Mu'tazilah

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 14

1. Gambaran Materi yang di bahas Aliran Mutazilah dikenal sebagai aliran rasional.

Kerasionalannya tergambar dalam memberikan peran akal begitu besar dalam kehidupan, sehingga implikasinya dikatakan bahwa manusia bebas menentukan perbuatannya baik atau buruk. Tuhan wajib menepati janjiNya, dan jika tidak, berarti Tuhan tidak adil, dan itu adalah mustahil bagi Tuhan. Karena itu, siapa yang berbuat baik pasti masuk syurga dan siapa yang berbuat jahat pasti akan masuk neraka. Untuk mensucikan Tuhan dari segala sesuatu yang menyerupaiNya, maka ia menolak sifat-sifat Tuhan, kecuali sifat ke-Esaan, sehingga ia menamakan dirinya Ahlul Adl Wattauhid. Untuk jelasnya materi bahasan dibagi kepada : Asal usulnya, Corak Pemikirannya, Peristiwa Mihnah dan ajaran-ajarannya. 2. Mempelajari Materi Untuk memudahkan mempelajari ajaran-ajaran Mutazilah, maka sebaiknya dipahami dulu asal usul penamaannya, karena di situlah tergambar alasan mengapa ia keluar dan terpisah dari gurunya. Kemudian memasuki corak pemikirannya dan hubungan antara peran akal dalam kehidupan dengan ajaran-ajarannya agar bisa dipahami dengan baik. Sebaiknya pola pikir Mutazilah digunakan dalam mengkaji sesuatu yang berkaitan dengan Mutazilah. 3. Tujuan Pembelajaran Setelah selesai pembahasan materi ini diharapkan mahasiswa dapat : a. Menjelaskan asal usul penamaan Mutazilah b. Menjelaskan corak pemikirannya c. Menjelaskan ajaran-ajarannya B. KEGIATAN BELAJAR 1. Materi Perkuliahan a. Asal usul Mutazilah Mutazilah yang berasal dari bahasa Arab ) )berarti : menjauhkan, mengenyampingkan atau memisahkan.[1] Sedang penamaan Mutazilah yang menggambarkan asal usulnya terdapat perbedaan pendapat : Al Syahrastani menjelaskan bahwa nama Mutazilah didasarkan pada peristiwa Washil bin Atho dengan teman-temannya Amr bin Ubaid. Keduanya dikenal sebagai pengikut pengajian Hasan Basri yang setia, tetapi pada suatu hari datang salah seorang menanyakan tentang kedudukan pelaku dosa besar. Hasan Basri baru berpikir, tiba-tiba Washil bin Atho mengemukakan pandangannya bahwa orang yang melakukan dosa besar tidak kafir dan tidak

a. b. c. d.

pula mukmin, melainkan berada di antara keduanya. Setelah itu ia meninggalkan pengajian, maka Hasan Basri mengatakan bahwa Washil bin Atho menjauhkan diri dari kita (Itazala) dan pengikutnya dinamakan Mutazilah.[2] Al Baghdadi menambahkan bahwa bukan masalah dosa besar saja Mutazilah berbeda pendapat dengan gurunya, tetapi juga masalah qadar, sehingga memisahkan diri dan membentuk pengajian sendiri.[3] Al Masudi mengemukakan pendapat yang sama bahwa mereka disebut kaum Mutazilah karena pendapatnya yang mengatakan bahwa orang yang berdosa besar berada pada posisi di antara mukmin dan kafir (al-manzilat baina manzilatain).[4] Kemudian Jarallah memperkuat dengan mengemukakan bahwa pendapat Mutazilah tentang pelaku dosa besar bukan kafir mutlak dan bukan pula mukmin mutlak, melainkan fasik.[5] Ahmad Amin mengemukakan: Dikatakan Mutazilah didasarkan pada peristiwa Washil bin Atho dengan gurunya Disebut Mutazilah karena mempunyai pandangan yang berbeda dengan orang-orang terdahulu mengenai kedudukan pelaku dosa besar Nama Mutazilah diberikan kepadanya karena pendapatnya yang keluar dari apa yang dianut oleh sebagian besar kaum muslimin tentang pelaku dosa besar Nama Mutazilah sebenarnya sudah dikenal beberapa tahun sebelum peristiwa Washil bin Atho dengan gurunya Hasan Basri. Nama tersebut diberikan kepada golongan yang tidak mau terlibat pada pertikaian antara kelompok Usman bin Affan dengan kelompok Ali bin Abi Thalib.[6] Tampaknya Ahmad Amin membagi dua kelompok aliran Mutazilah, kelompok pertama bercorak teologi, yakni terlibat dalam pembahasan mengenai pokok-pokok ajaran agama berdasarkan pemikiran, sementara kelompok kedua bercorak politik. Meskipun demikian, baik kelompok pertama maupun kelompok kedua berarti memisahkan diri karena tidak termasuk dalam kelompok yang ada pada masanya. Pandangan Ahmad Amin tentang kelompok Mutazilah kedua ada kemiripan dengan pandangan Orientalis, yaitu Nallino, seperti yang dikutip oleh Harun Nasution bahwa Mutazilah tidak mengandung pengertian memisahkan diri dari umat Islam lainnya, tetapi merupakan golongan yang mempunyai pandangan yang bersifat netral antara pandangan Khawarij dan Murjiah. Di samping itu, antara kelompok Mutazilah pertama dengan kedua merupakan satu rangkaian.[7] Berbeda dengan pandangan Goldziher yang dikutip oleh Fazlur Rahman bahwa Mutazilah tidak suka terlibat dalam pertentangan apapun, sehingga nama Mutazilah berasal dari bahasa Arab berarti absen dari, menjadi netralis, berada di sisi, menunjukkan kepada sifat mereka yang salah dan tidak suka ikut campur dalam pertentangan pendapat.[8] Golongan lain menamakan Mutazilah dengan Muattilah karena menafikan sifat -sifat Tuhan, tetapi mereka sendiri menamakan dirinya dengan Ahli Keadilan dan Keesaan ( Ahlu al Adl wa Al Tauhid).[9] b. Corak Pemikirannya Aliran Mutazilah dikenal sebagai golongan tradisional dalam Islam, karena di antara yang ada, dialah yang paling banyak memberi fungsi terhadap akal dalam membahas masalah keagamaan. Namun demikian, untuk mengetahui secara jelas corak pemikiran aliran

Mutazilah, maka yang menjadi pembahasan utama dalam persoalan tersebut adalah peranan akal dalam kehidupan umat manusia, karena manusia dalam hidupnya di beri dua hal yang menjadi pedoman baginya agar tidak sesat, yaitu akal dan wahyu. Jika diperhatikan pembahasan tentang fungsi akal dan wahyu dalam kehidupan beragama di kalangan Mutakallimin, senantiasa dihubungkan dengan 4 masalah pokok, yaitu: 1) Mengetahui Tuhan, 2) Mengetahui kewajiban Tuhan, 3) Mengetahui baik dan buruk, 4) Mengetahui kewajiban melaksanakan yang baik dan menjauhi yang buruk.[10] Aliran Mutazilah dalam melihat masalah tersebut mengatakan bahwa keempat masalah di atas bisa diketahui akal.[11] Akal dapat dijadikan pedoman dalam menentukan baik dan buruknya sesuatu sebelum datangnya wahyu, sehingga wajib untuk melakukan penalaran yang mapan agar dapat mengantar manusia untuk mengetahui kewajibankewajibannya.[12] Karena itu, akal yang sudah sempurna merupakan sumber pengetahuan yang dapat mengetahui apa yang mendatangkan mudharat dan dosa.[13] Akal yang sudah sempurna itu dimiliki oleh orang yang sudah mukallaf, sehingga hanya dialah yang dapat mengetahui 4 masalah tersebut di atas. Meskipun demikian, tidaklah berarti bahwa semua masalah secara rinci dapat diketahui oleh akal, tetapi ada hal-hal tertentu dimana akal sangat membutuhkan penjelasan wahyu karena akal mempunyai keterbatasan, yaitu dalam perincian terhadap baik dan buruk serta kewajiban umat manusia.[14] Al Jabbar menjelaskan bahwa akal hanya dapat mengetahui sebahagian yang baik dan buruk serta kewajiban, sehingga wahyulah yang menyempurnakan pengetahuan akal tersebut, termasuk menjelaskan cara berterima kasih kepada Tuhan, seperti shalat, zakat, dan puasa.[15] Karena itu, ada pengetahuan baik yang diketahui oleh akal dan ada yang diketahui oleh wahyu, begitu pula dalam hal yang buruk. Fungsi lain dari wahyu dalam pandangan aliran Mutazilah dikemukakan oleh al Syahrastaniy yaitu mengingatkan manusia tentang kewajibannya dan mempercepat untuk mengetahuinya.[16] Di sini dapat dipahami bahwa jika melalui akal memerlukan waktu yang lama karena harus ada pengamatan, kemudian dipikirkan lalu mengambil keputusan. Oleh Harun Nasution dikatakan bahwa fungsi wahyu terhadap akal sebagai informasi dan konfirmasi.[17] Memberikan informasi terhadap apa yang belum diketahui oleh akal di samping mengkonfirmasikan apa yang telah diketahui akal. Aboe Bakar Atjeh menjelaskan tentang fungsi akal bagi aliran Mutazilah yaitu akal dapat menjangkau segala persoalan kehidupan manusia, sehingga apa yang dihasilkan oleh akal harus di terima. Jika terjadi pertentangan antara hasil akal dengan ketentuan wahyu, misalnya terhadap ayat-ayat mutasyabihat, maka harus di tawilkan agar sesuai dengan ketentuan akal.[18] Meskipun demikian, aliran Mutazilah tidak meninggalkan aturan. c. Mutazilah dan peristiwa Mihnah Mihnah berarti cobaan atau ujian yang diberikan kepada aparat negara dan ahli hadis untuk mengetahui faham mereka.[19] Ujian ini dilakukan oleh Mutazilah yang pada masa pemerintahan Daulah Abbasiyah (813-847 M) yaitu masa khalifah al Makmun, al Mutashim dan al Watsiq, Mutazilah mengalami perkembangan dan kejayaan karena mendapat

dukungan dari khalifah dan dinyatakan sebagai mazhab resmi pemerintah. Al Makmun sendiri termasuk murid Abu Huzail al Dual (salah seorang tokoh Mutazilah dan bermaksud mengembangkan ajaran Mutazilah melalui kekuasaanya)[20] Untuk melaksanakan gagasan yang terkenal dalam sejarah peristiwa al Mihnah ini, khalifah al Makmun dengan kekuasaannya mulai menerapkan dengan mengirim surat (instruksi) kepada gubernur-gubernurnya agar mengadakan Mihnah terhadap para qadhi yang berada dalam wilayah hukumnya. Pada saat itu khalifah sedang berada di luar kota Baghdad di kota Tarsus. Yang menjadi gubernur Baghdad ketika itu ialah Ishaq bin Ibrahim, isi surat tersebut agar para gubernur mengadakan penyelidikan terhadap para qadhi di daerahnya. Bagi mereka yang mengakui khalqu al Quran dan bersifat baru tidak qadim akan diberikan kepercayaan untuk melakukan mihnah terhadap orang lain. Instruksi mengadakan mihnah ini di Mesir cepat usai, tetapi di Kuffah kebanyakan masyarakat menentang kebijaksanaan khalifah.[21] Pada langkah pertama terbatas kepada tindakan pemecatan dan tidak diberikannya kepada orang-orang yang tidak mau mengakui diciptakannya al Quran tidak sampai terjadi penganiayaan. Selanjutnya perintah khalifah kepada Gubernur Ishaq bin Ibrahim agar mengirimkan kepadanya tujuh orang pemuka ahli hadis untuk di uji sendiri oleh khalifah sendiri mereka itu Muhammad bin Saad, Abu Muslim Yazid bin Harun, Yahya bin Main, Zubair bin Harb dan Ahmad bin al-Dauraqi. Hal ini dengan pertimbangan agar para pemimpin di daerah yang berpendapat bahwa al Quran itu qadim, mereka akan takut dan dengan mudah mengikuti pendapat khalifah tanpa terjadi fitnah. Bagi mereka yang mau mengakui bahwa al Quran itu qadim, mereka akan dibebaskan kembali ke negerinya (Baghdad) supaya mereka menyampaikan kepada para ahli hadis dan fiqih di daerah mereka. Pada kesempatan ini Ahmad bin Hanbal tidak diikut sertakan, melainkan dipanggil secara khusus untuk dihadapi oleh Ahmad bin Abi Daud Qadhi (advokat) kenamaan dalam urusan Mihnah. Karena Imam Ahmad bin Hanbal dikenal sangat keras menentang faham Mutazilah terutama khalqu al Quran. Pada langkah kedua, khalifah tidak melepaskan para ahli hadis dan ahli fiqih yang tidak mau mengakuinya. Hal ini dengan maksud dan tujuan untuk meluruskan dan memurnikan tauhid mereka, ibarat mengembalikan mereka dalam kekafiran. Jika perlu bagi mereka yang tetap konsisten dan membangkang akan dibunuh sebagaimana membunuh orang yang murtad dari agamanya, karena mereka adalah anutan masyarakat yang harus menjadi contoh, karena itu imannya haruslah benar. Berikut Ishaq bin Ibrahim mengumpulkan/memanggil 30 orang qadhi/ahli hadis dan ahli fiqih untuk diadakan mihnah bagi mereka. Dalam ujian ini semuanya mengakui kebaruan al Quran, kecuali hanya 4 orang yaitu: Ahmad bin Hanbal, Muhammad bin Nuh, Sajadah dan Qawarir. Mereka yang mengakuinya dibebaskan dan keempat orang tersebut dibelenggu. Beberapa hari kemudian, ketika diadakan mihnah kembali, mereka mengakui khalqu al Quran itu kecuali Imam Ahmad bin Hanbal, maka dilepaslah kesemuanya kecuali Imam Ahmad bin Hanbal.[22] Penahanan Imam Ahmad bin Hanbal dan kemudian penahanan ke Tarsus, ia tidak dibunuh karena dikhawatirkan akan ada fitnah yang lebih besar karena banyaknya pengikut dan simpatisan dari kaum muslimin sampai tiba waktu terdengar berita tentang meninggalnya al Makmun, tetapi tidaklah ringan penderitaan Imam Ahmad bin Hanbal ini, karena sebelum khalifah meninggal ia telah mewasiatkan kepada keluarganya (al Mutashim) agar meneruskan

ide dan kebijaksanaan ini (khalqu al Quran dan al mihnah), dan di ingatkan pula supaya selalu berkonsultasi dengan Ahmad bin Abi Daud. Ahmad bin Hanbal tetap juga dengan pendiriannya meskipun dengan pukulan dan cambukan, di dalam riwayat Masudi, beliau dicambuk dengan cemeti 30 kali sampai berlumuran darah. Ahmad bin Abi Daud dan khalifah mengajak sang Imam ini untuk berdialog langsung dan di uji pula dengan penguji-penguji lainnya, namun Imam Ahmad bin Hanbal tetap pada pendiriannya semula sampai digantikannya khalifah dengan khalifah al Watsiq. Pada masa khalifah al Watsiq, beliau di usir dan tidak boleh ditengok oleh siapapun. Ahmad bin Hanbal bersembunyi tidak keluar sama sekali, baik untuk shalat maupun keperluan lain sampai ia meninggal dunia. Pada masa pemerintahan al Watsiq ini, al Mihnah tidak lagi hanya berlaku pada qadhi dan ulama-ulama ahli tapi juga diberlakukan lebih luas lagi seperti guru-guru, muadzin, penjaga masjid dan lain-lainnya sampai khalifah wafat dan digantikan dengan al Mutawakkil. d. Ajaran-ajaran Mutazilah 1) Al Tauhid Tuhan dalam paham Mutazilah betul-betul Esa dan tidak ada sesuatu yang serupa denganNya. Ia menolak paham anthromorpisme (paham yang menggambarkan Tuhannya serupa dengan makhlukNya) dan juga menolak paham beatic vision (Tuhan dapat dilihat dengan mata kepala) untuk menjaga kemurnian Kemahaesaan Tuhan, Mutazilah menolak sifat-sifat Tuhan yang mempunyai wujud sendiri di luar Zat Tuhan. Hal ini tidak berarti Tuhan tak diberi sifat, tetapi sifat-sifat itu tak terpisah dari ZatNya. Mutazilah membagi sifat Tuhan kepada dua golongan : a. Sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan, disebut sifat dzatiyah, seperti al Wujud - al Qadim al Hayy dan lain sebagainya b. Sifat-sifat yang merupakan perbuatan Tuhan, disebut juga dengan sifat filiyah yang mengandung arti hubungan antara Tuhan dengan makhlukNya, seperti al Iradah Kalam al Adl, dan lain-lain.[23] Kedua sifat tersebut tak terpisah atau berada di luar Zat Tuhan, Tuhan Berkehendak, Maha Kuasa dan sifat-sifat lainnya semuanya bersama dengan Zat. Jadi antara Zat dan sifat tidak terpisah. Pandangan tersebut mengandung unsur teori yang dikemukakan oleh Aristoteles bahwa : penggerak pertama adalah akal, sekaligus subyek yang berpikir[24] 2) Al Adl Paham keadilan dimaksudkan untuk mensucikan Tuhan dari perbuatanNya. Hanya Tuhan lah yang berbuat adil, karena Tuhan tidak akan berbuat zalim, bahkan semua perbuatan Tuhan adalah baik. Untuk mengekspresikan kebaikan Tuhan, Mutazilah mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan mendatangkan yang baik dan terbaik bagi manusia. Dari sini lah muncul paham al Shalah wa al Aslah yakni paham Lutf atau rahmat Tuhan.

Tuhan wajib mencurahkan lutf bagi manusia, misalnya mengirim Nabi dan Rasul untuk membawa petunjuk bagi manusia.[25] Keadilan Tuhan menuntut kebebasan bagi manusia karena tidak ada artinya syariah dan pengutusan para Nabi dan Rasul kepada yang tidak mempunyai kebebasan. Karena itu dalam pandangan Mutazilah, manusia bebas menentukan perbuatannya. 3) Al Wad wa al Waid (Janji dan Ancaman) Ajaran ini merupakan kelanjutan dari keadilan Tuhan, Tuhan tidak disebut adil jika ia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menghukum orang yang berbuat buruk, karena itulah yang dijanjikan oleh Tuhan. QS. Al Zalzalah ayat 7-8. Terjemahnya :Barang siapa yang berbuat kebajikan seberat biji zarrah, niscaya dia akan lihat balasannya, dan barang siapa yang berbuat keburukan seberat biji zarrah, niscaya dia akan melihat balasannya pula. 4) Manzilah Baina Manzilatain (Posisi di antara dua tempat) Posisi menengah dalam ajaran Mutazilah di tempati oleh orang-orang Islam yang berbuat dosa besar. Pembuat dosa besar bukan kafir karena masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad saw, tetapi tidak juga dapat dikatakan mukmin karena imannya tidak lagi sempurna, maka inilah sebenarnya keadilan (menempatkan sesuatu pada tempatnya), akan tetapi di akhirat hanya ada syurga dan neraka, maka tempat bagi orang-orang yang berbuat dosa adalah di neraka, hanya saja tidak sama dengan orang-orang kafir sebab Tuhan tidak adil jika siksaannya sama dengan orang kafir. Jadi lebih ringan dari orang kafir[26] 5) Amar Maruf , Nahi Munkar. Perintah berbuat baik dan mencegah kemungkaran adalah suatu kebajikan bagi semua umat Islam. Seruan amar maruf nahi munkar bisa dilakukan dengan hati, tetapi jika memungkinkan dapat dilakukan dengan seruan bahkan dengan tangan dan pedang. Hal ini sesuai dengan hadis Nabi yang artinya : Barang siapa yang melihat kemungkaran, hendaklah ia mengubahnya dengan tangan, jika tidak mampu, maka dengan lisannya, dan jika tidak mampu maka dengan hati, itulah serendah-rendahnya iman.

e. Tokoh-tokoh aliran Mutazilah. Tokoh aliran Mutazilah banyak jumlahnya dan masing-masing mempunyai pikiran dan ajaran sendiri yang berbeda dengan tokoh-tokoh sebelumnya atau tokoh-tokoh pada masanya, sehingga masing-masing tokoh mempunyai aliran sendiri. Dari segi geografis, aliran Mutazilah dibagi menjadi dua, yaitu aliran Mutazilah Basrah dan aliran Mutazilah Baghdad. Aliran Mutazilah Basrah lebih dahulu munculnya, lebih banyak mempunyai kepribadian sendiri dan yang pertama-tama mendirikan aliran Mutazilah.

Perbedaan antara kedua aliran Mutazilah tersebut pada umumnya disebabkan karena situasi geografis dan kulturil. Kota Basrah lebih dahulu didirikan daripada kota Baghdad, dan lebih dahulu mengenal perpaduan aneka ragam kebudayaan dan agama. Dalam pada itu, meskipun Baghdad kota terbelakang didirikan, namun menjadi ibukota khilafat Abbasiyah. Menurut Ahmad Amin sebagaimana yang ditulis oleh A. Hanafi bahwa pengaruh filsafat Yunani pada aliran Mutazilah Baghdad lebih nampak, karena adanya kegia tan penerjemahan buku-buku filsafat di Baghdad, dan juga karena istana khalifah-khfalifah Abbasiyah di Baghdad menjadi tempat pertemuan ulama-ulama Islam dengan ahli-ahli pikir golongan lain. Aliran Basrah lebih banyak menekankan segi-segi teori dan keilmuan, sedang aliran Baghdad sebaliknya, lebih menekankan segi pelaksanaan ajaran Mutazilah dan banyak terpengaruh oleh kekuasaan khalifah-khalifah. Aliran Baghdad banyak mengambil soal-soal yang telah dibahas aliran Basrah, kemudian diperluas pembahasannya.[27] Tokoh-tokoh aliran Basrah: al Washil bin Atho, al Allaf, An Nazzham dan Jubbai. Tohoh-tokoh aliran Baghdad antara lain : Bisyr bin al Mutamir, al Khayyat. Kemudian pada masa-masa berikutnya lagi ialah Qadhi Abdul Jabar dan az Zamakhsyari. Uraian berikut ini didasarkan atas urut-urutan geografis dan kronologis.[28] 1. Washil bin Atha (699-748 M) Nama lengkapnya Washil bin Atha al Ghazzal, ia terkenal sebagai pendiri aliran Mutazilah yang pertama dan peletak lima besar ajaran Mutazilah 2. Abu Huzail al Allaf (226 H/841 M) Abu Huzzail al Allaf adalah pendiri yang sebenarnya bagi aliran Mutazilah. Ia mengembangkan pandangan-pandangan Mutazilah dan meramunya dengan informasiinformasi baru. Atas prakarsanya, tidak sedikit lahir tokoh besar Mutazilah. Ia dilahir kan di Basrah dan lama berdomisili di kota ini. Al Allaf pernah diundang ke Baghdad untuk beberapa waktu, ia diberi umur panjang, hidup sekitar 100 tahun lamanya. Hidup sezaman dengan gerakan penerjemahan Islam yang terbesar. Berhubungan dengan kebudayaan asing. Kelebihan al Allaf ialah karena punya pengetahuan luas, pemikiran mendalam, lisan fasih, argumentasi yang kuat, dan Pendebat aliran dualisme dan rafidah. Seringkali dalam perdebatan al Allaf berhasil membungkam lawannya. Ia begitu terampil dalam diskusidiskusinya hingga mampu mematahkan (argumentasi) lawan, bahkan berhasil menarik kaum penentang untuk memeluk Islam. Al Allaf menulis dan mengarang banyak buku, sayangnya kira-kira itu tidak diselamatkan dan musnah dimakan zaman, yang dalam masalah ini ia sampai pada sejumlah pandangan yang keras dan aneh, sehingga menjadi topik kritik pro dan kontra. Al Allaf merupakan orang pertama dari kalangan kaum muslimim yang serius terjun menggeluti problematika ketuhanan, yang dibalut dengan label filosofis.[29]

3. Al Nazzam (231 H/ 845 M) Al Nazzam adalah filosof pertama dari kalangan Mutazilah yang paling mendalam pikirannya. Paling berani, paling banyak berfikir merdeka di samping orisinil pendapatnya di antara mereka. Al Nazzam adalah anak saudara perempuan al Allaf dan muridnya sekaligus.

Belajar kepadanya kemudian memberontak dan berfikir merdeka. Al Nazzam sejalan dengan al Allaf dalam hal keluasan cakrawala, kefasihan lisan dan kekuatan berargumentasi. Ia dilahirkan dan dibesarkan di Basrah, kemudian mengembara di pusat-pusat peradaban Islam kemudian ia berdomisili di Baghdad. Ia tidak diberi umur panjang seperti gurunya al Allaf . Di antara pendapat yang kuat mengatakan bahwa ia meninggal pada usia 60-70 tahun. Berkat kecerdasannya ia mampu menguasai dan mengkritik teori-teori yang berkembang di sekitarnya, dan membawa kesimpulan baru.[30] 4. Abu Hasyim al Jubbai (321 H/ 932 M) Al Jubbai adalah tokoh besar terakhir dari kalangan Mutazilah. Ia dilahirkan dan dibesarkan di Basrah. Ia belajar kepada ayahnya, kemudian memisahkan diri darinya, berbeda pendapat dengannya lalu mendirikan kelompok khusus. Ia hidup sezaman dengan al Farabi dan sebagian kaum paripatetik Arab dan terpengaruh mereka . Teorinya tentang al Ahwal (kondisi-konsisi), merupakan saksi terbaik yang membuktikan anggapan itu. Al Jubbai berusaha untuk menolak sebagian teori kosmologi yang dikemukan oleh Aristoteles.[31] 5. Bisyr bin Al Mutamir (226 H/ 840 M) Ia adalah pendiri aliran Mutazilah di Baghdad. Pandangan-pandangannya mengenai kesusasteraan, sebagaimana yang banyak dikutip oleh al Jahiz dalam bukunya al Bayan wa al Tabyin, menimbulkan dugaan bahwa dia adalah orang yang pertama-tama mengadakan ilmu Balaghah.[32] Beberapa pendapatnya tentang paham Mutazilah hanya sedikit saja yang sampai kepada kita. Ia adalah orang-orang yang pertama mengemukakan soal tawallud (reproduction) yang boleh dimaksudkan untuk mencari batas-batas pertanggung jawab manusia atas perbuatannya. Di antara murid-muridnya yang besar pengaruhnya dalam penyebaran paham-paham ke-Mutazilahan di Baghdad ialah Abu Musa al Mudar, Tsumamah bin al Asyras dan Ahmad bin Fuad. 6. Al Khayyat (303 H/ 925 M) Ia adalah Abu Husein al Khayyat, termasuk tokoh Mutazilah Baghdad dan pengarang buku al Intisar yang dimaksudkan untuk membela aliran Mutazilah dari serangan Ibnu al Rawandi. Ia hidup pada masa kemunduran aliran Mutazilah. 7. Al Qadhi Abdul Jabbar (1024 M di Ray) Ia juga hidup pada masa kemunduran aliran Mutazilah. Ia diangkat menjadi kepala hakim (qadhi al qudhat) oleh Ibnu Abad.[33] Di antara karangan-karangannya ialah ulasan tentang pokok-pokok ajaran aliran Mutazilah terdiri dari beberapa jilid, dan banyak dikutip oleh as Syarif al Murtadha. Buku tersebut sedang dalam penerbitan di Kairo dengan nama al Mughni. 8. Az Zamakhsyari (467-538 H/ 1075-1144 M) Namanya Jaar Allah Abul Qasim Muhammad bin Umar, kelahiran Zamakhsyar, sebuah dusun di negeri Khawarazm (sebelah selatan lautan Qazwen), Iran. Sebutan Jaarullah

yang berarti tetangga Tuhan, dipakainya karena ia lama tinggal di Mekah dan bertempat di sebuah rumah dekat Kabah. Selama hidupnya ia banyak mengadakan perlawatan, dari negeri kelahirannya menuju Baghdad, kemudian ke Mekkah untuk bertempat di sana beberapa tahun lamanya dan akhirnya ke Jurjan (Persi-Iran) dan di sana ia menghembuskan nafasnya yang penghabisan.[34] Pada diri al Zamakhsyari sekumpulan karya alran Mutazilah selama kurang lebih empat abad. Ia menjadi tokoh dalam ilmu tafsir, nahwu (grammatika) dan paramasastera (lexicology) seperti yang dapat kita lihat dalam tafsirnya al Kassyaf dan kitab-kitab lainnya, seperti al Fa-iq, Assaul Balaghahdan al Mufassal. Ia dengan terang-terangan menonjolkan paham ke-Mutazilahannya dengan dituliskan dalam buku-bukunya, serta dikemukakannya dalam pertemuan-pertemuan keilmuan. Dalam tafsirnya al Kassyaf, ia telah berusaha sekuatnya untuk menafsirkan ayat ayat al Quran berdasarkan ajaran-ajaran Mutazilah, terutama lima prinsip, yaitu Tauhid, Keadilan, Janji dan Ancaman, Tempat di antara dua tempat dan Amar Maruf Nahi Munkar. 2. Latihan-latihan a. b. c. d. e. f. Jawablah pertanyaan-pertanyaan di bawah ini : Jelaskan asal usul penamaan Mutazilah Bagaimana corak pemikiran Mutazilah Apa yang dimaksud dengan Mihnah Masalah apa yang diangkat Mutazilah dalam Mihnah Jelaskan ajaran-ajaran Mutazilah Sebutkan tokoh-tokoh Mutazilah 3. Rangkuman Mutazilah adalah nama yang diberikan kepada peristiwa Washil bin Atha dengan gurunya yang meninggalkan pengajian karena tak sependapat dalam hal pelaku dosa besar. Sementara mereka sendiri menamakan Ahlu al Adl Wattauhid. Aliran Mutazilah dikenal sebagai aliran rasional dalam Islam karena memberi peran akal lebih besar, sehingga dalam ajaran-ajarannya berbeda pendapat dengan golongan Ahlussunnah Wal Jamaah, seperti penolakan terhadap sifat-sifat Tuhan, pelaku dosa besar bukan mukmin dan bukan kafir. Tuhan wajib menepati janji dan amanahNya, dan al Quran adalah makhluk.

Persoalan orang berbuat dosa (awalnya hanya ditujukan pada pihak yang turut berperan dalam peristiwa Abitrase, kemudian berkembang pada dosa-dosa besar lainnya seperti zinah, membunuh dll) berpengaruh besar dalam pertumbuhan teologi. masalahnya ialah : Masihkah ia bisa dipandang orang mukmin ataukah ia sudah menjadi kafir karena berbuat dosa besar itu ? . Persoalan ini melahirkan 3 Aliran Teologi :

1. Khawarij : Orang berdosa besar adalah kafir, dalam arti ke luar dari Islam/Murtad ( apostate) oleh karena itu wajib dibunuh. Aliran Khawarij akhirnya terbagi menjadi beberapa sekte antara lain : a. Al-Muhakkimah : Ali, Muawiyah, kedua pengantaranya, dan semua orang yang setuju arbitrase bersalah dan menjadi kafir. selanjutnya siapa saja yang berbuat dosa besar disebut kafir. b. Al-Azariqoh : Semua orang Islam yang tak sefaham dengan mereka atau sefaham tetapi tidak mau hijrah ke dalam lingkungan mereka dipandang Musyrik. c. Al-Najdat : Orang berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang tak sefaham dengan dengan golongannya. Adapun pengikutnya jika mengerjakan dosa besar, betul akan mendapat siksaan, tetapi bukan dalam neraka dan kemudian akan masuk surga. d. Al-Ajaridah : Berhijrah tidak wajib, tapi hanya kebajikan , maka yang tidak hijrah tidak dianggap kafir/Musyrik. Anak kecil tidak bersalah, tidak musyrik menurut orang tuanya. e. Al-Sufriyah : Kufur dibagi dua ; kufr bi inkar al-nimah dan kufr bi inkar al-rububiyah. Dengan demikian tidak selamanya term kafir harus berarti keluar dari Islam. f. Al-Ibadah : Orang yang berbuat dosa besar adalah muwahhid, tetapi bukan mukmin, dan kalaupun kafir hanya merupakan kafr al-nimah, bukan kafr al-millah. Dengan kata lain berdosa besar tidak membuat orang keluar dari Islam. 2. Murjiah: Orang yang berbuat dosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya terserah kepada Allah SWT. untuk mengampuni atau tidak menampuni. 3. Mutazilah: Orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi pula bukan mukmin, ia mengambil posisi di antara ke dua posisi mukmin dan kafir atau Al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi). Selain tiga Aliran di atas, dalam Islam juga dikenal 2 aliran teologi yang mempermasalahkan Kehendak dan Perbuatan manusia . Aliran ini lebih bersifat Laten daripada berbentuk organisasi : 1. Qodariyah : Manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya (free will and free act) 2. Jabariyah : Manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya, Ia bertindak dengan paksaan dari Tuhan. Segala gerak-gerik manusia ditentukan oleh Tuhan. Paham inilah yang disebut predestination atau fatalisme. Dalam perkembangan selanjutnya, dengan diterjemahkannya buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan Yunani ke dalam bahasa Arab, Kaum Mutazilah terpengaruh oleh pemakaian rasio atau akal yang mempunyai kedudukan tinggi. Kepercayaan pada kemampuan akal ini dibawa oleh kaum Mutazilah pada lapangan teologi Islam, oleh karenanya mereka mengambil corak teologi liberal ; sungguhpun begitu, Mutazilah tidak meninggalkan wahyu. Dalam soal qodariyah -jabariyah, kaum Mutazilah mengambil faham qodariyah. Aliran Mutazilah yang bercorak rasional mendapat tantangan keras dari golongan tradisional Islam, terutama golongan Hambaliah, namun perlawanan terhadap Mutazilah yang kemudian mengambil bentuk aliran teologi hanya dua yang terkenal :

Maturidyah ; tidak se-tradisional Asyari dan tidak se-liberal Mutazilah, yang didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al-Maturidi. Aliran ini terbagi dalam dua cabang yaitu cabang Samarkand yang bersifat agak liberal dan cabang Bukhara yang bersifat tradisional

Aliran Mutazilah sebagai salah satu aliran mutakallimin mempunyai peranan besar dalam sejarah pemikiran Islam. Aliran inilah yang pertama kali mempersenjatai Islam dengan filsafat dalam usaha mempertahankan Islam dari serangan-serangan luar. Demikian pula, aliran Mutazilah yang meletakkan dasar bagi lahirnya filsafat Islam dengan tokoh-tokohnya yang datang kemudian seperti; Al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina dan sebagainya. Dalam perkembangannya, aliran Mutazilah pernah memperoleh pengaruh dalam masyarakat Islam. Pengaruh itu mencapai puncaknya di Zaman khalifah-khalifah Bani Abbas, al-Matasim dan al-Watsiq (813 M. 847 M.), diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara, khususnya pada masa al-Mamun (827 M). Pengakuan seperti itu, karena al-Mamun adalah seorang murid dari Abu al-Hudzaih al-Allaf, seorang tokoh Mutazilah. Lagi pula al-Mamun dan kaum Mutazilah mencapai hubungan yang serasi dalam ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan keagamaan, antara lain ajaran tentang kemakhlukan al-Quran. Kaum Mutazilah oleh penguasa diserahkan untuk melaksanakan dialog-dialog seputar al-Quran. Karena itu faham Mutazilah terutama ajaran tentang kemakhlukan al-Quran menjadi isu teologis yang pemasyarakatannya dilaksanakan oleh penguasa. Di sisi lain, para hakim dan tokoh-tokoh masyarakat baik dari kalangan ahli fiqh maupun ahli hadis berpendirian bahwa al-Quran bukanlah makhluk tetapi qadim. Faham ini yang banyak dianut oleh masyarakat pada waktu itu. Faham seperti itu ditokohi oleh Ahmad ibn Hambal dan Muhammad ibn Nuh yang pada saat diuji tetap berkeras dan tidak mau merubah keyakinan itu. Bagi kaum Mutazilah, termasuk al-Mamun memandang bahwa faham tersebut adalah suatu kekeliruan dan termasuk syirik yang harus diluruskan dan pelaksanaannya akan berjalan efektif bila dilakukan oleh penguasa melalui pemaksaan kehendak. Pemaksaan kehendak inilah yang melahirkan gerakan al-mihnah. Dengan gerakan al-mihnah agaknya mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan aliran Mutazilah, yang mencapai puncak pada masa khalifah-khalifah Abbasiyah yang telah disebutkan sebelumnya. Namun pada masa pasca al-mihnah, pada masa al-Mutawakkil, mulailah pengaruh Mutazilah mengalami kemunduran karena faham Mutazilah tidak lagi menjadi mazhab negara. Pengertian al-Mihnah Kata Al-Mihnah diambil dari kata mhn, pecahan dari kata mahana, yahmanu, mahnan yang berarti cobaan, menguji, memeriksa. Ahmad Amin dalam bukunya yang berjudul Dhuha al-Islam, menyatakan bahwa al-Mihnah dalam kaitannya dengan perjalanan Mutazilah dimaksudkan sebagai pemeriksaan untuk

mengetahui para ulama dan pejabat kehakiman mengenai kemakhlukan al-Quran. Bagi mereka berpendirian keqadiman al-Quran maka siksalah yang diterima, karena keyakinan seperti itu dianggap syirik yang harus dibetulkan dengan cara amar maruf nahyi munkar, dan bila perlu dengan kekerasan. Jadi dapat dipahami bahwa al-Mihnah adalah suatu tuduhan atau introgasi yang dilakukan oleh kaum Mutazilah terhadap orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka. Awal muncul dan Perkembangan Al-Mihnah Al-Mihnah muncul seiring dengan adanya dukungan dan lindungan dari khalifah al-Mamun, yang dikenal sebagai khalifah Abbasiyah yang condong ke dunia ilmiah dan pemikiran saintifik terhadap kaum Mutazilah. Dengan dukungan dan lindungan ini, kaum Mutazilah berada pada posisi yang kuat, bahkan mazhabnya dijadikan sebagai mazhab resmi negara. Dengan kekuasaan yang dimiliki, Mutazilah menghadapi lawan-lawannya dengan cara-cara yang penuh kekerasan. Puncak kekerasan itu ialah diadakanlah al-Mihnah, yaitu untuk menguji pendapat dan kesetiaan para hakim, pemuka-pemuka dalam pemerintahan dan juga terhadap pemuka-pemuka yang berpengaruh dalam masyarakat terhadap paham Mutazilah disertai tindak kekerasan dan paksaan agar mereka mau menerima paham bahwa al-Quran itu makhluk Tuhan. Menurut riwayat, masalah al-Mihnah sudah muncul sebelum masa khalifah al-Mamun berkuasa. Masalah ini pernah dibicarakan oleh al-Jaad ibn Dirham, akan tetapi tidak berkembang karena ia segera dibunuh oleh Khalid ibnu Abdullah, Gubernur Kufah. Hal yang sama dialami oleh alJahm ibnu Safwan. Pada masa pemerintahan al-Mamun, pelaksanaan al-Mihnah dibagi kepada empat macam tingkatan: Pertama, mereka yang menolak tidak dapat lagi diterima kesaksiannya di Pengadilan. Kedua, Mereka yang bekerja sebagai guru atau muballigh, diputuskan tunjangan yang diperolehnya dari Khalifah. Ketiga, Jika masih tetap menolak akan dicambuk dan dirantai kemudian dimasukkan ke dalam penjara. Keempat, Proses terakhir dari segalanya adalah hukuman mati dengan leher dipancung. Tindak kekerasan yang ditempuh oleh Mutazilah dalam menyampaikan ajarannya itu berkurang setelah al-Mamun meninggal tahun 833 M. Setelah al-Mamun, pemerintah dijabat alMutashim. Ia adalah tokoh yang kurang memperhatikan masalah ilmiah, teologi dan filsafat. Namun demikian, ia tetap melaksanakan kebijakan yang pernah dilakukan oleh al-Mamun sebelumnya. Ia tetap menahan dan memenjarakan Ahmad ibn Hambal selama 18 bulan. Kemudian Ahmad ibn Hambal dikeluarkan dan dibebaskan untuk menyampaikan fatwa sampai al-Mutashim meninggal dunia. Kedudukan khalifah selanjutnya dipegang oleh Watsiq putra al-Mutazim. Berbeda dengan ayahnya, ia sangat menaruh perhatian terhadap bidang ilmiah dan teologi, sehingga ada yang mengindetikkannya dengan khalifah al-Mamun dan bahkan lebih besar dari al-Mamun. Karena ia dalam melaksanakan tindakan al-Mihnah itu lebih ketat, bahkan memperlakukan para penentangnya dengan sangat kasar. Ahli fiqh seperti Yusuf ibn Yahya al-Buwaity, Ahmad ibn Nasir dan Naim ibn Hammad adalah termasuk orang-orang yang mati dalam penganiayaan yang

dilakukan oleh al-Watsiq. Namun kepada ibn Hambal, ia agak lunak, karena hanya membatasinya untuk tidak bertemu dengan siapapun serta tidak boleh tinggal di tempat alWatsiq menetap. Akibatnya, Hambal mengurung diri hingga ia meninggal dunia. Namun pada perkembangan selanjutnya al-Watsiq pun menyesali segala tindakan kekerasan yang berkaitan dengan pemaksaan paham kemakhlukan Alquran, al-Watsiq pada akhir hayatnya berusaha menghapuskan al-Mihnah, karena hal itu merupakan suatu perbuatan yang tidak pernah dilaksanakan pada masa Rasulullah saw., Abu Bakar, Umar dan Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian dapat dipahami bahwa al-Mihnah berkembang pada masa khalifah-khalifah Abbasiyah, al-Mamun, al-Mutashim dan al-Watsiq, yang menggunakan tindakan pemeriksaan bahkan penyiksaan untuk menyebarkan paham tentang kemakhlukan Alquran. Masa Berakhirnya al-Mihnah Dalam riwayat dijelaskan bahwa pada masa pemerintahan al-Watsiq, para penguasa tidak lagi memberikan siksaan terhadap pihak-pihak yang menolak paham kemakhlukan Alquran, bahkan al-Watsiq sendiri telah bertaubat sebelum ia meninggal dunia. Diakhir pemerintahan al-Watsiq, terdapat seorang Syekh bernama Abu Abdu al-Rahman Abdullah ibn Muhammad ibn Ishak alAzraniy, ketika dihadirkan di hadapan khalifah dalam keadaan terbelenggu karena al-Mihnah, dikatakannya bahwa al-Mihnah yang diperlakukan terhadap manusia bukan ajaran Nabi dan tidak pernah dipraktekkan oleh Rasulullah saw., Abu Bakar, Utsman dan Ali. Mengapa melakukan sesuatu yang tidak pernah dicontohkan Nabi? Mendengar keterangan seperti itu, alWatsiq terdiam. Dia bangkit dari tempat duduknya dan merenungkan kalimat yang diucapkan syekh tadi, lalu Syekh pun dimaafkan dan dibebaskan. Setelah kejadian itu tidak ada lagi orang yang mendapat siksaan, dan khalifah bertaubat sebelum ia meninggal dunia tahun 847 M. Pada masa al-Mutawakkil, al-Mihnah tidak lagi diperlakukan, karena aliran Mutazilah telah dibatalkan sebagai mazhab negara di tahun 847 M. Dari sinilah berakhir paham al-Mihnah oleh kaum Mutazilah. Pengaruh Muatazilah di Dunia Islam Mutazilah dalam menyelesaikan berbagai masalah keagamaan selalu menggunakan kekuatan akal pikiran. Bahkan mereka diberi nama kaum rasionalis. Kamum Mutazilah sangat serius membela dan mempertahankan akidah dari mereka yang bermaksud merusaknya. Dalam sejarah, pada masa pemerintahan Abbasiyah, kaum muslimin terancam dari berbagai aliran yang merupakan lawan-lawan kepercayaan Islam. Lawan-lawan itu di antaranya, paham al-Mujassimah, al-Rafidhah, mulhid dan zindik di samping itu juga dapat menumpas paham reinkarnasi. Karena itu dalam sejarah umat Islam tidak mengenal pembahasan yang bercorak filsafat dan lengkap tentang Tuhan, sifat-sifat dan perbuatannya dengan disertai dalil-dalil akal pikiran dan alasan-alasan naql sebelum lahir aliran Mutazilah. Dengan demikian, tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa Mutazilah sangat besar pengaruhnya di dunia Islam, di antaranya:

1. Bidang orator dan pujangga. 2. Bidang ilmu balaghah (rethorika) 3. Ilmu perdebatan (jadal) 4. Bidang ilmu Kalam (Theologi Islam). Setelah peristiwa al-mihnah seperti dibahas sebelumnya, aliran Mutazilah mengalami kemunduran. Sebagai suatu golongan yang kuat, berangsur-angsur menjadi lemah dan mengalami kemunduran, terutama sesudah al-Asyari dapat mengalahkan mereka dalam bidang pemikiran. Akan tetapi kemundurannya tidaklah menghalangi bagi simpatisan dan pengikut yang setia yang selalu menyiarkan ajaran-ajaran Mutazilah, antara lain al-Khayyat pada akhir abad ketiga Hijriyah, Abu Bakar al-Zamakhsyari (wafat 320 H./932 M.) pada sepanjang abad keempat Hijriyah, al-Zamakhsyari dengan tafsirnya al-Kassyaf yang pengaruhnya sangat besar dikalangan Ahlussunah waljamaah. Kegiatan orang-orang Mutazilah hilang sama sekali setelah terjadi serangan orang-orang Mongol atas dunia Islam. Tetapi paham dan ajaran Mutazilah yang penting masih hidup dikalangan Syiah Zaidiah. Harun Nasution mengatakan bahwa di zaman modern dan kemajuan ilmu pengetahuan sekarang, ajaran-ajaran kaum Mutazilah yang bersifat rasionil itu telah mulai timbul kembali dikalangan umat Islam, terutama dikalangan kaum terpelajar.

Anda mungkin juga menyukai