Camus
Camus
Camus
Pendahuluan
Dalam sosiologi sastra sebuah karya sastra tidak dapat
dilepaskan dari situasi sosial yang melingkupinya, baik itu situasi
zamannya, pengarangnya, maupun berbagai sistem lingkungannya.
Karya sastra dipandang sebagai produk dan bagian dari dunia sosial
yang
lebih
besar.
Tradisi
eksistensialisme
Albert
Camus
bahwa
sistem
dan
institusi
kemasyarakatan
telah
B. Riwayat Hidup
Albert Camus lahir di Mondovi, Algeria, 7 November 1913, dari orang tua
keturunan Spanyol dan Prancis-Inggris. Dia dibesarkan di Afrika Utara oleh ibunya
seorang keturunan Spanyol di bawah keadaan yang menyedihkan, karena ayahnya
terbunuh ketika Camus baru berusia satu tahun. Pendidikan menjadi mahal dan
karenanya susah untuk diburu Camus. Dia bekerja apapun, salah satunya dengan
bermain sebagai kiper untuk tim sepakbola Aljazair dan karena mendapat beasiswa, ia
dapat meraih derajat master bidang Filsafat di Universitas Prancis untuk bekerja
sebagai seorang jurnalis. Dia aktif dalam gerakan perlawananan selama pendudukan
Jerman atas Prancis, di mana dia mengedit koran bawah tanah Combat. Dia dari awal
sudah menunjukkan sebagai seorang penulis yang jenius, ketika koran cetakannya
mengungkapkan kondisi gelandangan yang buruk di antara berbagai kelomopok
pribumi Aljazair membangkitkan reaksi-reaksi fanatik, namun menggerakkan
pemerintah Prancis untuk memperbaiki skandal sosial. Sebelum perang dia sudah
menulis sebuah drama, Caligula (1939), dan selama perang, tapi mendahului
komitmen dirinya terhadap perlawanan, dua bukunya membuat dia serta merta
menjadi terkenal: esai filsafat pertamanya, The Mythh of Sisyphus, novel pertamanya,
The Stranger, keduanya dalam tahun 1942. Tahun 1951 Camus dianugrahi Hadiah
Nobel bidang Sastra, orang paling muda (pada usia empat puluh tiga) yang menerima
hadiah sejak Rudyard Kipling terpilih tahun1907 pada usia empat puluh dua.
C. Pola Pemikiran
Paradigma
inilah
yang
menyatakan
kesadaran
manusia
menggambarkan
penderitaannya.
D. Pemikiran dan kaitannya dengan Islam
Albert Camus menawarkan pemikiran tentang Tuhan dan agama dengan
cara yang agak berbeda. Ia berpendapat bahwa hakekat dunia ini adalah
absurditasnya. Artinya, dunia ini, beserta semua mahluk hidup di dalamnya, termasuk
manusia, tidaklah masuk akal. Manusia merencanakan segalanya, tetapi ia harus mati,
ketika rencananya tersebut belum terlesaikan. Penderitaan yang dialami manusia pun
sungguh absurd, jika dibandingkan keindahan serta keluruhan dunia ini sebagai
keseluruhan. Pengalaman manusia yang paling mendasar adalah pengalaman akan
penderitaan. Banyak dari penderitaan tersebut disebabkan oleh sikap manusia sendiri.
Kesadaran akan penderitaan membuat ia sampai pada kesimpulan bahwa kehidupan
ini adalah absurd. Dengan kata lain, manusia harus menghadapi serta melawan
dengan optimis absurditas hidup tersebut. Dalam konteks atheisme, absurditas hidup
tersebut merupakan tanda bahwa Allah itu tidak ada. Jika Allah sungguh ada, maka
tidak mungkin hidup ini absurd. Jika Allah ada, maka mesti ada penjelasan di balik
semua penderitaan manusia, harusnya ada rasionalitas di baik irasionalitas yang
dialami manusia. Padahal, penjelasan dan rasionalitas tersebut, hemat Camus,
tidaklah ada. Oleh karena itu, tindak beriman kepada Allah sesungguhnya hanyalah
merupakan pelarian dari penderitaan dan absurditas hidup saja. Dengan begitu,
atheisme Camus merupakan akibat dari problem penderitaan dan kejahatan yang ada
di dalam dunia.
E. Kesimpulan
Filsafat eksistensialisme terkenal dengan teori yang menyangkut
eksistensi(keberadaan) mendahului essensi (isi). Bahwa keberadaan atau adanya
sesuatu hal akan mendahului makna didalamnya .para filsuf eksistensialisme
meyakini bahwa pembentukan manusia tercipta karena adanya wadah /eksistensi