Hakikat Kebebasan Pers Dan Penguatan Demokrasi
Hakikat Kebebasan Pers Dan Penguatan Demokrasi
Hakikat Kebebasan Pers Dan Penguatan Demokrasi
yang dingin. Sepanjang suatu peristiwa itu adalah fakta, maka pers layak mengungkapnya,
karena masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui fakta yang relevan dengan kebutuhan
mereka. Ketika mengungkap realitas social yang buruk, tentang konflik misalnya, bukan berarti
pers senang atau sejutu dengan realitas itu. Persoalannya, bukan senang tidak senang, atau
setuju tidak setuju. Tetapi karena realitas itu ada, maka pers pun memberitakan. Jadi, baik
buruknya isi pers bukan masalah pers itu sendiri, melainkan karena problem realitas. Kalau akan
memperbaiki, ya yang harus diperbaiki realitasnya. Bukan pers atau cerminnya.
Sementara bagi yang melihat tidak ada masalah atau biasa-biasa saja, melihat fenomena
kebebasan perssekarang ini bagian dari prosespembelajaran dan proses transisional. Sejak
reformasi hingga sekarangmasih terjadi euforia, baik masyarakat maupun kalangan pers. Maka
logis jika keadaannya srba belum mapan. Pada suatu saat nanti tentu akan terjadikeseimbangan
beru, homeostatis. Yaitu, tatkala masing-masing pihak sudah saling menyesuaikan. Sekarang ini
sama-sama masih sedang belajar. Persnya sedang belajar bebas, masyarakatnya juga belajar
memahami kebebasan. Jadi, sma-sama kaget, sama-sama bingung. Nantinya ketika sudah
banyak terjadi interaksi saling control, kondisinya akan menuju keadaan yang lebih mapan.
Adapun elompok ketiga yang mengkhawatirkan ekses kebebasan pers, melihat apa yang
terjadi dewasa ini adalah fenomena kebablasan. Pers dianggap tidak mau tahu dengan kondisi
Negara yang sudah carut-marut. Pers seakan tetap asik dengan peran kebebasannya, yakni
mengungkap berbagai fakta berdasar pertimbangan mereka sendiri. Padahal, ekonomi bangsa
sudah semakin terpuruk, sedangkan rakyat sudah lama menderita. Mereka telah capek dan
jenuh terhadap berbagai konflik politik. Tetapi semua itu dirasa masih kurang menyentuh
kebijakan kalangan pengelola media massa.mereka dianggap mencari keuntungan semata.
Takkala bangsa dannegara sedang krisis, medi ajustru memetik keuntungan dari
permberitaan. Seakan menbenarkan asumsi mass media thrie on crsisi, but threatened by
normalcy. Lalu, nagaimana tanggung jawab social media? Lalu di mana nasionalisme mereka?
Begitu kira-kira keluh kesah dan kekesalan kelompok ini terhadap media.
Bagi mereka yang memegang prespektif yang ketiga ini, juga mempunyai asumsi yang
menganggap sebenarnya media massa bukanlah sekedar cermin realitas social, melainkan
media lebih banyak berperan sebagai filter atau gatekeeper yang menyeleksi berbagai peristiwa
untuk diberi perhatian atau tidak. Media senantiasa memilih isu, informasi, atau bentuk konten
yang lain berdasar standar para pengelolanya. Disini khalayak dipilihkan oleh media tentang
apa-apa yang layak diketahui dan mendapat perhatian. Mereka memilih fakta-fakta tertentu
dan mengabaikan yang lain, kemudian memberi, angle, arah, dan framing berdasar prespektif
dan kepentingan pengelola media.
Khalayak tidak memiliki kemapuan yang berarti untu memengaruhu isi yang sesuai dengan
keinginan mereka. Jadi, kalau isi media banyak mengeksploitasi peristiwa konflik, itu memeang
kehendak pengelolanya. Isi media tidak pernah pernah lepas dari tujuan tertentu dari para
jurnalis. Inilah makanya mereka mengkritik pengelola media. Apalagi kalangan ini percaya,
pemberitaan media memang bias mendorong terjadinya konflik hingga membahayakan
integrasi social.
B.
Makanya pers harus jaga jarak dengan sumber berita, terutama para penguasa. Agar mereka
bias netral dan dingin melihat realitas.
Secara gambling objektivitas dirumuskan Westertahl dalam dua prinsip utama (McQuail,
2002: 173), yaitu sesuai kenyataan (factuality) dan tidak memihak (impartiality). Prinsip
factuality terdiri dari dua unsur, yaitu benar (truth) dan relevan. Unsur benar (truth) ditentukan
oleh ketepatan (accuracy) dalam mendeskripsikan fakta. Kebenarannya kuat jika ada kaurasi
pada seluruh unsur berita (5 w + 1 h). keakuratan dalam mengutip, mendeskripsikansesuatu
sangat penting bagi pers. Untuk mendukung akurasi, agar berita benar perlu aspek kelengkapan
(completeness). Pers hendaknya tidak memotong bagian yang menarik saja, melainkan
memberikan infomasi pendukung termasuk bukti-bukti, data, dokumen, atau bisa berupa foto.
Semakin lengkap mengungkap peristiwa dengan database yang memadai, semakin baik berita
itu.
Tetapi ada unsur relevan dalam faktualiti, yaitu berkaitan dengan kesesuaian isi yang
diberitakan dengan tujuan berita. Kendati dituntut akurat dan lengkap, tentu tidak semua fakta
bisa diungkap bila tidak relevan. Berita perkosaan misalnya, tujuannya memberikan warning
pada masyarakat, telah terjadi pelanggaran moral. Berita demikian tak perlu mengungkap detil
adegan perkosaaan, identitas korban, atau warna celana dalamyang dipakai saat itu.
Pengungkapan yang gamblang justru memuncukan bias efek berita.
Objektivitas juga ditentukan prinsip tidak memihak. Ada dua unsur, yaitu seimbang (balance)
dan netral. Seimbang maksudnya memberi tempat yang adil pada pandangan yang berbeda,
sering dikenal dengan istilah cover both side. Adapun netral berarti harus ada pemisahan antara
fakta dan opini pribadi wartawan. Secara etis wartawan tidak dibenarkan memasukkan opininya
seakan-akan bagian dari fakta yang diliput. Termasuk menyimpulkan dan memberikan penilaian
terhadap fakta.
Sayangnya, profesionalisme mewujudkan pemberitaan yang objektiv, masih mengalami
banyak hambatan. Banyak wartawan dan media yang tidak memahamisecara professional
makna objektivitas. Tatapi ada pula yang by design memang mngabaikan itu. Sekarang ini
banyak perusahaan media mengukur profesionalitas wartwannya hanya dari keberhasilan
mendongkrak oplah, rating, atau sekedar mampu memberikan keuntungan finansial pada
perusahaan. Wartawan dan redaktur ditempatkan sebagai elemen mesin industry informasi,
bukan sebagai actor komunikasi yang sarat akan laku moral ketika memberitakan sesuatu.
Sementara dengan alasan dikejar target berita, deadline, dan rutinitas lain, banyak
wartawan malas melakukan verifikasi. Padahal, disiplin verifikasi merupakan salah satu elemen
dasar jurnalisme. Tanpa itu, kebenaran dan akurasi akan menjadi korban pemberitaan. Kondisi