SEHARUM JIHAD (Tinjauan Terhadap Amalan Setingkat Jihad)

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 21

SEHARUM JIHAD

(TINJAUAN TERHADAP AMALAN-AMALAN


SETINGKAT JIHAD)

OLEH:
ABDURRAHMAN SUPARDI USMAN
ANDI AINUN JARIYAH
ANDI MUHAMMAD DIRGA N

ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah swt yang telah melimpahkan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah yang berjudul SEHARUM JIHAD:
Tinjauan Terhadap Amalan-amalan Setingkat Jihad. dapat kami selesaikan.
Salawat dan salam semoga senantiasa tercurah pada junjungan Nabi Besar
Muhammad saw yang telah membawa cahaya pada lembah kegelapan dunia.
Jihad dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti usaha dengan segala
daya upaya untuk mencapai kebaikan, usaha sungguh-sungguh membela agama
Islam dengan mengorbankan harta benda, jiwa, dan raga.1 Sedangkan dalam
Kamus Praktis Bahasa Indonesia, Jihad diartikan sebagai perang suci melawan
orang kafir untuk mempertahankan agama Islam.2 Dengan konteks kekinian
kontriversi jihad telah menjadi perhatian umat beragama secara universum, baik
pada internal islam maupun eksternal agama-agama lain. Jihad secara sempit
menjadi identik dengan ekstrimisme.
Degradasi interpretasi dari jihad menjadi refleksi lemahnya kapabelitas
para penyandang nama umat islam. Betapa mudahnya jihad diatas namakan demi
aksi terorisme dan penjajahan paradigma. Untuk itu, menjadi penting untuk
dibicarakan tentang pemahaman mendalam mengenai konsepsi jihad secara
universum. Mengingat gejala yang timbul dalam konteks kekinian yakni krisis
kepercayaan terhadap kesucian jihad. Lebih lanjut, perlu pula diketahui mengenai
amalan-amalan yang derajat pahalanya dapat disejajarkan dengan pada jihad.
1
2

hal.179

E. Setiawan, KBBI Offline version 1.2.(Software: Ebsoft, 2010)


Y. Zulkarnain, Kamus Praktis Bahasa Indonesia. (Surabaya:CV. Karya Utama , 2000),

Selain hadir sebagai rekomendasi alternatif amalan sakral, memahami amalanamalan yang seharum jihad dapat pula membantu percepatan deradikalisasi yang
diidam-idamkan.
Makalah ini hadir dan diharapkan dapat menjadi pembicaraan awal
mengenai jihad dan amalan-amalan yang tidak kalah sakral dengan jihad yang
terkadang keberadaannya dipandang sebelah mata.
Teringat pada pepatah tak ada gading yang tak retak. Tentunya
kesalahan dan kekurangan masih menjadi bentuk gejala seni tersendiri dalam
makalah ini. Untuk itu, kritik dan saran sangat kami harapkan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para insan akademik dan
masyarakat pada umumnya. Kiranya Allah swt menggolongkannya sebagai amal
ibadah bagi kita semua.

Samata, 3 April 2013

Tim Penyusun

Daftar Isi
Halaman judul
Kata pengantar..1
Daftar isi....3
BAB I
Pendahuluan
A. Latar belakang..4
B. Rumusan masalah..5
C. Tujuan....5
D. Manfaat.....5
BAB II
Pembahasan
A. Jihad..6
B. Amalan-amalan Sederajat Jihad..8
a. Berbakti pada Kedua Orang Tua.8
b. Menyantuni Janda dan Anak Yatim15
BAB III
Penutup
A. Simpulan.19
B. Saran...19
Daftar pustaka....20

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jihad adalah sebuah istilah yang debatable (diperdebatkan) dan
interpretable (multitafsir). Jihad memiliki makna yang beragam, baik
eksoterik maupun esoterik. Padahal jihad merupakan salah satu bentuk ibadah
dengan ganjaran pahala tertinggi. Agungnya janji Tuhan pada para mujahidin
membuat para insan muslim yang ksatria tertarik pada amalan tersebut.
Namun, apakah jihad memang eksklusif pada derajat tertinggi ibadahibadah dalam agama islam? Apakah jihad hanya diartikan sebagai angkat
senjata dalam peperangan suci? Apakah hanya jihad yang menempati kasta
tinggi ibadah-ibadah kehormatan? Apakah ada amalan-amalan lain yang
derajatnya setingkat jihad?
Oleh karena pertanyaan-pertanyaan tersebut yang kian menggelitik dalam
benak dan sanubari, sehingga terbentuklah kesadaran tentang betapa
pentingnya mengenal jihad lebih dekat dan amalan-amalan selainnya yang
derajat pahala serta kehormatan-nya definitif identik dengan jihad. Untuk
itulah, makalah ini lahir sebagai sebuah pembicaraan awal terhadap hal
tersebut.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari wacana perkawinan adat adalah sebagai
berikut:
1. Seberapa dahsyat kemuliaan jihad?
2. Apa saja amalan-amalan yang setingkat jihad?
a. Berbakti pada kedua orangtua;
b. Menyantuni janda dan anak yatim.
C. Tujuan
Makalah ini lahir dengan tujuan untuk membuka tabir perkenalan dengan
amalan-amalan ibadah yang setingkat atau sederajat dengan jihad.

D. Manfaat
Adapun manfaat yang ingin dicapai adalah untuk:
1. Mengetahui derajat kemuliaan jihad;
2. Mengetahui derajat kemuliaan amalan-amalan setingkat jihad:
a. Berbakti pada kedua orang tua;
b. Menyantuni janda dan anak yatim.

BAB II
PEMBAHASAN
A. JIHAD
Jihad adalah sebuah istilah yang debatable (diperdebatkan) dan
interpretable (multitafsir). Jihad memiliki makna yang beragam,baik
eksoterik maupun esoterik. Jihad secara eksoterik biasanya dimaknai sebagai
perang suci (the holy war). Sedang secara esoterik, (jihad atau lebih
tepatnya: mujahadah) bermakna: suatu upaya yang sungguh-sungguh untuk
mendekatkan diri (ber-taqarrub) kepada Allah SWT. Ijtihad dalam konteks fiqh
adalah

kemampuan

menalar

dan

upaya

yang

maksimal

untuk

menginstimbathkan hukum-hukum syariah juga dari akar kata j-h-d. Jihad


dalam arti perang suci oleh sebagian pakar dipandang sebagai suatu
pemaknaan yang terpengaruh oleh konsep kristen (perang salib).
Jihad, jelas berbeda dengan perang. Sebab, kalau kita mencermati
konsep-konsep al-Quran dan hadis Nabi SAW, antara al-jihad, al-qital, dan alharb memiliki makna yang berbeda. al-qital dan al-harb bermakna perang.
Dan Al-Quran dalam hal perintah al-qital (perang) sangat berhati-hati.3
Mahmud Tsabit Al-Faudi dalam Dairatul maarif Al-Islamiyyah menulis,
bahwa terdapat perbedaan antara ayat-ayat jihad periode Makkah dan ayat-ayat
jihad periode Madinah. Ayat-ayat jihad periode Makkah pada umumnya
menyeru untuk bersabar terhadap tindakan-tindaka musuh dan memang tidak
3

Gamal al-Banna, Jihad, Terjemahan Tim Mata Air (Jakarta: Mata Air, 2006) hal.v

ada pilihan lain bagi mereka selain itu, disamping terus berdakwa secara lisan
di

tengah-tengah umat

manusia. sedangkan ayat-ayat

jihad periode

Madinah,sesuai dengan kondisi umat Islam pada waktu itu, menyeru kaum
mukminin untuk menghadapi musuh secara konfrontatif dan mewajibkan
mereka untuk memerangi penduduk Makkah. Dengan demikian dapat
disimpulkan, bahwa ayat-ayat Makkiyah memuat seruan kepada kaum
muslimin untuk waspada terhadap musuh-musuh tanpa mengambil tindakan
aktif berupa perang secara terbuka, sedangkan ayat-ayat jihad madaniyyah
mengizinkan kaum muslimin, bahkan menyeru mereka untuk memerangi kaum
kafir.
Kata jihad didalam al-Quran dan hadis digunakan dalam berbagai bentuk,
yakni dalam bentuk isimbaik isim masdar jihad itu sendiri maupun isim fail
mujahiddalam bentuk fiil. Meliputi fiil mudhari,fiil madhi dan fiil amar,
dengan berbagai fariasi failnya.
Jihad dalam bentuk fiil amar, adakalnya ditujukan kepada mukhatab
mufrad ( orang kedua tunggal ) dan adakalanya ditujukan kepada mukhatab
jamak (orang kedua jamak). Amar jihad yang ditujukan kepada mukhatab
mufrad dapat dipahami bahwa pesan jihad tersebut ditujukan kepada
perseorangan dan dapat dilaksanakan secara perseorangan.4
Derajat kemuliaan jihad memang sangat menjanjikan. Berdasarkan
jaminan Rasulullah saw dalam sebuah riwayat yang diabadikan dalam
4

Muhammad Chirzin, Jihad dalam al-Quran: Telaah Normatif, Historis,


Prospektif,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004) hal. 38-39

Sebagaimana berikut:

:
: .5
Berdasarkan pada hadits tersebut dapat ditangkap secara langsung bahwa
secara general, para mujahidin merupakan golongan manusia-manusia terbaik
dalam perspektif islam. Meskipun hal tersebut tentunya memerlukan
pembicaraan lebih lanjut dan mendalam.
B.

AMALAN-AMALAN SETINGKAT JIHAD

1.

Berbakti pada Kedua Orang Tua

Ibnu umar bercerita ; Seorang lelaki mendatangi Nabi dan berkata, aku
ingin berjihad Nabi bertanya, apakah kedua orang tuamu masih ada? ia
menjawab ya. Beliau berkata, berbuat baik kepada keduanya adalah jihad.6
Betapa mulia derajat orang tua. Sehingga berbakti kepada keduanya
diasosiasikan oleh Rasulullah dengan

amalan jihad. Dari hadits tersebut,

berbakti pada kedua orang tua dapat diinterpretasikan sebagai salah satu bentuk
jihad. Atau dapat pula dipahami bahwa berbakti kepada orang tua merupakan
amalan yang terpisah dari jihad akan tetapi memiliki derajat pahala yang
definitif identik dengan jihad.

Ibnu Hajar, Fath al-Barii,(Riyadh:Maktabah Salafiyah, 1988). Hal. 53


Abdul Qadir Jaelani, Bekal yang Cukup, Terjemahan Abad
Badruzzaman,(Jakarta:PT.Sahara). hal. 38
6

Selanjutnya menjadi penting untuk membicarakan konsepsi berbakti itu


sendiri. Allah SWT Berfirman dalam al-Quran:

Dan tuhanmu telah menetapkan supaya kamu jangan menyembah selain


dia dan hendaklah (kamu berbakti) kepada kedua orang tua kebaktian
sempurna. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua- duanya
mencapai ketuaan disisimu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan
kepada keduanya perkataan ah dan janganlah engkau membentak
keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia. (Q.S. 17:
23)
Thahir ibn Asyur menilai ayat ini dan ayat-ayat berikutnya merupakan
rincian tentang syariat islam yang ketika turunnya merupakan rincian tentang
syariat islam yang ketika turunnya merupakan rincian pertama yang
disampaikan kepada kaum muslimin di mekkah.7

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah,(Jakarta: Lentera hati, 2002), hal. 449

10

Sayyid quthub menjadikan ayat 22 dari surah al-Isra sebagai kelompok


ayat-ayat ini.

Janganlah kamu adakan Tuhan yang lain di samping Allah, agar kamu
tidak menjadi tercela dan tidak ditinggalkan (Allah). (Q.S. 17: 22)
dia menulis bahwa kelompok ayat-ayat yang lalu mengaitkan amal dan
balasannya, petunjuk dan kesesatan, serta usah pertanggung jawabkan
(mengaitkan semua itu) dengan hukum ilahi yan berlaku dialam raya, sepert
hukum- Nya mempergantikan malam dengan siang.

Adapaun kelompok-

kelompok ayat ini, maka ia mengaitkan interkasi dan mora ,tanggung jawab
pribadi dan sosial mengaitkan senfand akidah keesaan Allah , bahkan dengan
akidah itu dikaitkan segala ikatan dan hubungan seperti ikatan keluarga,
kelompok dan bahkan ikatan hidup.
Apapun pendapat yang anda pilih tentang ayat pertama kelompok ,yang
jelas pendapat sayyid quthub diatas tetap dapat diterima, karena ayat 23 yang
penulis jadikan awal kelompok juga berbicara tentang kewajiban mengesakan
Allah SWT. Bukankah ayat diatas memulai tuntutannya dengan memulai agar
tidak menyembah selain Allah s.w.t?8
Ayat diatas menyatakan dan tuhanmu yang selalu membimbing dan
berbuat baik kepadamu telah menetapkan dan memerintahkan supaya kamu,
yakni engkau wahai Nabi Muhammad dan seluruh manusia jangan
8

Ibid, hal. 450

11

menyembah selain dia dan hendaklah kamu berbakti kepada kedua orangtua
,yakni ibu dan bapak kamu dengan kebaktian yang sempurna. Jika salah
seorang dari keduanya atau kedua- duanya mencapai ketuaan, yakni bermumur
lanjut atau dalam keadaan lemah sehingga mereka terpaksa berada disisimu,
yakni dalam pemeliharaanmu ,maka jangan sekali-kali kamu mengatakan
kepada keduanya perkataan ah atau suara dan kata yang mengandung makna
kemarahan atau pelecehan atau kejemuan. walau sebanyak dan sebesar apapun
pengabdian

dan

pemeliharaanmu

kepadanya

dan

janganlah

engaku

membentak keduanya mengenai apapun yang mereka lakukan, apalagi


melakukan yang lebih buruk daripada membentak, dan ucapkanlah kepada
keduanya sebagai ganti membentak, bahkan dalam setiap percakapan
dengannya perkataan yang mulia, yakni perkataan yang baik, lembut dan
penuh kebaikan serta penghormatan.
Ayat ini dimulai dengan mengaskan ketetapan yang merupakan perintah
Allah s.w.t untuk menegaskan Allah dalam beribadah, mengikhlaskan diri dan
tidak mempersekutukan-Nya ,sedangkan Quran surah Al-anam [6]: 151
dimulai ddengan ajakan kaum musyrikin untuk mendengarkan apa yang
diharamkan Allah yang antara lain keharaman menyekutukan-Nya. Ini karen
ayat Al-Isra diatas ditujukan kepada kaum muslimin, sehinggaa kata ( )
qadha/ menetapkan lebih tepat untuk dipilih, berbeda halnya dengan ayat AlAnam itu yang ditujukan kepada kaum musyrikin. Dengan demikian tentu

12

saja lebih tepat bagi mereka menyampaikan apa yang dilarang Allah ,yakni
mempersektukan-Nya.9
Keyakinan akan kekuasaan Allah serta kewajiban mengikhlaskan diri
kepada-Nya adalah dasar yang padanya bertitik tolak segala kegiatan. Nah,
setelah itu, kewajiban bahkan aktifitas apapun harus dikaitkan dengan-Nya
serta didiorong oleh-Nya. Kewajiban pertama dan utama setelah kewajiban
mengesaka Allah s.w.t dan beribadah kepada-Nya adalah berbakti kepada
kedua orangtua.
Selanjutnya, dalam menafsirkan QS.an-nisa [4]:36, M. Quraish Shihab,
telah merinci kandungan makna ( ) ihsana. Disana antara lain beliau
mengemukakan bahwa Al-quran menggunakan kata ( ) ihsana untuk
dua hal. Pertama, memberi nikmat kepada pihak lain, dan kedua perbuatan
baik, karena itu kata tersebut lebih luas dari sekedar memberi nikmat atau
nafkah. Maknanya bahkan lebih tinggi dan dalam daripada kandungan makna
adil adalah memperlakukan orang lain sama perlakuannya kepada anda,
sedang ihsan memperlakukan lebih baik dari perlakuannya terhadap anda.
Adil ihsan adalah memberi lebih banyak daripada yang harus anda beri
dan mengambil lebih sedikit dari yang seharusnya anda ambil.karena itu pula,
rasul saw berpesan kepada seseorang: engkau dan hartamu adalah
untuk/milik ayahmu (HR Abu Daud).10

Ibid
Ibid, hal. 451

10

13

Selanjutnya, bahwa Al-quran menggunakan kata penghubung ( )bi


ketika berbicara tentang bakti kepada ibu bapak ( ) wa bi alwalidain ihsanan, padahal bahasa membenarkan penggunaan ( )li yang
berarti untuk dan ( )ila yang berarti kepada untuk penghubung kata itu.
Menurut pakar-pakar bahasa, kata ( )ila mengandung makna jarak,
sedang Allah tidak menghendaki adanya jarak, walau sedikit dalam hubungan
antara anak dan orangtuanya. Anak selalu harus mendekat dan merasa dekat
kepada ibu bapaknya, bahkan kalau bisa, dia hendaknya melekat padanya ,dan
karen itu digunakan kata bi yang mengandung arti ( )ilshaq, yakni
kelekatan. Karena kelekatan itulah, maka bakti yang dipersembahkan oleh
anak kepada orang tuanya,pada hakikatnya bukan untuk ibu bapak, tetapi
untuk diri sang anak sendiri. Itulah sebabnya tidak dipilih kata penghubung
lam (li) yang mengandung makna peruntukan.11
Ayat diatas menyebutkan secara tegas kedua orang tua atau salah seorang
diantara keduanya saja dalam firman-Nya

( )

imma yablughana indaka al-kibara abaduhuma auw kilahuma/jika salah


seorang diantara keduanya atau kedua-duanya mencapai ketuaan disisimu
walaupun kata mencpai ketuaan (usia lanjut) berbentuk tunggal. Hal ini untuk
menekankan bahwa apapun keadaan mereka, berdua atau sendiri maka
masing-masing harus mendapat perhatian anak.memang boleh jadi keberadaan
orang tua sendirian atau keberadaan mereka berdua masing-masing dapat
menimbulkan sikap tak acuh kepadanya. Boleh jadi juga kalau keduanya

11

Ibid

14

masih berada di sisi anak, maka sang anak yang segan atau cinta pada salah
satunya terpaksa bebati kepada keduanya- karena keseganan atau kecintaan
pada salah seorang diantar mereka saja. Dan ini menjadikan ia tidak lagi
berbakti kepada keduanya dan dicintai sudah tiada. Disisi lain, boleh jadi juga
kalau yang hidup bersama sang anak hanya seorang diantara mereka, maka dia
berbakti kepadanya sedang bila kedua- duanya, maka baktinya berkurang
dengan dalih misalnya biaya yang dibutuhkan amat banyak. Nah, karena
karena itu ayat ini menutup segala dalih bagi anak untuk tiddak berbakti
kepada kedua orang tua, baik keduanya berada disisinya maupun hanya salah
seorang diantara mereka.12
Kata ( )kariman biasa diterjemahkan mulia. Kata ini terdiri dari hurufhuruf kaf, ra dan mim yang menurut pakar-pakar bahasa mengandung makna
yang mulia atau terbaik sesuai objeknya. Bila dikatakan rizqun karim maka
yang dimaksud adalah rezki yang halal dalam perolehan dan pemanfaatannya
serta memuaskan dalam kualitas dan kuantitasnya, bila kata karim dikaitkan
dengan ahlak menghapi orang lain, maka ia bermakna pemaafan.13
Ayat diatas menuntut agar apa yang disampaikan kepada kedua orang tua
bukan saja yang benar dan tepat, buka saja juga yang sesuai dengan adat
kebiasaan yang baik dalam suatu masyarakat, tetapi ia juga harus yang terbaik
dan termulia, dan kalaupun seandainya orang tua melakukan suatu
kesalahan terhadap anak, maka kesalahan itu harus dianggap tiada/
dimaafkan (dalam arti dianggap tidak pernah ada dan terhapus dengan
12
13

Ibid, hal. 452


Ibid, hal. 453

15

sendirinya) karena tidak ada orang tua yang bermaksud buruk terhadap
anaknya. Demikian makna kariman yang dipesankan kepada anak dalam
menghadapi orang tuanya.

2. Menyantuni Janda dan Anak Yatim


Seorang janda akan bersyukur jika ternyata ada lelaki shalih yang mau
menjadikannya sebagai istri. Seperti Khadijah RA, setelah bercerai dengan
suaminya akhirnya dinikahi Rasulullah SAW. Atau Ummu Habibah yang
memilih bercerai dengan Ubaidullah bin Jahsy karena suaminya tersebut telah
murtad dari agama Islam, selanjutnya dia dinikahi oleh Rasulullah Saw. Atau
Asma binti Umais setelah suaminya, Jafar At Thayyar syahid lantas dinikahi
oleh Abu Bakar As Shidiq. Dan masih banyak kisah lain tentang para janda
yang dinikahi oleh para sahabat dan tabiin. Namun tidak jarang p yang
menghampirinya. Dalam kondisi seperti itu bersabar adalah pilihan utama
dengan tetap menjaga kehormatan diri. Sehingga meski hidup tanpa suami ia
mampu menjadi wanita shalihah, guru bagi anak-anaknya dan pemimpin bagi
kaum hawa yang ada di sekitarnya.
Janda sebenarnya

hanyalah status semata, sama halnya dengan status

menikah, tidak menikah, duda, perjaka, perawan dan predikat lainnya.


Dalam Islam para janda dihormati dan termasuk yang layak mendapat
bantuan. Tanggung jawab nafkah dikembalikan kepada orang tua mereka
setelah suaminya menceraikannya atau meninggal dunia, Seperti Hafshah
setelah ditinggal syahid suaminya di perang Uhud maka ia kembali ke orang

16

tuanya yaitu Umar bin Khattab. Atau Ruqayyah dan Ummi Kultsum setelah
bercerai dengan suaminya maka Rasulullah yang bertanggungjawab terhadap
keduanya yang akhirnya menikahkannya dengan Utsman bin Affan.
Sedangkan jika orangtuanya tidak mampu maka yang bertanggungjawab
terhadap mereka adalah pemerintah, baik dengan mencarikan suami bagi
mereka atau memberikan santunan dari baitulmal. Ketika Fathimah binti Qais
ditalak tiga oleh suaminya maka Rasulullah memberikan perlindungan dan
memberi tempat kepadanya untuk menghabiskan masa iddah di rumah Ibnu
Ummi Maktum, lalu menikahkannya dengan Usamah bin Zaid setelah berlalu
masa iddahnya. Begitu pula ketika Ummu Aiman dicerai suaminya karena
tidak rela dengan keislamannya.
Rasulullah memberikan motivasi kepada para sahabat: Barangsiapa yang
ingin masuk jannah, nikahilah Ummu Aiman. Selain itu Rasulullah SAW
juga menghasung kepada umatnya dengan menjanjikan pahala yang besar bagi
mereka yang memberikan perhatian kepada para janda. Dalam sebuah hadits,
Rasulullah bersabda:
Telah menceritakan kepada kami Isma'il bin Abdullah dia berkata; telah
menceritakan kepadaku Malik dari Shafwan bin Sulaim yang merafa'kan
(menyandarkannya) kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau
bersabda: "Orang yang membantu para janda dan orangorang miskin seperti
orang yang berjihad dijalan Allah atau seperti orang yang selalu berpuasa
siang harinya dan selalu shalat malam pada malam harinya." Telah
menceritakan kepada kami Isma'il dia berkata; telah menceritakan kepadaku

17

Malik dari Tsaur bin Zaid Ad. Daili dari Abu Al Ghaits bekas budak Ibnu
Muthi' dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam seperti
hadits di atas.14
Dalam satu dimensi dari hadits tersebut bahwa barangsiapa yang belum
mampu berjihad di jalan Allah, atau belum mampu untuk konsisten
melaksanakan qiyamul lail di setiap malam dan shaum di siang hari
hendaknya mengamalkan hadits ini yaitu dengan cara menyantuni para janda
dan orang-orang miskin agar kelak dikumpulkan pada hari kiamat bersama
mereka dan mendapatkan derajat seperti para pejuang, meski ia belum pernah
mengerjakan amalan-amalan mereka. Apalagi membantu janda yang ditinggal
mati suaminya, bersamanya anak-anak yang belum dewasa dan mereka dalam
kondisi miskin. Berarti ia akan mendapatkan beberapa fadhilah, fadhilah
membantu janda yang tentu amat bersedih setelah ditinggal suaminya yang
selama ini menjadi penopang hidupnya, fadhilah menolong orang miskin, dan
fadhilah mengasuh anak yatim yang telah ditinggalkan bapaknya yang selama
ini menafkahinya.
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Abdul Wahab dia
berkata; telah menceritakan kepadaku Abdul Aziz bin Abu Hazim dia berkata;
telah menceritakan kepadaku Ayahku dia berkata; saya mendengar Sahl bin
Sa'd dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam beliau bersabda: "Aku dan orang

14

M. Nashiruddin al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari, Terjemahan Abdi


Ummah,(Jakarta: Pustaka Azzam, 2002), hal. 150

18

yang menanggung anak yatim berada di surga seperti ini." Beliau


mengisyaratkan dengan kedua jarinya yaitu telunjuk dan jari tengah." 15
Jihad di jalan Allah tidaklah identik dengan kekerasan. Bahkan amalanamalan setingkat jihad mencerminkan kasih sayang dan kedermawanan.
Kedermawanan adalah sifat terpuji, sedangkan kikir adalah sifat tercela,
karena kedermawanan dapat menumbuhkan kecintaan dan menghapuskan
permusuhan. Meninggalkan nama baik dan menutupi kejelekan dan
keburukan.16
Andailah hubungan vertikal dengan Allah tetap terjaga, bahkan
komunikasi dengan Allah itu cukup dominan takkala lampah kita
menghorisontal kearah sesama hidup, maka insya Allah pertalian kasih yang
di antara sesama makhluk-makhluk karena Allah semata-mata akan terwujud
secara indah dan mulia.17

15
16

Ibid
Syuaib, Akhlak dalam Islam,(Riyadh: Maktab al-Asim Dakwah wal Irsyad,2004),

hal.30
17

hal.199

Dedi Suardi, Pupus Haru di Sajadah Biru,(Bandung: Remaja Rosdakarya,1993),

19

BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Adapun simpulan dari makalah kami adalah sebagai berikut:
1. Jihad adalah bentuk amalan yang sangat mulia dan terleteak tinggi dalam
derajat amalan-amalan ibadah;
2. Berbakti kepada kedua orang tua memiliki derajat setingkat jihad;
3. Menyantuni janda dan anak yatim memiliki derajat setingkat jihad.
B. Saran
Peninjauan terhadap konsepsi interpretasi jihad, hendaknya
semakin menekankan corak deradikalisasi. Untuk dipahami pula luasnya
dimensi jihad yang mencakup sendi-sendi kehidupan manusia. Sehingga
amalan-amalan agung lainnya tidaklah teremehkan.

20

DAFTAR PUSTAKA

Shihab, Quraish. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian. Jakarta:


Lentera Hati, 2002.
Jaelani, Abdul Qadir. Bekal yang Cukup. Jakarta: Sahara Intisains, 2009.
Al-Banna, Gamal. Jihad. Jakarta: Mata Air Publishing, 2006.
Chirzin, Muhammad. Jihad dalam al-Quran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004.
Suardi, Dedy. Pupus Harus di Sajadah Biru. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1993.
Syuaib. Akhlak dalam Islam. Riyadh: Maktab al-Asim Dakwah wal Irsyad, 2004.
Al-Albani, M. Nashiruddin, Ringkasan Shahih Bukhari. Terjemahan Abdi
Ummah. Jakarta: Pustaka Azzam, 2002.
Hajar, Ibnu, Fath al-Barii, Riyadh: Maktabah Salafiyah, 1988.
Zulkarnain, Y, Kamus Praktis Bahasa Indonesia, Surabaya: CV. Karya Utama,
2000.

Anda mungkin juga menyukai