TBR Miller Fisher Faridz Albam Wiseso G1A212078

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 10

1

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Sindrom Miller Fisher adalah kelainan neurologis akut yang ditandai
dengan adanya trias manifestasi klinis yaitu adanya ataksia (kurangnya
keseimbangan), opthalmoplegia (kelumpuhan otot mata), dan arefleksia
(hilangnya refleks tendon) (1).
Sindrom Miller Fisher dideskripsikan pertama kali pada 1956 oleh
seorang dokter berkebangsaan Kanada bernama Charles Miller Fisher. Sindrom
ini merupakan keadaan akut, jarang ditemukan, dan dianggap sebagai suatu
varian dari Sindrom Guillain Barre (2). Sindrom Guillain Barre merupakan
polineuropati akut, bersifat simetris dan ascenden. Pada sindrom ini terjadi
demielinasi inflamasi akut yang biasanya terjadi 1 sampai 3 minggu dan
kadang sampai 8 minggu setelah suatu infeksi akut (3).
Pasien dengan gejala Miller Fisher saja tanpa kelemahan generalisata
jarang ditemukan. Pasien sindrom Miller Fisher sering memiliki neuropati yang
tumpang tindih dengan SGB dan menunjukkan kelemahan generalisata, dan
kadang-kadang kelumpuhan anggota gerak sebagai gejala tambahan. Kadang-
kadang diusulkan penyebab sindrom Miller Fisher adalah infeksi batang otak.
Sindrom ini bisa saja menyerupai adanya lesi pada batang otak, namun
beberapa kasus sindrom Miller Fisher jarang menunjukkan adanya bukti
kelainan batang otak pada pemeriksaan radiologi maupun otopsi. Jika
ditemukan secara klinis maupun radiologis adanya tanda-tanda lesi batang
otak, maka kondisi tersebut dapat disebut sindrom Bickerstaff atau
Bickerstaffs Brainstem Encephalopaty (BBE) (2).
Perbedaan SGB dan sindrom Miller Fisher yaitu pada kelompok saraf
yang terkena, dan paralisis yang terjadi berawal dari tungkai, lalu naik keatas.
Sementara itu pada sindrom Miller Fisher paralisis dimulai dari kepala kepala
(pada otot mata) dan kemudian leher dan lengan. Walaupun penyebab langsung
masih belum diketahui, 65% semua kasus diperkirakan berhubungan dengan
infeksi virus (4). Gejala-gejala awal yang dilaporkan mengarah ke infeksi virus
2

seperti sakit kepala, demam, dan pneumonia. Kemudian muncul trias gejala,
lalu lebih lanjut menjadi kelemahan otot generalisata. Komplikasi pada otot
pernafasan akan menyebabkan gagal nafas jika tidak ditangani (2).

B. Epidemiologi
Sindrom Miller Fisher adalah kelainan yang sangat jarang ditemukan.
Kelainan ini adalah varian dari SGB yang ditemukan mencapai 5-10% dari
kasus SGB. Sindrom Miller Fisher dilaporkan mengenai individu berusia
antara 38 dan 65 tahun, dengan insidensi 1/1.000.000. Usia bukan merupakan
faktor risiko, dan semua orang yang memproduksi antibodi spesifik dapat
terkena kelainan ini (2).

C. Klasifikasi
Sindrom Miller Fisher dianggap sebagai suatu varian dari sindrom
Guillain Barre. Sindrom Guillain Barre dikenal juga sebagai Acute
Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (AIDP). Tanda yang paling
umum muncul pada SGB (SGB dalam bentuk klasik) adalah adanya kelemahan
motorik, paralisis, hiporefleksia simetris, asendens dan progresif, dengan atau
tanpa disertai gejala sensorik atau otonom (5). Otot yang dapat terkena
diantaranya otot tungkai, lengan, wajah, dan dapat juga mengenai otot
pernafasan. Adapun beberapa kelainan dengan tanda yang lebih spesifik
diklasifikasikan sebagai varian dari SGB, diantaranya:
1. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN). Terdapat respon imun terhadap
akson saraf motorik perifer.
2. Acute Motor and Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN). Selain terdapat
respon imun terhadap akson saraf motorik, juga mengenai akson saraf
sensorik.
3. Acute Panautonomic Neuropathy. Kelainan mengenai saraf ototnom yang
jarang ditemukan, biasanya terjadi dengan ensefalopati, dan mortalitasnya
tinggi karena cardiac disritmia.
3

4. Sindrom Miller Fisher. Adanya 3 tanda kardinal yaitu opthalmoplegia,
atakasia, dan arefleksia. Dapat juga ditemukan kelemahan wajah, lidah,
bibir, palatum, faring, dan laring.
5. Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy (CIDP). Adanya
gejala dan tanda AIDP yang telah berlangsung lebih dari 4 minggu (5).

Sindrom Miller Fisher memiliki beberapa varian diantaranya (6):
1. Sindrom Miller Fisher Tipikal
Sindrom Miller Fisher adalah kelainan neurologis akut yang
ditandai dengan adanya trias manifestasi klinis yaitu adanya ataksia
(kurangnya keseimbangan), opthalmoplegia (kelumpuhan otot mata), dan
arefleksia (hilangnya refleks tendon).
2. Sindrom Miller Fisher Rekurens
Jarang ditemukan adanya kekambuhan pada sindrom Miller Fisher.
Kasus kambuh ditemukan terjadi setelah waktu asimptomatik yang lama,
antara 2,5 sampai 12,5 tahun. Temuan klinis dan laboratoris pada
kekambuhan ini sama dengan serangan pertama. Kadar serum GQ1b IgG
juga ditemukan positif pada kekambuhan. Temuan ini menunjukkan
sindrom Miller Fisher rekurens secara klinis sama dengan sindrom Miller
Fisher tipikal.
3. Sindrom Miller Fisher atipikal
Varian ini adalah SGB pada saraf kranial bawah dan sindrom
Miller Fisher atipikal. Dilaporkan ada penderita orofaring palsy yang
memiliki titer antibodi GQ1b IgG dan antibodi IgG GT1a yang tinggi.
Penderita tidak terkena opthalmoplegi dan ptosis. Ditemukan ataksia dan
arefleksia, tanpa adanya kelemahan tungkai. Pasien ini dikatakan sebagai
varian orofaring SGB dan menunjukkan tingginya antibodi GQ1b serum,
seperti yang ditemukan pada sindrom Miller Fisher, dan dapat terjadi
tanpa opthalmoplegia.
Ditemukan juga bahwa saraf okulomotor terkena pada 7 kasus
varian opthalmologi SGB. Saraf IX, X, dan XI juga ditemukan terlibat
pada 9 kasus SGB varian saraf kranial bawah.Dapat terjadi overlap antara
4

varian orofaring dan opthalmoplegia, terjadi juga overlap dengan
kelemahan tungkai pada SGB jenis klasik.
4. Sindrom Miller Fisher dengan lesi saraf pusat
Beberapa pasien dengan gejala sindrom Miller Fisher ternyata
memiliki penyebab yang berbeda dari sindrom Miller Fisher tipikal.
Ditemukan adanya ataksia karena gangguan cerebellum, opthalmoplegia
karena lesi supranuclear oculomotor. Temuan abnormal pada
elektroencephalografi.

D. Etiologi
Mikroorganisme penyebab sindrom Miller Fisher belum pernah
ditemukan pada penderita dan bukan merupakan penyakit yang menular juga
tidak diturunkan secara herediter. Penyakit ini merupakan proses autoimun
dimana antibodi yang diproduksi oleh sistem imun tubuh, secara abnormal
menyerang insulator saraf dan pembawa impuls yaitu selubung myelin. Hal ini
menyebabkan radang dan kerusakan pada sistem saraf. Sekitar setengah dari
seluruh kasus terjadi setelah penyakit infeksi virus atau bakteri seperti dibawah
ini (2):
1. Infeksi virus : Citomegalovirus (CMV), Ebstein Barr Virus (EBV),
enterovirus, Human Immunodefficiency Virus (HIV).
2. Infeksi bakteri : Campilobacter jejuni, Mycoplasma pneumonie.
3. Pascah pembedahan dan Vaksinasi.
4. 50% dari seluruh kasus terjadi sekitar 1-3 minggu setelah terjadi penyakit
Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan Infeksi Saluran Pencernaan.

E. Patofisiologi
Peran antibodi antigangliosida GQ1b pada patogenesis sindrom Miller
Fisher diketahui pada awal tahun 1990. Anti GQ1b diketahui berhubungan
dengan tingkat keparahan dari sindrom Miller Fisher. Sindrom MF
berhubungan dengan adanya anti GQ1b pada lebih dari 80% pasien. Antibodi
ini tidak ditemukan pada pasien SGB lainnya, sehingga diperkirakan antibodi
ini yang menjadi penyebab sindrom Miller Fisher (4).
5

Diketahui diplopia muncul 8 sampai 14 hari setelah onset diare. Hasil
isolasi sampel feses ditemukan adanya Campilobacter jejuni. Pemeriksaan
darah ditemukan titer serum antibodi IgG GQ1b dari semua pasien. Dilaporkan
bahwa epitop GQ1b ada di membran sel bakteri Campilobacter jejuni,
sehingga ini merupakan bukti adanya mimikri molekular pada sindrom Miller
Fisher. Determinan antigenik pada pasien mungkin berperan dalam
penghapusan toleransi dan membantu produksi antibodi IgG GQ1b yang
menyebabkan sindrom Miller Fisher (6).
Penelitian dilakukan pada preparat saraf phrenicus tikus untuk
mengetahui kerja antibodi GQ1b yang diambil dari pasien sindrom Miller
Fisher. Hasilnya adalah diketahui frekuensi potensial motor end plate
meningkat dalam 25 menit, kemudian menurun dengan cepat, dan hilang
setelah 3 jam, lalu stimulasi saraf tidak lagi menghasilkan respon. Hal ini
menunjukkan kemungkinan antibodi GQ1b menyebabkan gagalnya pelepasan
asetilkolin dari motor end plate (6).
Penyebab hal tersebut yang paling memungkinkan adalah antibodi
mengganggu influks Ca2+, atau dengan berinteraksi dengan protein dari
apparatus eksositotik, sehingga mencegah transmisi impuls ke membran post
sinaps (6). Pelepasan neurotransmitter asetilkolin tergantung pada datangnya
impuls. Impuls akan membuka kanal kalsium di membran terminal dalam
jumlah besar, yang menyebabkan kalsium masuk kedalam sel. Dengan
kombinasi depolarisasi terminal presinaps dan masuknya kalsium, memicu
100-300 vesikel yang berisi asetilkolin untuk fusi dengan membran presinaps
lalu melepaskan asetilkolin ke celah sinaps (eksositosis). Hal ini menyebabkan
depolarisasi dari sel otot dan memicu potensial aksi pada otot (7).
Antibodi GQ1b sepertinya adalah faktor patogen dari kelemahan otot
pada sindrom Miller Fisher. Temuan ini mungkin dapat menjelaskan, mengapa
kekuatan otot kembali dengan cepat setelah dilakukan terapi plasmapheresis
(6).

F. Gejala Klinis Sindrom Miller Fisher
6

Pada sindrom Miller Fisher, paresis otot ekstraokular terjadi secara
progresif dan menjadi opthalmoplegi bilateral komplit dalam 1 sampai 2
minggu, diikuti adanya arefleksia, gangguan sensoris dan ataksia, juga berbagai
variasi kelainan saraf kranialis dapat muncul. (2) Tanda klinis yang muncul
pada sindrom ini sangat bervariasi, diantaranya (8)(9)(10):
1. Gejala klinis diikuti gejala infeksi saluran nafas atas pada 56-76% pasien.
2. Kelemahan tungkai 20-25%
3. Diplopia adalah keluhan awal yang paling umum (39%), ataksia muncul
21% pada onset awal.
4. Opthalmoparesis dapat timbul asimetris, namun biasanya progresif
hingga menjadi opthalmoplegia komplit. Ptosis biasanya dijumpai pada
opthalmoparesis (60%), namun keterlibatan pupil jarang ditemukan.
5. Saraf kranial lainnya juga dapat terkena. Kelemahan otot wajah pada 57%,
disfagia pada 40%, dan disartria pada 13% pasien.
6. Sebanyak 20-25% pasien mengeluhkan parestesia pada tungkai bawah dan
juga kadang dikeluhkan pada wajah.
7. Arefleksia ditemukan pada pemeriksaan lebih dari 82% pasien.
Nervus facialis adalah saraf kranial yang paling sering terkena. Pada
beberapa pasien, sindrom ini muncul dalam bentuk terbatas pada
opthalmoplegia internal bilateral tanpa tanda gejala lain, atau opthalmoplegi
eksternal unilateral. Kelemahan ringan pada tungkai atas dapat menunjukkan
perjalanan keparahan penyakit pada kurang lebih sepertiga kasus. Beberapa
pasien bertambah parah dan muncul kelemahan umum menyerupai SGB (9).

G. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis sindrom Miller Fisher masih tetap berdasarkan gejala klinis,
namun beberapa studi diketahui berguna untuk menyingkirkan penyebab lain
yang mungkin .
1. Analisis LCS
Mayoritas pasien sindrom Miller Fisher terdapat peningkatan protein pada
LCS tanpa pleositosis yang signifikan (disosiasi sitoalbumin), namun
protein LCS yang normal tidak mengeksklusi diagnosis sindrom Miller
7

Fisher. Penting diketahui bahwa disosiasi sitoalbumin bisa tidak muncul
dalam 3 minggu pertama setelah onset gejala, jadi dengan tidak adanya
disosiasi sitoalbumin, belum dapat menyingkirkan diagnosis sindrom
Miller Fisher. Analisis LCS mungkin tidak hanya menunjukkan disosiasi
sitoalbumin, namun juga dapat membantu menyingkirkan ensefalopati
viral (9).
2. Antigen spesifik
Anti-GQ1b hampir selalu ditemukan, namun diagnosis dapat ditegakkan
dari gejala klinis tanpa menggunakan tes ini (9).
3. Radiologi
Kadang-kadang tumor serebelum dapat menyebabkan ataksia pada anak,
maka diperlukan scanning otak. Untuk menyingkirkan multiple sklerosis,
maka diperlukan MRI sebagai penunjang yang paling berguna (8).
4. Spirometri
Parameter respirasi diukur dengan spirometri untuk menilai fungsi otot
pernafasan (8).

H. Penatalaksanaan
1. Observasi
Setelah diagnosis sindrom Miller Fisher ditegakkan, pasien sebaiknya
diobservasi parameter respirasinya. Pasien dengan penurunan fungsi
respirasi yang cepat, atau kapasitas vital kurang dari 20cc/kg harus dirawat
di ICU. Pasien dengan gejala yang berat, dapat memiliki gejala seperti
SGB. Maka penting dilakukan terapi dan pengawasan dengan waspada (8).
2. Plasmapheresis / plasma exchange
Terapi sindrom Miller Fisher dilakukan dengan mengeluarkan plasma dari
tubuh pasien, dan digantikan dengan plasma baru, prosedur ini disebut
plasmapheresis. Dengan demikian antobodi yang menyebabkan kelainan
juga ikut terbuang (6). Pertukaran plasma dilakukan sebanyak 200 sampai
250ml/kg berat badan selama 10 sampai 14 hari. Plasma yang dibuang
digantikan oleh albumin. Sebagai contoh, pasien dengan berat badan 70kg
8

akan mendapat total pertukaran 14000 sampai 17500ml , yang akan selesai
dalam minimum 7 hari dengan penggantian plasma 2 liter per hari (9).
3. Injeksi Imunoglobulin Intravena
Alternatif lainnya adalah dengan injeksi immunoglobulin intravena (IVIg)
untuk memperkuat sistem imun. Terapi sindrom Miller Fisher dengan IVIg
dan plasmapheresis telah diketahui manfaatnya dalam terapi SGB, namun
belum ada studi yang dilakukan spesifik untuk sindrom Miller Fisher (6).
4. Immunoadsorption
Baru-baru ini, identifikasi antibodi spesifik pada sindrom Miller Fisher
telah membawa pada strategi terapi baru, Immunoadsorption. Penyerapan
anti-GQ1b IgG dari serum pasien telah berhasil dilakukan di Jepang
dengan cara plasmapharesis. Sebanyak 3 pasien yang menjalani
plasmapharesis immunoadsorbtion dilaporkan mengalami penurunan
kadar titer serum anti-GQ1b IgG, dan perbaikan opthalmoplegia dan
ataksia setelah beberapa kali terapi. Dengan adanya terapi baru ini,
membuat semakin jelas perbedaan klinis antara sindrom Miller Fisher dan
SGB (6).
Sebuah percobaan membandingkan IVIg dan plasmapheresis pada
pasien SGB sedang hingga berat (tidak mampu berjalan) tidak berhasil
menunjukkan perbedaan signifikan dari hasil kedua terapi. Menggabungkan
keduanya juga tidak memberikan manfaat. Plasmapharesis melibatkan
perubahan hemodinamik yang besar dan merupakan kontraindikasi pada pasien
dengan kelainan fungsi jantung (6).
Meskipun diperkirakan penyebab kelainan ini adalah imunologi, terapi
kortikosteroid yang dilakukan tidak menunjukkan efektifitasnya (9). Pasien
yang tidak dilakukan terapi dapat mengalami diplopia, mual, kesulitan berjalan,
dan sensitif terhadap cahaya, yang berlanjut selama beberapa bulan (6).
9

BAB II
KESIMPULAN


1. Sindrom Miller Fisher adalah kelainan neurologis akut yang ditandai dengan
adanya trias manifestasi klinis yaitu adanya ataksia (kurangnya keseimbangan),
opthalmoplegia (kelumpuhan otot mata), dan arefleksia (hilangnya refleks
tendon).
2. Diagnosis sindrom Miller Fisher masih tetap berdasarkan gejala klinis,
beberapa penunjang yang dapat dilakukan diantaranya Analisis LCS, Antigen
spesifik, Radiologi, dan Spirometri.
3. Pada sindrom Miller Fisher terdapat mimikri molekular oleh Campilobacter
jejuni dimana terdapat epitop GQ1b pada dinding sel C. jejuni.
4. Tubuh memproduksi antibodi IgG GQ1b yang merupakan patogen pada
kelemahan otot pada sindrom Miller Fisher.
5. Terapi sindrom Miller Fisher dilakukan dengan plasmapheresis, yaitu
mengeluarkan plasma dari tubuh pasien dan digantikan dengan plasma baru,
dengan demikian antobodi yang menyebabkan kelainan juga ikut terbuang.






10

DAFTAR PUSTAKA

1. Guillain-Barr Syndrome Support Group, 2005. Miller Fisher Syndrome
Guide. Heckington: GBSSG
2. Chamberlin, Stacey, Brighamnarin. 2005. The Gale Encyclopedia of
Neurological Disorders. Farmington Hills : Thompson Gale
3. Bradley, Walter. 2004. Neurology in Clinical Practice : Principles of
Diagnosis and Management. 4th Edition. Philadelphia : Elsevier
4. Bushra, Joseph S. 2000. Miller Fisher Syndrome: An Uncommon Acute
Neuropathy. The Journal of Emergency Medicine, Vol. 18, No. 4, pp. 427
430. Available from :
http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S073646790000158X
5. Goetz, Christopher. 2007. Textbook of Clinical Neurology. 3rd ed. New
York : Saunders
6. Haifeng, Li. Jinmei, Yuan. 2001. Miller Fisher syndrome: toward a more
comprehensive understanding. Chinese Medical Journal 2001. 114.3.235-
239. Available from:
http://www.cmj.org/ch/reader/create_pdf.aspx?file_no=20013235&year_id
=2001&quarter_id=3&falg=1
7. Despopoulos, Agamemnon. 2003. Color Atlas of Physiology. New York :
Thieme
8. Samuels, Martin. 2010. Samuels's Manual of Neurologic Therapeutics. 8th
Edition. . New York : Lippincott Williams & Wilkins
9. Aranyi, Z. et al. 2012. Miller Fisher syndrome: brief overview and update
with a focus on electrophysiological findings. European Journal of
Neurology 2012, 19: 1520. Available from:
http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1111/j.1468-1331.2011.03445.x
10. Santra, Gouranga. 2008. Miller Fisher Syndrome An Uncommon Clinical
Presentation. Journal of Association of Physicians of India. VOL. 56
NOVEMBER 2008. Available at:
http://www.researchgate.net/publication/24179569_Miller_Fisher_syndro
me--an_uncommon_clinical_presentation/file/79e41505b0a56bd92f.pdf

Anda mungkin juga menyukai