Dokumen tersebut membahas tentang merosotnya moral hukum rakyat di Indonesia yang disebabkan oleh adanya kesenjangan antara hukum tertulis dan kenyataan sosial. Legal gaps ini menyebabkan hukum nasional sulit dimengerti oleh masyarakat. Solusi yang diusulkan adalah memperkuat peran hukum adat dan hukum Islam sebagai sumber hukum, sehingga hukum yang dibangun akan lebih mencerminkan nilai-nilai masyar
0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
413 tayangan4 halaman
Dokumen tersebut membahas tentang merosotnya moral hukum rakyat di Indonesia yang disebabkan oleh adanya kesenjangan antara hukum tertulis dan kenyataan sosial. Legal gaps ini menyebabkan hukum nasional sulit dimengerti oleh masyarakat. Solusi yang diusulkan adalah memperkuat peran hukum adat dan hukum Islam sebagai sumber hukum, sehingga hukum yang dibangun akan lebih mencerminkan nilai-nilai masyar
Dokumen tersebut membahas tentang merosotnya moral hukum rakyat di Indonesia yang disebabkan oleh adanya kesenjangan antara hukum tertulis dan kenyataan sosial. Legal gaps ini menyebabkan hukum nasional sulit dimengerti oleh masyarakat. Solusi yang diusulkan adalah memperkuat peran hukum adat dan hukum Islam sebagai sumber hukum, sehingga hukum yang dibangun akan lebih mencerminkan nilai-nilai masyar
Dokumen tersebut membahas tentang merosotnya moral hukum rakyat di Indonesia yang disebabkan oleh adanya kesenjangan antara hukum tertulis dan kenyataan sosial. Legal gaps ini menyebabkan hukum nasional sulit dimengerti oleh masyarakat. Solusi yang diusulkan adalah memperkuat peran hukum adat dan hukum Islam sebagai sumber hukum, sehingga hukum yang dibangun akan lebih mencerminkan nilai-nilai masyar
Unduh sebagai PDF, TXT atau baca online dari Scribd
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 4
1
TERGERUSNYA MORAL HUKUM RAKYAT
1
Oleh: Ahmad Zaenal Fanani, SHI, M.Si 2
Hampir setiap tahun pemerintah dan DPR membuat dan mengesahkan Undang-Undang (UU) untuk mengatur berbagai persoalan. Pernahkah kita berpikir bahwa banyaknya hukum dalam bentuk UU tersebut ternyata memunculkan problem mendasar dalam sistem penegakan hukum di negara kita. Problem mendasar itu adalah legal gaps, yaitu gap atau disparitas antara hukum yang tertulis dalam UU dengan kenyataan yang ada di tengah-tengah masyarakat. Legal gaps menjadikan subtansi hukum negara dan subtansi moral hukum rakyat tidak hanya tidak selaras, akan tetapi juga berselisih dan menghasilkan ruang yang menganga. Jika tidak dicarikan jalan keluar yang baik fenomena legal gaps ini bisa berubah menjadi konflik hukum (legal conflict) dan konflik budaya (cultural conflict). Sebab tidak jarang ruang menganga itu menimbulkan situasi yang secara diametrikal berlawanan dan ujungnya bisa menimbulkan konflik-konflik yang serius di masyarakat. Contoh mutakhir, walaupun sudah ada UU Pornografi dan UU ITE, pelaku dan penyebar video porno banyak terjadi dimana-mana tanpa tersentuh oleh hukum. Para Koruptor sesuai dengan UU harusnya ditangkap dan dijebloskan kepenjara, nyatanya banyak koruptor bergentayangan dan prilaku korupsi semakin menjadi. Dalam kasus perdata, walaupun UU Perkawinan menyatakan setiap perkawinan harus tercatat dan poligami harus ada izin pengadilan, realitanya banyak pelaku nikah sirri dan poligami liar yang terjadi. Kondisi semacam ini tentu merupakan bukti nyata bahwa hukum kita belum berkerakyatan. Antara subtansi hukum negara dan subtansi moral hukum rakyat belum menyatu. Hukum UU belum dibuat dan digali dari nilai-nilai yang hidup dimasyarakat sehingga antara subtansi hukum dan subtansi moral hukum rakyat bertentangan.
1 Artikel ini pernah dimuat di Rubrik Opini Koran Nasional Banjarmasin Post tanggal 29 Juni 2010. Tulisan ini dikirim untuk dimuat di www.badilag.net karena Penulis melihat tulisan ini perlu dan bermanfaat untuk dibaca oleh para hakim dan aparat Peradilan Agama untuk meningkatkan kualitas berhukum dan penegakan hukum di Indonesia.
2 Penulis adalah Hakim PA Martapura, Mahasiswa Doktor Ilmu Hukum. 2 Memang dewasa ini hukum UU merupakan kenyataan yang kehadiran dan legitimasinya tidak perlu dipertanyakan lagi. Hukum UU itu sesungguhnya merupakan bentuk invensi peradaban barat yang menyebar ke berbagai penjuru dunia akibat ekspansi kekuasaan imperial dan kolonial barat. Pada orde baru, jargon pembagunanisme dan pendayagunaan hukum sebagai a tool of social engineering telah menjadikan hukum dan kebijakan pemerintah menjadi tidak ramah terhadap moral hukum rakyat yang terdapat dalam tradisi-tradisi lokal dan hukum adat. Gerakan sistematis tersebut menyebabkan subtansi moral hukum, tradisi lokal dan hukum adat tergerus dan terpinggirkan. Hukum nasional yang difungsikan sebagai sarana rekaya sosial demi tercapainya pembangunan seringkali sulit dimengerti dan diterima oleh masyarakat. Masyarakat awam merasa bahwa alam kehidupan mereka tidak lagi bersuasana alam kehidupan kedaerahan setempat yang otonom. Perubahan yang didominasi motif-motif politik dengan legitimasi hukum UU telah metransformasi kehidupan dari wujudnya sebagai komunitas-komunitas etnis lokal tradisional ke suatu negara yang tunggal, modern, sentral dan nasional. Perubahan transformatif itu bukan tanpa masalah. Progresi di aras supra yang etatis tidak selamanya dapat diimbangi oleh dinamika perubahan di aras infra yang populis. Tidak dipahaminya kebijakan dan isi kandungan hukum UU oleh rakyat awam yang tersebar diberbagai satuan etnik mencerminkan dengan jelas bahwa dalam pembangunan hukum di Indonesia telah terjadi cultural gaps dan legal gaps.
Alternatif solusi Dalam kultur Civil Law System hukum diidentikkan dengan UU, tidak ada hukum di luar UU, sehingga satu-satunya sumber hukum adalah UU. Dengan adanya konsep demikian, maka nalar hukum yang terbentuk adalah bahwa sumber hukum yang ada hanyalah UU, sehingga rujukan tentang sistem nilai yang ada adalah apa yang telah diatur dalam UU dan bukan sistem-sistem nilai yang lain (seperti halnya nilai yang berkembang di masyarakat). Pada akhirnya, adanya suatu legal gap antara value consciousness yang ada di masyarakat dengan yang ada pada substansi UU bukanlah dianggap sebagai suatu 3 persoalan karena apa yang adil tidaklah diukur dari seberapa mampukah masyarakat merasakannya sebagai suatu hal yang sesuai dengan rasa keadilan mereka melainkan seberapa sesuaikah putusan hakim yang ada dengan bunyi aturan dalam undang-undang. Untuk itulah, sebagai alternatif solusi lain atas problem legal gaps sebagai akibat dari hukum UU adalah perlu adanya kebijakan memperkokoh kembali posisi hukum adat dann hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia. Hukum adat dijadikan sebagai sumber hukum utama pembuatan hukum undang-undang. Lebih-lebih hukum adat adalah hukum asli Indonesia, sedangan Civil Law System adalah sistem hukum hasil transplantasi kekuasaan asing ke dalam bumi Indonesia melalui praktek kolonialisme pemerintah Belanda di wilayah nusantara. Hukum adat adalah hukum yang bersumber pada ugeran-ugeran atau norma kehidupan sehari-hari yang langsung timbul sebagai pernyataan kebudayaan orang Indonesia asli dalam hal ini sebagai pernyataan rasa keadilan dalam hubungan pamrih, sehingga jelas sekali terlihat bahwa hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia yang dibuat oleh masyarakat Indonesia sendiri secara turun-temurun berdasarkan value consciousness mereka yang termanifestasi dalam kebiasaan-kebiasaan hidup sehari-hari dengan menggunakan ukuran nalar dan rasa keadilan mereka. Hukum adat adalah manifestasi value consciousness dan karakteristik masyarakat Indonesia yang membedakannya dengan sistem hukum lain, sehingga berfungsi sebagai perwujudan hukum asli dan pencerminan jiwa bangsa serta rasa keadilan rakyat Indonesia. Dengan adanya kedudukan hukum adat sebagai perwujudan hukum asli dan pencerminan jiwa bangsa serta rasa keadilan dari rakyat Indonesia ini, maka hukum adat seharusnya memiliki peran sentral dalam pembangunan Hukum Indonesia. Di samping hukum adat, juga perlu dipertimbangkan sebagai alternatif solusi legal gaps adalah memporkokoh kembali posisi hukum Islam dalam sistem hukum di Indonesia. Hukum Islam yang hanya berlaku bagi rakyat yang beragama Islam yang jumlahnya masyoritas. Hal ini dikarenakan hukum Islam seringkali bersentuhan langsung dengan sendi dasar dan realitas kehidupan masyarakat sehari-hari, memiliki kaitan yang sangat erat dengan aspek teologis (keimanan), sehingga berimplikasi kuat terhadap keyakinan masyarakat untuk melaksanakan hukum tersebut secara konsisten. 4 Hukum Islam yang harus digali dan dikembangkan adalah nilai-nilai dasar yang universal dan berorientasi pada maqashid syariah (tujuan-tujuan hukum Islam atau Gods Intention). Dari paparan di atas, jika kembali pada pemikiran Von Savigny bahwa hukum adalah cerminan jiwa mayoritas rakyat, maka hukum adat dan hukum Islam-lah yang merupakan cerminan jiwa mayoritas bangsa Indonesia. Hukum adat dan hukum Islam bisa menempati posisi sentral dalam tata hukum Indonesia, yakni sebagai sumber hukum (welbron) dan raw material dalam pembentukan hukum Indonesia maupun sebagai basis dari pembangunan dan pengembangan hukum Indonesia secara keseluruhan, maka dapat dipastikan bahwa adanya fenomena legal gap dengan sendirinya akan teratasi, karena hukum yang nantinya akan terbangun adalah hukum yang bersubstansikan langsung dari nilai-nilai yang hidup dan dipraktekkan oleh mayoritas masyarakat. Dengan demikian hukum akan selalu linier dengan tuntutan keadilan bagi seluruh atau mayoritas masyarakat.