Makalah Lintas Budaya

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 18

PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA

NAMA KELOMPOK :
1. NILA DITHA PRATIWI ()
2. RAIDATUSSYAIFAH (15512954)
3. HUSNA RAMADHINI ()
4. YUNITA DIAN FAKIH ()
KELAS : 3PA07


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GUNADARMA
DEPOK
2014

DAFTAR PUSTAKA

Dapus sudah di edit
1. http://id.wikipedia.org/wiki/Nilai-nilai_budaya
2. Samovar, Larry A. 2010. Komunikasi Lintas Budaya, Jakarta: Selemba Humanika
3. Sirmawan, B. (2011, April 4). Penyebab Perbedaan Kebudayaan. Dipetik 19 10,
2014 dari Just me: bayusirmawan.blogspot.com
4. Johnbares, (2011, Oktober 2). Psikologi Lintas Budaya. Dipetik 19 10 2014 dari
Johnbaresblog: jonbares.wordpress.com

Dapus belum di edit
1. http://zakarija.staff.umm.ac.id/files/2010/12/Cross-Cultural-Organizational-
Behavior-Posmoderenisme-dalam-PIO.pdf
2. Jurnal : file:///C:/Users/User/Downloads/Jurnal_Psikologi_Sosial-libre.pdf
3. http://psikosun.blogspot.com/2013/04/psikologi-lintas-budaya-kognisi.html
4. http://anggannida.wordpress.com/2011/10/03/tugas-lintas-budaya/
5. Buku psikologi sosial (bang zainal)
6. Buku kode etik yang syifa punya.

















KATA PENGANTAR
Puji serta syukur kehadirat ALLAH, yang telah memberikan rahmat dan karunia-NYA
sehingga Makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya. Tujuan pembuatan Makalah ini adalah
untuk menyelesaikan tugas Psikologi Lintas Budaya. Mulai dari konteks budaya, konformitas,
nilai nilai, individualism dan kolektivisme, kognisi social, perilaku gender.
Dalam pembuatan Makalah ini penulis mengalami beberapa hambatan, diantaranya
adalah kurangnya informasi yang penulis dapatkan mengenai konteks budaya, konformitas, nilai
nilai, individualism dan kolektivisme, kognisi social, perilaku gender. Berkat adanya dukungan
dan bimbingan, akhirnya Makalah ini dapat selesai dengan baik. Walaupun masih banyak
kekurangan dalam berbagai hal. Dan sepantasnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Allah SWT yang telah membukakan pikiran dan memberikan inspirasi kepada penulis
2. Nabi Muhammad SAW sang idola yang tak pernah sirna sampai akhir hayat.
3. Ibu. selaku dosen Psikologi Lintas Budaya.
Semoga Makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca. Tiada gading yang tak retak,
begitu pula dengan Makalah ini. Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun tetap penulis
nantikan demi kesempurnaan Makalah ini.

18 Oktober 2014



Penulis







DAFTAR ISI

COVER
KATA PENGANTAR....................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................ii
BAB I
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang..........................................................................................................1
I.2 Perumusan Masalah...................................................................................................
I.3 Tujuan Penulisan.......................................................................................................
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Konteks Budaya.....................................................................................................
A. Kesamaan Antar Budaya Dalam Hal Konteks Sosial Atau Masyarakat.
B. Perbedaan Antar Budaya Dalam Hal Konteks Sosial Atau Masyarakat
II.2 Konformitas......................................................................................
A. Kesamaan Antar Budaya Dalam Hal Konformitas.
B. Perbedaan Antar Budaya Dalam Hal Konformitas..
II.3 Nilai - Nilai..
A. Kesamaan Antar Budaya Dalam Hal Nilai Nilai.........................
B. Perbedaan Antar Budaya Dalam Hal Nilai Nilai...
II.4 Individualisme Dan Kolektivisme.
A. Kesamaan Antar Budaya Pada Masyarakat Kolektivitas Dan Individualis.
B. Perbedaan Antar Budaya Pada Masyarakat Kolektivitas Dan Individualis
II.5 Kognisi Sosial
A. Kesamaan Antar Budaya Dalam Hal Kognisi Sosial.
B. Perbedaan Antar Budaya Dalam Hal Kognisi Sosial.


II.6 Perilaku Gender
A. Kesamaan Antar Budaya Dalam Hal Perilaku Gender.
B. Perbedaan Antar Budaya Dalam Hal Perilaku Gender
BAB III
PENUTUP
III.1 Simpulan..............................................................................................................
Daftar pustaka






















BAB I
PENDAHULUAN

I.2 Landasan Teori

I.2 Perumusan Masalah
1.
I.3 Tujuan
Untuk memberikan informasi atau wawasan kepada para pembaca mengenai Konteks Budaya,
Konformitas, Nilai Nilai, Individualisme dan Kolektivisme, Kognisi Sosial, Perilaku Gender.














BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Konteks Budaya
A. Definisi Konteks Budaya
Menurut Sumarlan (2006:14), konteks merupakan dasar bagi inferensi.
Yang dimaksud infernsi disini adalah proses yang harus dilakukan oleh
komunikan untuk memahami makna sehingga sampai pada penyimpulan maksud
dan tuturan. Konteks budaya adalah keseluruhan buaya atau situasi nonlinguistik
tempat suatu komunikasi terjadi. Konteks budaya mengacu pada nilai yang dianut
oleh sekelompok orang (masyarakat). Konteks budaya dibatasi sebagai kegiatan
sosial yang bertahap dan berorientiasi umum.
B. Konteks Budaya dalam hal Konteks Sosial dan Masyarakat
Konteks social secara tradisional, dalam sosiolinguistik, konteks sosial
didefinisikan dalam istilah variabel sosial obyektif, seperti kelas, gender atau ras.
Baru-baru ini, konteks sosial cenderung didefinisikan dari segi identitas sosial
yang ditafsirkan dan ditampilkan dalam teks dan berbicara oleh pengguna bahasa.
Konteks sosial mencerminkan bagaimana orang-orang di sekitar sesuatu
menggunakan dan menafsirkannya. Konteks sosial mempengaruhi bagaimana
sesuatu yang dilihat oleh individu atau kelompok di masyarakat. Pikirkan tentang
bagaimana Anda melihat hal yang berbeda dalam konteks sosial yang berbeda.
C. Kesamaan dan Perbedaan dalam hal Konteks Sosial
Perilaku sosial jelas terkait dengan konteks sosial-budaya tertentu di mana
mereka mengembangkan, misalnya, prosedur ucapan (membungkuk, handshaking,
atau mencium) bervariasi dari budaya ke budaya, dan ini jelas. contoh pengaruh
transmisi budaya pada perilaku sosial kita. Disisi lain, ucapan terjadi di semua
budaya, menunjukkan adanya beberapa komunalitas mendasar dalam hakikat
perilaku sosial. Oleh karena itu orang bisa membuat asumsi bekerja universalis
bahwa banyak (mungkin sebagian) jenis perilaku sosial terjadi pada semua
budaya, tetapi mereka dilakukan dicara yang sangat berbeda, tergantung pada
keadaan budaya setempat.
Di sini kita berurusan dengan dua dimensi penting variasi budaya yang
ditemukan di seluruh budaya: peran keanekaragaman dan kewajiban peran. Dalam
setiap sistem sosial individu menduduki posisi yang perilaku tertentu diharapkan,
perilaku ini disebut peran. Setiap penghuni peran adalah objek sanksi yang
memberikan pengaruh sosial, bahkan tekanan, untuk berperilaku sesuai dengan
social norma atau standar.
Kesamaan dan perbedaan antar budaya dalam hal transmisi budaya melalui
konteks sosial dan masyarakat budaya pun perlu melalui konteks sosial dan
masyarakat,karena melewati konteks sosial itulah budaya berkembang. Contohnya,
orang Batak menjelaskan budaya ke orang sunda , dan orang sunda itupun
memberikan informasi didaerah sunda . Maka terkenal budaya di wilayah sunda.
II.2 Konformitas
A. Definisi Konformitas
Menurut Myers (1999), Konformitas merupakan perubahan perilaku
sebagai akibat dari tekanan kelompok, terlihat dari kecenderungan remaja untuk
selalu menyamakan perilakunya dengan kelompok acuan sehingga dapat terhindar
dari celaan maupun keterasiangan. Konformitas remaja adalah penyesuaian remaja
untuk menganut norma kelompok acuan, menerima ide atau aturan-aturan
kelompok yang mengatur cara remaja berperilaku (baron dan byrne, 1994).
Konformitas adalah suatu jenis pengaruh sosial di mana individu mengubah sikap
dan tingkah laku mereka agar sesuai dengan norma sosial yang ada.
Tekanan untuk melakukan konformitas berasal dari kenyataan bahwa di
beberapa konteks terdapat aturan-aturan baik yang eksplisit maupun tidak terucap.
Aturan-aturan ini mengindikasikan bagaimana individu seharusnya dan sebaiknya
bertingkah laku. Aturan-aturan yang mengatur bagaimana individu seharusnya dan
sebaiknya berperilaku disebut dengan norma sosial (social norms). Aturan-aturan
ini juga kerap kali memberikan efek yang kuat pada tingkah laku individu. Pada
dasarnya ada beberapa norma sosial. Namun demikian, ada satu norma sosial yang
berkaitan erat dengan konformitas, yaitu norma injungtif. Norma ini adalah suatu
jenis norma yang memberi tahu kita mengenai apa yang seharusnya kita lakukan
pada situasi-situasi tertentu.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi konformitas diantaranya
adalah pertama pengaruh dari orang-orang yang disukai, orang-orang yang disukai
akan memberikan pengaruh lebih besar. Perkataan dan perilaku mereka cenderung
akan diikuti atau diamini oleh orang lain yang menyukai dan dekat dengan
mereka. Kedua kekompakan kelompok, kekompakan kelompok sering disebut
sebagai kohesivitas. Semakin kohesif suatu kelompok maka akan semakin kuat
pengaruhnya dalam membentuk pola pikir dan perilaku anggota kelompoknya.
Ketiga ukuran kelompok dan tekanan sosial, Konformitas akan meningkat sejalan
dengan bertambahnya jumlah anggota kelompok. Semakin besar kelompok
tersebut maka akan semakin besar pula kecenderungan kita untuk ikut serta,
walaupun mungkin kita akan menerapkan sesuatu yang berbeda dari yang
sebenarnya kita inginkan. Keempat Norma sosial deskriptif dan norma sosial
injungtif, norma deskripti adalah norma yang hanya mendeskripsikan apa yang
sebagian besar orang lakukan pada situasi tertentu. Norma ini akan memengaruhi
tingkah laku kita dengan cara memberi tahu kita mengenai apa yang umumnya
dianggap efektif atau bersifat adaptif dari situasi tertentu tersebut. Sementara itu,
norma injungtif akan memengaruhi kita dalam menentapkan apa yang harusnya
dilakukan dan tingkah laku apa yang diterima dan tidak diterima pada situasi
tertentu.
B. Kesamaan Antar Budaya Dalam Hal Konformitas
Baron dan byrne (2003) menyebutkan bahwa sebagian besar individu
melakukan konformitas terhadap norma kelompok atau masyrakat disebagian
besar waktu mereka. Baron dan Byrne (2003) menyebutkan bahwa sebagian besar
individu melakukan konformitas terhadap norma kelompok atau masyrakat
disebagian besar waktu mereka. Adapun faktor-faktor yang menyebabkan
konformitas menurut Baron dan Byrne adalah:
a. Keinginan untuk disukai, yaitu sebagai akibat internalisasi dan proses belajar
di masa kecil maka banyak individu melakukan konformitas untuk
membantunya mendapatkan persetujuan dengan banyak orang. Persetujuan
diperlukan agar individu mendapatkan pujian. Oleh karena pada dasarnya
banyak orang senang akan pujian maka banyak orang berusaha untuk konform
dengan keadaan.
b. Rasa takut akan penolakan, konformitas juga dilakukan agar mendapatkan
penerimaan dari kelompok atau lingkungan tertentu. Jika individu memiliki
pandangan dan perilaku yang berbeda maka dirinya akan dianggap bukan
termasuk dari anggota kelompok dan lingkungan tersebut. Contoh dari
persamaan budaya dalam hal konformitas adalah ketika individu yang hidup
bermasyarakat mematuhi peraturan atau adat istiadat yang ada di lingkungan
itu sendiri dan bisa menempatkan dirinya sesuai tempatnya dalam hal norma,
adat istiadat dan budaya.
c. Keinginan untuk merasa benar
Banyak keadaan menyebabkan individu berada dalam posisi yang dilematis
karena tidak mampu mengambil keputusan. Jika ada orang lain dalam
kelompok atau kelompok ternyata mampu mengambil keputusan yang dirasa
benar maka dirinya akan ikut serta agar dianggap benar.
Contoh dari persamaan budaya dalam hal konformitas adalah ketika
individu yang hidup bermasyarakat mematuhi peraturan atau adat istiadat yang ada
di lingkungan itu sendiri dan bisa menempatkan dirinya sesuai tempatnya dalam
hal norma, adat istiadat dan budaya.
C. Perbedaan Antar Budaya Dalam Hal Konformitas
Pada beberapa individu atau kelompok individu terdapat kecendrungan untuk
berusaha melawan tekanan konformitas. Ini dapat terlihat dari penelitian Asch
(dalam Baron & Byrne, 2003) yang menemukan bahwa sebagian partisan
mengikuti tekanan sosial, namun hanya sebagian waktu. Di dalam berbagai
kesempatan, mereka berpegang dengan pendapatnya, meskipun kemudian mereka
dihadapkan pada mayoritas suara yang tidak setuju dengan pendapat mereka
(Baron & Byrne, 2003).
Adapun faktor yang menyebabkan tidak terjadinya konformitas menurut Baron
dan Byrne adalah :
a. Keinginan untuk individuasi, yaitu kebutuhan untuk menjadi berbeda dari
orang lain daam beberapa hal. Konformitas lebih banyak terjadi di negara-
negara budaya kolektivis (negara-negara Asia dan Afrika), dimana motif untuk
mempertahankan indibidualitas diharapkan kebih rendah, dibandingkan dengan
negara-negara budaya individualistis (negara-negara di Amerika Utara dan
Eropa Barat)
b. Keinginan untuk kontrol pribadi, yaitu kebutuhan untuk mempertahankan
kontrol terhadap kehidupannya sendiri, menurut Baron dan Byrne (2003),
sebagian besar orang ingin percaya bahwa mereka dapat menentukan apa yang
terjadi pada diri mereka, dan menuruti tekanan sosial terkadang berlawanan
dengan keinginan ini. Selain itu, disebutkan pula semakin kuat kebutuhan
individu akan kontrol pribadi semakin sedikit kecendrungan mereka untuk
menuruti tekanan sosial.
Perbedaan budaya dalam hal konformitas dapat terlihat dalam individu yang hidup
bermasyarakat tidak mau mengikuti aturan atau adat istiadat yang ada dilingkungannya
itu sendiri dan inividu tersebut bersikap sesukanya dan tidak memandang aturan yang
berlaku.
II.3 Nilai Nilai
A. Definisi nilai-nilai
Nilai yang dalam bahasa Inggrisnya adalah value biasa diartikan sebagai
harga, penghargaan, atau taksiran. Maksudnya adalah harga yang melekat pada
sesuatu atau penghargaan terhadap sesuatu. Bambang Daroeso (1986:20)
mengemukakan bahwa nilai adalah suatu kualitas atau penghargaan terhadap
sesuatu, yang dapat menjadi dasar penentu tingkah laku seseorang. Menurut
Koentjaraningrat (1987:85) adalah nilai budaya terdiri dari konsepsi konsepsi
yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat mengenai
hal hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu
masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai
budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam menentukan alternatif,
cara cara, alat alat, dan tujuan tujuan pembuatan yang tersedia. Pengertian
nilai berdasarkan Kamus Bahasa Indonesia, Nilai adalah taksiran, sifat-sifat (hal-
hal) penting yang dianggap penting atau yang berguna bagi kemanusiaan yang
dapat mendorong manusia mencapai tujuannya.
Nilai-nilai budaya adalah nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam
suatu masyarakat lingkup organisasi, lingkut masyarakat, yang mengakar pada
suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik
tertentu yang dapat dibedakan satu dengan lainya sebagai acuan perilaku dan
tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi. Kebudayaan adalah suatu
yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau
gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-
hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Nilai-nilai budaya akan tampak pada simbol-
simbol, slogan, moto, visi misi, atau sesuatu yang nampak sebagai acuan pokok
moto suatu lingkungan atau organisasi. Ada tiga hal yang terkait dengan nilai-nilai
budaya ini yaitu :
1. Simbol-simbol, slogan atau yang lainnya yang kelihatan kasat mata (jelas)
2. Sikap, tindak laku, gerak gerik yang muncul akibat slogan, moto tersebut
3. Kepercayaan yang tertanam (believe system) yang mengakar dan menjadi
kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku (tidak terlihat).


B. Pesamaan Antar Budaya Dalam Hal Nilai Nilai
Suatu nilai apabila sudah membudaya didalam diri seseorang, maka nilai itu
akan dijadikan sebagai pedoman atau petunjuk di dalam bertingkahlaku. Hal ini dapat
dilihat dalam kehidupan sehari hari, misalnya budaya gotong royong, budaya malas,
dan lain lain. Jadi, secara universal, nilai itu merupakan pendorong bagi seseorang
dalam mencapai tujuan tertentu.
Dapat disimpulkan bahwa nilai budaya adalah suatu bentuk konsepsi umum yang
dijadikan pedoman dan petunjuk di dalam bertingkah laku baik secara individual,
kelompok atau masyarakat secara keseluruhan tentang baik buruk, benar salah, patut
atau tidak patut.
C. Perbedaan Antar Budaya Dalam Hal Nilai Nilai
perbedaan budaya dalam hal nilai-nilai dapat disebabkan oleh beberapa faktor berikut
diantaranya,
a. Adat istiadat
Adat istiadat adalah nilai tidak bersifat universal artinya tidak setiap masyrakat
atau kelompok menerima nilai tersebut, sehingga nilai antara suatu daerah
dengan daerah lainya berbeda-beda. Contoh : adat istiadat masyarakat sunda
denga masyarakat jawa.
b. Agama
Faktor yang paling mempengaruhi norma dan nilai, setiap agama memiliki
aturan yang berbeda dengan agama lain. Contoh: dalam agama Islam alkohol
dan daging babi adalah haram hukumnya namun di agama lain tidak memiliki
aturan tersebut.
c. Lingkungan (tempat tinggal)
Faktor lingkungan berperan dalam pembedaan nilai dan norma di setiap
daerah. Contoh: lingkungan di daerah pedesaan sangat berbeda dengan daerah
perkotaan.
d. Kebudayaan
Budaya di dalam suatu masyarakat atau kelompok berbeda-beda, hubungan
antara budaya dan nilai yaitu suatu norma yang di miliki suatu kempok berbeda
dengan yang lainnya.
Perbedaan budaya tidak jarang menimbulkan konflik dalam kehidupan.
Perpecahan antar suku bangsa yang didasarkan oleh nilai tidak dapat dipungkiri dalam
kenyataanya. Seperti yang terjadi pada konflit poso, ambon dan tragedi sampit. Antara
suu bangsa satu dan suku bangsa yang lain harus membuka diri sehingga perbedaan
dalam memandang sesuatu tidak berakhir dengan konflik dan mengakibatkan perpecahan.
II.4 Individualisme Dan Kolektivisme
A. Definisi Individualisme & Kolektivisme
Menurut Hofstede dan Hofstede (2005), salah satu ciri masyarakat yang
menganut nilai individualis adalah individu lebih tertarik untuk tidak menjadi
bagian dan kelompok. Selanjutnya, individu juga menekankan tujuan pribadi
diatas tujuan kelompok, dan hak individu berada diatas kepentingan serta
tanggung jawab kelompok (Greenberg dan Baron, 2001). Seseorang yang
menganut individualisme akan cendrung mementingkan diri sendiri. Menurut
Markus dan Kitayama (dalam Goncalo dan Staw, 2005) mendefinisikan
individualisme sebagai nilai dimana seseorang tergambar sebagai individu yang
bebas dan memiliki kebiasaan unik yang berbeda dan orang lain.
Kolektivis adalah individu memilih hidup bersama-sama dan menjadi
bagian dan kelompok (Hofstede dan Hofstede, 2005). Selain itu, inidividu juga
menekankan pada tujuan kelompok diatas tujuan pribadi, serta menekankan
keinginan dan kepentingan kelompok berada diatas kepentingan pribadi. Menurut
Markus dan Kitayama (dalam Goncalo dan Staw, 2005) nilai kolektivisme
didefinisikan sebagai nilai dimana individu tergabung dan terikat dengan
masyarakat.
B. Pesamaan dan Perbedaan Antar Budaya Pada Masyarakat Kolektivitas Dan
Individualis
Dimensi individualism versus collectivism menunjuk pada sejauhmana
suatu budaya mendukung kecenderungan perilaku individualistik atau
kolektivistik. Budaya individualistik mendorong anggota-anggotanya agar lebih
otonom, menekankan tanggung jawab dan hak-hak pribadi. Dalam budaya ini
kebutuhan, keinginan, kepentingan dan tujuan-tujuan pribadi lebih diutamakan
dari pada kepentingan dan tujuan kelompok. Sebaliknya, budaya kolektivistik
lebih menekankan dan menempatkan kepentingan kelompok di atas kepentingan
individu. Amerika Serikat, Australia, Inggris dan Kanada serta negara-negara
bekas jajahan Inggris menunjukkan budaya yang individualistik, sedangkan
sebagian besar negara-negara di Asia dan Amerkia Latin lebih menunjukan
budaya kolektivistik.
II.5 Kognisi Sosial
A. Definisi Kognisi Sosial
Kognisi adalah istilah umum yang mencakup seluruh proses mental yang
megubah masukan-masukan dari indera menjadi pengetahuan (Matsumoto, 2008).
Menurut Tri Dayakisni (2008) salah satu proses dasar kognisi adalah pemberian
katagori pada setiap benda atau objek atas dasar persamaan dan perbedaan
karakternya. Pemberian katagori juga biasanya didasarkan pada fungsi dari masing-
masing objek tersebut.
Menurut Baron & Byrne (2000) kognisi sosial merupakan cara individu
untuk menganalisa, mengingat dan menggunakan informasi mengenai kejadian atau
peristiwa-peristiwa sosial. Dalam menganalisa suatu peristiwa, terdapat 3 proses,
yaitu: attention adalah proses pertama kali terjadi dimana individu memperhatikan
gejala-gejala sosial yang ada disekelilingnya. Kedua encoding adalah memasukkan
apa yang diperhatikan ke dalam memorinya dan menyimpannya. Kegita retrieval
adalah apabila kita menemukan gejala yang mirip kita akan mengeluarkan ingatan
kita dan membandingkan apabila ternyata sama maka kita bisa mengatakan sesuatu
mengenai gejala tersebut atau bisa juga individu mengeluarkan ingatannya ketika
akan menceritakan peristiwa yang dialami.
B. Pesamaan dan Perbedaan antar Budaya Dalam Hal Kognisi Sosial
Kognitif diartikan sebagai kegiatan untuk memperoleh, mengorganisasi dan
menggunakan pengetahuan. Pola pikir dan perilaku manusia bertindak sebagai
aspek fundamenal dari setiap individu yang tak lepas dari konsep kemanusian yang
lebih besar, yaitu budaya sebagai konstruksi sosial. Ada berbagai hal yang
berhubungan dengan keberadaan faktor kognisi dalam pengaruh terhadap lintas
budaya :
a. intelegensi umum
integensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah berpikir secara
rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif. Sartono Kartodirdjo
(dalam Kebudayaan Indis. 2011. Soekiman,Djoko) membagi masyrakat hindia
belanda berdasarkan pendidikannya. Perkembangan pendidikan dan pengajaran
menumbuhkan golongan sosial baru yang mempunyai fungsi dan status baru.
b. Gaya Kognitif
Soekiman, Djoko menyebutkan aspek kognitif berhubunhan dengan tingkat
perasaan, yang sangat sulit dilukiskan dan diamati. Sebagai contoh dalam hal
membangun rumah dengan susuan tata ruanganya, pada suku jawa misalnya
tidak dikenal ruang khusus bagi keluarga dengan perbedaan umur, jenis
kelamin, generasi, famili bahkan bukan famili maka fungsi ruang tidak
dipisahkan atau dibedakan dengan jelas. Contoh lain adalah sikap canggung
orang pribumi (jawa) yang hidup dalam keselarasan tradisional di kampung,
kemudian pindah didalam rumah gedung dengan suasana bergaya barat atau
modern. Dalam menganalisis aspek kognitif dalam contoh budaya belanda dan
jawa, belanda tidak mengenal konotasi ritual seperti pandangan kepercayaan
budaya jawa.
II.6 Perilaku Gender
A. Definisi Gender
John M. Echols & Hassan Sadhily mengemukakan kata gender berasal dari
bahasa Inggris yangberarti jenis kelamin (Rahmawati, 2004: 19). Secara umum,
pengertian Gender adalah perbedaanyang tampak antara laki-laki dan perempuan
apabila dilihat dari nilai dan tingkah laku. Baron mengartikan bahwa gender
merupakan sebagian dari konsep diri yang melibatkan identifikasi individu sebagi
seorang laki-laki atau perempuan.
B. Pesamaan dan Perbedaan Antar Budaya Dalam Hal Perilaku Gender
Perbedaan reproduksi dan biologis mengarahkan pada pembagian kerja
yang berbeda antara pria dan wanita dalam keluarga. Perbedaan-perbedaan ini
pada gilirannya mengakibatkan perbedaan ciri-ciri sifat dan karakteristik
psikologis yang berbeda antara pria dan wanita. Faktor-faktor yang terlibat dalam
memahami budaya dan gender tidak statis dan unidimensional. Keseluruhan
sistem itu dinamis dan saling berhubungan dan menjadi umpan balik atau
memperkuat sistem itu sendiri. Sebagai akibatnya sistem ini bukan suatu unit yang
linear dengan pengaruh yang berlangsung dalam satu arah, dan semua ini
diperoleh dalam kehidupan kita sendiri. Persamaan gender dalam hal budaya
Biasanya wanita dan pria sama-sama mempelajari semua budaya , namun
bagaimana dirinya sendiri yang menyikapinya. Dalam hal transmisi budaya baik
wanita dan pria dapat sekali mematahui peraturan yang ada , dimana dia tinggal ,
aturan yang berlaku dan adat istiadatnya mereka pun mengikuti. Perbedaan gender
dalam hal budaya wanita lebih cendrung untuk melestrarikan budaya, mulai dari
menjadi penari daerah, sinden sedangkan pria cendrung hanya mengetahuinya
saja.









BAB III
PENUTUP

III.1 Simpulan

Anda mungkin juga menyukai