Perda Nomor 12 Tahun 2011 Tentang RTRW Kab Bekasi 2011 2031 PDF
Perda Nomor 12 Tahun 2011 Tentang RTRW Kab Bekasi 2011 2031 PDF
Perda Nomor 12 Tahun 2011 Tentang RTRW Kab Bekasi 2011 2031 PDF
2011 2031 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BEKASI, Menimbang : a. bahwa untuk memberikan arahan pembangunan di Kabupaten Bekasi dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat, maka perlu disusun rencana tata ruang wilayah; b. bahwa dalam rangka memberikan arahan lokasi investasi pembangunan yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat dan dunia usaha sehingga terwujud keterpaduan pembangunan antarsektor, maka perlu ditetapkan rencana tata ruang wilayah; c. bahwa Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 4 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten Bekasi Tahun 20032013 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 4 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang wilayah Kabupaten Bekasi Tahun 2003 2013 (Lembaran Daerah kabupaten Bekasi Tahun 2007 Nomor 4), perlu diselaraskan dengan undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4735); d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b dan huruf c, maka perlu membentuk Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi Tahun 20112031. 1
Mengingat
1.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah-daerah Kabupaten dalam Lingkungan Propinsi Djawa Barat (Berita Negara Tahun 1950); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043); Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1982 tentang Tata Pengaturan Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3225); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3419); Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3470); Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3881); Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 69 Tahun 2004 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 67, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4401); Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Lembaran Negara Tahun 2001 Nomor 136, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4152);
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4169); 11. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 94); 2
12. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4377); 13. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4421); 14. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4433); 15. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 16. Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4444); 17. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 2025 (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4700); 18. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 65, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722); 19. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4723); 20. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725); 21. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4744); 3
22. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4746); 23. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849); 24. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 69, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4851); 25. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 4, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4959); 26. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966); 27. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5025); 28. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5038); 29. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 123, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5043); 30. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 133, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5052); 31. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 140); 32. Undang-Undang Nomor 39 tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5066);
33. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 149, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5068); 34. Undang-undang Nomor 1 tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indinesia Nomor 5188); 35. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5432) 36. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3294); 37. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3445); 38. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Serta Bentuk, Tata Cara dan Peran Serta Masyarakat Dalam Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3660); 39. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3747); 40. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 132, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3776); 41. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Nomor 3838); 42. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2000 tentang Tingkat Ketelitian Peta untuk Penataan Ruang Wilayah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3934);
43. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4161); 44. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 119, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4242); 45. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 45, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4385); 46. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 146); 47. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 32) sebagaimana tlahdiubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 88, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5019); 48. Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4624); 49. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 86, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4655); 50. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 22. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4696) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 16. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4814);
51. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Provinsi dan Pemerintahan Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); 52. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4833); 53. Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4858); 54. Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 83, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4859); 55. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 27, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4987); 56. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 88, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4861); 57. Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Perkotaan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5004); 58. Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 151, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5070); 59. Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5097); 60. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103);
61. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5110); 62. Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5111); 63. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5112); 64. Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 2010 tentang Bentuk dan Tata cara Peran Masyarakat tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 118, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5160); 65. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung; 66. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2006 .tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum; 67. Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur; 68. Peraturan Presiden Nomor 112 tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern; 69. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur; 70. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 20 Tahun 2007 tentang Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik dan Lingkungan, Ekonomi, serta Sosial Budaya dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang;
71. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2008 Tentang Tata Cara Evaluasi Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Daerah; 72. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11/PRT/M/2009 tentang Pedoman Persetujuan Substansi dalam Penetapan Rancangan Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota beserta Rencana Rinciannya; 73. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 16/PRT/M/2009 tentang Pedoman Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten; 74. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 50 Tahun 2009 tentang Pedoman Koordinasi Penataan Ruang Daerah; 75. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 22 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Barat Tahun 20092029 (Lembaran Daerah Nomor 22 Seri E, Tambahan Lembaran Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 86); 76. Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 11 Tahun 2011 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Daerah Kabupaten Bekasi Tahun 2011 Nomor 7 Seri D); 77. Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 6 Tahun 2008 tentang Urusan Pemerintahan Kabupaten Bekasi (Lembaran Daerah Kabupaten Bekasi Tahun 2008 Nomor 6); 78. Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 2 Tahun 2009 tentang Pembentukan Peraturan Daerah (Lembaran Daerah Kabupaten Bekasi Tahun 2009 Nomor 2); 79. Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 3 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah Tahun 2005-2025 (Lembaran Daerah Kabupaten Bekasi Tahun 2010 Nomor 3).
MEMUTUSKAN : Menetapkan: PERATURAN DAERAH RUANG WILAYAH TAHUN 2011 2031 TENTANG RENCANA TATA KABUPATEN BEKASI
BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Ketentuan umum dalam peraturan daerah ini yang dimaksud dengan : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia. Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Kabupaten adalah Kabupaten Bekasi. Pemerintah Kabupaten Bekasi adalah Bupati Bekasi dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. Bupati adalah Bupati Bekasi. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang laut dan ruang udara termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk hidup lain, melakukan kegiatan dan memelihara kelangsungan kehidupannya. Tata Ruang adalah wujud struktur dan pola pemanfaatan ruang. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis memiliki hubungan fungsional. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk fungsi budi daya. Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemafaatan ruang. Rencana tata ruang adalah hasil perencanaan tata ruang. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi yang selanjutnya disebut RTRW adalah suatu kebijakan yang menetapkan lokasi dari kawasan yang harus dilindungi, lokasi pengembangan kawasan budi daya termasuk kawasan produksi dan kawasan permukiman, pola jaringan prasarana pada wilayah-wilayah dalam daerah yang akan diprioritaskan pengembangannya dalam kurun waktu perencanaan. Jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, diatas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel. Sistem Jaringan Jalan adalah satu kesatuan ruas jalan yang saling menghubungkan dan mengikat pusat-pusat pertumbuhan dengan wilayah yang berada dalam pengaruh pelayanannya dalam satu hubungan hierarki. Wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan RTRW melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiayaannya. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tata tata ruang sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. 10
7. 8.
13.
14.
22. 23.
24. 25.
31.
32.
Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budi daya. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan. Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan di bawahnya adalah kawasan yang berada pada ketinggian diatas 2.000 meter dpl dan atau kelerengan diatas 40 derajat, yang apabila tidak dilindungi dapat membahayakan kehidupan yang ada di bawahnya. Kawasan perlindungan setempat mencakup kawasan sempadan sungai dan kawasan sekitar mata air. Kawasan rawan bencana adalah beberapa lokasi yang rawan terjadi bencana alam seperti tanah longsor, banjir dan gunung berapi, yang perlu dilindungi agar dapat menghindarkan masyarakat dari ancaman bencana. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudi dayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya lama hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan Hutan produksi tetap adalah hutan produksi yang dapat dieksploitasi baik dengan cara tebang pilih maupun dengan cara tebang habis Hutan produksi terbatas adalah hutan produksi yang hanya dapat dieksploitasi dengan cara tebang pilih Hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah. Kawasan suaka alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya, yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem penyangga kehidupan; Kawasan pelestarian alam adalah adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan peruntukan pertanian adalah kawasan yang dialokasikan dan memenuhi kriteria untuk budidaya tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan peternakan. Kawasan perikanan adalah kawasan budidaya sumberdaya perikanan air tawar. Kawasan perkebunan adalah kawasan yang dikembangkan dengan fungsi tanaman komoditi skala besar yang meliputi perkebunan tanaman tahunan, atau perkebunan tanaman semusim. Kawasan peternakan meliputi kawasan sentra usaha peternakan ternak besar, peternakan ternak kecil, dan peternakan unggas. 11
37. 38.
39.
40.
41.
42. 43.
44.
45.
46.
47.
48.
49.
Kawasan pariwisata terdiri atas wisata alam di dalam kawasan konservasi; wisata alam di luar kawasan konservasi; wisata rekreasi; wisata sejarah, budaya dan religi. Kawasan industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri. Kawasan pertambangan adalah wilayah yang memiliki potensi sumberdaya bahan tambang yang berwujud padat, cair, atau gas berdasarkan peta/ data geologi dan merupakan tempat dilakukannya sebagian atau seluruh tahapan kegiatan pertambangan yang meliputi penelitian, penyelidikan umum, eksplorasi, operasi produksi/ eksploitasi dan pasca tambang, baik di wilayah daratan maupun perairan, serta tidak dibatasi oleh penggunaan lahan, baik kawasan budidaya maupun kawasan lindung. Kawasan perdesaan adalah kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk pengelolaan sumberdaya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Kawasan agropolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis. Kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi. Kawasan strategis adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup nasional maupun daerah terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan. Kawasan strategis nasional yang selanjutnya disebut KSN adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan keamanan negara, ekonomi, sosial budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia. Kawasan strategis provinsi yang selanjutnya disebut KSP adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara regional dalam aspek pertahanan keamanan negara, ekonomi, sosial budaya, lingkungan, dan/atau pendayagunaan sumberdaya alam dan teknologi tinggi. Kawasan strategis kabupaten, selanjutnya disebut KSK adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup Kabupaten Bekasi terhadap ekonomi, sosial budaya, kelestarian dan daya dukung lingkungan, dan/atau pendayagunaan sumberdaya alam dan teknologi tinggi. Kawasan Industri adalah kawasan tempat pemusatan kegiatan industri yang dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang yang dikembangkan dan dikelola oleh perusahaan kawasan industri yang telah memiliki ijin usaha kawasan industri. Kawasan pertanian lahan basah adalah kawasan budi daya pertanian yang memiliki sistem pengairan tetap yang memberikan air secara terus menerus sepanjang tahun, musiman, atau bergilir dengan tanaman utama padi. Kawasan Ekonomi Khusus, yang selanjutnya disebut KEK, adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk 12
50. 51.
52. 53. 54. 55. 56. 57. 58. 59. 60. 61. 62. 63.
64. 65.
menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu. Kawasan Pertahanan Negara adalah wilayah yang ditetapkan secara nasional yang digunakan untuk pertahanan Ruang terbuka hijau yang selanjutnya disebut RTH adalah area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Akhir Sampah (TPPAS) adalah tempat untuk memproses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman, bagi manusia dan lingkungan Pusat kegiatan nasional, yang selanjutnya disebut PKN adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala internasional, nasional atau beberapa provinsi. Pusat kegiatan wilayah, yang selanjutnya disebut PKW adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala provinsi atau beberapa kabupaten/kota. Pusat kegiatan lokal, yang selanjutnya disebut PKL adalah kawasan perkotaan yang berfungsi sebagai pusat wilayah kabupaten atau meliputi beberapa kecamatan. Pusat Pelayanan Kawasan yang selanjutnya disebut PPK adalah kawasan perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan atau beberapa desa. Pusat Kegiatan Lokal Promosi (PKLp) adalah kawasan perkotaan yang berfungsi sebagai pusat wilayah kabupaten atau meliputi beberapa kecamatan sebagai promosi. Pusat Pelayanan Lingkungan yang selanjutnya disebut PPL adalah pusat permukiman yang berfungsi untuk melayani kegiatan skala antar desa. Wilayah pengembangan selanjutnya disebut WP adalah WP yang diarahkan untuk pengembangan wilayah berdasarkan potensi wilayah yang dibagi ke dalam Satuan Wilayah Pengembangan atau SWP. Setiap orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi. Masyarakat adalah orang perseorangan, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, korporasi, dan/atau pemangku kepentingan non pemerintah lain dalam penyelenggaraan penataan ruang. Peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah yang selanjutnya BKPRD merupakan badan bersifat adhoc yang dibentuk untuk mendukung pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang di Kabupaten Bekasi dan mempunyai fungsi membantu pelaksanaan tugas Bupati dalam koordinasi penataan ruang di daerah; Satuan Polisi Pamong Praja adalah Perangkat Pemerintah Daerah dalam memelihara dan menyelenggarakan ketentraman dan ketertiban umum serta menegakkan Peraturan Daerah; Kas daerah adalah kas daerah Kabupaten Bekasi.
13
BAB II ASAS, KEDUDUKAN, FUNGSI DAN WILAYAH Bagian Kesatu Asas Pasal 2
RTRW Kabupaten, disusun berdasarkan asas : a. Keterpaduan antarsektor dan antarwilayah; b. Keserasian, keselarasan dan keseimbangan dalam pemanfaatan ruang untuk mewujudkan penataan ruang yang berdaya guna, berhasil guna dan berkelanjutan; c. Pelibatan peran unsur masyarakat dalam penataan ruang sebagai wujud keterbukaan, kebersamaan dan kemitraan; d. Kepastian hukum dan akuntabel dalam menegakkan keadilan bagi seluruh masyarakat. Bagian Kedua Kedudukan Pasal 3 Kedudukan RTRW Kabupaten adalah: a. Berpedoman kepada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD); b. Pedoman penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD); c. Pedoman dalam pemanfaatan ruang atau pengembangan wilayah kabupaten; d. Pedoman untuk mewujudkan keseimbangan pembangunan dalam wilayah kabupaten; e. Pedoman lokasi investasi dalam wilayah kabupaten yang dilakukan pemerintah, masyarakat dan swasta; f. Pedoman untuk penyusunan rencana rinci tata ruang di wilayah kabupaten; g. Pedoman pengendalian pemanfaatan ruang dalam penataan atau pengembangan wilayah kabupaten yang meliputi penetapan peraturan zonasi, perijinan, pemberian insentif dan disinsentif serta pengenaan sanksi; h. Pedoman dalam administrasi pertanahan.
14
Bagian Ketiga Fungsi Pasal 4 RTRW Kabupaten berfungsi sebagai penyelaras kebijakan penataan ruang nasional, provinsi dan kabupaten dan merupakan pedoman bagi pemerintah daerah dan masyarakat dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan. Bagian Keempat Wilayah Pasal 5 (1) Wilayah RTRW Kabupaten adalah daerah dalam pengertian wilayah administrasi meliputi : a. b. c. d. Ruang Ruang Ruang Ruang daratan, seluas 127.388 Ha atau sekitar 1.273,88 km2; pesisir dan laut, sepanjang 4 (empat) mil dari garis pantai; udara; dan dalam bumi.
(2) Batas koordinat, adalah 6010LS - 6030 LS dan 10604878BT 10702729 BT (3) Batas administrasi, terdiri atas : a. b. c. d. sebelah sebelah sebelah sebelah Utara Selatan Barat : Timur : : DKI : Laut Jawa; Kabupaten Bogor; Jakarta dan Kota Bekasi; Kabupaten Karawang. BAB III TUJUAN , KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENATAAN RUANG Bagian Kesatu Tujuan Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Pasal 6 Penataan ruang Kabupaten bertujuan untuk mewujudkan tata ruang yang dinamis bagi pengembangan kawasan peruntukan industri, permukiman dan pertanian secara harmonis, didukung infrastruktur yang handal dan iklim investasi yang kondusif.
15
Bagian Kedua Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang Wilayah Kabupaten Pasal 7 (1) Untuk mewujudkan tujuan penataan ruang wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 disusun kebijakan penataan ruang wilayah kabupaten. (2) Kebijakan penataan ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. percepatan perwujudan fungsi dan peran pusat-pusat perkotaan; b. pembangunan prasarana utama untuk peningkatan aksesibilitas, produksi, produktifitas, koleksi dan distribusi serta mewujudkan keterpaduan antarwilayah di Kabupaten Bekasi dan antara wilayah Kabupaten Bekasi dengan wilayah lain; c. pembangunan dan peningkatan prasarana lainnya meliputi prasarana sumberdaya, energi dan kelistrikan, telekomunikasi, dan sumber daya air; d. pembangunan dan peningkatan prasarana lingkungan meliputi persampahan, limbah, sistem drainase dan evakuasi bencana; e. peningkatan pelestarian fungsi kawasan lindung meliputi kawasan hutan lindung, kawasan resapan air, kawasan sempadan sungai, sempadan pantai dan sempadan danau/waduk/situ, kawasan pantai berhutan bakau, taman wisata alam, kawasan rawan banjir dan kawasan perlindungan plasma nutfah; f. pengoptimalan dayaguna kawasan budidaya secara sinergi didasarkan pada daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam konteks pembangunan berkelanjutan; dan g. peningkatan fungsi kawasan untuk pertahanan dan keamanan negara. Bagian Ketiga Strategi Penataan Ruang Pasal 8 (1) Untuk melaksanakan kebijakan penataan ruang wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2), ditetapkan strategi penataan ruang wilayah kabupaten. (2) Percepatan perwujudan fungsi dan peran pusat-pusat perkotaan yang telah ditetapkan secara bertahap sesuai dengan skala prioritas, sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) huruf a dengan strategi meliputi : a. mempercepat penataan fungsi dan peran Kecamatan Setu dan Kecamatan Tambun Selatan sebagai pusat perkotaan bagian dari sistem perkotaan PKN Jabodetabek yang mengemban fungsi pengembangan industri skala nasional; b. mempercepat perwujudan pengembangan PKL Kecamatan Cikarang Pusat, Kecamatan Tarumajaya, Kecamatan Cibitung, Kecamatan 16
Sukatani dan Kecamatan Cibarusah untuk mengemban fungsi yang telah ditetapkan; c. mempercepat perwujudan pengembangan perkotaan Cikarang Selatan, Cikarang Utara, Cikarang Barat dan Cikarang Timur sebagai PKL promosi; d. mempercepat perwujudan pengembangan Kecamatan Cikarang Selatan, Kecamatan Cikarang Utara, Kecamatan Cikarang Barat, Kecamatan Cikarang Timur, Kecamatan Babelan dan Kecamatan Cibitung sebagai PPK; e. mempercepat perwujudan Nagasari, Hegarmukti, Sukabungah, Cibarusah kota, Serang, Sukaragam, Cibening, Tamansari, Tanjungbaru, Karang Satria, Bahagia, Pusaka Rakyat, Pantai Bahagia, Sindang Jaya, Sukamantri, Karanghaur, Karang Mukti, Karang Mekar, Sukatenang, Sukamulya untuk mengemban fungsi sebagai PPL; dan f. mempercepat perwujudan pengembangan Kecamatan Tambelang untuk mengemban sebagai rencana ibu kota / pusat pemerintahan daerah pemekaran; (3) Pembangunan prasarana utama transportasi dalam mendukung aksesibilitas, koleksi dan distribusi serta mewujudkan keterpaduan antarwilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) huruf b dengan strategi meliputi : a. mengembangkan prasarana transportasi darat dan laut secara terpadu untuk mendukung Pengembangan kawasan industri, kawasan pemukiman dan kawasan pertanian ; b. membangun akses utaraselatan serta lintas utara dan lintas selatan untuk mengurangi beban lalu lintas jalan tol dan jalan arteri primer yang menghubungkan Kota Bekasi Kabupaten Bekasi Kabupaten Karawang; dan c. mengembangkan sistem angkutan umum masal untuk mendukung peningkatan pelayanan publik yang ramah lingkungan dan mengurangi beban lalulintas angkutan jalan; (4) Pembangunan dan peningkatan prasarana lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) huruf c dengan strategi meliputi : a. mengembangkan prasarana energi dan kelistrikan untuk kebutuhan non domestik dan domestik, serta pelayanan lokal dan regional. b. mengoptimalkan pendayagunaan dan pengelolaan prasarana sumberdaya air untuk meningkatkan dan mempertahankan jaringan irigasi yang ada dalam rangka ketahanan pangan; suplai air baku untuk air minum; pengendalian banjir dan kekeringan dengan penerapan rekayasa teknologi, serta konservasi sumberdaya air melalui kegiatan perlindungan dan pelestarian sumber air, pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air dengan mengacu pada pola pengelolaan sumberdaya air yang ditetapkan pada setiap wilayah sungai c. mengembangkan prasarana telekomunikasi informatika dan penyiaran; d. mengarahkan pembangunan jaringan telekomunikasi kearah pemanfaatan bersama menara telekomunikasi e. meningkatkan kapasitas daya terpasang dan jaringan distribusi pelayanan energi listrik untuk kebutuhan non domestik dan domestik; f. mengoptimalkan pendayagunaan, pengelolaan dan pengembangan prasarana sumberdaya air untuk meningkatkan dan mempertahankan jaringan irigasi yang ada dalam rangka ketahanan 17
pangan; suplai air baku untuk air minum; pengendalian banjir dan kekeringan; (5) Pembangunan dan peningkatan prasarana lingkungan sebagai upaya peningkatan kualitas lingkungan, sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) huruf d dengan strategi meliputi :
a. b. c.
d. e. f.
meningkatkan penyediaan dan kualitas pelayanan air minum sistem perpipaan Instalasi Pengolahan Air (IPA) di kawasan perkotaan. mengembangkan sistem pengelolaan persampahan dengan teknik dan metoda yang berwawasan lingkungan; meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana persampahan, serta pengelolaan berbasis masyarakat melalui integrasi 3R dengan prinsip berkelanjutan, mandiri dan tuntas ditempat secara mandiri dan berkesinambungan; mengembangkan sarana dan prasarana pengolahan limbah; mengembangkan prasarana drainase; meningkatkan upaya mitigasi dalam mengantisipasi potensi bencana di Kabupaten.
(6) Peningkatan pelestarian fungsi kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) huruf e dengan strategi meliputi :
a.
mempertahankan kawasan lindung yang telah ditetapkan dan merehabilitasi secara bertahap kawasan lindung yang telah mengalami penurunan fungsi; b. meningkatkan pendayagunaan potensi sumber daya alam dan buatan di kawasan lindung melalui pengembangan wanafarma, ekowisata, agroforestry.
(7) Optimalisasi pendayagunaan kawasan budidaya secara sinergi sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam konteks pembangunan berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) huruf f dengan strategi meliputi :
a.
b. c. d. e.
f.
g.
h.
mendayagunakan dan meningkatkan hasil guna fungsi kawasan hutan produksi melalui konversi menjadi fungsi kawasan budidaya lainnya; mempertahankan kawasan pertanian lahan basah dan/atau beririgasi teknis; mengendalikan alih fungsi lahan sawah menjadi kegiatan budi daya lainnya; mengembangkan fungsi kawasan pertanian lahan kering secara terpadu dengan kawasan peternakan dan perkebunan; mendorong dan memfasilitasi pengembangan hunian vertikal bersubsidi bagi masyarakat golongan ekonomi lemah dan menengah di kawasan perkotaan untuk mengatasi persoalan kawasan kumuh perkotaan; mengembangkan permukiman mandiri yang berwawasan lingkungan dengan meningkatkan kualitas sarana dan prasarana dasar permukiman; mengembangkan kawasan peruntukan industri dengan mempertimbangkan aspek daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta ketersediaan sarana dan prasarana; mendorong penyelenggaraan Kawasan Strategis Kabupaten;
18
mengendalikan perkembangan kegiatan industri manufaktur di luar kawasan industri pada kawasan sekitar koridor jalan arteri primer yang menghubungkan Kabupaten Bekasi Kabupaten Karawang; j. mendorong dan memfasilitasi pengembangan industri berbasis agro dan agribisnis melalui dukungan insentif perizinan dan penyediaan prasarana dan sarana pendukung kegiatan agribisnis; k. meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam, dan sumber daya buatan melalui pengembangan wanafarma, ekowisata, agroforestry untuk pengembangan potensi kepariwisataan.
i.
(8) Peningkatan fungsi kawasan untuk Pertahanan dan Keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) dengan strategi meliputi: mendukung penetapan Kawasan Strategis Nasional dengan fungsi khusus Pertahanan dan Keamanan; b. mengembangkan Kawasan Lindung dan/atau Kawasan Budidaya tidak terbangun disekitar Kawasan Strategis Nasional dengan kawasan budidaya terbangun; c. turut serta menjaga dan memelihara aset-aset pertahanan
a.
BAB IV RENCANA STRUKTUR WILAYAH Bagian Kesatu Umum Pasal 9 (1) Rencana struktur ruang wilayah kabupaten meliputi : a. rencana sistem perkotaan; dan b. sistem jaringan prasarana wilayah. (2) Rencana struktur ruang wilayah kabupaten digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1 : 50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Bagian Kedua Rencana Pengembangan Sistem Perkotaan Pasal 10
(1)
Rencana sistem perkotaan pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf a terdiri atas:
a. b. c. d.
19
(2)
PKN sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) huruf a berupa PKN Jabodetabekpunjur meliputi:
a. b.
(3)
(4)
PKLp Cikarang Selatan; PKLp Cikarang Utara; PKLp Cikarang Barat; dan PKLp Cikarang Timur;
(5)
Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (1) huruf d meliputi: a. PPK b. PPK c. PPK d. PPK e. PPK f. PPK g. PPK h. PPK i. PPK j. PPK k. PPK l. PPK Serang Baru; Bojongmangu; Kedungwaringin; Karang Bahagia; Tambelang; Pebayuran; Babelan; Tambun Utara; Sukakarya; Cabangbungin; Muaragembong; dan Sukawangi kegiatan Kabupaten memperhatikan
(6)
(7)
Perwilayahan pengembangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) meliputi : a. Wilayah Pengembangan (WP) I yaitu Bekasi bagian tengah, dengan pusat di perkotaan Tambun dan meliputi wilayah pelayanan Tambun Selatan, Cibitung, Cikarang Utara, Cikarang Barat, Cikarang Timur, dan Cikarang Selatan; b. Wilayah Pengembangan (WP) II yaitu Bekasi bagian selatan, dengan pusat di perkotaan Sukamahi dan meliputi wilayah pelayanan Cikarang Pusat, Setu, Serang Baru, Cibarusah, dan Bojongmangu; c. Wilayah Pengembangan (WP) III yaitu Bekasi bagian timur, dengan pusat di perkotaan Sukamulya dan meliputi wilayah pelayanan Sukatani, Karang Bahagia, Pebayuran, Sukakarya, Kedungwaringin, Tambelang, Sukawangi, dan Cabangbungin;
20
d. Wilayah Pengembangan (WP) IV yaitu Bekasi bagian utara, dengan pusat di perkotaan Pantai Makmur, dan meliputi wilayah pelayanan Tarumajaya, Muaragembong, Babelan, dan Tambun Utara.
(8)
Arahan fungsi WP sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (3) meliputi: a. WP I diarahkan dengan fungsi utama pengembangan industri, perdagangan dan jasa, perumahan dan permukiman, pariwisata dan pendukung kegiatan industri; b. WP II diarahkan dengan fungsi utama pengembangan pusat pemerintahan kabupaten, industri, perumahan dan permukiman skala besar, pertanian dan pariwisata; c. WP III diarahkan dengan fungsi utama pengembangan pertanian lahan basah, perumahan dan permukiman; d. WP IV diarahkan dengan fungsi utama pengembangan wilayah, simpul transportasi laut dan udara, pertambangan, Industri, perumahan dan permukiman, pertanian lahan basah dan pelestarian kawasan hutan lindung.
(9)
Pengembangan WP IV dan Kecamatan Cabang Bungin sebagaimana dimaksud dalam ayat (8) huruf c dan huruf d dilaksanakan oleh badan pengelola yang pembentukan dan mekanismenya akan diatur melalui peraturan tersendiri; Rencana wilayah pengembangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 10 ayat (7) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Daerah melalui rencana detail tata ruang. Bagian Ke Empat Rencana Pengembangan Sistem Perdesaan Pasal 11
(10)
Rencana pengembangan sistem perdesaan berupa PPL meliputi: a. PPL b. PPL c. PPL d. PPL e. PPL f. PPL g. PPL h. PPL i. PPL j. PPL k. PPL l. PPL m. PPL n. PPL o. PPL p. PPL q. PPL r. PPL s. PPL t. PPL Nagasari; Hegarmukti; Sukabungah; Cibarusah kota; Serang; Sukaragam; Cibening; Tamansari; Tanjungbaru; Karang Satria; Bahagia; Pusaka Rakyat; Pantai Bahagia; Sindang Jaya; Sukamantri; Karanghaur; Karang Mukti; Karang Mekar Sukatenang; dan Sukamulya. 21
Rencana sistem jaringan prasarana utama kabupaten sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (2) huruf b berupa rencana jaringan transportasi meliputi : a. rencana pengembangan sistem transportasi darat; b. rencana pengembangan jaringan perkeretaapian: c. rencana pengembangan prasarana transportasi laut.
(2)
Rencana pengembangan sistem transportasi darat dimaksud dalam pasal 12 ayat (1) huruf a meliputi: a. b. c. d. jalan bebas hambatan; jalan nasional; jaringan jalan provinsi; dan jaringan jalan kabupaten.
sebagaimana
(3)
Pengembangan jaringan jalan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (2) meliputi: a. pembangunan jalan bebas hambatan Jatiasih Purwakarta melintasi Setu Cikarang Selatan - Serang Baru Bojongmangu Karawang Purwakarta; b. pembangunan jalan bebas hambatan Cimanggis-Cibitung, CibitungTanjung Priok, Cikarang-Cibitung, Bekasi-Cikarang-Kampung Melayu; c. pengembangan jalan nasional lintas Utara; d. peningkatan kapasitas dan kondisi ruas jalan strategis; e. peningkatan jalan arteri primer menghubungkan Tambun Selatan Cibitung Cikarang Barat Cikarang Utara Cikarang Timur; f. peningkatan jalan arteri primer (Jl.KH. Noer Ali) jalan menghubungkan Tambun Selatan Cibitung Cikarang Barat Cikarang Utara Cikarang Selatan Cikarang Pusat Karawang; g. pembangunan jalan arteri primer menghubungkan jalan lintas utara ruas Bunibakti menuju Desa Huripjaya (pelabuhan); h. pembangunan jalan arteri primer yang menghubungkan jalan lintas Utara ruas Muarabakti menuju Desa Pantai Bakti; i. peningkatan jalan arteri sekunder merupakan jaringan jalan khusus menghubungkan antar kawasan industri di Kecamatan Cikarang Barat Cikarang Selatan Cikarang Pusat; j. peningkatan jembatan dan jalan kolektor primer menghubungkan Marunda - Taruma Jaya Babelan Sukawangi Cabang Bungin Batujaya; k. pembangunan jalan kolektor primer menghubungkan Kecamatan Babelan Kecamatan Muaragembong; l. pengembangan Jalan Trans Yogi menghubungkan Kabupaten Bogor (Ds. Weninggalih) Kabupaten Bekasi (Ridogalih/SirnajatiRidomanah-Nagacipta-Nagasari-Delta Mas); m. peningkatan jalan lintas Timur (Selatan Utara) melalui Pasir Tanjung Cipayung Bojong Kedung Waringin Pebayuran Cabang Bungin; 22
n. rencana pengembangan terminal penumpang regional tipe A dengan alternatif lokasi meliputi : 1) Kecamatan Cikarang Utara; 2) Kecamatan Cikarang Barat; dan 3) Kecamatan Cikarang Selatan; o. rencana pengembangan terminal penumpang lokal tipe C meliputi: 1) 2) 3) 4) 5) Kecamatan Tambun Utara ; Kecamatan Tarumajaya; Kecamatan Sukatani; Kecamatan Cibarusah; dan/atau disesuaikan dengan kebutuhan;
p. rencana pembangunan terminal Agro di Kecamatan Cikarang Utara; q. pembangunan Dry Port di Cikarang Utara; r. rencana pengembangan sarana angkutan umum massa sebagai bagian dari sistem angkutan umum massa Jabodetabek; dan s. peningkatan fasilitas dan prasarana lalu lintas jalan.
(4)
Rencana pengembangan jaringan perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (1) huruf b meliputi : a. peningkatan jaringan rel kereta api 4 (empat) lajur (double-double track) Manggarai Cikarang; b. pembangunan jaringan rel kereta api lintas cabang menghubungkan Cikarang Timur Cikarang Pusat Serang Baru Cibarusah Kabupaten Bogor. c. peningkatan stasiun Tambun Selatan Cibitung Cikarang Utara Cikarang Timur Kedungwaringin menjadi stasiun pengumpan; dan d. pembangunan stasiun baru/shelter di Kecamatan Cibitung.
(5)
Rencana pengembangan transportasi laut sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (1) huruf c berupa pembangunan Terminal Tarumanegara di Kecamatan Babelan Kecamatan Tarumajaya Kecamatan Muaragembong dengan luas kurang lebih 740 (tujuh ratus empat puluh) hektar; Rencana sistem jaringan transportasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 ayat (1) diupayakan dapat mengintegrasikan antar moda transportasi. Paragraf 3 Rencana Sistem Jaringan Prasarana Lainnya Pasal 13
(6)
Rencana sistem prasarana lainnya meliputi : a. b. c. d. rencana rencana rencana rencana sistem jaringan energi dan kelistrikan; sistem jaringan telekomunikasi; sistem jaringan sumber daya air; dan jaringan prasarana lingkungan.
23
Paragraf 4 Rencana Sistem Prasarana Energi Pasal 14 (1) Rencana sistem jaringan energi sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 huruf a meliputi : a. peningkatan sarana pembangkit tenaga listrik; dan b. pengembangan jaringan prasarana energi yang meliputi pipa minyak dan gas bumi, listrik dan gardu induk, jaringan transmisi dan tenaga listrik. (2) Rencana pengembangan pelayanan energi sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (1) huruf a meliputi:
a.
b.
c.
d. e.
lokasi pembangkit tenaga listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 1. Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Muara Tawar Desa Segara Jaya Kecamatan Tarumajaya; 2. Gardu Induk Tegangan Ekstra Tinggi (GITET) Cicau di Desa Cicau Kecamatan Cikarang Pusat; dan 3. Pembangkit Listrik Tenaga Batubara di Kecamatan Babelan. peningkatan daya energi listrik pada daerah-daerah pusat pertumbuhan dan daerah pengembangan berupa pembangunan dan penambahan gardu-gardu listrik di setiap PPK; pengembangan jaringan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) di Kecamatan Babelan yang menghubungkan ke jaringan SUTET yang sudah terpasang dan pengembangan jaringan SUTET dari Kecamatan Cikarang Pusat ke Kabupaten Karawang; penambahan dan perbaikan sistem jaringan listrik pada daerahdaerah yang belum terlayani;dan pengembangan sistem jaringan transmisi di Muara Tawar ke sistem distribusi atau penyaluran antar sistem;
(3) Rencana pengembangan pelayanan energi yang meliputi pipa minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (1) huruf b meliputi: pengembangan sistem jaringan pipa minyak dan gas bumi melalui sepanjang sempadan sungai Cikarang Bekasi Luat (CBL), saluran sekunder, ladang minyak Tambun dan saluran induk Tarum Barat dan Pondok Makmur dan lainnya; b. pengembangan pemanfaatan sampah sebagai energi di Tempat Pemrosesan dan Pengolahan Akhir Sampah (TPPAS); c. pengembangan gas kota (city gas) di kawasan permukiman perkotaan meliputi: 1. Cibitung; 2. Karang Bahagia; 3. Tambun Utara 4. Sukatani; 5. Sukawangi; 6. Cikarang Timur; 7. Cikarang Pusat; 8. Tambun Selatan; 9. Serang Baru;
a.
24
Setu; Cikarang Selatan; dan Cikarang Barat. d. pengembangan pemanfaatan gas alam meliputi: 1. Stasiun Pengangkutan dan Pengisian Bulk Elpiji (SPPBE) di Kecamatan Cikarang Utara dan lainnya; 2. Liquefied Natural Gas (LNG) Terminal di Kecamatan Muaragembong; 3. Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) di Muara Tawar Kecamatan Tarumajaya; 4. Liquefied Petroleum Gas (LPG) Plant di Desa Hurip Jaya di Kecamatan Babelan; dan 5. Pembangkit Listrik Tenaga Batubara Desa Hurip Jaya Kecamatan Babelan
10. 11. 12.
Paragraf 5 Rencana Sistem Jaringan Telekomunikasi Pasal 15 (1) Rencana sistem jaringan prasarana telekomunikasi dimaksud dalam Pasal 13 huruf b meliputi : a. jaringan kabel; dan b. jaringan nirkabel. (2) Rencana jaringan kabel sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) huruf a meliputi : a. peningkatan kapasitas sambungan telepon kabel pada kawasan perdagangan dan jasa, industri, fasilitas umum dan sosial, terminal, permukiman dan kawasan pada kawasan pengembangan baru; dan b. penyediaan sarana warung telepon (wartel) dan telepon umum pada lokasi strategis, yang sering diakses publik atau kawasan pusat kegiatan masyarakat. (3) Rencana jaringan nirkabel sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 ayat (1) huruf b diarahkan pada upaya pemanfaatan menara telekomunikasi secara bersama dalam rangka efisiensi ruang pada tiap kecamatan. (4) Rencana penataan menara telekomunikasi serta pengembangan prasarana telekomunikasi dan informatika untuk penyelenggaraan pemerintahan ditetapkan dengan Peraturan Bupati. (5) Penggunaan gelombang untuk komunikasi dan penyiaran diatur tata laksananya sesuai ketentuan peraturan perundangan. (6) Pelaksanaan pembangunan, perluasan, rehabilitasi dan pemeliharaan sarana dan prasarana telekomunikasi disesuaikan dengan kebutuhan dan ketentuan peraturan perundangan. Paragraf 6 Rencana Sistem Jaringan Sumber Daya Air Pasal 16 Rencana pengembangan infrastruktur sumberdaya dimaksud dalam Pasal 13 huruf c meliputi : a. Sistem Wilayah Sungai; 25 air sebagaimana sebagaimana
b. prasarana jaringan irigasi; c. jaringan air baku untuk air minum; dan d. sistem pengendalian banjir. Pasal 17 (1) Pengelolaan sistem wilayah sungai sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 huruf a meliputi : a. jaringan sistem wilayah sungai meliputi Wilayah Sungai Lintas Provinsi (WS) Cidanau Ciujung Cidurian Cisadane Ciliwung Citarum; b. jaringan sistem wilayah sungai lintas provinsi WS Cisadane meliputi: 1. DAS Blencong; dan 2. DAS Bekasi. c. jaringan sistem wilayah sungai lintas provinsi WS Citarum berupa DAS Citarum d. pengelolaan situ/rawa yang ada meliputi: 1. Situ Rawa Binong; 2. Situ Bojongmangu; 3. Situ Burangkeng; 4. Situ Taman; 5. Situ Ceper; 6. Situ Ciantra; 7. Situ Pagadungan; 8. Situ Leungsir; 9. Situ Cibeureum; 10. Situ Cibungur; 11. Situ Tegal Abidin; 12. Situ Cipalahlar; dan 13. Situ Liang Maung. e. pelestarian bentuk dan fungsi sungai dan situ/rawa dengan pengawasan ruang sempadan secara ketat. (2) Pengembangan prasarana jaringan irigasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 huruf b dilaksanakan melalui : a. perencanaan sesuai dengan kebutuhan peningkatan sawah irigasi teknis dan nonteknis serta wilayah sungai yang potensial dikembangkan; b. peningkatan jaringan sampai ke wilayah yang belum terjangkau; c. peningkatan saluran dari sistem irigasi setengah teknis dan sederhana menjadi irigasi teknis dilakukan untuk mempertahankan luas lahan sawah beririgasi teknis yang sudah beralih fungsi; dan d. pemanfaatan Daerah Irigasi (DI) di Kabupaten Bekasi meliputi: 1. DI kewenangan pemerintah pusat meliputi: a) DI Jatiluhur seluas kurang lebih 61.371 (enam puluh satu ribu tiga ratus tujuh puluh satu) hektar; dan b) DI Selatan Jatiluhur seluas kurang lebih 6.245 (enam ribu dua ratus empat puluh lima) hektar. 2. DI kewenangan pemerintah provinsi utuh kabupaten/ kota adalah DI Rawa Burangkeng seluas kurang lebih 1.189 (seribu seratus delapan puluh sembilan) hektar; 3. DI kewenangan pemerintah kabupaten dengan normalisasi jaringan irigasi seluas kurang lebih 4.700 (empat ribu tujuh ratus) hektar meliputi:
26
a) DI Bendung Telukdendeng seluas kurang lebih 100 (seratus) hektar; b) DI Cicadas seluas kurang lebih 120 (seratus dua puluh) hektar; c) DI Cigadog seluas kurang lebih 200 (dua ratus) hektar; d) DI Cihaur seluas kurang lebih 142 (seratus empat puluh dua) hektar; e) DI Cijambe seluas kurang lebih 75 (tujuh puluh lima) hektar; f) DI Cikeas seluas kurang lebih 149 (seratus empat puluh sembilan) hektar; g) DI Cimah Abang seluas kurang lebih 226 (dua ratus dua puluh enam) hektar; h) DI Kali Kembang seluas kurang lebih 237 (dua ratus tiga puluh tujuh) hektar; i) DI Kali Sadang seluas kurang lebih 410 (empat ratus sepuluh) hektar; j) DI Liang Maung seluas kurang lebih 65 (enam puluh lima) hektar; k) DI Rawa Been seluas kurang lebih 297 (dua ratus sembilan puluh tujuh) hektar; l) DI Rawa Binong seluas kurang lebih 190 (seratus sembilan puluh) hektar; m) DI Rawa Bojongmanggu seluas kurang lebih 390 (tiga ratus sembilan puluh) hektar; n) DI Rawa Cibungur seluas kurang lebih 168 (seratus enam puluh delapan) hektar; o) DI Rawa Cipahlahlar seluas kurang lebih 62 (enam puluh dua) hektar; p) DI Rawa Pulo seluas kurang lebih 265 (dua ratus enam puluh lima) hektar; q) DI Rawa Taman seluas kurang lebih 937 (sembilan ratus tiga puluh tujuh) hektar; r) DI Rawategal Abidin seluas kurang lebih 300 (tiga ratus) hektar; s) DI Sunter seluas kurang lebih 100 (seratus) hektar; t) DI Cijingga seluas kurang lebih 6 (enam) hektar; u) DI Cilandak seluas kurang lebih 46 (empat puluh enam) hektar; v) DI Ciloa seluas kurang lebih 45 (empat puluh lima) hektar; w) DI Rawa Ceper seluas kurang lebih 30 (tiga puluh) hektar; x) DI Rawa Cibeureum seluas kurang lebih 45 (empat puluh lima) hektar; y) DI Rawa Cireundeu seluas kurang lebih 10 (sepuluh) hektar; z) DI Rawa Gede seluas kurang lebih 40 (empat puluh) hektar; dan aa) DI Rawa Pagadungan seluas kurang lebih 45 (empat puluh lima) hektar. (3) Pengembangan jaringan air baku untuk air minum sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 huruf c meliputi : a. peningkatan kapasitas meliputi: 1. IPA Babelan; 2. IPA Tegal Gede; 3. IPA Sukatani; 4. IPA Cabangbungin; 5. IPA Cibarusah; 6. IPA Cikarang Baru; 7. IPA Cikarang Lippo; 8. Deep Well Setu; produksi Instalasi Pengolahan Air (IPA)
27
9. Deep Well Lemahabang; 10. IPA Tanah Baru; 11. IPA Tambun Selatan; 12. IPA Tambun Utara; dan 13. IPA Tambelang; b. peningkatan jangkauan distribusi pelayanan jaringan air minum dengan sistem perpipaan hingga 60 (enam puluh) persen; dan c. pengembangan Instalasi Pengolahan Air seluruh kecamatan di Kabupaten Bekasi untuk memenuhi kebutuhan industri dan masyarakat. (4) Sistem pengendalian banjir sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 huruf d meliputi : a. normalisasi sungai; b. pembangunan kanal banjir di hilir sungai Kecamatan Muaragembong sebelah timur; c. pembangunan dan pengembangan tembok penahan tanah (tanggul); d. pembangunan dan pengembangan pintu air; e. pembangunan lubang-lubang biopori di permukiman; f. penyediaan embung atau pond pengendali banjir di setiap kawasan permukiman mandiri; dan g. penanaman pohon di sempadan sungai, situ, rawa dan lahan-lahan kritis. Paragraf 5 Rencana Prasarana Lingkungan Pasal 18 (1) Rencana prasarana lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 huruf d meliputi : a. prasarana pengelolaan persampahan; b.prasarana pengelolaan limbah; c. jalur evakuasi bencana dan ruang evakuasi; dan d.prasarana jaringan drainase. (2) Rencana prasarana pengelolaan persampahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) huruf a meliputi : a. peningkatan dan pengembangan TPPAS di Desa Burangkeng Kecamatan Setu seluas kurang lebih 11 (sebelas) hektar; b. peningkatan dan pembangunan Tempat Penampungan Sementara (TPS) dengan pengelolaannya secara merata di setiap kecamatan; c. penerapan 3R (Recycle, Reuse, Reduce) dalam pengelolaan sampah mulai dari sumber sampah (domestik, niaga,industri dan lain-lain); dan d. untuk melaksanakan sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf c akan diatur lebih lanjut melalui Peraturan daerah tersendiri.
28
(3) Rencana prasarana pengelolaan limbah sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) huruf b meliputi : a. peningkatan prasarana pengolahan limbah di kawasan industri; b. peningkatan prasarana pengolahan limbah di permukiman perkotaan; dan c. pembangunan Pusat Pengolahan Limbah Industri Bahan Berbahaya dan Beracun (B-3) dengan alternatif di Desa Bojongmangu Kecamatan Bojongmangu. (4) Rencana jalur evakuasi bencana dan ruang evakuasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) huruf c berupa jalur evakuasi dari ancaman bencana menuju ruang evakuasi meliputi : a. jalur evakuasi bencana alam gelombang pasang/abrasi berupa ruang terbuka dan/ atau fasilitas umum terdekat untuk menampung pengungsi bencana meliputi: 1. Kecamatan Muaragembong; 2. Kecamatan Babelan; dan 3. Kecamatan Tarumajaya b. jalur evakuasi bencana alam banjir menuju ruang evakuasi berupa ruang terbuka dan/atau fasilitas umum terdekat untuk menampung pengungsi bencana meliputi : 1. Kecamatan Muaragembong; 2. Kecamatan Tarumajaya; 3. Kecamatan Babelan; 4. Kecamatan Cabangbungin; 5. Kecamatan Sukakarya; 6. Kecamatan Sukawangi; 7. Kecamatan Cikarang Utara; 8. Kecamatan Cikarang Timur; 9. Kecamatan Pebayuran; dan 10. Kecamatan Kedungwaringin. (5) Rencana pengembangan prasarana drainase sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 ayat (1) huruf d meliputi : a. Pengembangan drainase mikro meliputi: 1. pembangunan prasarana drainase permukiman perkotaan dan permukiman perdesaan; 2. penataan sistem prasarana drainase secara terpadu, meliputi sistem primer, sekunder, dan tersier; b. Pengembangan prasarana drainase makro melalui normalisasi dan rehabilitasi sungai.
29
BAB V RENCANA POLA RUANG YANG MELIPUTI KAWASAN LINDUNG DAN BUDIDAYA Bagian Kesatu Umum Pasal 19 (1) Rencana pola ruang kabupaten meliputi : a. kawasan lindung 27.040 Ha ; dan b. kawasan budidaya 100.348 Ha . (2) Rencana pola ruang wilayah kabupaten digambarkan dalam peta dengan tingkat ketelitian 1 : 50.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. Bagian Kedua Kawasan Lindung Paragraf 1 Kawasan Lindung Pasal 20 Rencana Kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) huruf a, meliputi: a. Kawasan hutan lindung; b. kawasan yang memberikan kawasan perlindungan bawahannya; c. kawasan perlindungan setempat; d. kawasan suaka alam dan pelestarian alam seluas ku; e. kawasan rawan bencana alam; f. kawasan lindung geologi; dan g. kawasan lindung lainnya. Paragraf 2 Kawasan Hutan Lindung Pasal 21 (1) kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 huruf a hutan mangrove. (2) Kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1) dengan luas kurang lebih 5.311 (lima ribu tiga ratus sebelas) hektar terdapat di Kecamatan Muaragembong. (3) Pengembangan kawasan hutan lindung sebagaimana dimaksud ayat (2) dilaksanakan mengikuti peraturan perundangan. kawasan
30
Paragraf 3 Kawasan yang Memberikan Perlindungan terhadap Kawasan Bawahannya Pasal 22 (1) Kawasan yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (2) huruf b berupa kawasan resapan air. (2) Kawasan resapan air sebagaimana dimaksud dalam pasal 22 ayat (1) dengan luas kurang lebih 3.883 (tiga ribu delapan ratus delapan puluh tiga) hektar meliputi : a. Kecamatan Setu; b. Kecamatan Cibarusah; dan c. Kecamatan Bojongmangu. Paragraf 4 Kawasan Perlindungan Setempat Pasal 23 (1) Kawasan perlindungan setempat sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (2) huruf b meliputi: a. b. c. d. kawasan kawasan kawasan kawasan sempadan sungai ; sempadan pantai; situ; dan ruang terbuka hijau (RTH)
(2) Penetapan kawasan sempadan sungai sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) huruf a dengan luas kurang lebih 4.246 (empat ribu dua ratus empat puluh enam) hektar meliputi : a. di sebelah luar sepanjang kaki tanggul di luar kawasan perkotaan dan di sebelah luar sepanjang kaki tanggul di dalam kawasan perkotaan meliputi: 1. kali Jambe; 2. kali Sadang; 3. kali Cikedokan; 4. kali Ulu; 5. kali Siluman; 6. kali Serengseng; 7. kali Sepak; dan 8. kali Jaeran b. tepi sungai untuk yang mempunyai kedalaman tidak lebih dari 3 (tiga) meter meliputi: 1. kali Cilemahabang; 2. kali Cikarang; dan 3. kali Belencong c. sungai kecil yang tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan meliputi: 1. kali Citarum; 2. kali Bekasi; 3. kali Ciherang; dan 4. kali Cibeet 31
d. sungai yang terpengaruh oleh pasang surut air laut dan berfungsi sebagai jalur hijau meliputi: 1. kali Citarum; 2. kali Ciherang ; dan 3. kali CBL (3) Penetapan kawasan sempadan pantai sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) huruf b seluas kurang lebih 566 (lima ratus enam puluh enam) hektar tersebar di : a. kecamatan Babelan; b. kecamatan Tarumajaya ; dan c. Kecamatan Muaragembong (4) Kawasan situ sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) huruf c seluas kurang lebih 149 (seratus empat puluh sembilan) hektar meliputi: a. situ Rawa Binong, Desa Hegar Mukti Kecamatan Cikarang Pusat; b. situ Bojongmangu, Desa Medalkrisna Kecamatan Bojongmangu; c. situ Burangkeng, Desa Ciledug Kecamatan Setu; d. situ Taman, Desa Cikarageman Kecamatan Setu; e. situ Ceper, Desa Skasari Kecamatan Serang Baru; f. situ Ciantra, Desa Sukadami Kecamatan Cikarang Selatan; g. situ Pagadungan, Desa Sukamulya Kecamatan Sukakarya; h. situ Leungsir, Jaya Sampurna Kecamatan Serang Baru; i. situ Cibeureum, Desa Lambangjaya Kecamatan Tambun Selatan; j. situ Cibungur, Desa Sukamukti Kecamatan Bojongmangu; k. situ Tegal Abidin, Desa Karang Mulya Kecamatan Bojongmangu; l. situ Cipalahlar, Desa Wibawamulya Kecamatan Cibarusah; dan m. situ Liang Maung, Desa Ridogalih Kecamatan Cibarusah. (5) Kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) perkotaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (1) huruf d paling sedikit 30 (tiga puluh persen) dari luas kawasan perkotaan yang terdiri dari RTH publik 20 (dua puluh persen) dan RTH privat 10 (sepuluh persen). (6) Penetapan kawasan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagaimana dimaksud dalam pasal 23 ayat (5) dengan luas kurang lebih 12.885 (dua belas ribu delapan ratus delapan puluh lima) hektar meliputi: ruang terbuka hijau (RTH) publik berupa taman kota, tempat pemakaman umum, dan jalur hijau sepanjang jalan dan sungai antara lain terdapat di : 1. desa Sirnajati Kecamatan Cibarusah; 2. desa Sukamukti Kecamatan Bojongmangu; 3. desa Sukasejati Kecamatan Cikarang Selatan; 4. desa Pasir Tanjung Kecamatan Cikarang Pusat; 5. desa Sukaindah Kecamatan Sukakarya; 6. desa Mangunjaya Kecamatan Tambun Selatan; 7. desa Wanajaya Kecamatan Cibitung; dan 8. desa Samudra Jaya Kecamatan Tarumajaya. b. ruang terbuka hijau (RTH) privat berupa kebun atau halaman rumah, gedung milik masyarakat dan swasta yang ditanami tumbuhan.
a.
32
Paragraf 5 Kawasan Rawan Bencana Alam Pasal 24 Kawasan rawan bencana alam sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat 2 huruf d meliputi : kawasan rawan bencana gelombang pasang di Kecamatan Muaragembong; b. kawasan rawan bencana banjir terdapat di: 1. Kecamatan Tambun Utara; 2. Kecamatan Tambun Selatan; 3. Kecamatan Tarumajaya; 4. Kecamatan Cibitung; 5. Kecamatan Cikarang Timur; 6. Kecamatan Cikarang Utara; 7. Kecamatan Cabangbungin; 8. Kecamatan Kedungwaringin; 9. Kecamatan Pebayuran; 10. Kecamatan Sukakarya; 11. Kecamatan Sukatani; 12. Kecamatan Sukawangi; 13. Kecamatan Tambelang; dan 14. Kecamatan Babelan. c. kawasan rawan bencana longsor di Kecamatan Bojongmangu.
a.
Paragraf 6 Kawasan Lindung Geologi Pasal 25 Kawasan lindung geologi sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (2) huruf e meliputi: kawasan rawan bencana alam geologi abrasi di Kecamatan Muaragembong seluas kurang lebih 33.000 (tiga puluh tiga ribu) m2 b. kawasan yang memberikan perlindungan terhadap air tanah; dan c. kawasan rawan gerakan tanah kurang lebih 1.401 (seribu empat ratus satu) Ha.
a.
Paragraf 7 Kawasan Lindung Lainnya Pasal 26 (1) Kawasan lindung lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 20 ayat (2) huruf f meliputi: a. kawasan perlindungan plasma nutfah; b. kawasan pengungsian satwa;
33
(2) Kawasan perlindungan plasma nutfah sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (1) huruf a berupa Desa Pantai Bahagia Kecamatan Muaragembong. (3) Kawasan pengungsian satwa sebagaimana dimaksud dalam pasal 26 ayat (1) huruf b berupa pengungsian satwa burung, buaya, biawak dan monyet di Desa Pantai Bahagia, Pantai Bhakti dan Pantai Mekar Kecamatan Muaragembong. Bagian Ketiga Kawasan Budidaya Paragraf 1 Umum Pasal 27 Rencana pengembangan kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 huruf b meliputi: a. b. c. d. e. f. g. h. i. kawasan kawasan kawasan kawasan kawasan kawasan kawasan kawasan kawasan peruntukan peruntukan peruntukan peruntukan peruntukan peruntukan peruntukan peruntukan peruntukan hutan produksi; pertanian; perikanan; pertambangan; industri; pariwisata; permukiman; pesisir dan laut; dan lainnya. Paragraf 2 Kawasan Peruntukan Hutan Produksi Pasal 28 (1) Kawasan peruntukan hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 huruf a merupakan: a. Hutan produksi tetap b. Hutan produksi terbatas (2) Hutan produksi tetap sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (1) huruf a terdapat di Kecamatan Muaragembong seluas lebih kurang 5.170 Ha (lima ribu seratus tujuh puluh hektar) diarahkan bagi pengembangan wilayah pantai utara Kabupaten Bekasi. (3) Hutan produksi terbatas sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (1) huruf b meliputi: a. Kecamatan Cabangbungin; dan b. Kecamatan Babelan. (4) Pengembangan kawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 28 ayat (2) dan (3) dilaksanakan mengikuti peraturan perundangan.
34
Paragraf 3 Kawasan Peruntukan Pertanian Pasal 29 (1) Rencana kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 huruf b meliputi: a. kawasan pertanian tanaman pangan; b. kawasan hortikultura; c. kawasan perkebunan; dan d. kawasan peternakan. (2) Kawasan pertanian tanaman pangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat (1) huruf a meliputi: a. lahan basah; dan b. lahan kering (3) Pertanian lahan basah sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat (2) huruf a diarahkan dan ditetapkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dengan luas kurang lebih 35.244 (tiga puluh lima ribu dua ratus empat puluh empat) hektar meliputi : a. Kecamatan Cabangbungin; b. Kecamatan Sukawangi; c. Kecamatan Sukakarya; d. Kecamatan Sukatani; e. Kecamatan Karang Bahagia; f. Kecamatan Pebayuran; g. Kecamatan Kedungwaringin; h. Kecamatan Cikarang Timur; i. Kecamatan Setu; j. Kecamatan Serang Baru; k. Kecamatan Cibarusah; dan l. Kecamatan Bojongmangu. (4) Kawasan hortikultura sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat (1) huruf b seluas kurang lebih 2.417 (dua ribu empat ratus tujuh belas) hektar berupa pertanian lahan kering meliputi: a. Kecamatan Cibarusah; b. Kecamatan Serang Baru; dan c. Kecamatan Bojongmangu. (5) Kawasan perkebunan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat (1) huruf c seluas kurang lebih 710 (tujuh ratus sepuluh) hektar berupa tanaman tahunan meliputi: a. Kecamatan Cikarang Selatan; b. Kecamatan Setu; c. Kecamatan Serang Baru; d. Kecamatan Cibarusah; dan e. Kecamatan Bojongmangu. (6) Kawasan peternakan sebagaimana dimaksud dalam pasal 29 ayat (1) huruf d meliputi: a. pengembangan kegiatan peternakan rakyat meliputi : 1. Kecamatan Sukatani; 2. Kecamatan Sukakarya; dan 3. Kecamatan Pebayuran 35
b.
pengembangan kawasan peternakan meliputi: 1. Kecamatan Bojongmangu; dan 2. Kecamatan Cibarusah. Paragraf 4 Kawasan Peruntukan Perikanan Pasal 30
(1) Kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 huruf c seluas kurang lebih 128 (seratus dua puluh delapan) hektar meliputi : a. peruntukan Perikanan Tangkap; dan b. peruntukan Budidaya Perikanan. (2) Kawasan perikanan tangkap sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (1) huruf a meliputi: a. Kecamatan Tarumajaya; b. Kecamatan Babelan; dan c. Kecamatan Muaragembong (3) Kawasan peruntukan budidaya perikanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 30 ayat (1) huruf b meliputi: a. Kecamatan Muaragembong; b. Kecamatan Tarumajaya; c. Kecamatan Cikarang Pusat; d. Kecamatan Bojongmangu; e. Kecamatan Setu; f. Kecamatan Serang Baru; g. Kecamatan Cikarang Selatan; h. Kecamatan Sukakarya; dan i. Kecamatan Tambun Selatan. (4) Kawasan minapolitan berupa komoditas unggulan Ikan Lele, Patin, Gurame, Mas dan Bawal terdapat di: a. Kecamatan Cikarang Timur; b. Kecamatan Kedung Waringin; c. Kecamatan Pebayuran; dan d. Kecamatan Cabangbungin. Paragraf 5 Kawasan Peruntukan Pertambangan Pasal 31 (1) Kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 huruf d meliputi : a. pertambangan minyak dan gas bumi; dan b. pertambangan mineral. (2) Kawasan peruntukan pertambangan minyak dan gas bumi sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 ayat (1) meliputi : a. Kecamatan Babelan; b. Kecamatan Cibitung; c. Kecamatan Tambun Utara; d. Kecamatan Tambun Selatan; 36
Cikarang Timur; Cibarusah; Cabangbungin Sukawangi; Sukakarya; Cikarang Utara; dan Karang Bahagia.
(3) Kawasan peruntukan pertambangan mineral sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 ayat (1) huruf b meliputi: a. Kecamatan Cikarang Selatan; b. Kecamatan Cibarusah; c. Kecamatan Cikarang Pusat; d. Kecamatan Cikarang Timur; e. Kecamatan Bojongmangu; dan f. Kecamatan Serang Baru. (4) Pengembangan kawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 ayat (2) dan (3) dilaksanakan mengikuti peraturan perundangan. Paragraf 6 Kawasan Peruntukan Industri Pasal 32 (1) Kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 huruf e seluas kurang lebih 23.437 (dua puluh tiga ribu empat ratus tiga puluh tujuh) hektar meliputi : a. industri besar; b. industri menengah; dan c. industri mikro dan rumah tangga (2) Industri besar sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 ayat (1) huruf a meliputi: a. Kecamatan Cikarang Pusat; b. Kecamatan Cikarang Utara; c. Kecamatan Cikarang Selatan; d. Kecamatan Cikarang Timur; e. Kecamatan Cikarang Barat; f. Kecamatan Tarumajaya; g. Kecamatan Cabangbungin; h. Kecamatan Babelan;dan i. Kecamatan Sukawangi. (3) Industri menengah sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 ayat (1) huruf b meliputi: a. Kecamatan b. Kecamatan c. Kecamatan d. Kecamatan Serang Baru; Tambun Utara; Tambun Selatan; dan Karang Bahagia.
(4) Industri mikro dan rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam pasal 32 ayat (1) huruf c terdapat di Kecamatan Setu. 37
(5) Rencana pengembangan kawasan industri meliputi : a. pengembangan kawasan dilakukan dengan mempertimbangkan aspek ekologis, memperhatikan daya dukung lahan dan tidak mengkonversi lahan pertanian; b. pengembangan kawasan didukung oleh jalur hijau sebagai penyangga antar fungsi bawahan; c. pengembangan kawasan harus didukung oleh sarana dan prasarana industri; d. pengembangan kegiatan industri berbasis sumberdaya lokal yang berkelanjutan; e. industri yang dikembangkan memiliki keterkaitan proses produksi mulai dari hulu dan hilir yang dibentuk berdasarkan pertimbangan efisiensi biaya produksi, keseimbangan lingkungan dan aktifitas sosial; f. setiap kegiatan industri di Kabupaten diarahkan berada pada peruntukannya dengan menggunakan metode teknologi ramah lingkungan dan harus didukung dengan upaya pengelolaan terhadap lingkungan; dan g. pada setiap kawasan industri (berupa kawasan yang mengelompok) diwajibkan menyediakan Ruang Terbuka (RTH) privat 10 (sepuluh) persen dan RTH publik 20 (dua puluh) persen. Paragraf 7 Kawasan Peruntukan Pariwisata Pasal 33 (1) Kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 huruf f seluas kurang lebih 1.104 (seribu seratus empat) hektar meliputi: a. pengembangan wisata alam; b. pengembangan wisata budaya; dan c. pengembangan wisata buatan/ binaan manusia. (2) Pengembangan kawasan wisata alam sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 ayat (1) huruf a meliputi : a. Kecamatan Tarumajaya; b. Kecamatan Babelan; dan c. Kecamatan Muaragembong. (3) Pengembangan wisata budaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 ayat (1) huruf b terdapat di Kecamatan Tambun Selatan. (4) Pengembangan wisata buatan/ binaan manusia sebagaimana dimaksud dalam pasal 33 ayat (1) huruf c meliputi: a. Kecamatan Cikarang Selatan; b. Kecamatan Serang Baru; c. Kecamatan Muaragembong; d. Kecamatan Setu; e. Kecamatan Cikarang Timur; f. Kecamatan Cikarang Pusat; g. Kecamatan Cikarang Barat; h. Kecamatan Cikarang Utara; dan i. Kecamatan Bojongmangu.
38
Paragraf 8 Kawasan Peruntukan Permukiman Pasal 34 (1) Kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 huruf g meliputi: a. lokasi kawasan permukiman tersebar di seluruh kecamatan seluas kurang lebih 13.918 (tiga belas ribu sembilan ratus delapan belas) hektar; b. pengembangan kawasan permukiman perkotaan seluas kurang lebih 41.907 (empat puluh satu ribu Sembilan ratus tujuh) hektar meliputi: 1. Kecamatan Cibitung; 2. Kecamatan Karang Bahagia; 3. Kecamatan Tambun Utara; 4. Kecamatan Sukatani; 5. Kecamatan Sukawangi; 6. Kecamatan Cikarang Timur; 7. Kecamatan Cikarang Pusat; 8. Kecamatan Tambun Selatan; 9. Kecamatan Serang Baru; 10. Kecamatan Setu; 11. Kecamatan Cikarang Selatan; dan 12. Kecamatan Cikarang Barat. c. pengembangan kawasan permukiman perdesaan seluas kurang lebih 3.515 (tiga ribu lima ratus lima belas) hektar meliputi: 1. Kecamatan Babelan; 2. Kecamatan Muaragembong; 3. Kecamatan Cabangbungin; 4. Kecamatan Cibarusah; 5. Kecamatan Bojongmangu; dan 6. Kecamatan Serang Baru. (2) Pengembangan permukiman perkotaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat (1) huruf b diarahkan untuk : a. pengembangan hunian vertikal berupa rusunami dan rusunawa diperkotaan dan kawasan industri; b. pengembangan kawasan permukiman mandiri; dan c. peningkatan sarana dan prasarana dasar permukiman. (3) Pengembangan permukiman perdesaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 34 ayat (1) huruf c diarahkan untuk : a. pengembangan hunian horizontal; dan b. peningkatan sarana dan prasarana dasar permukiman. Paragraf 9 Kawasan Peruntukan Pesisir dan Laut Pasal 35 (1) Kawasan peruntukan pesisir dan laut sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 huruf h meliputi: a. Kecamatan Muaragembong; b. Kecamatan Tarumajaya; dan c. Kecamatan Babelan. 39
(2) Pengembangan kawasan peruntukan pesisir dan laut meliputi: a. pengembangan permukiman nelayan; dan b. bisnis kelautan. (3) Pengembangan kawasan permukiman nelayan sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat (2) huruf a terdapat di Kecamatan Tarumajaya; (4) Pengembangan kawasan bisnis kelautan sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat (2) huruf b diarahkan untuk : a. pengembangan kawasan pelabuhan perikanan di Muara Bendera Kecamatan Muaragembong; b. pengembangan kawasan perikanan tangkap dan budidaya meliputi: 1. Kecamatan Muaragembong; 2. Kecamatan Tarumajaya; dan 3. Kecamatan Babelan; c. pengembangan kawasan industri pengolahan perikanan di Kecamatan Muaragembong; d. pengembangan kawasan pertambangan migas di Kecamatan Muaragembong; e. pengembangan terminal (barang) khusus Marunda Centre di Kecamatan Tarumajaya; dan f. pengembangan prasarana pendukung industri pengolahan pertambangan. Paragraf 10 Kawasan Peruntukan Lainnya Pasal 36 (1) Kawasan peruntukan budidaya lainnya sebagaimana dimaksud pasal 27 huruf i, terdiri atas : a. kawasan pertahanan dan keamanan; b. kawasan bumi perkemahan; dan c. kawasan fasilitas sosial dan fasilitas umum. (2) Kawasan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat (1) huruf a, meliputi : a. Komando Resort Militer (KOREM) di Kecamatan Cikarang Selatan; b.Komando Distrik Militer (KODIM) di Kecamatan Cikarang Pusat; c. Polisi Resort (POLRES) di Kecamatan Cikarang Utara; d.Brigade Mobil (BRIMOB) di Kecamatan Cikarang Pusat; e. Komando Rayon Militer (KORAMIL) di setiap kecamatan; dan f. Polisi Sektor (POLSEK) di setiap kecamatan. (3) Kawasan bumi perkemahan sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat (1) huruf b adalah perkemahan Karang Kitri di Kecamatan Bojongmangu. (4) Kawasan fasilitas sosial dan fasilitas umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 36 ayat (1) huruf c meliputi : a. pembangunan kawasan olahraga terpadu di Kecamatan Cikarang Pusat; b. pembangunan rumah sakit tipe B di Kecamatan Cibitung; c. pengembangan rumah sakit tipe C di Kecamatan Cibitung; d. penyediaan puskesmas pembantu tersebar di seluruh kecamatan; e. pembangunan pusat kebudayaan di Kecamatan Tambun Utara; dan f. penyediaan pemakaman umum, antara lain di : 1. Kecamatan Cikarang Pusat; 2. Kecamatan Cikarang selatan 3. Kecamatan Tambun Selatan 4. Kecamatan Sukakarya 40
5. 6. 7.
Kecamatan Cibitung; Kecamatan Cibarusah; dan Kecamatan Tarumajaya. BAB VI PENETAPAN KAWASAN STRATEGIS Pasal 37
Penetapan KSK memperhatikan KSN dan KSP; KSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu Jabodetabekpunjur; (3) KSP sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: a. KSP Koridor Bekasi-Cikampek; b. KSP pertanian lahan basah dan Beririgasi Teknis Pantura; dan c. KSP Pesisir Pantura.
(1) (2) (4)
KSN
KSK sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 ayat (1) meliputi : a. KSK bidang pertumbuhan ekonomi meliputi: 1. kawasan berpotensi menjadi kegiatan perekonomian tinggi meliputi kawasan: a)Tambun Selatan; b) Cibitung; c) Cikarang Utara; d) Cikarang Selatan; e) Cikarang Timur; f) Cikarang Barat ; g) Cikarang Pusat; h) Babelan; i) Tarumajaya; j) Sukawangi; dan k) Cabangbungin. 2. kawasan berfungsi sebagai ketahanan pangan/ pertanian basah meliputi kawasan: a) Sukatani; b) Karang Bahagia; c) Pebayuran; d) Kedungwaringin; e) Tambelang; f) Sukawangi ; dan g) Cabangbungin. b. KSK bidang fungsi dan daya dukung lingkungan hidup adalah KSK Muaragembong; c. KSK bidang sosial dan budaya meliputi : 1. KSK Cikarang Pusat; dan 2. KSK Kecamatan Babelan. d. KSK bidang kepentingan pendayagunaan sumberdaya alam dan teknologi tinggi, berupa sumber alam minyak dan gas bumi, pelabuhan, dan Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (KEKI) meliputi kawasan: 1. Tambun Selatan; 2. Babelan; 3. Cabangbungin; 4. Sukawangi; 5. Karang Bahagia; 6. Cikarang Timur 41
7. Pebayuran; 8. Muaragembong; 9. Tarumajaya; dan 10. Cibarusah. (5) Rencana tata ruang KSK sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Peraturan Daerah. BAB VII ARAHAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH Pasal 38 (1) Arahan pemanfaatan ruang wilayah kabupaten berisi indikasi program utama penataan ruang wilayah yang meliputi: a. perwujudan struktur ruang wilayah kabupaten; dan b. perwujudan pola ruang wilayah kabupaten. (2) Indikasi program utama memuat uraian tentang program, kegiatan, sumber pendanaan, instansi pelaksana, serta waktu dalam tahapan pelaksanaan RTRW Kabupaten; dan (3) Pelaksanaan RTRW Kabupaten terbagi dalam 4 (empat) tahapan antar lain meliputi :Tahap I (Tahun 2011 - 2015), Tahap II (Tahun 2016 2020), Tahap III (Tahun 2021 - 2025), dan Tahap IV (Tahun 2026 2031) Pasal 39 Perwujudan struktur ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 ayat (1) huruf a meliputi : a. perwujudan pusat kegiatan; dan b. perwujudan sistem prasarana. Pasal 40 Perwujudan pusat kegiatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 huruf a meliputi : (1) Penataan Pusat Kegiatan Kabupaten Bekasi meliputi: a. percepatan pengembangan fungsi dan peran Kecamatan Setu dan Kecamatan Tambun Selatan sebagai pusat perkotaan, bagian dari sistem perkotaan PKN Jabodetabek; b. pengembangan perwujudan PKL; c. pengembangan perwujudan PKLp: 1. Cikarang Selatan; 2. Cikarang Utara; 3. Cikarang Barat; dan 4. Cikarang Timur. d. pengembangan perwujudan PPK; e. percepatan perwujudan PPL; dan f. percepatan perwujudan pengembangan Kecamatan Tambelang untuk mengemban sebagai ibukota pusat pemerintahan pemekaran kabupaten (2) Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) meliputi : a. penyusunan RDTR WP 1; b. penyusunan RDTR WP 2; c. penyusunan RDTR WP 3; dan d. penyusunan RDTR WP 4 42
Pasal 41 Perwujudan sistem prasarana sebagaimana dimaksud dalam pasal 39 huruf b berupa pelaksanaan pembangunan meliputi : (1) Perwujudan sistem jaringan prasarana transportasi meliputi : a. pembangunan kapasitas pelayanan sistem jaringan jalan bebas hambatan meliputi: 1. pembangunan jalan bebas hambatan Jatiasih Purwakarta melintasi Setu Cikarang Selatan Serang Baru Bojongmangu Karawang Purwakarta; dan 2. pembangunan jalan bebas hambatan Cimanggis-Cibitung, Cibitung Tanjung Priok, Cikarang Cibitung, Bekasi Cikarang Kampung Melayu; b. peningkatan dan pengembangan kapasitas pelayanan sistem jaringan jalan arteri primer meliputi : 1. pengembangan jalan nasional Lintas Utara ; 2. peningkatan jalan arteri primer menghubungkan Tambun Selatan Cibitung Cikarang Barat Cikarang Utara Cikarang Timur; dan 3. peningkatan jalan arteri primer (inspeksi Kalimalang) menghubungkan Tambun Selatan Cibitung Cikarang Barat Cikarang Utara Cikarang Selatan Cikarang Pusat Karawang. c. peningkatan dan pengembangan kapasitas pelayanan sistem jaringan kolektor primer meliputi : 1. peningkatan jembatan dan jalan kolektor primer menghubungkan Marunda Taruma Jaya Babelan Sukawangi Cabang Bungin Batujaya; 2. pembangunan jalan Lintas Utara (kolektor primer) menghubungkan Marunda Tarumajaya Cabangbungin Batujaya (Karawang);dan 3. pengembangan Jalan Trans Yogi menghubungkan Kabupaten Bogor (Desa Weninggalih) Kabupaten Bekasi (Ridogalih/Sirnajati Nagasari Delta Mas). d. rencana pembangunan jalan baru meliputi : 1. pembangunan jalan arteri primer menghubungkan jalan lintas Utara ruas Bunibakti menuju Desa Huripjaya (pelabuhan); 2. pembangunan jalan arteri primer menghubungkan jalan lintas Utara ruas Muarabakti menuju Desa Pantai Bakti; 3. pembangunan jalan arteri sekunder berupa jaringan jalan khusus menghubungkan antar kawasan industri di Kecamatan Cikarang Barat Cikarang Selatan Cikarang Pusat; 4. pembangunan jalan kolektor primer Desa Nagacipta (Kecamatan Serang Baru) Desa Ridhogalih (Kecamatan Cibarusah sebagai bagian dari pengembangan Jalan Trans Yogi); dan 5. pembangunan jalan kolektor primer menghubungkan Desa Huripjaya (Kecamatan Babelan) Desa Pantai Bakti (Kecamatan Muaragembong) e. pembangunan terminal penumpang meliputi : 1. pembangunan terminal penumpang Tipe A dengan alokasi rencana di Cikarang Utara, Cikarang Barat dan Cikarang Selatan; 2. pembangunan terminal penumpang Tipe C di Kecamatan Tambun Utara, Tarumajaya, Sukatani dan Cibarusah; 3. pembangunan terminal barang di Kecamatan Tarumajaya; 4. pembangunan Dryport di WP 1; 5. pembangunan terminal agro di kecamatan Cikarang Utara f. pengembangan jalur dan stasiun kereta api meliputi: 43
1. peningkatan jaringan rel kereta api 4 (empat) lajur (double-double track) Manggarai Cikarang; 2. pembangunan jaringan rel kereta api lintas cabang menghubungkan Cikarang Timur Cikarang Pusat Serang Baru Cibarusah Kabupaten Bogor; 3. peningkatan stasiun Tambun Selatan Cibitung Cikarang Utara Cikarang Timur Kedungwaringin menjadi stasiun pengumpan; dan 4. pembangunan stasiun baru/shelter di Kecamatan Cibitung; 5. pembangunan jembatan layang (fly over) di Kecamatan Tambun Selatan - Cibitung Cikarang Barat. g. pembangunan prasarana transportasi laut berupa pembangunan terminal tarumnegara di Kecamatan Babelan Kecamatan Tarumajaya Kecamatan Muaragembong dengan luas kurang lebih 740 (tujuh ratus empat puluh) hektar; (2) Prasarana energi meliputi: a. pengembangan jaringan infrastruktur primer; b. pengembangan jaringan infrastruktur di pusat-pusat WP dan pusatpusat permukiman; c. pengembangan jaringan infrastruktur di Ibukota Kecamatan (IKK); dan d. peningkatan pelayanan jaringan energi listrik kota di WP 1, 2, 3 dan 4 (3) Prasarana sumberdaya air meliputi : a. peningkatan pelayanan jaringan air bersih; b. penyediaan air baku dengan peningkatan pengelolaan situ; dan c. pembangunan prasarana sumberdaya air dan pengendali banjir (4) Prasarana telekomunikasi meliputi : a. peningkatan pelayanan jaringan telekomunikasi; dan b. pembangunan menara bersama. (5) Prasarana permukiman, meliputi : a. pembangunan TPPAS, meliputi : 1. penyempurnaan kondisi TPPAS eksisting di Desa Burangkeng Kecamatan Setu; 2. studi kelayakan lokasi Bahan Pusat Pengelolahan Limbah Industri Bahan Berbahaya dan Beracun (PPLI-B3) di Desa Bojongmangu dan Desa Karangmulya; 3. pendistribusian TPS merata di seluruh kecamatan; 4. pengelolaan limbah B3 dengan mengembangkan PPLI-B3; dan 5. penerapan 3R (Reuse, Reduce dan Recycle) b. pengembangan hunian vertikal di kawasan perkotaan dan di kawasan industri; c. pengembangan kawasan siap bangun atau lingkungan siap bangun; d. peningkatan ketersediaan air bersih perkotaan dan pengembangan Instalasi Pengolahan Air ( IPA) atau Water Treatment Plant (WTP); e. pengembangan pengolahan air limbah memperhatikan baku mutu limbah cair dan sistem terpisah dari pengelolaan air limbah industri secara terpusat terutama pada kawasan perumahan padat, pusat bisnis dan sentra industri; dan f. penataan jaringan drainase perkotaan. Pasal 42 (1) Indikasi program utama perwujudan pola ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 38 ayat (1) huruf b meliputi: a. Perwujudan kawasan lindung; dan b. Perwujudan kawasan budidaya. 44
(2) Perwujudan kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (1) huruf a meliputi : a. program perwujudan dan pengelolaan kawasan lindung meliputi : 1. menghutankan kawasan semak belukar/ ilalang/ padang rumput dengan fungsi hutan lindung, dan mempertegas batas-batas fisik kawasan hutan lindung melalui pembangunan pagar, tanda dan papan informasi; 2. program menghutankan lahan yang memiliki nilai ekonomis, meliputi : a) identifikasi pemilik lahan yang berada pada peruntukkan hutan lindung; dan b) pelaksanaan penyepakatan berupa penggantian, pembelian atau partisipasi lahan peruntukkan hutan lindung 3. rehabilitasi hutan lindung pada kawasan yang mengalami kerusakan dan penggundulan meliputi : a) identifikasi kerusakan dan penggundulan hutan lindung; dan b) pelaksanaan rehabilitasi hutan lindung 4. program pengembangan perekonomian hutan lindung melalui pembuatan sentra kebun bibit permanen dan kebun bibit desa hutan lindung; 5. pengembangan dan rehabilitasi kawasan mangrove; dan 6. pembangunan jalan inspeksi dalam rangka mempermudah kegiatan pengawasan dan pengendalian b. program memberi fungsi lindung pada hutan produksi meliputi: 1. mempertegas batas-batas kawasan hutan produksi dalam rangka mewujudkan fungsi lindung; 2. memberikan batasan fisik pada kawasan hutan produksi berupa pagar, tanda atau papan informasi; dan 3. pembangunan jalan inspeksi dalam rangka mempermudah kegiatan pengawasan dan pengendalian c. program perwujudan kawasan konservasi dan resapan air meliputi : 1. mempertegas batasan fisik pada kawasan konservasi dan resapan air, melalui pembangunan pagar, tanda dan papan informasi 2. mempertahankan fungsi resapan air di kawasan budidaya melalui optimalisasi ruang terbuka hijau dan penataan zonasi resapan air 3. pelaksanaan memberikan fungsi lindung pada kawasan konservasi dan resapan air 4. penetapan identifikasi dan perlindungan Daerah Aliran Sungai (DAS) d. program penyusunan rencana Daerah Aliran Sungai (DAS) meliputi : 1. identifikasi DAS dengan kerusakan dan pendangkalan tinggi; 2. rehabilitasi dan pengerukan DAS; 3. peningkatan sistem drainase perkotaan; 4. peningkatan sistem irigasi; dan 5. pengembangan sistem jaringan irigasi; e. program perwujudan kawasan situ meliputi: 1. program memberikan fungsi lindung pada kawasan sekitar situ, melalui mempertegas batasan fisik pada kawasan sekitar situ, seperti pembangunan pagar, tanda dan papan informasi; 2. penyusunan identifikasi potensi pengembangan kawasan sekitar situ; dan 3. pelaksanaan penyusunan rencana tata ruang kawasan sekitar situ f. program penanggulangan kawasan rawan bencana meliputi : 1. program reboisasi dan menghutankan dan evakuasi kawasan rawan bencana alam, meliputi: a) identifikasi tingkat kerawanan kawasan rawan bencana alam; 45
b) normalisasi sungai di kawasan rawan banjir; c) pembangunan banjir kanal; d) pelaksanaan reboisasi dan menghutankan kawasan rawan bencana alam; dan e) penanaman pohon pada wilayah potensial longsor 2. program pembentukan tim pengendali rawan bencana alam banjir dan abrasi pantai (3) Perwujudan kawasan budidaya sebagaimn dimaksud dalam pasal 42 ayat (1) huruf b meliputi: a. pengembangan sentra industri pengolahan meliputi: 1. Studi kelayakan dan Desain Pengembangan Sentra Industri Pengolahan; dan 2. Pembangunan sentra industri pengolahan b. penyusunan Peraturan Perijinan Pengelolaan Hutan Produksi meliputi: 1. Penyusunan Peraturan Pelimpahan penguasan dan atau memberikan Kewenangan dalam pengawasan dan pengendalian kawasan hutan produksi dari pemerintahan kecamatan terhadap pemerintah desa; 2. Penyusunan peraturan dan atau instruksi yang mengikat tentang program tebang-pilih dan Tebang Tanam; dan 3. Penyusunan Peraturan Pelimpahan penguasan dan atau memberikan Kewenangan dalam pengawasan dan pengendalian kawasan hutan produksi dari pemerintahan kecamatan terhadap pemerintah desa. c. pengembangan peruntukan pertanian meliputi : 1. studi Kelayakan Pengembang Sentra Budidaya tanaman lahan kering, Lahan Basah, dan Peternakan; 2. pelaksanaan Pembangunan Sentra budidaya benih dan bibit unggul tanaman lahan kering, Lahan Basah, dan Peternakan; 3. pelaksanaan Pembangunan koperasi/pasar khusus pertanian; 4. pengembangan rumah potong hewan di Kecamatan Cibitung; 5. pengembangan industri pertanian berbasis agro; dan 6. penyusunan Peraturan Daerah Tentang Harga Pupuk, Obat-obatan, dan Bibit. d. Pengembangan peruntukan perikanan meliputi : 1. pembangunan pelabuhan nelayan dan perumahan nelayan dengan sarana pendukungnya di Muara Bendera, Kecamatan Muaragembong; 2. pembangunan kawasan pariwisata di pantai Sederhana Pantai Bahagia; 3. pembangunan pusat pendidikan terapan dalam rangka menunjang perkembangan wilayah Pantai Utara seluas 20 ha (dua puluh hektar); 4. studi Kelayakan Pengembangan Sentra Budidaya Perikanan; dan 5. pelaksanaan pembangunan sentra budidaya benih dan bibit unggul perikanan. e. pengembangan peruntukan pertambangan meliputi : 1. Penyusunan Peraturan Daerah Tentang ijin pengelolaan dan seleksi usaha pertambangan dan galian (kelayakan perusahaan) melalui AMDAL kegiatan Eksploitasi minyak dan gas; 2. Studi Kelayakan dan Penataan Pengembangan Sentra Industri Pengolahan Pertambangan dan Galian; 3. Pembangunan industri pengolahan Pertambangan; 4. Pembangunan sentra penyedia kebutuhan pertambangan; 46
5. Fasilitasi pertambangan dan galian; dan 6. Pengembangan potensi migas. f. pengembangan peruntukan industri meliputi: 1. Penyusunan Rencana Pengembangan industri Pengolahan; 2. Pembangunan Agroindustri dan Industri Pengolahan; 3. Fasilitasi Pemanfaatan teknologi industri tepat guna; 4. Pembinaan dan pengembangan Industri Kecil Menengah; dan 5. Promosi investasi bagi Pengembangan Industri Agro. BAB VIII PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG WILAYAH Bagian Pertama Umum Pasal 43 (1) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang diselenggarakan melalui penetapan Peraturan zonasi, perijinan, pemberian insentif dan disinsentif, dan pengenaan sanksi. (2) Ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten. (3) Ketentuan umum pemanfaatan ruang terdiri dari: a. peraturan zonasi; b. perizinan; c. ketentuan insentif dan disinsentif; d. arahan pengenaan sanksi; e. pengawasan; dan f. penertiban. Pasal 44 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) huruf a disusun sebagai pedoman pengendalian pemanfaatan ruang, serta berdasarkan rencana rinci tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang: a. ketentuan umum ketentuan umum peraturan zonasi pengaturan sistem perkotaan daerah; b. ketentuan umum pengaturan sistem perdesaan daerah; c. ketentuan umum pengaturan sistem jaringan transportasi daerah; d. ketentuan umum pengaturan sistem jaringan energi daerah; e. ketentuan umum pengaturan sistem jaringan sumber daya air daerah; f. ketentuan umum pengaturan sistem jaringan telekomunikasi daerah; g. ketentuan umum pengaturan sistem prasarana lingkungan daerah; h. ketentuan umum pengaturan kawasan lindung daerah; i. ketentuan umum pengaturan kawasan budi daya; j. ketentuan umum pengaturan kawasan pesisir; dan k. ketentuan umum pengaturan kawasan strategis. (2) Dalam ketentuan umum peraturan zonasi sesuai dengan rencana rinci tata ruang dimaksud meliputi: a. ketentuan umum ketentuan umum peraturan zonasi pengaturan sistem perkotaan daerah; 47
b. ketentuan umum pengaturan sistem perdesaan daerah; c. ketentuan umum pengaturan sistem jaringan transportasi daerah; d. ketentuan umum pengaturan sistem jaringan energi daerah; e. ketentuan umum pengaturan sistem jaringan sumber daya air daerah; f. ketentuan umum pengaturan sistem jaringan telekomunikasi daerah; g. ketentuan umum pengaturan sistem prasarana lingkungan daerah; h. ketentuan umum pengaturan kawasan lindung daerah; i. ketentuan umum pengaturan kawasan budidaya; j. ketentuan umum pengaturan kawasan pesisir; dan k. ketentuan umum pengaturan kawasan strategis. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (2) memuat tentang hal-hal yang harus ada, hal-hal yang boleh dan apa yang tidak boleh. Pasal 45 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi pada sistem perkotaan daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (2) huruf a meliputi: a. fungsi kawasan; b. kawasan lindung; dan c. kawasan budidaya. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk fungsi kawasan sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (1) huruf a disusun dengan ketentuan: a. boleh dilakukan pengembangan secara terbatas pada zona yang tidak termasuk dalam klasifikasi intensitas tinggi tetapi fungsi utama zona harus tetap hanya boleh dilakukan maksimum 25% (dua puluh lima persen) dari luasan zona yang ditetapkan; b. dalam pengaturan zona tidak boleh dilakukan perubahan secara keseluruhan fungsi dasarnya; dan c. penambahan fungsi tertentu pada suatu zona tidak boleh dilakukan untuk fungsi yang bertentangan, misalnya permukiman digabung dengan industri polutan. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan lindung sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (1) huruf b, di perkotaan baik kawasan lindung berupa ruang terbuka, misalnya lindung setempat dilakukan dengan ketentuan : a. tidak dilakukan alih fungsi lindung tetapi dapat digunakan untuk kepentingan lain selama masih menunjang fungsi lindung; b. tetap dilakukan upaya konservasi pada kawasan lindung yang berupa bangunan, dan dapat dilakukan nilai tambah; c. kawasan yang telah ditetapkan sebagai bagian dari RTH di kawasan perkotaan harus tetap dilindungi sesuai dengan fungsi RTH masingmasing, dan tidak boleh dilakukan alih fungsi; dan d. kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan terbuka hijau tetapi bukan sebagai bagian dari RTH di kawasan perkotaan boleh dilakukan alih fungsi untuk kawasan terbangun dengan catatan komposisi atau perbandingan antara kawasan terbangun dan RTH tidak berubah sesuai RDTR kawasan perkotaan masing-masing. (4) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan budidaya sebagaimana dimaksud dalam pasal 45 ayat (1) huruf c harus mengupayakan untuk: a. mengefisienkan perubahan fungsi ruang untuk kawasan terbangun melalui arahan bangunan vertikal sesuai kondisi masing-masing
48
b. c. d. e.
f. g. h. i. j.
ibukota kecamatan dengan tetap menjaga harmonisasi intensitas ruang yang ada; pada setiap kawasan terbangun yang digunakan untuk kepentingan publik juga harus menyediakan ruang untuk pejalan kaki dengan tidak mengganggu fungsi jalan; pada setiap kawasan terbangun untuk berbagai fungsi terutama permukiman padat harus menyediakan ruang evakuasi bencana sesuai dengan kemungkinan timbulnya bencana yang dapat muncul; perubahan atau penambahan fungsi ruang tertentu boleh dilakukan sepanjang saling menunjang atau setidaknya tidak menimbulkan efek negatif bagi zona yang telah ditetapkan; tidak boleh melakukan kegiatan pembangunan diluar area yang telah ditetapkan sebagai bagian dari ruang milik jalan atau ruang pengawasan jalan, termasuk melebihi ketinggian bangunan seperti yang telah ditetapkan, kecuali diikuti ketentuan khusus sesuai dengan kaidah design kawasan, seperti diikuti pemunduran bangunan, atau melakukan kompensasi tertentu yang disepakati; pada setiap lingkungan permukiman yang dikembangkan harus disediakan sarana dan prasarana lingkungan yang memadai sesuai kebutuhan masing-masing; pada setiap pusat-pusat kegiatan masyarakat harus dialokasikan kawasan khusus pengembangan sektor informal; pada lahan pertanian yang telah ditetapkan sebagai lahan pangan abadi di kawasan perkotaan harus tetap dilindungi dan tidak dilakukan alih fungsi; pada lahan yang telah ditetapkan sebagai bagian dari lahan abadi pangan di kawasan perkotaan tidak boleh dilakukan alih fungsi lahan; dan pada kawasan yang telah ditetapkan batas ketinggian untuk alat komunikasi dan jaringan pengaman SUTT dan SUTET tidak boleh melakukan kegiatan pembangunan dalam radius keamanan dimaksud. Pasal 46
Ketentuan umum peraturan zonasi pada sistem perdesaan daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (2) huruf b meliputi: a. pengaturan pada rencana kawasan terbangun di perdesaan dapat dilakukan penambahan fungsi yang masih saling bersesuaian, tetapi harus ditetapkan besaran dan/atau luasan ruang setiap zona dan fungsi utama zona tersebut; b. pengaturan pada kawasan tidak terbangun atau ruang terbuka untuk pertanian yang produktif harus dilakukan pengamanan khususnya untuk tidak dialihfungsikan menjadi non pertanian; c. mengefisienkan ruang yang berfungsi untuk pertanian dan perubahan fungsi ruang untuk kawasan terbangun hanya dilakukan secara infitratif pada permukiman yang ada dan harus menggunakan lahan yang kurang produktif; d. pengembangan permukiman perdesaan harus menyediakan sarana dan prasarana lingkungan permukiman yang memadai sesuai kebutuhan masing-masing; e. pada lahan pertanian yang telah ditetapkan sebagai lahan pangan abadi di kawasan perdesaan harus tetap dilindungi dan tidak dilakukan alih fungsi; f. kawasan yang telah ditetapkan sebagai bagian dari RTH di kawasan perdesaan harus tetap dilindungi sesuai dengan fungsi RTH masingmasing, dan tidak boleh dilakukan alih fungsi; 49
pada kawasan lindung yang ada di perdesaan diarahkan untuk tidak dilakukan alih fungsi lindung tetapi dapat ditambahkan kegiatan lain selama masih menunjang fungsi lindung; h. pada kawasan lindung berupa bangunan, harus tetap dilakukan upaya konservasi baik berupa situs, bangunan bekas peninggalan belanda, bangunan/monumen perjuangan rakyat, dan sebagainya; i. perubahan atau penambahan fungsi ruang tertentu pada kawasan terbangun di perdesaan boleh dilakukan sepanjang saling menunjang atau setidaknya tidak menimbulkan efek negatif bagi zona yang telah ditetapkan; j. dalam pengaturan zona tidak boleh dilakukan perubahan secara keseluruhan fungsi dasarnya, sesuai RDTR kawasan perdesaan masingmasing; k. penambahan fungsi tertentu pada suatu zona tidak boleh dilakukan untuk fungsi yang bertentangan; l. pada kawasan terbangun di perdesaan yang lokasinya terpencar dalam jumlah kecil tidak boleh melakukan kegiatan pembangunan dengan intensitas tinggi yang tidak serasi dengan kawasan sekitarnya; m. pada lahan yang telah ditetapkan sebagai ruang terbuka hijau produktif di perdesaan tidak boleh dilakukan alih fungsi lahan; n. pada lahan yang telah ditetapkan sebagai bagian dari lahan pangan abadi di kawasan perdesaan tidak boleh dilakukan alih fungsi lahan; dan o. pada kawasan yang telah ditetapkan batas ketinggian untuk alat komunikasi dan jaringan pengaman SUTT dan SUTET tidak boleh melakukan kegiatan pembangunan dalam radius keamanan dimaksud g. Pasal 47 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi pada sistem jaringan transportasi daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (2) huruf c, meliputi: a. Ketentuan umum peraturan zonasi untuk jaringan jalan bebas hambatan; b. ketentuan umum peraturan zonasi untuk jaringan jalan arteri primer / kolektor primer/ lokal primer; dan c. ketentuan umum peraturan zonasi untuk jaringan jalur kereta api. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk jaringan jalan bebas hambatan dengan memperhatinkan: a. jalan tol harus mempunyai spesifikasi dan pelayanan yang lebih tinggi daripada jalan umum yang ada; b. dalam keadaan tertentu, jalan tol dapat tidak merupakan lintas alternatif; c. jalan tol melayani pergerakan yang tidak boleh terputus (menerus); d. jalan tol sebaiknya dilengkapi/disediakan tempat istirahat menurut pedoman perencanaan tempat istirahat yang ada; e. jalan tol didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60 (enam puluh) kilometer per jam (km/jam) untuk di dalam kota dan kecepatan paling rendah 80 (delapan puluh) km/jam untuk pergerakan di luar kota; f. jumlah jalan masuk atau penghubung dibatasi secara efisien; g. harus mempunyai perlengkapan jalan yang cukup seperti rambu, marka, lampu pengatur lalu lintas, lampu penerangan jalan, dan lainlain; dan
50
h. jalan tol minimal mempunyai 4 lajur atau lebih dan dilengkapi dengan median. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk jaringan jalan arteri primer disusun dengan memperhatikan: a. jalan arteri primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 60 (enam puluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 11 (sebelas) meter. b. jalan arteri primer mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas ratarata. c. pada jalan arteri primer lalu lintas jarak jauh tidak boleh terganggu oleh lalu lintas ulang alik, lalu lintas lokal, dan kegiatan lokal. d. jumlah jalan masuk ke jalan arteri primer dibatasi sedemikian rupa sehingga ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) harus tetap terpenuhi. e. lebar ruang pengawasan jalan arteri primer minimal 15 (lima belas) meter. f. persimpangan sebidang pada jalan arteri primer dengan pengaturan tertentu harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). g. jalan arteri primer yang memasuki kawasan perkotaan dan/atau kawasan: 1) pengembangan perkotaan tidak boleh terputus. 2) ketentuan pelarangan alih fungsi lahan yang berfungsi lindung di sepanjang sisi jalan nasional; dan 3) penetapan garis sempadan bagunan di sisi jalan nasional/provinsi/kabupaten yang memenuhi ketentuan ruang pengawasan jalan. (4) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk jaringan jalan kolektor primer disusun dengan memperhatikan: a. jalan kolektor primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 40 (empat puluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 9 (sembilan) meter. b. jalan kolektor primer mempunyai kapasitas yang lebih besar dari volume lalu lintas rata-rata. c. jumlah jalan masuk dibatasi dan direncanakan sehingga ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) masih tetap terpenuhi. d. persimpangan sebidang pada jalan kolektor primer dengan pengaturan tertentu harus tetap memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). e. jalan kolektor primer yang memasuki kawasan perkotaan dan/atau kawasan pengembangan perkotaan tidak boleh terputus. f. lebar ruang pengawasan jalan kolektor primer minimal 10 (sepuluh) meter. (5) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk jaringan jalan lokal primer disusun dengan memperhatikan: a. jalan lokal primer didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 (dua puluh) kilometer per jam dengan lebar badan jalan paling sedikit 7,5 (tujuh koma lima) meter. b. jalan lokal primer yang memasuki kawasan perdesaan tidak boleh terputus. c. lebar ruang pengawasan jalan lokal primer minimal 7 (tujuh) meter.
51
(6) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk jaringan jalur kereta api disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang di sepanjang sisi jaringan jalur kereta api dilakukan dengan tingkat intensitas menengah hingga tinggi yang kecenderungan pengembangan ruangnya dibatasi; b. ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang pengawasan jalur kereta api yang dapat mengganggu kepentingan operasi dan keselamatan transportasi perkeretaapian; c. pembatasan pemanfaatan ruang yang peka terhadap dampak lingkungan akibat lalu lintas kereta api di sepanjang jalur kereta api; d. pembatasan jumlah perlintasan sebidang antara jaringan jalur kereta api dan jalan; dan e. penetapan garis sempadan bangunan di sisi jaringan jalur kereta api dengan memperhatikan dampak lingkungan dan kebutuhan pengembangan jaringan jalur kereta api. Pasal 48 Ketentuan umum peraturan zonasi pada sistem jaringan energi daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (2) huruf d dengan ketentuan : a. b. keberadaan pembangkit listrik disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang di sekitar pembangkit listrik dengan memperhatikan jarak aman dari kegiatan lain; ketentuan zonasi untuk jaringan transmisi tenaga listrik disusun dengan memperhatikan ketentuan pelanggaran pemanfaatan ruang bebas di sepanjang jalur transmisi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; membatasi kegiatan pengembangan jaringan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) di Kecamatan Babelan yang menghubungkan ke jaringan SUTET yang sudah terpasang dan pengembangan jaringan SUTET dari Kecamatan Cikarang Pusat ke Kabupaten Karawang; menetapkan areal konservasi di sekitar lokasi SUTT dan SUTET yaitu sekitar 20 meter pada setiap sisi tiang listrik untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan bagi masyarakat; menetapkan sempadan SUTT 66 Kv tanah datar dan sempadan SUTT 150 Kv tanah datar; di bawah jaringan tegangan tinggi tidak boleh ada fungsi bangunan yang langsung digunakan masyarakat; dalam kondisi di bawah jaringan tinggi terdapat bangunan maka harus disediakan jaringan pengamanan; dan SPPBE tidak diletakkan di kawasan permukiman dan disesuaikan dengan peraturan perundangan yang berlaku. Pasal 49 Ketentuan umum peraturan zonasi pada sistem jaringan sumber daya air daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (2) huruf e disusun dengan ketentuan : a. b. c. pemanfaatan ruang pada kawasan di sekitar wilayah sungai dengan tetap menjaga kelestarian lingkungan dan fungsi lindung kawasan; ketentuan pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang dimaksud untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air; pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi taman rekreasi; 52
c.
d. e. f. g. h.
d. e.
penetapan lebar sempadan sungai sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan pemanfaatan ruang di sekitar wilayah sungai lintas provinsi secara selaras dengan pemanfaatan ruang pada wilayah sungai di negara /provinsi yang berbatasan. Pasal 50
Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sistem jaringan telekomunikasi daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (2) huruf f, disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk penempatan menara pemancar telekomunikasi yang memperhitungkan aspek keamanan dan keselamatan aktifitas kawasan disekitarnya. Pasal 51 Ketentuan umum peraturan zonasi pada sistem prasarana lingkungan daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (2) huruf g disusun dengan memperhatikan: a. arahan pengembangan sistem prasarana lingkungan yang digunakan lintas wilayah secara administratif dengan kerjasama antar wilayah dalam hal pengelolaan dan penanggulangan masalah sampah terutama di wilayah perkotaan; b. pemberdayaan masyarakat untuk pengelolaan sampah 3R komunal; c. penanganan persampahan selain menggunakan 3R juga dengan pengembangan sistem komposting; d. pemilihan lokasi untuk prasarana lingkungan harus sesuai dengan daya dukung lingkungan. e. pengalokasian TPPAS sesuai dengan persyaratan teknis; f. pengolahan dilaksanakan dengan teknologi ramah lingkungan sesuai dengan kaidah teknis dan dengan konsep 3R; g. pemilihan lokasi untuk prasarana lingkungan harus sesuai dengan daya dukung lingkungan; dan h. penyediaan ruang untuk TPS dan atau TPA terpadu. i. kerjasama antar wilayah dalam hal pengelolaan dan penanggulangan masalah sampah terutama di wilayah perkotaan; j. penerapan pengelolaan Iimbah B3 terbentuk yang didasarkan atas konsep cradle-to grave dan mendorong industri penghasil limbah untuk mengolah, mendaur ulang serta menimbun Iimbahnya dekat dengan pabrik, dan menerapkan teknik pengelolaan Iimbah berbahaya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku; k. memberi kemudahan kredit pembelian alat pengolahan limbah bagi industri kecil, atau mengurangi pajak import alat pengolah Iimbah; dan l. peningkatan kemampuan institusional dalam memberi fungsi bagi pencemar, pemberlakuan secara ketat tentang baku mutu Iingkungan. Pasal 52 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan lindung daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (2) huruf h, meliputi: a. kawasan resapan air; b. kawasan sempadan pantai dan pantai berhutan bakau; c. kawasan sempadan sungai dan kawasan sekitar situ; d. kawasan sempadan irigasi; e. kawasan hutan lindung; f. kawasan suaka alam dan pelestarian alam g. kawasan rawan tanah longsor; 53
h. kawasan rawan banjir; i. kawasan rawan abrasi pantai ; dan j. ruang terbuka hijau kota. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan resapan air sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a, disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang secara terbatas untuk kegiatan budi daya tidak terbangun yang memiliki kemampuan tinggi dalam menahan limpasan air hujan; b. penyediaan sumur resapan dan/atau waduk pada lahan terbangun yang sudah ada; c. penerapan prinsip zero delta Q policy terhadap setiap kegiatan budi daya terbangun yang diajukan izinnya. d. peningkatan fungsi lindung pada area yang telah mengalami alih fungsi melalui pengembangan vegetasi tegakan tinggi yang mampu memberikan perlindungan terhadap permukaan tanah dan mampu meresapkan air ke dalam tanah; e. percepatan rehabilitasi lahan yang mengalami kerusakan; f. mengoptimalkan fungsi lahan melalui pengembangan hutan; g. meningkatkan kegiatan pariwisata alam; dan h. pengolahan tanah secara sipil teknis sehingga kawasan ini memberikan kemampuan peresapan air yang lebih tinggi. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sempadan pantai dan pantai berhutan bakau sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b, disusun dengan memperhatikan: a. sosialisasi rencana pengelolaan kawasan sempadan pantai kepada seluruh masyarakat yang bermukim di sekitar pantai dan kepada seluruh stakeholders pembangunan terkait; b. melarang kegiatan budidaya yang dapat mengganggu kelestarian fungsi pantai, merusak kualitas air, kondisi fisik dan dasar pantai; c. mengembangkan terumbu karang buatan untuk meningkatkan fungsi ekologis pesisir; d. pada kawasan sempadan yang memiliki fungsi sebagai kawasan budidaya seperti: permukiman perkotaan dan perdesaan, pariwisata, pelabuhan, pertahanan dan keamanan, serta kawasan lainnya, pengembangannya harus sesuai dengan peruntukan lahan yang telah ditentukan dalam rencana tata ruang kawasan pesisir; e. memantapkan kawasan lindung di daratan untuk menunjang kelestarian kawasan lindung pantai; f. bangunan yang boleh ada di sempadan pantai antara lain dermaga, tower penjaga keselamatan pengunjung pantai; g. pemanfaatan ruang untuk kegiatan yang mampu melindungi atau memperkuat perlindungan sempadan pantai dari abrasi dan ilfitrasi air laut kedalam tanah; h. pemanfaatan ruang untuk kegiatan sarana dan prasarana yang mendukung transportasi laut; i. menjadikan kawasan lindung sepanjang pantai yang memiliki nilai ekologis sebagai obyek wisata dan penelitian; j. pengembalian fungsi lindung pantai yang mengalami kerusakan; k. inventarisasi dan evaluasi potensi, lokasi dan penyebaran ekosistem mangrove; l. penunjukkan, penatabatasan dan pengukuhan ekosistem mangrove sesuai dengan fungsi dan tata ruangnya; m. rehabilitasi ekosistem mangrove yang mengalami degradasi;
54
n. perlindungan ekosistem mangrove dari perusakan, gangguan, ancaman, hama dan penyakit; o. pengembangan kawasan panati berhutan bakau harus disertai dengan pengendalian pemanfaatan ruang; dan p. koefisien dasar kegiatan budidaya terhadap luas hutan bakau maksimum 30 % (tiga puluh persen). (4) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk sempadan sungai dan kawasan sekitar situ sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf c disusun dengan memperhatikan: a. mempertahankan sempadan sungai sehingga terhindar dari erosi dan kerusakan kualitas air sungai; b. pencegahan dilakukan kegiatan budidaya di sepanjang sungai yang dapat mengganggu atau merusak kualitas air sungai; c. pengendalian terhadap kegiatan yang telah ada di sepanjang sungai agar tidak berkembang lebih jauh; d. melarang pembuangan limbah industri ke sungai; e. pemanfaatan ruang untuk ruang terbuka hijau; f. ketentuan pelarangan pendirian bangunan kecuali bangunan yang dimaksudkan untuk pengelolaan badan air dan/atau pemanfaatan air; g. perlindungan sekitar waduk/danau untuk kegiatan yang menyebabkan alih fungsi lindung dan menyebabkan kerusakan kualitas sumber air; h. pelestarian waduk beserta seluruh tangkapan air di atasnya; i. waduk yang digunakan untuk pariwisata diijinkan membangun selama tidak mengurangi kualitas tata air yang ada; j. pengembangan tanaman perdu, tanaman tegakan tinggi, dan penutup tanah untuk melindungi pencemaran dan erosi terhadap air; k. membatasi dan tidak boleh menggunakan lahan secara langsung untuk bangunan yang tidak berhubungan dengan konservasi waduk; l. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang fungsi taman rekreasi; dan m.penetapan lebar sempadan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (5) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan sempadan irigasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf d disusun dengan memperhatikan: a. perlindungan sekitar saluran irigasi atau sebagai sempadan saluran irigasi dilarang mengadakan alih fungsi lindung yang menyebabkan kerusakan kualitas air irigasi; b. bangunan sepanjang sempadan irigasi yang tidak memiliki kaitan dengan pelestarian atau pengelolaan irigasi dilarang untuk didirikan; c. saluran irigasi yang melintasi kawasan permukiman ataupun kawasan perdesaan dan perkotaan yang tidak langsung mengairi sawah maka keberadaannya dilestarikan dan dilarang untuk digunakan sebagai fungsi drainase; d. melestarikan kawasan sumber air untuk melestarikan debit irigasi; e. perlindungan sekitar mata air untuk kegiatan yang menyebabkan alih fungsi lindung dan menyebabkan kerusakan kualitas sumber air; dan f. pembuatan sistem saluran bila sumber dimanfaatkan untuk air minum atau irigasi.
55
(6) Ketentuan umum peraturan zonasi kawasan hutan lindung kabupaten sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf e disusun dengan ketentuan: a. pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa merubah bentang alam; b. pelarangan seluruh kegiatan yang berpotensi mengurangi luas kawasan hutan dan tutupan vegetasi; c. peningkatan fungsi lindung pada area yang telah mengalami alih fungsi melalui pengembangan vegetasi hutan yang mampu memberikan perlindungan terhadap permukaan tanah dan mampu meresapkan air; d. pengawasan dan pemantauan untuk pelestarian kawasan konservasi dan hutan lindung; e. penetapan larangan untuk melakukan berbagai usaha dan/atau kegiatan kecuali berbagai usaha dan/atau kegiatan penunjang kawasan lindung yang tidak mengganggu fungsi alam dan tidak mengubah bentang alam serta ekosistem alam; f. pengaturan berbagai usaha dan/atau kegiatan yang tetap dapat mempertahankan fungsi lindung; g. pencegahan berkembangnya berbagai usaha dan/atau kegiatan yang mengganggu fungsi lindung; h. penerapan ketentuan yang berlaku tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi berbagai usaha dan/atau kegiatan yang sudah ada di kawasan lindung yang mempunyai dampak besar dan penting bagi lingkungan hidup; i. pengembangan kerjasama antar wilayah dalam pengelolaan kawasan lindung; j. percepatan rehabilitasi hutan/reboisasi hutan lindung dengan tanaman yang sesuai dengan fungsi lindung; dan k. penerapan ketentuan-ketentuan untuk mengembalikan fungsi lindung kawasan yang telah terganggu fungsi lindungnya secara bertahap dan berkelanjutan sehingga dapat mempertahankan keberadaan hutan lindung untuk kepentingan hidrologis. (7) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan suaka alam dan pelestarian alam sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf f disusun dengan memperhatikan: a. pengendalian pemanfaatan ruang untuk wisata alam tanpa mengubah bentang alam; b. pelestarian flora, fauna dan ekosistem unik kawasan; c. pembatasan pemanfaatan sumberdaya alam; dan d. ketentuan pelarangan kegiatan yang dapat mengganggu fungsi kawasan dalam melindungi plasma/genetik e. ketentuan pelarangan penangkapan satwa yang dilindungi peraturan perundangan; dan f. pembatasan kegiatan pemanfaatan sumber daya kelautan untuk mempertahankan makanan bagi biota yang bermigrasi. (8) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan rawan longsor sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf g disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan ancaman bencana; b. mengembalikan fungsi lindung pada hutan lindung melalui sistem vegetatif dengan memperhatikan kaidah konservatif; c. pengendalian pemanfaatan ruang zona berpotensi longsor dilakukan dengan mencermati konsistensi kesesuaian antara pemanfaatan
56
d. e.
f.
g.
ruang dengan rencana tata ruang wilayah dan/atau rencana tata ruang kawasan strategis atau rencana detail tata ruang; dalam pemanfaatan ruang zona berpotensi longsor harus memperhitungkan tingkat kerawanan/tingkat risiko terjadinya longsor dan daya dukung lahan/tanah; tidak diizinkan atau dihentikan kegiatan yang mengganggu fungsi lindung kawasan rawan bencana longsor dengan tingkat kerawanan/ tingkat risiko tinggi; terhadap kawasan demikian mutlak dilindungi dan dipertahankan bahkan ditingkatkan fungsi lindungnya; kawasan yang tidak terganggu fungsi lindungnya dapat diperuntukkan bagi kegiatan-kegiatan pemanfaatan ruang dengan persyaratan yang ketat penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk; dan pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana dan kepentingan umum.
(9) Untuk kawasan rawan banjir ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf h disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang dengan mempertimbangkan karakteristik, jenis, dan ancaman bencana; b. melestarikan kawasan lindung dan kawasan hulu sungai; c. pembuatan sumur resapan di kawasan perkotaan perkotaan dan perdesaan, kawasan pertanian yang dilengkapi dengan embung, bendung maupun cek dam, pembuatan bendungan baru; d. membuat saluran pembuangan yang terkoneksi dengan baik pada jaringan primer, sekunder maupun tersier, serta tidak menyatukan fungsi irigasi untuk drainase; e. penentuan lokasi dan jalur evakuasi dari permukiman penduduk; f. pembatasan pendirian bangunan kecuali untuk kepentingan pemantauan ancaman bencana dan kepentingan umum; g. penetapan batas dataran banjir; h. pemanfaatan dataran banjir bagi ruang terbuka hijau dan pembangunan fasilitas umum dengan kepadatan rendah; dan i. ketentuan pelarangan pemanfaatan ruang bagi kegiatan permukiman dan fasilitas umum penting lainnya. (10) Untuk kawasan rawan abrasi pantai, ketentuan umum peraturan zonasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf i disusun dengan memperhatikan: a. pendekatan rekayasa struktur dengan cara sistem polder, bangunan pemecah gelombang, penurapan; dan b. pendekatan rekayasa non struktur dengan cara merehabilitasi hutan mangrove di daerah pesisir. (11) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk RTH kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf j disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan rekreasi; b. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk bangunan; c. penunjang kegiatan rekreasi dan fasilitas umum lainnya; dan d. pelarangan pendirian bangunan permanen selain yang dimaksud diatas.
57
Pasal 53 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan budidaya daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (2) huruf i, meliputi: a. kawasan hutan produksi; b. kawasan peruntukan pertanian; c. kawasan peruntukan perikanan; d. kawasan peruntukan pertambangan; e. kawasan peruntukan industri; f. kawasan peruntukan pariwisata; g. kawasan peruntukan permukiman; h. kawasan peruntukan pesisir dan laut; dan i. kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan. (2) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan yang dipertahankan sebagai hutan produksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 ayat (1) huruf a disusun dengan memperhatikan: a. beberapa hutan produksi yang ada ternyata menunjukkan adanya tingkat kerapatan tegakan tanaman yang rendah sehingga harus dilakukan percepatan reboisasi; b. pengolahan hasil hutan sehingga memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dan memberikan kesempatan kerja yang lebih banyak; c. pengelolaan kawasan hutan produksi dengan pengembangan kegiatan tumpang ari atau budidaya sejenis dengan tidak mengganggu tanaman pokok; d. pemantauan dan pengendalian kegiatan pengusahaan hutan serta gangguan keamanan hutan lainnya; e. pengembangan dan diversifikasi penanaman jenis hutan sehingga memungkinkan untuk diambil hasil non kayu, seperti buah dan getah; f. peningkatan fungsi ekologis melalui pengembangan sistem tebang pilih, tebang gilir dan rotasi tanaman yang mendukung keseimbangan alam; g. mengarahkan kawasan hutan produksi yang ada di kawasan perkotaan untuk membentuk hutan kota.pembatasan pemanfaatan hasil hutan untuk menjaga kestabilan neraca sumber daya kehutanan; h. pendirian bangunan dibatasi hanya untuk menunjang kegiatan pemanfaatan hasil hutan dan upaya pengendalian permukiman penduduk; i. upaya pelestarian kawasan lindung, pengolahan hasil hutan secara terbatas melalui hak penguasaan hutan kemasyarakatan; j. peningkatan pembinaan masyarakat desa hutan oleh pemerintah daerah; dan k. usaha peningkatan kualitas hutan dan lingkungan dengan pengembangan obyek wisata alam yang berbasis pada pemanfaatan hutan. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pertanian sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 ayat (1) huruf b, disusun dengan memperhatikan: a. Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) harus dipertahankan luasannya; b. kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan pertanian diarahkan untuk meningkatkan produktifitas tanaman pangan; c. perubahan fungsi sawah hanya diijinkan pada kawasan perkotaan dengan perubahan maksimum 50 (lima puluh) persen dan sebelum 58
dilakukan perubahan atau alih fungsi harus sudah dilakukan peningkatan fungsi irigasi setengah teknis atau sederhana menjadi teknis dua kali luas sawah yang akan dialihfungsikan dalam pelayanan daerah irigasi yang sama; d. pada kawasan perdesaan alih fungsi sawah diijinkan hanya pada sepanjang jalan utama (arteri, kolektor, lokal primer), dengan besaran perubahan maksimum 20 (dua puluh persen) dari luasan sawah yang ada, dan harus dilakukan peningkatan irigasi setengah teknis atau sederhana menjadi irigasi teknis, setidaknya dua kali luasan area yang akan diubah dalam pelayanan daerah irigasi yang sama; e. pada sawah beririgasi teknis yang telah ditetapkan sebagai lahan pertanian tanaman pangan berkelanjutan maka tidak boleh dilakukan alih fungsi; f. sawah beririgasi sederhana dan setengah teknis secara bertahap dilakukan peningkatan menjadi sawah beririgasi teknis; g. kawasan pertanian tegalan, kebun campur dan sawah tadah hujan secara spesifik dikembangkan dengan memberikan tanaman tahunan yang produktif yang diperuntukkan untuk menunjang kehidupan secara langsung untuk rumah tangga masyarakat sehingga memiliki penggunaan lahan campuran seperti palawija, hortikultura maupun penunjang perkebunan dalam skala kecil; h. dalam beberapa hal, tegalan, kebun campur dan sawah tadah hujan merupakan kawasan yang boleh dialihfungsikan untuk kawasan terbangun dengan berbagai fungsi, sejauh sesuai dengan rencana detail tata ruang; i. alih fungsi lahan tegalan menjadi kawasan terbangun diarahkan meningkatkan nilai ekonomi ruang ataupun pemenuhan kebutuhan fasilitas dan berbagai sarana masyarakat; j. pemanfaatan ruang untuk permukiman petani dengan kepadatan rendah; k. ketentuan pelarangan alih fungsi lahan menjadi lahan budi daya non pertanian kecuali untuk pembangunan sistem jaringan prasarana utama; l. kawasan hortikultura sebagai penunjang komoditas unggulan di daerah dilakukan dengan memperhatikan besaran suplai dan permintaan pasar untuk menstabilkan harga produk; m. lebih mengutamakan komoditas yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan memiliki kemampuan pemasaran yang luas terutama ekspor; n. kawasan ini sebaiknya tidak diadakan alih fungsi lahan kecuali untuk kegiatan pertanian dengan catatan memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dan memiliki kemampuan penyerapan tenaga kerja yang lebih luas; o. kawasan hortikultura buah-buahan harus dikembangkan dengan memperhatikan nilai ekonomi yang tinggi dengan mengembalikan berbagai jenis komoditas yang menunjukan ciri khas daerah; p. pengembangan penyedia bibit, pengembangan wilayah bibit ternak sapi perah dan tersedianya hijauan makanan ternak (HMT); q. pengembangan pusat pengembangan pemasaran produk peternakan serta pengembangan sapi perah dan pasar agrobis sektor peternakan; dan r. pengembangan pembibitan ternak perdesaan (Village Breeding Centre).
59
(4) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan perikanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 ayat (1) huruf c disusun dengan memperhatikan: a. mengendalikan dan membatasi metode dan penggunaan alat tangkap dalam rangka mengendalikan pemanfaatan potensi perikanan tangkap; b. mendorong pemanfaatan potensi perikanan melalui peningkatan teknologi dan kemampuan armada perikanan; c. pengembangan Tempat Pengelolaan Ikan (TPI) di Kecamatan Muaragembong; d. pengadaan dan pengembangan koperasi nelayan di Kecamatan Muaragembong; e. pemberdayaan masyarakat sekitar dalam pengembangan dan pengelolaan perikanan; f. peningkatan sarana dan prasarana berupa Pelabuhan Perikanan Pantai; g. pemanfaatan teknologi informasi untuk perikanan; h. pemanfaatan ruang untuk permukiman petani dan/atau nelayan dengan kepadatan rendah; i. pemanfaatan ruang untuk kawasan pemijahan dan/atau kawasan sabuk hijau; dan j. pemanfaatan sumber daya perikanan agar tidak melebihi potensi lestari. (5) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pertambangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 ayat (1) huruf d disusun dengan memperhatikan: a. keseimbangan antara biaya dan manfaat serta keseimbangan antara resiko dan manfaat; b. pengembangan kawasan pertambangan dilakukan dengan mempertimbangkan potensi bahan galian, kondisi geologi dan geohidrologi dalam kaitannya dengan kelestarian lingkungan; c. pengelolaan kawasan bekas penambangan harus direhabilitasi sesuai dengan zona peruntukan yang ditetapkan, sehingga menjadi lahan yang dapat digunakan kembali sebagai kawasan hijau, ataupun kegiatan budidaya lainnya dengan tetap memperhatikan aspek kelestarian lingkungan hidup; d. setiap kegiatan usaha pertambangan harus menyimpan dan mengamankan tanah atas untuk keperluan rehabilitasi lahan bekas penambangan; e. pada kawasan yang teridentifikasi pertambangan minyak dan gas yang bernilai ekonomi tinggi, sementara pada bagian atas kawasan penambangan meliputi kawasan lindung atau kawasan budidaya sawah yang tidak boleh alih fungsi, atau kawasan permukiman, maka pengeboran eksplorasi dan/atau eksploitasi minyak dan gas bumi dapat dilaksanakan, namun harus disertai AMDAL,; f. menghindari dan meminimalisir kemungkinan timbulnya dampak negatif dari kegiatan sebelum, saat dan setelah kegiatan penambangan, sekaligus disertai pengendalian yang ketat; g.pemanfaatan lahan bekas tambang yang merupakan lahan marginal untuk pengembangan komoditas lahan dan memiliki nilai ekonomi seperti tanaman jarak pagar dan tanaman nilam.Pengaturan bangunan lain disekitar instalasi dan peralatan kegiatan pertambangan yang berpotensi menimbulkan bahaya dengan memperhatikan kepentingan daerah, h. kewajiban melakukan pengelolaan lingkungan selama dan setelah berakhirnya kegiatan penambangan; 60
i. kegiatan penambangan harus terlebih dahulu memiliki kajian studi Amdal yang dilengkapi dengan RPL dan RKL untuk yang berskala besar, atau UKL dan UPL untuk yang berskala kecil (tambang rakyat); j. tidak diperbolehkan menambang batuan di perbukitan yang di bawahnya terdapat mata air penting atau permukiman; k. tidak diperbolehkan menambang bongkah-bongkah batu dari dalam sungai yang terletak di bagian hulu dan di dekat jembatan; l. percampuran kegiatan penambangan dengan fungsi kawasan lain diperbolehkan sejauh mendukung atau tidak merubah fungsi utama kawasan; dan m. penambangan pasir atau sirtu di dalam badan sungai hanya diperbolehkan pada ruas-ruas tertentu yang dianggap tidak menimbulkan dampak negait terhadap lingkungan. (6) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan industri sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 ayat (1) huruf e disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk kegiatan industri baik yang sesuai dengan kemampuan penggunaan teknologi, potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia di wilayah sekitarnya; b. pembatasan pembangunan perumahan baru sekitar kawasan peruntukan industri. c. pengembangan kawasan sentra industri rumah tangga terutama pada kawasan perdesaan dan perkotaan; d. pengembangan fasilitas perekonomian berupa koperasi pada setiap pusat kegiatan perkotaan dan perdesaan; e. pengembangan ekonomi dan perdagangan dengan pengutamaan usaha kecil menengah (UKM); dan f. penetapan skenario ekonomi wilayah yang menunjukkan kemudahan dalam berinvestasi dan Penjelasan tentang kepastian hukum yang menunjang investasi. (7) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pariwisata sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 ayat (1) huruf f disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan potensi alam dan budaya masyarakat sesuai daya dukung dan daya tampung lingkungan; b. perlindungan terhadap situs peninggalan kebudayaan masa lampau; dan c. pembatasan pendirian bangunan hanya untuk menunjang kegiatan pariwisata. (8) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan permukiman sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 ayat (1) huruf g disusun dengan memperhatikan: a. penetapan amplop bangunan; b. penetapan tema arsitektur bangunan; c. kawasan permukiman perkotaan dan perdesaan harus dapat menjadikan sebagai tempat hunian yang aman, nyaman dan produktif, serta didukung oleh sarana dan prasarana permukiman; d. setiap kawasan permukiman dilengkapi dengan sarana dan prasarana permukiman sesuai hirarki dan tingkat pelayanan masingmasing; e. permukiman perkotaan diarahkan pada penyediaan hunian yang layak dan dilayani oleh sarana dan prasarana permukiman yang memadai; f. pengembangan permukiman perkotaan besar dan menengah, diarahkan pada penyediaan kasiba dan lisiba berdiri sendiri, 61
perbaikan kualitas permukiman dan pengembangan perumahan secara vertikal; g.pengembangan permukiman perkotaan kecil dilakukan melalui pembentukan pusat pelayanan kecamatan; h. permukiman perdesaan sebagai hunian berbasis agraris, dikembangkan dengan memanfaatkan lahan pertanian, halaman rumah, dan lahan kurang produktif sebagai basis kegiatan usaha; i. permukiman perdesaan yang berlokasi di pegunungan dikembangkan dengan berbasis perkebunan dan hortikultura, disertai pengolahan hasil, permukiman perdesaan yang berlokasi di dataran rendah, basis pengembangannya meliputi pertanian tanaman pangan dan perikanan darat, serta pengolahan hasil pertanian; j. membentuk klaster-klaster permukiman untuk menghindari penumpukan dan penyatuan antar kawasan permukiman, dan diantara klaster permukiman disediakan ruang terbuka hijau (RTH); k. pengembangan permukiman kawasan khusus seperti penyediaan tempat peristirahatan pada kawasan pariwisata, kawasan permukiman baru sebagai akibat perkembangan infrastruktur, kegiatan sentra ekonomi, sekitar kawasan industri, dilakukan dengan tetap memegang kaidah lingkungan hidup dan sesuai dengan rencana tata ruang; l. penetapan kelengkapan bangunan dan lingkungan; dan m. penetapan jenis dan syarat penggunaan bangunan yang diizinkan. (9) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pesisir dan laut sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 ayat (1) huruf h disusun dengan memperhatikan: a. pemanfaatan ruang untuk permukiman nelayan dengan kepadatan rendah; b. pemanfaatan ruang untuk pengembangan energi; c. pembatasan kawasan budidaya tambak dengan atau tanpa unit pengolahannya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; d. ketentuan memenuhi syarat pengelolaan lingkungan, memperhatikan kemampuan sistem tata air setempat serta menggunakan teknologi yang ramah lingkungan untuk kegiatan selain kegiatan konservasi, pendidikan, dan pelatihan; e. ketentuan peningkatkan kualitas lingkungan permukiman serta prasarana dan sarana dasar lingkungan permukiman di kawasan pesisir, serta penurunan luasan kawasan kumuh; f. ketentuan penyediaan infrastruktur pendukung bagi bisnis kelautan dan wisata bahari; dan g. ketentuan pengaturan dan penataan kawasan bisnis kelautan dan wisata bahari. (10) Ketentuan umum peraturan zonasi untuk kawasan peruntukan pertahanan dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 53 ayat (1) huruf i disusun dengan memperhatikan: a. penetapan zona penyangga yang memisahkan kawasan pertahanan keamanan dengan kawasan budidaya terbangun; dan b. penetapan kegiatan budidaya secara selektif di dalam dan di sekitar kawasan untuk menjaga fungsi pertahanan keamanan.
62
Pasal 54 (1) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan strategis daerah sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (2) huruf k meliputi: a. kawasan penunjang ekonomi; b. kawasan sosio-kultural; c. kawasan yang memiliki fungsi lingkungan; dan d. kawasan strategis teknologi tinggi. (2) Arahan ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan penunjang ekonomi sebagaimana dimaksud dalam pasal 54 ayat (1) huruf a meliputi sebagai berikut: a. kawasan penunjang ekonomi dalam skala besar umumnya berupa kawasan perkotaan, harus ditunjang sarana dan prasarana yang memadai sehingga menimbulkan minat investasi yang besar; b. pada setiap bagian dari kawasan strategis ekonomi ini harus diupayakan untuk mengefisienkan perubahan fungsi ruang untuk kawasan terbangun melalui arahan bangunan vertikal sesuai kondisi kawasan masing-masing; c. pada kawasan strategis secara ekonomi ini harus dialokasikan ruang atau zona secara khusus untuk industri, perdagangan jasa dan jasa wisata perkotaan; d. pada zona dimaksud harus dilengkapi dengan ruang terbuka hijau untuk memberikan kesegaran ditengah kegiatan yang intensitasnya tinggi serta zona tersebut harus tetap dipertahankan; e. pada kawasan strategis ekonomi ini boleh diadakan perubahan ruang pada zona yang bukan zona inti tetapi harus tetap mendukung fungsi utama kawasan sebagai penggerak ekonomi dan boleh dilakukan tanpa merubah fungsi zona utama yang telah ditetapkan; f. perubahan atau penambahan fungsi ruang tertentu pada ruang terbuka di kawasan ini boleh dilakukan sepanjang masih dalam batas ambang penyediaan ruang terbuka (tetapi tidak boleh untuk RTH kawasan perkotaan); g. dalam pengaturan kawasan strategis ekonomi ini zona yang dinilai penting tidak boleh dilakukan perubahan fungsi dasarnya; h. pada kawasan yang telah ditetapkan sebagai permukiman bila didekatnya akan diubah menjadi fungsi lain yang kemungkinan akan mengganggu permukiman harus disediakan fungsi penyangga sehingga fungsi zona tidak boleh bertentangan secara langsung pada zona yang berdekatan; dan i. untuk menjaga kenyamanan dan keamanan pergerakan maka pada kawasan terbangun tidak boleh melakukan kegiatan pembangunan diluar area yang telah ditetapkan sebagai bagian dari rumija atau ruwasja, termasuk melebihi ketinggian bangunan seperti yang telah ditetapkan. (3) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan sosio-kultural sebagaimana dimaksud dalam pasal 54 ayat (1) huruf b disusun dengan memperhatikan : a. kawasan sosio-kultural meliputi kawasan peninggalan sejarah; b. bila sekitar kawasan ini sudah terdapat bangunan misalnya perumahan harus dibatasi pengembanganya; c. untuk kepentingan pariwisata boleh ditambahkan fungsi penunjang atau atraksi wisata yang saling menunjang tanpa menghilangkan identitas dan karakter kawasan;
63
d. pada zona ini tidak boleh dilakukan perubahan dalam bentuk peningkatan kegiatan atau perubahan ruang disekitarnya yang dimungkinkan dapat mengganggu fungsi dasarnya; dan e. penambahan fungsi tertentu pada suatu zona ini tidak boleh dilakukan untuk fungsi yang bertentangan, misalnya perdagangan dan jasa yang tidak terkait museum dan pariwisata; (4) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan yang memiliki fungsi lingkungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 54 ayat (1) huruf c disusun dengan ketentuan : a. pada kawasan ini yang termasuk dalam katagori zona inti harus dilindungi dan tidak dilakukan perubahan yang dapat mengganggu fungsi lindung; b. pada kawasan yang telah ditetapkan memiliki fungsi lingkungan dan terdapat kerusakan baik pada zona inti maupun zona penunjang harus dilakukan pengembalian ke rona awal sehingga kehidupan satwa langka dan dilindungi dapat lestari; c. untuk menunjang kelestarian dan mencegah kerusakan dalam jangka panjang harus melakukan percepatan rehabilitasi lahan; d. pada zona-zona ini boleh melakukan kegiatan pariwisata alam sekaligus menanamkan gerakan cinta alam; e. pada kawasan yang didalamnya terdapat zona terkait kemampuan tanahnya untuk peresapan air maka boleh dan disarankan untuk pembuatan sumur-sumur resapan; f. pada kawasan hutan lindung yang memiliki nilai ekonomi tinggi atau fungsi produksi tertentu boleh dimanfaatkan buah atau getahnya tetapi tidak boleh mengambil kayu yang mengakibatkan kerusakan fungsi lindung; g. pada zona ini tidak boleh melakukan alih fungsi lahan yang mengganggu fungsi lindung apalagi bila didalamnya terdapat kehidupan berbagai satwa maupun tanaman langka yang dilindungi; dan h. pada zona inti maupun penunjang bila terlanjur untuk kegiatan budidaya khususnya permukiman dan budidaya tanaman semusim, tidak boleh dikembangkan lebih lanjut atau dibatasi dan secara bertahap dialihfungsikan kembali ke zona lindung. (5) Ketentuan umum peraturan zonasi pada kawasan yang memiliki fungsi teknologi sebagaimana dimaksud dalam pasal 54 ayat (1) huruf d disusun dengan memperhatikan : a. pada zona ini harus dilengkapi dengan RTH yang digunakan sebagai buffer zone industri dengan kawasan lainnya; b. pengembangan kawasan industri dibagi atas zonasi yang jelas antara permukiman dan kawasan industri; dan c. penerapan teknologi yang ramah lingkungan pada kawasan industri. Paragraf 1 Umum Pasal 55 Ketentuan perizinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) huruf c, adalah proses administrasi dan teknis yang harus dipenuhi sebelum kegiatan pemanfaatan ruang dilaksanakan, untuk menjamin kesesuaian pemanfaatan ruang dengan rencana tata ruang, mencakup izin prinsip, izin 64
tanah
(IPPT),
izin
mendirikan
Pasal 56 (1) Segala bentuk kegiatan dan pembangunan prasarana harus memperoleh ijin pemanfaatan ruang mengacu pada RTRW Kabupaten. (2) Setiap orang atau badan hukum yang memerlukan tanah dalam rangka penanaman modal wajib memperoleh ijin pemanfaatan ruang dari Bupati. (3) Pelaksanaan prosedur izin pemanfaatan ruang dilaksanakan oleh instansi yang berwenang dengan mempertimbangkan rekomendasi hasil forum koordinasi BKPRD. Paragraf 2 Izin Prinsip Pasal 57 (1) Izin prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 adalah persetujuan pendahuluan yang diberikan kepada perorangan atau badan hukum untuk menanamkan modal atau mengembangkan kegiatan atau pembangunan di wilayah kabupaten, yang sesuai dengan arahan kebijakan dan alokasi penataan ruang wilayah. (2) Izin prinsip dipakai sebagai kelengkapan persyaratan teknis permohonan izin lainnya, yaitu izin lokasi, izin penggunaan pemanfaatan tanah, izin mendirikan bangunan, dan izin lainnya; dan (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin prinsip akan ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Paragraf 3 Izin Lokasi Pasal 58 (1) Izin lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 adalah ijin yang diberikan kepada orang atau badan hukum untuk memperoleh tanah/pemindahan hak atas tanah/menggunakan tanah yang diperlukan dalam rangka penanaman modal. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin lokasi akan ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Paragraf 4 Izin Penggunaan Pemanfaatan Tanah Pasal 59 (1) Izin Penggunaan Pemanfaatan Tanah (IPPT) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 adalah izin yang diberikan kepada perorangan atau badan hukum untuk kegiatan pemanfaatan ruang dengan kriteria batasan luasan tanah yang telah diperolehnya. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin penggunaan pemanfaatan tanah akan ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
65
Paragraf 5 Izin Mendirikan Bangunan Pasal 60 (1) Izin Mendirikan Bangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 adalah izin yang diberikan kepada pemilik bangunan untuk membangun baru, mengubah, memperluas sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin mendirikan bangunan akan ditetapkan dengan Peraturan Bupati. Paragraf 6 Izin Lainnya Pasal 61
(1)
Izin lainnya terkait pemanfaatan ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55, adalah ketentuan izin usaha pertambangan, perkebunan, pariwisata, industri, perdagangan, menara bersama dan pengembangan sektoral lainnya, yang disyaratkan sesuai peraturan perundangan.
Izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan tidak sesuai dengan ketentuan peraturan daerah ini berlaku dengan ketentuan: a. untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut disesuaikan dengan fungsi kawasan berdasarkan peraturan daerah ini; b. untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak mungkin untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan peraturan daerah ini, izin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian yang timbul sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat diberikan pengganti yang layak. (3) Pemanfaatan ruang yang izinnya sudah habis dan tidak sesuai dengan peraturan daerah ini dilakukan penyesuaian berdasarkan peraturan daerah ini; dan (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai izin usaha pengembangan sektoral akan ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
(2)
Pasal 62 Insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (3) huruf c diberikan oleh pemerintah daerah sesuai kewenangannya dengan tetap menghormati hak masyarakat sesuai ketentuan terhadap pelaksanaan kegiatan/ pemanfaatan ruang yang mendukung dan tidak mendukung terwujudnya arahan RTRW Kabupaten.
(1)
Insentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, merupakan perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang wilayah meliputi: a. keringanan pajak atau retribusi, pemberian kompensasi, subsidi silang, imbalan, sewa ruang, dan penyertaan modal; b. pembangunan atau penyediaan infrastruktur pendukung; c. kemudahan prosedur perizinan; dan d. pemberian penghargaan kepada masyarakat, swasta dan/atau unsur pemerintah. 66
Disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, merupakan perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang wilayah berupa: a. pengenaan pajak atau retribusi yang tinggi, disesuaikan dengan besarnya biaya yang dibutuhkan untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan akibat pemanfaatan ruang; dan b. pembatasan penyediaan infrastruktur, pengenaan kompensasi, dan penalti. (3) Insentif dan disinsentif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62, diberikan oleh pemerintah daerah kepada masyarakat secara perorangan maupun kelompok dan badan hukum atau perusahaan swasta, serta unsur pemerintah di daerah; dan (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pemberian insentif dan disinsentif diatur dengan Peraturan Bupati.
(2)
Pasal 63 (1) Pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 sampai dengan 63 dikenai sanksi administratif; (2) Sanksi administratif dapat berupa: a. peringatan tertulis; b. penghentian sementara kegiatan; c. penghentian sementara pelayanan umum; d. penutupan lokasi; e. pencabutan ijin; f. pembatalan ijin; g. pembongkaran bangunan; h. pemulihan fungsi ruang; dan i. denda administratif. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria dan tata cara pengenaan sanksi administratif diatur sesuai ketentuan dan Peraturan Bupati. Pasal 64 (1) Izin pemanfaatan ruang yang diperoleh dengan tidak melalui prosedur yang benar dan atau tidak sesuai dengan RTRW Kabupaten, dibatalkan oleh pemerintah menurut kewenangan masing-masing sesuai ketentuan perundang-undangan. (2) Izin pemanfaatan ruang yang telah diperoleh melalui prosedur yang benar tetapi kemudian terbukti tidak sesuai dengan RTRW Kabupaten, termasuk akibat adanya perubahan RTRW Kabupaten, dapat dibatalkan dan dapat dimintakan penggantian yang layak kepada instansi pemberi ijin. (3) Setiap pejabat pemerintah yang berwenang menerbitkan izin pemanfaatan ruang dilarang menerbitkan izin yang tidak sesuai dengan RTRW Kabupaten (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara arahan pengenaan sanksi pemberian izin pemanfaatan ruang diatur dengan Peraturan Bupati. Pasal 65 (1) Setiap orang atau badan hukum yang dalam pemanfaatan ruang melanggar ketentuan peraturan zonasi, ketentuan perijinan, serta ketentuan insentif dan disinsentif dikenai sanksi administratif. 67
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud dalam pasal 65 ayat (1) diatur dengan Peraturan Bupati. Pasal 66 Ketentuan pidana pada pelanggaran penataan ruang diberlakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 67 (1) Pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) huruf e meliputi pengawasan terhadap kinerja pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang, yang terdiri atas tindakan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan, dalam rangka menjamin tercapainya tujuan penataan ruang wilayah. (2) Pengawasan dilaksanakan juga terhadap kinerja fungsi dan manfaat penyelenggaraan penataan ruang, dan kinerja pemenuhan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang. (3) Pengawasan dilakukan dengan mengamati dan memeriksa kesesuaian antara penyelenggaraan penataan ruang dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 68 (1) Apabila hasil pemantauan dan evaluasi terbukti terjadi penyimpangan administratif dan teknis dalam penyelenggaraan penataan ruang, Bupati mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan kewenangannya. (2) Pihak yang melakukan penyimpangan dapat dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 69 Penertiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (3) huruf f, merupakan tindakan pelaksanaan sanksi administratif yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah, rencana rinci tata ruang, peraturan zonasi serta ketentuan perizinan yang diterbitkan. Pasal 70 Prosedur teknis pengendalian pemanfaatan ruang yang merupakan mekanisme pelaksanaan ketentuan umum peraturan zonasi, ketentuan perijinan, ketentuan insentif dan disinsentif, arahan sanksi, pengawasan serta penertiban dilaksanakan sesuai ketentuan peraturan perundangan, peraturan daerah dan peraturan Bupati. Pasal 71 (1) Penegakan Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Instansi yang berwenang sesuai ketentuan peraturan perundangan-undangan; (2) Instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas : Satuan Polisi Pamong Praja dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sesuai dengan kewenangannya, serta berkoordinasi dan/atau bekerjasama dengan kepolisian, dan instansi lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
68
BAB IX KELEMBAGAAN Pasal 72 (1) (2) (3) Dalam rangka koordinasi penyelenggaraan penataan ruang di Kabupaten dibentuk BKPRD. Pembentukan BKPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditetapkan dalam Peraturan Bupati. BKPRD sebagaimana dimaksud dalam pasal 72 ayat (2), mempunyai tugas melaksanakan koordinasi penataan ruang Kabupaten, meliputi pengaturan penataan ruang, pembinaan penataan ruang, pelaksanaan penataan ruang, pengendalian pemanfaatan ruang dan pengawasan penataan ruang di Kabupaten. BAB X HAK, KEWAJIBAN DAN PERAN MASYARAKAT Pasal 73 Dalam penataan ruang, setiap orang berhak untuk: a. mengetahui rencana tata ruang; b. menikmati pertambahan nilai ruang sebagai akibat penataan ruang; c. memperoleh penggantian yang layak atas kerugian yang timbul akibat pelaksanaan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan rencana tata ruang; d. mengajukan keberatan kepada pejabat berwenang terhadap pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang di wilayahnya; e. mengajukan mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang kepada pejabat berwenang; dan f. mengajukan gugatan ganti kerugian kepada pemerintah dan/atau pemegang izin apabila kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang menimbulkan kerugian. Pasal 74 Dalam pemanfaatan ruang, setiap orang wajib: a. menaati rencana tata ruang yang telah ditetapkan; b. memanfaatkan ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang; c. mematuhi ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan ruang; dan d. memberikan akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundangan dinyatakan sebagai milik umum. Pasal 75 (1) Penyelenggaraan penataan ruang dilakukan oleh pemerintah Daerah dengan melibatkan peran masyarakat. (2) Peran masyarakat dalam penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 74 ayat (1) dilakukan, antara lain melalui: a. partisipasi dalam penyusunan rencana tata ruang; 69
b. partisipasi dalam pemanfaatan ruang; dan c. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang mengacu pada peraturan perundangan. Pasal 76 (1) Masyarakat yang dirugikan akibat penyelenggaraan penataan ruang dapat mengajukan gugatan melalui pengadilan. (2) Dalam hal masyarakat mengajukan gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 75 ayat (1), tergugat dapat membuktikan bahwa tidak terjadi penyimpangan dalam penyelenggaraan penataan ruang. BAB XI PENYIDIKAN Pasal 77 (1) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan Pemerintah Kabupaten diberikan wewenang untuk melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran ketentuan-ketentuan dalam Peraturan Daerah ini. Wewenang penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. b. c. d. e. f. g. menerima, mencari, mengumpulkan dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang penataan; meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan penataan ruang; meminta keterangan dan bahan bukti dari pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang penataan ruang; memeriksa dokumen-dokumen berkenaan dengan tindak pidana di bidang penataan ruang; melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dokumen-dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap barang bukti tersebut; meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang penataan ruang; menyuruh berhenti dan atau melarang sesorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang atau dokumen yang dibawa sebagaimana dimaksud pada huruf e; memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang penataan ruang; memanggil seseorang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; menghentikan penyidikan; dan melakukan tindakan lain yang dianggap perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang penataan ruang menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.
(2)
h. i. j. k.
(3)
Penyidik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
70
BAB XII KETENTUAN LAIN-LAIN Pasal 78 (1) RTRW Kabupaten berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali 5 (lima) tahun sekali. (2) Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar dan/atau perubahan batas teritorial wilayah Kabupaten yang ditetapkan dengan peraturan perundangan, RTRW Kabupaten dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun, termasuk dalam hal penyusunan KLHS pada saat evaluasi RTRW. (3) Peninjauan kembali dilakukan juga apabila terjadi perubahan kebijakan nasional dan strategi yang mempengaruhi pemanfaatan ruang kabupaten dan/atau dinamika internal kabupaten. Pasal 79 Peraturan Daerah tentang RTRW Kabupaten Bekasi Tahun 2011-2031 dilengkapi dengan Dokumen Materi Teknis dan Album Peta dengan ketelitian skala 1 : 50.000 dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Daerah ini. BAB XIII KETENTUAN PERALIHAN Pasal 80 Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka: a. izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah ini tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya; b. izin pemanfaatan yang telah dikeluarkan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan daerah ini berlaku ketentuan : 1) untuk yang belum dilaksanakan pembangunannya, izin tersebut disesuaikan dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan daerah ini; 2) izin pemanfaatan ruang yang telah dikeluarkan dan telah sesuai dengan ketentuan peraturan daerah ini tetap berlaku sesuai dengan masa berlakunya. 3) untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya, dilakukan penyesuaian dengan masa transisi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 4) untuk yang sudah dilaksanakan pembangunannya dan tidak memungkinkan untuk dilakukan penyesuaian dengan fungsi kawasan berdasarkan Peraturan Daerah ini, izin yang telah diterbitkan dapat dibatalkan dan terhadap kerugian yang timbul sebagai akibat pembatalan izin tersebut dapat diberikan penggantian layak. c. pemanfaatan ruang di Kabupaten yang diselenggarakan tanpa izin dan bertentangan dengan ketentuan Peraturan daerah ini, akan diterbitkan dan disesuaikan dengan Peraturan daerah ini;
71
Pasal 81 (1) Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi dijabarkan lebih lanjut dalam rencana rinci dan atau peraturan zonasi yang ditetapkan dalam peraturan daerah tersendiri. (2) Rencana rinci sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk mengimplementasikan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi yang dilengkapi dengan peraturan zonasi. Pasal 82 (1) Pada saat peraturan daerah ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan penataan ruang yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Daerah ini. Pada saat peraturan daerah ini berlaku, maka semua rencana terkait pemanfaatan ruang dan sektoral yang berkaitan dengan penataan ruang tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Daerah ini. BAB XIV KETENTUAN PENUTUP Pasal 83 (1) Dengan berlakunya Peraturan Daerah ini, maka Peraturan Daerah Kabupaten tentang rencana tata ruang, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (2) Peraturan Daerah Kabupaten tentang rencana tata ruang sebagaimana dimaksud ayat (1), meliputi : a. Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 14 Tahun 2001 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Ibukota Kabupaten Bekasi dan sekitarnya (Koridor Timur-Barat) (Lembaran Daerah Kabupaten Bekasi Tahun 2001 Nomor 4 Seri C); dan b. Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 4 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi Tahun 20032013 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 4 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 4 Tahun 2003 tentang RTRW Kabupaten Bekasi Tahun 20032013 (Lembaran Daerah Kabupaten Bekasi Tahun 2007 Nomor 4); dan c. Peraturan Daerah Kabupaten Bekasi Nomor 5 Tahun 2003 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Khusus Pantai Utara Kabupaten Bekasi Tahun 2003-2013 (Lembaran Daerah Kabupaten Bekasi Kabupaten Bekasi Tahun 2003 Nomor 2 Seri C). Pasal 84 Hal-hal yang belum cukup diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaannya, ditetapkan dalam Peraturan Bupati.
(2)
72
Pasal 85 Peraturan Daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Daerah ini dengan menempatkannya dalam Lembaran Daerah Kabupaten Bekasi. Ditetapkan di Cikarang Pusat pada tanggal 22 Desember 2011 BUPATI BEKASI
H. SADUDDIN
73