Buku KPH - Konsep, Peraturan Perundangan Dan Implementasi

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 128

KEMENTERIAN KEHUTANAN

DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN


DIREKTORAT WILAYAH PENGELOLAAN DAN PENYIAPAN AREAL
PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN

Pembangunan
Kesatuan Pengelolaan Hutan

(KPH)

Konsep, Peraturan Perundangan


dan Implementasi

Jakarta, Oktober 2011

KEMENTERIAN KEHUTANAN
DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI KEHUTANAN
DIREKTORAT WILAYAH PENGELOLAAN DAN PENYIAPAN AREAL
PEMANFAATAN KAWASAN HUTAN

Pembangunan
Kesatuan Pengelolaan Hutan

(KPH)

Konsep, Peraturan Perundangan


dan Implementasi

Jakarta, Oktober 2011

Jakarta, Oktober 2011

Penanggung jawab:
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan
Diterbitkan oleh:
Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan
Bekerjasama dengan:
Deutsche Gesellschaft fr Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH
FORCLIME Forests and Climate Change Programme

Disusun oleh:
Hariadi Kartodihardjo
Bramasto Nugroho
Haryanto R Putro
Editor:
Ali Djajono dan Lilit Siswanty
ISBN: ..............
Dicetak oleh: Debut Wahana Sinergi
Didistribusi oleh:
Direktorat Wilayah Pengelolaan dan Penyiapan Areal Pemanfaatan Kawasan Hutan
Jakarta, Oktober 2011

SAMBUTAN
Menteri Kehutanan

Undang-undang
nomor 41 tahun 1999
tentang Kehutanan
mengamanatkan
pengelolaan hut an
dilaksanakan sampai
pada tingkat unit
pengelola, yaitu
kesatuan pengelolaan
hutan terkecil sesuai
fungsi pokok dan
peruntukannya, yang
dapat dikelola secara efisien dan lestari. Para
akademisi, birokrasi dan praktisi serta kebanyakan
stakeholders di bidang kehutanan meyakini, bahwa
pengelolaan hutan sampai pada tingkat tapak, atau
yang disebut Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH),
merupakan sistem yang dapat lebih menjamin
terwujudnya kelestarian fungsi dan manfaat hutan,
baik dari aspek ekonomi, ekologi maupun sosial.
Meskipun secara eksplisit mandat sistem
pengelolaan hutan di atas tertuang dalam
peraturan yang diundangkan tahun 1999, namun
konsepsi pengelolaan hutan sampai pada tingkat
unit terkecil di Indonesia sudah berkembang sejak
lama, dan implementasinya telah dipraktekkan di
pulau Jawa. Di luar pulau Jawa, sebelum memasuki
era reformasi, pengelolaan hutan juga mengadopsi
konsep KPH, meskipun seluruh sistem KPH
tersebut belum diadopsi secara penuh. Memasuki
era reformasi dan sejalan dengan kebijakan
desentralisasi dan otonomi daerah yang lebih
luas, tatanan kelembagaan pengelolaan hutan
juga mengalami perubahan. Akan tetapi, faktanya,
keberadaan kelembagaan pengelolaan hutan belum
dirasakan sampai ke tingkat tapak. Para rimbawan
meyakini bahwa adanya unit pengelolaan hutan di
tingkat tapak adalah prasyarat untuk kelestarian
hutan. Oleh karena itu, pemerintah memandang
perlu segera meluruskan sistem pengelolaan hutan
untuk kembali ke khitah yang dilaksanakan oleh
KPH.

Jangka Menengah Nasional (RPJMN) dan


Rencana Strategis (Renstra) Kementerian
Kehutanan 2010-2014. Terwujudnya organisasi
pengelolaan hutan dalam bentuk KPH akan lebih
mendorong implementasi desentralisasi yang
nyata, optimalisasi akses masyarakat terhadap
sumberdaya hutan sebagai salah satu jalan untuk
resolusi konf lik, kemudahan dan kepastian
investasi, tertanganinya wilayah tertentu yang
belum ada unit pengelolanya yaitu areal hutan
yang belum dibebani ijin, serta upaya untuk
meningkatkan keberhasilan rehabilitasi dan
perlindungan hutan. Pentingnya pencapaian target
prioritas pembangunan KPH, telah menjadikannya
sebagai salah satu substansi di dalam Instruksi
Presiden Nomor 3 Tahun 2010 tentang Program
Pembangunan Yang Berkeadilan.
Berdasarkan uraian di atas, Kementerian
Kehutanan memandang perlu menerbitkan
buku Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan
Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi.
Buku ini akan menjadi sumber informasi penting
bagi para pemangku kepentingan, baik di tingkat
pusat maupun di daerah, dalam memahami,
mengarahkan, menjalankan serta mengawasi
proses pembangunan KPH. Pemahaman ini
menjadi sangat penting utamanya bagi para
pembuat kebijakan dan pengambil keputusan
khususnya yang bersifat politik.
Kiranya Allah SWT senantiasa membimbing
langkah bangsa Indonesia dalam upaya
mewujudkan sumberdaya hutan yang lestari.

Menteri Kehutanan,

Zulkifli Hasan

Pemerintah telah menetapkan bahwa pembangunan


KPH menjadi salah satu prioritas nasional yang
telah tertuang dalam Rencana Pembangunan

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

iii

KATA PENGANTAR

Direktur Jenderal Planologi Kehutanan


P e m a n f a a t a n
sumberdaya hut an
di luar Pulau Jawa
secara intensif yang
dimulai sejak empat
dekade lalu dirasakan
memberikan manfaat
yang sangat besar
dalam pembangunan
nasional. Meskipun
produk utama hasil
pemanfaatan sampai saat ini sebagian besar berupa
kayu dan dalam porsi yang lebih kecil berupa
produk non kayu, namun kontribusi terhadap
pembangunan ekonomi nasional memberikan
peran yang cukup nyata.
Setelah melalui periode yang cukup panjang,
selain telah memberikan cukup manfaat dalam
pembangunan nasional, namun juga telah
menimbulkan dampak negatif yang tidak sedikit.
Dalam aspek ekologi, pemanfaatan sumberdaya
telah menurunkan fungsi hutan sebagai
penyeimbang lingkungan serta menurunnya
kualitas keanekaragaman hayati. Dalam aspek
sosial telah menimbulkan permasalahan tenurial.
Demikian pula dalam aspek ekonomi yang ternyata
sistem pemanfaatan hutan saat ini dirasakan belum
memberikan kepastian dalam hal kelestarian
produksi.
Melalui proses perjalanan pemikiran yang sangat
panjang dan mendalam yang dihadapkan pada
berbagai persoalan dalam pengelolaan hutan, maka
mimpi rimbawan Indonesia untuk membentuk
basis pengelolaan hutan yang menjamin asas
kelestarian sedikit demi sedikit ingin diwujudkan
melalui Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) sebagai
unit pengelola hutan di tingkat tapak. Rimbawan
Indonesia meyakini bahwa KPH merupakan
jawaban menuju pengelolaan hutan secara lestari
yang berpegang pada tiga prinsip dasar, yakni
kelola ekologi, sosial dan ekonomi.
Basis politik dan hukum pembanguan KPH telah
secara eksplisit diamanatkan didalam UndangUndang Nomor 41 tahun 1999, yang mengubah
basis pengelolaan hutan di luar Pulau Jawa dari

konsesi menjadi KPH. Namun demikian proses


pembangunan KPH juga dihadapkan pada berbagai
hambatan. Pembangunan KPH tidak hanya berada
di domain pekerjaan para rimbawan, namun
lebih dari itu adalah pekerjaan semua level tata
pemerintahan, mulai dari pemegang kebijakan
sampai dengan institusi teknis di lapangan. Guna
mengakselerasi pembangunan KPH, Kementerian
Kehutanan telah menetapkan bahwa pembangunan
KPH merupakan salah satu prioritas pembangunan
kehutanan dengan menetapkan target-target
terukur di dalam Rencana Strategis 2010-2014.
Periode Renstra di atas dapat dikatakan sebagai
tahap awal pembangunan fisik KPH. Sebagaimana
dalam suatu proses, tahap awal merupakan
periode yang sulit dan kritis. Dimulai dengan
perlunya pemahaman tentang konsep dasar serta
peraturan perundangan pembangunan KPH oleh
para pihak. Meskipun konsep dasar dan asas legal
pembangunan KPH telah banyak dibahas dan
didiskusikan oleh para pemangku kepentingan
di berbagai forum, namun untuk memperoleh
suatu pemahaman yang utuh diperlukan adanya
dokumen yang membahas hal tersebut secara
komprehensif. Untuk itu Kementerian Kehutanan
menerbitkan buku tentang konsepsi KPH yang
memenuhi kaidah akademis namun disajikan secara
sederhana dalam bahasa yang populer, dengan
judul: Pembangunan Kesatuan Pengelolaan
Hutan: Konsep, Peraturan Perundangan dan
Implementasi.
Penyusunan dan penerbitan buku ini adalah
hasil kerjasama antara Kementerian Kehutanan,
Fakultas Kehutanan IPB, dan Program Forclime
GIZ kerjasama antara pemerintah Indonesia dan
Jerman di bidang Kehutanan. Kepada semua
pihak yang telah memberikan kontribusi dalam
penyusunan buku ini kami ucapkan terima kasih,
dan semoga buku ini bermanfaat.
Direktur Jenderal,

Bambang Soepijanto

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

KATA PENGANTAR
Direktur GIZ Forests and Climate Change Programme (FORCLIME)
Dalam
rangka
memenuhi tanggung
jawab negara dalam
melaksanakan t at a
kelola pengelolaan
sumber daya alam
yang baik termasuk
hutan, diperlukan
struktur kelembagaan
dan administrasi yang
efektif. Untuk mencapai
tujuan tersebut maka
negara harus memastikan bahwa kebijakan
dan berbagai peraturan dapat ditetapkan dan
dilaksanakan, yang dalam prosesnya memberikan
ruang untuk konsultasi dan partisipasi publik, dan
yang diarahkan guna meningkatkan kesejahteraan
masyarakat dan berwawasan pengelolaan hutan
secara lestari. Selanjutnya pelaksanaan tata kelola
sumber daya alam hutan yang baik mengharuskan
adanya sistem manajemen yang bertanggung
jawab kepada masyarakat, serta hak individu
(termasuk hak perempuan) dan hak masyarakat
tetap dihormati. Selain itu, negara harus menjamin
adanya akses yang adil terhadap sumber daya milik
publik. Hal tersebut merupakan latar belakang
mengapa Kerjasama Pembangunan Jerman telah
dan akan terus mendukung Pemerintah Indonesia
untuk mengembangkan dan melaksanakan konsep
Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH).
KPH sebagai unit operasional pengelolaan hutan
dengan luas yang dapat dikelola dan dikontrol
secara efektif bertanggung jawab atas pengelolaan
hutan di tingkat tapak yang responsif terhadap
kebutuhan dan kepentingan lokal. Oleh karena
itu, pembangunan KPH yang telah, sedang dan
terus dilakukan oleh Kementerian Kehutanan
merupakan langkah yang signifikan menuju
perbaikan tata kelola di sektor kehutanan Indonesia.
Dalam kontek ini, konsep KPH merupakan
tonggak penting dalam proses desentralisasi dan
pendelegasian wewenang, yang ditandai dengan
pembagian yang jelas antara fungsi kewenangan
urusan pemerintahan dan kegiatan operasional
pengelolaan hutan secara lestari.

Selama ini pemikiran tentang konsep KPH


terdokumentasikan dalam peraturan-peraturan
dan keputusan, serta prosiding/hasil-hasil
lokakarya, seminar, workshop dan laporan-laporan
proyek yang terpisah-pisah. Buku "Pembangunan
Kesatuan Pengelolaan Hutan - Konsep, Peraturan
Perundangan dan Implementasi" merupakan
dokumen yang untuk pertama kalinya menyajikan
konsep secara komprehensif tentang pemikiran,
gagasan, dan arahan pembangunan KPH. Buku
ini menjelaskan alasan dan kebijakan di balik
reformasi administrasi, tujuan dan fungsi dari
suatu KPH berikut sistem manajemennya. Di
dalam buku ini, juga dibahas aspek sosial dan tata
kelola serta analisis tantangan dalam membangun
KPH berdasarkan penilaian pengalaman yang
telah dilakukan selama ini. Materi yang tersaji
dalam buku ini memberikan saran tentang
bagaimana mengatasi tantangan tersebut melalui
penetapan kebijakan, strategi dan tindakan. Oleh
karenanya, buku ini memberikan sintesis dan
mengintegrasikan potongan-potongan konsep
dari sumber yang tersebar dengan memasukkan
pengalaman implementasi KPH yang disampaikan
melalui kerangka konseptual, baik dari sisi
kebijakan dan perspektif teknis. Diharapkan buku
ini menyediakan dasar yang baik untuk diskusidiskusi para pihak guna menentukan langkahlangkah yang perlu dan harus diambil selanjutnya
dalam membangun KPH hingga dapat beroperasi
di tapak.

Direktu r P rogram

Rolf Krezdorn
GIZ Forests and Climate Change Programme
(FORCLIME)

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

vii

DAFTAR ISI
SAMBUTAN
Menteri Kehutanan........................................iii
KATA PENGANTAR
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan... v
KATA PENGANTAR
Direktur GIZ Forests and Climate
Change Programme (FORCLIME)............vii
DAFTAR ISI......................................................ix
DAFTAR TABEL...............................................xi
DAFTAR GAMBAR.......................................xiii
PENDAHULUAN..............................................

Latar belakang penyusunan buku..................3


Tantangan dalam pembangunan KPH .........4
Tujuan dan manfaat penulisan buku............5
Metodologi penyusunan buku........................5
Isi buku..................................................................5
DEFINISI DAN RUANG LINGKUP KPH.....

Definisi...................................................................9
KPH dan ragam fungsi hutan........................10
KPH dan akses masyarakat.............................11
KPH dan usaha kehutanan.............................11
KPH dan organisasi daerah............................11
KPH dan pengembangan wilayah.................11
KPH dan kelestarian hutan............................12
RASIONALITAS PEMBANGUNAN
KPH.................................................................

13

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KPH........

27

Landasan konseptual pengelolaan hutan...29


Landasan pembentukan KPH........................33
Tugas pokok dan fungsi KPH........................35
Pembangunan KPH di wilayah provinsi.....45
Pembentukan organisasi KPH ......................47
Sumberdaya manusia.......................................50
PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN
HUTAN LINGKUP KPH...............................

51

Sistem perencanaan hutan.............................53


Tata hutan..........................................................56
Pemanfaatan hutan..........................................60
Rehabilitasi dan reklamasi hutan.................61
Perlindungan hutan.........................................62
Pemberdayaan masyarakat.............................63
Rencana jangka panjang KPH.......................64
PENILAIAN KINERJA KPH........................

67

Konsep dasar......................................................69
Tipologi KPH.....................................................72
Kriteria dan indikator kinerja KPH..............73
Sistem penilaian kinerja KPH........................76
ASPEK SOSIAL DAN KEPEMERINTAHAN ...........................................................

79

Tipologi masalah sosial...................................82


Tipologi organisasi dan kepemerintahan
KPH......................................................................85
RENCANA AKSI DAN IMPLEMENTASI
NASIONAL.....................................................

89

Pembangunan KPH sebagai strategi............22

Strategi dan kebijakan.....................................91


Program dan kegiatan......................................93
PUSTAKA ACUAN.........................................97

Tantangan pembangunan KPH....................23

Lampiran..........................................................99

Persoalan umum kehutanan Indonesia......14

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

ix

DAFTAR TABEL
1. Laju deforestasi menurut pulau di
Indonesia (2000-2005)...................................14
2. Usulan perubahan peruntukan kawasan
hutan di 27 provinsi.......................................15
3. Keterkaitan akar masalah dengan
masalah kehutanan secara menyeluruh
dan kebijakan pembangunan nasional.....20
4. Pandangan tradisional dan saat ini
terhadap sumberdaya hutan........................30
5. Jenis barang dan jasa hutan berdasarkan
tujuan dan tingkat aktivitas manusia
untuk mengadakan atau melindungi
fungsi SDA........................................................31
6. Pengurusan dan pengelolaan hutan..........36
7. Administrasi pemerintahan dan
pembangunan..................................................37
8. Peranan KPH dalam pengelolaan hutan
lestari..................................................................47

9. Prinsip-prinsip penilaian kinerja................70


10. Perbedaan model-model monitoring
dan evaluasi......................................................71
11. Kebutuhan kriteria dan indikator pada
berbagai tipologi.............................................73
12. Sistem Tujuan Pembangunan KPH...........76
13. Masalah sosial yang dihadapi beberapa
KPH....................................................................83
14. Masalah organisasi dan kepemerintahan
yang dihadapi di beberapa KPH..................86
15. Strategi dan kebijakan pembangunan
KPH tingkat Nasional....................................92
16. Indikator pembangunan KPH dalam
renstra Kementerian Kehutanan
2010-2014.........................................................96
17. Kegiatan pokok yang dijadikan acuan
Direktorat Planologi Kehutanan dan
mewujudkan pembangunan KPH..............96

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

xi

DAFTAR GAMBAR
nasional.............................................................46

18. Lokasi deforestasi menurut fungsi


kawasan hutan dan non-hutan. Dihitung
berdasarkan data dari kajian IFCA
(Dephut, 2008).................................................16

24. Kerangka logika penetapan organisasi


KPH....................................................................48

19. Proyeksi suplai kayu dari hutan alam


(APHI, 2009).....................................................17

26. Struktur organisasi KPHP/KPHL tipe B...50

20. Diagram pelaksanaan PP nomor


38/2007..............................................................19
21. Fungsi manajemen pengelolaan KPH
dan administrasi/kewenangan
pemerintah/pemerintah daerah..................38

25. Struktur organisasi KPHP/KPHL tipe A...50


27. Skema sistem penilaian pembangunan
KPH (nomor Urut menyatakan tahapan
proses penilaian).............................................77
28. Capaian pembangunan KPH dan
tingkatan intervensi yang diperlukan........78

22. Perbandingan prosedur pijinan sebelum


dan setelah adanya KPH................................43

29. Struktur organisasi KPHL Rinjani


Barat...................................................................85

23. Kerangka logis pembangunan KPH

30. Struktur organisasi KPHP Banjar...............85

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

xiii

BAB 1

PENDAHULUAN

Latar belakang penyusunan buku


Tantangan dalam pembangunan KPH
Tujuan dan manfaat penulisan buku
Metodologi penyusunan buku
Isi buku

1.1 Latar belakang penyusunan


buku
Pentingnya memastikan kawasan hutan yang aman
dan bebas konflik adalah mimpi setiap rimbawan
dan sektor kehutanan sejak diterbitkan UndangUndang Pokok Kehutanan (UU No. 5/1967).
Kepastian dan kemantapan kawasan disadari
merupakan prakondisi yang mutlak diperlukan
dalam pengelolaan hutan lestari. Sejak basis regulasi
kehutanan tersebut diundangkan, kebutuhan
untuk memberikan batas kawasan hutan - yang
akan dipertahankan sebagai hutan tetap - yang
diakui, baik oleh masyarakat maupun peraturanperundangan diatur melalui pengukuhan kawasan
hutan. Kebijakan penunjukan kawasan hutan
dimulai dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan
(TGHK) pada periode 1980-an yang kemudian
dijadikan basis untuk pemberian ijin pengusahaan
hutan. Inisiatif pembangunan kehutanan yang
berorientasi pada kemantapan kawasan hutan
yang mendukung kepastian usaha kehutanan
mencuat pada tahun 1991 dengan diterbitkannya
Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 200/
Kpts./1991 yang mengatur pembentukan
Kesatuan Pengusahaan Hutan Produksi yang
sekaligus berfungsi sebagai kesatuan perencanaan
pengusahaan hutan produksi. Pada tahun 1997
terbit Manual Pembentukan, Perencanaan dan
Pengelolaan Kesatuan Pengusahaan Hutan
Produksi.
Pembaharuan Undang-Undang Pokok Kehutanan
(UU No. 5/1967) menjadi Undang-Undang
Kehutanan (UU No. 41/1999) telah mengubah basis
legal pembentukan Kesatuan Pengusahaan Hutan
Produksi di atas menjadi Kesatuan Pengelolaan
Hutan (KPH) yang tidak hanya mencakup
pembentukan KPH di kawasan hutan produksi,
tetapi meliputi seluruh kawasan dan fungsi hutan.
Selain itu, terbitnya Undang-Undang Penataan
Ruang (UU No. 24/1992) telah mendorong
proses padu serasi antara kawasan hutan yang
ditunjuk melalui TGHK dengan Rencana Tata
Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) yang pada
akhirnya menghasilkan penunjukan kawasan
hutan baru oleh Menteri Kehutanan. Sampai
dengan tahun 2007, mandat pembentukan KPH
praktis terbengkalai, tenggelam dalam dinamika
percaturan politik lahan dan politik ekonomi
kehutanan, yang secara langsung maupun tidak

langsung, telah menggeser prioritas kemantapan


kawasan hutan sebagai kondisi pemungkin
pembangunan kehutanan menjadi orientasi
pada pemanfaatan hutan melalui pemberian
ijin yang membagi habis seluruh kawasan hutan
produksi. Ibarat membuat perahu sambil
berlayar, kebijakan kehutanan kehilangan daya
kendali manakala pemerintah sebagai nahkoda
terlena dan larut dalam arus yang disadari telah
membelokkan perahudari tujuan awalnya.
Akibatnya mulai terasa manakala orang dikejutkan
dengan angka-angka deforestasi yang fantastis
pada periode 1997-1998, mencapai angka di
atas 3 juta ha setahun, diikuti dengan gerakan
okupasi dan aktivitas haram di dalam kawasan
hutan yang belum sempat menemukan basis legal
dan pengakuan yang kuat. Rendahnya kinerja
pengukuhan kawasan hutan - kurang dari 12%
atau seluas 14.238.516 Ha hingga tahun 2007
- menunjukkan kuatnya distorsi penyediaan
prakondisi pengelolaan hutan lestari di atas. Mimpi
tentang kawasan hutan yang dipertahankan sebagai
hutan tetap masih belum bisa diwujudkan hingga
saat ini, meskipun mandat pengukuhan kawasan
hutan dan pembentukan wilayah pengelolaan
hutan tingkat provinsi, tingkat kabupaten dan
tingkat unit pengelolaan (KPH) secara eksplisit
disebutkan pada beberapa pasal UU Kehutanan
(UU Nomor 41 Tahun 1999).
Setelah empat puluh tahun pengelolaan hutan,
terutama di luar P Jawa, berjalan secara intensif dan
diwarnai oleh tindakan espkloitatif para pelaku
pembangunan kehutanan, urgensi pembentukan
wilayah pengelolaan hutan pada tingkat unit
pengelolaan di tingkat tapak - secara populer
disebut KPH - menemukan momentum untuk
dimulai dan tidak bisa ditunda lagi. Ketegasan
pembanguan KPH didorong pula oleh para
pengambil keputusan yang secara nyata melihat
urgensi pembangunannya, setelah melihat situasi
lemahnya pengelolaan kawasan hutan negara di
lapangan (de facto open access) yang secara jelas
menjadi penyebab berbagai kelemahan dan
kegagalan pelaksanaan program pembangunan
kehutanan.

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

Terbitnya Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun


2007 jo. PP No. 3 Tahun 2008, serta peraturan
turunannya, yang dikawal pelaksanaannya melalui
penetapan prioritas pembangunan kehutanan
yang mengedepankan pembangunan KPH, telah
menandai orientasi baru pembangunan kehutanan
guna menyelamatkan fungsi publik hutan dan
mewujudkan mimpi kawasan hutan yang akan
dipertahankan sebagai hutan tetap, serta menjadi
basis pengelolaan hutan lestari.
Meskipun momentum tersebut telah tiba, namun
pelaksanaan pembangunan KPH masih mengalami
sejumlah hambatan, terutama akibat kurangnya
sumberdaya untuk mewujudkan pembangunan
KPH dan adanya berbagai bentuk keraguan untuk
mendukung pembangunan KPH dari para pelaku
pembangunan kehutanan akibat kurangnya
informasi mengenai KPH itu sendiri. Buku ini
disusun untuk mengisi kesenjangan informasi
tersebut, sehingga dapat dijadikan rujukan bagi
para pelaku pembangunan kehutanan dalam
memahami dan mendukung pembangunan KPH.
Selain itu, buku ini diharapkan juga menjadi sumber
informasi terkini mengenai status pembangunan
KPH yang dapat dibaca oleh berbagai kalangan,
khusus para pemerhati pembangunan kehutanan.

1.2 Tantangan dalam


pembangunan KPH
Pembangunan KPH terus bergulir dan
mendapatkan dukungan yang terus meningkat dari
berbagai pihak. Secara garis besar, pembangunan
KPH telah menunjukkan kemajuan yang
cukup menggembirakan. Sampai dengan bulan
Desember 2010, capaian pembangunan KPH dapat
digambarkan dengan keluarnya Surat Keputusan
Menteri Kehutanan berikut:
1. Keputusan Menteri Kehutanan tentang
Penetapan Wilayah KPH Provinsi pada 22
(dua puluh dua) provinsi dengan luas total
mencapai 56.091.892 ha, terdiri dari 249 unit
KPHP luas 37.230.479 ha dan 155 unit KPHL
luas 18.860.040 ha.
2. Keputusan Menteri Kehutanan tentang
Penetapan Wilayah KPH Konservasi dengan
luas 2.073.272,89 ha pada 20 (dua puluh)
Taman Nasional

PENDAHULUAN

3. Keputusan Menteri Kehutanan tentang


Penetapan 28 (dua puluh delapan) KPH Model
dengan luas 3.672.762 ha yang terdapat pada
23 (dua puluh tiga) provinsi.
Sampai dengan Bulan Desember 2010,
perkembangan pembangunan KPH juga dapat
dilihat dari terbentuknya organisasi pengelola pada
12 (dua belas) unit KPH Model dan 3 (tiga) unit
KPH/KPHL, seluruhnya adalah UPTD, baik tingkat
kabupaten maupun provinsi. Sejalan dengan
perkembangan tersebut, disadari sepenuhnya
bahwa pembangunan KPH masih dihadapkan
pada berbagai masalah, utamanya bersumber pada
keterbatasan sumberdaya pemerintah/pemerintah
daerah dan masih cukup lemahnya dukungan
berbagai pihak akibat keterbatasan pemahaman
dan pengetahuan mengenai mengenai KPH.
Beberapa tantangan pembangunan KPH yang akan
diuraikan dalam buku ini antara lain:
1. Bagaimana mengelola konf lik dengan
masyarakat di dalam dan sekitar hutan agar
kemantapan kawasan di wilayah KPH dapat
diwujudkan melalui akomodasi hak dan akses
masyarakat terhadap sumberdaya hutan?
2. Bagaimana mewujudkan organisasi pengelola
bagi seluruh KPH dalam situasi keterbatasan
sumberdaya pemerintah/pemerintah daerah?
3. Bagaimana mewujudkan tata hubungan
kerja yang harmonis antara KPH dengan
Dinas Kehutanan Kabupaten, Provinsi dan
Kementrian Kehutanan agar akselerasi
pembangunan KPH dapat dicapai?
4. Bagaimana mewujudkan pengelolaan hutan
lestari pada tingkat KPH melalui sinergi antar
pelaku pengelolaan hutan di dalam wilayah
KPH, baik pemegang ijin pemanfaatan hutan
dan penggunaan kawasan hutan yang telah
ada maupun pelaku baru yang akan digandeng
sebagai mitra kerja?
5. Bagaimana penilaian kinerja pengelolaan
hutan lestari di tingkat KPH dapat
diwujudkan?.

1.3 Tujuan dan manfaat


penulisan buku
Sebagaimana telah dijelaskan di atas, buku ini
menyajikan informasi mengenai konsep dan definisi
KPH, latar belakang dan kebijakan pembangunan
KPH, tahapan yang telah dicapai dan permasalahan
yang dihadapi dalam pembangunan KPH, serta
langkah-langkah yang seharusnya ditempuh
dalam mewujudkan tujuan pembangunan KPH.
Penyajian informasi tersebut bertujuan untuk
mendokumentasikan proses pembangunan
KPH hingga saat ini dan mengisi kesenjangan
mengenai pemahaman tentang KPH yang dinilai
masih beragam dari berbagai kalangan, khususnya
bagi para pelaku langsung yang terlibat dalam
pembangunan KPH.
Penulisan buku ini diharapkan dapat memberikan
daya dorong bagi proses pembangunan KPH
yang saat ini telah menjadi kebijakan prioritas
pembangunan nasional di bidang kehutanan.
Secara khusus, manfaat buku antara lain:
1. Bagi para pelaku langsung pembangunan KPH
di lingkup pemerintah dan pemerintah daerah:
buku ini diharapkan bermanfaat untuk
menyatukan persepsi dan pemahaman tentang
KPH, sehingga ketepatan dan kecermatan
dalam menetapkan kebijakan, strategi dan
program dapat langsung disinergikan dengan
capaian pembangunan KPH saat ini.
2. Bagi kalangan swasta: buku ini diharapkan
dapat memberikan pemahaman mengenai
arah kebijakan pembangunan kehutanan ke
depan, sehingga keberadaan organisasi KPH di
lapangan dapat disambut sebagai mitra kerja
yang mampu meningkatkan kepastian usaha
dan peluang tercapainya tujuan pengelolaan
hutan lestari. Selain itu, pemahaman mengenai
KPH dapat memberikan gambaran bagi dunia
usaha untuk mengembangkan investasinya di
bidang kehutanan
3. Bagi masyarakat di dalam dan sekitar
hutan dan LSM: buku ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman mengenai KPH,
sehingga memperjelas posisi tawar masyarakat
dalam menyelesaikan masalah hak dan akses
terhadap sumberdaya hutan melalui berbagai
proses negosiasi dengan pihak yang memiliki
kewenangan untuk mengambil keputusan di

tingkat lapangan dan/atau menggunakan


representasi pemerintah di lapangan untuk
menegosiasikan aspirasi masyarakat pada
tingkat kewenangan yang lebih tinggi
4. Bagi masyarakat kehutanan lainnya, termasuk
perguruan tinggi: buku ini diharapkan dapat
meningkatkan pemahaman mengenai konsep
dan tahap pembangunan KPH saat ini, serta
masalah-masalah yang masih membutuhkan
dukungan para pihak, baik berupa hasil kajian,
penelitian maupun pengembangan jejaring
informasi pembangunan kehutanan.

1.4 Metodologi penyusunan


buku
Buku ini disusun berdasarkan pengetahuan
mengenai KPH yang telah terdapat di dalam
berbagai peraturan dan perundang-undangan,
publikasi, hasil seminar, bahan-bahan konsultasi
publik, serta laporan pelaksanaan pembangunan
KPH, termasuk KPH Model. Buku ini merupakan
kompilasi dari berbagai pengetahuan yang terserak
dalam berbagai dokumen, dengan harapan dapat
menyajikan sebuah informasi komprehensif
mengenai status pembangunan KPH saat ini.

1.5 Isi buku


Buku ini terdiri dari 8 bab yang secara sistematis
mencoba menjabarkan bagian-bagian yang
berkaitan definisi dan ruang lingkup KPH
sebagaimana disajikan pada Bab 2. Pada Bab 3
disajikan kajian mendalam mengenai rasionalitas
pembangunan KPH yang terfokus pada gambaran
mengenai situasi kehutanan Indonesia dan
permasalahannya, sehingga terjawab pertanyaan
mengapa pembangunan KPH penting dilakukan.
Kajian mengenai basis konseptual yang melandasi
kebijakan pembangunan KPH dan berbagai regulasi
pembangunan KPH, serta elaborasi mendalam
mengenai posisi KPH dalam tata kepemerintahan
yang seharusnya disajikan pada Bab 4. Dalam
Bab 5 dan Bab 6 menyajikan harapan mengenai
perencanaan, pengelolaan hutan dan penilaian
kinerja pengelolaan hutan dalam lingkup KPH.
Pada bagian akhir buku ini disajikan aspek sosial,
kepemerintahan dan sumberdaya nasional bagi
pembangunan KPH yang disajikan dalam Bab 7
dan Bab 8.

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

BAB 2

DEFINISI DAN
RUANG LINGKUP KPH
Definisi

KPH dan ragam fungsi hutan


KPH dan akses masyarakat
KPH dan usaha kehutanan
KPH dan organisasi daerah
KPH dan pengembangan wilayah
KPH dan kelestarian hutan

Dalam suatu pembicaraan mengenai tanam


menanam pohon yang terkait dengan pelaksanaan
rehabilitasi hutan, dikatakan bahwa hal paling
penting dalam pelaksanaan rehabilitasi hutan
adalah pengadaan bibit. Bibit dalam jumlah dan
kualitas yang cukup serta tepat waktu datangnya
sesuai dengan musim tanam, menjadi faktor
penentu. Pandangan ini didukung oleh suatu
kenyataan bahwa bibit berkualitas yang ditanam
akan hidup menjadi pohon dengan sendirinya.
Kenyataan itu sangat mudah dijumpai apabila
bibit tersebut ditanam di halaman sekitar rumah.
Pandangan demikian itu terbawa sampai menjadi
dasar penetapan kebijakan nasional. Perhatian
bahkan anggaran terbesar dalam pelaksanaan
rehabilitasi hutan dan lahan, misalnya, dialokasikan
pada pembangunan persemaian dan pengadaan
bibit.
Apakah pandangan demikian itu ada keganjilannya?
Bisa tidak ada, bisa ada. Tidak ada keganjilannya
apabila bibit berkualitas tersebut ditanam di
atas tanah yang jelas siapa yang mempunyai
kewenangan atas tanah itu dan jelas pula siapa
yang memelihara dan melindunginya. Apabila
tidak demikian, pandangan tersebut menjadi
ganjil. Dalam kondisi lokasi tempat tumbuh bibit
itu tidak jelas kepemilikannya atau tidak jelas
siapa yang akan memelihara dan melindunginya,
maka besar kemungkinan bibit tidak akan pernah
menjadi pohon.
Banyak hal, misalnya dalam pertumbuhan
pohon, pertumbuhan populasi satwa, perubahanperubahan ekosistem, maupun perubahan
kehidupan masyarakat difahami seolah-olah dapat
berjalan dengan sendirinya. Karena dianggap
dapat berjalan dengan sendirinya, maka tidak
perlu mencari apa atau siapa yang menentukannya
dan oleh karena itu tidak ada upaya dengan
mengeluarkan ongkos atau pengorbanan bahkan
hanya memberikan perhatian sekalipun terhadap
apa atau siapa penentunya. Orang lupa bahwa
bibit tumbuh menjadi pohon di pekarangan
rumah, karena ada rumah dan penghuninya.
Fungsi keberadaan rumah dan penghuninya
tiba-tiba dapat diabaikan. Dalam hal ini, rumah
dan penghuninya adalah kelembagaan yang
menentukan siapa,kapan dan untuk apa orang
lain bisa memasuki pekarangan rumah tersebut.
Rumah dan penghuninya bukanlah sesuatu yang

dengan sendirinya ada. Ia harus diadakan dan


sangat mungkin ongkos dan perhatian untuk
mengadakannya jauh lebih mahal dari harga bibit
yang ditanam di pekarangan.
Ketidak-berhasilan pengelolaan hutan di Indonesia
pada umumnya justru disebabkan oleh ketiadaan
atau kelemahan rumah dan penghuninya yaitu
pengelola hutan di tingkat tapak. Ketiadaan atau
kelemahan siapa yang dari waktu ke waktu
mengetahui dan memperhatikan perkembangan
sumberdaya hutan di lapangan, memelihara
dan menjaga hasil-hasil penanaman di lahan
kritis, mengetahui batas-batas kawasan yang
berubah, mengetahui siapa kelompok masyarakat
yang paling terkait dan memerlukan manfaat
sumberdaya hutan, dan lain-lain. Ketiadaan
pengelola hutan di tingkat tapak, dengan demikian,
menjadi penyebab utama kegagalan melaksanakan
pengelolaan hutan dan terputusnya informasi
antara apa yang sesungguhnya terjadi di lapangan
dengan keputusan-keputusan yang dibuat, baik di
tingkat pemerintah kabupaten/kota, pemerintah
provinsi maupun pemerintah.
Untuk memberikan pengertian mengenai KPH,
berikut ini diuraikan definisi maupun keterkaitan
KPH dengan fungsi hutan, akses masyarakat, usaha
kehutanan, organisasi daerah, pengembangan
wilayah, maupun kelestarian hutan.

2.1 Definisi
Dalam Pasal 12 Undang-undang Kehutanan
disebutkan bahwa perencanaan kehutanan
meliputi: inventarisasi hutan, pengukuhan
kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan,
pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan
penyusunan rencana kehutanan. Pembentukan
wilayah pengelolaan hutan dilakukan pada tingkat
provinsi, kabupaten/kota serta pada tingkat
unit pengelolaan. Yang dimaksud dengan unit
pengelolaan adalah kesatuan pengelolaan hutan
terkecil sesuai fungsi pokok dan peruntukannya,
yang dapat dikelola secara efesien dan lestari, yang
kemudian disebut KPH, antara lain dapat berupa
kesatuan pengelolaan hutan lindung (KPHL),
kesatuan pengelolaan hutan produksi (KPHP), dan
kesatuan pengelolaan hutan konservasi (KPHK).

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

Seluruh kawasan hutan di Indonesia terbagi


habis dalam wilayah KPH. Dalam satu wilayah
KPH dapat terdiri lebih dari satu fungsi pokok
hutan yang penamaannya ditentukan oleh fungsi
hutan yang luasnya dominan. KPH dikelola oleh
organisasi pemerintah yang menyelenggarakan
fungsi pengelolaan hutan.
KPH berperan sebagai penyelenggara pengelolaan
hutan di lapangan atau di tingkat tapak yang harus
menjamin bahwa pengelolaan hutan dilakukan
secara lestari sesuai dengan fungsinya. Keberadaan
KPH menjadi kebutuhan Pemerintah dan
Pemerintah Daerah sebagai pemilik sumberdaya
hutan sesuai mandat Undang-undang, dimana
hutan dikuasai negara dan harus dikelola secara
lestari. Dalam prakteknya, penyelenggaraan
pengelolaan hutan pada tingkat tapak oleh
KPH bukan memberi ijin pemanfaatan hutan
melainkan melakukan pengelolaan hutan seharihari, termasuk mengawasi kinerja pengelolaan
hutan yang dilakukan oleh pemegang ijin.
Dengan demikian, KPH menjadi pusat informasi
mengenai kekayaan sumberdaya hutan dan menata
kawasan hutan menjadi bagian-bagian yang dapat
dimanfaatkan oleh berbagai ijin dan/atau dikelola
sendiri pemanfaatannya, melalui kegiatan yang
direncanakan dan dijalankan sendiri. Apabila
peran KPH dapat dilakukan dengan baik, maka
KPH menjadi garis depan untuk mewujudkan
harmonisasi pemanfaatan hutan oleh berbagai
pihak dalam kerangka pengelolaan hutan lestari.
Sesuai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah No.
6 Tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah No. 3
Tahun 2008, yang dijabarkan dalam Peraturan
Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:
P.6/Menhut-II/2010 Tentang Norma, Standar,
Prosedur dan Kriteria Pengelolaan Hutan pada
KPHL dan KPHP, secara eksplisit fungsi kerja
KPH dalam penyelenggaraan pengelolaan hutan di
tingkat tapak dapat dijabarkan secara operasional
sebagai berikut:
1. Melaksanakan penataan hutan dan tata batas
di dalam wilayah KPH
2. Menyusun rencana pengelolaan hutan di
tingkat wilayah KPH, termasuk rencana
pengembangan organisasi KPH
3. Melaksanakan pembinaan, monitoring dan
evaluasi kinerja pengelolaan hutan yang

10

DEFINISI DAN RUANG LINGKUP KPH

dilaksanakan oleh pemegang ijin pemanfaatan


hutan dan penggunaan kawasan hutan,
termasuk dalam bidang rehabilitasi dan
reklamasi hutan, serta perlindungan hutan
dan konservasi alam
4. Melaksanakan rehabilitasi dan reklamasi
hutan
5. Melaksanakan perlindungan hutan dan
konservasi alam
6. Melaksanakan pengelolaan hutan di kawasan
tertentu bagi KPH yang telah menerapkan
pola pengelolaan keuangan Badan Layanan
Umum (BLU) atau Badan Layanan Umum
Daerah (BLUD)
7. Menjabarkan kebijakan kehutanan menjadi
inovasi dan operasi pengelolaan hutan
8. Menegakkan hukum kehutanan, termasuk
perlindungan dan pengamanan kawasan
9. Mengembangkan investasi guna mendukung
tercapainya tujuan pengelolaan hutan lestari.
Berdasarkan fungsi kerja di atas, dalam konteks
regulasi kehutanan dan pembagian urusan
pemerintahan antara pemerintah dan pemerintah
daerah, kebijakan KPH telah menimbulkan tafsir
yang beragam. Beberapa aspek penting yang
disajikan pada sub bab berikut diharapkan dapat
mengklarifikasi keragamanan tafsir tentang KPH,
sekaligus memberikan gambaran mengenai ruang
lingkup KPH.

2.2 KPH dan ragam fungsi


hutan
Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa
keberadaan KPH akan lebih memastikan
diketahuinya potensi hutan, perubahan-perubahan
yang terjadi maupun kondisi masyarakat yang
tergantung pada manfaat sumberdaya hutan.
Selain itu, sangat dipahami bahwa berbagai
ragam fungsi hutan pada faktanya terletak dalam
hamparan bentang alam yang secara manajemen
lebih memungkinkan efisiensi dan efektivitas
pengelolaan hutan lestari. Dalam hal ini KPH
dapat dimaknai sebagai pihak yang menghimpun
informasi sumberdaya hutan untuk melakukan
pengelolaan hutan yang saat ini tidak dijalankan
secara langsung oleh Kementerian Kehutanan atau
Dinas Kehutanan.

Atas dasar kondisi demikian itu, maka dalam


pengelolaan hutan oleh KPH yang dipentingkan
adalah luas wilayah yang merupakan kesatuan
ekosistem hutan dalam hamparan bentang alam
yang kompak dan memiliki rentang kendali
yang terjangkau secara manajemen, tanpa
mempermasalahkan perbedaan fungsi hutan.
Demikian pula, semestinya, pembentukan wilayah
KPH tidak didasarkan pada wilayah administrasi
melainkan kesatuan ekosistem.

2.3 KPH dan akses masyarakat


Akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan
dapat terdiri dari berbagai bentuk dan tipologi
sesuai dengan, kondisi sosial budaya masyarakat,
sejarah interaksi masyarakat dengan hutan dan
harapan ekonomi masyarakat untuk memperbaiki
kehidupannya. Apabila dikaitkan dengan ijin atau
penetapan status kawasan hutan, akses masyarakat
yang dimaksud tidak dapat ditetapkan pada
tingkat KPH, karena kewenangan untuk itu berada
di tangan Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Keberadaan KPH memungkinkan identifikasi
keberadaan dan kebutuhan masyarakat terhadap
manfaat sumberdaya hutan dengan lebih jelas dan
cermat, sehingga proses-proses pengakuan hak,
ijin maupun kolaborasi menjadi lebih mungkin
dilakukan. Demikian pula penyelesaian konflik
maupun pencegahan terjadinya konflik lebih dapat
dikendalikan. Selain itu, KPH dapat memfasilitasi
komunikasi dengan Pemerintah dan/atau
Pemerintah Daerah untuk menata hak dan akses
masyarakat terhadap sumberdaya hutan.

2.4 KPH dan usaha kehutanan


Dengan beroperasinya organisasi KPH, informasi
mengenai sumberdaya hutan yang dimanfaatkan
oleh para pemegang ijin diharapkan akan
semakin akurat. Karakteristik dan sifat-sifat
khas sumberdaya hutan juga diharapkan dapat
diketahui, sehingga memudahkan penetapan
sistem manajemen hutan yang sesuai dengan
kondisi wilayah dan diharapkan mengurangi
kegiatan-kegiatan yang secara administratif harus
dilakukan, tetapi tidak secara jelas berguna bagi
usaha kehutanan tersebut. Selain itu, kinerja
pengelolaan hutan oleh pemegang ijin dapat
dimonitor dan dievaluasi di tingkat lapangan.

Efektivitas kegiatan pengelolaan hutan dapat


akan ditingkatkan dan pada gilirannya diharapkan
dapat meningkatkan efisiensi perusahaan.

2.5 KPH dan organisasi daerah


Dengan berbagai fungsi kerja sebagaimana
disebutkan di atas, keberadaan KPH bersifat
unik. Selama ini, organisasi daerah yang dibentuk
berdasarkan PP No 41/2007 tidak mengenal adanya
organisasi seperti KPH yang mempunyai sifat
teritorial. Karena keunikan fungsi organisasi KPH
seperti itu, dalam berbagai pembahasan mengenai
organisasi KPH seringkali disalah-tafsirkan. Oleh
karena itu perlu ditegaskan dalam buku ini bahwa
organisasi KPH meskipun bidang kehutanan namun
bukan identik dengan organisasi kehutanan yang
telah dibentuk berdasarkan PP No 41/2007. KPH
merupakan organisasi yang spesifik yang di luar P
Jawa belum pernah ada. Disamping itu KPH juga
dapat melakukan pengelolaan usaha kehutanan,
misalnya berupa pemanfaatan/pemungutan hasil
hutan kayu dan bukan kayu dan penjualan tegakan
secara swakelola pada wilayah tertentu. Dengan
terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 61
Tahun 2010, wujud organisasi KPHP dan KPHL
menemukan landasan hukum yang memayunginya.
Secara garis besar, organisasi KPHP dan KPHL
merupakan Satuan Kerja Perangkat Daerah yang
ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah tingkat
Provinsi atau Kabupaten dan bertanggungjawab
langsung kepada Gubernur atau Bupati.

2.6 KPH dan pengembangan


wilayah
Pengembangan wilayah dapat dilakukan untuk
mencapai pengelolaan sumberdaya alam secara
berkelanjutan apabila memperhatikan kepentingan
ekonomi, sosial dan sekaligus kepentingan ekologi/
lingkungan hidup. Secara fungsional, KPH dapat
menyediakan barang dan jasa untuk menopang
pengembangan wilayah tersebut. Oleh karena itu
tujuan pengembangan KPH perlu diselaraskan
dengan tujuan pengembangan wilayah kabupaten
dan/atau provinsi. KPH yang lokasinya lintas
wilayah kabupaten/kota dapat menjadi penyelaras
arah pengelolaan sumberdaya hutan khususnya
maupun sumberdaya alam pada umumnya di
kedua wilayah administrasi tersebut.

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

11

2.7 KPH dan kelestarian hutan


Faktor yang menentukan kelestarian hutan cukup
banyak, meskipun pada prinsipnya kelestarian
hutan ditentukan oleh kapasitas pengelola hutan.
KPH menjadi faktor pemungkin bagi terbentuknya
pengelola hutan yang selama ini tidak ada, sehingga
dapat membuka ruang profesional bagi rimbawan
untuk berkiprah dalam pengelolaan hutan lestari.

Ketiadaan pengelola terbukti menjadi penyebab


kegagalan bagi banyak program, misalnya dalam
pelaksanaan rehabilitasi lahan kritis di dalam
kawasan hutan. Adanya organisasi pemerintah
yang bertanggungjawab dalam pengelolaan hutan
di tingkat tapak juga akan memberikan ruang
bagi peningkatan kapasitas para pemegang ijin,
serta memberikan arah yang jelas bagi pencapaian
pengelolaan hutan lestari.

BAB 3

RASIONALITAS
PEMBANGUNAN KPH

Persoalan umum kehutanan Indonesia


Pembangunan KPH sebagai strategi
Tantangan pembangunan KPH

3.1 Persoalan umum


kehutanan Indonesia

3.1.1.1 Deforestasi (direncanakan dan tidak


direncanakan)

3.1.1 Deforestasi dan degradasi

Secara umum deforestasi di Indonesia terjadi


akibat konversi hutan untuk berbagai peruntukan,
baik yang sudah direncanakan maupun yang tidak
direncanakan. Sementara itu degradasi hutan
terjadi sebagai akibat dari pengelolaan hutan
yang dilaksanakan secara tidak lestari oleh para
pemegang izin (IUPHHK) Hutan Alam atau karena
penebangan yang dilakukan oleh para pihak yang
tidak memiliki izin usaha pemanfaatan hasil hutan
kayu. Kegiatan ini menyebabkan kondisi tegakan
hutan mengalami kerusakan dan terdegradasi,
sehingga cadangan biomass atau karbon
mengalami penurunan karena laju pemanenan
kayu lebih besar dari pertumbuhan (riap) pohon.
Persoalannya, kerusakan hutan dan pembangunan
di atasnya dilaksanakan belum berdasarkan prinsip
keadilan. Misalnya, sampai akhir 2009, ijin-ijin
dan hak sumberdaya hutan bagi masyarakat lokal
kurang dari 400.000 Ha, sementara itu alokasi ijin
bagi usaha besar pernah mencapai angka 60 juta
Ha pada tahun 1990an, kini sekitar 36 juta Ha
(Kemenhut, 2010).
1

Kecuali disebutkan yang lain, bagian ini disarikan dari Laporan Kelompok
Kerja Kebijakan, Kementerian Kehutanan (2010).

Tabel 1.

Deforestasi yang direncanakan adalah konversi


yang terjadi di kawasan hutan produksi yang
dapat dikonversi (HPK) yang dilepaskan menjadi
kawasan budidaya non kehutanan (KBNK
atau APL). Konversi yang direncanakan dapat
juga terjadi di kawasan hutan produksi untuk
pertambangan terbuka. Sedangkan deforestasi
yang tidak direncanakan terjadi akibat konversi
hutan yang terjadi di semua kawasan hutan akibat
berbagai kegiatan yang tidak terencana, terutama
kegiatan illegal.
Berdasarkan analisis data satelit, selama period
2000-2005, hutan yang dikonversi baik yang
direncanakan maupun tidak direncanakan
mencapai 1.089.560 Ha per tahun (Badan Planologi
Kehutanan, 2008; Tabel 1). Sampai tahun 2007,
total luas deforestasi yang direncanakan mencapai
4.609.551 Ha. Deforestasi yang direncanakan ini
mulai marak terjadi setelah tahun 1990, sehingga
laju deforestasi yang direncanakan rata-rata
mencapai 230.477 ha per tahun (21% dari total
deforestasi). Dengan demikian laju deforestasi yang
tidak direncanakan sekitar 859.083 Ha per tahun.
Berdasarkan jumlah permohonan yang masuk
ke Kementerian Kehutanan, laju deforestasi yang
direncanakan diperkirakan akan meningkat di
masa depan.

Laju deforestasi menurut pulau di Indonesia (2000-2005)

DEFORESTASI (Ha/Tahun)/Deforestation (Ha/Year)


No.

TAHUN/Year

2000-2001

259.500

212.000

154.000

2001-2002

202.600

129.700

2002-2003

339.000

2003-2004

208.700

Sumatera

Kalimantan

Sulawesi

Maluku

Bali & Nusa


Tenggara

Papua

Jawa

Indonesia

20.000

147.200

118.300

107.200

1.018.200

150.400

41.400

160.500

142.100

99.600

926.300

480.400

385.800

132.400

140.800

343.400

84.300

1.906.100

173.300

41.500

10.600

100.800

71.700

28.100

634.700

2004-2005

335.700

234.700

134.600

10.500

169.100

37.300

40.600

962.500

JUMLAH/Total

1.345.500

1.230.100

866.300

214.900

718.400

712.800

359.800

5.447.800

Rerata/Average

269.100

246.020

173.260

42.980

143.680

142.560

71.960

1.089.560

Sumber: Badan Planologi Kehutanan (2008)

14

RASIONALITAS PEMBANGUNAN KPH

Sampai akhir Desember 2010 sudah ada sekitar


520 permohonan yang diajukan ke Kementerian
Kehutanan untuk pelepasan kawasan. Luas
kawasan hutan yang diajukan untuk dilepas ratarata mencapai 200.000 Ha per pemohon. Apabila
tidak ada kebijakan baru terkait pembatasan
pemekaran wilayah dan pembatasan pemanfaatan

Tabel 2.
No.

ruang, diperkirakan semua HPK yang luasnya


sekitar 22,7 Ha akan habis dalam waktu tidak lebih
dari 10 tahun ke depan. Perhitungan untuk 18
provinsi di Indonesia, jumlah pengajuan pelepasan
kawasan hutan berdasarkan draft RTRWP seluas
15,7 Juta Ha (Tabel 2).

Usulan perubahan peruntukan kawasan hutan di 27 provinsi

Provinsi

Kepulauan Riau

2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27

Riau
Kalimantan Tengah
Kep. Bangka Belitung
Bengkulu
Sulawesi Tengah
Kalimatan Barat
Sumatera Utara
Kalimantan Timur
Kalimantan Selatan
Sumatera Barat
Sulawesi Utara
Gorontalo
Sulawesi Barat
Papua
Lampung
Banten
Jawa Barat
Jawa Tengah
D.I. Yogyakarta
Jawa Timur
Bali
NTB
Sulawesi Selatan
Jambi
Sulawesi Tenggara
Aceh
Total

Usulan Perubahan
Luas Kawasan Hutan
menjadi APL

Persentase Usulan
perubahan

829.994,00

-697.652,00

-84,06

7.236.354,57
14.073.744,00
657.510,00
1.020.964,00
4.369.081,00
9.125.486,00
3.742.120,00
14.378.204,00
1.767.911,00
2.464.094,00
788.692,00
840.718,00
1.168.425,00
31.405.139,00
1.004.735,00
201.787,00
816.602,70
647.133,00
16.819,52
1.357.206,30
127.271,01
1.010.012,00
2.502.129,00
2.179.440,00
2.492.455,00
3.335.713,00
109.559.740,10

-3.528.039,44
-5.591.241,00
-157.973,83
-199.969,00
-807.453,00
-1.962.614,00
-610.959,26
-2.063.053,00
-222.442,00
-199.689,00
-28.984,00
-29.888,00
-20.375,00
-401.975,00
0
0
0
0
0
0
0
0
0
18.174,00
310.165,00
526.536,25
-15.667.432,28

-48,75
-39,73
-24,03
-19,59
-18,48
-21,51
-16,33
-14,35
-12,58
-8,10
-3,67
-3,56
-1,74
-1,28
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0,83
12,44
15,78

Luas Kawasan
Hutan (Ha)

Sumber: Direktorat Jenderal Planologi (2010)

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

15

Berdasarkan hasil kajian IFCA (Kemenhut, 2008),


deforestasi yang tidak direncanakan sebagian besar
terjadi di kawasan hutan produksi, kemudian
diikuti di kawasan hutan konservasi dan hutan
lindung (Gambar 1). Laju deforestasi yang tidak
direncanakan ini diperkirakan akan meningkat
ke depan, khususnya pada kawasan hutan yang
aksesnya lebih terbuka, hutan produksi yang
tidak ada pemegang izin pengelolaannya dan
hutan lindung. Pada sebagian hutan konservasi,
keberadaan Balai Taman Nasional diharapkan
dapat meminimumkan deforestasi yang tidak
direncanakan ini. Sampai dengan akhir 2009,
hampir separuh kawasan hutan di Indonesia (46,5%
atau 55,93 juta hektare) tidak dikelola dengan
intensif (DKN, 2009);

3.1.1.2 Degradasi hutan


Berdasarkan kapasitas industri saat ini,
diperkirakan permintaan kayu dari hutan
alam akan lebih tinggi dari pasokannya secara
lestari. Diperkirakan tambahan suplai kayu dari
penebangan yang illegal sama dengan yang legal.
Penebangan liar terbesar terjadi di kawasan hutan
produksi (60%) dan kemudian di hutan lindung
(30%) dan hutan konservasi (10%). Tingkat
penebangan liar diperkirakan sangat tinggi di
dalam kawasan hutan produksi yang tidak ada
pemegang izin pengelolaannya;

1%

3%

19%

53%
24%

Gambar 1.

16

Lokasi deforestasi menurut


fungsi kawasan hutan dan nonhutan. Dihitung berdasarkan
data dari kajian IFCA (Dephut,
2008)

RASIONALITAS PEMBANGUNAN KPH

HK
HK
HPK
HPK
APL
APL
HP
HP
HL
HL

Jumlah IUPHHK Hutan Alam yang masih aktif


saat ini 324 unit dengan luas 28.271.043 Ha (Ditjen
Bina Produksi Kehutanan, 2010). Diperkirakan
sekitar 15 juta Ha menerapkan sistem pengelolaan
hutan lestari sedangkan sisanya sekitar 13 juta Ha
tidak. Sementara luas hutan produksi yang tidak
ada ijinnya mencapai 20 juta Ha dan sekitar 13
juta Ha masih baik kondisi hutannya sedangkan
yang 7 juta Ha sudah mengalami degradasi berat
(Ditjen Planologi Kehutanan, 2010).
Menurut Rencana Strategis Assosiasi Pengusaha
Hutan Indonesia (APHI), ketergantungan suplai
kayu dari hutan alam diperkirakan masih akan
meningkat di masa depan. Pada tahun 2009, bahan
baku kayu dari hutan alam sebesar 6,68 juta m3 dan
pada tahun 2020 diperkirakan meningkat sampai
15,23 juta m3 (Gambar 2). Peningkatan suplai
kayu dari hutan alam di masa depan apabila tidak
disertai dengan sistem pengelolaan hutan lestari
maka tingkat degradasi hutan alam Indonesia di
masa depan akan semakin tinggi.

3.1.2 (Gap) Kinerja


Dalam situasi kebijakan, kepemerintahan dan
kelembagaan kehutanan saat ini semua hutan
produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang masih
berhutan seluas 22,7 juta Ha tetap cenderung
akan dikonversi dalam kurun waktu 15 tahun ke
depan. Hal ini sejalan dengan usulan 15 Provinsi
untuk mengkonversi kawasan hutan seluas 15,6
juta Ha (lihat Tabel 2). Sementara itu, potensi
dan produksi kayu bulat dari hutan alam terus
menurun. Berdasarkan pengalaman selama ini,
kemampuan menanam dalam pembangunan
HTI rata-rata seluas 150.000 Ha per tahun. Laju
penanaman melalui Hutan Kemasyarakatan (HKm)
dan Hutan Desa sekitar 5 ribu Ha per tahun.
Penanaman melalui program GERHAN selama
peride 2003-2008, rata-rata realisasi penamaman
hampir mencapai 300.000 Ha per tahun. Dengan
demikian kemampuan menanam dengan berbagai
skema seluas rata-rata 455.000 Ha per tahun.
Kinerja demikian itu cukup jauh untuk memenuhi
peran bidang kehutanan bagi pemasok kebutuhan
bahan baku industri, keadilan alokasi manfaat
hutan bagi masyarakat maupun pengendalian
perubahan iklim.

3.1.3 Akar masalah


Berikut ini uraian dan identifikasi akar masalah
pembangunan kehutanan yang menyebabkan
rendahnya kinerja tersebut di atas. Identifikasi
akar masalah ini dirangkum dari hasil konsultasi
publik terhadap draft Rencana Kehutanan Tingkat
Nasional (RKTN), diskusi dengan FOReTIKA2,
serta berbagai pembahasan yang dilakukan oleh
Dewan Kehutanan Nasional (DKN). Identifikasi
akar masalah ini terfokus pada kepastian hak
atas kawasan hutan, kelembagaan pembangunan
kehutanan, dan isi peraturan-perundangan serta
penetapan nilai tambah sektor kehutanan.

3.1.3.1 Hak dan kerusakan hutan


Dari 120,3 juta Ha kawasan hutan negara3, hampir
separuhnya (46,5% atau 55,93 juta hektare) tidak
dikelola secara intensif. Di antara kawasan itu
adalah 30 juta Ha hutan dibawah wewenang
Pemerintah Daerah. Baru sekitar 64,37 juta
Ha (53,5%) hutan yang dikelola dengan cukup
intensif. Kawasan hutan yang dikelola intensif
sebagian besar merupakan hutan produksi dalam
bentuk Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
(IUPHHK) seluas 36,17 juta hektare. Yang dikelola
berdasarkan sistem hutan alam oleh 324 unit usaha
seluas 26,2 juta Ha. Yang dikelola dengan sistem
hutan tanaman oleh 229 unit usaha seluas 9,97 juta
2

Pembahasan RKTN tersebut telah dilakukan pada tanggal 24 Februari 2009


di Jogjakarta, 3 Maret 2009 di Batam, 11 Maret 2009 di Jakarta, 24 Maret
2009 di Balikpapan, 15 April 2009 di Makassar, dan 20 Agustus 2010 di
Jakarta. Sedangkan dengan FOReTIKA diadakan tersendiri pada tanggal
19-20 Februari 2009 di Jogjakarta.
Luas kawasan hutan jika dimasukkan pula wilayah konservasi perairan,
menjadi seluas 136,8 juta Ha (Daft RKTN, 2010)

Ha, serta kelompok-kelompok hutan konservasi


sebanyak 534 lokasi seluas 28,2 juta Ha.
Namun demikian, baik kawasan yang dikelola
dan tidak dikelola terjadi konflik atau ada potensi
konflik tentang pemanfaatan hutan. Diperkirakan
seluas 17,6 juta Ha 24,4 juta Ha hutan terjadi
konflik berupa tumpang-tindih klaim hutan negara
dan klaim masyarakat adat atau masyarakat lokal
lainnya, pengembangan desa/kampung, serta
adanya izin sektor lain yang dalam praktiknya
terletak dalam kawasan hutan.
Ketiadaan pengelolaan hutan, dan konflik atau
potensi konflik mengakibatkan hilangnya sejumlah
insentif pelestarian hutan alam yang masih ada
dan disinsentif bagi pelestarian hasil rehabilitasi
hutan dan lahan. Hal itu antara lain terjadi dengan
lemahnya kepastian usaha dan tingginya risiko
investasi. Pada kawasan konservasi, alokasi dana
dan sumberdaya terkonsentrasi untuk mengurus
konflik dan pencurian kayu (illegal logging) serta
kegiatan perlindungan hutan pada umumnya.
Sementara upaya untuk mendapat informasi
kekayaan alam terkalahkan. Bahkan dalam
pengelolaan hutan lindung, hampir seluruh
sumberdaya digunakan untuk perlindungan hutan,
sedangkan manajemen pengelolaan hutan secara
umum belum dapat ditetapkan dan dilaksanakan.

16
14
Produksi Kayu dari Hutan Alam
(Juta M3)

Secara khusus, target luas untuk memenuhi


penurunan perubahan iklim dengan berbagai
skema seluas 1, 6 juta Ha sampai dengan 2,2 juta
Ha per tahun, yang terdiri dari: HKm dan Hutan
Desa 500 ribu Ha per tahun, rehabilitasi hutan dan
lahan untuk perbaikan kualitas DAS 300 ribu 350
ribu Ha per tahun, Hutan Tanaman Industri dan
Hutan Tanaman Rakyat 450 ribu 600 ribu Ha
per tahun, restorasi HPH 300 ribu 700 ribu Ha
dan hutan rakyat kemitraan 50 ribu Ha per tahun
(KemenHut, 2009).

12
10
8
6
4
2
0
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020

Catatan: Proyeksi dari 2016-2020 diasumsikan mengikuti


pertumbuhan produksi dari 2009-2015

Gambar 2.

Proyeksi suplai kayu dari hutan


alam (APHI, 2009)

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

17

Keadilan dalam pemanfaatan SDH juga masih


menjadi tantangan. Padahal mewujudkan alokasi
pemanfaatan hutan secara berkeadilan merupakan
hal yang mendasar. Keberadaan sekitar 25 juta
penduduk miskin di Indonesia saat ini sangat
bergantung pada manfaat hutan. Sementara itu,
pemerintah belum mampu mengembangkan
kepastian hak dan akses bagi masyarakat adat dan
masyarakat lokal terhadap SDH, meskipun sudah
ada pengakuan atas hutan adat melalui Peraturan
Daerah, ijin Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan
Tanaman Rakyat (HTR) maupun Hutan Desa (HD).

3.1.3.2 Kelembagaan pembangunan kehutanan


Selain konflik hak atas kawasan hutan, masalah
kehutanan semakin kompleks dengan adanya
persoalan kelembagaan, termasuk masih
lemahnya hubungan pusat-daerah. Berbagai
masalah kehutanan sering tidak dapat segera
dipecahkan, karena lembaga yang ada tidak
memberi prioritas pada upaya penyelesaian akar
masalahnya. Intensitas dan kapasitas pemerintah
dalam mengelola kawasan konservasi dan hutan
lindung masih rendah, relatif terhadap besarnya
persoalan yang dihadapi. Kontraproduktif sering
muncul akibat masalah kelembagaan yang tidak
mampu memberi solusi, peluang investasi dan
pengembangan nilai tambah, bahkan menyebabkan
biaya transaksi tinggi. Di samping itu, produk
kebijakan dan peraturan sering tidak sejalan
dengan masalah di lapangan.
Sebagai gambaran, alokasi anggaran periode 20052009 di Departemen Kehutanan, sbb:
1. Sekretariat Jenderal = 11,78% 1.791 orang
2. Inspektorat Jenderal = 0,72%

195 orang

3. Ditjen BPK

= 5,99%

962 orang

4. Ditjen RLPS

= 16,60% 2.840 orang

5. Ditjen PHKA

= 46,98% 8.210 orang

6. DitjenPlan

= 6,07% 1.248 orang

7. Balitbang

= 4,49% 1.744 orang

PNBP kehutanan selama periode di atas ratarata per tahun sebesar Rp. 2.914 milyar. Sumber
PNBP terbesar berasal dari Dana Reboisasi (DR)
yaitu rata-rata sebesar 72,2% dan diikuti oleh
provisi sumberdaya hutan (PSDH) sebesar 23,8%.
Sementara itu rata-rata realisasi anggaran negara

18

RASIONALITAS PEMBANGUNAN KPH

(termasuk dari DR) per tahun (2004-2008) untuk


Departemen Kehutanan/Kementerian Kehutanan
sebesar rata-rata Rp. 3.303 milyar. Apabila hanya
dilihat berdasarkan alokasi anggaran, program
dan kegiatan Departemen Kehutanan selama ini
(2004-2008) lebih memprioritaskan persoalan
perlindungan dan rehabilitasi hutan, sehingga
cenderung bersifat taktis dan jangka pendek,
bukan strategis jangka panjang. Masalah-masalah
klaim dan tumpang tindih kawasan hutan tidak
mendapat prioritas untuk diselesaikan;
Lemahnya kelembagaan kehutanan pada
gilirannya merapuhkan sistem pengamanan asset
sumberdaya hutan oleh pemerintah. Pemerintah
(dan Pemerintah Daerah) cenderung menjalankan
administrasi perizinan pemanfaatan hutan.
Sebaliknya, walaupun telah dimandatkan dalam
UU No. 41/1999, belum ada kebijakan yang
kuat dan terarah untuk membentuk organisasi
pemerintah yang berfungsi mengelola hutan di
tingkat lapangan. Akibatnya, dalam pelaksanaan
pemanfaatan hutan tidak tersedia informasi yang
cukup, sehingga secara de facto hutan dikuasai
para pemegang izin. Apabila izin berakhir atau
tidak berjalan, hutan tersebut dalam kondisi
terbuka (open access) yang memudahkan siapapun
memanfaatkannya tanpa kontrol dan kemudian
terjadi kerusakan secara besar-besaran.
Dalam skala nasional, luasnya hutan yang tidak
dikelola menjadi penyebab lemahnya pemerintah
menjalankan kewajiban dalam mengamankan
asset hutan alam maupun hasil rehabilitasi.
Situasi yang sama dialami para pemegang hak
atau izin. Kebijakan pemerintah terhadap mereka
cenderung untuk mengendalikan jumlah produksi
hasil hutan. Sedangkan hutan alam sebagai stock
tidak menjadi perhatian utama. Hutan alam
sebagai stock berupa tegakan muda, tegakan yang
siap ditebang atau menunggu ditebang, tidak
menjadi perhatian untuk dijaga dan dipelihara
karena tidak menjadi kriteria dalam penilaian
kinerja pemegang ijin. Kondisi demikian di satu
sisi menyebabkan perusahaan enggan melindungi
hutan alam dalam kawasan yang dikelola, dan di
sisi lain pengendalian jumlah produksi dengan
banyak peraturan menyebabkan ekonomi biaya
tinggi.

3.1.3.3 Ukuran nilai tambah

3.1.5 Pengaturan kewenangan

Masalah kehutanan juga diwarnai oleh kerancuan


perhitungan nilai tambah. Pentingnya suatu
sektor diukur dengan nilai tambah dalam kinerja
pembangunan. Ukuran ini digunakan dalam
perhitungan Pendapatan Domestik Bruto (PDB)
yang dibatasi oleh nilai barang dan jasa yang
dihargai pasar. Ukuran ini tidak menguntungkan
bagi pengelolaan hutan. Ada kerugian besar, karena
aliran manfaat hutan yang berupa jasa lingkungan
tidak pernah diperhitungkan sebagai manfaat
pembangunan;

Kewenangan bidang kehutanan telah diatur


dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 38/2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan
Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Dalam PP
tersebut, kehutanan dapat dipilih oleh Pemda
tertentu sebagai urusan pemerintahan pilihan atau
tidak dipilih (Gambar 3). Dalam pengaturan ini,
bidang kehutanan dibagi ke dalam 59 sub-bidang.
Pemerintah melaksanakan secara langsung
kegiatan pengelolaan hutan yang terkait dengan:
kawasan hutan (penunjukkan kawasan hutan,
pelaksanaan tata batas, penetapan kawasan hutan);
pengesahan rencana (KPHP/KPHL/KPHK, usaha
di hutan produksi dan hutan lindung, penetapan
batas luar kawasan hutan, penetapan areal kerja
usaha di hutan lindung, pengelolaan kawasan
konservasi dan taman hutan raya); penyelenggaraan
tata usaha hasil hutan; penetapan lahan kritis
nasional; pelaksanaan rehabilitasi hutan skala
nasional; lahan dan mangrove serta areal bencana
alam nasional; penetapan sumberdaya genetik,
ijin ekspor, karantina dan sertifikasi; ijin usaha
pariwisata alam; pengelolaan kawasan suaka alam;
pengawetan tumbuhan dan satwa liar dilindungi
serta perijinannya; ijin lembaga konservasi, dan
perlindungan hutan.

Kerugian kedua adalah menurunkan prestasi kerja


lembaga-lembaga yang mengelola hutan. Nilai
tambah pengolahan hasil hutan dimasukkan
sebagai nilai tambah industri yang terkait. Pada
produk berupa komoditi pertanian, misalnya
dari agroforestry, nilai tambahnya diperhitungkan
pada sektor pertanian dan bukan untuk sektor
kehutanan. Sebagian besar manfaat hasil hutan
nonkayu serta dampak ganda pengusahaan hutan
juga tidak diinventarisasi secara lengkap, dan
belum diperhitungkan;
Ukuran kinerja pembangunan yang bias ini
mengakibatkan pengelolaan hutan tidak intensif,
karena dianggap cost center dan hutan mudah
dikonversi menjadi peruntukan lain karena
dianggap tidak banyak memberi manfaat. Hal itu
secara nyata berakibat pada rendahnya alokasi
anggaran negara untuk sektor kehutanan.

3.1.4 Akar masalah


dan kebijakan
pembangunan
Hal-hal di atas merupakan
akar masalah yang perlu segera
diselesaikan, karena hasilnya
dapat menyelesaikan masalah
kehutanan lainnya. Aktualisasi
respon pemerintah dan pihakpihak yang terkait dengan
pembangunan kehutanan dan
perubahan iklim, misalnya, akan
tergantung pada penyelesaian
akar masalah ini. Hal tersebut
dapat dilihat dalam Tabel 3.

2(2)

URUSAN SEPENUHNYA
PEMERINTAH
(6)
12(2)
Organisasi
& Tata
Kerja
Daerah

1 th

12(1)

PERDA
Wajib
Pilihan

18(1)
Pembinaan kepada
Pemda
Tidak Mampu, untuk
sementara di laks
pemerintah, Perpres

2(4)
Eksternalitas,
Akuntabilitas,
Efisiensi

URUSAN PEMERINTAH
BERSAMA
(31)

WAJIB
Pelayanan
Dasar
(26)

6(2)
PILIHAN
Kesejahteraan
(8)

Norma , Standar ,
Pedoman, Kriteria
10(1)
Dua tahun belum ada,
pemda jalan

8(1)
Standar Pelayanan
Minimal - Bertahap

14, 15

8(2)

URUSAN SISA
N, S,P,K

Lalai , oleh Pemerintah


Dana Daerah
- Pembinaan, 8(3)
- PerPres, 8(4)

9(1)

2 th

16
Pelimpahan ke Gub
(Dekonsentrasi)
Penugasan ke Kab/
Kota & Desa
(Tugas Perbantuan)

Keterangan: Angka 2 (4) menunjukkan pasal dan ayat

Gambar 3.

Diagram pelaksanaan PP nomor 38/2007

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

19

Tabel 3.

Keterkaitan akar masalah dengan masalah kehutanan secara menyeluruh dan


kebijakan pembangunan nasional

Akar Masalah dan Kondisinya


1. Kawasan hutan

Keterkaitan dengan Masalah


Kehutanan Secara Menyeluruh

Keterkaitan dengan
Kebijakan Pembangunan
Nasional

1.1. Masalah kepastian hak dan akses bagi


masyarakat adat dan lokal lainnya
1.2. Masalah pengelolaan hutan konservasi
dan hutan lindung
1.3. Masalah kepastian bagi usaha komersial
di hutan alam, hutan tanaman, hutan
kemasyarakatan, dan hutan tanaman
rakyat
1.4. Mudahnya konversi kawasan hutan menjadi non kehutanan.

Kebijakan dan pelaksanaan


pembaruan agraria dan
pengelolaan SDA, penataan
ruang, pengelolaan dan pemanfaatan SDA (tambang,
pertanian, perkebunan, transmigrasi, dll), serta pemekaran
wilayah.

2. Kelembagaan pembangunan kehutanan


2.1. Tugas dan fungsi lembaga/unit kerja dan
hubungan kerja antar lembaga/unit kerja
a. Pegawai negeri Dephut sebanyak 17.620
terkait dengan prioritas masalah yang diorang, 3.438 orang sebagai pegawai pusat
tangani dan distribusi kewenangan
b. Lambatnya pelayanan publik terutama
dalam proses perizinan dan ekonomi biaya 2.2. Struktur organisasi dan mekanisme
pengambilan keputusan yang terkait
tinggi
efisiensi dan efektifitas pengambilan
c. Lambatnya pengembangan organisasi penkeputusan dan layanan publik
gelolaan hutan di tingkat lapangan (KPH).
2.3. Pengembangan SDM dan alokasi SDM
bagi kebutuhan pengelolaan hutan nasional, terutama di tingkat tapak
2.4. Lingkup dan isi peraturan-perundangan
yang menentukan koridor bagi seluruh
pelaku pembangunan kehutanan.

Kebijakan dan peraturan-perundangan kehutanan, penetapan kewenangan pusatdaerah, penetapan organisasi


daerah, kepegawaian, serta
reformasi birokrasi.

3. Penetapan nilai tambah sektor kehutanan


3.1. Under value terhadap pengukuran nilai
tambah sektor kehutanan sehingga tera. Peran sektor kehutanan pada GDP (2004dapat bias penilaian terhadap manfaat
2008; harga konstan th 2000) rata-rata Rp.
hutan bagi pembangunan ekonomi
16.848 milyar (0,99%). Pertumbuhan pada
periode yang sama, menurun rata-rata 3.2. Terdapat bias dalam pertimbangan untuk
0,91% per tahun
melakukan konversi hutan bagi penggub. Terdapat nilai tambah sektor kehutanan
naan sektor lain.
yang dimasukkan ke dalam sektor lain serta
kesalahan dalam perhitungan nilai tambah.

Kebijakan pengumpulan dan


penggunaan informasi, penetapan nilai tambah, dan akuntasi usaha kehutanan.

a. Konflik dan potensi konflik penggunaan


ruang dengan sektor lain dalam kawasan
hutan seluas 24,4 juta Ha.
b. Luasnya keterlanjuran penggunaan kawasan hutan oleh kebun dan tambang dan
belum terdapat solusi pemecahannya
c. Masih kecilnya kawasan hutan yang telah
dikukuhkan
d. Lemahnya legitimasi hukum klaim kawasan
hutan negara
e. Belum ada kepastian hukum hak tenurial
f. Under valued terhadap hutan dan kawasan
hutan.

Sumber: DKN (2009) dimodifikasi

20

RASIONALITAS PEMBANGUNAN KPH

Untuk kegiatan lainnya, Pemerintah menyusun


norma, standar, prosedur, kriteria (NSPK);

3.1.6 Perijinan dan penggunaan


kawasan

Yang terkait dengan kegiatan yang secara langsung


memanfaatkan atau merehabilitasi hutan,
Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota memiliki
kewenangan, yaitu:

Kehutanan, di luar P Jawa pada umumnya, telah


diselimuti oleh pemanfaatan hutan alam yang
menghasilkan wind fall profit. Meskipun hal
demikian itu terjadi pada era 1970an sampai
dengan awal 1990an namun kerangka pemikiran
ala HPH dan sistem pelayanan kurang efisien
serta pola pemanfaatan sumberdaya alam
yang eksploitatif, masih berjalan hingga saat
ini (DKN, 2008). Kondisi demikian itu secara
struktural maupun psikologis telah melemahkan
penyelenggaraan kebijakan maupun pelaksanaan
pengelolaan hutan di lapangan;

1. Pemerintah Provinsi: pengelolaan hutan raya,


pemberian ijin pemungutan hasil hutan kayu
skala provinsi, ijin pemanfaatan kawasan hutan
dan jasa lingkungan serta industri perkayuan
dengan kapasitas produksi kurang dari 6.000
m3/th dan pelaksanaan rehabilitasi hutan dan
lahan skala provinsi (di hutan produksi dan
hutan lindung yang tidak dibebani ijin, di luar
kawasan hutan dan reklamasi di area bencana)
2. Pemerintah Kabupaten/Kota: pemberian
ijin usaha pemanfaatan kawasan hutan
dan jasa lingkungan di hutan produksi,
pemberian ijin pemanfaatan kawasan hutan,
pemungutan hasil hutan bukan kayu yang
tidak dilindungi, dan pemanfaatan jasa
lingkungan di hutan lindung, pemberian ijin
pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar yang
tidak dilindungi, pemberian ijin penelitian
pada hutan produksi serta hutan lindung
yang tidak ditetapkan sebagai kawasan hutan
dengan tujuan khusus serta pelaksanaan
rehabilitasi hutan dan pemeliharaan hasil
rehabilitasi hutan pada taman hutan raya,
hutan produksi, hutan lindung yang tidak
dibebani izin pemanfaatan/pengelolaan
hutan, dan lahan di luar kawasan hutan.
Baik Pemerintah Provinsi maupun Kabupaten/
Kota mempunyai kewenangan untuk memberikan
pertimbangan teknis terhadap perencanaan
maupun perijinan yang menjadi kewenangan
Pemerintah. Uraian selengkapnya mengenai
kewenangan Pemerintah Provinsi dan Kebupaten/
Kota disajikan dalam Lampiran 1 dan Lampiran
2. Pembagian kewenangan tersebut pada dasarnya
merupakan struktur yang menentukan distribusi
dan penggunaan sumberdaya ekonomi, politik dan
administrasi yang membentuk kepemerintahan
kehutanan. Bentuk struktur seperti itu sangat tidak
efisien dan menyebabkan ekonomi biaya tinggi,
berorientasi jangka pendek dan konflik. Output
kepemerintahan ini sebagaimana diuraikan di atas,
telah menyebabkan disamping kerusakan hutan
juga ketimpangan alokasi manfaat hutan.

Di sisi lain, bentuk pengelolaan hutan yang


dikembangkan lebih menitik-beratkan pada
pengelolaan hutan oleh pemegang ijin, sehingga
Pemerintah dan Pemerintah Daerah tidak
mempunyai informasi, mekanisme kontrol
maupun dasar penetapan alokasi pemanfaatan
hutan secara memadai. Calon pemegang ijin harus
mendapat sendiri informasi mengenai kawasan dan
potensinya dan berupaya mendapat rekomendasi
ijin dari Pemerintah Daerah. Pemerintah dan
Pemerintah Daerah tidak mempunyai dasar yang
pasti dimana ijin sebaiknya diletakkan dan kepada
siapa diberikan, sehingga mekanisme perijinan
dikuasai oleh pemodal kuat yaitu yang dapat
membayar biaya transaksi tinggi dan pihak-pihak
yang mempunyai jaringan dengan kekuasaan (web
of power)4.

Kekuasaan yang terwujud melalui berbagai bentuk mekanisme, proses,


maupun hubungan-hubungan sosial, sehingga terdapat kumpulan dan
jaringan kekuasaan (bundle and web of power) yang memungkinkan
seseorang atau lembaga/perusahaan mempunyai kemampuan untuk
mempengaruhi praktek-praktek implementasi kebijakan di lapangan (Ribot
dan Peluso, 2003).

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

21

Situasi implementasi kebijakan demikian itu


apabila diberlakukan untuk masyarakat, misalnya
bagi calon pemegang ijin Hutan Tanaman Rakyat
(HTR) terbukti menjadi masalah5 dan akibatnya
HTR lambat perkerkembangannya. Target
pembangunan HTR sampai dengan tahun 2016
seluas 5,4 juta Ha atau sekitar 600.000 Ha per
tahun. Namun demikian, kebijakan yang lahir
sejak tahun 2007 tersebut belum memenuhi target.
Dalam laporan Direktorat Bina Pengembangan
Hutan Tanaman (2009) disebutkan bahwa sampai
dengan Desember 2009 telah diproses permohonan
dari 112 Kabupaten dan telah diterbitkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan untuk 63 Kabupaten
seluas 383.403 Ha. Sedangkan ijin HTR yang telah
diterbitkan Bupati sebanyak 9 ijin, 4 unit kepada
perorangan di Kabupaten Sarolangun, Jambi dan
5 unit kepada koperasi di Kabupaten Mandailing
Natal Sumatera Utara, Kabupaten Kotawaringin
Barat Kalimantan Tengah, Kabupaten Konawe
Selatan Sulawesi Tenggara, Kabupaten Gunung
Kidul dan Kabupaten Halmahera Selatan Maluku
Utara. Keseluruhannya hanya seluas 21.157 Ha.
Kebijakan perijinan seperti itu bukan hanya
menghasilkan kinerja ketidak-adilan dalam
pemanfaatan sumberdaya hutan, tetapi juga
pelanggaran prosedur ijin maupun kesalahan
dalam penempatan lokasi ijin atau pelanggaran
penataan ruang. Misalnya, di Kalimantan Tengah
(kondisi Desember 1999), pelanggaran lokasi
ijin perkebunan mencapai luas 3,1 juta Ha dan
berada di lokasi pemegang ijin pengelolaan hutan
alam (IUPHHK HA) seluas 560.990 Ha, di dalam
kawasan hutan tetapi di luar IUPHHK HA seluas
2.606.456 Ha dan dari ijin-ijin tersebut yang telah
beroperasi melakukan penanaman seluas 1.004.668
Ha. Terhadap pelanggaran penataan ruang tersebut
hingga saat ini belum ada solusinya.
Disamping masalah perijinan, hasil evaluasi BPS
(2007, 2009) juga menunjukkan indikasi adanya
19.420 desa di dalam kawasan hutan di 32 provinsi.
Desa-desa tersebut terindikasi berada di dalam
5

Dari diskusi dengan 16 BP2HP se Indonesia pada tanggal 20 Mei 2010


terungkap beberapa pengajuan lokasi dan ijin HTR memerlukan biaya ekstra
yang harus ditanggung calon pemegang ijin berkisar dari Rp 6 juta untuk
ijin perorangan sampai Rp. 600 juta untuk ijin yang berbentuk Koperasi.
Biaya ini disamping untuk membuat peta-peta yang diperlukan juga
dipergunakan untuk transportasi, rapat-rapat dengan pejabat daerah dan
honor pejabat daerah.

22

RASIONALITAS PEMBANGUNAN KPH

kawasan Hutan Lindung sebanyak 6.243 desa, di


dalam Hutan Konservasi sebanyak 2.270 desa, di
dalam kawasan Hutan Produksi sebanyak 7.467
desa dan di dalam kawasan Hutan Produksi
Terbatas sebanyak 4.744 desa. Disamping itu
juga terdapat di dalam kawasan Hutan Produksi
Konversi sebanyak 3.848 desa. Keberadaan desa ini
meskipun berdasarkan hukum positif dianggap
melanggar hukum, namun dalam kenyataannya,
secara sosial-politik, tidak ada perlakuan apa-apa
dan oleh karena itu dari waktu ke waktu terus
berkembang.

3.2 Pembangunan KPH sebagai


strategi
Realitas di atas menunjukkan bahwa untuk
mencapai tujuan pengelolaan hutan, baik
mempertahankan hutan alam yang tersisa maupun
membangun hutan tanaman baru dan diharapkan
berhasil, diperlukan prioritas kegiatan teknis
sekurang-kurangnya mencakup:
1. Penyelesaian masalah kawasan hutan yang telah
terjadi dan menghindari terjadinya masalah
baru di masa depan serta meningkatkan
kapasitas pengelolaan hutan konservasi dan
hutan lindung
2. Mempermudah akses bagi penerima manfaat
atau dapat menekan terjadinya ekonomi biaya
tinggi serta terdapat landasan kuat untuk
mengalokasikan manfaat hutan secara adil
3. Menyediakan infrastruktur sosial maupun
ekonomi bagi penguatan kelembagaan lokal
terutama yang mendapat akses pemanfaatan
sumberdaya hutan, peningkatan efisiensi
ekonomi maupun pengembangan nilai
tambah hasil hutan.
Ketiga kegiatan teknis tersebut harus dilakukan
dan berorientasi pada perencanaan secara spasial
dengan memperhatikan situasi sosial ekonomi
lokal serta menyatukan arah pelaksanaan
kegiatan Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kebupaten/Kota. Untuk keperluan
inilah pembangunan KPH menjadi solusi strategis
yang tidak dapat dihindari.

Dengan keberadaan KPH itu diharapkan dapat


disinergikan adanya beberapa instrumen
dan sumberdaya yang telah tersedia namun
memerlukan integrasi untuk mewujudkan
transformasi dan desentralisasi kepemerintahan
dan kelembagaan pengelolaan hutan, yaitu:
1. Pelaksanaan inventarisasi sumberdaya hutan
dan pelaksanaan tata hutan dalam rangka
mengatur pemanfaatan sumberdaya huan
dan mengendalikan daya dukung lingkungan
hidup
2. Upaya melakukan transformasi tata kuasa atas
kawasan hutan dan fungsi hutan dan lahan
pada tingkat operasional, bagi perwujudan
tata ekonomi kehutanan yang lebih adil dan
berkelanjutan
3. Pengembangan infrastruktur ekonomi
maupun sosial bagi pengembangan wilayah
maupun komoditi andalan sesuai dengan
karakteristik sumberdaya di wilayah KPH dan
kebutuhan masyarakat
4. Peningkatan efisiensi pelayanan bagi para
pemegang ijin melalui akurasi informasi
lapangan dan pengendalian dan evaluasi
berbasis kinerja
5. Upaya menurunkan emisi gas rumah kaca
(GRK) dan bencana alam yang secara
operasional memerlukan kepastian status
dan fungsi sumberdaya hutan dan lahan bagi
pencegahan deforestasi dan degradasi hutan.

Berkenaan dengan identifikasi masalah, berbagai


diskusi baik melalui forum sosialisasi, workshop,
rapat kerja, dsb telah banyak dilakukan. Dari
diskusi-diskusi tersebut telah banyak diperoleh
pembelajaran-pembelajaran, khususnya dari
pengalaman berprosesnya pembangunan KPH
model. Pembelajaran tersebut menjadi tambahan
pengetahuan7 bagi individu atau lembaga yang
secara akumulatif dapat dijadikan bahan untuk
pengambilan keputusan/tindakan yang lebih
berkualitas.
Dalam Lokakarya Pembelajaran Pembangunan
KPH oleh UPTD KPH 31 Mei 1 Juni 2010
disajikan pengalaman dari 2 UPTD Provinsi,
yaitu: KPH Bali Barat dan KPH DIY dan 4 UPTD
Kabupaten/Kota, yaitu: KPHP Banjar, KPHL
Kota Tarakan, KPHP MODEL Unit V Dampelas
Tinombo, Sulawesi Tengah dan KPHP Register 47
Way Terusan, Lampung Tengah. Selain itu, juga
dipresentasikan hasil pembelajaran KPH di Jerman,
hasil kajian mengenai instrumen penilaian KPH
sesuai P.6/Menhut-II/2009 tentang Pembentukan
Wilayah KPH, serta beberapa aspek tenurial
dalam kaitannya dengan pembangunan KPH.
Berdasarkan presentasi dan diskusi oleh peserta
lokakarya disebutkan bahwa masalah tantang
utama pembangunan KPH terdiri dari:

3.3 Tantangan pembangunan


KPH

1. Tidak seluruh Pemerintah Daerah memberi


dukungan dalam pembangunan KPH
terutama dalam pembentukan organisasi
KPH. Alasan utama adalah perlunya anggaran
untuk menghidupkan organisasi KPH tersebut

Penyelenggaraan pengelolaan oleh KPH dapat


dipandang sebagai perbaikan kelembagaan
pengelolaan hutan yang selama ini dipandang
terabaikan. Sebagai upaya perbaikan, maka halhal yang perlu diperbaiki (masalah-masalah)
harus dapat diidentifikasi terlebih dulu, sebelum
perbaikan (solusi) dapat dilakukan melalui
serangkaian program dan kegiatan prioritas. Oleh
karenannya identifikasi masalah 6 menduduki
peranan yang penting dalam penyusunan program
dan kegiatan prioritas KPH.

2. Masih terbatasnya pengertian dan pemahaman


terhadap fungsi dan manfaat KPH bagi
pembangunan kehutanan. Hal demikian
ini ditunjang oleh suatu kenyataan bahwa
penetapan kewenangan pemerintahan
maupun pembentukan organisasi daerah tidak
dipertimbangkan pentingnya pengelolaan
wilayah atau organisasi berbasis teritorial.
Kerangkan kerja pemerintahan hanya
didasarkan oleh pemanfaatan komoditas dari
sumberdaya alam

Masalah adalah kebutuhan, nilai-nilai atau kesempatan-kesempatan yang


tidak terealisir, tetapi dapat dicapai (dipecahkan) melalui tindakan-tindakan
(Dunn, 2000).

Pengetahuan merupakan konfigurasi dan rangkaian informasi yang


terstruktur untuk tujuan analisis tertentu, dapat berupa prediksi, hubungan
kausal, aliran proses, persandingan, maupun perbandingan.

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

23

3. Terbatasnya sumberdaya manusia yang


memahami dan mempunyai kapabilitas untuk
menjalankan organisasi KPH.
Isu-isu penting yang lebih umum dalam proses
pembangunan KPH telah diidentifikasi pula, yaitu:
1. Berkenaan dengan prinsip

Konsep pembangunan dan pembentukan KPH


dan adaptasi spesifikasi nasional sub-nasional
belum sepenuhnya dipahami oleh daerah.
Untuk itu mempelajari konsep menurut
perkembangan dalam konteks kesejarahan dan
adaptasi spesifikasi nasional sub-nasional
sangat diperlukan.
2. Berkenaan dengan stakeholders

Pemerintah provinsi mempunyai akomodasi


yang tinggi terhadap pembangunan KPH,
bahkan beberapa provinsi melihat pentingnya
KPH sebagai bagian dari pembangunan wilayah.
Namun demikian, pemerintah kabupaten
masih merasakan adanya keterbatasan
kapasitas dalam penyiapan pembentukan
KPH. Selain itu, beberapa provinsi merasa
belum dilibatkan secara integral di dalam
proses pembangunan KPH. Tampaknya
perlu dilakukan analisis stakeholder untuk
mencermati kewenangan, tanggung jawab,
manfaat, dan peran yang dimainkan baik oleh
Pemerintah, Pemprov, PemKab/Kot, Bisnis,
Masyarakat, LSM, Akademisi, maupun sektorsektor lain.
3. Berkenaan dengan disharmoni hubungan

Masalah-masalah yang masih dirasakan


umumnya terkait dengan kejelasan dan
ketegasan kewenangan, tugas pokok dan
fungsi (tupoksi), tata hubungan kerja
(tahubja), koordinasi, sinkronisasi, jejaring
untuk tukar pembelajaran, hubungan
KPH dengan Dinas Kehutanan daerah dan
hubungan KPH dengan pemegang IUPHHK.
Implikasinya adalah tingkat ketergantungan
pada arahan pusat untuk pembangunan KPH
masih tinggi. Inisiasi dan inovasi daerah masih
perlu ditingkatkan.
4. Berkenaan dengan informasi/data

Di wilayah pengembangan Regional I


masalah-masalah inventarisasi, penataan

24

RASIONALITAS PEMBANGUNAN KPH

hutan, pemetaan, kecukupan, kelengkapan,


akurasi, diseminasi cukup memadai di
tingkat provinsi. Sementara di wilayah
pengembangan Regional II masalah-masalah
tersebut masih menghadapi banyak kendala
oleh keterbatasan pengetahuan, arahan/
pedoman, dan pendanaan. Demikian pula
pada tingkat kabupaten pada umumnya
juga masih menghadapi banyak kendala
oleh keterbatasan pengetahuan, arahan/
pedoman, dan pendanaan. Namun demikian
beberapa kabupaten (misal Lampung Tengah,
Tanjung Jabung Barat, Jambi) telah mampu
mengambil inisiatif. Tata batas dalam proses
pengukuhan menjadi harapan untuk segera
dapat diselesaikan.
5. Berkenaan dengan aturan-perundangan

Umumnya daerah masih kebingungan dalam


menyikapi aturan dan perundangan yang ada
seperti PP 06/2007 Jo 03/2008; PP38/2008;
PP41/2008. Tampaknya masih diperlukan
arahan yang konsisten dari pemerintah.
Diharapkan dengan terbitnya Permenhut
P.06/2010 tentang NSPK Pengelolaan Hutan
pada KPHP dan KPHL dapat mengurai
kebingungan-kebingungan tersebut.
6. Berkenaan dengan kelembagaan/organisasi/
sumberdaya manusia

Bentuk kelembagaan UPTD menjadi trend


umum yang dikembangkan oleh daerah.
Walaupun ada peluang kelembagaan lain yang
dapat dikembangkan, semisal kelembagaan
nagari di Sumatra Barat. Persyaratan
administrasi dan kompetensi dalam
pengembangan SDM, masih dirasa terlalu
berat. Pengadaan pegawai, bekal pendidikan
teknis dan kecocokan kompetensi profesi
masih menjadi masalah.
7. Berkenaan dengan konflik kepentingan ekonomi

KPH sebagai penggerak ekonomi daerah sangat


diperlukan. Namun demikian, tampaknya
dalam hal kepentingan ekonomi tersebut
disikapi beragam oleh daerah, misalnya: DIY
dan Bali tidak memposisikan KPH dalam
hubungannya dengan kepentingan manfaat
ekonomi langsung (kayu, kebun, tambang,
non-kayu, dsb).

KPH lebih diorientasikan sebagai pendukung


untuk peningkatan ekonomi sektor lain
(pariwisata, industri kecil, dan manfaat bagi
masyarakat). Banjar menempatkan interest
ekonomi dan memasukkan di dalam kelas
perusahaan. Lampung tengah dan Tanjabar
melihat potensi kepentingan ekonomi lokal.
Sumatra Selatan dan Jambi melihat hutan
tanaman sebagai kepentingan ekonomi
komersial.
8. Berkenaan dengan konfilk kepentingan ekologi

Manfaat jasa lingkungan tidak selalu dapat


dipasarkan (marketable). Sumatra Barat
banyak bergantung pada kepentingan ekologis
seperti perlindungan tata air, baru diikuti
oleh peluang ekonomi hasil hutan bukan
kayu. Sementara Sumatra Selatan dan NAD
menunjukkan potensi insentif REDD+ dan
perdagangan Karbon.
9. Berkenaan dengan konflik sosial

Pada umumnya areal-areal yang dialokasikan


untuk pembangunan KPH memiliki tingkat
konflik lahan yang tinggi. Namun demikian
disadari semakin lambat untuk menyelesaikan
masalah-masalah tersebut semakin sulit untuk
mengatasinya.
10. Berkenaan dengan operasi lapangan (actions)

Pemerintah provinsi relatif siap dengan


percepatan, kecuali beberapa provinsi yang
masih menunggu kejelasan paduserasi/
RTRWP. KPH model dapat diterima dan
diinisiasi oleh provinsi dan kabupaten/kota,
namun demikian pendanaan masih menjadi
permasalahan dan pembangunan sarana
prasarana untuk menjalankan KPH model
belum dapat disediakan. Kelas perusahaan dan
kelola bisnis sangat potensial namun belum
dirancang dan dikelola secara profesional
sehingga terjadi situasi pembiayaan yang lebih
besar dari pendapatan.
Sejalan dengan permasalahan tersebut di atas,
tampaknya diperlukan identifikasi masalah
(issue strategis) untuk setiap KPH atau calon
KPH, mengingat antara satu KPH dengan lainnya
memiliki karakteristik fisik, biologi, social,
ekonomi dan budaya yang berbeda-beda.

Setelah masalah tersebut diidentifikasi, maka


strategi pembangunan KPH yang spesifik dapat
ditentukan.
Berdasarkan pengetahuan atas masalah umum
seperti telah diidentifikasi di atas, tampaknya
diperlukan strategi-strategi transisi atau jangka
benah pembangunan KPH sebagai berikut:
1. Transisi tatahutan yang meliputi penataan,
pengukuhan, organisasi areal kerja, dan daftar
kelas hutan
2. Transisi skema kelestarian
3. Transisi pendanaan dan pembiayaan
penggalian dan pembangkitan skema
pembiayaan
4. Transisi kelembagaan dan organisasi
5. Transisi pengelolaan SDM untuk mencapai
standar kebutuhan dan kecukupan SDM.
6. Transisi perencaaan
7. Transisi pengelolaan bisnis pengaman koridor
untuk operasi yang layak secara finansial dalam
jangka pendek dalam rangka kemandirian
pengelolaan KPH.
8. Transisi kelola sosial yang meliputi manajemen
kolaborasi, kontrak manajemen, agroforestry
sesuai dengan konteks lokal
9. Penguatan jejaring dengan jalur pemerintahan:
Depdagri, Asosasi Pemerintahan Daerah.

BAB 4

K E B I JAK AN
PEMBANGUNAN KPH
Landasan konseptual pengelolaan hutan
Landasan pembentukan KPH
Tugas pokok dan fungsi KPH
Pembangunan KPH di wilayah provinsi
Pembentukan organisasi KPH
Sumberdaya manusia

4.1 Landasan konseptual


pengelolaan hutan

Ekosistem juga di bagi-bagi ke dalam wilayah


ekploitasi di bawah pengusahaan perusahaan
swasta (Kartodihardjo, 2000).

4.1.1 Karakteristik sumberdaya hutan

Sumberdaya hutan dalam bentuk stock menghasilkan


fungsi-fungsi yang tidak dapat dirasa dan dilihat.
Fungsi ini meliputi menyimpan air dan mencegah
banjir di musim hujan dan mengendalikan
kekeringan di musim kemarau, menyerap CO2
di udara, mempertahankan kesuburan tanah,
mengurai berbagai bahan beracun, maupun sebagai
sumber pengetahuan serta hubungan sosial dan
budaya masyarakat. Fungsi sumberdaya alam
dalam bentuk stock berguna bagi publik, dan tidak
dapat dibagi-bagikan kepada perorangan dan tidak
pula dapat dimiliki perorangan, meskipun setiap
orang memerlukannya. Kedua bentuk sumberdaya
hutan tersebut saling berkait erat. Upaya untuk
melestarikan hutan ditentukan oleh sifat
sumberdaya hutan sebagai stock yang mempunyai
keterbatasan daya dukung untuk menghasilkan
barang/komoditi dan jasa maupun fungsi-fungsi
publik secara berkelanjutan (Bappenas, 1993).

Sebagaimana ditetapkan di dalam Undang-Undang


No 41/1999 tentang Kehutanan, hutan dinyatakan
sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa
hamparan berisi sumber daya alam hayati yang
didominanasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan yang lainnya
tidak dapat dipisahkan. Sedangkan hasil hutan
diartikan sebagai benda-benda hayati, nonhayati
dan turunannya, serta jasa yang berasal dari hutan.
Kedua pengertian tersebut mengacu pada
pengertian bio-fisik hutan dengan penekanan
lebih sebagai penghasil kegiatan ekonomi dan
pengelolaan suatu ekosistem.
Sumberdaya hutan, dengan demikian, menjadi
aset ekonomi maupun daya dukung kehidupan,
sehingga sumberdaya hutan dapat digolongkan
menjadi:
1. Bentang alam berupa stock8 atau modal alam
(natural capital) yang keberadaannya tidak
dibatasi wilayah administrasi, dan
2. Barang/komoditi dan jasa seperti kayu, rotan,
air, dan berbagai bentuk jasa lingkungan.
Aset ekonomi maupun daya dukung kehidupan
tersebut berada dalam berbagai bentuk ekosistem.
Dengan demikian, ekosistem menyediakan
produk seperti makanan dan air serta jasa seperti
pengaturan atau pengendalian banjir, kekeringan,
dan penyakit; jasa pendukung seperti pembentukan
tanah dan siklus hara, jasa kebudayaan seperti
rekreasi, spiritual, keagamaan dan manfaat
bukan-material lain (Bappenas, 1993). Dalam
kenyataannya suatu ekosistem, dipecah-pecah
ke dalam beberapa wilayah secara administratif,
wilayah suku atau lembaga sosial dan budaya lokal,
atau berdasarkan kepentingan politik tertentu.
8

Istilah cadangan (stock) sebenarnya belum dapat menjelaskan makna yang


sesungguhnya. Sumberdaya yang secara fisik dapat dilihat sebagai bentang
alam bukan sekedar cadangan yang lebih bermakna sebagai simpanan
modal ekonomi karena di dalam bentang alam juga terdapat prosesproses yang secara alami mewujudkan fungsi pengendalian kerusakan
maupun pencemaran serta menghasilkan energi (seperti panas bumi,
gelombang, angin, dll).

Setiap jenis komoditi yang diambil dari sumberdaya


hutan berupa stock akan mempengaruhi
produktivitas jenis komoditi lain serta fungsifungsi sumberdaya hutan secara keseluruhan.
Berbagai pengaruh tersebut terjadi dalam
bentangan tertentu, misalnya wilayah daerah
aliran sungai (DAS) apabila berkaitan dengan air
atau wilayah ekoregion apabila berkaitan dengan
hubungan antar ekosistem, misalnya ekosistem
darat dan laut. Dengan demikian pengelolaan
hutan sebagai bentang alam tidak dapat dibatasi
wilayah-wilayah administrasi, karena merupakan
suatu wilayah dimana hubungan antara barang dan
jasa dari sumberdaya hutan berkaitan sangat erat.
Secara tradisional 9, sumberdaya hutan hanya
dipandang sebagai barang maupun jasa yang dapat
dimanfaatkan secara langsung. Perkembangan
pengetahuan dan peradaban manusia menjadikan
pandangan terhadap sumberdaya ini diperkaya,
selain manfaat langsung juga manfaat lainnya
(Tabel 4).

Tradisional di sini yang dimaksud bukan dikaitkan dengan masyarakat


adat atau lokal lainnya, melainkan dikaitkan dengan pandangan terhadap
sumberdaya alam yang masih secara sederhana, yaitu terbatas hanya yang
dapat dimanfaatkan secara langsung.

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

29

Berdasarkan pandangan terhadap sumberdaya


hutan tersebut, pandangan tradisional membatasi
apa yang disebut sebagai sumberdaya yang dikuasai
oleh kelompok masyarakat tertentu (common pool
goods) yaitu sumberdaya yang dikuasai dan dikelola
berdasarkan tata aturan kelompok masyarakat
tersebut. Akses setiap individu anggota kelompok
terhadap sumberdaya yang dikuasai bersama
menghasilkan tambahan pendapatan yang cukup
nyata, dan seringkali tambahan manfaat tersebut
tidak menguntungkan apabila harus disediakan
oleh individu-individu secara sendiri-sendiri.
Saat ini, sumberdaya hutan baik dalam pengertian
tradisional maupun pengertian saat ini menjadi
sangat berharga untuk dilindungi fungsinya.
Dibandingkan dengan sistem penguasaan dan hak
penggunaan sumberdaya alam secara tradisional,
kini kompleksitas menjadi lebih besar, ketika
juga dipertimbangkan adanya fungsi-fungsi
tambahan dari sumberdaya hutan yang sangat
penting untuk ikut diperhitungkan. Secara
sederhana adanya kompleksitas ini biasanya
langsung saja diambil solusi dengan menetapkan
pengelolaan sumberdaya oleh pemerintah.
Sepintas masalah ini dapat diselesaikan, paling
tidak sebagian diantaranya, namun akibat tidak
dipertimbangkannya interaksi dan ketergantungan
diantara individu dalam kelompok masyarakat,
serta antar kelompok masyarakat yang mempunyai
kepentingan akan manfaat sumberdaya hutan
tersebut, mengakibatkan konflik penguasaan dan
penggunaan manfaat sumberdaya hutan terus
terjadi.

Tabel 4.

Dari Tabel 5 dapat diketahui bahwa seluruh


jenis sumberdaya hutan berdasarkan pengertian
tradisional sebagian besar masuk dalam klasifikasi
produksi yang dapat diperdagangkan/ekspor
dan memerlukan aktivitas manusia untuk
memproduksinya. Karakteristik sumberdaya
hutan yang dapat diperdagangkan/diekspor adalah
sebagai berikut (Berge, 2004):
1. Secara umum jenis sumberdaya ini diproduksi
dari sumberdaya hutan yang bersifat
subtractable, yaitu apabila dimanfaatkan
oleh pihak tertentu, pihak lain tidak
memperolehnya (private atau common pool goods)
lebih jauh dijelaskan dalam bab berikutnya
2. Dalam suatu lingkungan masyarakat
tertentu, hak untuk memanfaatkan jenisjenis sumberdaya dalam pengertian tradisional
bersifat independen satu dengan lainnya. Hal
ini bukannya tidak memungkinkan kelompok
secara keseluruhan menguasasi sumberdaya
ini secara bersama-sama. Demikian pula, hak
untuk memanfaatkan jasa ekosistem juga
bersifat independen dari hak penguasaan oleh
kelompok terhadap jasa ekosistem tersebut

Pandangan tradisional dan saat ini terhadap sumberdaya hutan

Sumberdaya (pandangan tradisional)


Kayu, rotan, tempat gembala
Tanaman obat, getah/resin
Ikan, burung, mamalia
Jamur, madu, serangga
Air

Sumberdaya (pandangan saat ini)









30

Lebih jauh jenis-jenis sumberdaya hutan di atas


dapat pula diklasifikasikan berdasarkan motivasi
pengelolanya, serta tingkat diperlukannya
kegiatan manusia untuk menghasilkan atau
mempertahankan fungsi sumberdaya hutan
tersebut (Tabel 5).

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KPH

Tempat penyerap dan penyimpan karbon


Tempat rekreasi
Kawasan dilindungi untuk pengetahuan maupun sejarah
Kawasan dilindungi untuk kebanggaan masyarakat lokal maupun
suatu bangsa
Keanekaragaman hayati (ekosistem, spesies, gen)
Perlindungan daerah aliran sungai
Perlindungan terjadinya bencana alam
Perlindungan tanah dan iklim mikro

3. Masalah keadilan pemanfaatan sumberdaya


hutan maupun masalah kelestarian fungsinya
adalah bagian dari masalah manajemen
pengelolaan sumberdaya hutan tersebut.
Karakteristik sumberdaya hutan yang tidak dapat
diperdagangkan/diekspor baik berupa jasa rekreasi
serta jasa dari kawasan dilindungi Tipe II adalah
sebagai berikut (Berge, 2004):

1. Secara umum jenis sumberdaya hutan ini


diproduksi dari sumberdaya yang bersifat
non-subtractable, yaitu apabila dimanfaatkan
oleh pihak tertentu, pihak lain tetap dapat
memperolehnya (public atau club goods)
2. Hak untuk memanfaatkan jenis sumberdaya
hutan ini bersifat independen antara satu
dengan lainnya. Namun, pemerintah dapat
menguasai dalam bentuk mengeluarkan
kebijakan pengelolaan sumberdaya hutan
tersebut. Apabila terdapat individu/private
menguasai sumberdaya hutan ini, kebijakan
pengelolaan sumberdaya hutan yang diterapkan
kepadanya perlu memperhatikan kepentingan
pihak lain
3. Masalah manajemen pengelolaan sumberdaya
hutan adalah bagaimana dalam penguasaan
individu atas sumberdaya hutan juga dapat
diterapkan pelaksanaan kebijakan publik.
Untuk seluruh jenis manfaat hutan, keberadaan
dan kelestariannya sangat tergantung pada tegakan

Tabel 5.

hutan atau stock, yaitu sumberdaya atau pabrik yang


memproduksi seluruh jenis manfaat yang dihasilkan.
Stock ini merupakan kekayaan yang perlu dilindungi
oleh pemiliknya. Dalam konteks inilah persoalan
utama yang dihadapi hingga saat ini, bahwa stock
hutan negara belum sepenuhnya dikuasai dan
dilindungi. Perlindungan hutan khususnya hutan
produksi dalam prakteknya dilimpahkan kepada
pemegang ijin. Dalam hal ini, pembangunan KPH
merupakan solusi atas kondisi demikian itu.
Di pihak lain telah diketahui pula bahwa manfaat
sumberdaya hutan, khususnya jasa lingkungan
dapat dimanfaat oleh pihak-pihak yang berada di
luar pemilik atau pengelola hutan, misalnya jasa
pengendalian erosi, banjir, penyerap karbon di udara,
pengatur iklim mikro ataupun pemandangan indah
yang dihasilkan. Dengan demikian, karakteristik
sumberdaya hutan secara alami menghasilkan sifat
saling tergantung antara dua kelompok masyarakat,
yaitu pengelola atau pemilik hutan dan pemanfaat
jasa lingkungan dari hutan tersebut. Sifat demikian
itu menyebabkan pengelolaan hutan tidak lagi
dapat dilakukan secara sederhana mengingat arti
pentingnya bagi banyak pihak dan agar dapat
diwujudkan distribusi secara adil siapa yang
mengeluarkan biaya dan siapa yang memanfaatkan
hasilnya, diperlukan pengembangan dan inovasi
berbagai bentuk transaksi, yang kini dikenal dengan
inisiatif pembayaran jasa lingkungan, perdagangan
karbon, dll.

Jenis barang dan jasa hutan berdasarkan tujuan dan tingkat aktivitas manusia untuk
mengadakan atau melindungi fungsi SDA

SDA memerlukan
akitivitas manusia

SDA hampir tidak memerlukan aktivitas manusia

Produksi untuk diperdagangkan/eks- berbagai bentuk kegiatan ekstraktif


por10

Kawasan dilindungi Tipe I: Jasa lingkungan

Produksi untuk dikonsumsi/tdk dapat Kawasan untuk rekreasi


diekspor

Kawasan dilindungi Tipe II:


Keanekaragaman hayati, pengetahuan,
kekayaan budaya

10

Jenis barang dan jasa dapat diperdagangkan/diekspor karena sifatnya yang dapat disimpan dan dipindahkan. Sedangkan jenis barang dan jasa yang tidak
dapat diperdagangkan/diekspor karena sifatnya hanya bisa dikonsumsi di tempat dimana barang dan jasa tersebut dihasilkan. Oleh karena itu pengertian
diperdagangkan/diekspor tidak senantiasa mewujudkan kegiatan perdagangan dan ekspor, melainkan lebih mempunyai arti memindahkan tempat pemanfaatan
barang dan jasa tersebut dari tempat produksinya.

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

31

Nilai penting stock hutan juga telah memberi


perhatian bagi para ahli akuntasi. Pertimbangan
untung-rugi dalam pelaksanaan pengelolaan hutan
terlihat menjadi ganjil apabila stock hutan tidak
diperlakukan sebagai asset dalam sebuah neraca
suatu usaha, karena apabila demikian kerusakan
stock hutan yang notabene merupakan pabrik dari
usaha itu tidak menentukan untung-ruginya.
Implikasi penerapan neraca keuangan yang tidak
memperhitungkan hutan sebagai asset dapat
menyesatkan, karena suatu usaha yang kinerja
keuangannya dinyatakan sehat, dapat mendadak
bangkrut (IAI, 2010).

4.1.2 Perencanaan pengelolaan hutan


Secara umum tujuan kelestarian produksi hasil
hutan diwujudkan melalui kegiatan manajemen
hutan. Tujuan ini dicapai melalui serangkaian
kegiatan seperti inventarisasi hutan, tata
hutan dengan membentuk blok dan petak,
serta pelaksanaan kegiatan silvikultur seperti
pembuatan persemaian, penanaman, penjarangan,
penebangan untuk mendapat tegakan dan
hasil hutan seperti yang diharapkan. Cakupan
manajemen sumberdaya hutan seperti itu terbatas
di dalam pengelolaan suatu unit usaha atau kelas
perusahaan. Di dalam pengelolaan suatu KPH,
manajemen sumberdaya hutan tidak terbatas pada
kegiatan-kegiatan tersebut, karena di dalam KPH
dimungkinkan adanya perusahaan mandiri dan
kelompok masyarakat pengelola hutan.
Manajemen sumberdaya hutan dalam lingkup
KPH dimulai dengan penetapan rencana jangka
panjang KPH tersebut. Tujuan dalam rencana
jangka panjang tersebut diselaraskan dengan
tujuan Pemerintah maupun Pemerintah Provinsi
dan Kabupaten/Kota sesuai dengan lokasi atau
wilayah KPH tersebut berada. Di dalam rencana
jangkan panjang tersebut dipastikan arah jangka
panjang para pemegang ijin dan pengelolaan hutan
lainnya di KPH tersebut serta kebijakan dan strategi
penganganan masalah yang dihadapi untuk
mewujudkan rencana jangka panjang tersebut.
Disamping itu ditetapkan pula arah tanggungjawab KPH termasuk arah perubahan organisasi
KPH menjadi BLU apabila langkah ini dianggap
relevan untuk mencapai tujuan jangka panjang
yang telah ditetapkan.

32

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KPH

Berbeda dengan rencana kehutanan pada


umumnya, dalam rencana ini untuk setiap kegiatan
telah pula terdapat kejelasan dimana lokasinya
dan kapan waktu pelaksanaannya. Oleh karena
itu sebelum merumuskan rencana jangka panjang,
dilakukan terlebih dahulu inventarisasi baik
mengenai sumberdaya hutan maupun kondisi
sosial ekonomi masyarakat yang berada di dalam
dan di sekitar hutan beserta potensi masalah yang
akan timbul.
Rencana jangka panjang KPH tersebut kemudian
dijabarkan menjadi rencana kerja tahunan. Rencana
kerja tahunan ini benar-benar telah disesuaikan
dengan kapasitas organisasi KPH serta prioritas
kegiatan yang diperkirakan secara signifikan
menentukan dicapainya kinerja KPH tersebut.
Baik terhadap penyusunan rencana kerja jangka
panjang maupun tahunan, keterlibatan berbagai
instansi pemerintah yang terkait, para pemegang
ijin (apabila ada), masyarakat yang berada di dalam
dan di sekitar hutan, lembaga swadaya masyaraka
dan akademisi perlu diwujudkan. Partisipasi ini
diharapkan meningkatkan peluang terjadinya
sinergi kegiatan semua pihak di KPH itu termasuk
ketepatan program dan kegiatan berbagai instansi,
LSM maupun lembaga-lembaga penelitian, apabila
kegiatan mereka terkait dengan lokasi dimana KPH
berada.

4.1.3 Mengelola hutan dan hasil hutan


Kegiatan pengelolaan hutan dan hasil hutan di
dalam suatu KPH dapat merupakan kombinasi
antara para pemegang ijin dan pengelola KPH.
Oleh karena itu selain kegiatan pengelolaan
hutan dan hasil hutan yang secara konvensional
telah dilakukan, seperti melakukan tata hutan,
pemanfaatan, rehabilitasi, perlindungan, dan
konservasi hutan, serta pengawasan, di dalam
kegiatan itu perlu dipertimbangkan kebutuhan
bersama semua pihak di dalam KPH itu. Misalnya
aksesibilitas dan infrastruktur, tenaga kerja,
informasi, penyelesaian konflik, pendampingan,
dll. sesuai dengan karakteristik wilayah suatu KPH.
Kegiatan pengelolaan hutan dan hasil hutan,
dengan demikian, bukan hanya berfokus pada
tegakan hutan dan hasil hutan secara fisik
melainkan pada kebutuhan kegiatan untuk
menyelesaikan berbagai masalah yang terjadi atau
diperkirakan akan terjadi.

Dalam hal ini, para pengelola KPH perlu


berfokus pada upaya-upaya pengorganisasian dan
pengalokasian sumberdaya untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang dijumpainya. Untuk
mewujudkan upaya-upaya tersebut perlu dilakukan
pertemuan rutin antar pihak, terutama pihakpihak yang secara langsung mempunyai kegiatan
di dalam wilayah KPH. Hal demikian ini membawa
konsekuensi kepada cara kerja organisasi KPH.
Organisasi KPH hendaknya tidak terdiri dari
struktur dan tupoksi yang rigid, melainkan perlu
memiliki fleksibilitas untuk dapat berinteraksi
dengan banyak pihak dan menerima informasi
serta menyesuaikan kegiatan yang sedang atau
akan dilakukan.

4.1.4 Sosial politik pengelolaan hutan


Menegaskan apa yang telah diuraikan dalam
lingkup kegiatan pengelolaan hutan di atas, di
dalam pengelolaan KPH sebenarnya terjadi alokasi
dan realokasi sumberdaya yang menyebabkan
pihak-pihak tertentu diuntungkan atau dirugikan.
Realitas demikian ini tidak dapat dihindari karena
merupakan bagian dari kenyataan pembangunan.
Dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan,
pengelola KPH adalah pihak yang paling
mengetahui kondisi kehutanan di tingkat tapak.
Oleh karena itu, meskipun proses administrasi
perijinan berada di tangan Pemerintah atau
Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya, namun
pengelola KPH mempunyai peran penting dalam
menentukan bagaimana masyarakat akan siap
menerima dan menjalankan ijin itu atau bagaimana
pengusaha aman dalam menjalankan usahanya
setelah menerima ijin serta dalam konteks yang
lebih luas, pengelola KPH menentukan bagaimana
alokasi sumberdaya hutan dilaksanakan dengan
peluang keberhasilan yang tinggi ataupun implikasi
konflik minimal.
Dalam konteks demikian itu, pengelola KPH dapat
disebut sebagai lembaga yang secara sosial politik
mendapat legitimasi dari masyarakat dengan
kewenangan teknis dan fungsional melakukan
pengelolaan hutan di tingkat tapak namun
mempunyai posisi strategis dalam mewujudkan
pengelolaan hutan secara adil dan aman.

4.2 Landasan pembentukan


KPH
Landasan pembentukan KPH didasarkan terutama
oleh beberapa peraturan-perundangan, sebagai
berikut:
1. UU 41 tahun 1999 tentang Kehutanan
2. PP 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan
3. PP 6/2007 Jo PP 3/2008 tentang Tata Hutan,
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta
Pemanfaatan Hutan
4. PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan
antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan
Pemerintah Kabupaten/Kota
5. PP 41/2007 tentang Organisasi Perangkat
Daerah
6. Permenhut P. 6/Menhut-II/2009 tentang
Pembentukan Wilayah KPH.
7. Permenhut P. 6/Menhut-II/2010 tentang
Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK)
Pengelolaan Hutan pada KPH Lindung (KPHL)
dan KPH Produksi (KPHP)
8. Permendagri No. 61/2010 tentang Pedoman
Organisasi dan Tata Kerja Kesatuan
Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan
Pengelolaan Hutan Produksi di Daerah.
Berdasarkan peraturan-perundangan tersebut,
dijelaskan pokok-pokok kandungan isinya yang
menjadi pilar kebijakan pembentukan KPH.
Semua hutan di wilayah Republik Indonesia
termasuk kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Dalam rangka
penguasaan tersebut negara memberi wewenang
kepada Pemerintah untuk mengatur dan mengurus
segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan.
Pengurusan hutan bertujuan untuk memperoleh
manfaat yang sebesar-besarnya serta serbaguna dan
lestari untuk kemakmuran rakyat, meliputi:
1. Perencanaan kehutanan
2. Pengelolaan hutan
3. Penelitian dan pengembangan, pendidikan
dan latihan, serta penyuluhan kehutanan, dan
4. Pengawasan.

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

33

Dalam rangka penyelenggaraan pengelolaan


hutan tersebut diperlukan pembentukan wilayah
pengelolaan hutan dan dilaksanakan pada tingkat
Provinsi, Kabupaten/Kota, dan unit pengelolaan.
Adapun kegiatan pengelolaan hutan yang dimaksud
meliputi:

1. Tata hutan dan penyusunan rencana


pengelolaan hutan
2. Pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan
hutan
3. Rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan
4. Perlindungan hutan dan konservasi alam.
Dengan penjelasan bahwa pengelolaan hutan
dilaksanakan dengan dasar akhlak mulia untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dengan demikian
pelaksanaan setiap komponen pengelolaan
hutan harus memperhatikan nilai-nilai budaya
masyarakat, aspirasi dan persepsi masyarakat, serta
memperhatikan hak-hak rakyat, dan oleh karena itu
harus melibatkan masyarakat setempat.
Pengelolaan hutan pada dasarnya menjadi
kewenangan pemerintah dan atau pemerintah
daerah. Mengingat berbagai kekhasan daerah
serta kondisi sosial dan lingkungan yang sangat
berkait dengan kelestarian hutan dan kepentingan
masyarakat luas yang membutuhkan kemampuan
pengelolaan secara khusus, maka pelaksanaan
pengelolaan hutan di wilayah tertentu dapat
dilimpahkan kepada BUMN yang bergerak di bidang
kehutanan, baik berbentuk perusahaan umum
(Perum), perusahaan jawatan (Perjan), maupun
perusahaan perseroan (Persero), yang pembinaannya
di bawah Menteri. Dalam rangka mengatur dan
mengurus maka seluruh pemanfaatan hutan
dijalankan dalam bentuk perijinan.
Sementara itu Unit Pengelolaan Hutan terdiri dari
Kesatuan Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK),
Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), dan
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP).
Pada setiap Unit Pengelolaan Hutan dibentuk
institusi pengelola. Institusi Pengelola bertanggung
jawab terhadap penyelenggaraan pengelolaan
hutan yang meliputi: perencanaan pengelolaan,
pengorganisasian, pelaksanaan pengelolaan, dan
pengendalian serta pengawasan.
Menteri menetapkan organisasi KPHK, sedangkan
untuk KPHP dan KPHL ditetapkan berdasarkan
Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 61 Tahun

34

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KPH

2010, tentang Pedoman Organisasi dan Tata


Kerja KPHP dan KPHL. Untuk KPHP dan KPHL
penetapannya yang wilayahnya lintas Kabupaten
ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah
Provinsi dan bertanggungjawab kepada Gubernur,
sedangkan untuk KPHP dan KPHL yang berada di
dalam wilayah Kabupaten ditetapkan berdasarkan
Peraturan Daerah Kabupaten dan bertanggungjawab
kepada Bupati.
Organisasi KPH yang akan ditetapkan mempunyai
bentuk:

1. Sebuah organisasi pengelola hutan yang:


a. Mampu menyelenggarakan pengelolaan
yang dapat menghasilkan nilai ekonomi
dari pemanfaatan hutan dalam
keseimbangan dengan fungsi konservasi,
perlindungan, dan sosial dari hutan
b. Mampu mengembangkan investasi dan
menggerakkan lapangan kerja
c.

Mempunyai kompetensi menyusun


perencanaan dan monitoring/evaluasi
berbasis spasial

d. Mempunyai kompetensi untuk melindungi


kepentingan hutan (termasuk kepentingan
publik dari hutan)
e.

Mampu menjawab jangkauan dampak


pengelolaan hutan yang bersifat lokal,
nasional dan sekaligus global (misal: peran
hutan dalam mitigasi perubahan iklim
global/climate change); dan

f.

Berbasis pada profesionalisme kehutanan.

2. Organisasi yang merupakan cerminan integrasi


(kolaborasi/sinergi) dari Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/Kota
3. Pembentukan organisasi KPH tet ap
menghormati keberadaan unit-unit (izin-izin)
pemanfaatan hutan yang telah ada
4. Struktur organisasi dan rincian tugas dan
fungsinya memberikan jaminan dapat
memfasilitasi terselenggaranya pengelolaan
hutan secara lestari
5. Organisasi yang memiliki kelenturan (fleksibel)
untuk menyesuaikan dengan kondisi/tipologi
setempat serta perubahan lingkungan strategis
yang berpengaruh terhadap pengelolaan hutan.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun


2007, tentang Pembagian Urusan Pemerintahan
yang terkait dengan KPH dinyatakan dalam Bidang
AA Bidang Kehutanan, Sub Bidang 8 Pembentukan
Wilayah Pengelolaan Hutan sebagai berikut:

4.3 Tugas pokok dan fungsi


KPH

1. P e m d a K a b u p a t e n / K o t a m e m b e r i
pertimbangan penyusunan rancang bangun
dan pengusulan pembentukan wilayah
pengelolaan hutan lindung dan produksi serta
institusi wilayah pengelolaan hutan

1. Menyelenggarakan pengelolaan hutan,


meliputi:

2. Pemda Provinsi melaksanakan penyusunan


rancang bangun, pembentukan dan pengusulan
penetapan wilayah pengelolaan hutan lindung
dan produksi serta pertimbangan teknis
institusi wilayah pengelolaan hutan
3. Pemerintah menetapkan Norma, Standar,
Prosedur dan Kriteria, dan pelaksanaan
penetapan pembentukan wilayah pengelolaan
hutan, penetapan wilayah pengelolaan dan
institusi wilayah pengelolaan serta arahan
pencadangan.
Landasan pembentukan organisasi KPHL dan
KPHP adalah pasal 45 PP 41/2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah, yang menyatakan
bahwa dalam rangka melaksanakan tugas dan
fungsi sebagai pelaksanaan peraturan perundangundangan dan tugas pemerintahan umum lainnya,
pemerintah daerah dapat membentuk lembaga lain
sebagai bagian dari perangkat daerah. Organisasi
dan tata kerja serta eselonisasi lembaga ini
ditetapkan oleh Menteri Dalam Negeri setelah
mendapat pertimbangan dari menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang
pendaya-gunaan aparatur negara.
Pembangunan dan pendanaan KPH
dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota sesuai
kewenangannya. Dana pembangunan KPH
bersumber dari: APBN, APBD dan/atau dana lain
yang tidak mengikat sesuai peraturan perundangan.

Organisasi KPH mempunyai tugas dan fungsi


sebagai berikut:

a. Tata hutan dan penyusunan rencana


pengelolaan hutan
b. Pe m a n f a a t a n h u t a n d a l a m h a l
pemantauan dan pengendalian terhadap
pemegang ijin
c.

Penggunaan kawasan hutan dalam hal


pemantauan dan pengendalian terhadap
pemegang ijin

d. Pemanfaatan hutan di wilayah tertentu


e.

Rehabilitasi hutan dan reklamasi

f.

Perlindungan hutan dan konservasi alam.

2. M e n j a b a r k a n ke b i j a k a n ke h u t a n a n
Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota untuk
diimplementasikan
3. Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan
di wilayahnya mulai dari perencanaan,
p en gorgan is as ian , p elaks an aan d an
pengawasan serta pengendalian
4. Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas
pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di
wilayahnya.
Dalam Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 2007 Jo
Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2008 tentang
Tata Hutan, Penyusunan Rencana Pengelolaan
Hutan, serta Pemanfaatan Hutan telah ditetapkan
tugas pokok dan fungsi KPH. Tugas pokok dan
fungsi KPH tersebut terutama untuk KPHP dan
KPHL sebelum ada KPH sebagian dilaksanakan
oleh Dinas Kehutanan Provinsi dan Kabupaten/
Kota dan sebagian diantaranya dilaksanakan
oleh para pemegang ijin. Dengan demikian, maka
sebelum ada KPH, seluruh tugas pokok dan fungsi
KPH tetap dijalankan oleh Dinas Kehutanan
Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Pelaksanaan tugas pokok dan fungsi KPH
tersebut yaitu pada penyelenggaraan manajemen
pengelolaan hutan di tingkat tapak/lapangan,
sedangkan tugas pokok dan fungsi Dinas
Kehutanan yaitu penyelenggaraan pengurusan/
administrasi kehutanan.

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

35

Pembedaan kedua jenis tugas pokok dan fungsi


ini seperti disajikan dalam Tabel 6.
Dengan demikian, keberadaan KPH dapat
mendukung kegiatan Kabupaten di wilayah KPH
sekurang-kurangnya dalam hal:
1. Menyiapkan lokasi ijin

3. Pelaksanaan perlindungan hutan di wilayah


kerjanya
4. Penguatan kelembagaan masyarakat bersama
lembaga penyuluhan
5. Pemantauan, evaluasi dan pengawasan di
wilayah kerjanya

2. Menyiapkan lokasi rehabilitasi hutan serta


pemeliharaan hasil rehabilitasi hutan

Tabel 6.

Pengurusan dan pengelolaan hutan

PENGURUSAN/ADMINISTRASI
(Diselenggarakan oleh Kementerian, Dinas Prov, Dinas Kab/
Kota)

PENGELOLAAN DI TINGKAT TAPAK


(Diselenggarakan oleh KPH)

Perencanaan
Perencanaan di wilayah KPH
Inventarisasi di wilayah KPH
Inventarisasi Nasional, Provinsi, Kab/kota
Pengukuhan hutan (penunjukan, penataan batas, pemetaan, penetapan kawasan hutan
Pembentukan wilayah KPH
Penyusunan Rencana Kehutanan
Pengelolaan
Tata hutan dan penyusunan rencana Pengelolaan hutan
(penyusunan NSPK dan pengesahan terhadap rencana
pengelolaan)
Pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan
(pemberian ijin-ijin)
Rehabilitasi dan reklamasi termasuk pemberdayaan
masyarakat, perbenihan (jika ada KPH, dilaksanakan
oleh KPH)
Perlindungan dan konservasi alam (jika ada KPH,
dilaksanakan oleh KPH)

Pelaksanaan pengelolaan di wilayah KPH


Penyelenggaraan*) tata hutan dan penyusunan rencana
pengelolaan hutan
Penyelenggaraan*) Pemanfaatan hutan dan penggunaan
kawasan hutan
Penyelenggaraan*) Rehabilitasi dan reklamasi.
Penyelenggaraan*) perlindungan dan konservasi alam.

Litbang, Diklat dan Penyuluhan

Lokasi penelitian, pendidikan dan latihan serta


penyuluhan

Pengawasan

Melaksanakan pengawasan pada lingkup wilayah KPH

*) Penyelenggaraan meliputi membina kegiatan, mengendalikan kegiatan dan melakukan kegiatan.


Sebagai contoh: Apabila terdapat ijin pemanfaatan di wilayah kelola KPH, maka fungsi penyelenggaraan adalah melakukan pembinaan
dan pengendalian (dalam konteks memantau kegiatan). Namun apabila belum terdapat ijin di wilayah kelolanya maka KPH harus melakukan kegiatan.
**)
Pemanfaatan hutan meliputi: pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu, pemanfaatan hasil
hutan non kayu, pemungutan hasil hutan. Sedangkan penggunaan kawasan hutan merupakan penggunaan untuk kepentingan diluar
kehutanan (misal: tambang, saluran irigasi dll)

36

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KPH

6. Menyiapkan usulan penunjukkan kawasan


hutan produksi, lindung dan konservasi,
hutan dengan tujuan khusus, perubahan
status dan fungsi hutan, serta tukar-menukar
kawasan hutan
7. Menyiapkan bahan untuk pertimbangan
dalam pengesahan rencana pengelolaan DAS
dan rehabilitasi hutan
8. Menyiapkan bahan untuk pertimbangan
teknis perijinan yang menjadi kewenangan
pemerintah atau pemerintah provinsi
9. Mengelola wilayah KPH tertentu yang
ditetapkan oleh Menteri, setelah menerapkan
pola pengelolaan Badan Layanan Umum
(BLU).
Sedangkan pembedaannya menurut administrasi
pemerintahan dan administrasi pembangunan

Tabel 7.

disajikan pada Tabel 7. Gambaran untuk


membedakan fungsi manajemen dan fungsi
administrasi dijelaskan dalam Gambar 4. Untuk
membedakan kewenangan yang menangani
penyelenggaraan pengurusan/administrasi
kehutanan dan penyelenggaraan manajemen
pengelolaan hutan di tingkat tapak/lapangan
disajikan pada Lampiran 1.

4.3.1 KPH dan pemegang ijin


KPH sebagai instrumen pembentukan wilayah,
merupakan bagian dari kegiatan perencanaan hutan.
KPH sebagai wilayah pengelolaan hutan sesuai
fungsi pokok dan peruntukannya, dikelola secara
efisien dan lestari. Oleh karena itu pembangunan
KPH menjadi bagian dari penyediaan kepentingan
publik dalam penyelenggaraan kehutanan.

Administrasi pemerintahan dan pembangunan

No

Hirarki

Adm Pemerintahan

Adm Pembangunan

Provinsi
(infrastruktur)
Dishutbun (HP)
BPKK (HL, HK)

Layanan dalam proses:


Perijinan pemanfaatan
Peredaran hasil hutan
Penggunaan kawasan
Perubahan status kws

Pengurusan hutan:
Perencanaan Kehutanan
Admin Pengelolaan hutan
Litbang, Diklat dan Penyuluhan
Pengawasan

Kabupaten/kota
(infrastruktur)
Dinas kabupaten/kota

Layanan dalam proses:


Perijinan pemanfaatan
Peredaran hasil hutan

Pengurusan hutan:
Perencanaan Kehutanan
Admin Pengelolaan hutan
Penyuluhan dan Pendampingan
Pengawasan

Unit Pengelolaan
(struktur)
KPH

Prakondisi usaha:
Tata hutan
Pemanfaatan
Rehabilitasi
Perlindungan
Konservasi

Pengelolaan hutan:
Perencanaan pengelolaan
Pengorganisasian
Pelaksanaan pengelolaan
Pengendalian dan Pengawasan
Dalam pelaksanaan manajemen hutan:
Kegiatan produksi (bibit, tanaman, tebangan,
pemasaran)
Kegiatan penunjang (manajemen SDM, keuangan, pengadaan)

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

37

Untuk wilayah tertentu, Menteri dapat menugaskan


kepala KPH untuk menyelenggarakan pemanfaatan
hutan, termasuk melakukan penjualan tegakan.
Sementara itu, pemegang ijin adalah pihak tertentu
yang melaksanakan kegiatan untuk memanfaatkan
kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan,
memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu
serta memungut hasil hutan kayu dan bukan
kayu untuk kepentingan komersial maupun non
komersial dengan tetap menjaga kelestariannya.
Secara umum pemegang ijin dapat berupa koperasi,
swasta maupun Badan Usaha Milik Negara/Daerah.
KPH bersifat permanen dan sebagai pengelola
hutan di tingkat tapak yang menjalankan
kewenangan tertentu Pemerintah, Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota bagi
organisasi pemegang ijin. Rencana jangka panjang
pengelolaan KPH yang disahkan Menteri, dan
perencanaan jangka pendek yang disusun Kepala
KPH menentukan lingkup dan arah organisasi
pemegang ijin. Pemegang ijin menyusun rencana
kerja usaha jangka panjang untuk seluruh areal
memperhatikan (berdasarkan) rencana jangka

H. Desa

panjang KPH dan menyusun rencana kerja tahunan


(RKT) untuk disahkan oleh Kepala KPH atau
pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
Pokok-pokok materi rencana jangka panjang
KPH meliputi: tujuan yang akan dicapai KPH,
kondisi yang dihadapi, strategi dan kelayakan
pengembangan pengelolaan hutan, yang meliputi:
tata hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan
kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan,
dan perlindungan hutan dan konservasi alam.
Dengan adanya rencana jangka panjang ini maka
akan terdapat kejelasan mengenai:
1. Potensi dan kondisi sumberdaya hutan, letak
KPH dalam DAS, kondisi sosial ekonomi serta
pengembangan wilayah menjadi informasi
dasar untuk menetapkan tujuan KPH dalam
jangka panjang
2. Bobot fungsi hutan yang akan diwujudkan
(konservasi, lindung, produksi) maupun
sasaran pelaku-pelaku sebagai pemegang ijin
untuk mewujudkan pemanfaatan hutan secara
efisien dan adil

Kemitraan

IUPHHK HA
CA

H. Desa

Tambang

Wil Ttt

Fungsi
Manajemen
Pengelolaan

HL

IUPK

IUPHHK HTI
HTR
HL

HTR

HKm

HTR

HKm

Gerhan

Kemitraan

KEPALA KPH

PROVINSI

KAB/KOTA

Fungsi
Administrasi/
Kewenangan

PEMERINTAH

Gambar 4.

38

Fungsi manajemen pengelolaan KPH dan administrasi/kewenangan pemerintah/


pemerintah daerah

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KPH

3. Ketersediaan prakondisi maupun potensi


hambatan untuk mencapai tujuan di atas
ditelaah dalam rencana jangka panjang ini.
Potensi hambatan ini dapat ditelaah dari
sudut pandang: kepastian wilayah, permintaan
hasil hutan, investasi dan sumber-sumber
pendanaan, sumberdaya manusia dan
pendapatan negara. Potensi hambatan ini
menentukan strategi dan kelayakan dalam
pelaksanaannya
4. K e l a y a k a n p e n g e m b a n g a n d i t e l a a h
bukan hanya dari sisi manfaat dan biaya,
melainkan juga ketersediaan prakondisi
dan lemahnya institusi dan organisasi yang
masih akan dihadapi pada tahap-tahap
awal pengembangan KPH. Potret kelayakan
ini menentukan strategi. Jenis strategi yang
ditetapkan menentukan bagaimana KPH
ini dijalankan yang kemudian menentukan
fungsi-fungsi organisasi yang perlu ada
dan kualifikasi sumberdaya manusia yang
dibutuhkan.
Rencana jangka panjang KPH di atas kemudian
didetailkan menjadi rencana jangka pendek
KPH. Rencana jangka pendek KPH berisi: tujuan
pengelolaan hutan lestari dalam skala KPH yang
bersangkutan, evaluasi hasil rencana jangka
pendek sebelumnya, target yang akan dicapai,
basis data dan informasi, kegiatan yang akan
dilaksanakan, status neraca sumber daya hutan,
pemantauan evaluasi, pengendalian kegiatan, dan
partisipasi para pihak. Rencana jangka pendek
ini pada dasarnya di samping sebagai pegangan
perencanaan secara lebih detail, juga sebagai alat
evaluasi sasaran-sasaran antara menuju target
jangka panjang.
Posisi pemegang ijin adalah bagian unit usaha yang
fungsinyabersama-sama unit usaha yang lain
mewujudkan tujuan KPH dalam jangka pendek
maupun jangka panjang, berdasarkan motivasi
private/komersial sebagai karakter utamanya.
Lingkup perencanaan oleh pemegang ijin dengan
pokok-pokok materi sebagai berikut: penataan
batas areal kerja, pelaksanaan sistem silvikultur,
menggunakan peralatan pemanfaatan hasil
hutan, penata-usahaan hasil hutan, pengukuran
atau pengujian hasil hutan, serta perlindungan
hutan, penggunaan tenaga profesional, kerjasama
dengan koperasi masyarakat setempat, kondisi

finansial termasuk iuran atau dana, penyediaan


bahan baku kayu kepada industri primer hasil
hutan, kondisi finansial termasuk iuran atau dana.
Materi perencanaan ini juga digunakan baik untuk
perencanaan jangka panjang (RKU) maupun jangka
pendek (RKT).

4.3.2 Pemegang ijin, KPH dan Dinas


Kehutanan
Perbedaan ranah perencanaan antara Pemegang
Ijin dan KPH di atas menegaskan bagaimana fungsi
komersial oleh pemegang ijin yang mempunyai
misi khusus (private/komersial), di satu sisi, dapat
berkembang dengan lebih efisien, dan di sisi lain,
dapat dikendalikan oleh KPH dengan misi lebih luas
yaitu sebagai pengelola hutan. Efisiensi tersebut
antara lain disebabkan berkurangnya campur
tangan secara langsung Pemerintah/Pemerintah
Daerah yang lebih berfungsi menyelenggarakan
administrasi pemerintahan. Fungsi administrasi
pemerintahan ini akan lebih baik ketika informasi
dan kontrol atas pengelolaan hutan di wilayahnya
ditetapkan berdasarkan perencanaan jangka
panjang dan jangka pendek yang dibuat oleh
Kepala KPH. Misalnya, Pemerintah/Pemerintah
Daerah bisa mendapat informasi lebih akurat atas
luas dan/atau jumlah pemanfaatan/penggunaan
kawasan hutan yang menjadi dasar penerimaan
pajak dan pendapatan lainnya.
Fokus Pemerintah/Pemerintah Daerah pada ranah
administrasi pemerintahan dan KPH sebagai
pengelola kawasan di tingkat tapak akan dapat
meningkatkan intensitas manajemen pengelolaan
hutan secara keseluruhan. Selain pengendalian ijin,
adanya ketidak-pastian status kawasan (konflik),
perubahan fungsi kawasan, penggunaan kawasan
hutan akan lebih tertangani permasalahannya,
dengan adanya KPH. Gambaran umum peran-peran
Kemenhut, Dinas Provinsi, Dinas Kabupaten/Kota,
KPH dan pemegang izin pada setiap kegiatan
pengelolaan hutan disajikan pada Lampiran 2.

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

39

4.3.3 Sebelum dan setelah ada KPH dan


hubungan antar lembaga
4.3.3.1 Perencanaan hutan dan tata hutan
Sesuai dengan UU No 41/1999, perencanaan
hutan dalam hal ini terkait dengan kegiatan
inventarisasi dan pengukuhan kawasan hutan,
sedangkan tata hutan adalah penetapan blok
dan petak dimana pemegang ijin melakukan
kegiatannya. Inventarisasi dan pengukuhan
kawasan hutan selama ini mengalami hambatan,
terutama lemahnya integrasi rencana tata ruang
dan penetapan kawasan hutan. Sementara itu tata
hutan tidak dilakukan oleh pemerintah melainkan
oleh pemegang ijin.
Dalam kondisi belum ada KPH, maka:
1. Prosedur pengukuhan kawasan hutan
mendapat tantangan lemahnya legitimasi dari
pihak lain, sehingga tumpang tindih, konflik
maupun sengketa penggunaan kawasan tidak
dapat dihindarkan
2. Pada hutan produksi dan sebagian besar hutan
lindung, pemegang ijin, khususnya IUPHHK
yang pada umumnya mempunyai ukuran
skala besar, mempunyai kewajiban untuk
melakukan tata hutan, inventarisasi potensi
hutan, perlindungan hutan dlsb, sebagaimana
layaknya pengelola hutan. Dengan demikian,
pemegang ijin menjalankan fungsi KPH.
Masalah terjadi terutama lemahnya kontrol
pelaksanaan perencanaan dan tata hutan
ini, sehingga berakibat lemahnya penetapan
produksi tahunan yang semestinya sesuai
dengan kondisi hutan (hutan alam).
Dengan adanya KPH:
1. Perencanaan jangka panjang dan jangka
pendek KPH menjadi dasar alokasi hutan
untuk perijinan dan alat kontrol tata hutan
yang dilakukan oleh pemegang ijin
2. Meningkatkan kapasitas untuk melakukan
pengukuhan kawasan hutan bersama-sama
dengan lembaga lain yang mempunyai
kewenangan untuk itu.
Hubungan Antar Lembaga:
1. Berdasarkan peraturan-perundangan saat ini
dan pada kondisi KPH belum terbentuk, upaya

40

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KPH

peningkatan kualitas perencanaan hutan


dan penerapannya hanya dapat dilakukan
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
yang bersifat administratif (evaluasi dokumen).
Demikian pula terhadap kebijakan penetapan
peta indikatif untuk berbagai bentuk perijinan
yang bersifat administratif (evaluasi di atas
peta) juga mempunyai kelemahan lebarnya
gap antara kawasan hutan yang tergambar di
atas peta dengan realitas penggunaannya di
lapangan. Pertimbangan teknis dari Gubernur/
Bupati, peran UPT dan Pusdal perlu dievaluasi
untuk mengatasi kelemahan ini
2. Baik sebelum maupun setelah ada KPH,
pelaksanaan pengukuhan kawasan dan
tata hutan perlu ditunjang oleh informasi
mengenai potensi dan kondisi penggunaan
kawasan hutan. Peran BPKH sangat penting
dalam hal ini.

4.3.3.2 Rencana pengelolaan hutan


Rencana kerja di tingkat pemegang ijin harus sejalan
dengan rencana pengelolaan KPH (apabila sudah
ada KPH), serta rencana pengelolaan Kabupaten/
Kota, Provinsi dan Nasional. Pengelolaan hutan
yang dimaksud tentunya bukan hanya aspek
produksi, melainkan termasuk rehabilitasi hutan,
konservasi dan perlindungan, penggunaan kawasan
hutan serta program-program pemberdayaan
masyarakat.
Dalam kondisi belum ada KPH:
1. Meskipun rencana pengelolaan hutan
selama ini telah ada di berbagai tingkatan
pemerintahan (Pusat, Provinsi, Kabupaten/
Kota), namun rencana spasial keseluruhannya
belum dapat diletakkan ke dalam wilayah
secara terintegrasi. Kondisi ini seringkali
menjadi penyebab terjadinya konflik lokasi
dan/atau sulitnya mendapat lokasi bagi
perijinan atau pelaksanaan rehabilitasi hutan
2. Pelaksanaan evaluasi dan penilaian RKU dan
RKT yang telah disusun oleh pemegang ijin
usaha kehutanan (IUPHHK) tidak dapat
optimal dilaksanakan karena tidak didasarkan
pada infomasi kondisi di lapangan secara
akurat.

rendahnya kapasitas untuk menjalankan


seluruh kegiatan tersebut yang menjadi
tanggungjawab pemerintah. Hal ini
disebabkan oleh orientasi Pemerintah dan
Pemerintah Daerah pada perijinan dan
administrasi komoditi hasil hutan dan bukan
pada pengelolaan wilayah/kawasan hutan.
Oleh karena itu, karena kegiatan pemanfaatan
hutan yang berjalan atas sejumlah perijinan
hanya aspek pelaksanaan dari sejumlah
rencana di atas, maka ketika perencanaannya
lemah, kontrol atas pemanfaatan hutan dan
hasil hutan juga lemah

Dengan adanya KPH:


1. KPH dapat menjalankan fungsi integrasi
berbagai kegiatan pengelolaan hutan serta
menjadi pusat informasi bagi evaluasi
dan penilaian perencanaan kegiatan yang
dilakukan oleh para pemegang ijin di
wilayahnya
2. Perencanaan jangka panjang KPH yang
disahkan oleh Menteri Kehutanan dan
mendapat rekomendasi dari Gubernur/Bupati/
Walikota menjadi dasar untuk mengaitkan
pengelolaan hutan yang akan dilaksanakan
di tingkat KPH dengan rencana pengelolaan
hutan tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi, dan
Nasional.
Hubungan Antar Lembaga:
1. Selama KPH belum ada, nampaknya keberadaan
rencana pengelolaan hutan di tingkat tapak/
lapangan akan sangat sulit diwujudkan.
Meskipun demikian, Pemerintah Provinsi,
Kabupaten/Kota, BP2HP dan BPKH perlu
diarahkan untuk dapat menyusun rencana
pengelolaan di tingkat tapak/lapangan. Sesuai
dengan peraturan-perundangan, Menteri
dapat menunjuk Pejabat untuk melaksanakan
fungsi KPH melalui koordinasi ketiga lembaga
tersebut
2. Perencanaan pengelolaan hutan yang telah
disusun bersama tersebut menjadi dasar
pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan
lingkup provinsi atau kabupaten sesuai
dengan kewenangan masing-masing.

4.3.3.3 Pemanfaatan
Dalam UU Kehutanan, pemanfaatan hutan dan
hasil hutan diwujudkan dalam bentuk ijin. Menteri
Kehutanan mempunyai kewenangan memberikan
12 jenis ijin, Gubernur dapat memberikan 8 jenis
ijin dan Bupati dapat memberikan 6 jenis ijin. KPH
mempunyai peran penting untuk secara ekonomis
dapat mewujudkan kelancaran perijinan tersebut
dengan tetap memperhatikan kepentingan sosial
dan lingkungan.

2. Dalam kasus perijinan ini, prosedur untuk


mendapatkan kawasan hutan yang terbebas
dari konf lik, juga dibebankan kepada
pemohon ijin. Dengan demikian, prakondisi
adanya kawasan hutan yang bebas konflik
yang menjadi urusan pemerintah, ongkosnya
dibebankan kepada pemohon ijin. Hal ini juga
berlaku untuk ijin usaha bagi masyarakat lokal,
seperti Hutan Tanaman Rakyat (HTR) 11.
Akibatnya, program pemerintah untuk
meningkatkan investasi di bidang usaha
kehutanan mengalami hambatan
3. Evaluasi terhadap pelaksanaan perijinan
pemanfaatan hutan dan hasil hutan saat
ini tidak cukup efisien, karena banyaknya
peraturan dan lembaga yang secara sendirisendiri melakukan penilaian kinerja pemegang
ijin. Biaya transaksi tinggi tidak terhindarkan
dalam pelaksanaan evaluasi ini.
Dengan adanya KPH:
1. Orientasi kerja pengelolaan hutan dalam
wilayah KPH adalah menyiapkan prakondisi
bagi berbagai ijin maupun kegiatan
pengelolaan hutan lainnya. Untuk kondisi saat
ini, penyiapan kawasan hutan yang mendapat
legitimasi untuk kepastian penetapan dari
berbagai pihak dan peningkatan kemampuan
masyarakat setempat menjadi prioritas utama
sebelum ijin diberlakukan. Tugas pemerintah
ini semestinya dilakukan terlebih dahulu
sebelum proses administrasi perijinan berjalan.
KPH diharapkan dapat menjalankan tugas ini

Dalam kondisi belum ada KPH:


10

1. Lemahnya perencanaan hutan, tata hutan


dan perencanaan pengelolaan hutan yang
telah berjalan selama ini dapat dilihat dari

11

Dalam P. No. 23/Kpts-II/2007 jo P. 05/Kpts-II/2008 tentang Tata Cara


Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman
Rakyat dalam Hutan Tanaman.

2. Keberadaan KPH tidak menjamin efisiensi


evaluasi dan penilaian perijinan apabila
kontrol secara langsung terhadap pemegang
ijin oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten/Kota masih
dilaksanakan.
Hubungan Antar Lembaga:
1. Penetapan kepastian kawasan hutan yang
mendapat legitimasi dari berbagai pihak
dan peningkatan kemampuan masyarakat
setempat sehingga dapat memanfaatkan
peluang perijinan perlu dijalankan dengan
program tersendiri. Dalam kaitan ini,
diperlukan koordinasi Badan Planologi
Kehutanan, Ditjen Bina Produksi Kehutanan,
Ditjen Rehabilitasi Hutan dan Lahan, BP2HP,
BPKH dan BPDAS untuk menyusun program
tersebut. Program ini dapat diprioritaskan
pada wilayah KPH Model, sekaligus sebagai
insentif bagi inisiatif KPH model ini berupa
kemudahan, perkembangan dan keberlanjutan
investasi di daerah dimana KPH tersebut
berada
2. Dalam pengembangan perijinan bagi usaha
besar dan HTR, BP2HP dapat menjadi
koordinator program tersebut. Untuk program
pengembangan HKm dan Hutan Desa, BPDAS
dapat menjadi koordinator, sedangkan BPHK
berperan untuk menunjang keduanya.

4.3.3.4 Pemanfaatan kasus hutan tanaman


rakyat12
Saat ini, sebelum KPH berfungsi sebagaimana yang
diharapkan, tantangan pelaksanaan perijinan pada
umumnya terdapat pada penetapan lokasi. Dalam
hal perijinan diperuntukkan bagi masyarakat
yang tinggal di dalam dan disekitar hutan, juga
terdapat tantangan untuk meningkatkan kapasitas
masyarakat. Dalam pelaksanaan perijinan HTR,
sesuai dengan Permen No 23/Kpts-II/2007 jo No.
5/Kpts-II/2008 tentang Tata Cara Permohonan Ijin
12

Hutan Tanaman Rakyat diambil sebagai kasus, disamping kebijakan ini baru
mulai berjalan sehingga dapat sebagai antisipasi dalam pelaksanaannya,
juga mempunyai prosedur perijinan yang relatif sangat kompleks. Namun
meskipun demikian, apabila dibandingkan dengan sistem perijinan lainnya,
seperti ijin pemanfaatan hasil hutan untuk usaha besar, juga mempunyai
pola yang sama, sehingga kasus ini dapat mewakili sistem perijinan yang
lain.

42

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KPH

Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada HTR


dalam Hutan Tanaman. Kebijakan ini berisi pokokpokok pengelolaan HTR diambil hanya yang
sesuai dengan pembahasan ini, sebagai berikut:
Lokasi. Pencadangan areal, dilakukan dengan
cara:
1. K e p a l a B a d a n P l a n o l o g i / B a p l a n
menyampaikan peta arahan lokasi HTR
kepada Bupati dan tembusan kepada Ditjen
Bina Produksi Kehutanan/BPK, Sekretaris
Jenderal DepHut, Gubernur, Kepala Dinas
Kehutanan Provinsi/Kab/Kota dan Kepala
Balai Pemantapan Kawasan Hutan/BPKH
2. Ditjen BPK kemudian melakukan sosialisasi
pembangunan HTR dan peta indikatif tersebut
kepada Gubernur dan Bupati/Walikota. BPKH
melakukan asistensi teknis kepada Kepala
Dinas Kehutanan Provinsi/Kab/Kota
3. Kepala Dinas Kehut anan K ab/Kot a
menyampaikan pertimbangan teknis kawasan
tumpang tindih perijinan, tanaman reboisasi
dan rehabilitasi, dan program kehutanan
daerah kab/kota kepada Bupati/Walikota
dengan skala peta 1:50.000
4. Berdasarkan pertimbangan teknis tersebut,
Bupati/Walikota menyampaikan rencana
pembangunan HTR kepada Menteri
Kehutanan
5. Kepala Baplan melakukan verifikasi lokasi
tersebut dan Ditjen BPK melakukan verifikasi
dari sisi teknis dan administrasi
6. Menteri Kehutanan menetapkan pencadangan
areal HTR dan disampaikan kepada Bupati/
Walikota dengan tembusan kepada Gubernur
7. Bupati/Walikota melakukan sosialisasi ke desa
dan dapat dibantu oleh Lembaga Swadaya
Masyarakat.
Prosedur. Persyaratan dan Tata Cara Permohonan,
sketsa atau areal yang dimohon yang luasnya di atas
15 Ha dengan skala 1:5.000 atau 1:10.000, dengan
prosedur sbb:
1. Untuk pemohon individu atau kelompok,
permohonan disampaikan ke Kepala Desa
dan Kepala Desa melakukan verifikasi untuk
diteruskan ke Bupati/Walikota dengan
tembusan ke Camat dan Balai Pemantauan
Pemanfaatan Hutan Produksi/BP2HP. BP2HP

memberikan pertimbangan teknis setelah


diperoleh berdasarkan Pola Pengelolaan Keuangan
melakukan verifikasi administrasi dan sketsa
Badan Layanan Umum Pembiayaan Pembangunan
permohonan peta lokasi dengan berkoordinasi
Hutan.
dengan Balai Pemantapan Kawasan Hutan.
Hak dan Kewajiban. Hak pemegang ijin dapat
Apabila seluruhnya sudah sesuai, Bupati/
melakukan kegiatan sesuai izin, kemudahan
Walikota menerbitkan IUPHHK-HTR lama
mendapatk
anpermohonan
dana untukijin
pembiayaan
EDIASI
. Untuk
menjalankan
prosedur
HTR
M
waktu
60 TRANSAKSI
tahun dan dapat
diperpanjang
pembangunan
HTR,
bimbingan
dan
penyuluhan
satu
kali
selama
35
tahun,
dengan
tembusan
yang melibatkan individu, kelompok, koperasi, Kepala Desa,
teknis, dan peluang ke pemasaran hasil hutan.
kepada Menteri Kehutanan, Direktur Jenderal
Bupati/Walikota dan UPT, memerlukan
pembiayaan cukup besar. Dana
Pemegang ijin wajib menyusun RKU dan RKT
BPK, Kepala Badan Planologi Kehutanan dan
yang
tersedia untuk penyusunan RKU dan
RKT IUPHHKHTR
serta
dana
IUPHHK-HTR.
Penyusunan tersebut
dilaksanakan
Gubernur
oleh
UPT
atau
oleh
konsultan
yang
bergerak
di
pembangunan
HTR
itu
sendiri
dapat
tidak
cukup
menjadi
insentif,
ketika
2. Untuk pemohon koperasi dapat langsung
bidang
kehutanan
atau
oleh
lembaga
swadaya
mengajukandan
permohonannya
kepada hubungan
Bupati/
kesiapan
pelaksanaan
beberapa pihak tersebut tidak
masyarakat yang bergerak di bidang kehutanan,
Walikota
pada
areal
yang
telah
ditetapkan.
difasilitasi. Dalam kaitan ini, BP2HP perlu mempunyai program untuk
dengan pendanaan dari Pemerintah.
Tugas Kepala Desa dan BP2H sama dengan
melakukanbekerjanyakoordinasipihakpihaktersebut.
untuk pemohon individu atau kelompok di
Persoalan pembangunan kehutanan, terutama

atas
yang dikaitkan dengan peningkatan akses
sudah
terdapat
peran KPH dapat diarahkan untuk
3. Apabila
Apabila areal
yang dimohon
di luarKPH,
yang telah
masyarakat terhadap manfaat sumberdaya hutan
ditetapkan, Bupati/Walikota
menyelesaikan
persoalan mengajukan
lokasi perijinan,
baik dalam
hal status
kawasan
sebagaimana
diuraikan
di muka
mencakup
pengusulan
lokasi
HTR
kepada
Menteri
hutan maupun lokasinya dalam petak/blok
di dalam
kawasan
KPH.biaya
baik kepastian
hak maupun
tingginya
Kehutanan.
pelaksanaan
perijinan.
Kebijakan
Keberadaan KPH ini, dengan demikian,transaksi
akan sangat
penting
untuk
dapatHTR
yang tertuang dalam dua Peraturan Menteri di
Kelembagaan
Kelompok
dan Pembiayaan.
mengurangi
panjangnya
prosedur perijinan
saat ini terutama yang terkait
atas belum dapat menyelesaikan kedua masalah
Pembentukan kelompok difasilitasi oleh penyuluh
dapat
denganpenetapanlokasinya.
kehutanan
atau penyuluh pertanian. Dana
pokok tersebut.

Gambar5.PerbandinganProsedurPerijinanSebelumdanSetelahadanya
Gambar
5. Perbandingan prosedur pijinan sebelum dan setelah adanya KPH
KPH

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

60

43

Pembahasannya sebagai berikut:

4.3.3.5 Rehabilitasi hutan dan lahan

Lokasi. Bentuk pelayanan perijinan menjadi


bagian penting dari ketiadaan maupun keberadaan
KPH (Gambar 5.). Sebelum adanya KPH hampir
seluruh transaksi antar lembaga yang berkaitan
perijinan terserap untuk menentukan lokasi ijin.
Terhadap peta indikatif yang pertama diedarkan
oleh Badan Planologi Kehutanan sampai dengan
penetapan ijin, dilakukan verifikasi oleh Bupati,
BPKH, dan Kepala Desa (Gambar 5A). Lokasi
dengan skala peta 1:250.000 sampai 1:100.000
akan menjadi 1:10.000 sampai 1:5000. Perubahan
skala peta tersebut bukan sekedar berakibat
pada kebutuhan teknologi dan cara kerja untuk
menghasilkan peta yang diperlukan, namun
juga akan menyangkut pengakuan yang bersifat
legalistik menjadi pengakuan yang bersifat
legitimatif. Dalam pasal 1A dan pasal 2 Permen
No 5/Kpts-II/2008 ditetapkan bagaimana prosedur
penetapan lokasi. Dalam hal ini biaya transaksi
penetapan lokasi diinternalisasikan kedalam
proses perijinan HTR. Hal ini semakin terlihat
ketika Kepala Desa dan BPKH perlu melakukan
verifikasi atas sketsa atau peta usulan lokasi
HTR tersebut. Kondisi demikian ini diperkirakan
menjadi masalah utama dalam pembangunan HTR.
Pelaksanaan penetapan lokasi HTR ini sebaiknya
dilaksanakan dengan program tersendiri, sehingga
dapat menyederhanakan perijinan HTR;

Rehabilitasi hutan dan lahan. Kecuali dalam


wilayah pemegang ijin atau hak kelola, dalam
Perpres No. 89/2007 tentang Gerakan Nasional
Rehabilitasi Hutan dan Lahan, pelaksanaan
rehabilitasi hutan dan lahan di dalam kawasan
hutan oleh operasi bakti TNI dan di luar kawasan
hutan dilakukan oleh kelompok tani.

Mediasi transaksi. Untuk menjalankan prosedur


permohonan ijin HTR yang melibatkan individu,
kelompok, koperasi, Kepala Desa, Bupati/Walikota
dan UPT, memerlukan pembiayaan cukup besar.
Dana yang tersedia untuk penyusunan RKU dan
RKT IUPHHK-HTR serta dana pembangunan HTR
itu sendiri dapat tidak cukup menjadi insentif,
ketika kesiapan dan pelaksanaan hubungan
beberapa pihak tersebut tidak difasilitasi. Dalam
kaitan ini, BP2HP perlu mempunyai program
untuk melakukan bekerjanya koordinasi pihakpihak tersebut.
Apabila sudah terdapat KPH, peran KPH dapat
diarahkan untuk menyelesaikan persoalan lokasi
perijinan, baik dalam hal status kawasan hutan
maupun lokasinya dalam petak/blok di dalam
kawasan KPH. Keberadaan KPH ini, dengan
demikian, akan sangat penting untuk dapat
mengurangi panjangnya prosedur perijinan saat ini
terutama yang terkait dengan penetapan lokasinya.

44

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KPH

Sebelum ada KPH:


1. Sejauh ini yang menjadi masalah dalam
pelaksanaan rehabilitas hutan dan lahan
adalah ketiadaan pengelola setelah tanaman
berumur lebih dari 3 tahun. Disamping itu,
dalam kondisi tertentu menentukan lokasinya
bahkan terdapat permasalahan karena arealnya
telah terdapat hak-hak lain baik legal maupun
tidak legal
2. Sejauh ini belum terdapat koordinasi untuk
menentukan lokasi rehabilitasi hutan dan
lahan, terutama bagi Pemerintah, Pemerintah
Provinsi dan Pemeirntah Kabupaten/Kota,
yang mana masing-masing mempunyai
kegiatan tersebut.
Ada KPH:
1. Sebagaimana kegiatan pemanfaatan hutan
dan hasil hutan, dalam pelaksanaan kegiatan
rehabilitasi hutan dan lahan diperlukan
wadah pengelola hutan. Pengelola hutan
ini disamping memastikan lokasi juga
memastikan kelestarian dan pemanfaatan
hasil rehabilitasi tersebut
2. Keberadaan KPH belum menjawab pelaksanaan
rehabilitasi hutan dan lahan di luar kawasan
hutan.
Hubungan Antar Lembaga:
Di luar kawasan hutan yang telah dialokasikan
untuk perijinan, BPDAS dapat melakukan
koordinasi dengan Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten Kota. Penetapan lokasi di dalam
kawasan hutan perlu diintegrasikan dengan
rancangan pembangunan KPH baik yang telah
maupun yang sedang dilaksanakan.

4.3.3.6 Perlindungan hutan

Sebelum ada KPH:

Sejauh ini kegiatan perlindungan hutan


difokuskan pada pengendalian kebakaran hutan
dan pembalakan illegal. Permasalahan kegiatan ini
berkaitan dengan lemahnya pengelolaan hutan di
tingkat tapak/lapangan. Keberadaan KPH sangat
penting dalam pengendalian kebakaran hutan dan
pembalakan illegal ini.

Selama ini kegiatan perlindungan dan konservasi


dilaksanakan secara spesifik dan belum terdapat
pengembangan pemanfaatan secara signifikan.
Hal ini antara lain tidak adanya keterkaitan antara
hutan produksi dengan kedua wilayah yang dikelola
untuk perlindungan dan konservasi tersebut.

Sebelum ada KPH:


Koordinasi untuk menjalankan kegiatan
perlindungan hutan telah dilakukan antara lain
dengan Inpres No 4/2005 tentang Pemberantasan
Penebangan Kayu secara Illegal di Kawasan hutan
dan Peredarannya di Seluruh Wilayah R.I. Kegiatan
ini terfokus pada penyelesaian aspek hukum
dan belum sampai pada pencegahan masalah
perlindungan hutan.
Ada KPH:
Sebagaimana kegiatan pengelolaan hutan lainnya,
dalam pelaksanaan kegiatan perlindungan hutan
diperlukan wadah pengelola hutan/KPH. KPH
disamping memastikan akar masalah perlindungan
hutan juga mengkaitkannya dengan program kerja
di wilayah KPH tersebut.
Hubungan Antar Lembaga:
Masalah perlindungan hutan yang saat ini
diselesaikan lebih sebagai akibat dari lemahnya
kegiatan pengelolaan hutan di tingkat tapak/
lapangan. Apabila KPH dianggap sebagai salah satu
jalan keluar untuk mengatasi masalah perlindungan
hutan, maka hubungan antar lembaga perlu
diarahkan untuk mendorong terintegrasikannya
berbagai kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah,
Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/
Kota di dalam wilayah KPH.

4.3.3.7 Konservasi
Aspek konservasi dalam pengelolaan hutan telah
ditangani tersendiri oleh Pemerintah Daerah
untuk kawasan hutan lindung dan BKSDA dan
Kepala Taman Nasional untuk hutan konservasi.
Permasalahan kegiatan perlindungan dan
konservasi terutama akibat lemahnya lembaga
pengelola tersebut.

Ada KPH:
Apabila UPT yang selama ini mengelola hutan
lindung dan hutan konservasi menjadi KPH dan
dimungkinkan pula integrasi hutan produksi ke
dalamnya, maka KPH sebagai wadah pengelola
hutan menjadi semakin besar peranannya. Kesan
selama ini bahwa pengelolaan kawasan konservasi
hanya oleh Pemerintah dapat diminimalisir.
Hubungan Antar Lembaga:
Dalam hal ini, hubungan antar lembaga perlu
dijalankan untuk mengkaitkan antara kebutuhan
ekonomi, sosial dan lingkungan dalam pengelolaan
hutan lindung dan hutan konservasi bagi
kepentingan Pemerintah, Pemerintah Provinsi,
dan Pemerintah Kabupaten/Kota di dalam wilayah
KPH.
Pengelolaan hutan lestari merupakan tujuan yang
ingin dicapai oleh siapapun dalam mengelola
sumberdaya alamnya, karena sumberdaya hutan
merupakan sumberdaya alam yang bersifat dapat
diperbaharukan (renewable resources). Beberapa
analisis hipotetis tentang peranan KPH dapat
dilihat dalam Tabel 8.

4.4 Pembangunan KPH di


wilayah provinsi
Pemerintah dalam hal ini adalah Kementerian
Kehutanan sudah menjalankan program
pembangunan KPH secara nasional, sehingga
dapat dimanfaatkan oleh pemerintah provinsi dan
kabupaten/kota untuk mempercepat pembangunan
KPH di masing-masing wilayahnya. Adapun
kerangka logis rancang bangun pembangunan
wilayah KPH di wilayah provinsi adalah seperti
dalam Gambar 6.

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

45

Pembentukan rancangan bangun KPH di tingkat


provinsi dilakukan berdasarkan pembentukan
wilayah KPH, dengan mempertimbangkan:
karakteristik lahan, tipe hutan, fungsi hutan,
kondisi daerah aliran sungai, kondisi sosial,
budaya, ekonomi masyarakat, kelembagaan
masyarakat setempat termasuk masyarakat hukum
adat, batas administrasi pemerintahan, hamparan
yang secara geografis merupakan satu kesatuan,
batas alam atau buatan yang bersifat permanen
serta penguasaan lahan.
Seluruh faktor yang digunakan sebagai dasar
pertimbangan tersebut pada dasarnya untuk
menentukan kriteria pembentukan wilayah KPH
di wilayah provinsi, sehingga memenuhi kepastian
wilayah kelola, kelayakan ekologi, kelayakan
pengembangan kelembagaan pengelolaan hutan
serta kelayakan pengembangan pemanfaatan
hutan. Pembentukan wilayah KPH tersebut
dilaksanakan melalui tahapan: rancang bangun
KPH, arahan pencadangan KPH, usulan Penetapan
KPH, serta penetapan wilayah KPH.
Delineasi wilayah KPH dalam bentuk peta dengan
memberikan batas luar wilayah KPH dan penamaan
KPH sesuai fungsi pokok hutan yang luasannya
dominan. Peta delineasi wilayah KPH dan buku
yang berisi deskripsi KPH merupakan dokumen
rancang bangun KPH. Dalam hal hutan konservasi

(Development Objective)

Rancang Bangun KPHL


dan KPHP oleh Gubernur
dan KPHK oleh UPT

Tujuan Khusus I

(Specific Objective)

(Output)

Kegiatan

(Activity)

Gambar 6.
46

Untuk KPHK, rancang bangun KPH disusun


oleh Kepala Unit Pelaksana Teknis Konservasi
Sumberdaya Alam dengan dukungan data serta
informasi dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan
dan pemangku kepentingan dan disampaikan
kepada Direktur Jenderal Perlindungan Hutan
dan Konser vasi Alam. Direktur Jenderal
Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
menelaah dan menyampaikan rancang bangun
KPHK kepada Menteri untuk mendapat arahan
pencadangan. Sementara itu rancang bangun
KPHL dan KPHP disusun oleh Kepala Dinas
yang membidangi urusan kehutanan di provinsi
dengan memperhatikan pertimbangan Bupati/
Walikota, dukungan data dan informasi dari
Balai Pemantapan Kawasan Hutan dan pemangku
kepentingan dan disampaikan kepada Gubernur
untuk mendapatkan persetujuan. Selanjutnya
Gubernur menyampaikan rancang bangun KPHL
dan KPHP kepada Menteri untuk mendapatkan
arahan pencadangan.
Penetapan,
Pembangunan dan
beroperasinya KPH di
seluruh Propinsi

Tujuan Umum

Luaran

akan dimasukkan ke dalam wilayah KPHP atau


wilayah KPHL, perlu mendapat pertimbangan
teknis dari Direktur Jenderal Perlindungan
Hutan dan Konservasi Alam. Demikian pula
dalam hal hutan produksi dan hutan lindung
akan dimasukkan ke dalam wilayah KPHK, perlu
mendapat rekomendasi Gubernur.

Kondisi Wilayah Propinsi,


Kabupaten/Kota

Standar dan Tata Cara


Pembentukan

Penetapan Rancang
Bangun KPH

Peta Rancang Bangun


KPH

Menghimpun data dan


informasi, peta-peta

Identifikasi lokasi ijin,


konflik lahan,
aksesibilitas

Draft rancang bangun


dan konsultasi

Finalisasi peta
penetapan

Konversi data dan


informasi ke bentuk
spasial

Analisis kesesuaian
kondisi wilayah dan
standar

Kerangka logis pembangunan KPH nasional

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KPH

Penyusunan SK
Penetapan

Arahan pencadangan oleh Menteri ditelaah oleh


Gubernur sekaligus menyempurnakan rancang
bangun KPHL dan KPHP melalui pembahasan
dengan instansi terkait di Daerah serta mendapat
dukungan data dan informasi dari Balai
Pemantapan Kawasan Hutan. Berdasarkan hasil
penyempurnaan tersebut Gubernur menyampaikan
usulan penetapan wilayah KPHL dan KPHP kepada
Menteri. Untuk itu Menteri menugaskan Direktur
Jenderal Planologi Kehutanan untuk menyusun
konsep Keputusan Menteri dan peta penetapan
wilayah KPH melalui pembahasan dengan Eselon
I terkait.

4.5 Pembentukan organisasi


KPH
Untuk kepentingan pengelolaan hutan agar
terwujud keberlangsungan fungsi ekonomi,
lingkungan dan sosial, seluruh kawasan hutan akan
dibagi menjadi unit-unit kewilayahan dalam skala
manajemen dalam bentuk KPH (Pasal 17 Undangundang Nomor 41 Tahun 1999) dengan organisasi
pengelola yang:
1. Merupakan perpaduan antara Pusat,
provinsi dan kabupaten/kota, yang antara
lain tercermin dari Prosedur pembentukan
organisasi KPH, Sumberdaya Manusia (SDM)
organisasi KPH dan Pembiayaan organisasi
KPH

Tabel 8. Peranan KPH dalam pengelolaan hutan lestari

Tidak ada KPH

Ada KPH

Perencanaan Hutan dan Lemahnya pengakuan dari pihak lain, Kapasitas penjaminan kepastian kawasan
Tata Hutan
shg menimbulkan konflik
meningkat
Lemahnya kontrol, akibat pemegang Kapasitas pengontrolan pelaksanaan dapat
ijin berlaku sebagai pengelola
ditingkatkan
Perencanan Pengelo- Rencana Pusat rov Kab/kota tidak Rencana dan investasi kehutanan dapat
laan Hutan
terkonsolidasi pada level tapak
terintegrasi pada level tapak
Evaluasi RKU dan RKT pemegang ijin Akurasi informasi SDH dapat ditingkatkan
sulit dilakukan
Pemanfaatan

Kontrol atas pemanfaatan hutan dan Prakondisi penyiapan ijin dapat dilakukan oleh
hasil hutan lemah
KPH
Investasi yang memerlukan kepastian Bila KPH diperkuat dengan kewenangan untuk
mengevaluasi kinerja IUPHHK, maka integrasi
kawasan (bebas konflik) dibebankan
evaluasi berbagai kegiatan dapat dilakukan KPH
kpd pemohon ijin
Evaluasi pelaksanaan IUPHHK dilakukan Biaya transaksi dapat diminimalkan
secara parsial; biaya transaksi tinggi

Rehabilitasi Hutan dan Hasil2 RHL tidak terkelola setelah umur Kejelasan pengelolaan hasil2 RHL & investasi
kehutanan lainnya
Lahan
3 tahun
Ketiadaan koordinasi dalam penetapan Meningkatnya kapasitas koordinasi penetapan
lokasi
lokasi
Perlindungan Hutan

Kegiatan2 illegal dan gangguan SDH Deteksi awal dan upaya2 pencegahan/
(misal kebakaran, hama, dsb) tidak
pemberantasannya dapat diintensifkan
segera terdeteksi

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

47

2. Memiliki kompetensi untuk melayani


keragaman penyelenggaraan kegiatan
pengelolaan hutan sesuai dengan tipologi
wilayah setempat
3. Mempunyai struktur organisasi yang fleksibel
(elastis) yang dapat menampung keragaman
tipologi wilayah sehingga dapat memberikan
ruang bagi upaya menggali potensi wilayah
secara profesional untuk meningkatkan daya
saing (kompetitif) dan keunggulan komparatif
wilayah yang lebih tinggi
4. Mempunyai mekanisme pengendalian agar
perbedaan arah/tujuan yang spesifik dari
masing-masing wilayah sebagai akibat
keragaman tipologi tetap berada pada
kerangka strategi pembangunan kehutanan
nasional
5. Mampu menampung implementasi peran
Pemerintah, pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan
strategi pembangunan kehutanan yang
ditetapkan dalam mewujudkan pengelolaan
hutan yang efisien dan lestari

Penetapan,
Pembangunan dan
beroperasinya KPH di
seluruh Propinsi

Tujuan Umum

(Development Objective)

Tujuan Khusus II

Terbangun dan
beroperasinya KPH

(Specific Objective)

Luaran

(Output)

Kegiatan

(Activity)

6. Mempunyai hirarki yang memungkinkan


terselenggaranya pengendalian bagi
sinkronisasi pengelolaan hutan di tingkat
tapak oleh masing-masing KPH yang secara
bersama-sama (agregat) mencapai target-target
pembangunan kehutanan tingkat kabupaten/
kota, provinsi dan nasional serta pemenuhan
tuntutan peran global
7. Karena kekhasan jenis kegiatan pengelolaan
hutan yang harus dilakukan di tingkat tapak,
maka struktur organisasi KPH dituntut
dapat memberikan pelayanan sesuai dengan
jenis kegiatan pengelolaan dan pelayanan
berdasarkan kewilayahan (pembagian wilayah
ke dalam sub unit pelayanan)
8. Mempunyai tupoksi penyelenggaraan
pengelolaan hutan di tingkat tapak yang
merupakan implementasi dari strategi
pembangunan kehutanan nasional dan
provinsi yang sekaligus menampung
kebutuhan pembangunan lokal

Penyiapan Prakondisi

Pembentukan Organisasi
KPH

Dukungan Teknis

Rencana Pengelolaan
KPH

Formulasi Kebijakan
SDM dan Pelaksanaan
Pelatihan

Penyiapan Sarana dan


Prasarana

Data & Informasi Wilayah

Data Hutan

Pedoman Organisasi
KPH dan Tata Kerja

Struktur Organisasi KPH

Bantuan Teknis

Inventarisasi wilayah
Kelola KPH

Pedoman Pelaksanaan
Pengelolaan Hutan

Penguatan organisasi
KPH (Liaison Unit)

Sosialisasi
Pembangunan KPH

Rencana Pengelolaan
KPH

Pembentukan Tim
Pengendalian KPH

Pengembangan Usaha

Pedoman tata hub. Kerja


antara Pemda, UPT dan
KPH

Gambar 7.
48

Kerangka logika penetapan organisasi KPH

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KPH

9. Mempunyai SDM organisasi berasal dari PNS


Pusat, PNS Daerah (provinsi dan kabupaten/
kota)
10. Mempunyai mekanisme pembinaan personel
untuk peningkatan dan pemeliharaan
kompetensi, pola karir (al. sistem alih tugas
dan alih jabatan) dalam skala nasional
11. Mempunyai tata kerja internal dan eksternal
agar pelaksanaan tupoksi Organisasi
KPH dapat efektif dan meminimumkan
kemungkinan terjadinya tumpang tindih
dengan Tupoksi unit oragnisasi lainnya
12. Mempunyai sumer dana yang dapat berasal
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN); Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD); dan atau dana lain yang
tidak mengikat sesuai ketentuan peraturan
perundang-undangan
13. Dimungkinkan secara langsung memanfaatkan
sebagian PNBP yang diperoleh untuk kegiatan
pengelolaan hutan di wilayah kerjanya.
Organisasi KPH diharapkan mampu sebagai
penyelenggara kegiatan pengelolaan hutan untuk
mencapai pengelolaan hutan yang efisien dan
lestari. Beberapa kunci sukses KPH yang harus
dipersiapkan adalah:
1. Kehadiran personel kehutanan dekat dengan
hutan dan masyarakat
2. Ukuran/luas KPH sesuai dengan kemampuan
manajemen organisasi

3. Pendidikan dan latihan yang berkelanjutan


untuk menuju profesional
4. Internal dan eksternal komunikasi dan
kerjasama, koordinasi, penghubung (liasion),
supervisi
5. Kejelasan tanggung jawab dan pelimpahan
wewenang
6. Berorientasi pada pelayanan
7. Pemisahan antara administrasi (administration/
authority) dan pengelolaan (management)
8. Perencanaan jangka panjang disusun
berdasarkan hasil assessment/inventarisasi dan
berbasis spasial
9. Pendidikan lingkungan bagi masyarakat secara
berkelanjutan.
Kerangka logis pembentukan organisasi KPH dapat
disederhanakan dalam bentuk diagram Gambar 7.
Terbitnya Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 61
Tahun 2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata
Kerja Organisasi KPHL dan KPHP di Daerah telah
menyediakan kerangka hukum bagi pembentukan
organisasi KPHP dan KPHL. Seluruh organisasi
KPHP/KPHL yang telah ada harus direvisi sesuai
dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri tersebut.
Berdasarkan peraturan tersebut, terdapat dua
struktur organisasi KPHP/KPHL, yaitu: Tipe A
dengan KKPH (eselon IIIa) dan Tipe B (eselon IVa)
sebagaimana disajikan Gambar 8 dan Gambar 9.

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

49

-1BAGAN STRUKTUR ORGANISASI KPHL DAN KPHP PROVINSI DAN


KABUPATEN/KOTA TIPE A

LAMPIRAN I

: PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI


NOMOR : 61 Tahun 2010
TANGGAL : 23 Desember 2010

KEPALA

SUBBAGIAN
TATA USAHA
KELOMPOK
JABATAN
FUNGSIONAL

SEKSI
.

SEKSI
..

-2-RESORT KPH
BAGAN STRUKTUR ORGANISASI KPHL DAN KPHP PROVINSI DAN
KABUPATEN/KOTA TIPE B

Gambar 8.

Struktur organisasi KPHP/KPHL tipe A

LAMPIRAN II

Salinan sesuai dengan aslinya


Plt. KEPALA BIRO HUKUM

: PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI


NOMOR : 61 Tahun 2010
TANGGAL : 23 Desember 2010

MENTERI DALAM NEGERI,


ttd

KEPALA
ZUDAN ARIF FAKRULLOH
Pembina (IV/a)
NIP. 19690824 199903 1 001

GAMAWAN FAUZI

SUBBAGIAN
TATA USAHA
KELOMPOK
JABATAN
FUNGSIONAL

RESORT KPH

Gambar 9. Salinan
Struktur organisasi KPHP/KPHL tipe B
sesuai dengan aslinya
Plt. KEPALA BIRO HUKUM

dibuktikan
4.6 Sumberdaya manusia
ZUDAN ARIF FAKRULLOH

MENTERI DALAM NEGERI,


ttd

melalui sertifikat kompetensi yang


GAMAWAN FAUZI
Pembina (IV/a)dikeluarkan oleh Lembaga Sertifikasi Profesi
Organisasi KPHP dan KPHL NIP.
seyogayanya
di
bidang
kehutanan
atau
sertifikat
lain yang
19690824 199903 1 001
dikelola oleh sumberdaya manusia (SDM) yang
mendapatkan pengakuan oleh Menteri Kehutanan.
mampu menyelenggarakan pengelolaan hutan
Pada saat ini telah ada standar kompetensi jabatan
secara efisien dan lestari, baik kelompok jabatan
pengelola KPHK dan sedang dikembangkan
struktural maupun jabatan fungsional. SDM
standar kompetensi pengelola KPHP/KPHL.
KPH wajib memenuhi persyaratan administrasi
dan kompetensi jabatan sesuai NSPK SDM KPH.
Persyaratan administrasi meliputi pangkat dan
golongan/ruang, hasil penilaian kinerja dan
tingkat pendidikan formal. Selain itu, SDM KPH
harus memenuhi persyaratan kompetensi yang

50

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN KPH

BAB 5

PERENCANAAN DAN
PENGELOLAAN HUTAN
LINGKUP KPH
Sistem perencanaan hutan
Tata hutan
Pemanfaatan hutan
Rehabilitasi dan reklamasi hutan
Perlindungan hutan
Pemberdayaan masyarakat
Rencana jangka panjang KPH

5.1 Sistem perencanaan hutan


Sebagaimana dijelaskan dalam PP 44/2004, sistem
perencanaan mengatur hal-hal yang menyangkut
mekanisme, substansi dan proses penyusunan
rencana kehutanan. Berdasarkan skala geografisnya
rencana kehutanan terdiri dari rencana kehutanan
tingkat nasional, tingkat provinsi, dan tingkat
kabupaten. Khusus untuk pengelolaan hutan,
diperlukan rencana pengelolaan hutan yang
meliputi Rencana Kesatuan Pengelolaan Hutan
pada Unit Pengelolaan Hutan Konservasi (KPHK),
Unit Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL), dan Unit
Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP).
Rencana pengelolaan hutan meliputi rencana
pengelolaan jangka pendek (1 tahun) dan panjang
(10 tahun) (Permenhut P.06/2010). Rencana
pengelolaan hutan jangka pendek KPH disusun
oleh pejabat yang ditunjuk oleh Kepala KPH dan
disahkan oleh Kepala KPH. Sedangkan rencana
pengelolaan hutan jangka panjang yang disusun
oleh Kepala KPH, dinilai oleh Gubernur dan
disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Selanjutnya Rencana Pengelolaan Hutan Jangka
Panjang KPH menjadi pedoman dan acuan seluruh
kegiatan pengelolaan hutan jangka panjang di
wilayah KPH yang bersangkutan. Sedangkan
Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Pendek KPH
menjadi pedoman dan acuan seluruh kegiatan
pengelolaan hutan jangka pendek di wilayah KPH
yang bersangkutan.
Kepala KPH menyusun rencana pengelolaan hutan
berdasarkan hasil tata hutan, dengan mengacu
pada rencana kehutanan nasional, provinsi
maupun kabupaten/kota dan memperhatikan
aspirasi, nilai budaya masyarakat setempat, serta
kondisi lingkungan. Dengan demikian, rencana
pengelolaan hutan pada dasarnya merupakan
rencana yang didasarkan pada hasil-hasil
inventarisasi yang multi level dan saling terkait.
Adapun materi rencana pengelolaan hutan
meliputi:
1. Arahan-arahan pengelolaan hutan pada
wilayah KPH; dan
2. Rencana pembangunan KPH memuat
perencanaan organisasi yang di dalamnya
memuat pengembangan SDM, pengadaan
sarana dan prasarana, pembiayaan kegiatan,
dan kegiatan lainnya.

Sifat perencanaan yang multi level dan saling


terkait dalam penyusunan rencana pengelolaan
juga ditunjukkan oleh peran berbagai level
pemerintahan. Peran pemerintah (c.q Kementerian
Kehutanan) adalah penyiapan kriteria, pengesahan
dan monitoring dan evaluasi sesuai kewenangannya.
Sedangkan kewenangan Provinsi dan Kabupaten/
Kota dalam penyusunan rencana pengelolaan
terdiri dari pengesahan rencana pengelolaan jangka
panjang dan monitoring dan evaluasi rencana
pengelolaan hutan jangka panjang dan pendek
sesuai dengan kewenangannya. Adapun Balai
Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) memiliki
tugas untuk melakukan pendampingan dalam
proses penyusunan rencana tersebut.
Untuk penyusunan rencana pengelolaan
diperlukan pula pedoman dan petunjuk teknis
penyusunannya. Pedoman penyusunan dan tata
cara pengesahan rencana pengelolaan hutan di
tingkat KPH ditetapkan oleh Badan Planologi
Kehutanan (sekarang Direktorat Jenderal Planologi
Kehutanan) (PP 6/07 psl 15 ayat 4). Petunjuk
teknis penyusunan rencana pengelolaan hutan
pada KPHP disusun oleh Ditjen BPK. Petunjuk
teknis penyusunan rencana pengelolaan hutan
pada KPHK dan KPHL disusun oleh Ditjen PHKA.
Sedangkan Ditjen RLPS memberi dukungan
informasi teknis kegiatan-kegiatan rehabilitasi
hutan yang perlu dilaksanakan oleh KPH, Badan
Litbang Kehutanan memberi dukungan data dan
informasi hasil-hasil penelitian, dan Pusdiklat
memberi dukungan dalam penguatan tenaga teknis
perencanaan.

5.1.1 Prinsip-Prinsip Perencanaan


Perencanaan merupakan proses aktif yang
memerlukan pemikiran yang serius mengenai apa
yang dapat atau sebaiknya ada dan terjadi di masa
yang akan datang. Perencanaan hutan menyangkut
kegiatan koordinatif dari semua elemen yang ada
di dalam internal manajemen KPH maupun interrelasinya dengan situasi external dalam rangka
mencapai tujuan pengelolaan hutan. Proses
perencanaan hutan harus dirancang dan dilakukan
untuk menjamin keseimbangan antara kenyataan
di lapangan dengan kapasitas manajemen, dan
antara prioritas ekonomi, ekologi, dan sosial
serta prioritas-prioritas pembangunan kehutanan
regional dan nasional.

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

53

Informasi-informasi yang ada harus dapat


dimanfaatkan untuk (1) melandasi berbagai
analisis yang diperlukan, (2) menjelaskan
keuntungan dan kerugian yang potensial akan
dialami oleh para pihak, menjadi alas rasional
dalam menyeimbangkan negosiasi berbagai
kepentingan para pihak, dan tolok ukur bagi
kegiatan pemantauan dan evaluasi. Oleh
karenanya, kelengkapan, akurasi, reliabilitas dan
kemutakhiran informasi menentukan proses dan
hasil perencanaan pengelolaan hutan. Terlebih
pada implementasi program-program REDD+
yang sangat memungkinkan dilaksanakan pada
KPH, dimana syarat measurable, reportable and
veriviable (MRV) diperlukan, maka kelengkapan,
akurasi, reliabilitas dan kemutakhiran informasi
menjadi sangat peting.
Terdapat prinsip-prinsip yang perlu diikuti dalam
penyusunan rencana pengelolaan. Prinsip-prinsip
tersebut meliputi:
1. Prinsip kelestarian multi-tujuan. Rencana
pengelolaan hutan yang disusun harus
mempertimbangkan keseimbangan
pencapaian tujuan ekonomi, ekologi, dan sosial
baik pada level tapak, provinsi, kabupaten/
kota maupun nasional
2. Prinsip integrasi dan sinergi. Rencana
pengelolaan hutan yang disusun mampu
mengitegrasikan dan mensinergikan prinsipprinsip pengelolaan daerah aliran sungai
(DAS) serta pembangunan berkelanjutan di
tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota
3. Prinsip konsultatif. Untuk meningkatkan
validitas hasilnya, proses penyusunan
rencana pengelolaan hutan dilakukan dengan
memaksimumkan konsultasi kepada para
pihak yang relevan
4. Prinsip otonom. KPH menyusun dan
mengesahkan rencana pengelolaan hutan
dan bertanggung gugat sepenuhnnya terhadap
semua konsekuensi yang timbul dari hasil
perencanaan tersebut
5. Prinsip obyektivitas informasi. Setiap tahapan
dan komponen perencanaan didasarkan atas
informasi yang diperoleh dan dikelola dengan
cara yang paling obyektif

54

PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN HUTAN LINGKUP KPH

6. Prinsip keterlaksanaan. Hanya alternatif


rencana yang mampu dilaksanakan saja yang
dimuat di dalam rencana pengelolaan hutan
7. Prinsip precautionary (kewaspadaan dan
pencegahan resiko). Menghindari rencana
atau menambahkan rencana perlindungan
dan konservasi pada perlakuan manajemen
yang dipandang beresiko tinggi terhadap aspek
social dan lingkungan
8. Prinsip pembelajaran dan pengendalian.
Pengelolaan informasi dilanjutkan mengikuti
proses pelaksanaan pengelolaan sebagai bahan
peningkatan pembelajaran yang dipergunakan
dalam peningkatan kualitas pengelolaan dan
perbaikan/koreksi rencana pengelolaan.

5.1.2 Unit Kerja Perencanaan


Manajemen KPH wajib mempunyai unit kerja
yang dapat berupa Bagian atau Divisi atau Biro
atau Seksi perencanaan sesuai perkembangan
organisasinya. Unit kerja ini bertanggung jawab
langsung kepada Kepala KPH. Tugas unit kerja
ini adalah:
Pada bidang/aspek teknik perencanaan:
1. Melakukan inisiasi proses perencanaan
yang meliputi menyusun jadwal kegiatan
perencanaan dan merumuskan kerangka awal
rencana pengelolaan hutan
2. Menyelenggarakan pengumpulan informasi,
mulai dari perancangan, penetapan metoda,
pelaksanaan, validasi kecermatan dan
ketelitian data/informasi, dan penyajian
informasi sebagai bahan dasar penyusunan
rencana pengelolaan hutan.
Pada bidang/aspek jejaring kerja publik:
1. Mengidentifikasi para pihak utama yaitu
pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah
kabupaten/kota, mitra usaha, dan masyarakat
2. Mengidentifikasi para pihak pendukung
yang antara lain meliputi pemerhati, LSM,
akademisi, dan lain sebagainya
3. Melakukan pemetaan para pihak (stakeholder
mapping) yaitu pemetaan kepentingankepentingan, konflik-konflik yang muncul,
aspirasi-aspirasi yang berkembang dan
gagasan-gagasan penyelesaian atas konflik-

konflik dari para pihak yang berkepentingan.4. Dokumen rencana perlu memuat lembar
Termasuk pula mengidentifikasi kekuatan
informasi pelaksnaan yang dapat dimanfaatkan
pengaruh dari masing-masing stakeholders
untuk tujuan moniroting dan evaluasi
4. Memfasilitasi para pihak pada proses
5. Dokumen Rencana Pengelolaan Hutan
konsultasi selama jangka penyusunan rencana
hendaknya disusun dengan format yang
pengelolaan hutan.
mudah dibaca oleh siapapun.
Pada bidang/aspek pemantauan dan evaluasi:
1. Mengelola data dan informasi yang
meliputi kompilasi, analisis, penyimpanan,
pembangkitan dan pelayanan penggunaan
data/informasi
2. Menyusun register (catatan terformat)
pelaksanaan rencana
3. Menet apkan ambang penyimpangan
pelaksanaan terhadap rencana
4. Melakukan pemutakhiran data dan informasi
5. Memberikan laporan peringatan ketika
ambang penyimpangan telah terlewati
6. Menyelenggarakan evaluasi totalitas rencana
dan memberikan laporan koreksi urgen
terhadap rencana pengelolaan hutan.
Untuk menjamin terpenuhinya prinsip-prinsip
perencanaan pengelolaan hutan prosedur
perencanaan berikut dapat dijadikan acuan:
1. Konsultasi para pihak harus dilakukan
paling kurang pada tahap awal dan tahap
penyampaian naskah sementara Rencana
Pengelolaan Hutan. Naskah tersebut telah
memperhatikan peraturan nasional di bidang
kehutanan, rencana kehutanan Nasional,
Provinsi, maupun Kabupaten/Kota
2. Merisalah sumber-sumber informasi secara
signifikan. Hanya informasi yang berkaitan
langsung dengan pelaksanaan/implementasi
tujuan pengelolaan yang harus dimasukkan.
Ketika diketahui bahwa sumber-sumber dan
informasi-informasi yang ada tidak lengkap
atau kualitasnya tidak pasti, maka sikap yang
diambil harus konservatif. Dalam prakteknya
pernyataan-pernyataan dari sumber-sumber
konservatif, cenderung lebih dekat dengan
kenyataan dimasa datang daripada melakukan
estimasi yang optimistik
3. Sebaiknya prioritas yang dibahas tidak
terlalu banyak. Untuk itu dapat dipilih
satu pendekatan untuk satu kegiatan yang
direncanakan

Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan


kegiatan perencanaan diperlukan sarana dan
prasarana pendukung. Sesuai dengan tingkat
kemajuan organisasi KPH, sarana dan prasarana
yang perlu disediakan antara lain meliputi:
(1) peralatan pemetaan hutan; (2) peralatan
inventarisasi sumberdaya hutan; (3) peralatan
pengolahan data; (4) peralatan teknologi informasi;
dan (5) ruang operasional yang memadai.
Dengan adanya rencana pengelolaan yang disusun
oleh manajemen KPH yang dekat dengan tapak
SDH yang direncanakan dapat diperoleh beberapa
manfaat, antara lain:
1. Perencanaan hutan dapat disusun lebih detil
dan berdasarkan kondisi/situasi lapangan
yang aktual baik pada aspek produksi,
rehabilitasi hutan dan lahan, konservasi dan
perlindungan, penggunaan kawasan hutan
maupun program-program pemberdayaan
masyarakat. Dengan data dan informasi yang
lebih lengkap dan akurat, rencana kerja para
pemegang ijin yang arealnya berada pada
suatu KPH dapat dimonitorr dan dievaluasi
lebih baik, selain rencana-rencana pemegang
ijin tersebut dapat diintegrasikan ke dalam
rencana pengelolaan hutan KPH
2. Meskipun rencana pengelolaan hutan
selama ini telah ada di berbagai tingkatan
pemerintahan (Pusat, Provinsi, Kabupaten/
Kota), namun rencana spasial keseluruhannya
belum dapat diletakkan ke dalam wilayah
secara terintegrasi. Kondisi ini seringkali
menjadi penyebab terjadinya konflik lokasi
dan/atau sulitnya mendapat lokasi bagi
perijinan atau pelaksanaan rehabilitasi hutan
dan lahan
3. Pelaksanaan evaluasi dan penilaian RKU
dan RKT yang telah disusun oleh pemegang
ijin usaha kehutanan (IUPHHK) dapat lebih
optimal dilaksanakan karena didasarkan pada
infomasi kondisi di lapangan secara akurat

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

55

4. KPH dapat menjalankan fungsi integrasi


berbagai kegiatan pengelolaan hutan serta
menjadi pusat informasi bagi evaluasi
dan penilaian perencanaan kegiatan yang
dilakukan oleh para pemegang ijin di
wilayahnya
5. Perencanaan jangka panjang KPH yang
disahkan oleh Menteri Kehutanan dan
mendapat rekomendasi dari Gubernur/Bupati/
Walikota menjadi dasar untuk mengkaitkan
pengelolaan hutan yang akan dilaksanakan
di tingkat KPH dengan rencana pengelolaan
hutan tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi, dan
Nasional
6. Perencanaan pengelolaan hutan yang telah
disusun bersama tersebut menjadi dasar
pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan
lingkup provinsi atau kabupaten sesuai
dengan kewenangan masing-masing.

5.2 Tata hutan


Kegiatan tata hutan pada dasarnya dilaksanakan
untuk memastikan pemanfaatan dan penggunaan
sumberdaya hutan dilakukan secara terencana
berdasarkan informasi sumberdaya hutan,
ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan yang
akurat serta memperhatikan kebijakan-kebijakan
pemerintah, provinsi, kabupaten/kota termasuk
integrasi dengan tata ruang. Kegiatan tata hutan
di KPH terdiri dari tata batas13, inventarisasi hutan,
pembagian ke dalam blok atau zona, pembagian
petak dan anak petak, dan pemetaan. Hasil kegiatan
tata hutan berupa penataan hutan yang disusun
dalam bentuk buku dan peta penataan KPH.
Tata hutan merupakan hal utama dalam
pengelolaan hutan, di mana pada kegiatan ini
perlu ditetapkan kawasan hutan yang relatif
tetap dan tidak mudah diubah-ubah selama masa
pengelolaan hutan. Oleh karenanya kawasan hutan
negara yang telah ditetapkan sebagai areal KPH
perlu ditetapkan misalnya dalam RTRW. Namun
demikian, akan menjadi tidak bermakna apabila
areal KPH yang telah ditetapkan dalam RTRW tidak

diikuti secara konsisten dan mudah diubah apabila


sektor lain membutuhkan (Warsito, 2010)14.
Dalam penetapan kawasan hutan ini perlu
memperhatikan kondisi bentang alam, mengingat:
1. Fungsi utama hutan adalah sebagai salah satu
komponen ekosistem (penyangga kehidupan)
yang apabila fungsi tersebut rusak maka akan
berimplikasi pula pada fungsi-fungsi lainnya
(ekonomi/produksi dan sosial/budaya). Fungsi
hutan dalam perekonomian, bukanlah hanya
berupa arus produk barang atau jasa sudah
laku di pasar finansial saja, melainkan juga
adalah mencakup jasa yang bermanfaat bagi
manusia meskipun belum atau tidak laku di
pasar (not marketable)
2. Bentuk bentang alam tidak mudah berubah.
Selanjutnya dengan meng-overlay-kan dengan
peta organisasi wilayah pemerintahan, akan
diketahui kawasan hutan tetap di masingmasing unit kawasan pemerintahan. Dengan
cara ini dimungkinkan garis batas luar hutan
tetap di suatu Kabupaten dalam satu pulau
akan bersambungan dengan garis batas luar
unit kawasan hutan di kawasan pemerintahan
kabupaten tetangganya. Apabila hal demikian
terjadi, maka areal KPH tidak perlu dipecahpecah berdasarkan wilayah administrasi
pemerintahan. Sebagai contoh adalah KPH
Cepu yang terletak di Kabupaten Blora dan
Bojonegoro dan KPH Ngawi yang terletak
di Kabupaten Sragen dan Ngawi. Dua KPH
tersebut merupakan unit KPH yang mencakup
kawasan hutan di dua Kabupaten bahkan dua
kawasan Provinsi (Jateng dan Jatim)
3. Dengan relatif tetapnya kawasan hutan (KPH)
yang dibatasi oleh kondisi bentang alam, maka
apabila terjadi pemekaran daerah (misalnya
Kabupaten) tidak perlu adanya perubahan
kawasan hutan tetap tersebut. Pemecahan
KPH yang telah ditetapkan, akan mengganggu
pengaturan kelestarian hutannya.

14

13

Di dalam Permenhut P.06 tahun 2010 disebutkan bahwa penataan batas


dilakukan setelah kegiatan pembagian blok dan petak dan dilaksanakan
untuk menjamin kepastian batas blok dan petak.

56

PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN HUTAN LINGKUP KPH

Warsito, S. 2010. Ilmu Kehutanan Pendidikan dan Kiprah Rimbawan


Indonesia. Tanggapan Terhadap Makalah Purnatugas PNS Prof. Dr.Ir.H.
Hasanu Simon. Paper dipresentasikan dalam Seminar dalam rangka
pelepasan Purna Tugas PNS, Prof Dr.Ir.H.Hasanu Simon, Fakultas Kehutanan
UGM, 27 September 2010

Kegiatan tata hutan dilaksanakan diawali dengan


kegiatan inventarisasi hutan. Atas dasar hasil
inventarisasi hutan tersebut, pengelola KPH
membuat rancangan pembagian blok dan petak
yang selajutnya diikuti dengan penataan batas pada
blok dan petak tersebut. Batas wilayah kelola KPH,
dan hasil penataan batas tersebut dituangkan pada
peta tata hutan.

5.2.1 Inventarisasi Hutan


Inventarisasi hutan adalah rangkaian kegiatan
pengumpulan data untuk mengetahui keadaan dan
potensi sumber daya hutan serta lingkungannya
secara lengkap. Inventarisasi hutan dimaksudkan
untuk memperoleh informasi potensi, karakteristik
bentang alam, kondisi sosial ekonomi, serta
informasi lain pada wilayah kelola KPH.
Kegiatan inventarisasi hutan tersebut diarahkan
untuk mendapatkan data dan informasi yang
berkenaan dengan: (1) Status, penggunaan, dan
penutupan lahan; (2) Jenis tanah, kelerengan
lapangan/topografi; (3) Iklim; (4) Hidrologi (tata
air), bentang alam dan gejala-gejala alam; (5)
Kondisi sumber daya manusia dan demografi;
(6) Jenis, potensi dan sebaran flora; (7) Jenis,
populasi dan habitat fauna; dan (8) Kondisi sosial,
ekonomi, budaya masyarakat. Data dan informasi
hasil inventarisasi hutan disajikan dalam bentuk
deskriptif, numerik, peta dan lain-lain, yang
meliputi:
1. Data Pokok berupa Potensi tegakan kayu;
Potensi sumber daya tumbuhan non kayu
yang meliputi jenis/sub jenis, penyebaran,
populasi dan status; Keanekaragaman jenis
pohon, riap tegakan untuk plot-plot permanen
apabila telah dilakukan pengukuran berulang;
Potensi objek wisata dan jasa lingkungan;
Pengelompokan jenis satwa yang dilindungi
sesuai dengan Peraturan Pemerintah baik
pusat maupun daerah; Macam dan bentukbentuk pengelolaan hutan; Peta hasil kegiatan
skala minimal 1:50.000; dan
2. Data Penunjang berupa infra-struktur yang
mendukung pengelolaan hutan; Kondisi
sosial, ekonomi dan budaya masyarakat;
Informasi kondisi DAS dan Sub DAS.
Kegiatan inventarisasi hutan bukan merupakan
kegiatan yang sekali dilakukan dan diberlakukan

untuk selamanya, melainkan suatu kegiatan yang


perlu diulang dengan periode tertentu. Pelaksanaan
inventarisasi idelanya dilakukan paling sedikit satu
kali dalam 5 (lima) tahun, baik dengan cara survei
melalui penginderaan jauh maupun terestris. Di P.
Jawa, Perum Perhutani melakukannya 10 tahun
sekali, demikian halnya dengan ketentuan baru
Kementerian Kehutanan di luar P. Jawa melalui
kegiatan Inventraisasi Hutan Menyeluruh Berkala
(IHMB). Inventarisasi berkala ini diperlukan untuk
menampung dinamika-dinamika lapangan yang
terjadi baik yang menyangkut potensi, kondisi
social, dan ekonomi. Khusus tentang perubahan
potensi, dengan inventarisasi berkala ini akan
memungkinkan terjadinya perubahan jatah
produksi tahunan (AAC). Selain itu dapat pula
dijadikan alat untuk melakukan pemantauan
dini atas kinerja pengelolaan hutan. Terlebih
apabila KPH yang bersangkutan akan menjadi
lokasi penerapan REDD+, di mana pemantauan
berkala tentang kandungan (stock) karbon menjadi
keharusan.

5.2.2 Pembagian Blok dan Petak


Hasil kegiatan inventarisasi hutan tersebut di atas
selanjutnya dijadikan dasar untuk melakukan
kegiatan pembagian blok. Blok diartikan sebagai
bagian wilayah KPH yang dibuat relatif permanen
untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi
pengelolaan.
Pengertian tersebut dekat dengan istilah Bos
Afdeling ketika Belanda melakukan penataan
hutan di P. Jawa setelah menetapkan hutan tetap
yang merupakan upaya untuk pengorganisasian
kawasan hutan (Warsito, 2010)15.
Bos Afdeling (BA) merupakan satu kesatuan
kelestarian hutan dengan kesamaan-kesamaan
tertentu. Dalam hutan produksi misalnya, BA
memiliki daur atau kelas hutan tersendiri yang
bisa berbeda dengan BA lainnya.

15

Warsito, S. 2010. Ilmu Kehutanan Pendidikan dan Kiprah Rimbawan


Indonesia. Tanggapan Terhadap Makalah Purnatugas PNS Prof. Dr.Ir.H.
Hasanu Simon. Paper dipresentasikan dalam Seminar dalam rangka
pelepasan Purna Tugas PNS, Prof Dr.Ir.H.Hasanu Simon, Fakultas Kehutanan
UGM, 27 September 2010

Dengan demikian pembagian blok dapat diartikan


sebagai kegiatan membagi-bagi (memilah-milah)
wilayah KPH ke dalam bagian-bagian yang relatif
permanen untuk meningkatkan efektivitas dan
efisiensi pengelolaan. Blok atau bagian wilayah
KPH dapat dijadikan dasar untuk pengaturan
unit kelestarian, artinya dalam satu blok/bagian
hutan akan terdapat satu unit kelestarian.
Dengan demikian, dalam satu unit KPH dapat
terdiri dari satu atau lebih unit kelestarian sesuai
dengan karakteristik bio-fisik, aksesibilitas lokasi,
arah transportasi produk/komoditas dan kelas
perusahaan yang dikembangkan.

4. Risalah ekonomi politik lokal: ketokohan


lokal, pedagang dan cukong, potensi intervensi
ketokohan eksternal (yang datang dari luar
kampung/desa), potensi konflik kepentingan,
dan potensi konflik tenurial

Dalam pembagian blok perlu memperhatikan:


(1) Karakteristik bio-fisik lapangan; (2) Kondisi
sosial ekonomi masyarakat sekitar; (3) Potensi
sumberdaya alam; dan (4) Keberadaan hak-hak atau
izin usaha pemanfaatan hutan dan penggunaan
kawasan hutan. Untuk itu diperlukan risalah
karakteristik bio-fisik lapangan, kondisi sosial
ekonomi masyarakat sekitar, potensi sumberdaya
alam dan keberadaan izin-izin di wilayah KPH yang
dimaksud.

Risalah potensi sumberdaya alam/hutan antara


lain meliputi:

Risalah karakteristik bio-fisik lapangan antara lain


meliputi:
1. Penilaian lahan hutan, termasuk sistem lahan,
inventarisasi topografi dan fisiografi, serta
hidrografi
2. Inventarisasi aspek biologi penting selain hasil
hutan dan jasa lingkungan yang diproduksi
3. Inventarisasi kawasan lindung, hutan bernilai
konservasi tinggi (HCVF/high conservation
value forests) dan potensi dampak lingkungan
bio-fisik
4. Peta sistem lahan hutan, topografi, hidrografi,
biologi, kawasan lindung dan potensi dampak
lingkungan.
Risalah kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar
antara lain meliputi:
1. Inventarisasi lokasi pemukiman, kampung dan
desa di dalam dan di sekitar areal KPH
2. Risalah demografi
3. Risalah ragam budaya setempat yang
berkaitan dengan dinamika, perubahan dan
perkembangan hukum adat

58

PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN HUTAN LINGKUP KPH

5. Risalah kehidupan ekonomi lokal: sistem


usaha produktif, kinerja pasar lokal, statistik
lokal harga kebutuhan dasar
6. Peta spasial pemukiman, kampung, desa, peta
demografi, peta kelas perkembangan hukum
adat, peta tingkat politik lokal dan potensi
konflik, dan peta konflik tenurial.

1. Risalah sumberdaya hutan pada satuan areal


terkecil (blok atau petak)
2. Daftar kelas hutan atau kelas keanekaragaman
flora dan fauna di dalam satuan bagian
hutan atau zona, sebagai data dasar neraca
sumberdaya hutan
3. Peta dasar, peta tata areal kerja, peta kelas
hutan.
Sedangkan risalah keberadaan izin antara lain
meliputi:
1. Risalah keabsahan legalitas pemegang izin,
nama perusahaan, bentuk izin, luas dan lokasi
areal kerja, serta aksesibilitasnya
2. Jatah produksi tahunan sesuai SK IUPHHK,
rencana-rencana kerja pemegang izin,
jenis-jenis komoditi yang akan diproduksi,
kemitraan yang telah dibangun dan rencana
pemasaran hasil produksi
3. Upaya-upaya (rencana dan realisasi)
pemanfaatan/penggunaan sumberdaya hutan
lestari, dan sertifikasi pengelolaan hutan
lestari yang telah diperoleh.
Berdasarkan pembagian blok tersebut di atas,
selanjutnya dilakukan pembagian petak pada
masing-masing blok yang telah ditetapkan. Petak
diartikan sebagai bagian dari blok dengan luasan
tertentu dan menjadi unit usaha pemanfaatan
terkecil yang mendapat perlakuan pengelolaan
atau silvikultur yang sama.

Dalam pembagian petak perlu memperhatikan:


5.2.4
(1) Produktivitas dan potensi areal/lahan; (2)
Keberadaan kawasan lindung, yang meliputi
Kawasan bergambut, Kawasan resapan air,
Sempadan pantai, Sempadan sungai, Kawasan
sekitar danau/waduk, Kawasan sekitar mata air,
Kawasan Cagar Budaya, Kawasan Rawan Bencana
Alam, Kawasan Perlindungan Plasma Nutfah,
Kawasan Pengungsian Satwa, dan Kawasan Pantai
Berhutan Bakau; dan (3) Rancangan areal yang
akan direncanakan antara lain untuk pemanfaatan
hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan
reklamasi hutan, dan pemberdayaan masyarakat.
Dalam hal wilayah yang bersangkutan telah ada
izin atau hak, pembagian petak menyesuaikan
dengan petak yang telah dibuat oleh pemegang izin
atau hak. Selain itu pembagian petak diarahkan
sesuai dengan peruntukan berdasarkan identifikasi
lokasi dan potensi wilayah tertentu, seperti wilayah
yang akan diberikan izin, dan wilayah untuk
pemberdayaan masyarakat.

Urgensi
Sebagaimana telah dijelaskan di muka, kegiatan
tata hutan dimaksudkan untuk memastikan
pemanfaatan dan penggunaan sumberdaya hutan
dilakukan secara terencana berdasarkan data dan
informasi yang relevan, akurat dan obyektif serta
terintegrasi dengan tata ruang dan kebijakankebijakan pemerintah, provinsi, kabupaten/kota.
Inventarisasi hutan sebagai salah satu komponen
penting dalam kegiatan tata hutan mengandung
arti pembangkitan informasi. Dalam bermitra
dengan swasta (pemegang izin), kepemilikan
informasi yang akurat oleh pemilik sumberdaya
(pemerintah) menjadi prasyarat (syarat perlu) bagi
tegaknya hak-hak pemerintah dan sebagai dasar
untuk penilaian kinerja mitra dalam pencapaian
pengelolaan hutan lestari.

Untuk memperoleh kepastian batas blok dan petak


perlu dilaksanakan tata batas dalam wilayah KPH.
Tahapan-tahapan pelaksanaan kegiatan tata batas
tersebut meliputi:

Apabila kegiatan tersebut dilakukan oleh


pemegang izin, maka akan memunculkan risiko
terjadinya penyimpangan-penyimpangan yang
merugikan pemerintah dan kelestarian hutan.
Dengan dilaksanakannya kegiatan tata hutan
oleh KPH16 sebagai wakil pemerintah di tingkat
tapak dalam pengelolaan hutan, munculnya risikorisiko tersebut dapat ditekan. Selain itu terdapat
keuntungan-keuntungan lain seperti:

1. Persiapan peta penataan batas berdasarkan


hasil pembagian blok dan petak yang telah
dilaksanakan

1. Akurasi data dan informasi dapat ditingkatkan,


mengingat posisi KPH yang dekat dengan
tapak hutan yang dikelolanya

2. Penyiapan trayek-trayek batas

2. Kepemilikan informasi yang kuat oleh


pemerintah dapat meningkatkan kemampuan
pemerintah dalam pembinaan, pengawasan
dan pengendalian pelaksanaan izin oleh
pemegang izin. Termasuk dalam penetapan
jatah produksi tahunan yang semestinya sesuai
dengan kondisi hutan

5.2.3 Tata batas dalam wilayah KPH dan


pemetaan

3. Pelaksanaan penataan batas berdasarkan


trayek batas; dan
4. Penyajian peta tata batas dalam wilayah
KPH dari hasil pelaksanaan penataan batas
berdasarkan trayek batas.
Berdasarkan kegiatan tata batas, inventarisasi,
pembagian blok, dan pembagian petak, selanjutnya
dilakukan pemetaan KPH. Pemetaan KPH tersebut
harus memuat unsur-unsur antara lain: (1) batas
wilayah KPHL dan KPHP yang telah ditetapkan
Menteri; (2) pembagian batas blok; dan (3)
pembagian batas petak. Pelaksanaan tata batas
harus melibatkan masyarakat. Hasil pemetaan
tersebut dituangkan dalam peta dengan skala
minimal 1:50.000.

16

Selama ini tata hutan tidak dilakukan oleh pemerintah melainkan oleh
pemegang ijin, seperti diatur antara lain dalam Permenhut No 20/KptsII/2007 jo Permen No. 12/Kpts-II/2008 tentang Tata Cara Pemberian
Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada Hutan
Produksi, dimana pemegang ijin mempunyai kewajiban untuk melakukan
tata hutan, inventarisasi potensi hutan, perlindungan hutan dan lain
sebagainya, sebagaimana layaknya pengelolaan hutan. Dengan demikian,
praktis pemegang ijin (khususnya IUPHHK skala besar) menjalankan fungsi
sebagai KPH pada hutan produksi.

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

59

3. Ketersediaan data dan informasi sumberdaya


hutan yang akurat, serta dilengkapi dengan
sistem monitoring dan evaluasi kinerja seluruh
usaha yang ada akan memudahkan penerapan
kriteria measureable, reportable, verifiable (MRV)
dalam implementasi REDD+
4. Masalah lebarnya gap antara kawasan hutan
yang tergambar di atas peta dengan realitas
penggunaannya di lapangan dalam penetapan
peta indikatif untuk berbagai bentuk perijinan
dapat diatasi.

5.3 Pemanfaatan hutan


Penyelenggaraan pemanfaatan hutan bertujuan
untuk memperoleh manfaat hasil dan jasa hutan
secara optimal, adil, dan lestari bagi kesejahteraan
masyarakat. Secara umum pemanfaatan hutan
dapat diselenggarakan melalui kegiatan: (1)
pemanfaatan kawasan, (2) pemanfaatan jasa
lingkungan, (3) pemanfaatan hasil hutan kayu
dan bukan kayu; dan/atau (4) pemungutan hasil
hutan kayu dan bukan kayu. Untuk pemanfaatan
hutan di kawasan hutan yang berfungsi sebagai
hutan produksi, seluruh jenis pemanfaatan
tersebut dapat dilakukan. Sebaliknya pada hutan
lindung, pemanfaatan tersebut dibatasi pada jenis
(1) pemanfaatan kawasan, (2) pemanfaatan jasa
lingkungan, dan (3) pemanfaatan hasil hutan
bukan kayu. Untuk itu perlu dipastikan bahwa
kegiatan pemanfaatan hutan tersebut memiliki
keabsahan legalitas izin pemanfaatan hutan.
Tugas Kepala KPH pada kegiatan pemanfaatan (dan
penggunaan kawasan) hutan dalam kawasan hutan
yang telah dibebani izin adalah melaksanakan
pembinaan, pemantauan dan evaluasi atas
pelaksanaan izin pemanfaatan hutan di wilayah
KPH-nya. Pelaksanaan kegiatan pembinaan,
pemantauan dan evaluasi tersebut dilaporkan setiap
3 (tiga) bulan kepada Menteri dengan tembusan
kepada Gubernur dan Bupati/Walikota. Dalam
hal izin pemanfaatan (dan penggunaan kawasan)
hutan di wilayah KPH tersebut telah hapus atau
berakhir, maka Kepala KPH bertanggung jawab
atas pengamanan dan perlindungan hutan di bekas
areal kerja yang bersangkutan.
Pemanfaatan hutan dilaksanakan berdasarkan
rencana pengelolaan hutan yang disusun oleh
Kepala KPH. Demikian pula terhadap permohonan

60

PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN HUTAN LINGKUP KPH

dan/atau perpanjangan izin pemanfaatan (dan


penggunaan kawasan) hutan dalam wilayah
KPH, maka pemberian rekomendasi oleh dinas
yang menangani urusan kehutanan Provinsi
atau Kabupaten/Kota harus mempertimbangkan
rencana pengelolaan hutan yang telah disusun oleh
KPH tersebut.
Untuk wilayah tertentu, Menteri dapat menugaskan
Kepala KPH untuk menyelenggarakan pemanfaatan
hutan, termasuk melakukan penjualan tegakan.
Penyelenggaraan pemanfaatan hutan, termasuk
melakukan penjualan tegakan dalam wilayah
tertentu didasarkan pada pedoman, kriteria, dan
standar pemanfaatan hutan wilayah tertentu, serta
telah menerapkan pola pengelolaan Badan Layanan
Umum.
Selain itu Menteri mengalokasikan dan menetapkan
areal tertentu untuk membangun Hutan Tanaman
Rakyat (HTR), Hutan Kemasyarakatan (HKm)
dan Hutan Desa (HD) berdasarkan usulan KPH
atau pejabat yang ditunjuk. Berdasarkan rencana
pengelolaan KPH, usaha pemanfaatan hasil hutan
kayu pada HTR, HKm dan HD dalam hutan
tanaman dapat dilakukan melalui penjualan
tegakan. Kegiatan penjualan tegakan meliputi
kegiatan pemanenan, pengamanan, dan pemasaran.
Penjualan tegakan dilakukan dalam satu kesatuan
luas petak yang diusulkan oleh Kepala KPH atau
pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
Dalam wilayah KPH yang telah memiliki
rencana pengelolaan hutan jangka panjang,
dapat dilakukan kegiatan pemanfaatan hutan
dengan izin pemanfaatan hutan. Adapun yang
dalam jangka waktu 5 tahun belum memiliki
rencana pengelolaan hutan jangka panjang,
kegiatan pemanfaatan hutan dapat dilaksanakan
berdasarkan pada rencana kehutanan tingkat
nasional.
Dalam UU Kehutanan, pemanfaatan hutan dan
hasil hutan diwujudkan dalam bentuk ijin. Menteri
Kehutanan mempunyai kewenangan memberikan
12 jenis ijin, Gubernur dapat memberikan 8 jenis
ijin dan Bupati dapat memberikan 6 jenis ijin. KPH
mempunyai peran penting untuk secara ekonomis
dapat mewujudkan kelancaran perijinan tersebut
dengan tetap memperhatikan kepentingan sosial
dan lingkungan.

Pada situasi ketiadaan pengelola hutan pada tingkat


tapak (KPH), maka pemanfaatan menghadapi
berbagai kelemahan, antara lain:
1. Lemahnya perencanaan hutan, tata hutan
dan perencanaan pengelolaan hutan yang
telah berjalan selama ini dapat dilihat dari
rendahnya kapasitas untuk menjalankan
seluruh kegiatan tersebut yang menjadi
tanggungjawab pemerintah. Hal ini
disebabkan oleh orientasi Pemerintah dan
Pemerintah Daerah pada perijinan dan
administrasi komoditi hasil hutan dan bukan
pada pengelolaan wilayah/kawasan hutan,
sehingga kontrol atas pelaksanaan kegiatan
pemanfaatan hutan dan hasil hutan menjadi
lemah
2. Dalam kasus perijinan ini, prosedur untuk
mendapatkan kawasan hutan yang terbebas
dari konf lik, juga dibebankan kepada
pemohon ijin. Dengan demikian, prakondisi
adanya kawasan hutan yang bebas konflik
yang menjadi urusan pemerintah, ongkosnya
dibebankan kepada pemohon ijin. Hal ini juga
berlaku untuk ijin usaha bagi masyarakat
lokal, seperti Hutan Tanaman Rakyat (HTR)17.
Akibatnya, program pemerintah untuk
meningkatkan investasi di bidang usaha
kehutanan mengalami hambatan
3. Evaluasi terhadap pelaksanaan perijinan
pemanfaatan hutan dan hasil hutan saat
ini tidak cukup efisien, karena banyaknya
peraturan dan lembaga yang secara sendirisendiri melakukan penilaian kinerja pemegang
ijin. Akibatnya biaya transaksi tinggi tidak
terhindarkan dalam pelaksanaan evaluasi ini.
Dengan dibangunnya KPH diharapkan proses
pemanfaatan dan rehabilitasi hutan dapat
diefisienkan melalui:
1. Orientasi kerja pengelolaan hutan dalam
wilayah KPH adalah menyiapkan prakondisi
bagi berbagai ijin maupun kegiatan
pengelolaan hutan lainnya. Untuk kondisi saat
ini, penyiapan kawasan hutan yang mendapat
legitimasi untuk kepastian penetapan dari
berbagai pihak dan peningkatan kemampuan
17

Dalam P. No. 23/Kpts-II/2007 jo P. 05/Kpts-II/2008 tentang Tata Cara


Pemberian Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman
Rakyat dalam Hutan Tanaman.

masyarakat setempat menjadi prioritas utama


sebelum ijin diberlakukan. Tugas pemerintah
ini semestinya dilakukan terlebih dahulu
sebelum proses administrasi perijinan berjalan.
KPH diharapkan dapat menjalankan tugas ini
2. Keberadaan KPH tidak menjamin efisiensi
evaluasi dan penilaian perijinan apabila
kontrol secara langsung terhadap pemegang
ijin oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi
dan Pemerintah Kabupaten/Kota masih
dilaksanakan.
Untuk itu penataan hubungan antar lembaga
dalam pemanfaatan hutan perlu dibangun.
Penetapan kepastian kawasan hutan yang
mendapat legitimasi dari berbagai pihak dan
peningkatan kemampuan masyarakat setempat
sehingga dapat memanfaatkan peluang perijinan
perlu dijalankan dengan program tersendiri. Dalam
kaitan ini, diperlukan koordinasi Badan Planologi
Kehutanan, Ditjen Bina Produksi Kehutanan,
Ditjen Rehabilitasi Hutan dan Lahan, BP2HP,
BPKH dan BPDAS untuk menyusun program
tersebut. Program ini dapat diprioritaskan pada
wilayah KPH Model, sekaligus sebagai insentif
bagi inisiatif KPH model ini berupa kemudahan,
perkembangan dan keberlanjutan investasi di
daerah dimana KPH tersebut berada. Dalam
pengembangan perijinan bagi usaha besar dan
HTR, BP2HP dapat menjadi koordinator program
tersebut. Untuk program pengembangan HKm dan
Hutan Desa, BPDAS dapat menjadi koordinator,
sedangkan BPKH berperan untuk menunjang
keduanya.

5.4 Rehabilitasi dan reklamasi


hutan
Rehabilitasi hutan adalah upaya untuk memulihkan,
mempertahankan, dan meningkatkan fungsi
hutan sehingga daya dukung, produktivitas dan
peranannya dalam mendukung sistem penyangga
kehidupan tetap terjaga. Kegiatan-kegiatan yang
tercakup dalam rehabilitasi hutan meliputi
reboisasi; pemeliharaan tanaman; pengayaan
tanaman; dan penerapan teknik konservasi tanah.
Kegiatan-kegiatan tersebut pelaksanaannya
menjadi tanggung jawab KPH, khususnya pada
wilayah KPH yang wilayahnya tidak dibebani izin/
hak pemanfaatan hutan kepada pihak ketiga.

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

61

Sedangkan pada wilayah KPH yang telah dibebani


izin/hak pemanfaatan hutan kepada pihak ketiga,
pelaksanaan rehabilitasi hutan dilakukan oleh
pemegang izin/hak yang bersangkutan.
Namun demikian, walaupun pelaksanaan
rehabilitasi hutan pada wilayah KPH yang telah
dibebani hak merupakan tanggung jawab pemegang
hak, Kepala KPH mempunyai kewajiban untuk
melakukan pembinaan, pemantauan dan evaluasi
atas pelaksanaan rehabilitasi hutan di wilayah
KPH-nya tersebut. Pembinaan, pemantauan dan
evaluasi tersebut wajib dilaporkan setiap 3 (tiga)
bulan kepada Menteri dengan tembusan kepada
Gubernur dan Bupati/Walikota.
Hasil tanaman rehabilitasi pada hutan produksi
sesuai peraturan perundangan yang berlaku disebut
sebagai hutan tanaman hasil rehabilitasi. Hutan
tanaman hasil rehabilitasi (HTHR) didefinisikan
sebagai hutan tanaman pada hutan produksi yang
dibangun melalui kegiatan merehabilitasi lahan
dan hutan pada kawasan hutan produksi untuk
memulihkan, mempertahankan dan meningkatkan
fungsi lahan dan hutan dalam rangka
mempertahankan daya dukung, produktivitas dan
peranannya sebagai sistem penyangga kehidupan.
Pemanfaatan hasil HTHR tersebut dapat dilakukan
melalui penjualan tegakan yang didasarkan pada
rencana pengelolaan KPH. Kegiatan penjualan
tegakan tersebut meliputi kegiatan pemanenan,
pengamanan, dan pemasaran serta dilakukan
dalam satu kesatuan luas petak yang diusulkan
oleh kepala KPH atau pejabat yang ditunjuk oleh
Menteri. Ketentuan penjualan tegakan dapat
dilihat pada PP No. 6/2007 jo PP No. 3/2008.
Reklamasi hutan diartikan sebagai usaha untuk
memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan
vegetasi hutan yang rusak agar dapat berfungsi
secara optimal sesuai dengan peruntukannya.
Kegiatan ini dilakukan pada lahan dan vegetasi
hutan pada kawasan hutan yang telah mengalami
perubahan permukaan tanah dan perubahan
penutupan tanah.
Pada dasarnya pelaksanaan kegiatan reklamasi
hutan menjadi tanggung jawab pemegang
izin penggunaan kawasan hutan. Dalam hal
pemegang izin penggunaan kawasan hutan telah
melaksanakan reklamasi hutan, maka Kepala
KPH bertanggung jawab atas pengamanan dan

62

PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN HUTAN LINGKUP KPH

perlindungan atas hasil-hasil reklamasi hutan yang


bersangkutan.

5.5 Perlindungan hutan


Di dalam penyelenggaran pegelolaan hutan,
salah satu tugas organisasi KPH adalah
menyelenggarakan kegiatan perlindungan
hutan dan konservasi alam (PP 6/2007). Adapun
perlindungan hutan yang dimaksud didefinisikan
sebagai usaha untuk mencegah dan membatasi
kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil
hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia,
ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan
penyakit, serta mempertahankan dan menjaga
hak-hak negara, masyarakat dan perorangan
atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi
serta perangkat yang berhubungan dengan
pengelolaan hutan (Permenhut P.06/2010)18. Secara
umum kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam
perlindungan hutan, meliputi (PP 6/2007 jo PP
3/2008):
1. Mencegah adanya pemanenan pohon tanpa
izin
2. Mencegah atau memadamkan kebakaran
hutan
3. Menyediakan sarana dan prasarana
pengamanan hutan
4. Mencegah perburuan satwa liar dan/atau
satwa yang dilindungi
5. Mencegah penggarapan dan/atau penggunaan
dan/atau menduduki kawasan hutan secara
tidak sah
6. Mencegah perambahan kawasan hutan
7. Mencegah terhadap gangguan hama dan
penyakit; dan/atau
8. Membangun unit satuan pengamanan hutan.
Selanjutnya dalam PP 38/2007, pembagian urusan
pemerintahan untuk kegiatan perlindungan hutan
mengikuti ketentuan-ketentuan berikut:
1. Pemerintah (c.q Kementerian Kehutanan)
bertanggung jawab dalam:
18

Permenhut P.06/2010 tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria


Pengelolaan Hutan pada Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) dan
Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP)

a. Penetapan norma, standar, prosedur,5. Menyediakan sarana dan prasarana, serta


tenaga pengamanan hutan yang sesuai dengan
dan kriteria serta penyelenggaraan
kebutuhan.
perlindungan hutan pada hutan negara
skala nasional
Melalui kegiatan-kegiatan tersebut penyelenggaraan
b. Pemberian fasilitasi, bimbingan dan
perlindungan hutan pada dasarnya ditujukan
pengawasan dalam kegiatan perlindungan
untuk menjaga hutan, hasil hutan, kawasan hutan
hutan pada hutan yang dibebani hak dan
dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi
hutan adat skala nasional.
konservasi, dan fungsi produksi, tercapai secara
optimal dan lestari. Untuk mencapai tujuan-tujuan
2. Pemerintah Daerah Provinsi bertanggung
tersebut, ada 2 prinsip utama yang dikembangkan,
jawab dalam:
yaitu:
a. Pelaksanaan perlindungan hutan pada
hutan produksi, hutan lindung yang tidak
dibebani hak dan hutan adat serta taman
hutan raya skala provinsi
b. Pemberian fasilitasi, bimbingan dan
pengawasan dalam kegiatan perlindungan
hutan pada hutan yang dibebani hak dan
hutan adat skala provinsi.
3. Pemerintah Daerah Kabupaten Kota
bertanggung jawab dalam:
a. Pelaksanaan perlindungan hutan pada
hutan produksi, hutan lindung yang tidak
dibebani hak dan hutan adat serta taman
hutan raya skala kabupaten/kota
b. Pemberian fasilitasi, bimbingan dan
pengawasan dalam kegiatan perlindungan
hutan pada hutan yang dibebani hak dan
hutan adat skala kabupaten/kota.
Pada kondisi dimana KPH telah terbentuk,
maka untuk operasionalisasi pelaksanaan
kegiatan perlindungan hutan oleh Pemerintah
Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota (sesuai
kewenangannya) dilakukan oleh KPH. Dalam
konteks pengelolaan KPH tersebut, kegiatan
perlindungan hutan meliputi:
1. Mengamank an areal kerjanya yang
menyangkut hutan, kawasan hutan dan hasil
hutan termasuk tumbuhan dan satwa
2. Mencegah kerusakan hutan dari perbuatan
manusia dan ternak, kebakaran hutan, hama
dan penyakit serta daya-daya alam
3. Mengambil tindakan pertama yang diperlukan
terhadap adanya gangguan keamanan hutan
di areal kerjanya
4. Melaporkan setiap adanya kejadian
pelanggaran hukum di areal kerjanya kepada
instansi kehutanan yang terdekat

1. Mencegah dan membatasi kerusakan


hutan, kawasan hutan dan hasil hutan,
yang disebabkan oleh perbuatan manusia,
ternak, kebakaran, daya-daya alam, hama dan
penyakit; dan
2. Mempertahankan dan menjaga hak-hak
negara, masyarakat, perorangan atas hutan,
kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta
perangkat yang berhubungan dengan
pengelolaan hutan.
Perlindungan hutan pada wilayah KPH yang
wilayahnya telah dibebani izin/hak pemanfaatan
hutan kepada pihak ketiga, pelaksanaannya
dilakukan oleh pemegang izin/hak yang
bersangkutan. Dalam hal izin pemanfaatan hutan
di wilayah KPH telah hapus atau berakhir, Kepala
KPH bertanggung jawab atas pengamanan dan
perlindungan hutan di bekas areal kerja yang
bersangkutan. Demikian pula untuk wilayah
yang tidak dibebani izin (hak pemanfaatan hutan)
kepada pihak ketiga.

5.6 Pemberdayaan masyarakat


Dalam rangka pemanfaatan sumber daya hutan
secara optimal dan berkeadilan perlu dilakukan
pemberdayaan masyarakat setempat, baik melalui
pengembangan kapasitas maupun pemberian akses
pemnafaatan SDH dengan tujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat setempat. Pemberdayaan
masyarakat setempat tersebut merupakan
kewajiban Pemerintah, Pemerintah Provinsi,
Pemerintah Kabupaten/kota yang pelaksanaannya
menjadi tanggung jawab kepala KPH sesuai
kewenangannya. Program pemberdayaan
masyarakat setempat dapat memanfaatkan skemaskema Hutan Desa (HD), Hutan Kemasyarakatan
(HKm) dan kemitraan.

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

63

Hutan desa adalah hutan negara yang belum


dibebani izin/hak, yang dikelola oleh desa
dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan desa.
Sedangkan hutan kemasyarakatan adalah hutan
negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan
untuk memberdayakan masyarakat. Menteri
menetapkan areal kerja HKm dan HD atas usulan
bupati/walikota dan masyarakat sesuai kriteria
yang ditentukan dan rencana pengelolaan yang
disusun oleh kepala KPH atau pejabat yang
ditunjuk. Lembaga-lembaga yang menangani HKm
dan HD menyusun rencana pengelolaan hutannya
bersama kepala KPH atau pejabat yang ditunjuk
sebagai bagian dari rencana pengelolaan hutan.
Hutan desa dapat diberikan pada hutan lindung dan
hutan produksi melalui pemberian hak pengelolaan
kepada lembaga desa. Hak pengelolaan hutan desa
tersebut meliputi kegiatan tata areal, penyusunan
rencana pengelolaan areal, pemanfaatan hutan
serta rehabilitasi dan perlindungan hutan. Pada
hutan lindung, pemanfatan hutan desa meliputi
kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa
lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan
kayu. Sedangkan pada hutan produksi, meliputi
kegiatan pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa
lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan
bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan
bukan kayu. Untuk itu, Pemerintah, Pemerintah
Provinsi, atau Pemerintah Kabupaten/Kota
memberikan fasilitasi yang meliputi pengembangan
kelembagaan, pengembangan usaha, bimbingan
teknologi, pendidikan dan latihan, serta akses
terhadap pasar sesuai kewenangannya. Sementara
kepala KPH (atau pejabat yang ditunjuk) bersamasama dengan lembaga desa sebagai pengelola hutan
desa menyusun rencana pengelolaan hutan desa
sebagai bagian dari rencana pengelolaan hutannya.
Hutan kemasyarakatan dapat diberikan pada (1)
hutan konservasi, kecuali cagar alam, dan zona
inti taman nasional; (2) hutan lindung; atau
(3) hutan produksi. Pemberdayaan masyarakat
setempat melalui skema hutan kemasyarakatan
tersebut dilakukan melalui pemberian izin usaha
pemanfaatan hutan kemasyarakatan. Izin usaha
pemanfaatan hutan kemasyarakatan yang berada
pada hutan lindung, meliputi kegiatan pemanfaatan
kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan
pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pada hutan
produksi, meliputi kegiatan pemanfaatan kawasan,

64

PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN HUTAN LINGKUP KPH

pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil


hutan kayu dan bukan kayu, dan pemungutan hasil
hutan kayu dan bukan kayu. Untuk itu, Pemerintah,
Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/
Kota sesuai kewenangannya memberikan fasilitasi
yang meliputi pengembangan kelembagaan,
pengembangan usaha, bimbingan teknologi,
pendidikan dan latihan, akses terhadap pasar serta
pembinaan dan pengendalian.
Pemberdayaan masyarakat setempat pada dasarnya
dapat pula dilaksanakan melalui skema hutan
tanaman rakyat (HTR) yaitu hutan tanaman pada
hutan produksi yang dibangun oleh kelompok
masyarakat untuk meningkatkan potensi dan
kualitas hutan produksi dengan menerapkan
silvikultur dalam rangka menjamin kelestarian
sumber daya hutan. Dalam hal ini, peran KPH
(atau pejabat yang ditunjuk) adalah memberikan
usulan dalam pengalokasian dan penetapan areal
tertentu untuk pemberian izin hutan tanaman
rakyat kepada Menteri.

5.7 Rencana jangka panjang


KPH
Untuk penyusunan rencana jangka panjang KPH,
maka perlu ditetapkan tujuan dan sasaran. Prinsipprinsip penyusunan tujuan dan sasaran meliputi:
1. Tujuan dan sasaran dijabarkan dari Visi dan
Misi serta dirumuskan secara operasional
menurut jangka waktu perencanaan
2. Tujuan dan sasaran diarahkan untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan
yang teridentifikasi dalam pencapaian
pengelolaan hutan lestari oleh manajemen
KPH.
3. Tujuan dan sasaran diterjemahkan ke dalam
target-target capaian yang spesifik dan terukur
4. Tujuan dan sasaran tersosialisasikan dan
menjadi komitmen para pihak yang terlibat
dalam pengelolaan KPH.

Hasil telaah dukungan proses pembangunan KPH


di Indonesia yang dilakukan oleh Schaefer (2008)19
merekomendasikan bahwa terdapat beberapa hal
penting yang perlu diperhatikan dalam penyusunan
rencana jangka panjang, yaitu:
1. Rencana Jangka Panjang KPH harus berisi
lebih kongkrit daripada kebijakan kehutanan
daerah serta berisi sasaran secara jelas dan
terukur. Hal ini dimaksudkan sebagai alat
kontrol pencapaian hasil, tanpa kejelasan
sasaran maka akan sulit untuk menentukan
siapa yang bertanggung jawab dalam
pencapaiannya. Walaupun demikian dokumen
rencana jangka panjang tetap masih bersifat
umum
2. Rencana pengelolaan dibuat terpisah untuk
masing-masing jenis pengelolaan (misalnya
perbedaan jenis ijin, tujuan pengelolaan
seperti HTR, dan kondisi areal)
3. Data dari masing-masing area dapat dipadukan
bersama menjadi rencana keseluruhan KPH.
4. Target 10 tahunan harus terdefinisi secara
jelas baik untuk pemanfaatan, penanaman,
rehabilitasi, reklamasi, perlindungan hutan
yag belum ada ijinnya, hutan tanaman rakyat,
HKm, REDD, dan lain sebagainya. Selanjutnya
target tersebut dapat dijadikan landasan untuk
penetapan rencana tahunan, beban kerja dan
kebutuhan SDM.
5. Rencana jangka panjang perlu diikuti dengan
rencana aksi jangka menengah yang jelas,
kongkrit dan mengikat. Dengan demikian
tanggungjawab pengendalian kegiatan dan
kinerjanya dapat tergambar dengan jelas
6. Di dalam rencana jangka panjang rencana
pembiayaan harus dimasukkan untuk
memberikan kejelasan kebutuhan dana sejak
dari awal, untuk mendapatkan dana dari
anggaran pemerintah dan sumber lain dan
sebagai dasar untuk menentukan rencana kerja
tahunan
7. Perlu pembentukan kelompok kerja yang
terdiri dari KPH, Dinas Kehutanan, BAPPEDA,
dan pelaksana inventarisasi untuk penyusunan

19

Scaefer, Christian. 2008. Advisory Services for the Support of the FMU
Establishment Process in Indonesia. GTZ-SMCP-Hessen Fors. Kessel.
Germany.

rencana untuk mengintegrasikan pendapat


dalam merumuskan sasaran
8. Diperlukan harmonisasi antara rencana
penataan hutan dengan tata ruang. Untuk
itu pengintegrasian BAPPEDA dalam
perencanaan jangka panjang sangat penting
untuk menghindari konflik dengan rencana
tata ruang
9. Penyusunan rencana dan persetujuannya
harus dilaksanakan secepat mungkin,
sehingga keputusan dalam perencanaan masih
berdasarkan data-data yang up to date
10. Peranan inventarisasi hutan yang menjadi
inti rencana pengelolaan jangka panjang
harus ditekankan dalam pendoman. Kegiatan
inventarisasi akan menjadi dasar bagi kegiatan
KPH sendiri maupun untuk monitoring dan
evaluasi pemegang ijin.
Langkah-langkah opersional untuk perencanaan
pengelolaan hutan jangka panjang adalah sebagai
berikut:
1. Disusun oleh KPH dan disahkan oleh Menteri
Kehutanan atau Pejabat yang memperoleh
pendelegasian
2. Selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sudah
harus disusun dan disahkan oleh Menteri,
terhitung sejak organisasi KPH ditetapkan
3. Disusun berdasar hasil pemetaan situasi
4. Mengikuti hasil tata hutan (tata areal kerja)
5. Memperhatikan rencana kehutanan Nasional,
Provinsi, maupun Kabupaten/Kota
6. Memuat:
a. Visi dan misi serta tujuan dan sasaran
pengelolaan KPH
b. Peta situasi pengelolaan KPH
c.

Strategi pengembangan pengelolaan


hutan lestari, yang meliputi:
i.

Tata hutan ke dalam Bagian Hutan,


Zona, Blok, Resort, Petak

ii. Pemanfaatan, penggunaan kawasan


hutan, dan pelayanan pasar
iii. Rehabilitasi dan reklamasi hutan
iv. Perlindungan hutan dan konservasi
alam.

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

65

7. Jaminan pengelolaan hutan lestari jangka


panjang (selama jangka benah KPH dan/atau
daur kelas hutan), yang meliputi:
a. Kelola kawasan
b. Kelola hutan
c.

Kelola pasar dan konsumen

d. Penataan kelembagaan
e.

Kelayakan investasi, keuangan dan


ekonomi.

8. Kegiatan pokok pada kelola kawasan, kelola


hutan dan penataan kelembagaan diarahkan
untuk memaksimumkan kinerja unsur-unsur
berikut:
a. Pemanfaatan, yaitu optimasi fungsifungsi produksi dan jasa sumberdaya
hutan dan lingkungannya, baik produksi
kayu, produksi bukan kayu maupun jasajasa lingkungan
b. Pemasaran dan pelayanan konsumen
c.

Pemberdayaan masyarakat, yaitu kejelasan


ruang kelola dan akses masyarakat
terhadap hutan, mekanisme kerjasama,
distribusi manfaat dan biaya, serta kinerja
pengembangan ekonomi lokal

d. P e l e s t a r i a n l i n g k u n g a n , y a i t u
pemeliharaan kawasan lindung, minimasi
dampak kegiatan terhadap fungsi
hidro-orologi, mempertahankan dan
memelihara keberadaan flora-fauna yang
endemic dan yang dilindungi
e.

Pengelolaan investasi dan keuangan.

9. Kegiatan pokok diuraikan menurut waktu dan


tempat selama jangka perencanaan
10. Kegiatan pokok menurut waktu dan tempat
digambarkan di atas peta kerja
11. Rencana pengelolaan system informasi selama
jangka perencanaan
12. Rencana pemantauan dan evaluasi selama
jangka perencanaan.

66

PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN HUTAN LINGKUP KPH

Visi dan Misi adalah proyeksi atau gambaran sosok


KPH lestari di masa depan yang diharapkan dan
capaian-capaian utama yang ditetapkan untuk
mewujudkan proyeksi atau gambaran tersebut.
Dalam penetapan visi dan misi perlu menempatkan
kelestarian berimbang (sosial, ekonomi dan
lingkungan) sebagai konsentrasi pengelolaan
sumberdaya hutan. Di sini perlu kemampuan
pembacaan visioner KPH dalam perumusannya
dan sedapat mungkin menampung pandangan
para pihak.
Analisis situasi diartikan sebagai kajian dan/atau
ulasan dan/atau sajian sistematik terhadap situasi
eskternal (politik, kepemerintahan, pasar dan
industri, investasi dan pelayanan financial, para
pihak, dan kecenderungan-kecenderungan global
dalam pengelolaan hutan) dan situasi internal
(kelembagaan, manajemen, sumberdaya hutan,
lingkungan bio-fisik, dan social-budaya-ekonomi
local).

BAB 6

PENILAIAN KINERJA KPH


Konsep dasar
Tipologi KPH

Kriteria dan indikator kinerja KPH


Sistem penilaian kinerja KPH

6.1 Konsep dasar

6.1.1 Maksud dan tujuan

Penilaian kinerja KPH merupakan rangkaian yang


tidak dapat dipisahkan dari proses pembangunan
KPH. Sebagaimana suatu proses pembangunan,
tentulah diawali dengan mendiagnosis
permasalahan dan menetapkan konsep solusi yang
diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah
yang dihadapi. Konsep solusi tersebut selanjutnya
perlu diformalkan menjadi sebuah kebijakan
sebagai dasar untuk implementasi konsep solusi.
Tanpa kebijakan yang dituangkan dalam berbagai
bentuk peraturan-perundangan dan rencanarencana formal pemerintah, maka implementasi
tidak akan memiliki payung hukum.

Maksud dari penilaian kinerja pembangunan KPH


adalah mengukur tingkat capaian pembangunan
KPH dengan tujuan untuk menentukan bentukbentuk intervensi yang diperlukan dalam rangka
perbaikan pengelolaan KPH di tingkat tapak
dari serangkaian pembelajaran (lesson learnt) yang
diperoleh dari penilaian kinerja tersebut. Sistem
penilaian tersebut lebih lanjut diharapkan dapat
berfungsi sebagai instrumen untuk mengawal
proses pembangunan KPH agar berjalan sesuai
dengan tujuan dan dalam koridor peraturan
perundangan yang berlaku.

Tentu konsep dan kebijakan yang dikembangkan


memiliki tujuan-tujuan tertentu. Untuk
memastikan bahwa tujuan-tujuan tersebut
mengarah pada pencapaian yang diinginkan/
ditetapkan, maka diperlukan penilaian kinerja
atas implementasi tersebut. Sebagai proses
yang berkelanjutan, kegiatan penilaian kinerja
pembangunan KPH tersebut tidak perlu diartikan
sebagai kegiatan untuk mencari-cari kesalahan,
tetapi upaya untuk menemukan cara bagaimana
program dapat dilaksanakan dengan baik. Oleh
karenanya pembelajaran (lesson learnt) dan umpan
balik (feed back) dari proses penilaian kinerja
menjadi penting. Dengan demikian, implementasi
pembangunan KPH merupakan sebuah siklus yang
tak terputus dan berlangsung kontinyu.
Kinerja pembangunan KPH merupakan cerminan
tingkat capaian pembangunan KPH. Dengan
demikian, penilaian kinerja dapat diartikan
sebagai kegiatan/upaya untuk mengetahui/
mengukur tingkat capaian pembangunan KPH.
Terdapat dua prinsip dasar yang harus dipenuhi
oleh kinerja pembangunan KPH yaitu efektivitas
pengelolaan dan efisiensi organisasi KPH.
Efektivitas pengelolaan sangat terkait dengan
tujuan pembentukan KPH (produksi, konservasi,
lindung) dan proses pengelolaan KPH (tata hutan,
pemanfaatan, rehabilitasi, perlindungan, dan
konservasi). Sedangkan efisiensi organisasi KPH
sangat terkait dengan model kelembagaan (UPT,
UPTD, BLU, BLUD, dsb) yang dibangun serta
dukungan sumberdaya yang tersedia (SDM, dana,
dan sarana-prasarana).

6.1.2 Prinsip-prinsip penilaian kinerja


Sesuai konteksnya, prinsip-prinsip yang
dapat dikembangkan untuk penilaian kinerja
pembangunan KPH meliputi akuntabilitas,
transparansi, efektivit as, ef isiensi dan
kesederhanaan/kemudahan. Penjelasan prinsipprinsip tersebut disajikan pada Tabel 9.
Kegiatan penilaian kinerja ini adalah suatu proses
sistematis dalam mengumpulkan, menganalisis, dan
menginterpretasikan informasi untuk mengetahui
tingkat capaian pelaksanaan pembangunan KPH
untuk keperluan pembuatan keputusan tentang
intervensi perbaikan pengelolaan. Fokus utama
kegiatan evaluasi ini adalah pada komponen hasil
(output) dan dampak (outcome) yaitu untuk
mendapatkan informasi mengenai status capaian
output dan outcome. Walaupun demikian, tidak
tertutup kemungkinan untuk sekaligus menilai
input dan proses pembangunan KPH.

6.1.3 Pilihan-pilihan model penilaian


Secara teoritis tersedia 2 (dua) pilihan model
penilaian kinerja yaitu model konvensional dan
model partisipatif. Perbedaan kedua model tersebut
secara garis besar dapat diuraikan dalam Tabel 10.

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

69

Pilihan model mana yang paling tepat untuk


dipilih sangat tergantung dari sifat kegiatan yang
akan dinilai. Umumnya, pada kegiatan-kegiatan
yang memiliki jangka waktu penyelesaian yang
pasti, seperti pembangunan infrastruktur (jalan,
jembatan, bangunan sekolah, rumah sakit, dls),
model konvensional mungkin menjadi pilihan
yang tepat. Akan tetapi pada kegiatan yang
berkelanjutan model partisipatif akan lebih baik.
Pengelolaan hutan merupakan rangkaian dari
proses pengelolaan hutan yang terdiri dari tata
hutan, pemanfaatan, rehabilitasi, perlindungan
dan konservasi yang harus dilakukan secara terus
menerus agar tujuan utamanya tercapai. Namun
sebaliknya, pelaksanaan masing-masing kegiatan
tersebut pada dasarnya juga memiliki jangka
waktu penyelesaian tertentu. Oleh karenanya,
mengkombinasikan kedua pendekatan di atas
(konvensional dan partisipatif) dapat dijadikan
pilihan yang terbaik. Dengan mengkombinasikan
model konvensional dan partisipatif tersebut
diharapkan dapat diperoleh manfaat-manfaat,
antara lain:
1. Meningkatkan kinerja
Dalam proses yang partisipatif akan
memunculkan komunikasi-komunikasi
yang intens, sehingga mampu menjamin
peningkatan kinerja kegiatan baik dari sisi
input (apa, berapa, mengapa, kapan), proses
(bagaimana input digunakan dan bagaimana
output dihasilkan), serta output (apa, berapa,
mengapa, kapan).

2. Meningkatkan kemampuan pencapaian


dampak
Prosedur yang ditetapkan secara bersama dan
dibingkai dalam kriteria dan indikator yang
penyusunannya melibatkan semua pihak, akan
membawa kosekuensi bahwa dampak (outcomes)
ditentukan oleh pihak yang bertanggung
jawab atas pembangunan KPH dan subject
(masyarakat dan/atau perwakilannya) sesuai
kebutuhan dan kondisinya (kontekstual),
sehingga pengendalian program ke arah tujuan
(konvergensi) lebih mudah dan langsung.
3. Meningkatkan proses pembelajaran dan
pemberdayaan
Prinsip berfikir bersama dapat dijadikan sarana
untuk kegiatan pembelajaran dan sekaligus
pemberdayaan dan penguatan kapasitas semua
pihak yang terkait, memperkuat organisasi
dan inisiatif pembangunan mandiri pada level
stakeholders utama (masyarakat).
4. Mendorong reformasi kelembagaan ke arah
struktur yang partisipatif
Karakteristik proses partisipatif akan
m e n a n g g a l k a n s e k a t - s e k a t h i e r a rk i
birokratis, meningkatkan peluang munculnya
akuntabilitas, transparansi, partisipatif dan
terbangunnya saling percaya antar pihak
(trust building) yang pada akhirnya akan
memudahkan dalam penggalangan aksi
bersama (collective actions) dan pembangunan
modal sosial (social capital).

Tabel 9. Prinsip-prinsip penilaian kinerja


Prinsip

Penjelasan

Akuntabilitas

Organisasi penyelenggara penilaian (penilai) bertanggung jawab kepada stakeholders dan


hasil-hasil penilaiannya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya

Transparansi

System, proses, data dan informasi penilaian dapat diakses, dimengerti dan dipantau oleh
para pihak yang berkepentingan

Efektivitas

System yang dikembangkan dapat menilai kinerja pembangunan KPH sesuai dengan tujuan
penilaian yaitu memperoleh pembelajaran dan rekomendasi perbaikan pengelolaan hutan

Efisiensi

Korbanan sumberdaya (dana, SDM, sarana prasarana) untuk mencapai efektivitas penilaian
dapat diminimalkan tanpa mengorbankan efektivitas penilaian

Kesederhanaan/kemudahan

Untuk memperoleh efektivitas penilaian dapat dilakukan dengan tata cara yang mudah
namun akurat

70

PENILAIAN KINERJA KPH

5. Menjamin keberlanjutan program


Komunikasi yang intensif antar stakeholders
akan menumbuhkan keterusterangan
(openness) semua pihak, sehingga masyarakat
dapat memahami hambatan-hambatan
pembangunan KPH dan masyarakat
lebih mudah diajak untuk mengerahkan
sumberdaya-nya untuk melanjutkan programprogram yang bermanfaat baginya.
Bagi masyarakat proses yang partisipatif akan
meningkatkan peluang untuk ikut aktif dalam
proses-proses pengambilan keputusan pada setiap
tahapan pengelolaan, termasuk menentukan
standar, kriteria dan indikator penilaian kinerja.
Peran serta aktif masyarakat sangat diperlukan,
karena pada akhirnya tujuan pembangunan
KPH adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.

Kombinasi model penilaian kinerja konvensional


dan partisipatif tidak saja sangat bermanfaat bagi
masyarakat, tetapi bermanfaat pula bagi personil
penyelenggara KPH. Manfaat utama bagi personil
penyelenggara KPH adalah dapat dijadikan alat
bantu untuk memperoleh informasi dan umpan
balik dari program dengan mendengarkan opini
masyarakat secara langsung tentang dampak
program pembangunan yang betul-betul dirasakan
sendiri oleh masyarakat.
Disadari bahwa proses penilian kinerja yang
memasukkan unsure partisipatif bukanlah suatu
proses yang tidak memerlukan arahan, karena
partisipatif bukanlah orkestra tanpa dirijen. Untuk
itu harus dikenali siapa-siapa yang seharusnya
terlibat dalam penilaian kinerja ini. Identifikasi
para pihak yang sepantasnya berpartisipasi, dapat
dilakukan dengan teknik analisis pihak terkait
(stakeholders analysis).

Tabel 10. Perbedaan model-model monitoring dan evaluasi


Aspek

Model Konvensional

Model Partisipatif

Aktor

Penilaian dilakukan oleh pihak ketiga dengan


berbagai sebutan, misal orang luar; pihak independen; outsider; outsourcing. Pihak yang
dinilai akan diposisikan sebagai kinerja orang
dalam/insider.

Penilian melibatkan semua pihak, berupa suatu


kerjasama konstrukstif 'outsider' dan 'insider', lembaga-lembaga yang berkepentingan dan pembuat
kebijakan.

Prosedur

Umumnya kriteria dan indikator sudah ditentukan Ditetapkan bersama tentang:


sebelumnya. Pada banyak kejadian ditetapkan oleh Bagaimana kemajuan pelaksanaan pengelolaan
pihak pemberi/pemilik dana.
harus dinilai (apa, bagaimana, kapan dan siapa).
Bagaimana tindak lanjut langkah perbaikannya
(corrective action) perlu ditetapkan.

Orientasi

Umumnya orientasi utamanya pada efisiensi peng- Terdapat 2 prinsip utama, yaitu:
gunaan 'input' saja; kadang melupakan efektifitas Tidak mencari kesalahan, tetapi untuk mendapencapaian output dan outcome.
patkan informasi guna pembelajaran dan mencari cara bagaimana pelaksanaan pengelolaan
dapat diperbaiki.
Pemberdayaan, transparansi dan objektif.

Kepuasan

Umumnya kepuasan ada pada penilai; mengece- Harapan utamanya adalah memuaskan semua pihak
wakan yang dinilai.
yang terkait.

Sifat

Seringkali penilaian menjadi tujuan sehubungan Penilian kinerja bukan tujuan, tetapi suatu perjalanan
plot dana yang tersedia.
(proses).

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

71

6.2 Tipologi KPH


Kinerja (tingkat capaian) proses pembangunan
KPH pada masing-masing daerah dapat berbedabeda. Perbedaan-perbedaan tersebut dapat
disebabkan oleh berbagai hal, antara lain:
1. Tahapan pembangunan KPH. Berdasarkan
tahapannya, pembangunan KPH dapat
berada pada fase pembentukan (mulai inisiasi,
rancang bangun, penetapan Unit KPH hingga
penetapan pembentukan organisasi); penataan
(fase awal operasional setelah KPH terbentuk);
dan pemantapan (fase peningkatan kapasitas
pengelolaan di semua aspek)
2. Fungsi pokok dan peruntukan KPH.
Berdasarkan fungsi pokok dan peruntukannya,
KPH dapat dipilah ke dalam KPHK, KPHL
dan KPHP di mana masing-masing memiliki
tekanan tujuan utama yang berbeda-beda
3. P e n g o r g a n i s a s i a n K P H . M e n g i n g a t
posisi KPH sebagai wakil pemerintah di
tingkat tapak, maka varian-varian bentuk
pengorganisasiannya tetap organisasi yang
menginduk kepada pemerintah seperti UPT,
UPTD, BLU, BLUD, BUMN, dan BUMD.
Namun demikian, melihat perkembangan
pembangunan KPH Model, tampaknya
bentuk UPTD merupakan bentuk yang paling
diminati. Ke depan, ketika KPHL dan KPHP
akan melakukan aktifitas pemanfaatan wilayah
tertentu, maka bentuk organisasinya harus
ditransformasikan menjadi pola pengelolaan
Badan Layanan Umum (BLU) (P 06/2010 Ps
18 ayat 3)
4. Kandungan potensi sumberdaya. Tidak
dipungkiri bahwa terdapat KPH-KPH yang
memiliki potensi sumberdaya yang kaya,
namun sebaliknya terdapat pula yang miskin
potensi sumberdayanya

perbedaan-perbedaan dari setiap KPH yang


dibentuk. Tipologi sangat erat berhubungan
dengan praktek-praktek yang harus dilakukan
dalam kegiatan pengelolaan hutan (tata hutan,
pemanfaatan, rehabilitasi, konservasi dan
perlindungan). Dengan demikian tipologi yang
ditetapkan sebaiknya menunjukkan setting
atau keadaan dari obyek, dalam hal ini KPH.
Implikasinya adalah diperlukan adanya kriteria dan
indikator kinerja pembangunan KPH serta sistem
penilaian kinerja pembangunan KPH yang berbasis
pada proses pembangunan dan tipologi daerah.
Memperhatikan perbedaan-perbedaan tersebut
di atas, beragam tipologi dapat dikembangkan.
Semakin banyak tipologi yang dikembangkan,
maka kontekstualitas kriteria dan indikator yang
dikembangkan pada masing-masing tipologi
tersebut semakin terjamin. Hanya saja apabila
hal ini ditempuh, maka akan menimbulkan
kompleksitas dalam penerapannya, sehingga
prinsip kesederhanaan/kemudahan penilaian
kinerja tidak dapat dipenuhi. Oleh karena itu,
tipologi perlu difokuskan pada faktor-faktor
yang paling mudah dikenali. Sebagai contoh,
faktor berpengaruh yang dapat dikenali adalah
perkembangan pembangunan KPH dan potensi
sumberdaya hutan yang dimiliki oleh KPH tersebut.
Pada saat ini, berdasarkan perkembangannya,
pembangunan KPH bervariasi antara yang sedang
melakukan pembentukan hingga telah terbentuk
baik pada fase penataan maupun pemantapan.
Di sisi lain, wilayah-wilayah tertentu mempunyai
potensi sumberdaya yang cukup, lainnya tidak
cukup. Dengan dua determinan tersebut dapat
ditetapkan 4 (empat) tipologi wilayah, yaitu:
1. Tipologi 1, KPH sedang dalam tahap
pembentukan; dan mempunyai potensi
sumberdaya yang cukup

5. Kompleksitas permasalahan. Berdasarkan


kompleksitas permasalahan yang dihadapi,
varian yang mungkin muncul adalah KPH
dengan kompleksitas permasalahan rendah
hingga tinggi.

2. Tipologi 2, KPH telah terbentuk; dan


mempunyai potensi sumberdaya yang cukup

Dalam penilaian KPH perbedaan-perbedaan


tersebut harus diperhitungkan. Oleh karenanya,
penentuan tipologi dalam penilaian kinerja KPH
menjadi sangat penting untuk menghindari
terjadinya bias dalam penilaian akibat adanya

4. Tipologi 4, KPH telah terbentuk; dan tidak


mempunyai potensi sumberdaya yang cukup.

72

PENILAIAN KINERJA KPH

3. Tipologi 3, KPH sedang dalam tahap


pembentukan; meskipun tidak mempunyai
potensi sumberdaya yang cukup

Namun demikian, tidak seluruh faktor yang


berpengaruh dapat dipilah-pilah karena
karakteristiknya, seperti faktor fungsi pokok
dan peruntukan KPH. Akibatnya faktor tersebut
menjadi faktor given, artinya harus ada kriteria
dan indikator yang berbeda untuk KPHK, KPHL
dan KPHP (Tabel 11).

1. Kemantapan kawasan

Kepastian akan kawasan yang mantap


merupakan salah satu prasyarat dalam
pengelolaan KPH. Apa pun kegiatan yang
dilakukan memerlukan kemantapan kawasan.
Adanya kemantapan kawasan pada suatu KPH
dapat dilihat dari beberapa indikator, yaitu
adanya: (1) dasar hukum yang kuat dan benar
mengenai tata batas dan penataan hutannya,
(2) pengalokasian ruang untuk setiap
pemanfaatan (pemanfaatan, perlindungan,
konservasi dan rehabilitasi), (3) kawasan
bebas dari sengketa kehutanan yaitu sengketa
pemanfaatan lahan dengan departemen lain
di pemerintahan, (4) bebas dari sengketa
kehutanan lahan dengan masyarakat, dan
(5) terdapat struktur organisasi berdasarkan
penguasaan areal.

6.3 Kriteria dan indikator


kinerja KPH
Tujuan penetapan kriteria dan indikator
pembangunan KPH dimaksudkan agar manajemen
hutan pada unit pengelolaan dapat berlangsung
dan berkembang sesuai dengan tujuan dan sasaran
yang telah ditetapkan yakni kelestarian fungsi
hutan baik kelestarian fungsi produksi, lindung
dan konservasi yang dikelola secara lebih baik,
efisien dan efektif. Berkaitan dengan kriteria
kelembagaan KPH pada unit pengelolaan hutan
(PP 44/2004 Pasal 32) yang antara lain mengatur
perihal lingkup tanggungjawab penyelenggaraan
pengelolaan hutan oleh institusi pengelola yaitu
meliputi (1) perencanaan pengelolaan (planning),
(2) pengorganisasian (organizing), (3) pelaksanaan
pengelolaan (actuating) dan (4) pengendalian dan
pengawasan (controlling).

2. Tata hutan

Kinerja KPH ditentukan dari kegiatan tata


hutan yang dilaksanakannya. Indikator
kegiatan tersebut antara lain: (1) melaksanakan
penyiapan areal kerja (inventarisasi, tata
batas dan penataan), dan (2) melaksanakan
pembagian areal kerja berdasarkan fungsifungsi konservasi, lindung dan produksi.
3. Rencana kelola

Terdapat 8 kriteria yang penting untuk menilai


kinerja pembangunan KPH, yaitu (1) kemantapan
kawasan, (2) tata hutan, (3) rencana kelola, (4)
kapasitas organisasi, (5) hubungan antar strata
pemerintahan dan regulasi, (6) mekanisme investasi,
(7) ketersediaan akses dan hak masyarakat, dan
(8) mekanisme penyelesaian sengketa kehutanan.
Kedelapan kriteria kinerja pembangunan KPH
dapat dijelaskan sebagai berikut:

Kinerja KPH juga dapat dilihat dari kegiatan


rencana kelola dilaksanakannya. Indikator
kegiatan tersebut antara lain: (1) memiliki
rencana pengelolaan jangka pendek dan
jangka panjang; (2) memiliki rencana
pemanfaatan hutan yang sesuai dengan petakpetak peruntukannya; (3) tersusunnya rencana
(program kerja) rehabilitasi, konservasi dan
perlindungan hutan.

Tabel 11. Kebutuhan kriteria dan indikator pada berbagai tipologi


KPHK

KPHL

KPHP

Sedang
Pembentukan

Telah Terbentuk

Sedang
Pembentukan

Telah Terbentuk

Sedang
Pembentukan

Telah Terbentuk

Potensi SDH
cukup

KRITERIA &
INDIKATOR

KRITERIA &
INDIKATOR

KRITERIA &
INDIKATOR

KRITERIA &
INDIKATOR

KRITERIA &
INDIKATOR

KRITERIA &
INDIKATOR

Potensi SDH
kurang

KRITERIA &
INDIKATOR

KRITERIA &
INDIKATOR

KRITERIA &
INDIKATOR

KRITERIA &
INDIKATOR

KRITERIA &
INDIKATOR

KRITERIA &
INDIKATOR

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

73

4. Kapasitas organisasi

Kapasitas organisasi merupakan hal penting


yang menentukan kinerja KPH. Indikator dari
kapasitas organisasi yang memadai antara
lain adalah (1) telah tersedianya SDM yang
memiliki ketrampilan dan keahlian yang
memadai dalam seluruh bidang kegiatan
pengelolaan hutan (tata hutan, pemanfaatan,
rehabilitasi, konservasi dan perlindungan),
dan (2) telah memiliki sistem perencanaan
dan pengelolaan yang memadai untuk seluruh
kegiatan pengelolaan hutan.
5. Hubungan pemerintahan dan regulasi

Kriteria kinerja KPH yang lain berkaitan


dengan mekanisme hubungan pemerintahan
dan regulasi dalam setiap kegiatan pengelolaan
hutan. Indikator dari kinerja ini adalah:
(1) telah terjalinnya koordinasi yang baik
dalam alokasi penggunaan kawasan hutan,
(2) pemanfaatan sumberdaya hutan, (3)
adanya alokasi dana rehabilitasi, konservasi
dan perlindungan kawasan hutan, serta (4)
tersedianya peraturan-peraturan daerah yang
mendorong keberadaan dan keberlanjutan
KPH.
6. Mekanisme Investasi

Tidak dapat dipungkiri bahwa pengelolaan


KPH memerlukan dana yang besar. Suatu KPH
yang memiliki kinerja yang baik seyogianya
memiliki suatu mekanisme investasi tersebut.
Indikator adanya mekanisme investasi
yang tepat antara lain: (1) penataan hutan
telah memberikan ruang bagi berbagai
jenis investasi yang tepat dan sesuai, (2)
terbangunnya mekanisme investasi bagi
investor untuk memanfaatkan sumberdaya,
(3) telah tersedia sistem sharing biaya-manfaat
dalam pengelolaan hutan, (4) telah memilki
program investasi dalam pengelolaan hutan
yang dilaksanakan menjamin keberadaan dan
keberlanjutan investasi yang ditanamkan.
7. Mekanisme hak dan akses

Dalam memenuhi kriteria-kriteria di atas maka


kinerja KPH juga dilihat dari ketersediaan
mekanisme hak dan akses bagi stakeholder.
Indikator kinerja ini adalah: (1) tersedianya
ruang kelola bagi masyarakat secara jelas,

74

PENILAIAN KINERJA KPH

(2) tersedianya akses masyarakat dalam


memperoleh hasil, (3) keterlibatan masyarakat
secara aktif dalam kegiatan rehabilitasi dan
konservasi hutan, dan (4) tersedianya sistem
pemantauan dan pengendalian yang bersifat
akuntabel dan transparan.
8. Mekanisme penyelesaian sengketa kehutanan

Pada akhirnya suatu pengelolaan hutan


tidak pernah dapat sama sekali terlepas dari
sengketa kehutanan kepentingan dengan
pihak lain. Kinerja suatu KPH akan dinilai
berdasarkan indikator: (1) kesiapan KPH
dalam mengantisipasi sengketa kehutanan dan
penyelesaiannya (resolusi sengketa kehutanan)
dan manajemen sengketa kehutanan,
dan (2) tersedia sumberdaya manusia dan
perangkatnya dalam menyelesaikan sengketa
kehutanan dengan pihak lain.
Berdasarkan lingkup penilaiannya, kriteria dan
indikator tersebut di atas, ada yang dapat dinilai
berdasarkan penilaian administratif dan ada
pula yang harus dinilai capaian implementasi
di lapangannya. Kriteria (dan indikator) no 1,
3, 5 dan 8 dapat dinilai berdasarkan penilaian
administratif (berdasarkan dokumen-dokumen),
sementara untuk no 2, 4, 6 dan 7 harus dinilai
capaian implementasi di lapangannya.
Dalam hal upaya-upaya pembentukan KPH perlu
pula adanya penilaian kinerja pembangunan
wilayah KPH. Terdapat 3 (tiga) masalah pokok
dalam pembangunan KPH, yaitu:
1. Isi dan kelengkapan peraturan-perundangan
2. Mobilisasi sumberdaya terutama untuk
merencanakan dan menjalankan program
pihak-pihak terkait secara integratif
3. Organisasi KPH, jumlah dan kualifikasi
sumberdaya manusia.
Dengan karakteristik wilayah dan permasalahan
pembangunan KPH tersebut tersebut di atas, maka
strategi pembangunan KPH dapat dirumuskan
sebagai berikut:

Pertama, di tingkat nasional diperlukan peningkatan


kapasitas pembangunan KPH nasional. Strategi ini
bertujuan untuk mewujudkan alokasi sumberdaya
nasional bagi pembangunan KPH. Strategi ini
dilaksanakan secara terus-menerus, sampai seluruh
KPH terbangun untuk seluruh kawasan hutan.
Kedua, fokus pada upaya pembangunan
kelembagaan KPH di lapangan. Dalam
pelaksanaannya, strategi ini perlu identifikasi
kabupaten/provinsi yang relatif siap, setidaknya
dukungan politik untuk melaksanakannya.
Keberhasilan program kedua ini diperkirakan dapat
menjadi faktor penarik (pull factor) pembangunan
KPH secara nasional, terutama apabila dalam
jangka pendek, pembangunan KPH secara nyata
menjadi landasan untuk mengangkat kegiatan
ekonomi daerah.

6. Internalisasi program pembangunan KPH

Internalisasi dimaksudkan untuk menggalang


suatu kekuatan dari berbagai kalangan
yang meliputi institusi pemerintah terkait
dan para pihak lainnya (non pemerintah)
yang berkompeten dengan permasalahan
kehutanan. Internalisasi yang dimaksud
terdiri dari sosialisasi, institusionalisasi dan
penguatan kelembagaan. Indikator-indikator
yang dapat dikembangkan meliputi: (1) telah
tersosialisasikannya pembangunan KPH
yaitu upaya pembangunan kesepahaman
atas program KPH, (2) terlembagakannya20
(institutionalized) pembangunan KPH pada
semua pihak yang terkait, dan (3) adanya
upaya penguatan kapasitas organisasi KPH.
7. Mobilisasi sumberdaya

Untuk mendukung percepatan pembentukan


KPH diperlukan mobilisasi sumberdaya.
Indikator-indikator yang dapat dikembangkan
meliputi: (1) adanya konvergensi program
pembangunan kehutanan ke dalam wilayah
kelola KPH, (2) adanya kejelasan insentif
finansial dan non-finansial, (3) adanya
pengerahan dana-dana APBN/APBD/Donor,
dan pendayagunaan potensi personil yang ada
saat ini.

Dengan demikian, kinerja pembentukan wilayah


KPH provinsi dan kabupaten/kota dapat dinilai
berdasarkan beberapa kriteria dan indikator,
sebagai berikut:
4. Penguatan sistem pengurusan hutan

Sistem pengurusan hutan yang kuat merupakan


salah satu representasi keberhasilan dan
kemampuan setiap wilayah mengurus kawasan
hutannya. Program pembangunan KPH pada
dasarnya sebagai program nasional untuk
penguatan sistem pengurusan hutan nasional,
provinsi dan kabupaten/kota. Penguatan
sistem pengurusan hutan dapat dilihat
dari beberapa indikator: (1) sudah terjadi
pembentukan satuan wilayah KPH (tahap
perencanaan), (2) adanya dukungan RTRW
dalam perencanaan dan (3) terbentuknya
sekretariat kelompok kerja (POKJA) KPH.
5. Dukungan regulasi

Dukungan regulasi yang diperlukan untuk


mendukung kinerja pembangunan KPH
wilayah provinsi dan kabupaten/kota dapat
dilihat dari indikator: (1) adanya dukungan
peraturan dan perundangan yang sesuai
dengan kebutuhan pembentukan KPH, (2)
adanya kejelasan penataan ulang hubungan
pemegang hak/ijin pemerintah pemerintah
provinsi/kabupaten/kota organisasi KPH,
dan (3) penetapan standar dan kriteria
hubungan kontraktual (kemitraan) organisasi
KPH dengan mitra dan calon mitra.

8. Percepatan penetapan pembentukan KPH yang


telah siap

Hal ini dapat dilihat dari indikator: (1)


tersedianya mekanisme pendanaan yang
jelas untuk inisiasi pembangunan KPH, (2)
terbentuknya kelembagaan KPH, (3) adanya
penataan kelembagaan KPH, dan (4) terjadi
pemantapan dan peningkatan kelembagaan
KPH.
Dari penjelasan tersebut di atas, tampaknya bahwa
pembangunan KPH harus dapat terlembagakan ke
dalam seluruh pihak-pihak terkait sebagai suatu
institusi.

20

Proses pelembagaan dan pengakaran program pembangunan KPH


pada semua pihak yang terkait dengan maksud agar dalam membuat
kebijakan-kebijakan yang terkait dengan kawasan hutan para pihak tersebut
memperhatikan, mengkaitkan dan bersinergi dengan program pembangunan
KPH.
Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan
Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

75

Hal demikian itu perlu disikapi dalam bentuk


strategi, kebijakan, program dan kegiatan yang
sifatnya bukan dalam bentuk fisik di lapangan,
melainkan upaya-upaya untuk melaksanakan
pelembagaan/institusionalisasi KPH sehingga
menjadi agenda pihak-pihak terkait. Wujud
pelaksanaan institusionalisasi tersebut berupa
tindakan-tindakan untuk memecahkan 4 (empat)
masalah pokok, yaitu:
1. Sifat complexity. Kebijakan pembangunan KPH
harus mampu menginternalisasikan kegiatan
pembangunan KPH kepada berbagai pihak
yang memiliki tugas, fungsi dan kewenangan
berbeda-beda. Kompleksitas pengaturan peran
pihak-pihak perlu diwadahi dalam suatu
kebijakan, sehingga penetapan kebijakan
pembangunan KPH memerlukan keterbukaan
untuk mengundang partisipasi aktif pihakpihak tersebut
2. Sifat autonomy. Falsafah, latar belakang dan
urgensi program pelaksanaan pembangunan
KPH perlu difahami oleh semua pihak terkait.
Perkembangan pembangunan KPH sangat
ditentukan oleh kemampuan share learning oleh
pihak-pihak terkait tersebut untuk memahami
bersama seluk beluk mengenai KPH guna
mengurangi hambatan-hambatan yang
sifatnya ketidak-sepahaman dan hambatan
koordinasi yang diperlukan

3. Sifat adaptability. Seluruh pihak sebagai satu


kesatuan yang utuh perlu dapat menyesuaikan
p r o g r a m d a n ke g i a t a n ny a d e n g a n
perkembangan internal maupun eksternal
yang senantiasa dinamis. Adaptasi terhadap
perubahan tersebut sangat menentukan
kelenturan pembangunan KPH untuk
senantiasa menjadi bagian dari perubahanperubahan kondisi yang dihadapi
4. Sifat coherence. Seluruh pihak yang terkait
dengan pembangunan KPH sebagai suatu
institusi harus dapat, secara koheren,
mengelola beban kerja dan menyusun prosedur
dan jadwal sehingga terwujud kesamaan arah
dalam pembangunan KPH.

6.4 Sistem penilaian kinerja


KPH
6.4.1 Sistem tujuan pembangunan KPH
Tujuan pembangunan KPH pada dasarnya adalah
efektifitas dan efisiensi organisasi KPH dalam
mengelola wilayah tertentu. Untuk mencapai
efektivitas dan efisiensi organisasi tentu tidak
lepas dari adanya input, proses yang dilakukan,
output dan dampak dari kegiatan tersebut. Dengan
demikian tujuan pembangunan KPH merupakan
suatu kesatuan sistem tujuan yang dirinci seperti
pada Tabel 12.

Tabel 12. Sistem tujuan pembangunan KPH


Tujuan

76

KPH mampu melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara efektif dan efisien

Outcomes

Pengelolaan hutan yang meliputi kegiatan tata hutan, pemanfaatan hutan, rehabilitasi hutan, konservasi
dan perlindungan hutan dilaksanakan dengan lebih baik sesuai dengan tipologi KPH

Output

Tata hutan dilaksanakan dengan baik, hutan dapat dimanfaatkan lebih baik, kegiatan rehabilitasi
meningkat, konservasi hutan dilakukan lebih baik, dan meningkatnya kegiatan perlindungan hutan,
struktur organisasi pengelola yang mantap, efisiensi pengelolaan hutan dan penggunaan dana

Proses

Meningkatkan koordinasi dengan sektor terkait untuk sinkronisasi rencana tata ruang, memperbaiki
sistem kelembagaan pengelolaan hutan, meningkatkan mutu/kemampuan/skill dalam perencanaan
pengelolaan hutan, meningkatkan kemampuan penataan hutan, memperbaiki sistem evaluasi dan
penilaian keberhasilan pengelolaan hutan, memperbaiki sistem rehabilitasi hutan, memperbaiki sistem
pemanfaatan hutan, memperbaiki sistem konservasi hutan, memperbaiki sistem perlindungan hutan,
meningkatkan akuntabilitas dan transparansi pengelolaan hutan

Input

Kawasan hutan, peta, metode, sumberdaya manusia, dana, peraturan dan perundangan, teknologi

PENILAIAN KINERJA KPH

6.4.2 Sistem penilaian kinerja


pembangunan KPH

1. Mengkaji kecukupan persyaratan dan proses


yang diharuskan untuk pembangunan KPH.

Secara garis besar, sistem penilaian yang digunakan


untuk menilai kinerja pembangunan KPH
dirancang sedemikian rupa sehingga memudahkan
proses penilaian. Sistem penilaian ini terdiri
dari tujuan penilaian, kegunaan penilaian, tools
penilaian yang digunakan, proses penilaian,
pihak penilai dan dampak penilaian (intervensi
dan insentif yang akan ditetapkan). Skema sistem
penilaian kinerja pembangunan KPH disajikan
pada Gambar 10.

2. Mengkaji kepatuhan/keefektifan persyaratan


dan proses yang dilakuk an dalam
pembangunan KPH.
3. Mengk aji dan menilai (judgement)
seberapa baik sasaran/target rencana proses
pembangunan KPH yang telah terpenuhi
4. Mengkaji keberadaan penyimpangan
persyaratan, sasaran dan proses pembangunan
KPH.

Penilaian kinerja dimulai dengan penilaian


6.4.3 Pelaku penilaian
dokumen (desk assessement) oleh tim penilaian yang
independen. Penilaian di atas meja ini bertujuan
Penilaian proses pembangunan KPH dilakukan
untuk memperoleh gambaran awal dari kinerja
oleh tim independen yang ditunjuk oleh
pembangunan KPH. Setelah penilaian di atas meja
pemegang otoritas pembinaan dan pengendalian
selesai, selanjutnya dilakukan kunjungan lapangan
sesuai dengan kewenangannya. Tim independen
ke masing-masing KPH. Gabungan penilaian di atas
beranggotakan individu atau lembaga yang
meja dan kunjungan lapangan akan menghasilkan
SistempenilaiankinerjapembangunanKPH
tingkat capaian6.4.2.
pembangunan
KPH tertentu dan
memiliki kompetensi penilaian kinerja proses
rekomendasi untuk
dan
dan kegiatan
di bidang
kehutanan.
Selain itu,
Secarapenguatan
garis besar,kapasitas
sistem penilaian
yang
digunakan
untuk menilai
kinerja
kapabilitas institusi
KPH.
Berdasarkan
hasil
ini,
pembangunan KPH dirancang sedemikian
rupa
sehingga
memudahkan
peran serta
aktif
masyarakat
sangat diperlukan,
maka pihak yang
berwenang
dapat menetapkan
proses
penilaian.
Sistem penilaian
ini terdiri
dari tujuan
penilaian,
karena
pada akhirnya
tujuan
pembangunan
jenis intervensikegunaanpenilaian,toolspenilaianyangdigunakan,prosespenilaian,pihak
dan insentif yang akan diberikan
KPH adalah untuk meningkatkan kesejahteraan
kepada KPH.
penilai dan dampak penilaian (intervensi
dan insentif
yang
akan
masyarakat. Untuk
itu penataan
peran
masyarakat
ditetapkan).

Skema
sistem
penilaian
kinerja
pembangunan
KPH
disajikan
dalam penilaian kinerja pembangunan KPH perlu
Adapun tugas dan fungsi penilaian kinerja
padaGambar10.
ditetapkan.
pembangunan KPH
adalah:

PROGRAM
PENGUATAN

PERANGKAT
PERANGKAT
K&I
K&I

LAPANGAN

DINAS
DINAS

KPH
KPH

Independen

TIM PENILAI

DOKUMEN

5
INTERVENSI
INTERVENSI
DAN
DAN
INSENTIF
INSENTIF

DEPDAGRI,
DEPDAGRI,
DEPHUT,
DEPHUT,
PEMPROV
PEMPROV
PEMKAB
PEMKAB
MASYARAKAT
MASYARAKATLUAS
LUAS
LEMBAGA
LEMBAGALAIN
LAIN

Gambar 10. Skema


sistem penilaian pembangunan KPH
Gambar10.Skema Sistem Penilaian Pembangunan KPH (nomor Urut
(nomor Urut menyatakan tahapan proses penilaian)
menyatakanTahapanProsesPenilaian).

Penilaiankinerjadimulaidenganpenilaiandokumen(deskassessement)oleh
Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan
timpenilaianyangindependen.Penilaiandiatasmejainibertujuanuntuk
Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi
memperoleh gambaran awal dari kinerja pembangunan KPH. Setelah
penilaiandiatasmejaselesai,selanjutnyadilakukankunjunganlapanganke

77

6.4.4 Tahapan penilaian


Rentang waktu proses pembangunan KPH mulai
dari penetapan unit KPH oleh Menteri Kehutanan
sampai dengan terbangunnya kapasitas dan
kapabilitas KPH yang diharapkan. Jadwal penilaian
pembangunan KPH terdiri dari:
1. Pe n i l a i a n aw a l p e m b a n g u n a n K P H
(baseline assessment), yaitu penilaian kinerja
pembangunan KPH dalam periode awal
(misalnya 1 tahun) setelah Surat Keputusan
Penetapan KPH dikeluarkan
2. Penilaian pertengahan pembangunan
(midterm assessment), yaitu penilaian kinerja
pembangunan KPH setelah beberapa tahun
pelaksanaan pembangunan KPH (misalnya
3 tahun). Penilaian antara ini dapat juga
dilakukan setiap tahun (annual assessment)
3. Penilaian akhir pembangunan (final assessment),
yaitu penilaian yang dilakukan pada periode
waktu terbangunnya kapasitas dan kapabilitas
KPH atau KPH telah berada pada posisi tahap
mantap. Diperkirakan tahap mantap tersebut
akan tercapai pada tahun ke-5 pembangunan
KPH.

6.4.5 Capaian dan intervensi


Capaian atau kinerja pembangunan KPH
menyatakan tingkat pemenuhan KPH terhadap
kriteria proses pembangunan yang telah ditetapkan.
Capaian ini juga menunjukkan tingkat keberhasilan
KPH dalam melaksanakan tugas pokok dan
fungsinya. Sedangkan intervensi yang dimaksud
bukan merupakan sanksi (punishment), melainkan
merupakan masukan sumberdaya dan insentif (feed
back) kepada KPH tertentu agar dapat mencapai
kondisi yang diinginkan (Gambar 11). Capaiancapaian tersebut meliputi:
Capaian IV (kondisi ideal) adalah kondisi dimana
KPH mampu melaksanakan proses pembangunan
yang semestinya, atau dengan kata lain hampir
semua atau semua kriteria proses pembangunan
KPH telah terpenuhi (hampir 100% kriteria telah
terpenuhi).
Capaian III adalah kondisi dimana beberapa kriteria
proses pembangunan KPH belum terpenuhi, atau
dengan kata lain 75% kriteria proses pembangunan
KPH telah terpenuhi.

78

PENILAIAN KINERJA KPH

Capaian II adalah kondisi dimana KPH baru mampu


melaksanakan sebagian dari proses pembangunan
yang semestinya, atau dengan kata lain baru 50%
kriteria proses pembangunan KPH telah terpenuhi.
Capaian I adalah kondisi dimana KPH belum
mampu melaksanakan proses pembangunan yang
semestinya, atau dengan kata lain baru 25%
kriteria proses pembangunan KPH telah terpenuhi.
Merujuk pada capaian-capaian sebagaimana
dijelaskan di atas, maka kriteria dan indikator yang
dikembangkan perlu dikuantifikasi dengan nilainilai tertentu. Pendekatan kuantitatif demikian
memerlukan ketaatan terhadap azas-azas analisis
kuantitatif yang meliputi pembangkitan data dan
informasi, penyajian dan metode analisis data, dan
penarikan kesimpulan. Namun demikian, sering
terjadi bahwa teknik analisis kuantitatif demikian
tidak dapat menjelaskan fenomena secara akurat.
Untuk itu, walaupun penilaian dikembangkan
dengan metode kuantitatif, penjelasan-penjelasan
yang bersifat kualitatif tetap diperlukan.

Keadaan yang
diinginkan

Capaian IV
(standar ideal)

Saran dan upaya 4

Capaian III

Saran dan upaya 3


Penjaminan Mutu
Pengelolaan KPH

Capaian II

Saran dan upaya 2

Capaian I

Saran dan upaya 1

Mulai
(Kondisi 0)

Keadaan awal

Keterangan:
= Penilaian

Gambar 11. Capaian pembangunan KPH

dan tingkatan intervensi yang


diperlukan

BAB 7

ASPEK SOSIAL DAN


KEPEMERINTAHAN
Tipologi masalah sosial

Tipologi organisasi dan kepemerintahan KPH

Masalah pokok yang timbul di bidang kehutanan


sebagaimana dijabarkan dalam Bab-bab sebelumnya
merupakan resultante dari penyelenggaraan
pengurusan hutan oleh negara, yang dijabarkan
menjadi birokrasi, regulasi dan kebijakan
pemerintah untuk mengarahkan perilaku para
aktor pembangunan kehutanan, serta adanya
keragaman tafsir mengenai pengurusan hutan
oleh para pemangku kepentingan. Ketimpangan
struktur dan proses, dimana kekuasaan,
kewenangan, kerjasama dan konflik diartikulasikan
untuk mengendalikan pengambilan keputusan
dan penyelesaian keberatan mengenai alokasi
sumberdaya hutan dan penggunaannya melalui
interaksi antar organisasi dan lembaga sosial,
baik pemerintah, non pemerintah, formal
maupun informal, menggambarkan lemahnya
kepemerintahan bidang kehutanan di Indonesia
di Indonesia.
Kepemerintahan yang baik di bidang kehutanan
(good forestry governance) seharusnya dicirikan
oleh adanya kelembagaan pengurusan hutan
yang menggambarkan keseimbangan peran dan
tanggungjawab pemerintah, dunia usaha dan
masyarakat madani, serta ditopang oleh kebijakan
yang dapat dipertanggung-gugatkan dan lembaga
penegakan hukum yang dapat dipercaya. Secara
menyeluruh, tata keperintahan kehutanan yang
baik dapat dikaji dari penyelengaraan urusan
kehutanan yang idealnya menerapkan 14 prinsip
berikut (Bappenas, 2007):
1. Visi ke depan
2. Keterbukaan dan transparansi
3. Partisipasi publik
4. Tanggung-gugat (accountability)
5. Supremasi hukum
6. Demokrasi
7. Profesionalisme dan kompetensi
8. Daya tanggap
9. Efisiensi dan efektivitas
10. Desentralisasi
11. Kemitraan dunia usaha dengan masyarakat
12. Komitmen untuk mengurangi kesenjangan
13. Komitmen terhadap kelestarian lingkungan
hidup
14. Komitmen terhadap pasar yang adil.

Kinerja penyelenggaraan kehutanan sebagaimana


dimandatkan dalam Pasal 33 UUD 1945 dan
dijabarkan melalui UU No 41 Tahun 1999 tentang
kehutanan, serta diimplementasikan melalui koridor
pemerintahan daerah sebagaimana dimandatkan
dalam UU 32 Tahun 2004, merupakan wujud
impelementasi pelayanan publik oleh negara
di bidang kehutanan. Adopsi prinsip-prinsip
kepemerintahan yang baik dalam implementasi
pengurusan hutan merupakan prasyarat agar
pelayanan publik di bidang kehutanan dapat
memuaskan seluruh pihak yang berkepentingan
terhadap hutan dan kehutanan. Berbagai sumber
yang menggambarkan situasi kepemerintahan
kehutanan menunjukkan terdapatnya berbagai
permasalahan yang komplek sebagai berikut:

1. Akar masalah yang dihadapi dalam mewujudkan


kinerja pengurusan hutan yang baik terfokus
pada masalah prakondisi, antara lain: konflik
kebijakan penataan ruang, lemahnya penegakan
hukum, rendahnya kapasitas pengurusan
hutan, serta ketiadaan institusi pengelola untuk
kawasan hutan produksi dan hutan lindung
2. Ditinjau dari struktur dan institusi pengurusan
hutan, masih terdapat berbagai permasalahan
mendasar yang menyebabkan rendahnya kinerja
kehutanan, antara lain: dominasi keputusan
oleh elit politik dan swasta; lemahnya
pengakuan kedaulatan masyarakat madani;
lemahnya tata hubungan kerja penyelenggaraan
kehutanan antara pusat-provinsi-kabupaten/
kota; lemahnya kapasitas dan kompetensi
instansi kehutanan daerah; serta lemahnya
koordinasi lintas sektor
3. Ditinjau dari proses pengambilan keputusan,
kepemerintahan kehutanan masih dicirikan
oleh: pengingkaran supremasi hukum
oleh lembaga penegakan hukum, pelaku
pembangunan kehutanan dan masyarakat;
lemahnya transparansi dan partisipasi;
rendahnya daya tanggap, efisiensi dan efektivitas
program pemerintah; serta pengingkaran
tanggungjawab sosial dan lingkungan oleh
pemerintah dan swasta
4. D a r i s i s t e m n i l a i p e n y e l e n g a r a a n
kepemerintahan, kehutanan masih dicirikan
oleh: rendahnya komitmen untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat; rendahnya komitmen
untuk kelestarian hutan dan lingkungan; serta
rendahnya komitmen pada pengelolaan barang
publik

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

81

5. Dari persepsi para pihak diketahui bahwa


pelayanan publik di bidang kehutanan belum
memenuhi prinsip-prinsip kepemerintahan
yang baik, kecuali untuk prinsip visi ke depan
serta beberapa elemen prinsip keterbukaan
dan transparansi
6. Seluruh pihak sepakat bahwa hampir seluruh
unsur pengurusan hutan belum memenuhi
prinsip akuntabilitas dan supremasi hukum.
KPH sebagai instrumen legal untuk meningkatkan
kemantapan kawasan hutan dan menjamin
eksistensi institusi pengelola hutan di lapangan,
walaupun telah dimandatkan dalam UU 41
Tahun 1999, namun masih dianggap barang baru
dalam kepemerintahan kehutanan. Di tingkat
tapak, pembentukan wilayah KPH diwarnai oleh
tingginya tingkat konflik dengan masyarakat,
baik masyarakat adat, masyarakat lokal, maupun
masyarakat umum yang memiliki kepentingan
terhadap kawasan hutan. Dalam Bab 3 telah
disinggung bahwa seluas 17,6 juta Ha 24,4 juta Ha
kawasan hutan telah menjadi ajang konflik berupa
tumpang-tindih klaim hutan negara dan klaim
masyarakat adat atau masyarakat lokal lainnya,
pengembangan desa/kampung, serta adanya izin
sektor lain yang dalam praktiknya terletak dalam
kawasan hutan. Dalam konteks ini, pembentukan
KPH yang dilandaskan pada ketentuan hukum
mengenai kawasan hutan, seringkali dibenturkan
dengan proses penataan ruang yang kental dengan
isu pelepasan kawasan hutan.

7.1 Tipologi masalah sosial


Realitas kawasan hutan yang bersifat open
access serta lemahnya kemantapan kawasan
akibat rendahnya pengakuan oleh masyarakat
telah menyebabkan permasalahan sosial yang
komplek, berakar pada kondisi sosial-budaya
masyarakat adat, kebutuhan pokok untuk hidup
layak dan kemiskinan, serta situasi ekonomi yang
menggerakkan berbagai aktivitas haram di dalam
kawasan hutan. Tabel 13 memberikan contoh
beberapa masalah sosial yang dihadapi oleh
beberapa KPH, termasuk KPH di Perum Perhutani
Jawa Timur.

82

ASPEK SOSIAL DAN KEPEMERINTAHAN

Dari situasi pada Tabel 13 dan informasi lainnya,


tipologi masalah sosial di dalam wilayah KPH dapat
dikelompokkan sebagai berikut:
1. Konflik Tenurial Berat: masalah ini dicirikan
oleh adanya alas hak yang kuat dari
masyarakat, baik secara hukum adat maupun
hukum posistif. Dalam banyak kasus masalah
keterlanjuran akibat terjadinya pembiaran
juga menjadi penyebab bagi masalah tenurial
berat ini
2. Konf lik Tenurial Ringan: masalah ini
dicirikan oleh adanya penguasaan lahan yang
dapat dibuktikan kelemahan alas haknya.
Masalah ini umumnya timbul sebagai akibat
kemiskinan atau dorongan untuk memenuhi
kebutuhan pokok untuk hidup layak, namun
kepemilikan lahan masyarakat di luar kawasan
hutan tidak mampu menopang kehidupannya
3. Masalah Akses Terhadap Sumberdaya
Hutan: masalah ini dicirikan oleh adanya
pemanfaatan sumberdaya hutan tanpa adanya
klaim penguasaan lahan di dalam kawasan
hutan. Masalah akses ini biasanya memiliki
bukti kesejarahan yang yang secara rasional
dapat dipertanggungjawabkan
4. Masalah Aktivitas Haram: Masalah ini
dicirikan dengan penguasaan lahan dan/atau
akses terhadap sumberdaya hutan yang tidak
memiliki alas hak kuat atau tidak memiliki
bukti kesejarahan yang secara rasional dapat
dipertanggungjawabkan.

Tabel 13. Masalah sosial yang dihadapi beberapa KPH


No.

Nama KPH

Kondisi Umum KPH

Tenurial

Sosial-Ekonomi

1.

KPH Rinjani Barat

Wilayah kerja KPHL Rinjani Barat Kasus sertifikasi tanah di kawasan 70% masyarakat yang bermukim
hutan yang perlu dilakukan proses
di lingkar Rinjani tergolong
menurut fungsi hutan terdiri dari
miskin
hutan lindung (HL) seluas 28.911
hukum. Sertikasi hutan tersebut
dilakukan BPN melalui program K e b u t u h a n k a y u b a k a r
Ha, hutan produksi terbatas
meningkat untuk memasak dan
(HPT) seluas 6.997 Ha dan hutan
PRONA tahun 1984 di Rempek
seluas 82 Ha. Ada kekecewaan
pengeringan tembakau
produksi tetap (HP) seluas 5.075
dari masyarakat karena Sertifikasi Penebangan liar dan Perambahan
Ha.
karena meningkatnya kebutuhan
Kondisi vegetasi:
lahan oleh BPN tidak mengakomodir
masyarakat tehadap lahan
keberadaan masyarakat.
Lahan kosong (15%) =
garapan untuk pembangunan
96% nama yang tercantum dalam
6.147 Ha,
non kehutanan seiring dengan
Alang-alang & belukar (20%)
sertifikat adalah orang luar yang
pertambahan penduduk
mempunyai kedekatan dengan
= 8.197 Ha
oknum-oknum yang berpengaruh Ada indikasi illegal mining
Hutan rawang (25%) =
(penggunaan kawasan hutan
10.246 Ha
pada saat itu, sedangkan nama
untuk kegiatan PETI)
masyarakat hanya 4 orang
Hutan sedang-rapat (40%)
Banyak lahan yang telah digarap
masyarakat sejak lama.

2.

KPH Banjar

Wilayah kerja KPH Banjar Penguasan lahan berupa terbit nya Penyerobotan lahan
menurut fungsi hutan terdiri dari
Tambang liar
(SKT)
Hutan Lindung seluas 42.090 Banyak lahan yang di klaim oleh
ha, Hutan Produksi Terbatas
masyarakat untuk berladang dan
seluas 25.354 ha, dan Hutan
dijadikan tambang
Produksi Tetap seluas 72.513
ha
Penutupan lahan berdasarkan
hasil interpretasi SPOT 5 tahun
2007:
Lahan terbuka bekas tambang
seluas 1.892,95 ha (1,35%),
Bekas tebangan/LOA seluas
47.828,20 ha (34,17%),
Alang-alang campur semak
seluas 54.732,86 ha (39,11%),
Semak belukar sampai belukar
tua 22.545,89 ha (16,11%),
Virgin forest seluas 413,4 ha
(0,30%).

3.

KPH Yogyakarta

Wilayah kerja KPH Yogyakarta


menurut fungsi hutan terdiri dari:
Hutan Produksi seluas
13.411,70 ha
Hutan lindung seluas 2.312,80
ha
Tahura seluas 634,10 ha

Masih banyak masyarakat yang


tergolong pra sejahtera

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

83

No.

Nama KPH

Kondisi Umum KPH

Tenurial

Perebutan lahan kelola


K e t e r g a n t u n g a n / i n t e r a k s i
masyarakat terhadap sumber
daya hutan masih cukup
tinggi, hal ini ditandai dengan
kebutuhan masyarakat terhadap
kayu bakar (perencekan),
pemanfaatan lahan dibawah
tegakan (penanaman emponempon hijauan makanan
ternak), penggarapan lahan pada
tanaman rutin (tumpangsari).

4.

Perum Perhutani Rencana pengelolaan Hutan KPH


Unit II Jawa Timur,
Madiun seluas 31.221,62 Ha
KPH Madiun
terbagi menjadi Kelas Perusahaan
Jati 27.528,20 Ha dan Kelas
Perusahaan Kayu Putih 3.736,10
Ha.
Menurut fungsinya, kawasan
hutan KPH Madiun dapat
dibedakan ke dalam tiga
kelompok, yaitu kawasan lindung
(6.877,64 Ha/22,03%), areal
tidak efektif untuk produksi
(1.055,085 Ha/3,38%), dan
areal efektif untuk produksi
(23.289,948 ha/74,59%).

5.

KPH Model
Luasnya 12.500 ha, sebagian Adanya tuntutan dari masyarakat
Register 47 Way
berasal dari areal pengganti
untuk mengkonversi lahan pengganti
pelepasan kawasan hutan yang
Terusan Kabupaten
PT. BS3 yang dalam sejarahnya
Lampung Tengah
diperuntukkan pada PT. BS3
merupakan lahan marga milik
seluas 10.500 dan sisanya dari
masyarakat adat di 3 desa. Dasar
kawasan hutan itu sendiri.
tuntutannya kondisi lahan sudah
Kondisi biofisik sudah dalam
bukan berupa hutan dan awalnya pun
keadaan rusak berat, penutupan
bukan berstatus hutan, melainkan
vegetasi tetap berupa tanaman
areal pengganti dari PT BS3.
hutan sudah tidak ditemukan lagi Adanya tumpang tindih lahan,
di lapangan.
dimana sejumlah 300 orang
Sampai saat ini semua wilayah
masyarakat (program transmigrasi)
register 47 Way Terusan
ditempatkan dalam areal seluas 350
telah dibuka dan digarap oleh
Ha untuk menjadi satuan pemukiman
masyarakat.
(SP3) yang ternyata wilayah
Secara umum wilayah terbagi
pemukimantersebut masuk dalam
menjadi Areal Pemukiman;
areal Register 47 Way Terusan.
Peladangan/Perkebunan; dan
Rawa.

Dari keragaman tipologi masalah sosial antar


KPH, tidak ditemukan strategi generik yang
dapat menyelesaikan masalah sosial. Beberapa
arahan strategis yang mungkin dapat diadopsi dan
disesuaikan menurut tipologi masalah sosial yang
ada di KPH antara lain:
1. Melokalisir seluruh areal konflik tenurial
berat menjadi daerah tidak efektif produksi
sebagai kebijakan transisi dan secara
bertahap membangun kolaborasi untuk
mengoptimalkan pencapaian tujuan
pengelolaan hutan lestari

84

ASPEK SOSIAL DAN KEPEMERINTAHAN

Sosial-Ekonomi

2. Mengembangkan tata ruang mikro bersama


masyarakat untuk menyepakati norma
pemanfaatan masing-masing fungsi ruang
yang disepakati dengan masyarakat
3. Merekomendasikan penyelesaian hukum
melalui mekanisme revisi tata ruang pada areal
konflik tenurial berat yang tidak mungkin
dipertahankan sebagai kawasan hutan
4. Mengakomodasikan askes masyarakat
terhadap sumberdaya hutan dengan menata
ulang norma pemanfaatan sumberdaya
tersebut sesuai prinsip kelestarian

5. Mengembangkan mekanisme pengakuan hak


kelola masyarakat pada areal konflik tenurial
berat/ringan dalam kerangka pengelolaan
hutan lestari. Mekanisme ini merupakan
dasar bagi pengelola KPH untuk menyusun
rekomendasi perijinan yang relevan dengan hak
dan akses masyarakat terhadap sumberdaya
hutan, misalnya: hutan desa, HKm, HTR, dan
pengakuan hutan adat
6. Melakukan penegakan hukum untuk seluruh
masalah yang berkaitan dengan aktivitas
haram.

7.2 Tipologi organisasi dan


kepemerintahan KPH
Dari seluruh wilayah KPH yang telah dibentuk,
hanya 15 KPH yang telah memiliki institusi
pengelola, seluruhnya dalam bentuk UTPD Dinas
Kehutanan, baik Provinsi maupun Kabupaten.
Setidaknya terdapat dua model struktur organisasi
KPH sebagaimana disajikan pada Gambar 12. dan
13. Nampak bahwa struktur organisasi UPTD
tersebut belum sesuai dengan tugas pokok dan
fungsi KPH sebagai pengelola hutan. Peraturan
Menteri Dalam Negeri tentang organisasi telah
memberikan payung bagi pembentukan organisasi
KPH, sehingga organisasi yang saat ini ada harus
disesuaikan.

Kepala Balai KPH

Klpk Fungsional

KSBTU

Kasi Budidaya
& Produksi

Kasi Pengolahan
& Pemasaran

Kepala UPT

Tata Usaha
Tenaga
Fungsional

Gambar 13. Struktur organisasi KPHP


Banjar

Dengan struktur organisasi seperti disajikan pada


Gambar 12. dan 13. KPH masih menghadapi
berbagai permasalahan sebagaimana disajikan
pada Tabel 14.
Dibandingkan dengan struktur organisasi yang
diamanatkan oleh Permendagri No.61 Tahun
2010, terdapat perbedaan, dimana pengelolaan
teritorial unit terkecil dijalankan oleh resort dan
organisasi KPHP/KPHL akan bertanggungjawab
kepada Gubernur atau Bupati, bukan Kepala Dinas
Kehutanan. Baik struktur organisasi lama maupun
baru menganggap penting kelompok jabatan
fungsional untuk menjalankan berbagai fungsi
pengelolaan hutan. Hubungan organisasi KPH
dengan Dinas Kehutanan, organisasi perangkat
daerah lain, instansi kehutanan di daerah dan para
pemegang ijin dikembangkan berdasarkan prinsip
koordinasi, integrasi dan sinkronisasi pada lokus
wilayah KPH. Permasalahan fundamental yang
mungkin muncul dalam mengimplementasikan
struktur organisasi baru adalah masalah
kompetensi SDM dan pendanaan, serta tata
hubungan kerja antara KPHP/KPHL dengan
instansi lain yang terkait dengan kehutanan.

Gambar 12. Struktur organisasi KPHL


Rinjani Barat

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

85

Tabel 14. Masalah organisasi dan kepemerintahan yang dihadapi di beberapa KPH
No.

Nama KPH

1.

KPH Rinjani
Barat

Penggunaan Ka- Keterbatasan Struktur or- Belum diketahuinya data/peta/


Pusat:
informasi detail kawasan hutan
Pembiayaan untuk kewasan Hutan untuk
ganisasi di tingkat lapangan
menara telekomuniseperti BKPH/RPH/Mandor
meliputi potensi hutan, kondisi
giatan patroli gabungan,
dan permasalahan sosial ekonopelatihan KKPH dan
kasi, PDAM, PLTMH Tupoksi jabatan dalam orgami budaya masyarakat sekitar
nisasi belum sesuai dengan
tenaga teknis, pemba- KHDTK Hutan Pendidikan UNRAM
kebutuhan manajemen
hutan areal kerja KPHL Rinjani
ngunan persemaian unBarat
tuk penanaman 350 ha Usulan Pencadang- Sarana Prasarana terbatas
an untuk HKm dan Tenaga teknis terbatas
Batas luar dan batas fungsi
Rencana penataan hutan
kawasan hutan sebagian besar
HTI
Keterbatasan tata hubungan
2011 (40.983 Ha)
sudah hilang dan rusak, hal terkerja yang membatasi komu Rencana rekonstruksi
nikasi dan hubungan antar
sebut karena tenggang waktu
Batas 2011 (92,21 Km)
penataan batas rata-rata diatas
stakeholder
Provinsi:
10 (sepuluh) tahun
Belum disusunnya prosedur
Sosialisasi KPH
operasional standar kegi- Belum dilakukan penataan hu pembiayaan penanaman
tan meliputi tata blok dan petak.
atan KPH
bambu (10 ha)
Kegiatan tata hutan yang per Masih lemahnya kemampuan
penanaman rumput kenah dilaksanakan terbatas pada
teknis para pihak dalam fasilitak (5 ha)
kegiatan program PHTUL dana
tasi pengembangan organisa Patroli Rutin 2011
Ditjen BPK. Hasil tata petak yang
si dan kurangnya kesempatan
Rencana Rehabilitasi
terdokumentasikan pada KPHL
untuk belajar terkait dengan
Hutan Lindung (200 ha)
Rinjani Barat tercatat seluas
pengembangan organisasi
Rencana budidaya gahaKPH
977 Ha (3,4% dari luas KPHL)
ru (25 ha)
Sebagian besar kawasan hutan
Pihak Lain:
kondisinya kritis (lahan kosong,
LSM Konsepsi
padang alang-alang dan hutan
KSM Bareng Maju/KSU
rawang) dengan potensi rendah,
RIMBA
sebagai akibat pencurian kayu,
LSM Mitrasamiya
perambahan, perladangan dan
Kemitraan/Partnership
penyerobotan hutan

2.

KPH Banjar

APBD

86

Pendanaan

Bentuk Pemanfaatan
Lahan dan
Keberadaan
Pemegang Ijin

Masalah Organisasi

Informasi Lain

6 lokasi IUPHHK
Kelembagaan KPHP Model Investasi tidak aktif (3 HTI dan
1 KHDTK Litbanghut
Banjar masih berbentuk
1 HPH) sehingga banyak lahan
34 buah Desa
UPTD, sehingga tupoksinya
konsesi yang tidak terkelola.
7 lokasi transmigrahanya sebagai pelaksana Potensi kawasan hutan rendah.
si dan
teknis dari bidang-bidang Batas luar dan dalam dari ka 1 bekas tambang
yang ada.
wasan hutan belum ada
Kapasitas SDM masih kurang
Sarana prasarana terbatas

ASPEK SOSIAL DAN KEPEMERINTAHAN

No.

Nama KPH

3.

KPH
Yogyakarta

Pendanaan

Bentuk Pemanfaatan
Lahan dan
Keberadaan
Pemegang Ijin

Masalah Organisasi

Anggaran tahun 2009 Tahura Bunder Tata hubungan kerja belum


(617 ha). Di dalam
dan 2010 terbatas pada
dibakukan dalam peraturan
dana APBD Provinsi.
kawasan Tahura
namun baru dalam forum
Fokus anggaran APBD
tersebut terdapat
koordinasi UPT-Dep. Dan
beberapa peman80% terkait pada pemSKPD provinsi DIY. Masih
bangunan pabrik kayu
faatan seperti:
banyak kegiatan operasional
pabrik minyak kayu
putih karena memberiyang dilaksanakan Dinas
putih, Kawasan Hu- Belum memiliki RKU KPH
kan hasil PAD, sementara pembangunan untuk
tan Dengan Tujuan Standar kinerja pengelolaan
Khusus Puslitbang
kawasan pada BDH dan
hutan belum disusun
Departemen Kehu- Sarana prasarana masih
RPH masih rendah
Fasilitasi dana kementetanan, bumi perketerbatas
mahan, rest area, Tupoksi jabatan dalam orgarian kehutanan melalui
balai pembibitan,
dana dekonsentrasi tidak
nisasi belum sesuai dengan
terdistribusi pada KPH
dan kebun benih.
kebutuhan manajemen
K a y u
p u t i h Penyusunan perencanaan
(4.176,2Ha) terdiri
program dan kegiatan tahun3691,55 Ha di areal
an masih mengacu pada
HP dan 484,65Ha di
Rencana Strategi Dinas Keareal HL
hutanan dan Perkebunan
KHDTK/Kawasan Proses penganggaran masih
Hutan Pendidikan
berada di Dishutbun sehingdan Penelitian
ga tidak mempunyai otoritas
Wanagama I yang
dalam pengelolaan dan pedikelola Fakultas
manfatan kehutanan, jumlah
Kehutanan UGM
anggaran APBD untuk Balai
(599.70 Ha)
KPH Yogyakarta juga relatif
KHDTK/hutan peneterbatas
litian Playen yang Kelembagaan KPH masih
dikelola oleh pihak
dapat sepenuhnya mengacu
Badan Penelitian
pada PP 6/2007 yang berdan Pengembangan
basis kewilayahan dengan
Departemen Keadanya benturan dengan PP
hutanan (100.6 Ha)
41/2007
Hutan Kemasya- Kedudukan BDH dan RPH berakatan/HKm
lum terakomodir dalam perda
(1.061,55 Ha)
36/2008
Hutan Tanaman Ra- Formasi mandor belum ada,
kyat/HTR (327.73
sementara banyak yang
Ha)
pensiun
Pengembangan Mo- Dukungan fasilitasi dari Kedel (118 Ha)
mentrian Kehutanan belum
SILIN (94 Ha)
terdistribusi pada KPH
Organisasi Pelaksana kegiatan pada tingkat tapak
berjalan kurang efektif karena adanya tumpang tindih
dalam melaksanakan tugas
yang sama

Informasi Lain
Di wilayah Kabupaten Gunungkidul terdapat potensi kawasan
hutan negara berupa tanahtanah hutan AB seluas 1.773,01
ha yang sampai saat ini belum
dilakukan penataan hutan khususnya kegiatan pengukuhan
hutan. Kawasan hutan AB yang
sudah dilakukan penataan tata
batas luar oleh Kantor Wilayah
Kehutanan Provinsi D.I. Yogyakarta pada periode 1990-1998
dan BPKH wilayah XI JawaMadura tahun 2007-2009 adalah
1.122 ha.
Tata batas belum terselesaikan
Kawasan HL belum terbagi dalam blok perlindungan dan blok
pemanfaatan
Pembagian petak yang proporsional dengan pertimbangan
management dan administrasi
belum ada kriterianya.

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

87

No.

Nama KPH

4.

Perum
Perhutani
Unit II Jawa
Timur, KPH
Madiun

88

Pendanaan

Bentuk Pemanfaatan
Lahan dan
Keberadaan
Pemegang Ijin

Dana Perhutani

ASPEK SOSIAL DAN KEPEMERINTAHAN

Masalah Organisasi

Informasi Lain

Terbatasnya kualitas dan ku- Penandaan batas antara kawasan-non kawasan, antar blok,
antitas SDM
antar petak belum sepenuhnya
Sarana prasarana dan pendanaan yang belum memadai
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
Pengesahan LHP atas kayu
bulat yang diproduksi oleh Keberadaan kawasan kelola
yang bersinggungan dengan
Perum Perhutani dilakukan
kawasan pemukiman masyaraoleh Petugas Perum Perhukat semakin menambah resiko
tani, sehingga ada peluang
gangguan keamanan terutama
terjadinya penyimpangan
kebutuhan lahan, lapangan kerja
dalam pembayaran PSDH
dan tingkat perekonomian ma(pembayaran PSDH tidak
syarakat yang dibawah standar.
sesuai dengan produksi riil)
Belum ada kelembagaan Selama satu dekade terakhir,
terdapat penurunan bonita
setingkat Kepala Seksi yang
tanah pada beberapa wilayah
menangani Pengelolaan
tegakan. Upaya-upaya untuk
lingkungan secara khusus,
meningkatkan kesuburan tanah
sehingga kurang efektif seserta pemupukan yang ramah
bagaimana prasyarat dalam
lingkungan kurang mendapat
memperoleh sertifikasi PHL
perhatian.
Belum tercapainya target untuk
mendapatkan Sertifikat dalam
skema FSC, dikarenakan masih
jauhnya standar yang harus dipenuhi dalam melaksanakan kelola hutan lestari di KPH Madiun.

BAB 8

RENCANA AKSI DAN


IMPLEMENTASI NASIONAL

Strategi dan kebijakan


Program dan kegiatan

Pembangunan KPH perlu disikapi dalam bentuk


strategi, kebijakan, program dan kegiatan yang
sifatnya bukan dalam bentuk fisik di lapangan,
melainkan upaya-upaya untuk melaksanakan
pelembagaan/institusionalisasi KPH sehingga
menjadi agenda pihak-pihak terkait. Wujud
pelaksanaan institusionalisasi tersebut berupa
tindakan-tindakan untuk memecahkan 4 (empat)
masalah pokok, yaitu:

tertentu, yaitu Direktorat Wilayah Pengelolaan


dan Penyiapan Areal Pemanfaaatan Kawasan
Hutan (Dulu: Pusat Wilayah Pengelolaan Hutan,
Badan Planologi Kehutanan), Ditjen Planologi
Kehutanan.

1. Sifat complexity. Kebijakan pembangunan KPH


harus mampu menginternalisasikan kegiatan
pembangunan KPH kepada berbagai pihak
yang memiliki tugas, fungsi dan kewenangan
berbeda-beda. Kompleksitas pengaturan peran
pihak-pihak perlu diwadahi dalam suatu
kebijakan, sehingga penetapan kebijakan
pembangunan KPH memerlukan keterbukaan
untuk mengundang partisipasi aktif pihakpihak tersebut

Membangun KPH adalah membangun


kelembagaan, dalam pengertian aturan main
maupun organisasi. Membangun kelembagaan
adalah membangun barang publik (public
goods), sehingga permasalahannya terletak pada
kewenangan, kemampuan maupun kemauan
politik lembaga-lembaga publik yang terkait, baik
secara sendiri-sendiri maupun kemampuannya
untuk mengorganisasikan satu dengan lainnya.

2. Sifat autonomy. Falsafah, latar belakang dan


urgensi program pelaksanaan pembangunan
KPH perlu difahami oleh semua pihak terkait.
Perkembangan pembangunan KPH sangat
ditentukan oleh kemampuan share learning oleh
pihak-pihak terkait tersebut untuk memahami
bersama seluk beluk mengenai KPH guna
mengurangi hambatan-hambatan yang
sifatnya ketidak-sepahaman dan hambatan
koordinasi yang diperlukan
3. Sifat adaptability. Seluruh pihak sebagai
satu kesatuan yang utuh perlu dapat
menyesuaikan program dan kegiatannya
dengan perkembangan internal maupun
eksternal yang senantiasa dinamis. Adaptasi
terhadap perubahan tersebut menentukan
sangat menentukan kelenturan pembangunan
KPH untuk senantiasa menjadi bagian dari
perubahan-perubahan kondisi yang dihadapi

8.1 Strategi dan kebijakan


8.1.1 Permasalahan

Terdapat 3 (tiga) masalah pokok dalam


pembangunan KPH, yaitu:
1. Isi dan kelengkapan peraturan-perundangan
2. Mobilisasi sumberdaya terutama untuk
merencanakan dan menjalankan program
pihak-pihak terkait secara integratif
3. Organisasi KPH, jumlah dan kualifikasi
sumberdaya manusia.

8.1.2 Strategi dan kebijakan


Dengan karakteristik wilayah dan permasalahan
pembangunan KPH tersebut di atas, maka strategi
pembangunan KPH dapat dirumuskan sebagai
berikut:

4. Sifat coherence. Seluruh pihak yang terkait


dengan pembangunan KPH sebagai suatu
institusi harus dapat, secara koheren,
mengelola beban kerja dan menyusun prosedur
dan jadwal sehingga terwujud kesamaan arah
dalam pembangunan KPH.

Pertama, di tingkat nasional diperlukan peningkatan


kapasitas pembangunan KPH nasional. Strategi ini
bertujuan untuk mewujudkan alokasi sumberdaya
nasional bagi pembangunan KPH. Strategi ini
dilaksanakan secara terus-menerus, sampai
seluruh KPH terbangun untuk seluruh kawasan
hutan. Berdasarkan peraturan-perundangan yang
berlaku, peningkatan kapasitas pembangunan KPH
nasional tersebut diselenggarakan berdasarkan
masing-masing peran setiap lembaga.

Keempat permasalahan tersebut di atas,


berdasarkan proses-proses sosialisasi, koordinasi
maupun konsultasi yang telah dilakukan masih
dijumpai. Dengan kata lain, tugas pembangunan
KPH masih secara kuat terletak dalam unit kerja

Kedua, fokus pada upaya pembangunan


kelembagaan KPH di lapangan. Dalam
pelaksanaannya, strategi ini perlu identifikasi
kabupaten/provinsi yang relatif siap, setidaknya
dukungan politik untuk melaksanakannya.

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

91

Keberhasilan program kedua ini diperkirakan dapat


menjadi faktor penarik (pull factor) pembangunan
KPH secara nasional, terutama apabila dalam
jangka pendek, pembangunan KPH secara nyata
menjadi landasan untuk mengangkat kegiatan
ekonomi daerah. Pembangunan KPH Model
termasuk dalam strategi ini.

4. Kebijakan IV. Peningkatan Kepedulian Publik


terhadap Pembangunan KPH (DPR, perguruan
tinggi, lembaga donor, asosiasi usaha, lembaga
swadaya masyarakat)

Berdasarkan dua strategi tersebut, sejumlah


kebijakan dapat disusun (Tabel 15). Terdapat
lima kebijakan pokok pembangunan KPH tingkat
nasional, yaitu:

8.1.3 Peta jalan (Road map)

1. Kebijakan I. Penyelesaian kelengkapan


perangkat hukum dan perencanaan nasional
serta sosialisasinya
2. Kebijakan II. Pengembangan SDM Nasional
(tujuan, sasaran dan bentuk pengembangan
SDM)
3. Kebijakan III. Pengembangan Kelembagaan
Nasional Pembangunan KPH (pengaitan peran
inter dan antar lembaga, sistem manajemen)

5. Kebijakan V. Penetapan dan proses fasilitasi


pembangunan KPH di lapangan.

Strategi dan kebijakan di atas dapat dijalankan


apabila dikenali lembaga penggerak dan
unsur penggerak yang dapat mewujudkan
pembangunan KPH. Untuk lembaga-lembaga di
pusat, Departemen Kehutanan menjadi lembaga
utama sebagai lembaga penggerak, diikuti oleh
Departemen Dalam Negeri, dan didukung oleh
Menpan, Meneg BUMN dan Bappenas.
Lembaga penggerak tersebut dijalankan untuk
mewujudkan kelengkapan instrumen hukum
yang diikuti oleh realokasi sumberdaya untuk
mewujudkan pembangunan KPH.

Tabel 15. Strategi dan kebijakan pembangunan KPH tingkat Nasional


Kebijakan Pembangunan KPH
Strategi
1. P e n g u a t a n
Kapasitas
Pembangunan
KPH Nasional

Peraturan Perundangan dan


Perencanaan
Penyelesaian kelengkapan perangkat hukum dan perencanaan nasional serta sosialisasinya:
1. UU No 41/1999 (Pasal 17 &
Pasal 21)
2. PP No 44/2004 (Pasal 26 s/d 32
dan Pasal 37 ayat (2)
3. PP No 6/2007 (Pasal 5 s/d 10)
4. Permenhut sebagai tindak lanjut
dari PP No 6 Tahun 2007
5. Rencana Aksi tingkat Nasional

2. Pembangunan Penetapan dan proses fasilitasi


Lembaga KPH di pembangunan KPH di lapangan:
Lapangan
1. Penunjukkan wilayah KPH oleh
MenHut
2. Tim Pembangunan KPH tingkat
provinsi dan kabupaten
3. Rencana Aksi tingkat provinsi
dan kabupaten

92

RENCANA AKSI DAN IMPLEMENTASI NASIONAL

Sumberdaya Nasional
Organisasi dan SDM

Koherensi Program

Dukungan Publik

Pengembangan
Organisasi dan SDM
Nasional (tujuan,
sasaran dan bentuk pengembangan
SDM)

Pengembangan Kelembagaan Nasional


Pembangunan KPH
(pengaitan peran inter
dan antar lembaga,
sistem manajemen)

Peningkatan Kepedulian Publik terhadap


Pembangunan KPH
(DPR, perguruan
tinggi, lembaga donor, asosiasi usaha,
lembaga swadaya masyarakat)

Peta jalan tersebut dirumuskan berdasarkan


analisis dimensi perilaku (behavioural dimensions).
Dimensi perilaku ditetapkan setelah diketahui
hal-hal berikut: (1) persepsi oleh pihak-pihak dari
informasi yang tersedia, (2) identifikasi pemikiranpemikiran kreatif, (3) kekuasaan dan pengaruh
dari pengambil kebijakan, (4) komunikasi dan
komitmen dari para pihak, serta (5) dukungan
para pihak.
Dimensi perilaku pada dasarnya untuk mengetahui
sejauhmana pemahaman pihak-pihak terhadap
pentingnya KPH, apa reaksi yang diutarakannya,
serta bentuk dukungan yang dapat diberikan
berdasarkan kewenangan yang dimilikinya.
Dengan hasil analisis dimensi perilaku yang baik,
yang dituangkan dalam program pelaksanaan
pembangunan KPH, akan didapatkan rute atau
langkah-langkah kongkrit (dengan siapa bertemu,
kapan, komitmen yang didapatkan, dll) dalam
menjalankan pembangunan KPH tersebut. Dengan
kerangka implementasi tersebut diharapkan dapat
mentransformasikan rencana menjadi kegiatan
nyata di lapangan, yang ditunjukkan dengan
terjadinya mobilisasi sumberdaya pembangunan
untuk merealisasikan program dan kegiatan yang
dituangkan dalam rencana tindak (action plan) ini.

Nama
program

: Kelengkapan Peraturan
Perundangan dan Perencanaan
Pembangunan KPH.

Masalah

: Terdapat hambatan lemahnya


kapasitas dan dukungan politik
pembangunan KPH.

Tujuan

: 1. Ter wujudnya kepastian


hukum dan kepastian arah
pembangunan KPH secara
nasional
2. Ter wujudnya kejelasan
kegiatan dan keberlanjutan
pembangunan KPH serta
terukur hasilnya menurut
wilayah dan waktu.

Kegiatan

2. R e v i s i
peraturanperundangan
untuk
mempercepat pembangunan
KPH.
3. P e n e t a p a n p e r a n g k a t
perencanaan nasional
pembangunan KPH.
Resiko

8.1.4 Monitoring dan evaluasi


Monitoring dan evaluasi dilaksanakan terhadap
kegiatan yang telah dilaksanakan untuk
merumuskan masalah yang dihadapi serta
bentuk-bentuk intervensi yang diperlukan agar
pembangunan KPH dapat berjalan sesuai dengan
tujuan yang telah ditetapkan. Untuk melakukan
monitoring dan evaluasi ini diperlukan kriteria
dan indikator pembangunan KPH serta sistem
monitoring dan evaluasinya.

8.2 Program dan kegiatan


Dalam RAP KPH Tingkat Nasional ini, program
dan kegiatannnya diturunkan dari kelima kebijakan
di atas.
1. Kebijakan I. Penyelesaian kelengkapan
perangkat hukum dan perencanaan nasional
serta sosialisasinya

: 1. P e n e t a p a n p e r a t u r a n
perundangan turunan PP
No 6/2007 yang berkaitan
dengan pembangunan KPH.

: 1. K e t i d a k - s e m p u r n a a n
peraturan-perundangan
yang telah disusun
2. Terdapat faktor lain sebagai
p e n g h a m b a t , m i s a l ny a
masalah hak atas sumberdaya
hutan.

Koordinasi : S e l u r u h u n i t k e r j a d i
DepHut, Depdagri, Bappenas,
MenegBUMN, MenPan, LSM,
Perguruan Tinggi.
Mengelola : 1. Memperhatikan keragaman
Resiko
kondisi dalam pembuatan
kebijakan pembangunan
KPH.
2. Menyiapkan pelaksanaan
mediasi dan resolusi
konflik atas pelaksanaan
pembangunan KPH.

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

93

Evaluasi

: Pembentukan kriteria dan


indikator untuk melakukan
evaluasi pelaksanaan peraturanperundangan dan implementasi
perencanaan pelaksanaan
pembangunan KPH.

2. Kebijakan II. Pengembangan SDM Nasional


Nama
program

: Peningkatan
Jumlah
dan Kapasitas SDM bagi
Operasionalisasi Fungsi KPH.

Masalah

: Keterbatasan SDM baik dalam


jumlah maupun kualifikasinya.

Tujuan

: Mempercepat berfungsinya KPH


sebagai penguatan pengelolaan
hutan secara nasional.

Kegiatan

: 1. P e n y u s u n a n
modul
pendidikan dan pelatihan
2. Pelatihan teknis pengelolaan
hutan dan perencanan hutan
lingkup KPH
3. P e l a t i h a n m a n a j e r i a l
KPH dan hubungan
pemerintahan.

Resiko

: -

Koordinasi : Seluruh unit kerja di DepHut,


LSM, Perguruan Tinggi.
Mengelola : Resiko
Evaluasi

: Pembentukan kriteria dan


indikator untuk melakukan
evaluasi hasil pelatihan.

3. Kebijakan III. Pengembangan Kelembagaan


Nasional Pembangunan KPH

94

Tujuan

: 1. Terwujud kapasitas dan


mekanisme kerjasama antar
pihak dalam mendukung
pelaksanaan pembangunan
KPH
2. Pembangunan KPH menjadi
agenda nasional.

Kegiatan : 1. Sosialisasi dan konsultasi


untuk penyelarasan program
antar instansi dalam
pembangunan KPH
2. Kajian dan sosialisasi KPH
dalam tinjauan hukum, sosial,
ekonomi dan kelembagaan
penyelenggaraan kehutanan
3. E v a l u a s i d a n i n p u t
penyempurnaan kebijakan
pembangunan KPH.
Resiko

: Dapat terjadi
kepentingan.

benturan

Koordinasi: S e l u r u h u n i t k e r j a d i
DepHut, Depdagri, Bappenas,
MenegBUMN, MenPan, LSM,
Perguruan Tinggi.
Mengelola : Perlu secara periodik terdapat
Resiko
pertemuan-pertemuan
informal untuk menyelaraskan
pemahanan dan kepentingan.
Evaluasi

: Pembentukan kriteria dan


indikator untuk melakukan
evaluasi perkembangan kapasitas
kelembagaan nasional.

4. Kebijakan IV. Peningkatan Kepedulian


Publik terhadap Pembangunan KPH

Nama
program

: Pembentukan dan Peningkatan


Kapasitas Kelembagaan Nasional
Pembangunan KPH.

Nama
: Pengembangan Dukungan
program
Publik dan Mobilisasi
Sumberdaya Pembangunan KPH.

Masalah

: Meskipun terdapat peraturanperundangan dan kejelasan


kewenangan setiap pihak,
lemahnya kelembagaan
seringkali sebagai penyebab
tidak berjalannya kebijakan
secara keseluruhan.

Masalah

RENCANA AKSI DAN IMPLEMENTASI NASIONAL

: Pembangunan KPH karena


menyangkut kepemerintahan
akan sangat terkait dengan
kepentingan banyak pihak. Isu
dan citra pembangunan KPH
menentukan kuat-lemahnya
dukungan banyak pihak.

Tujuan

: Pembangunan KPH menjadi


urgensi bagi semua pihak
sehingga terwujud kemudahan
mobilisasi sumberdaya bagi
pembangunan KPH.

Kegiatan : 1. Peningkatan pemahaman dan


urgensi pembangunan KPH
bagi lembaga pendidikan
tinggi kehutanan
2. Peningkatan pemahaman dan
urgensi pembangunan KPH
melalui media
3. Pe n i n g k a t a n k a p a s i t a s
kelembagaan
untuk
penguatan mobilisasi
smberdaya pembangunan
KPH.
Resiko

: Adanya kasus-kasus kegagalan


pembangunan KPH dan/atau
masih banyaknya kerusakan
hut an dapat berkembang
menjadi isu tidak perlunya
pembangunan KPH.

Koordinasi: S e l u r u h u n i t k e r j a d i
DepHut, Depdagri, Bappenas,
MenegBUMN, MenPan, LSM,
Perguruan Tinggi, Media, DPR,
dan termasuk dengan Pemda.
Mengelola : 1. Tersedia publikasi berkala
Resiko
2. K e s i a p a n m e l a k u k a n
klarifikasi ulasan negatif
tentang KPH di media.
Evaluasi

: Pembentukan kriteria dan


indikator untuk melakukan
evaluasi perkembangan
dukungan publik dan hasil
mobilisasi
sumberdaya
pembangunan KPH.

5. Kebijakan V. Penetapan dan proses fasilitasi


pembangunan KPH di lapangan

Masalah : Pe m b a n g u n a n K P H y a n g
melibatkan banyak pihak
seringkali perlu pihak lain untuk
melakukan pendampingan dan
mediasi hubungan pihak-pihak.
Tujuan

: Ter wujud
percepatan
pelaksanaan pembangunan KPH
di lapangan.

Kegiatan : 1. Penyusunan strategi dan


kerangka kerja pendampingan
pembangunan KPH.
2. Percepatan pembangunan
KPH melalui pendampingan.
Resiko

: Te r l a l u k u a t n y a p r o s e s
pendampingan
dapat
mengurangi ownership KPH
oleh Pemda dan pihak lain.

Koordinasi: S e l u r u h u n i t k e r j a d i
DepHut, Depdagri, Bappenas,
MenegBUMN, MenPan, LSM,
Perguruan Tinggi, dan termasuk
dengan Pemda.
Mengelola : Kesiapan tim pendamping
Resiko
ditingkatkan melalui persiapan
yang cukup.
Evaluasi

: Pembentukan kriteria dan


indikator untuk melakukan
evaluasi perkembangan kapasitas
kelembagaan nasional.

Pada saat ini pembangunan KPH telah menjadi


prioritas nasional dan dituangkan secara eksplisit
dalam Renstra Kehutanan Tahun 2010 2014
sebagaimana disajikan pada Tabel 16. Selain itu
Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan telah
mengembangkan acuan kegiatan pokok dan
kaitannya peran BPKH dan Dinas Kehutanan,
baik Provinsi maupun Kabupaten sebagaimana
disajikan pada Tabel 17.

Nama
: Pengembangan Kapasitas
program
Nasional untuk Pelaksanaan
Fasilitasi Proses Pembangunan
KPH.

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

95

Tabel 16. Indikator pembangunan KPH dalam renstra Kementerian Kehutanan


2010-2014

Kumulatif

INDIKATOR
Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penetapan Wilayah KPHL
dan KPHP seluruh Indonesia
Keputusan Menteri Kehutanan tentang Penetapan Wilayah KPHK
seluruh Indonesia
Peraturan perundangan tentang penyelenggaraan KPH 4 judul
Beroperasinya 120 KPH (20% wilayah KPH yang telah ditetapkan)

2010
22 Prov

2011
25 Prov

2012
28 Prov

2013
28 Prov

2014
28 Prov

20%

40%

60%

80%

100%

2 judul
2%

4 judul
4%

4 judul
10%

4 judul
15%

4 judul
20%

Tabel 17. Kegiatan pokok yang dijadikan acuan Direktorat Planologi Kehutanan dan mewujudkan
pembangunan KPH

KEGIATAN POKOK
PEMBENTUKAN WILAYAH
KPH

PENYIAPAN KEBIJAKAN
DAN REGULASI PEMBANGUNAN KPH

PENYELENGGARAAN
DIKLAT PENGELOLA KPH
FASILITASI PEMBANGUNAN KPH

MONITORING DAN
EVALUASI

KEGIATAN RINCI
Evaluasi wilayah KPH
Penyusunan Rancang Bangun wilayah KPH
Penyusunan Arahan pencadangan wilayah KPH
Penyusunan Usulan Penetapan wilayah KPH
Penyusunan penetapan wilayah KPH
Penyusunan regulasi/kebijakan
Penetapan pemanfaatan wilayah tertentu
Penilaian kelembagaan KPH
Action Plan

BPKH

DINAS
V

V
V
V
V
V
V
V

V
Pendampingan penyiapan kelembagaan KPH
Koordinasi penyiapan kelembagaan KPH.
Pendampingan penyiapan KPH.
Supervisi atau Fasilitasi penyelenggaraan pengelolaan hutan
Inventarisasi wilayah kelola KPH.
Penataan hutan wilayah kelola KPH.
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan atau Review
Rencana Pengelolaan Hutan.
Koordinasi dan sosialisasi pembangunan KPH
Sosialisasi pembangunan KPH melalui FORETIKA
Rapat Koordinasi pembangunan KPH tingkat Nasional
Pemantapan wilayah kelola KPH
Monitoring dan evaluasi pembangunan KPH
Monitoring dan evaluasi penyelenggaraan pengelolaan hutan
Pembinaan dan Pengendalian KPH

PENYEDIAAN DATA/INFORMASI PEMBANGUNAN KPH

96

PUSAT

RENCANA AKSI DAN IMPLEMENTASI NASIONAL

V
V
V
V
V
V

V
V
V
V

PUSTAKA ACUAN
Departemen Kehutanan (DepHut), 2010. Rencana
Kehutanan Tingkat Nasional Tahun 20102029. Departemen Kehutanan. Jakarta.
DKN (Dewan Kehutanan Nasional), 2008. Meniti
Langkah Membangun Pilar Kehutanan:
Prioritas Revisi Regulasi Pengelolaan Hutan
Alam dan Hutan Tanaman. Jakarta.
________________________, 2009. Prioritas
Pembangunan Kehutanan: Menyelamatkan
Kekayaan Multi-fungsi Hutan dan
Mewujudkan Keadilan Alokasi Pemanfaatan
Hutan. Jakarta
Hawitt, Sally. 2009. Discource Analysis and Public
Policy Research. Centre for Rural Economy,
Discussion Paper Series No. 24, 2009. New
Castle University
Kementerian Kehutanan, 2010. RKTN (Rencana
Kehutanan Tingkat Nasional). Draft 20
Agustus 2010. Jakarta.

_______________________, 2009a. Kebijakan


Pembangunan Hutan Tanaman Rakyat.
Direktorat Bina Pengembangan Hutan
Tanaman. Departemen Kehutanan. Jakarta.
_______________________, 2009b. Kebijakan
Pembangunan Hutan Tanaman Industri.
Direktorat Bina Pengembangan Hutan
Tanaman. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Ribot, J. C. and N. Peluso, 2003. A Theory of Access.
Rural Sociology 68 (2): 153-181.
Shore, Cris dan Susan Wright. 1997. Policy: A new
field of anthropology. Di dalam: Anthropology
of Policy: Critical Perspective on Governance and
Power, (Cris Shore dan Susan Wright, eds).
Routledge. London and New York.
Tim Terpadu, 2009. Perencanaan Penataan Ruang
Provinsi Kalimantan Tengah. Jakarta.

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

97

Lampiran

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan

Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

101

Rencana pengelolaan

Pemanfaaatan
1. Konservasi

Lindung

PROVINSI
-

KABUPATEN

KPH

KETERANGAN

Pertimbangan teknis

Penilaian dan pengesahan RKU Tahunan


Pertimbangan teknis pengesahan RKU unit usaha
pemanfaatan hutan lindung
jangka panjang menengah
dan jangka pendek

Pengesahan RKU JP dan Pertimbangan teknis


RKU JM

NSPK
Pemberian izin

Pertimbangan teknis
pengesahan
Pertimbangan teknis pengesahan RKU unit usaha
pemanfaatan hutan lindung
jangka panjang, menengah
dan jangka pendek

Pertimbangan teknis

Pertimbangan teknis

Pemantauan dan
penilaiain
Pengawasan dan
pengendalian

Pemantauan dan
penilaiain
Pengawasan dan
pengendalian

Pelaksanaan tata hutan


Pertimbangan teknis Pertimbangan teknis Penyusunan RPJP Di PP6/2007 tidak di NSPK
kenal jangka menenRPJP dan RPJM KPHP,
RPJP, RPJM, RP Jk.
dan Jk Pendek
Pengesahan RP Jk. Pangah ( 5 tahun)
KPHL, KPHK
Pendek KPHP, KPHL,
KPHP, KPHL, KPHK
jang dan Jk. Menengah
KPHP, KPHL dan KPHK Pengesahan RP jk. PenKPHK
Pengesahan RP Di PP6/2007 jk
panjang 10 thn, PP
Pengesahan RP jk. Pendek KPHP dan KPHL
KPH Jangka Pen38/2007 jk panjang
dek KPHK
dek (PP6/2007)
20 thn

NSPK

PUSAT

NSPK
Pengesahan RKU unit
usaha pemanfaatan
hutan lindung jangka
panjang, menengah dan
jangka pendek
2. Pemanfaatan kawasan dan jasling NSPK
Pemberian izin skala provin- Pemberian izin skala kab/ Pemantauan dan
Pemberian rizin skala si (lintas Kab/kota)
kota (dalam kab/kota)
penilaiain
nasional
Pengawasan dan
pengendalian

1. Rencana Kerja

Tata hutan

KEGIATAN

NO

Lampiran 1. Identifikasi kegiatan pengelolaan hutan

102

Identifikasi kegiatan pengelolaan hutan

NO

PUSAT

PROVINSI

KABUPATEN

KPH

3. Pemungutan hasil hutan bukan NSPK


Pemberian izin skala provin- Pemberian izin skala kab/ Pemantauan dan
kayu
Pemberian izin skala si (lintas kab/kota)
kota (dalam kab/kota)
penilaiain
nasional
Pengawasan dan
pengendalian
Pertimbangan teknis pen- Pertimbangan teknis pen- Pemantauan dan
4. Penataan batas luar areal kerja NSPK
penilaian
unit usaha pemanfaatan hutan Pengesahan penataan gesahan kepada pemerintah gesahan kepada provinsi
Pengawasan dan
lindung
batas luar areal kerja
pengendalian
unit usaha pemanfaatan
hutan lindung
Produksi
1. Hasil Hutan kayu
NSPK
Pertimbangan teknis/reko- Pertimbangan teknis/reko- Pelaksanaan pe Pemberian izin
mendasi terhadap izin
mendasi terhadap izin
manfaatan wilayah
tertentu
Pemantauan dan
penilaiain
Pengawasan dan
pengendalian
2. Hasil Hutan Non Kayu
NSPK
Pemberian izin skala provin- Pemberian izin skala kab/ Pemantauan dan
si (Lintas Kab/kota)
kota (dalam Kab/kota)
penilaiain
Pengawasan dan
pengendalian
a. Pemanfaatan kawasan dan NSPK
Pemberian izin pemanfaa- Pemberian izin pemanfaa- Pelaksanaan pejasling
Pemberian izin peman- tan kawasan dan jasling tan kawasan dan jasling
manfaatan wilayah
faatan kawasan dan skala provinsi (lintas Kab/ skala kab/kota (dalam
tertentu
jasling
kota)
Kab/kota)
Pemantauan dan
penilaiain
Pengawasan dan
pengendalian
b. Pemungutan hasil hutan kayu NSPK
dan bukan kayu
Pemberian izin pemungutan Pemberian izin pemungutan Pemberian izin pemungutan Pemantauan dan
hasil kayu dan bukan kayu hasil hutan kayu dan bukan hasil hutan kayu dan bukan
penilaiain
kayu skala provinsi (lintas kayu skala kab/kota (dalam Pengawasan dan
Kab/kota)
Kab/kota)
pengendalian

KEGIATAN

KETERANGAN

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan

Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

103

NO

PUSAT

PROVINSI

KABUPATEN

KPH

KETERANGAN

c. Penyusunan Rencana Karya NSPK


Pertimbangan teknis Pertimbangan teknis Pengesahan RKT
Menurut PP6/2007
Usaha
Pengesahan RKU jangka
pengesahan RKU jangka
pengesahan RKU jangka
panjang (20 tahun) dan
panjang (20 tahun) dan
panjang (20 tahun) dan
jangka menengah (5
menengah (5 tahun)
menengah (5 tahun)
tahun)
Penilaian dan pengesah- Pertimbnagan teknis
an RKU jangka pendek (1
pengesahan RKU jangka
tahun)
pendek (1 tahun)
d. Penataan batas luar areal kerja NSPK
Pertimbangan teknis untuk Pertimbangan teknis untuk Pemantauan dan
penilaiain
unit usaha pemanfaatan hutan Pengesahan penataan pengesahan, koordinasi dan pengesahan, koordinasi dan
produksi
batas
pengawasan pelaksanaan pengawasan pelaksanaan Pengawasan dan
pengendalian
penataan batas luar areal penataan batas luar areal
kerja unit pemanfaatan hu- kerja unit pemanfaatan
tan produksi skala provinsi hutan produksi di dalam
(lintas kab/kota)
kabupaten
Penatausahaan hasil hutan
NSPK
Pelaksanaan pengaturan Pengawasan dan pengen- Pengawasan dan pengenpenatausahaan hasil hutan dalian penatausahaan hasil dalian penatausahaan hasil
hutan skala provinsi
hutan skala kabupaten
Penggunaan kawasan hutan
NSPK
Pelaksanaan penggunaan
adalah pemegang ijin
Pemberian ijin
Pertimbangan teknis
Pengusulan (rekomendasi) Pemantauan dan
penilaiain
Pengawasan dan
pengendalian
Rehabilitasi dan reklamasi
(di luar izin)
1. Rehabilitasi hutan dan lahan ter- Pelaksanaan rehabilitasi Pelaksanaan rehabilitasi Pelaksanaan rehabilitasi Pelaksanaan rehabi- Sampai saat ini penyemasuk mangrove
dan pemeliharaan hutan
dan pemeliharaan pd Tadan pemeliharaan pd litasi
lenggaraan rehabilitasi
konservasi
hura skala provinsi
Tahura skala kab.
dan perlindungan dilak Pelaksanaan rehabilitasi Pelaksanaan rehabilitasi
sanakan Prop/Kab/kota.
pd HP, HL yg tdk ada ijin
pd HP, HL yg tdk ada ijin
(seharusnya dilaksanakan
skala prov.
skala kab.
oleh KPH)
2. Pemberdayaan Masyarakat
NSPK
Pemantauan, evaluasi dan Bimas, pengembangan ke- Pemberdayaan ma- Idem
fasilitasi
lembagaan dan kemitraan syarakat

KEGIATAN

104

Identifikasi kegiatan pengelolaan hutan

NO

PUSAT

PROVINSI

KABUPATEN

KPH

Pengesahan rencana rekla- Pertimbangan teknis ren- Pemantauan dan


3. Reklamasi pada Areal Penggu- NSPK
naan Kawasan Hutan
Penilaian hasil reklamasi masi
cana dan pemantauan
penilaiain
reklamasi
Pengawasan dan
pengendalian
4. Reklamasi Hutan Areal Bencana NSPK
Penyusunan rencana dan Penyusunan rencana dan
Alam
Penyelenggaraan rekla- pelaksanaan reklamasi pelaksanaan reklamasi
masi areal bencana skaal skala provinsi
skala kab.
nasional
5. Pengembangan Hutan Hak dan NSPK
Pemantauan, evaluasi dan Penyusunan rencana dan
Aneka Usaha Kehutanan
fasilitasi
pembinaan
6. Perbenihan Tanaman Hutan
NSPK
Pertimbangan teknis
Inventarisasi, identifikasi
Penetapan dan pem- Pelaksanaan sertifikasi dan pengusulan calon areal
bangunan sumberdaya
genetik
Pemberian ijin ekspor/
import
Karantina dan sertifikasi
Akreditasi lembaga sertifikasi
Perlindungan dan konservasi alam NSPK
Pelaksanaan perlindun- Pelaksanaan perlindun- Pelaksanaan perlin(di luar izin)
Pemberian fasilitasi,
gan pd HPHL yg tdk
gan pd HPHL yg tdk dungan dan konservasi
bimbingan dan pengadibebani hak dan hutan
dibebani hak dan hutan alam
wasan (hutan yang
adat dan tahura skala
adat dan tahura skala
dibebani hak dan hutan
provinsi
kab.
adat) skala nasional
Pemberian fasilitasi, Pemebrian fasilitasi,
bimbingan dan pengabimbingan dan pengawasan (hutan yang
wasan (hutan yang
dibebani hak dan hutan
dibebani hak dan hutan
adat) skala prov.
adat) skala kab.

KEGIATAN

Sampai saat ini penyelenggaraan perlindungan


dan konservasi alam
dilaksanakan Prop/Kab/
kota (seharusnya dilaksanakan KPH)

Idem

Idem

Idem

KETERANGAN

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan

Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

105

Dinas Kab/Kota

KPH

Pemegang Izin

Rencana Pengelolaan

Penetapan target produksi


dan penerimaan Negara
Pengintegrasian dalam
pembanguanan nasional
Strategi pencapaian target
NSPK Penyusunan Rencana Pengelolaan
Pengesahan Rencana pengelolaan KPH

Penjabaran target dan Penjabaran target dan


penerimaan Negara ke
penerimaan Negara ke
tingkat provinsi
tingkat kabupaten/kota
Pengintegrasian dalam Pengintegrasian dalam
pembanguanan kab/kota
pembanguanan provinsi
Strategi pencapaian target Strategi pencapaian
target
Pertimbangan teknis
Pertimbangan teknis

Penjabaran target dan rea- Rencana produksi


lisasi produksi dan pene- Strategi pencapain target
rimaan negara ke tingkat Penyusunan RKU dan RKT
KPH
dengan mempertimban Strategi pencapaian target
gan Rencana pengelolaan
Penyusunan Rencana PenKPH
gelolaan Jangka Panjang
Penyusunan Rencana Pengelolaan Jangka Pendek

Dinas Kehutanan Provinsi

Kementerian Kehutanan

Inventarisasi hutan di are Pertimbangan teknis pe- Pertimbangan teknis Inventarisaasi meliputi:
Perencanaan Hutan NSPK
al izin yang meliputi kayu,
nyusunan RTRWP
penyusunan RTRW ka Inventarisasi hutan di
dan Tata Hutan
Inventarisasi hutan nasionon kayu, dan sosek
Permohonan dan pertimbupaten/kota
luar areal izin yang menal (TGH)
bangan teknis tukar me- Permohonan dan pertimliputi kayu, non kayu, PAK (pembagian blok/
Penunjukan dan penepetak/anak petak)
nukar dan relokasi fungsi
bangan teknis tukar medan sosek
tapan kawasan hutan
kawasan hutan
nukar dan relokasi fungsi
Inv target dan realisasi Tata batas blok/petak/
Penetapan perubahan staanak petak
kawasan hutan
produksi pemegang izin
tus dan fungsi
Izin penggunaan dan tukar
Kepatuhan pemegang
menukar
izin
Tipe ekosistem
Kondisi hak
Struktur konflik
Juml KK dlm KPH
Pembagian blok/zona kepentingan publik (pemanfaatan, perlindungan dan
konservasi)
Pemetaan

Kegiatan

No

Kota, KPH, dan Pemegang Izin sesuai Peraturan Perundangan

Lampiran 2. Peran Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/

106

Peran Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, KPH, dan Pemegang Izin sesuai Peraturan Perundangan

No

KPH

Pemegang Izin

1) HTI

Pemberian Izin
Persetujuan RKU

Pemberian izin

b. Restorasi

c. H. Tanaman

Pemberian Izin
Persetujuan RKU

a. Hutan Alam

3. IUPHHK

Rekomendasi

Menerima tembusan izin

Rekomendasi

Pertimbangan

Menerima tembusan izin

Pertimbangan

Permohonan ijin
Penyusunan RKU
Penyusunan RKT
Pelaksanaan

Pertimbangan teknis terkait


areal
Pengesahan RKT
Pemantauan dan penilaian
pelaksanaan kegiatan
Menerima laporamn hasil
evaluasi 5 tahunan RKU

Permohonan
Penyusunan RKU
Penyusunan RKT
Pelaksanaan

Menerima tembusan izin


Permohonan ijin
Pemantauan dan penilaian Penyusunan RKU
pelaksanaan kegiatan
Penyusunan RKT
Pelaksanaan

Pertimbangan teknis terkait


areal
Pengesahan RKT
Pemantauan dan penilaian
pelaksanaan kegiatan
Menerima laporamn hasil
evaluasi 5 tahunan RKU

Pemberian izin untuk lintas Pemberian izin di wilayah Menerima tembusan izin
Pelaksanaan
NSPK
kabupaten/kota
Pemantauan dan penilaian
Pemberian izin untuk lin- kabupaten/kota
pelaksanaan kegiatan
tas provinsi
Pemberian izin pada areal
IUPHHK restorasi ekosisitem

Dinas Kab/Kota

2. IUPJL
a. H. Konservasi
b. H. Lindung
c. H. Produksi

Dinas Kehutanan Provinsi

NSPK
Pemberian izin untuk lintas Pemberian izin di wilayah Menerima tembusan izin
Pelaksanaan
Pemberian izin untuk lin- kabupaten/kota
kabupaten/kota
Pemantauan dan penilaian
tas provinsi
pelaksanaan kegiatan

Kementerian Kehutanan

1. IUPK
a. H. Lindung
b. H. Produksi

Pemanfaatan

Kegiatan

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan

Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

107

No

Pemegang Izin

Pemantauan dan penilaian Pelaksanaan


pelaksanaan kegiatan

Fasilitasi
Usulan areal (berdasar Pemberian IUPHKm untuk
kan rencana pengelolaan
lintas kabupaten/kota
KPH)
Pemberian IUPHHK (pe- Fasilitasi
limpahan dari menteri)
Pemberian izin IUPHKm
(tidak termasuk hasil
hutan kayu) di wilayah
kabupaten/kota

Menetapkan areal
Fasilitasi
Pemberian IUPHHK

2. HKm

Rencana pengelolaan
Permohonan (Masyarakat)
Menerima tembusan Pelaksanaan:
IUPHHK
Rencana kerja
Menerima tembusan IUH Tata batas
Km
Perlindungan
Pemantuan dan penilaian
Penatausahaan hh
pelaksanaan kegiatan

Usulan areal (berdasar- Rencana pengelolaan KPH Rencana pengelolaan hu Fasilitasi


tan desa bersama KPH
kan rencana pengelolaan Menerima tembusan
Pemberian hak pengeloIUPHHK
Pelaksanaan:
laan
KPH)
Rencana kerja
Rencana pengelolaan hu Pemberian IUPHHK (pe- Fasilitasi
tan desa bersama lembaga
Tata batas
limpahan dari menteri)
Perlindungan
desa
Penatausahaan hh
Pemantauan dan penilaian
pelaksanaan kegiatan

Pemberian izin untuk lintas Pemberian izin di wilayah Menerima tembusan izin
Pelaksanaan
kabupaten/kota
kabupaten/kota
Pemantauan dan penilaian
pelaksanaan kegiatan

NSPK
Menetapkan areal
Fasilitasi
Pemberian IUPHHK

NSPK

1. Hutan Desa
a. H Lindung
b. H Produksi

Pemberdayaan

6. IPHHBK
a. H. Lindung
b. H. Produksi

Pelaksanaan
Pemberian izin untuk lintas Pemberian izin di wilayah Menerima tembusan izin
NSPK
Pemberian izin untuk lin- kabupaten/kota
kabupaten/kota
Pemantauan dan penilaian
tas provinsi
pelaksanaan kegiatan

Pertimbangan

5. IPHHK

Rekomendasi

KPH

Pemberian izin (pelimpah- Pemantauan dan penilaian Pelaksanaan


an dari Menteri)
pelaksanaan kegiatan

Dinas Kab/Kota

Pelaksanaan
NSPK
Pemberian izin untuk lintas Pemberian izin di wilayah Menerima tembusan izin
kabupaten/kota
Pemantauan dan penilaian
Pemberian izin untuk lin- kabupaten/kota
pelaksanaan kegiatan
tas provinsi

Pemberian Izin

3) HTHR

Dinas Kehutanan Provinsi

4. IUPHHBK

Pemberian izin

Kementerian Kehutanan

2) HTR

Kegiatan

108

Peran Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, KPH, dan Pemegang Izin sesuai Peraturan Perundangan

Fasilitasi

Kementerian Kehutanan
Fasilitasi

Dinas Kehutanan Provinsi

Rehabilitasi

GERHAN

Reklamasi

Perlindungan

Konservasi

10

Rekomendasi

Fasilitasi

Dinas Kab/Kota

Pemegang Izin

Target tingkat KPH


Target, strategi dan pelaksanaan di areal izin
Strategi
Pelaksanaan di luar areal Pelaksanaan
izin
Pemantuan dan penilaian
pelaksanaan kegiatan

Pemantuan dan penilaian pe- Pelaksanaan


laksanaan kegiatan

Pemantuan dan penilaian pe- Pelaksanaan


laksanaan kegiatan

KPH

NSPK
Dukungan dana
Dukungan dana
Target tk KPH
Target, strategi dan pe Dukungan dana
Pembinaan dan pengen- Pembinaan dan pengen- Strategi
laksanaan di areal izin
Pembinaan dan pengendalian
dalian
Pelaksanaan di luar areal Pelaksanaan
dalian
izin
Pemantuan dan penilaian
pelaksanaan kegiatan

Target, strategi dan pe Dukungan dana


Dukungan dana
Target tk KPH
NSPK
Pembinaan dan pengen- Pembinaan dan pengen- Strategi
laksanaan di areal izin
Dukungan dana
dalian
dalian
Pelaksanaan di luar areal Pelaksanaan
Pembinaan dan pengenizin
dalian
Pemantuan dan penilaian
pelaksanaan kegiatan

NSPK
Pembinaan dan pengendalian Pembinaan dan pengenda- Pemantuan dan penilaian pe- Target, strategi dan pe Pembinaan dan pengenlian
laksanaan kegiatan
laksanaan di areal izin
dalian
Pelaksanaan

Ketua Harian Tim Koordinasi Tim Pembina GERHAN Tim Pembina GERHAN Pelimpahan pelaksanaan Di dalam kawasan hutan
GERHAN
Provinsi
Kabupaten/Kota
GERHAN
melalui Operasi Bhakti TNI
Menyediakan dana pen- Menyediakan dana pen Di luar kawasan hutan
damping (minimal 10%)
damping (minimal 10%)
melalui SPKS dengan kelompok masyarakat

Dukungan dana
NSPK
Dukungan dana
Dukungan dana
Perencanaan tingkat pro- Perencanaan tingkat kabupaten/kota
Pembinaan dan pengenvinsi
Pembinaan dan pengen- Pembinaan dan pengendalian
dalian
dalian

Penggunaan kawasan Pemberian izin pinjam pakai Rekomendasi


hutan
kawasan hutan

3. Kemitraan

Kegiatan

No

pada setiap provinsi di Indonesia

Lampiran 3. Peta penyebaran KPHK/KPHL/KPHP

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

109

110

Peta penyebaran KPH Model pada setiap provinsi di Indonesia

Lampiran 4. Peta penyebaran KPH Model pada setiap provinsi di Indonesia

Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan


Konsep, Peraturan Perundangan dan Implementasi

111

Pembangunan
Kesatuan Pengelolaan Hutan

(KPH)

Konsep, Peraturan Perundangan


dan Implementasi

COOPERATION
REPUBLIC OF INDONESIA

FEDERAL REPUBLIC
OF GERMANY

Anda mungkin juga menyukai