adalah partisipasi
yang berkaitan dengan hal yang bersifat umum, mulai
dari yang paling dasar, yakni memenuhi hak dan
26
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas ............, hlm.160.
25
kewajiban politik sebagai warga negara, mengikuti
pemilu, mencalonkan diri untuk suatu jabatan politis,
dan lain sebagainya. Hal ini menjadi sebuah
permasalahan, jika diletakkan dalam konteks
partisipasi umat Islam dalam kegiatan politik di negara-
negara non-Islam di Barat.
Pertanyaan tentang kebolehan umat Islam di Barat ikut
pemilihan presiden yang mana calon-calonnya tersebut
beragama non-Islam merupakan satu contoh
permasalahan, sebab syarat menjadi pemimpin menurut
fikih klasik sangat ketat meliputi masalah agama,
kepribadian, keilmuan serta syarat lainnya.27
Atas permaslahan inilah, ECFR memberi pandangan
hukum sebagai berikut:
1) Tujuan kerjasama atau ikut serta dalam politik
adalah untuk ikut menjaga hak, kebebasan dan
mempertahankan nilai-nilai diri serta eksistensi
umat Islam di negara tersebut.
2) Hukum asal menentukan disyari‘atkannya
kerjasama politik bagi umat Islam di negara Eropa
27
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas ............, hlm.165.
26
dengan status hukum boleh, sunnah dan wajib atas
dasar ayat al Quran, yakni surat ke-5, surat al
Maidah ayat 2,
و تعاااا ونوا على البر و التقو و ال تعااااونوا على اال م و....
.... العدوان
“....dan tolong menolonglah kamu dalam
(mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan
tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran.”
3) Kerjasama politik meliputi, menjadi anggota
lembaga kemasyarakatan, ikut serta dalam partai
politik dan lain sebagainya.
4) Kaidah yang pling penting dalam kerjasama politik
ini adalah tetap berpegang teguh pada akhak Islami
seperti kejujuran, keadilan, tanggung jawab serta
menghargai pluralisme dan pandangan yang
berbeda.
5) Ikut serta dalam pemilihan umum dengan syarat
berpegang pada kaidah-kaidah syari‘at, etika dan
perundang-undangan, dengan niat kemaslahatan
dan tidak didasarkan pada kepentingan individu.
27
6) Bolehnya menggunakan harta benda untuk
kepentingan pemilihan umum tersebut walaupun
yang dipilih bukan seorang Muslim, sepanjang
dipandang mampu mewujudkan kemaslahatan
umum.
7) Kebolehan kerjasama poloitik tersebut berlaku
sama bagi perempuan Muslimah sebagaimana yang
berlaku pada laki-laki.28
28
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas ............, hlm.166.
28
terwujudnya kemaslahatan bagi umat Islam khususnya
dan dunia pada umumnya, sebagai konsiderasi utama.29
4. Bidang Hukum Keluarga
Salah satu konsentrasi dalam bidang hukum keluarga
pada fikih minoritas adalah tentang konversi agama
seorang Istri menjadi muslimah, sementara suaminya
tetap memeluk agama asalnya. Maka timbullah
pertanyaan, apakah Istri tersebut harus bercerai dengan
suaminya ataukah tidak? Konteks pertanyaan ini adalah
adanya konflik psikologis, karena di stu sisi mayoritas
Ulama berpendapat bahwa Istri tersebut harus
mengajukan cerai, sementara pada sisi yang lain Istri
keberatan meninggalkan Suami yang dicintainya dan
mengorbankan anak dan keluarga yang telah terbangun
secara harmonis.
Jawaban fikih klasik atas permasalahan tersebut di atas
cukup beragam, namun mayoitas masyarakat dan
Ulama’ berkeyakinan akan keharusan cerai di antara
keduanya, dan hal ini pula lah yang meyakinkan Yusuf
Qardhawi untuk ikut memberi fatwa bahwa perceraian
29
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas ............, hlm.166-
167.
29
harus terjadi di antara keduanya, sebelum beliau
mengetahui betul bahwa Muslimah tersebut berada
pada ranah minoritas Muslim di Barat. Setelah
mengetahui hal tersebut, lantas beliau merubah
pandangannya serta menyatakan bahwa Istri tersebut
berhak tinggal bersama Suaminya atas dasar
kemaslahatan yang ingin dipeliharanya.
Pandangan ini dihasilkan dari metode tarjih
30
maqashidi atas beberapa pendapat yang ada di
kalangan Ulama’. Yusuf al Qardhawi mengemukakan
9 (sembilan) pendapat Ibn Qayyim atas permasalahan
tersebut:
1) Batalnya pernikahan setelah masuk agama Islam;
2) Pernikahan batal apabila Suami tidak mau diajak
masuk Islam;
3) Batalnya pernikahan setelah masa ‘iddah jika Istri
telah digauli dan langsung batal tanpa menunggu
‘iddah jika belum digauli;
30
Pengunggulan suatu pendapat atas beberapa pendapat atas
beberapa pendapat yang didasarkan pada dominasi nilai
kemaslahatannya.
30
4) Jika Istri masuk Islam sebelum Suami masuk Islam,
maka perceraian terjadi seketika itu juga. Namun,
jika Suami masuk Islam sebelum Istri, kemudian
Istri masuk Islam dalam masa ‘Iddah, maka ia tetap
sah menjadi Istrinya. Sementara jia tidak, maka
terjadilah perceraian dengan berakhirnya ‘iddah;
5) Mempertimbangkan ‘iddah bagi pasangan Suami-
Istri, yakni bahwa jika salah satu masuk Islam
sebelum berhubungan badan maka batallah
nikahnya. Jika masuk Islam setelah berhubungan
badan, dan pasangannya masuk Islam ketika masih
dalam keadaan ‘iddah maka tetap sah
perkawinannya. Sementara jika ‘iddah berakhir
sebelum pasangannya masuk Islam maka batallah
pernikahannya;
6) Istri tetap bersama dengan Suaminya dan
menunggu untiuk memeluk Islam walaupun
membutuhkan waktu penantian bertahun-tahun;
7) Suami lebih berhak terhadap Istrinya selama Istri
tidak keluar dari rumahnya;
8) Suami-Istri tersebut tetap dalam pernikahannya
selama tidak dipisahkan olh Sultan;
31
9) Istri tetap bersama dengan Suaminya, tetapi tidak
boleh terjadi hubungan Suami-Istri.31
31
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas ............, hlm.166-
171.
32
penguasa (Sultan). Pendapat inilah yang dianggap lebih
memberikan kemaslahatan.32
Kesimpulan
Bahwasanya, Muslim minoritas dengan Muslim
yang berada pada negara-negara ataupun pada
lingkungan Muslim pada umumnya, merupakan dua
kajian yang berbeda. Maka, sangatlah diperlukannya
sebuah produk fikih yang dapat digunakan oleh Muslim
minoritas. Muslim minoritas tidak hanya sekedar
bentuk dari sebuah perkembangan dinamika
masyarakat, namun juga sebagai bentuk dari adanya
dinamika hukum Islam. Hadirnya fiqh al-Aqalliyat
yang dirancang oleh Taha Jabir serta al-Qardhawi,
diharapkan mampu dalam menangani berbagai macam
permaslahan yang dihadapi para kaum Muslim
minoritas tersebut. Tidak hanya membantu Muslim
minoritas, namun juga diharapkan dapat lebih
32
Ahmad Imam Mawardi, Fiqh Minoritas: Fiqh al-Aqalliyat
dan Evolusi Maqashid al-Syariah dari Konsep ke Pendekatan...........,
hlm.172.
33
membuka wawasan yuridiksi hukum Islam terhadap
perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Tahun 2017).
2014).
Papers, 2011)
35
Shomad, Bukhari Abdul, Problem Minoritas dalam
Juni 2012).
36
37