SK End of Life

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 10

SURAT KEPUTUSAN DIREKTUR RUMAH SAKIT AWAL BROS BEKASI

Nomor :
Tentang
PENANGANAN PASIEN AKAN MENINGGAL DUNIA (END OF LIFE CARE)
DI RUMAH SAKIT AWAL BROS
Direktur Rumah Sakit Awal Bros Makassar
Menimbang : 1.

Bahwa diperlukannya kebijakan yang mengatur tata cara penanganan pasien


akan meninggal dunia karena pasien yang menjelang akan meninggal dunia
bisa mengalami gejala lain yang berhubungan dengan proses penyakit atau
terapi kuratif atau membutuhkan bantuan dalam menghadapinya secara
psikososial, spiritual dan kultural berhubungan dengan kematian dan sekarat.

2.

Bahwa dalam upaya meningkatkan pelayanan Rumah Sakit terhadap tuntutan


masyarakat akan pelayanan kesehatan yang lebih bermutu perlu
diselenggarakannya sistem informasi pada penanganan pasien akan
meninggal sebagai acuan dalam penanganan pasien menjelang meninggal,
termasuk penanganan berbagai keluhan yang mengganggu kualitas hidup
(terutama nyeri).

3. Bahwa sehubungan dengan pertimbangan sesuai dengan butir diatas perlu


menetapkan Surat Keputusan tentang Sistem Informasi pada Penanganan
Pasien Akan meninggal (END OF LIFE CARE)
Mengingat : 1.
2.
3.
3.
4.

Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 tentang Praktek kedokteran


(Lembaran Negara RI Tahun 2004 Nomor 116);
Undang-Undang nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran
Negara RI Tahun 2009 Nomor 153);
Surat Keputusan Kepala Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Provinsi Jawa
Barat No. 445/Kep.16/I/ISMRS-BPPT/2011 tentang Izin Sementara
Menyelenggarakan Rumah Sakit;
Surat Kementrian Kesehatan RI No. HK.07.06/III/4301/10 tentang
Perubahan Nama Rumah Sakit Dari Global Awal Bros Hospital Menjadi
Rumah Sakit Awal Bros;
Surat Keputusan Direktur PT. Famon Global Awal Bros Nomor. No.
005/SK/Dir/FGAB/IV/2008 tentang Pemberlakuan Hospital Bylaws Rumah
Sakit Awal Bros Bekasi

MEMUTUSKAN
Menetapkan :
Pertama

: Pemberlakuan tentang Penanganan Pasien Akan Meninggal Dunia (End of Life


Care)

Kedua

: Adapun kebijakan tersebut terlampir dalam surat keputusan ini, dan menjadi satu
kesatuan yang tidak terpisahkan.

Kedua

: Surat Keputusan ini berlaku sejak ditetapkan, apabila dikemudian hari terdapat
kesalahan dalam penetapan Surat Keputusan ini maka akan diadakan perbaikan
sebagaimana perlunya.

Ditetapkan di : Makassar
Pada Tanggal :
Rumah Sakit Awal Bros Makassar

Dr. Henny C Somba, MARS


Direktur

Lampiran Surat Keputusan Direktur No. 008/SK/DIR/RSAB/IX/2011 tentang Penanganan


Pasien Akan Meninggal Dunia (End Of Life Care) di Rumah Sakit Awal Bros Makassar

LATAR BELAKANG
Pasien menjelang meninggal dan keluarganya memerlukan pelayanan yang terfokus pada
kebutuhan yang unik dari masing-masing pasien.
Pasien yang menjelang meninggal bisa mengalami gejala lain yang berhubungan dengan proses
penyakit atau terapi kuratif atau membutuhkan bantuan dalam menghadapinya secara
psikososial, spiritual dan kultural berhubungan dengan kematian dan sekarat. Pasien dapat pula
merasakan nyeri berkaitan dengan terapi atau prosedur seperti nyeri pasca operasi, nyeri saat
sesi fisioterapi atau nyeri yang berhubungan dengan penyakit kronis atau nyeri akut.
Tujuan rumah sakit dalam manajemen nyeri atau pelayanan pasien menjelang meninggal
termasuk menentukan setting dari pelayanan yg disediakan (seperti unit pelayanan paliatif atau
hospice), jenis pelayanan yang disediakan, dan populasi pasien yang dilayani. Rumah sakit
menyusun proses manajemen nyeri dan pelayanan pasien menjelang meninggal. Proses ini :
Meyakinkan pasien bahwa nyeri dan gejala-gejala lain akan dikaji dan dikelola dengan
tepat.
Memastikan pasien yang berada dalam keadaan nyeri atau terminal akan diperlakukan
dengan menjunjung tinggi harga diri dan respek.
Merencanakan pendekatan preventif dan terapetik untuk manajemen nyeri dan gejala
lain
Mengedukasi pasien dan staff mengenai manajemen nyeri dan gejala lain.
Untuk mengatur hal-hal tersebut, maka disusunlah kebijakan ini.
TUJUAN
Sebagai acuan dalam penanganan pasien menjelang meninggal, termasuk penanganan berbagai
keluhan yang mengganggu kualitas hidup (terutama nyeri).
KEBIJAKAN
1. Kehendak langsung dari pasien (Advanced Directives)
1.1. Kebijakan :
a. RSABB menghormati seluruh kehendak langsung dari pasien, sejauh pasien berada
dalam kondisi yang secara hukum memenuhi persyaratan untuk mengambil
keputusan atas dirinya sendiri.
b. RSABB menghormati kehendak langsung pasien sejauh tidak bertentangan dengan
hukum dan peraturan yang berlaku di Indonesia. Pernyataan pasien tidak mampu
secara kejiwaan untuk pengambil keputusan harus dikeluarkan setelah konsultasi
dengan dokter spesialis kesehatan jiwa.
c. Pernyataan pasien tidak mampu mengambil keputusan karena tingkat kesadarannya
harus berdasarkan konsultasi dengan dokter spesialis Saraf.

2.

d. Selain kedua hal di atas, maka pasien yang dinyatakan mampu mengambil
keputusan untuk dirinya sendiri berhak membuat keputusan tertulis mengenai
penanganan dirinya, dan RSABB akan menghormati keputusan tersebut.
Kebijakan Do Not Rescucitate (DNR)
2.1. Pengertian dan batasan
Do Not Rescucitate (DNR) adalah perintah yang dikeluarkan oleh dokter setelah
melakukan pengkajian, penjelasan ke pasien/keluarga pengambil keputusan untuk
pasien (surrogate) dan telah mendapatkan persetujuan TERTULIS mengenai penolakan
TINDAKAN RESUSITASI.
DNR berarti dalam kondisi henti napas dan henti jantung, tenaga kesehatan di RSABB
tidak akan melakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP)
2.2. Landasan Kebijakan.
Resusitasi Jantung Paru (RJP)/Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) yang dilakukan
di rumah sakit pada pasien-pasien terminal walau sukses mengembalikan denyut
jantung dan pernapasan spontan, namun kurang berhasil untuk membuat pasien
bertahan hingga pulang.
Survival to hospital discharge rate following CPR yang rendah membuat upaya CPR
pada kasus-kasus di bawah ini (lihat tabel) tidak terlalu dirasakan manfaatnya, baik
bagi pasien maupun keluarga. Untuk itu, dokter perlu memberikan penjelasan yang
proporsional sesuai dengan prognosis pasien, dengan mempertimbangkan kehendak
pasien maupun keluarga sesuai dengan ketentuan persetujuan tindakan medik, yang
akan diatur secara terpisah dari kebijakan ini.
Tabel Survival to hospital discharge rate following CPR
Condition with highest survival rates
Ventricular Fibrillationpost MI
26 46%
Drug reaction or Overdose
22 28%
Ventricular Arrythmia
19 50%
Condition with lowest survival rates
Malignancy 1)
0 3,5%
Neurologic disease
0 6,7%
Renal Failure
0 10%
Respiratory disease
0 7%
Sepsis
0 7%
Out-of Hospital Cardiopulmonary arrest 2)
0,6%
1)
Survival sebesar 0% pada keganasan dengan metastase pada 9 studi yang dilakukan
2)
Jika tidak terjadi kembali ke sirkulasi spontan dalam waktu 25 menit pasca henti
jantung henti napas.
Current Medical Diagnosis & Treatment 2003, p : 63
2.3. Kewenangan pengeluaran perintah DNR
Kewenangan pengeluaran perintah DNR berada di Dokter Penanggung Jawab Pasien
(DPJP) setelah mendapat persetujuan pasien / keluarga pengambil keputusan untuk
pasien (surrogate), atau atas permintaan pasien yang kompeten untuk mengambil

keputusan, setelah pasien tersebut mendapat penjelasan yang menyeluruh mengenai


konsekuensi dari keputusan tersebut.
2.4. Prosedur pengeluaran DNR
a. Ada minimal satu indikasi mengeluarkan order DNR sebagai berikut :
Terminal illness
GCS 3 dengan satu atau lebih organ failure
b. Indikasi tersebut telah dikonsultasikan dengan sedikitnya satu orang dokter lain.
c. Indikasi tersebut dikomunikasikan ke pasien / keluarga, dan pasien / keluarga
diberikan waktu tanpa batas untuk mengambil keputusan.
d. Keputusan dari pasien / keluarga diberikan dalam bentuk tertulis, berupa
PENOLAKAN TINDAKAN RESUSITASI JANTUNG PARU
2.5. Keterlibatan keluarga dalam mengeluarkan perintah DNR
a. Persetujuan pasien yang dinyatakan mampu merupakan pertimbangan utama.
b. Bilamana pasien tidak berada dalam kondisi mampu mengambil keputusan untuk
dirinya sendiri (lihat kebijakan advanced directives), maka keluarganya akan dapat
mengambil keputusan untuk dirinya.
c. Keluarga yang berhak mengambil keputusan mengikuti SK Direktur tentang
informed consent maupun peraturan pemerintah terkait.
d. Sedikitnya 2 anggota keluarga terdekat menanda-tangani form PENOLAKAN
TINDAKAN RESUSITASI JANTUNG PARU
2.6. Pengumuman DNR
a. Pasien yang telah dinyatakan DNR diberikan tanda pada rekam medik. Pemberian
tanda ini diatur dalam kebijkan tersendiri terkait dengan standarisasi lambang,
simbol dan penandaan dari rekam medik pasien.
2.7. Pencabutan status DNR
a. Status DNR dapat dicabut bila :
Ada anggota keluarga dengan tingkat kedekatan 1 level yang merasa keberatan
dengan status DNR tersebut, kecuali kehendak langsung dari pasien.

Dokter berdasarkan perkembangan klinis pasien menilai bahwa prognosis


pasien telah berubah dan bahwa pasien secara klinis memiliki prognosis
setidaknya Quo ad vitam dan Quo ad Functionam Dubia at Bonam.
3.

Kebijakan menahan / menghentikan tindakan life support (Withholding/withdrawing


life support)
3.1. Pengertian dan batasan
Menahan tindakan life support (Withholding life support) adalah kelompok tindakan
yang meliputi :
a. Tidak memasang ventilator
b. Tidak merubah setting ventilator (jika pasien sudah terpasang)
c. Tidak menaikkan / merubah dosis obat inotropik maupun menambah jenis obat
inotropik

Menghentikan tindakan life support (Withdrawing life support) adalah kelompok


tindakan yang meliputi :
a. Menghentikan ventilator
b. Menurunkan dosis obat inotropik pada pasien / menghentikan obat inotropik
padahal fungsi kardiovaskular pasien masih belum optimal atau menurun.
Tidak termasuk dalam kategori ini adalah :
a. Menghentikan tindakan resusitasi jantung paru sesuai indikasi
3.2. Tujuan
Untuk memfasilitasi penanganan dan pelayanan yang nyaman dalam
proses penghentian. Kebijakan ini berlaku untuk pasien yang telah
dinyatakan DNR atau dinyatakan akan dihentikan support
kehidupannya. Kebijakan ini berlaku pula bagi pasien yang
terintubasi dan terpasang ventilasi mekanik yang :
a. Berada dalam keadaan terminal dimana life support ini hanya
menunda kematian yang tidak terhindarkan (medically ineffective
futile treatment)
b. Keluaran / outcome terbaiknya adalah kondisi kesehatan yang
tidak sesuai dengan kehendak pasien yang didokumentasikan
dalam rekam medik atau dipahami oleh keluarga atau walinya
3.3. Kebijakan menahan pemasangan alat/tindakan penunjang hidup (Withholding Life
Support)
a. Menahan life support dilakukan sesuai indikasi pada poin 3.2 di atas, namun di
mana keluarga memilih pilihan ini daripada menghentikan life support.
b. Keputusan menahan pemasangan alat / tindakan penunjang hidup ada di tangan
DPJP setelah melakukan konsultasi dengan sedikitnya 1 dokter spesialis lain,
terkait dengan kondisi pasien.
c. Keputusan menahan pemasangan alat / tindakan penunjang hidup didasarkan
indikasi medik yang jelas, dan telah dikomunikasikan pada keluarga dengan
hubungan 1 level, (pasangan hidup, orang tua atau anak kandung), dan pihak
keluarga telah memberikan persetujuan tertulis.
d. Di mana perlu pihak dokter / rumah sakit dapat mengundang Komite Etik untuk
pengambilan keputusan ini.
e. Di mana perlu, keluarga dapat meminta kehadiran rohaniawan dalam pengambilan
keputusan ini.
f. Sebelum menahan tindakan penunjang hidup, dipersiapkan obat-obat yang
menjamin kenyamanan pasien dalam proses penghentian ini, hingga pasien
meninggal, termasuk di antaranya obat sedatif dan pain killer.
g. Pertama diberikan obat-obat yang menjamin kenyamanan pasien (sedatif dan pain
killer), sesuai instruksi tertulis dokter (DPJP atau dokter lain) dan
didokumentasikan di rekam medik.
h. Pada saat obat tersebut diberikan ke pasien, monitor tanda-tanda ketidaknyamanan.
Bila ada tanda ketidaknyamanan, dokter perlu memerintahakan untuk
meningkatkan pemberian obat yang memberikan kenyamanan pasien. Jangan

i.

j.
k.
l.

menghentikan obat yang bertujuan kenyamanan pasien walau terjadi bradikardi,


hipotensi maupun penurunan kesadaran dalam.
Adapun tanda-tanda ketidaknyamanan adalah :
Penggunaan otot bantu pernapasan.
Respiratory rate lebih dari 35/menit
Gasping, gaduh dan/atau peningkatan respiratory effort, batuk/tercekik.
Agitasi, gerakan yang tidak perlu dari kepala lengan maupun tubuh, atau
mimik wajah
Peningkatan heart rate atau mean arterial pressure lebih dari 20% diatas
kondis sebelum pencabutan / penghentian life support sebelum sedasi.
Apabila dalam proses penahanan tindakan penunjang hidup ini fungsi vital pasien
menurun, maka keluarga dihubungi untuk mendampingi, dan ditawarkan
rohaniawan bilamana dirasa perlu oleh keluarga. Doa juga dapat dilakukan pada
pasien yang ditahan life supportnya.
Pasien dapat dilanjutkan ke pencabutan / penghentian life support atau
dipertahankan sampai terjadi kematian alaminya.
Keluarga dapat memilih membawa pulang pasien yang belum dinyatakan
meninggal, dan pemulangan diatur dengan ambulans yang memang telah
dipersiapkan sebelumnya.
Bila pasien meninggal di RSABM, maka berlaku prosedur penanganan pasien
meninggal

3.4. Kebijakan mencabut / menghentikan tindakan penunjang hidup (Withdrawing Life


Support)
a. Keputusan mencabut / menghentikan tindakan penunjang hidup ada di tangan
DPJP setelah melakukan konsultasi dengan sedikitnya 1 dokter spesialis lain,
terkait dengan kondisi pasien,
b. Keputusan mencabut / menghentikan tindakan penunjang hidup didasarkan
indikasi medik yang jelas, dan telah dikomunikasikan pada keluarga dengan
hubungan 1 tingkat, (pasangan hidup, orang tua atau anak kandung), dan pihak
keluarga telah memberikan persetujuan tertulis.
c. Di mana perlu pihak dokter / rumah sakit dapat mengundang Komite Etik untuk
pengambilan keputusan ini.
d. Di mana perlu, keluarga dapat meminta kehadiran rohaniawan dalam pengambilan
keputusan ini.
e. Sebelum pencabutan / penghentian tindakan penunjang hidup, dipersiapkan obatobat yang menjamin kenyamanan proses penghentian ini, hingga pasien
meninggal, termasuk di antaranya obat sedatif dan pain killer.
f. Pencabutan / penghentian tindakan penunjang hidup ini disaksikan oleh keluarga /
wali (bila mana diinginkan), dokter maupun perawat RSABT, rohaniawan (bila
mana diperlukan oleh keluarga / wali dapat dilakukan doa sebelum pencabutan)
g. Pertama diberikan obat-obat yang menjamin kenyamanan pasien (sedatif dan pain
killer), sesuai instruksi tertulis dokter (DPJP atau dokter lain) dan
didokumentasikan di rekam medik.
h. Pada saat obat tersebut diberikan ke pasien, monitor tanda-tanda ketidaknyamanan.
Bila ada tanda ketidaknyamanan, dokter perlu memerintahkan untuk meningkatkan
pemberian obat yang memberikan kenyamanan pasien. Jangan menghentikan obat

i.
j.
k.
l.
m.

4.

yang bertujuan kenyamanan pasien walau terjadi bradikardi, hipotensi maupun


penurunan kesadaran dalam.
Adapun tanda-tanda ketidaknyamanan adalah :
Penggunaan otot bantu pernapasan.
Respiratory rate lebih dari 35/menit
Gasping, gaduh dan/atau peningkatan respiratory effort, batuk/tercekik.
Agitasi, gerakan yang tidak perlu dari kepala lengan maupun tubuh, atau
mimik wajah
Peningkatan heart rate atau mean arterial pressure lebih dari 20% diatas
kondis sebelum pencabutan / penghentian life support sebelum sedasi.
Dokumentasikan waktu proses penghentian / pencabutan life support dan juga
alasan / indikasi penambahan dosis obat yang meningkatkan kenyamanan.
Monitoring pasien dapat dihentikan sesuai situasi kondisi atau jika dikehendaki
oleh keluarga / wali.
Setelah life support dicabut / dihentikan, ditunggu respons fisiologis tersisa, dapat
masih ada nafas yang tidak adekuat, ataupun denyut jantung yang tidak adekuat.
Bilamana sudah berhenti, maka dapat dicek apakah pasien telah meninggal.
Keluarga dapat memilih membawa pulang pasien yang belum dinyatakan
meninggal, dan pemulangan diatur dengan ambulans yang memang telah
dipersiapkan sebelumnya.
Bila pasien meninggal di RSABB, maka berlaku prosedur penanganan pasien
meninggal.

Kebijakan Menyatakan Mati Batang Otak (Brain Death)


4.1. Pengertian dan batasan
Yang dimaksud Mati Batang Otak (MBO) adalah :
a. Suatu keadaan yang ditandai oleh menghilangnya fungsi batang otak.
b. Diskontinuitas system neuronal saraf perifer ke kortek (syarat mutlak untuk
kesadaran).
4.2. Prosedur menyatakan Mati Batang Otak
1. Sebelum Tes Refleks Batang Otak
Harus ada tanda-tanda fungsi batang otak telah hilang :
a. Pasien koma
b. Tidak ada sikap abnormal (dekortikasi atau deserebrasi)
c. Tidak ada refleks batang otak : refleks okulosefalik
d. Tidak ada sentakan epileptik
e. Tidak ada nafas spontan
Bila salah satu (+), batang otak : refleks otak masih hidup, maka tidak perlu
tes refleks batang otak.
2. Lima Tes Refleks Batang Otak
a. Tidak ada respon terhadap cahaya
b. Tidak ada refleks kornea
c. Tidak ada refleks vestibule - okuler
d. Tidak ada respon motor dalam distribusi saraf kranial terhadap rangsang
adekuat pada area somatik

e.

Tidak ada refleks muntah (gag refleks) atau refleks batuk terhadap rangsang
oleh kateter isap yang dimasukkan kedalam trakea.
3. Tes Apneu
a. Pre oksigenasi dengan 100 % O2 selama 10 menit.
b. Beri 5 % CO2 dalam 95% selama 5 menit berikutnya untuk menjamin PaCO2
awal : 53 Kpa (40 torr).
4. Pengulangan Tes
a. Tes ulang perlu dilakukan untuk mencegah kesalahan pengamatan dan
perubahan tanda-tanda.
b. Interval waktu 25 menit - 24 jam tergantung rumah sakit dan rekomendasi
yang dianut.
4.3. Kewenangan menyatakan mati batang otak.
Yang berhak menyatakan seorang pasien mati batang otak adalah minimal 2 (orang)
dokter, yaitu Dokter Spesialis Anesthesia, Dokter Critical Care dan Dokter Spesialis
Saraf
4.4. Penanganan setelah pasien dinyatakan Mati Batang Otak
a. Pengkomunikasian kepada keluarga merupakan langkah awal setelah pasien
dinyatakan Mati Batang Otak (MBO). Keluarga yang diberi penjelasan adalah
keluarga terdekat denga urutan prioritas mulai dari suami/istri, orang tua kandung,
anak kandung dan terakhir saudara kandung.
b. Keluarga diberi penjelasan bahwa setelah pasien dinyatakan mati batang otak,
maka akan dilakukan penghentian seluruh tindakan dengan sebelumnya
mengkomunikasikan dengan keluarga.
c. Bilamana keluarga pasien belum dapat menerima, maka pihak rumah sakit
memberi waktu kepada keluarga untuk melalui fase denial.
d. Second opinion dapat diminta oleh pihak keluarga dalam fase denial, dan dalam hal
ini, DPJP akan berkomunikasi dengan dokter yang diminta oleh pihak keluarga
sebagai second opinion sesuai kebijakan RSABB tentang second opinion.
e. Selama fase denial dokter dapat menolak melakukan tindakan medik invasif yang
tidak sesuai dengan etika kedokteran bilamana perlu, namun dengan tetap
mengkomunikasikan kepada pihak keluarga.
5.

Kebijakan pasien terminal yang memilih meninggal di rumah (tidak di rumah sakit)
5.1. Kebijakan
a. Pasien atau walinya yang sah dapat memutuskan untuk meninggal tidak di rumah
sakit karena alasan agama/kepercayaan, budaya, adat istiadat, pertimbangan sosioekonomi lain dan geografis.
b. Keputusan untuk meninggal tidak di rumah sakit dilakukan secara tertulis dengan
menanda tangani form informed consent berupa PERSETUJUAN
MENGHENTIKAN PERAWATAN setelah mendapat penjelasan yang lengkap dari
DPJP / tim dokter yang merawat mengenai prognosis dan konsekuensi keputusan
tersebut.
c. Rumah sakit menghormati keputusan pasien / walinya yang sah tersebut.

6.

Kebijakan Euthanasia
Rumah Sakit Awal Bros Bekasi mengikuti kebijakan pemerintah RI untuk tidak
mengijinkan dilakukannya euthanasia.

7.

Pengelolaan nyeri (Pain Management)


Nyeri merupakan gejala yang sering ditemukan pada pasien terminal. Karena sifatnya yang
menurunkan mutu sisa hidup pasien, maka nyeri harus mendapat penanganan secara tepat.
Berbagai aspek terlibat dalam penanganan nyeri, seperti maslaah ketergantungan fisik
maupun psikologis, membuat dokter ragu dalam penanganan nyeri yang adekuat. Untuk itu
disusun kebijakan ini, yang dapat dijadikan pijakan bagi dokter RSABB dalam penanganan
nyeri pada pasien terminal.
7.1. Pengkajian Nyeri
a. Skrining nyeri
Seluruh pasien baik rawat jalan maupun rawat inap dilakukan skrining terhadap
nyeri.
Skrining dilakukan dengan cara menanyakan apakah pasien merasakan nyeri.
b. Pengkajian nyeri meliputi lokasi, kualitasnyeri, derajat nyeri.
c. Pengkajian derajat nyeri sesuai dengan SK Direktur tentang pengkajian pasien
d. Pengkajian ulang nyeri dilakukan untuk menilai apakah penanganan nyeri yang
diberikan adekuat atau tidak.
7.2. Strategi penanganan nyeri
Dilakukan sesuai kebijakan penanganan nyeri yang tertuang pada Kebijakan
Penanganan Nyeri RSABB

Mengetahui,
Makassar :
Rumah Sakit Awal Bros Bekasi

Dr. Henny C Somba. MARS


Direktur

Anda mungkin juga menyukai