Ini Sebuah Kehormatan

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 2

Ini Sebuah Kehormatan

Oleh Jimmy Breslin Selasa, 08 Juni 2010


New York Herald Tribune, November 1963
CLIFTON POLLARD yakin hari Minggu itu ia akan bekerja. Jam 9 pagi ia sudah
bangun. Di apartemennya, berisi tiga kamar, di Corcoran Street, ia telah siap
mengenakan pakaian terusan warna khaki lalu menuju dapur untuk sarapan.
Istrinya, Hettie, sudah menyiapkan daging panggang dan telur. Pollard sedang
makan ketika ada panggilan telepon berdering, yang memang sudah ia tunggu itu.
Itu telepon dari Mazo Kawalchik, mandor para penggali kubur di Arlington
National Cemetery, tempat Pollard bekerja mencari nafkah. Polly, tolong jam
sebelas nanti sudah ada disini, bisa ya? kata Kawalchik, menyuruh. Saya kira
kau tahu kenapa, katanya melanjutkan. Ya, Pollard memang sudah tahu. Ia
meletakkan gagang telepon, menyudahi sarapan lalu meninggalkan apartemennya.
Hari Minggu itu ia lewatkan dengan menggali liang lahat untuk John Fitzgerald
Kennedy.
Sewaktu Pollard tiba lalu berjalan ke gudang kayu bercat kuning, tempat perkakas
pemakaman disimpan, Kawalchik dan John Metzler sudah menunggunya. Maaf, kau
jadi harus kerja hari Minggu, ujar Metzler. Ah, tidak usah ngomong begitu,
kata Pollard. Bagi saya, berada di sini adalah kehormatan. Pollard lalu menuju
ke sebuah mesin pembajak berlawanan arah. Di pemakaman itu, lubang kubur tidak
digali pakai sekop. Mesin bajak terbalik yang dipakai berwarna hijau, sementara
mangkuk besar yang menggali tanah itu bergerak ke arah orang yang mengendalikan
mesin, tidak menjauh seperti kren. Di bawah bukit di depan Makam Serdadu tak
Dikenal, Pollard mulai menggali. (Catatan Editor: Serdadu itu bernama CustisLee Mansion).
Dedaunan menutupi rumput. Ketika gigi-gigi bajak menggaruk tanah, dedaunan itu
mengeluarkan suara rumput tertebas, berbunyi kres-kres-kres, yang terdengar
dari atas motor penggerak mesin bajak. Ketika mangkuk pertama menyembul dengan
seonggok tanah, Metzler, pengawas pemakaman itu, mendekat dan menatapnya.
Tanahnya bagus, kata Metzler. Pollard menyambut, Saya mau menyimpannya
sedikit. Mesin ini meninggalkan jejak di rumput, nanti saya isi tanah dan
menanaminya dengan rumput subur yang tumbuh di sekitar sini, saya mau semuanya
di sinikau tahuindah.
James Winners, penggali kubur lain, mengangguk. Katanya, ia juga akan mengangkut
beberapa gerobak tanah yang sangat subur itu ke gudang untuk ditanami rumput.
Ia orang yang baik, ujar Pollard. Ya, memang, kata Metzler, menyahut.
Sekarang ia akan datang ke sini dan berbaring di liang lahat yang saya gali,
sambung Pollard. Kau tahu, ini benar-benar sebuah kehormatan buat saya,
mengerjakan semua ini.
Pollard, 42 tahun. Ia orang yang ramping dan berkumis, lahir di Pittsburgh dan
pernah ikut sebagai sukarelawan pada Batalyon Engineers ke-352 yang bertugas di
Burma ketika Perang Dunia II berkecamuk. Saat ini ia bekerja sebagai operator
peralatan. Gajinya tingkat 10, artinya per jam ia menerima bayaran US$3.01. Nah,
orang terakhir yang melayani John Fitzgerald Kennedy, Presiden ke-35 negaranya
sendiri, adalah seorang pekerja yang mendapat gaji US$3.01 per jam dan ia masih
bisa berkata menggali kubur bagi sang mendiang presiden adalah sebuah
kehormatan.
Pagi kemarin, pukul 11.15, Jacqualine Kennedy berjalan menuju makam itu. Ia
keluar di bawah naungan portiko Gedung Putih, perlahan mengiringi jenazah
suaminya yang diusung di dalam keranda berkudung bendera. Keranda itu juga
dibebat dengan dua sabuk kulit hitam, yang diikat ketat pada kereta berporos
kuningan mengkilap.

Jacqualine melangkah lurus dan wajahnya menengadah. Ia menuruni jalan berbatu


biru dan berselimut hitam dan menembus bayangan cabang-cabang tujuh pohon oak
yang kala itu seluruh daunnya luruh. Ia berjalan perlahan, melintasi prajurit
angkatan laut yang memegang tegak bendera negara. Ia mengayun kaki melintasi
orang-orang yang berdiri rapat sambil menutup mulut dan tegang melihat ke
arahnya. Lalu saat iring-iringan itu terlihat, mereka menundukkan kepala dan
mengayunkan tangan mengusap mata. Ia melangkah ke gerbang barat daya tepat di
tengah Pennsylvania Avenue. Ia berjalan dengan langkah yang rapat dan wajahnya
menengadah tegak. Di jalanan Washington, ia mengiringi jenazah suaminya yang
terbunuh.
Semua orang menyaksikannya ketika ia melangkah. Ia kini ibu dari dua anak yatim.
Dan ia melangkah ke dalam sejarah negeri Amerika karena ia telah menunjukkan
kepada semua orangyang merasa tua dan tak tertolong dan tanpa harapanbahwa ia
punya kekuatan yang juga sangat diperlukan oleh semua orang. Walaupun ada yang
telah membunuh suaminya dan darahnya menetes pada pangkuannya ketika sang suami
menjemput maut, ia masih mampu berjalan tegar ke pemakaman dan dengan begitu ia
telah menolong kita semua.
Massa berkerumun lalu prosesi itu sampailah juga di Arlington. Ketika ia tiba di
pemakaman itu, keranda sudah diletakkan, di antara rel kuningan dan siap
diturunkan ke liang lahat. Ini pasti saat yang paling menyedihkan: seorang
wanita menyaksikan keranda sang suami ditimbun di dalam tanah. Ia tahu, sang
suami akan selamanya berada di sana. Sekarang, tak ada apa-apa lagi. Tak ada
keranda untuk dicium atau bahkan dipegang. Tak ada tempat berpegangan. Tapi ia
melangkah ke tempat penguburan itu dan berdiri di depan enam baris kursi
bersarung hijau dan ia mulai duduk. Tapi serta merta ia berdiri lagi karena ia
tahu tidak harus duduk sampai inspektur pemakaman memberi tahu di mana ia harus
duduk.
Seremoni pemakaman itu pun dimulai. Pesawat jet meraung di langit, tepat di atas
kepala, dan dedaunan jatuh dari langit. Di bukit ini, di sisi keranda, hadirin
pun membahanakan doa. Ada juru kamera, penulis, prajurit, dan Agen Rahasia
mereka juga ikut berdoa tak kalah nyaringnya tapi seperti ada yang tersendat. Di
depan makam itu Lyndon Johnson mengarahkan wajahnya ke kanan. Ia sekarang
Presiden dan ia harus tetap tenang. Ia tak ingin melihat ke keranda dan liang
lahat terlalu kerap untuk sang mendiang John Fitzgerald Kennedy. Lalu, pemakaman
itu pun usai. Limusin hitam melaju di bawah pepohonan taman pemakaman itu dan
keluar ke bulevar menuju ke Gedung Putih. Jam berapa sekarang? pria yang
berdiri di atas bukit itu bertanya. Ia melihat jam tangannya. Jam 3 lewat 30
menit, ujarnya.
Clifton Pollard tidak hadir saat pemakaman itu. Ia berada jauh di balik bukit
itu, menggali kubur lain dengan bayaran $3.01 per jam. Ia tidak tahu untuk siapa
lagi liang lahat yang ia gali itu. Ia hanya menggali lalu menimbunnya lagi.
Mereka pernah ada dan berguna, katanya. Kita hanya tak tahu kapan. Tadi, aku
mau melihat ke sana, ujarnya. Tapi terlalu banyak orang, kata tentara tadi,
saya tidak boleh mendekat. Jadi, ya saya tetap di sini dan menggali. Tapi nanti
saya akan ke sana sebentar. Cuma melihat sebentar, ya kan? Seperti kata saya
padamu tadi, ini sebuah kehormatan. []
* Diterjemahkan dari Its an Honour by Jimmy Breslin.
Blog Breslin in Newsday: http://www.newsday.com/news/columnists/nyjimmybreslin,0,4860342.columnist

Anda mungkin juga menyukai