Proposal Penelitian IKM DBD

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 51

BAB I

PENDAHULUAN
1.1.

Latar Belakang
Penyakit DBD adalah penyakit infeksi oleh virus Dengue yang ditularkan melalui

gigitan nyamuk Aedes, dengan ciri demam tinggi mendadak disertai manifestasi perdarahan
dan bertendensi menimbulkan renjatan (shock) dan kematian. Sampai sekarang penyakit
DBD belum ditemukan obat maupun vaksinnya, sehingga satu-satunya cara untuk mencegah
terjadinya penyakit ini dengan memutuskan rantai penularan yaitu dengan pengendalian
vektor. Vektor utama penyakit DBD di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti. Tempat yang
disukai sebagai tempat perindukannya adalah genangan air yang terdapat dalam wadah
(kontainer) tempat penampungan air artifisial misalnya drum, bak mandi, gentong, ember,
dan sebagainya; tempat penampungan air alamiah misalnya lubang pohon, daun pisang,
pelepah daun keladi, lubang batu; ataupun bukan tempat penampungan air misalnya vas
bunga, ban bekas, botol bekas, tempat minum burung dan sebagainya. Disamping itu,
pengetahuan, sikap, dan perilaku masyarakat tentang pencegahan penyakit DBD pada
umumnya sangat kurang.
World Health Organization (WHO) mengestimasi 50 juta orang terinfeksi penyakit
demam berdarah setiap tahunnya. DBD mempunyai kecenderungan kasusnya yang mudah
meningkat dan meluas. Selain itu penyebaran DBD sulit dikendalikan dan belum ada
obatnya. Distribusi geografi secara potensial telah menyebabkan perluasan tempat
perkembangan vektor. Hal tersebut dipengaruhi oleh ledakan pertumbuhan penduduk yang
cepat dan pengaruh iklim. Saat ini diperkirakan terdapat 100 negara yang berstatus endemi
DBD dan 40% populasi dunia berisiko karena tinggal di wilayah tropis (2,5 milyar orang).
Dewasa ini, sekitar 2,5miliar orang atau 40% dari populasi dunia, tinggal di daerah risiko
penularan DBD. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa terjadi 500.000
kasus DBD dan 22.000 kematian, dimana korban terbanyak berasal dari kalangan anak-anak.
(1)

Berdasarkan data yang ada, Asia menempati urutan pertama dalam jumlah penderita DBD

setiap tahunnya. Jumlah kasus DBD meningkat di Asia Tenggara pada periode 1996-2006.(2)
DBD pertama kali dilaporkan pada tahun 1968 di Jakarta dan Surabaya, dengan 48
penderita dan angka kematian (CFR) sebesar 41,3%. Dewasa ini DBD telah tersebar di
seluruh provinsi di Indonesia. Program pencegahan dan pemberantasan DBD telah
berlangsung lebih kurang 43 tahun dan berhasil menurunkan angka kematian sebanyak
41,3%.(3)
1

Data DBD di Indonesia menurut Litbang Depkes 5 tahun terakhir adalah tahun 2010
didapatkan Incidence Rate (IR) 65,67 dan Case Fatality Rate (CFR) 0,87% dengan jumlah
pasien 156.086 orang. Tahun 2011 IR 27,67 dan CFR 0,91% dengan jumlah pasien 65.725
orang. Tahun 2012 IR 37,11 dan CFR 0,90 dengan jumlah pasien 90,245 orang. Tahun 2013
IR 45,85 dan CFR 0,77% dengan jumlah pasien 112,511 orang. Tahun 2014 IR 39,51 dan
CFR 0,91% dengan jumlah pasien 99,499 orang. (4) Data dari Kemenkes RI tahun 2011
Provinsi DKI Jakarta menempati urutan nomor 2 setelah Bali dengan IR 47.75.(5)
Menurut data Suku Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta tahun 2014, Kecamatan
Cilandak menempati urutan ke 5 dari 10 kecamatan yang ada di Provinsi DKI Jakarta dengan
jumlah kasus 418. Kelurahan Cipete Selatan menempati urutan ke 4 berdasarkan jumlah
kasus DBD yang ditemukan, dengan jumlah kasus 37.(6) Kematian yang diakibatkan oleh
DBD pada tahun 2014 di Cipete Selatan adalah sebanyak 6 orang. Dan angka kematian tahun
2015 sampai dengan bulan Maret sudah mencapai 7 orang.(7)
Beberapa metode pengendalian vektor telah banyak diketahui dan digunakan oleh
program pengendalian DBD di tingkat pusat dan didaerah yaitu manajemen lingkungan,
pengendalian biologis (predator dan bakteri), pengendalian kimiawi (insektisida), partisipasi
masyarakat, perlindungan individu (pemakaian kelambu, obat nyamuk, losion anti nyamuk)
dan peraturan perundangan.(8) Dengan adanya pengetahuan tentang pengendalian vektor DBD
ini, diharapkan masyarakat dapat mengaplikasikan dikesehariannya.
Sampai saat ini masih belum ditemukan obat dan vaksin yang efektif untuk
penyakitDBD. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) merupakan cara pengendalian vektor
sebagaisalah satu upaya yang dilakukan untuk mencegah terjadinya penularan penyakit DBD.
Kampanye PSN sudah digalakkan pemerintah dalam hal ini Departemen Kesehatan
dengansemboyan 3M, yakni menguras tempat penampungan air secara teratur, menutup
tempatpenampungan air dan mengubur barang-barang bekas yang dapat menjadi sarang
nyamuk.(9)
Perilaku merupakan faktor terbesar kedua setelah faktor lingkungan yang
mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat. Dari pengalaman bertahuntahun pelaksanaan pendidikan ini, baik di negara maju maupun negara berkembang
mengalami berbagai hambatan dalam rangka pencapaian tujuannya, yakni mewujudkan
perilaku hidup sehat bagi masyarakatnya. hambatan yang paling besar dirasakan adalah faktor
pendukungnya (enabling factor). dari penelitianpenelitian yang ada terungkap, meskipun
kesadaran dan pengetahuan masyarakat sudah tinggi tentang kesehatan, namun praktek
(practice) tentang kesehatan atau perilaku hidup sehat masyarakat masih rendah.(10)
2

1.2.

Perumusan Masalah

Dengan memperhatikan latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan masalah
penelitian dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :
1. Apakah ada hubungan pengetahuan keluarga mengenai pengendalian vektor demam
berdarah dengue dengan kejadian demam berdarah dengue di Kelurahan Cipete
Selatan?
2. Apakah ada hubungan sikap keluarga mengenai pengendalian vektor demam berdarah
dengue dengan kejadian demam berdarah dengue di Kelurahan Cipete Selatan?
3. Apakah ada hubungan praktek keluarga mengenai pengendalian vektor demam
berdarah dengue dengan kejadian demam berdarah dengue di Kelurahan Cipete
Selatan?
1.3.

Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk menilai hubungan pengetahuan, sikap, dan praktek keluarga mengenai
pengendalian vektor demam berdarah dengue dengan kejadian demam berdarah
dengue di Kelurahan Cipete Selatan.
1.3.2. Tujuan Khusus
1. Menilai hubungan antara pengetahuan keluarga dengan angka kejadian DBD
di Kelurahan Cipete Selatan.
2. Menilai hubungan antara sikap keluarga dengan angka kejadian DBD di
Kelurahan Cipete Selatan.
3. Menilai hubungan antara praktik keluarga dengan angka kejadian DBD di

1.4.

Kelurahan Cipete Selatan


Hipotesis Penelitian
Hiposis dalam penelitian ini:
1. Terdapat hubungan antara pengetahuan keluarga mengenaipengendalian
vektor demam berdarah dengue dengan kejadian demam berdarah dengue di
Kelurahan Cipete Selatan
2. Terdapat hubungan antara sikap keluarga mengenaipengendalian vektor
demam berdarah dengue dengan kejadian demam berdarah dengue di
Kelurahan Cipete Selatan
3. Terdapat hubungan antara praktek keluarga pengendalian vektor demam
berdarah dengue dengan kejadian demam berdarah dengue di Kelurahan
Cipete Selatan

1.5.

Manfaaat Penelitian
Manfaat penelitian ini diharapkan hasilnya dapat berguna bagi masyarakat, bagi institusi
yaitu Puskesmas Kelurahan Cipete Selatan, bagi peneliti serta bagi ilmu pengetahuan:
3

1. Bagi masyarakat
Untuk meningkatkan pemahaman serta kesadaran bagi masyarakat mengenai
pentingnya pengendalian vektor demam berdarah dengue.
2. Bagi Puskesmas Kelurahan Cipete Selatan
Agar dapat memberikan tambahan masukan bagi puskesmas Kelurahan Cipete
Selatan mengenai factor-faktor yang mempengaruhi angka kejadian demam
berdarah dengue, sehingga dapat menurunkan angka kejadia demam berdarah di
wilayah kerjanya.
3. Bagi Peneliti
Peneliti dapat menambah pengetahuan dan pengalaman dalam melaksanakan
penelitian pada bidang yang diteliti serta bisa mengaplikasikan ilmu yang telah
diperoleh di bidang kesehatan masyarakat.
4. Bagi ilmu pengetahuan
Memberikan gambaran tentang faktor-faktor yang mempengaruhi angka kejadian
demam berdarah dengue, sehingga dapat didapatkan solusi yang efektif dan
efisien untuk menurunkan angka kejadian demam berdarah dengue.
1.6 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini dibuat dengan keterbatasan waktu, biaya dan tenaga. Namun peneliti
tetap berusaha melaksanakan penelitian ini sebaik mungkin.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Infeksi Virus Dengue
2.1.1 Definisi
Infeksi virus dengue pada manusia merupakan suatu spektrum manifestasi klinis yang
bervariasi antara penyakit yang paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), demam
dengue, demam berdarah dengue (DBD) sampai demam berdarah dengue disertai syok
4

(dengue shock syndrome/DSS). Gambaran manifestasi klinis yang bervariasi ini


memperlihatkan sebuah fenomena gunung es, dengan kasus DBD dan DSS yang dirawat di
RS sebagai puncak gunung.(11)
2.1.2 Epidemiologi
Infeksi virus dengue telah ada di Indonesia sejak abad ke -18, seperti yang dilaporkan oleh
David Bylon seorang dokter berkebangsaan Belanda. Saat itu infeksi virus dengue
menimbulkan penyakit yang dikenal sebagai penyakit demam lima hari (vijfdaagse koorts)
kadang-kadang disebut juga sebagai demam sendi (knokkel koorts). Disebut demikian karena
demam yang terjadimenghilang dalam lima hari, disertai dengan nyeri pada sendi, nyeri otot,
dan nyeri kepala. Pada masa itu infeksi virus dengue di Asia Tenggara hanya merupakan
penyakit ringan yang tidak pernah menimbulkan kematian.(12)
Tetapi sejak tahun 1952 infeksi virus dengue menimbulkan penyakit dengan
manifestasi klinis berat, yaitu DBD yang ditemukan di Manila, Filipina. Kemudian ini
menyebar ke negara lain seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Indonesia. Pada tahun
1968 penyakit DBD dilaporkan di Surabaya dan Jakarta dengan jumlah kematian yang sangat
tinggi. Faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD sangat
kompleks, yaitu (1) Pertumbuhan penduduk yang tinggi, (2) Urbanisasi yang tidak terencana
& tidak terkendali, (3) Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis,
dan (4) Peningkatan sarana transportasi.(12)
Morbiditas dan mortalitas infeksi virus dengue dipengaruhi berbagai faktor antara lain
status imunitas pejamu, kepadatan vektor nyamuk, transmisi virus dengue, keganasan
(virulensi) virus dengue, dan kondisi geografis setempat.
Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukan virus dengue di Surabaya dan Jakarta,
baik dalam jumlah penderita maupun daerah penyebaran penyakit terjadi peningkatan yang
pesat. Sampai saat ini DBD telah ditemukan di seluruh propinsi di Indonesia, dan 200 kota
telah melaporkan adanya kejadian luar biasa. Incidence rate meningkat dari 0,005 per
100,000 penduduk pada tahun 1968 menjadi berkisar antara 6-27 per 100,000 penduduk.(12)
Pola berjangkit infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan kelembaban udara.
Pada suhu yang panas (28-32C) dengan kelembaban yang tinggi, nyamuk Aedes akan tetap
bertahan hidup untuk jangka waktu lama. Di Indonesia, karena suhu udara dan kelembaban
tidak sama di setiap tempat, maka pola waktu terjadinya penyakit agak berbeda untuk setiap
tempat. Di Jawa pada umumnya infeksi virus dengue terjadi mulai awal Januari, meningkat
terus sehingga kasus terbanyak terdapat pada sekitar bulan April-Mei setiap tahun.(13)
5

2.1.3 Etiologi
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari keluarga flaviviridae dengan ukuran 50 nm dan
mengandung RNA rantai tunggal. Hingga saat ini dikenal empat serotipe yaitu DEN-1,DEN2,DEN-3, dan DEN-4. Virus dengue ditularkan oleh nyamuk Aedes dari subgenus Stegomya.
Aedes aegypty merupakan vektor epidemik yang paling penting disamping spesies
lainnya seperti Aedes albopictus, Aedes polynesiensis yang merupakan vektor sekunder dan
epidemi yang ditimbulkannya tidak seberat yang diakibatkan Aedes aegypty.(11,13)

Gambar 1 Profil Nyamuk Aedes jika dibandingkan dengan culex

2.1.4 Patogenesis
Patofisiologi yang terpenting dan menentukan derajat penyakit ialah adanya perembesan
plasma dan kelainan hemostasis yang akan bermanifestasi sebagai peningkatan hematokrit
dan trombositopenia. Adanya perembesan plasma ini membedakan demam dengue dan
demam berdarah dengue.
Hingga saat ini patofisiologi DD/DBD masih belum jelas.Beberapa teori dan hipotesis yang
dikenal untuk mempelajari patofisiologi infeksi dengue ialah :
1. Teori virulensi virus
2. Teori imunopatologi
3. Teori antigen antibodi
4. Teori infection enchancing antibody
5. Teori mediator
6. Teori endotoksi
7. Teori limfosit
8. Teori trombosit endotel
9. Trombosit apoptosis

Diantara teori-teori dan hipotesis patofisiologi infeksi dengue, teori enhancing


antibody dan teori virulensi virus merupakan teori yang paling penting untuk dipahami. Teori
secondary heterologous infection, dimana infeksi kedua dari serotipe berbeda dapat memicu
DBD berat, berdasarkan data epidemiologi dan hasil laboratorium hanya berlaku pada anak
berumur diatas 1 tahun. Pada pemeriksaan uji HI, DBD berat pada anak dibawah 1 tahun
ternyata merupakan infeksi primer. Gejala klinis terjadi akibat adanya Ig G anti dengue dari
ibu. Dari observasi ini, diduga kuat adanya antibodi virus dengue dan sel T memori berperan
penting dalam patofisiologi DBD.(13)

2.1.4.1 Teori enhancing antibody/ the immune enhancement theory


Teori ini dikembangkan Halstead tahun 1970an. Beliau mengajukan dasar imunopatologi
DBD/DSS akibat adanya antibodi non-neutralisasi heterotrpik selama perjalanan infeksi
sekunder yang menyebabkan peningkatan jumlah sel mononuklear yang terinfeksi virus
dengue.
Berdasarkan data epidemiologi dan studi in vitro, teori ini saat ini dikenal sebagai
antibody dependent enhancement (ADE) yang dianut untuk menjelaskan patogenesis
DBD/DSS. Hipotesis ini juga mendukung bahwa pasien yang menderita infeksi sekunder
dengan serotipe virus dengue heterolog memiliki risiko lebih tinggi mengalami DBD dan
DSS.
Menurut teori ADE ini, saat pertama digigit nyamuk Aedes aegypty, virus DEN akan
masuk dalam sirkulasi dan terjadi 3 mekanisme yaitu :
-

Mekanisme aferen dimana virus DEN melekat pada monosit melalui reseptor Fc dan

masuk dalam monosit


Mekanisme eferen dimana monosit terinfeksi menyebar ke hati, limpa dan sumsum

tulang (terjadi viremia).


Mekanisme efektor dimana monosit terinfeksi ini berinteraksi dengan berbagai sistem
humoral dan memicu pengeluaran subtansi inflamasi (sistem komplemen), sitokin dan
8

tromboplastin yang mempengaruhi permeabilitas kapiler dan mengaktivasi faktor


koagulasi.
Antibodi Ig G yang terbentuk dari infeksi dengue terdiri dari:
-

Antibodi yang menghambat replikasi virus (antibodi netralisasi)


Antibodi yang memacu replikasi virus dalam monosit (infection enhancing antibody).

Antibodi non netralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan kompleks
imun infeksi sekunder yang menghambat replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari
bahwa infeksi virus dengue oleh serotipe berlainan akan cenderung lebih berat. Penelitian in
vitro menunjukkan jika kompleks antibodi non netralisasi dan dengue ditambahkan dalam
monosit akan terjadi opsonisasi, internalisasi dan akhirnya sel terinfeksi sedangkan virus
tetap hidup dan berkembang. Artinya antibodi non netralisasi mempermudah monosit
terinfeksi sehingga penyakit cenderung lebih berat.(14,15,16)

Hipotesis ADE ini telah mengalami beberapa modifikasi yang mencakup respon imun
meliputi limfosit T dan kaskade sitokin. Rothman dan Ennis (1999) menjelaskan bahwa
kebocoran plasma (plasma leakage) pada infeksi sekunder dengue terjadi akibat efek
sinergistik dari IFN-, TNF- dan protein kompleman teraktivasi pada sel endotelial di
seluruh tubuh.

Hipotesis ADE dijelaskan sebagai berikut; antibodi dengue mengikat virus


membentuk kompleks antibodi non netralisasi-virus dan berikatan pada reseptor Fc monosit
(makrofag). Antigen virus dipresentasikan oleh sel terinfeksi ini melalui antigen MHC
memicu limfosit T (CD4 dan CD 8) sehingga terjadi pelepasan sitokin (IFN-) yang
mengaktivasi sel lain termasuk makrofag sehingga terjadi up-regulation pada reseptor Fc dan
ekspresi MHC. Rangkaian reaksi ini memicu imunopatologi sehingga faktor lain seperti
aktivasi komplemen, aktivasi platelet, produksi sitokin (TNF, IL-1,IL-6) akan menyebabkan
eksaserbasi kaskade inflamasi.(16)

10

2.1.5 Perjalanan Penyakit


Virus dengue menyebabkan infeksi simtomatik maupun yang simtomatik. Bentuk infeksi
yang simtomatik memiliki spektrum klinis yang luas, baik yang parah atau tidak parah.
Setelah periode inkubasi, progresivitas penyakit akan mulai dengan mendadak, diikuti dengan
tiga fase berikut demam (febrile), kritis, dan penyembuhan (recovery).
Meskipun perkembangan penyakit ini sangat kompleks dalam hal manifestasi klinis-nya,
penatalaksanaannya relatif sederhana, tidak mahal, dan sangat berguna dalam penyelamatan
hidup, selama intervensi yang dilakukan cepat dan tepat. Kunci menuju prognosis yang baik
ialah pemahaman dan waspada akan masalah klinis yang muncul selama fase yang berbeda.
Manajemen yang baik pada lini pertama pelayanan kesehatan diharapkan dapat menurunkan
angka lama rawat inap di rumah sakit rujukan, serta dapat menyelamatkan hidup pasien
dengan infeksi virus dengue.(11,13)
Berikut merupakan fase infeksi virus dengue:
1. Fase febris
Secara khas, individu akan mengalami demam tinggi yang mendadak selama 2 7
hari dan sering disertai dengan kemerahan pada wajah, eritema kulit, nyeri pada badan
yang sifatnya umum, mialgia, artralgia, nyeri retro-orbita, fotofobia, eksantem yang
mirip dengan rubella, serta nyeri kepala. Beberapa pasien menunjukkan manifestasi
berupa nyeri tenggorok, kemerahan pada faring, injeksi konjungtiva. Anoreksia, mual,
dan muntah lazim dijumpai. Sulit untuk membedakan secara klinis penyakit dengue
dengan non-dengue saat-saat awal demam, namun hasil tes torniquet yang positif
lebih mengindikasikan ke arah dengue. Bagaimana pun juga manifestasi klinis yang
ditunjukkan tidak menggambarkan tingkat keparahan penyakit. Maka dari itu sangat
penting untuk mengawasi tanda-tanda bahaya dan parameter klinis yang lain dalam
rangka memahami proses ke arah fase kritis.(11,13)
Manifestasi perdarahan ringan seperti petekie dan perdarahan membran
mukosa dapat dijumpai. Memar dan perdarahan yang mudah terjadi (spontan) pada
lokasi injeksi vena juga ditemui pada beberapa kasus. Perdarahan gastrointestinal juga
terjadi pada fase ini meskipun tidak lazim. Hepar dapat membesar dan kenyal setelah
beberapa hari demam. Prediksi yang tepat pada pemeriksaan hitung darah lengkap
yaitu menurunnya kadar leukosit darah yang progresif. Selain itu, pasien akan
menunjukkan kehilangan kemampuan untuk beraktivitas sehari-hari, seperti masuk
sekolah, belajar, bermain, maupun berinteraksi sosial.(11,13)
11

2. Fase Kritis
Selama transisi dari fase febris ke fase yang non-febris, pasien tanpa adanya
peningkatan permeabiltas kapiler akan membaik tanpa mengalami fase kritis ini. Jika
tidak, disertai dengan demam tinggi, pasien dengan peningkatan permeabilitas kapiler,
dapat memunculkan manifestasi dengan tanda bahaya, kebanyakan merupakan akibat
dari kebocoran plasma.
Tanda-tanda bahaya (warning signs) merupakan pertanda mulainya fase kritis.
Keadaan umum menjadi lebih buruk dengan teperatur turun menjadi 37.5 38 C atau
kurang dan tetap dibawah, biasanya terjadi pada hari 3 8. Leukopenia progresif
diikuti dengan penurunan trombosit biasanya mendahului kebocoran plasma.
Peningkatan hematokrit diatas nilai normal dapat menjadi tanda tambahan.
Periode kebocoran plasma secara klinis biasanya terjadi dalam 24 48 jam. Tingkat
kebocoran sangat bervariasi. Peningkatan hematokrit mendahului perubahan pada
tekanan darah dan volume nadi.(11,13)
Derajat hemokonsentrasi diatas normal ini mencerminkan keparahan akan
kebocoran plasma; bagaimana pun hal ini dapat diturunkan dengan terapi cairan
intravena secara dini. Efusi pleura dan asites biasanya secara klinis dapat dideteksi
seteah terapi cairan intravena, kecuali pada kebocoran plasma yang berat. Foto toraks
posisi lateral dekubitus atau USG yang memperlihatkan air fluid level pada toraks dan
abdomen, maupun edema pada dinding vesika fellea dapat menjadi deteksi dini.
Disamping kebocoran plasma, manifestasi perdarahan seperti mudah memar, dan
hematom pada daerah injeksi juga sering terjadi.
Jika syok terjadi akibat volume kritis plasma ikut hilang lewat kebocoran,
maka sering didahului dengan tanda bahaya. Suhu tubuh menjadi subnormal ketika
syok terjadi. Jika terjadi syok berkepanjangan (prolonged shock), hipoperfusi akan
mengakibatkan asidosis metabolik, kegagalan fungsi organ, dan DIC (disseminated
Intravascular Coagulation). Hal ini kemudian akan menyebabkan perdarahan berat,
yang mengakibatkan hematokrit turun (pada syok yang berat). Leukosit dapat
meningkat sebagai tanda stres adanya perdarahan berat.
Tanda bahaya. Tanda bahaya mendahului manifestasi syok dan muncul
setelah fase demam, biasanya pada hari 3 7. Muntah persisten dan nyeri perut berat
adalah indikasi dini dari kebocoran plasma dan terus memburuk ketika memasuki
keadaan syok. Pasien akan menjadi letargi, lemah, pusing, dan mengalami hipotensi
postural selama keadaan syok. Perdarahan spontan pada membran mukosa atau pada
daerah suntikan menjadi gejala yang penting. Hepar yang membesar dan kenyal
biasanya dijumpai. Bagaimanapun akumulasi cairan dapat dideteksi jika kehilangan
12

plasma signifikan atau setelah penanganan dengan cairan intravena. Penurunan yang
cepat dan progresif pada hitung trombosit hingga 100.000 sel/mm kubik dan
peningkatan hematokrit diatas normal mungkin menjadi tanda paling awal dari
kebocoran plasma. Hal ini biasanya mendahului kejadian leukopenia (5000 sel/mm
kubik).
3. Fase Penyembuhan
Ketika pasien bertahan hidup 24 48 jam pada fase kritis, reabsorpsi lambat dari
cairan pada ruang ekstravaskuler terjadi pada 48 72 jam berikutnya. Keadaan umum
membaik, nafsu makan meningkat, status hemodinamik dan diuresis menjadi stabil.
Beberapa pasen dapat memiliki ruam yang disebut Pulau Putih diatas Laut Merah.
Beberapa pasien juga akan mengalami pruritus.
Hitung hematokrit akan normal atau rendah karena efek dilusional dari cairan
yang tereabsorpsi. Sel darah putih biasanya mulai meningkat. Hitung trombosit
biasanya secara khas lebih akhir daripada sel darah putih. Distres respirasi dari efusi
pleura masif dan asites akan terjadi kapan pun jika terapi intravena diberikan secara
berlebihan. Selama fase kritis dan atau penyembuhan, terapi cairan yang berlebihan
berhubungan dengan edema pulmonal atau gagal jantung kongestif.(11,13)
Masalah klinis yang bervariasi selama fase-fase yang berbeda dapat
disimpulkan ke dalam tabel berikut.
Tabel 1 Fase Infeksi Dengue

Fase febris

Dehidrasi; demam tiggi dapat menyebabkan gangguan


neurologis dan kejang demam pada anak-anak yang
lebih muda

Fase kritis

Syok karena kebocoran plasma; perdarahan yang


berat; kegagalan fungsi organ

Fase penyembuhan

Hipervolemia (hanya jika pemberian terapi IV


berlebihan)

13

Gambar 2 Perjalanan penyakit Dengue

4. Severe Dengue
Didefinisikan sebagai satu atau lebih dari yang berikut ini: 1) kebocoran plasma yang
mengakibatkan syok (syok dengue) dan atau akumulasi cairan, dengan atau tanpa
distres respirasi, dan atau 2) perdarahan berat, dan atau 3) gangguan organ berat.
Selama tahap awal dari syok, mekanisme kompensasi yang mempertahankan
tekanan darah sistolik normal juga menyebabkan takikardia dan vasokonstriksi perifer
disertai perfusi kulit yang menurun, yang ditandai sebagai akral dingin dan CRT yang
menurun. Uniknya, tekanan diastolik meningkat terhadap tekanan sistolik dan tekanan
nadi menyempit oleh karena adanya peningkatan resistensi perifer. Syok hipotensif
yang berkepanjangan (prolonged) dan hipoksia dapat megakibatkan kegagalan multiorgan.
14

Seorang pasien dianggap memiliki syok jika tekanan nadi (selisih antara
tekanan sistolik dengan diastolik) 20 mmHg pada anak-anak atau memiliki tanda
dari perfusi kapiler yang parah (akral dingin, CRT yang menurun, atau frekuensi nadi
yang meningkat). Hipotensi berhubungan dengan syok berkepanjangan yang sering
berkomplikasi pada perdarahan besar.
Pasien dengan severe dengue dapat memiliki abnormalitas fungsi koagulasi,
namun hal ini kurang efisien dalam menyebabkan perdarahan besar. Ketika
perdarahan besar terjadi, hampir selalu berhubungan dengan syok berat, dengan
kombinasi trombositopenia, hipoksia, dan asidosis, menyebabkan kegagalan organ
multipel dan DIC lanjut. Perdarahan masif dapat terjadi tanpa harus syok
berkepanjangan pada pemberian aspirin (asam asetilsalisilat), ibuprofen, atau
kortikosteroid.
Severe Dengue sebaiknya dipertimbangkan jika pasien dari daerah yang beresiko
infeksi dengue, memperlihatkan demam 2 7 hari ditambah berapapun dari tandatanda dibawah ini:
- Ada bukti kebocoran plasma (plasma leakage), seperti nilai hematokrit yang
tinggi atau secaraprogresif meningkat, asites atau efusi pleura, syok atau
gangguan sirkulasi (takikardia, akral dingin , CRT lebih dari 3 detik, denyut
nadi lemah atau tak terukur, tekanan nadi menyempit, atau pada syok lanjut,
-

tekanan darah yang tak terukur).


Ada perdarahan yang bermakna
Ada perubahan kesadaran (letargi atau restlessness, koma, konvulsi)
Keterlibatan sistem gastrointestinal (muntah persisten, nyeri perut bertambah

hebat, ikterik)
Adanya gangguan organ berat (gagal hati akut, gagal ginjal akut, ensefalopati
atau ensefalitis, atau manifestasi lainnya yang tak lazim, kardiomiopati)

2.1.6 Manifestasi Klinis


Pada dasarnya ada empat sindrom klinis dengue yang dianut Depkes, yaitu:
1. Silent dengue atau undifferentiated fever
2. Demam dengue, mencerminkan fase febris, dimana terjadi demam akut selama 2 7
hari dengan dua atau lebih manifestasi: nyeri kepala, nyeri retro-orbita, mialgia, ruam
kulit, manifestasi perdarahan dan leukopenia. Trias demam dengue meliputi demam
tinggi, nyeri anggota badan, dan ruam kulit. Demam biasanya mencapai 39 40C,
dan demam bersifat bifasik yang berlangsung 5 7 hari, tetapi pada penelitian
selanjutnya bentuk kurva ini tidak ditemukan pada semua pasien sehingga tidak
15

dijadikan tanda patognomonik. Ruam kulit ditandai dengan kemerahan dan ercak
merah yang menyebar pada wajah, leher, dan dada selama separuh pertama periode
demam dan kemungkinan makulopapular atau menyerupai demam skarlatina yang
muncul pada hari ke-3 atau ke-4. Ruam timbul pada 6-12 jam sebelum suhu naik
pertama kali (hari sakit ke -3 5) dan berlangsung selama 3 4 hari. Anoreksia dan
obstipasi sering dilaporkan. Gejala klinis lainnya yaitu fotofobia, berkeringat, batuk,
epistaksis, dan disuria. Kelenjar limfe servikal dilaporkan membesar pada 67 77%
kasus atau dikenal sebagai Castelanis sign yang bersifat patognomonik. Beberapa
bentuk perdarahan lain dapat menyertai. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
hitung leukosit biasanya normal saat awal demam kemudian leukopenia hingga akhir
periode demam; hitung trombosit masih normal, demikian komponen faktor
pembekuan. Ada beberapa kejadian biasanya sudah terjadi trombositopenia; serum
biokimia (enzim) biasanya normal.
3. Demam Berdarah Dengue (Dengue Hemorrhagic Fever) ditandai oleh 4 manifestasi
berikut; 1) demam tinggi, 2) perdarahan terutama pada kulit, 3) hepatomegali 4)
kegagalan sirkulasi. Pada DBD terdapat perdarahan kulit, uji torniket positif, memar
dan perdarahan pada tempat injeksi vena. Petekie halus tersebar di anggota gerak,
muka, aksila pada masa-masa awal demam. Epistaksis dan perdarahan membran
mukosa, misalnya gusi, jarang terjadi, sedangkan perdarahan saluran pencernaan
hebat lebih jarang lagi kecuali jika renjatan tidak dapat diatasi. Hati biasanya teraba
pada awal fase demam, bervariasi mulai dari teraba 2 4 cm dibawa arkus costae
kanan. Pembesaran hepar tidak berhubungan dengan parahnya penyakit tapi sering
ditemukan pada kasus-kasus syok. Nyeri tekan pada daerah hepar terasa tetapi
biasanya tidak memunculkan ikterik. Pada pemeriksaan laboratorium dapat ditemukan
adanya trombositopenia sedang hingga berat disertai hemokonsentrasi. Perubahan
patofisiologis utama yang menentukan tingkat keparahan DBD dengan DD ialah
gangguan hemostasis dan kebocoran plasma (trombositopenia dan peningkatan kadar
hematokrit). Tabel berikut ini memaparan gejala klinis demam dengue dan DBD.

16

Tabel 2 Gejala Klinis demam dengue dan DBD

4. Sindroma Syok Dengue (Dengue Shock Syndrome), menggambarkan fase kritis


dengue, yaitu manifestasi klinis akibat kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan
frekuensi nadi yang cepat tapi isi lemah, tekanan nadi menyempit (<20 mmHg),
hipotensi, akral dingin dan lembab, serta letargi.

17

Gambar 2 Kelainan Utama pada DBD. Gambaran Skematis Kebocoran Plasma

2.1.7 Pemeriksaan Penunjang


Diagnosis yang akurat dan efisien adalah kepentingan utama dalam pelayanan klinis. Metode
diagnosis laboratoris untuk menentukan infeksi virus dengue meliputi deteksi adanya virus,
asam nukleat virus, antigen dan antibodi, atau kombinasi dari ketiga teknik ini. Setelah onset
penyakit, virus dapat dideteksi di dalam serum, plasma, dan sel-sel darah yang berirkulasi,
serta pada jaringan lain, selama 4 5 hari. Selama tahap pertama dari penyakit, isolasi virus,
asam nukleat atau deteksi antigen dapat digunakan untuk mendiagnosis infeksi. Di akhir fase
akut infeksi, serologi adaah metode pilihan untuk diagnosis.(11,13)
Respon antibodi terhadap infeksi berbeda-beda tergantung dari status imun pejamu.
Ketika infeksi dengue terjadi pada individu yang belum pernah terinfeksi sebelumnya dengan
flavivirus atau terimunisasi dengan vaksin flavivirus, tubuh pasien akan mengalami respon
antibodi primer yang ditandai dengan peningkatan lambat dari antibodi spesifik. IgM
18

merupakan isotipe imunogloulin pertama yang muncul. Antibodi ini terdteksi 50% pada hari
3 -5 setelah onset, meningkat 80% pada hari ke-5 dan 99% pada hari ke-10 (Gambar 3).
Kadar IgM memuncak kira-kira 2 minggu setelah onset gejala dan umumnya menurun hingga
tak terdeteksi pada 2 -3 bulan. IgG umunya dapat dideteksi pada kadar rendah di akhir
minggu pertama sakit, kemudian meningkat perlahan, dapat tetap berada di serum beberapa
bulan, bahkan mungkin seumur hidup.(11,13,17)
Selama infeksi dengue sekunder (infeksi dengue pada pejamu yang telah terinfeksi
sebelumnya oleh virus dengue, atau kadang setelah vaksinasi atau infeksi flavivirus nondengue), titer antibodi meningkat dengan cepat dan bereaksi secara luas terhadap berbagai
macam flavivirus. Isotipe imunogloulin yang dominan ialah IgG yang terdeteksi pada kadar
yang tinggi, bahkan pada fase akut, dan bertahan hingga 10 bulan bahkan seumur hidup. Pada
tahap penyembuhan dini, kadar IgM secara signifikan lebih rendah pada infeksi sekunder dan
mungkin tak terdeteksi di beberapa kasus. Untuk membedakan infeksi primer atau sekunder
dengue, rasio IgM/IgG sekarang digunakan secara umum daripada uji hemoaglutinin-inhibisi
(uji HI).(11,13,17)

19

Gambar 3 Garis waktu infeksi virus dengue primer dan sekunder dan metode diagnostik
yang digunakan untuk mendeteksi adanya infeksi

Secara umum, pemeriksaan dengan sensitivitas dan spesifisitas membutuhkan


teknologi kompleks dan ahli pada bidannya, sementara uji cepat (rapid test) dapat kurang
senstif mauun spesifik demi kecepatan. Isolasi virus dan deteksi asam nukleat lebih rumit dan
mahal , namun lebih spesifik daripada deteksi antibodi menggunakan metode serologi.(17)
Infeksi dengue menghasilkan spekrum gejala yang luas, banyak diantaranya adalah
tidak spesifik. Maka dari itu, diagnosis berdasarkan gejala klinis tak dapat dipercaya.
Sebelum hari-5 sakitm selama periode demam, infeksi dengue dapat didiagnosis oleh isolasi
virus pada kultur sel, oleh deteksi RNA virus, oleh nucleic acid amplification test (NAAT),
atau oleh deteksi antigen virus menggunakan ELISA atau rapid test. Isolasi virus dengan
kultur sel membutuhkan infrastruktur lengkap dan waktu yang lama. NAAT selalu dapat
mendeteksi RNA virus dalam 24 48 jam, namun uji ini tetap membutuhkan peralatan dan
reagen yang mahal, prosedur yang berkualitas, dan pekerja yang ahli. Peralatan untuk
mendeteksi antigen NS-1 kini tersedia dan dapat digunakan di laboratorium dengan peralatan
yang terbatas dan mengeluarkan hasil laboratoris dalam beberapa jam. Deteksi antigen
20

dengue cepat (rapid) dapat juga dilakukan di lapangan dengan hasil kurang dari satu jam.
Saat ini, metode ini kurang spesifik, mahal dan sedang dalam tahap evaluasi mengenai biaya
dan keakuratannya. Tabel berikut ini memperlihatkan kesimpulan sifat dari metode diagnostik
untuk infeksi dengue.(17)
Tabel 3 Kesimpulan Sifat dan Perbandingan Biaya Metode diagnostik

Setelah hari-5 sakit, virus dengue dan antigen hilang dari darah, bersamaan dengan
munculnya antibodi-antibodi spesifik. Antigen NS1 dapat dideteksi pada beberapa pasien
selama beberapa hari setelah demam reda. Uji serologi dengue lebih banyak tersedia di
negara-negara endemis, daripada uji virologi. Transportasi spesimen bukanlah masalah
karena imunoglobulin stabil pada suhu tropis.(17)
Untuk serologi, waktu pengumpulan spesimen lebih fleksibel daripada isolasi virus
atau deteksi RNA karena suatu respon antibodi dapat diukur dengan membandingkan sampel
yang dikumpul selama keadaan akut dengan sampel yang dikumpul saat berminggu-minggu
atau berbulan-bulan kemudian. Kadar yang rendah terhadap respon IgM yang terdeteksi
atau sama sekali tidak ada pada beberapa infeksi sekunder, menurukan keakuratan uji IgM
ELISA. Peningkatan empat kali lipat atau lebih kadar antibodi yang diukur oleh IgG ELISA
21

atau dari uji HI mengindikasikan infeksi flavivirus akut. Bagaimana pun, menunggu serum
saat penyembuhan atau saat pasien dipulangkan sangat tidak berguna untuk diagnosis dan
penatalaksanaan.(17)
Tabel 4 Keuntungan dan Keterbatasan Metode Diagnostik Infeksi Dengue

1. Isolasi virus. Spesimen dikumpulkan hanya pada saat sedang terjadi infeksi, selaa
periode viremia (sebelum hari-5). Virus dapat dijumpai di serum, plasma, dan sel-sel
mononuklear perifer, atau jaringan (hepar, paru, kelenjar getah bening, timus, dan
sumsum tulang). Karena dengue merupakan heat-labile, pengiriman sampel harus
dengan referigerator atau di dalam es. Kultur sel merupakan metode yang luas dipakai
untuk mengisolasi virus.
2. Deteksi Asam Nukleat. RNAbersifat heat-labile, maka untuk penyimpanannya harus
di dalam freezer. RT-PCR (Reverse Transcriptase-polymerase Chain Reaction) lebih
22

sensitif daripada isolasi virus, yaitu 80 100%. Positif palsu dapat terjadi jika
kontaminasi saat proses amplifikasi.
3. Deteksi antigen. Sampai sekarang, deteksi antigen dengue pada serum fase akut
jarang pada pasien dengan infeksi sekunder karena sudah memiliki antibodi IgG-virus
sebelumnya. Perkembangan baru dari ELISA dan dot blot assays yang fokus pada
antigen bagian membran atau envelop (E/M) dan protein non-struktural -1 (NS-1)
menunjukkan bahwa konsentrasi yang tinggi antigen-antigen ini dalam pembentukan
kompleks imun dapat terdeteksi pada pasien dengan infeksi primer maupun sekunder
dengue hingga sembilan hari setelah onset sakit. Glikoprotein NS-1 dihasilkan oleh
flavivirus dan disekresikan dari sel-sel mamalia. NS1 menghasilkan respon imun
humoral yang kuat. Banyak penelitian yang telah fokus menggunakan deteksi NS1
untuk diagnosis dini infeksi virus dengue.
4. Tes serologi. MAC-ELISA (IgM antibody-capture enzyme-linked immunosorbent
assay. IgM total pada serum pasien ditangkap oleh antibodi spesifik anti rantai-u yang
dilapisi diatas mikroplate. Antigen spesifik dengue (DEN-1 hingga 4) terikat dengan
IgM anti-dengue yang terperangkap tadi. Kemudian, terdeteksi oleh antibodi dengue
monoklonal atau poliklonal yang terkonjugasi dengan suatu enzim yang akan
mengubah substat tak berwarna menjadi produk berwarna, yang diukur melalui
spektrometer. Serum, darah, dan saliva dapat dijadikan sampel yang diambil 5 hari
atau lebih setelah onset demam. MAC-ELISA memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang baik namun hanya jika digunakan saat lebih atau sama dengan 5 hari setelah
onset demam. Banyak penelitian yang menerangkan bahwa ELISA pada umumnya
lebih baik performanya daripada rapid test. Positif palsu dapat terjadi di serum pada
pasien dengan malaria, leptospirosis, dan pasca infeksi dengue.
IgG ELISA digunaka untuk mendeteksi infeksi dengue masa lampau atau
sekarang. Metode ini dapat digunakan untuk mendeteksi IgG di serum atau plasma
dan sampel darah filter dan bisa mengidentifikasi kasus infeksi primer atau sekunder.
Uji HI didasarkan atas kemampuan antigen dengue untuk menggumpalkan
(aglutinasi) sel darah merah. Antibodi anti-dengue di dalam serum dapat menghambat
terjadinya aglutinasi dan potensi inhibisi ini dapat diukur lewat uji HI. Sampel seru
diberikan aseton atau kaolin untuk menghilangkan inhibitor non-spesifik, dan
kemudian di-adsorpsi dengan sel darah merah golongan 0 untuk menghilangkan
aglutinin yang tidak spesifik. Secara optimal, uji HI membutuhkan serum yang
diambil saat masuk RS (akut) an keluar rumah sakit (sudah sembuh), atau dengan
serum yang berbeda selama lebih atau sama dengan tujuh hari. Respon terhadap
23

infeksi primer ditandai oleh kadar rendah antibodi pada serum fase akut (sebelum
hari-5) dan peningkatan yang lambat dari titer antibodi HI kemudian. Selama infeksi
dengue sekunder, antibodi HI meningkat secara cepat, biasanya melebihi 1 : 1280.
Nilai yang lebih rendah dari ini umumnya diobservasi pada serum pada masa
penyembuhan dari pasien dengan respon primer.
5. Pemeriksaan Hematologi. Hitung trombosit dan hematokrit lazim diukur selama fase
akut infeksi dengue. Rendahnya kadar trombosit dalam darah dibawah 100.000 per uL
per hari dapat dijumpai pada demam dengue, namun hal ini merupakan tanda yang
tetap pada demam berdarah dengue (DBD). Trombositopenia biasanya dijumpai pada
periode antara hari-3 dan 8 menjelang onset sakit.
Hemokonsentrasi, yang ditandai dengan peningkatan hematokrit >20% yang
dibandingkan dengan masa penyembuhan, merupakan tanda hipovolemia karena
peningkatan permeabilitas kapiler dan kebocoran plasma.(11,13,17)
2.1.8 Kriteria Diagnosis
kriteria diagnosis WHO hanya berlaku untuk DBD, tidak untuk spektrum infeksi dengue
yang lain. WHO membuat panduan diagnosis DBD karena DBD adalah masalah kesehatan
masyarakat dengan angka kematian yang tinggi.
Kriteria diagnosis DBD ialah dua atau lebih tanda klinis ditambah tanda laboratoris,
yaitu trombositopenia dan hemokonsentrasi (kedua hasil laboratorium tersebut harus ada) dan
dikonfirmasi lagi dengan pemeriksaan serologi. Kriteria diagnosis DBD berdasarkan WHO
tahun 1997 ialah:
Kriteria Klinis : demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas terus menerus selama
2-7 hari, terdapat manifestasi perdarahan termasuk tes torniket positif, petekie, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis, serta melena; pembesaran hati, dan nadi cepat dan
lemah serta penurunan tekanan nadi. Kriteria laboratoris: trombositopenia (100.000/ul atau
kurang), hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit >20%).
Pembagian derajat DBD menurut WHO ialah:
-

Derajat I : demam diikuti gejala aspesifik. Satu-satunya manifestasi perdarahan

adalah uji torniket positif atau mudah memar


Derajat II : gejala yang ada pada derajat I + perdarahan spontan. Perdarahan dapat
terjadi di kulit atau pada tempat lain.

24

Derajat III : kegagalan sirkulasi ditandai oleh denyut nadi yang cepat tapi lemah,
tekanan nadi menurun atau hipotensi, suhu tubuh subnormal, kulit lembab, dan

gelisah
Derajat IV: syok berat dengan nadi dan tekanan darah tak terukur.(18)

2.1.9 Penatalaksanaan
Pada dasarnya pengobatan DBD bersifat suportif, yaitu mengatasi kehilangan cairan plasma
sebagai akibat peningkatan permeabilitas kapiler dansebagai akibat perdarahan. Pasien DD
dapat berobat jalan sedangkan pasien DBD dirawat di ruang perawatan biasa. Tetapi pada
kasus DBD dengan komplikasi diperlukan perawatan intensif.
Untuk dapat merawat pasien DBD dengan baik, diperlukan dokter dan perawat yang
terampil, sarana laboratorium yang memadai, cairan kristaloid dan koloid, serta bank darah
yang senantiasa siap bila diperlukan. Diagnosis dini dan memberikan nasehat untuk segera
dirawat bila terdapat tanda syok, merupakan hal yang penting untuk mengurangi angka
kematian.
Di pihak lain, perjalanan penyakit DBD sulit diramalkan. Pasien yang pada waktu
masuk keadaan umumnya tampak baik, dalam waktu singkat dapat memburuk dan tidak
tertolong. Kunci keberhasilan tatalaksana DBD/SSD terletak pada ketrampilan para dokter
untuk dapat mengatasi masa peralihan dari fase demam ke fase penurunan suhu (fase kritis,
fase syok) dengan baik.(19,20,21,22)
2.1.9.1 Demam dengue
Pasien DD dapat berobat jalan, tidak perlu dirawat. Pada fase demam pasien dianjurkanTirah
baring, selama masih demam.

Obat antipiretik atau kompres hangat diberikan apabila diperlukan.


Untuk menurunkan suhu menjadi < 39C, dianjurkan pemberian parasetamol.
Asetosal/salisilat tidak dianjurkan (kontraindikasi) oleh karena dapat meyebabkan

gastritis, perdarahan, atau asidosis.


Dianjurkan pemberian cairan danelektrolit per oral, jus buah, sirop, susu, disamping

air putih, dianjurkan paling sedikit diberikan selama 2 hari.


Monitor suhu, jumlah trombosit dan hematokrit sampai fase konvalesen.
Pada pasien DD, saat suhu turun pada umumnya merupakan tanda penyembuhan.

Meskipun demikian semua pasien harus diobservasi terhadap komplikasi yang dapat terjadi
selama 2 hari setelah suhu turun. Hal ini disebabkan oleh karena kemungkinan kita sulit
25

membedakan antara DD dan DBD pada fase demam. Perbedaan akan tampak jelas saat suhu
turun, yaitu pada DD akan terjadi penyembuhan sedangkan pada DBD terdapat tanda awal
kegagalan sirkulasi (syok).
Komplikasi perdarahan dapat terjadi pada DD tanpa disertai gejala syok. Oleh karena
itu, orang tua atau pasien dinasehati bila terasa nyeri perut hebat, buang air besar hitam, atau
terdapat perdarahan kulit serta mukosa seperti mimisan, perdarahan gusi, apalagi bila disertai
berkeringat dingin, hal tersebut merupakan tanda kegawatan, sehingga harus segera dibawa
segera ke rumah sakit.(19,20)

2.1.9.2 Demam Berdarah Dengue


Ketentuan Umum
Perbedaan patofisilogik utama antara DD/DBD/SSD danpenyakit lain adalah adanya
peningkatan permeabilitas kapiler yang menyebabkan perembesan plasma dangangguan
hemostasis. Gambaran klinis DBD/SSD sangat khas yaitu demam tinggi mendadak, diastesis
hemoragik, hepatomegali, dan kegagalan sirkulasi. Maka keberhasilan tatalaksana DBD
terletak pada bagian mendeteksi secara dini fase kritis yaitu saat suhu turun (the time of
defervescence) yang merupakan fase awal terjadinya kegagalan sirkulasi, dengan melakukan
observasi klinis disertai pemantauan perembesan plasma dan gangguan hemostasis.
Prognosis DBD terletak pada pengenalan awal terjadinya perembesan plasma, yang
dapat diketahui dari peningkatan kadar hematokrit. Fase kritis pada umumnya mulai terjadi
pada hari ketiga sakit. Penurunanjumlah trombosit sampai <100.000/pl atau kurang dari 1-2
trombosit/ Ipb (rata-rata dihitung pada 10 Ipb) terjadi sebelum peningkatan hematokrit
dansebelum terjadi penurunan suhu. Peningkatan hematokrit 20% atau lebih mencermikan
perembesan plasma danmerupakan indikasi untuk pemberian caiaran. Larutan garam isotonik
atau ringer laktat sebagai cairan awal pengganti volume plasma dapat diberikan sesuai
dengan berat ringan penyakit. Perhatian khusus pada asus dengan peningkatan hematokrit
yang terus menerus danpenurunan jumlah trombosit < 50.000/41. Secara umum pasien DBD
derajat I danII dapat dirawat di Puskesmas, rumah sakit kelas D, C dan pada ruang rawat
sehari di rumah sakit kelas B dan A.(19,20,21)

Fase Demam
26

Tatalaksana DBD fase demam tidak berbeda dengan tatalaksana DD, bersifat simptomatik
dansuportif yaitu pemberian cairan oral untuk mencegah dehidrasi. Apabila cairan oral tidak
dapat diberikan oleh karena tidak mau minum, muntah atau nyeri perut yang berlebihan,
maka cairan intravena rumatan perlu diberikan. Antipiretik kadang-kadang diperlukan, tetapi
perlu diperhatikan bahwa antipiretik tidak dapat mengurangi lama demam pada 7BD.
Parasetamol direkomendasikan untuk pemberian atau dapat di sederhanakan seperti tertera
pada Tabel 5.
Rasa haus dankeadaan dehidrasi dapat timbul sebagai akibat demam tinggi, anoreksia
dan muntah. Jenis minuman yang dianjurkan adalah jus buah, air teh manis, sirup, susu, serta
larutan oralit. Pasien perlu diberikan minum 50 ml/kg BB dalam 4-6 jam pertama. Setelah
keadaan dehidrasi dapat diatasi anak diberikan cairan rumatan 80-100 ml/kg BB dalam 24
jam berikutnya. Bayi yang masih minum asi, tetap harus diberikan disamping larutan oralit.
Bila terjadi kejang demam, disamping antipiretik diberikan antikonvulsif selama demam.
(11,13,19,20)

Tabel 5 Dosis Parasetamol menurut Umur

Pasien harus diawasi ketat terhadap kejadian syok yang mungkin terjadi. Periode
kritis adalah waktu transisi, yaitu saat suhu turun pada umumnya hari ke 3-5 fase demam.
Pemeriksaan kadar hematokrit berkala merupakan pemeriksaan laboratorium yang terbaik
untuk pengawasan hasil pemberian cairan yaitu menggambarkan derajat kebocoran plasma
danpedoman kebutuhan cairan intravena. Hemokonsentrasi pada umumnya terjadi sebelum
dijumpai perubahan tekanan darah dantekanan nadi. Hematokrit harus diperiksa minimal satu
kali sejak hari sakit ketiga sampai suhu normal kembali. Bila sarana pemeriksaan hematokrit
tidak tersedia, pemeriksaan hemoglobin dapat dipergunakan sebagai alternatif walaupun tidak
terlalu sensitif. Untuk Puskesmas yang tidak ada alat pemeriksaan Ht, dapat dipertimbangkan
dengan menggunakan Hb. Sahli dengan estimasi nilai Ht = 3 x kadar Hb Penggantian Volume
Plasma

27

Dasar patogenesis DBD adalah perembesan plasma, yang terjadi pada fase penurunan
suhu (fase a-febris, fase krisis, fase syok) maka dasar pengobatannya adalah penggantian
volume plasma yang hilang. Walaupun demikian, penggantian cairan harus diberikan dengan
bijaksana danberhati-hati. Kebutuhan cairan awal dihitung untuk 2-3 jam pertama, sedangkan
pada kasus syok mungkin lebih sering (setiap 30-60 menit).
Tetesan dalam 24-28 jam berikutnya harus selalu disesuaikan dengan tanda vital,
kadar hematokrit, danjumlah volume urin. Penggantian volume cairan harus adekuat,
seminimal mungkin mencukupi kebocoran plasma. Secara umum volume yang dibutuhkan
adalah jumlah cairan rumatan ditambah 5-8%. Cairan intravena diperlukan, apabila (1) Anak
terus menerus muntah, tidak mau minum, demam tinggi sehingga tidak rnungkin diberikan
minum per oral, ditakutkan terjadinya dehidrasi sehingga mempercepat terjadinya syok. (2)
Nilai hematokrit cenderung meningkat pada pemeriksaan berkala. Jumlah cairan yang
diberikan tergantung dari derajat dehidrasi dankehilangan elektrolit, dianjurkan cairan
glukosa 5% di dalam larutan NaCl 0,45%. Bila terdapat asidosis, diberikan natrium
bikarbonat 7,46% 1-2 ml/kgBB intravena bolus perlahan-lahan. Apabila terdapat
hemokonsentrasi 20% atau lebih maka komposisi jenis cairan yang diberikan harus sama
dengan plasma. Volume dan komposisi cairan yang diperlukan sesuai cairan untuk dehidrasi
pada diare ringan sampai sedang, yaitu cairan rumatan + defisit 6% (5 sampai 8%), seperti
tertera pada tabel 6 dibawah ini.(11,13,19,20)
Tabel 6 Kebutuhan cairan pada dehidrasi sedang

Pemilihan jenis danvolume cairan yang diperlukan tergantung dari umur danberat
badan pasien serta derajat kehilangan plasma, yang sesuai dengan derajat hemokonsentrasi.
Pada anak gemuk, kebutuhan cairan disesuaikan dengan berat badan ideal untuk anak umur
yang sama. Kebutuhan cairan rumatan dapat diperhitungan dari tabel 3 berikut.

28

Tabel 7 Kebutuhan Cairan Rumatan

Misalnya untuk anak berat badan 40 kg, maka cairan rumatan adalah 1500+(20x20)
=1900 ml. Jumlah cairan rumatan diperhitungkan 24 jam. Oleh karena perembesan plasma
tidak konstan (perembesam plasma terjadi lebih cepat pada saat suhu turun), maka volume
cairan pengganti harus disesuaikan dengan kecepatan dankehilangan plasma, yang dapat
diketahui dari pemantauan kadar hematokrit. Penggantian volume yang berlebihan danterus
menerus setelah plasma terhenti perlu mendapat perhatian.(11,13,19,20)
Perembesan plasma berhenti ketika memasuki fase penyembuhan, saat terjadi
reabsorbsi cairan ekstravaskular kembali kedalam intravaskuler. Apabila pada saat itucairan
tidak dikurangi, akan menyebabkan edema paru dandistres pernafasan. Pasien harus dirawat
dansegera diobati bila dijumpai tanda-tanda syok yaitu gelisah, letargi/lemah, ekstrimitas
dingin, bibir sianosis, oliguri, dannadi lemah, tekanan nadi menyempit (20mmHg atau
kurang) atau hipotensi, danpeningkatan mendadak dari kadar hematokrit atau kadar
hematokrit meningkat terus menerus walaupun telah diberi cairan intravena.Jenis Cairan
(rekomendasi WHO) adalah sebagai berikut:
Kristaloid.

Larutan ringer laktat (RL)


Larutan ringer asetat (RA)
Larutan garam faali (GF)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer laktat (D5/RL)
Dekstrosa 5% dalam larutan ringer asetat (D5/RA)
Dekstrosa 5% dalam 1/2 larutan garam faali (D5/1/2LGF)

(Catatan:Untuk resusitasi syok dipergunakan larutan RL atau RA tidak boleh larutan yang
mengandung dekstran) (17)
Koloid.

Dekstran 40
Plasma
Albumin

29

2.1.9.3 Dengue Shock Syndrome


Syok merupakan keadaan kegawatan. Cairan pengganti adalah pengobatan yang utama yang
berguna untuk memperbaiki kekurangan volume plasma. Pasien anak akan cepat mengalami
syok dansembuh kembali bila diobatisegera dalam 48 jam. Pada penderita Sindrom Syok
Dengue dengan tensi tak terukur dantekanan nadi <20 mm Hg segera berikan cairan
kristaloid sebanyak 20ml/kg BB/jam selama 15 menit, bila syok teratasi turunkan menjadi 10
ml/kg BB.
Penggantian Volume Plasma Segera. Pengobatan awal cairan intravena larutan ringer laktat
> 20 ml/kg BB. Tetesan diberikan secepat mungkin maksimal 30 menit. Pada anak dengan
berat badan lebih, diberi cairan sesuai berat BB ideal danumur 10 mm/kg BB/jam, bila tidak
ada perbaikan pemberian cairan kristoloid ditambah cairan koloid. Apabila syok belum dapat
teratasi setelah 60 menit beri cairan kristaloid dengan tetesan 10 ml/kg BB/jam bila tidak ada
perbaikan stop pemberian kristaloid danberi cairan koloid (dekstran 40 atau plasma) 10 ml/kg
BB/jam.
Pada umumnya pemberian koloid tidak melebihi 30 ml/kg BB. Maksimal pemberian
koloid 1500 ml/hari, sebaiknya tidak diberikan pada saat perdarahan. Setelah pemberian
cairan resusitasi kristaloid dankoloid syok masih menetap sedangkan kadar hematokrit turun,
diduga sudah terjadi perdarahan; maka dianjurkan pemberian transfusi darah segar. Apabila
kadar hematokrit tetap > tinggi, maka berikan darah dalam volume kecil (10 ml/kg BB/jam)
dapat diulang sampai 30 ml/kgBB/ 24 jam. Setelah keadaan klinis membaik, tetesan infus
dikurangi bertahap sesuai keadaan klinis dankadar hematokrit.(18,22)
Pemberian cairan harus tetap diberikan walaupun tanda vital telah membaik dan kadar
hematokrit turun. Tetesan cairan segera diturunkan menjadi 10 ml/kg BB/jam dankemudian
disesuaikan tergantung dari kehilangan plasma yang terjadi selama 24-48 jam. Pemasangan
CVP yang ada kadangkala pada pasien SSD berat, saat ini tidak dianjurkan lagi. Cairan
intravena dapat dihentikan apabila hematokrit telah turun, dibandingkan nilai Ht sebelumnya.
Jumlah urin/ml/kg BB/jam atau lebih merupakan indikasi bahwa keadaaan sirkulasi
membaik. Pada umumnya, cairan tidak perlu diberikan lagi setelah 48 jam syok teratasi.
Apabila cairan tetap diberikan dengan jumlah yang berlebih pada saat terjadi reabsorpsi
plasma dari ekstravaskular (ditandai dengan penurunan kadar hematokrit setelah pemberian
cairan rumatan), maka akan menyebabkan hipervolemia dengan akibat edema paru dangagal
jantung. Penurunan hematokrit pada saat reabsorbsi plasma ini jangan dianggap sebagai tanda
30

perdarahan, tetapi disebabkan oleh hemodilusi. Nadi yang kuat, tekanan darah normal,
diuresis cukup, tanda vital baik, merupakan tanda terjadinya fase reabsorbsi.
Koreksi Gangguan Metabolik dan Elektrolit. Hiponatremia danasidosis metabolik sering
menyertai pasien DBD/SSD, maka analisis gas darah dankadar elektrolit harus selalu
diperiksa pada DBD berat. Apabila asidosis tidak dikoreksi, akan memacu terjadinya KID,
sehingga tatalaksana pasien menjadi lebih kompleks.
Pada umumnya, apabila penggantian cairan plasma diberikan secepatnya dan
dilakukan koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat, maka perdarahan sebagai akibat KID,
tidak akan tejadi sehingga heparin tidak diperlukan.
Pemberian Oksigen. Terapi oksigen 2 liter per menit harus selalu diberikan pada semua
pasien syok. Dianjurkan pemberian oksigen dengan mempergunakan masker, tetapi harus
diingat pula pada anak seringkali menjadi makin gelisah apabila dipasang masker oksigen.
Transfusi Darah.Pemeriksaan golongan darah cross-matching harus dilakukan pada setiap
pasien syok, terutama pada syok yang berkepanjangan (prolonged shock). Pemberian
transfusi darah diberikan pada keadaan manifestasi perdarahan yang nyata. Kadangkala sulit
untuk

mengetahui

perdarahan

interna

(internal

haemorrhage)

apabila

disertai

hemokonsentrasi. Penurunan hematokrit (misalnya dari 50% menjadi 40%) tanpa perbaikan
klinis walaupun telah diberikan cairan yang mencukupi, merupakan tanda adanya perdarahan.
Pemberian darah segar dimaksudkan untuk mengatasi pendarahan karena cukup mengandung
plasma, sel darah merah dan faktor pembesar trombosit. Plasma segar dan atau suspensi
trombosit berguna untuk pasien dengan KID dan perdarahan masif. KID biasanya terjadi pada
syok berat dan menyebabkan perdarahan masif sehingga dapat menimbulkan kematian.
Pemeriksaan hematologi seperti waktu tromboplastin parsial, waktu protombin, dan
fibrinogen degradation products harus diperiksa pada pasien syok untuk mendeteksi
terjadinya dan berat ringannya KID. Pemeriksaan hematologis tersebut juga menentukan
prognosis.
Monitoring. Tanda vital dan kadar hematokrit harus dimonitor dan dievaluasi secara teratur
untuk menilai hasil pengobatan. Hal-hal yang harus diperhatikan pada monitoring adalah

Nadi, tekanan darah, respirasi, dan temperatur harus dicatat setiap 15-30 menit atau

lebih sering, sampai syok dapat teratasi.


Kadar hematokrit harus diperiksa tiap 4-6 jam sekali sampai keadaan klinis pasien
stabil.
31

setiap pasien harus mempunyai formulir pemantauan, mengenai jenis cairan, jumlah,

dan tetesan, untuk menentukan apakah cairan yang diberikan sudah mencukupi.
Jumlah dan frekuensi diuresis.
Pada pengobatan syok, kita harus yakin benar bahwa penggantian volume

intravaskuler telah benar-benar terpenuhi dengan baik. Apabila diuresis belum cukup 1
ml/kg/BB, sedang jumlah cairan sudah melebihi kebutuhan diperkuat dengan tanda overload
antara lain edema, pernapasan meningkat, maka selanjutnya furosemid 1 mg/kgBB dapat
diberikan. Pemantauan jumlah diuresis, kadar ureum dankreatinin tetap harus dilakukan.
Tetapi, apabila diuresis tetap belum mencukupi, pada umumnya syok belum dapat terkoreksi
dengan baik, maka pemberian dopamin perlu dipertimbangkan.(10,12,18,19)

Ruang Rawat Khusus Untuk DBD


Untuk mendapatkan tatalaksana DBD lebih efektif, maka pasien DBD seharusnya dirawat di
ruang rawat khusus, yang dilengkapi dengan perawatan untuk kegawatan. Ruang perawatan
khusus tersebut dilengkapi dengan fasilitas laboratorium untuk memeriksa kadar hemoglobin,
hematokrit, dan trombosit yang tersedia selama 24 jam.
Pencatatan merupakan hal yang penting dilakukan di ruang perawatan DBD.
Paramedis dapat didantu oleh orang tua pasien untuk mencatatjumlah cairan baik yang
diminum maupun yang diberikan secara intravena, serta menampung urin serta
mencatatjumlahnya.(22)

Kriteria Memulangkan Pasien

Tampak perbaikan secara klinis


Tidak demam selama 24 jam tanpa antipiretik
Tidak dijumpai distres pernafasan (disebabkan oleh efusi pleura atau asidosis)
Hematokrit stabil
Jumlah trombosit cenderung naik > 50.000/pl
Tiga hari setelah syok teratasi
Nafsu makan membaik

2.1.9.4 Ensefalopati dengue

32

Pada ensefalopati cenderung terjadi udem otak danalkalosis, maka bila syok telah teratasi
cairan diganti dengan cairan yang tidak mengandung HC03- dan jumlah cairan harus segera
dikurangi. Larutan laktat ringer dektrosa segera ditukar dengan larutan NaCl (0,9%) : glukosa
(5%) = 1:3.
Untuk mengurangi udem otak diberikan dexametason 0,5 mg/kg BB/kali tiap 8 jam,
tetapi bila terdapat perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan. Bila
terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K intravena 3-10 mg selama 3 hari, kadar
gula darah diusahakan > 80 mg. Mencegah terjadinya peningkatan tekanan intrakranial
dengan mengurangi jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan
elektrolit.
Perawatan jalan nafas dengan pemberian oksigen yang adekuat. Untuk mengurangi
produksi amoniak dapat diberikan neomisin dan laktulosa. Usahakan tidak memberikan obatobat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, antimuntah) untuk mengurangi beban
detoksifikasi obat dalam hati. Transfusi darah segar atau komponen dapat diberikan atas
indikasi yang tepat. Bila perlu dilakukan tranfusi tukar. Pada masa penyembuhandapat
diberikan asam amino rantai pendek.(17,19)

2.2 Vektor Demam Berdarah Dengue


Penyebab DD/DBD adalah oleh virus dengue anggota genus Flavivirus, diketahui empat
serotipe virus dengue yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4. Nyamuk penular disebut
vektor, yaitu nyamuk Aedes (Ae) dari subgenus Stegomya.
Vektor adalah hewan arthropoda yang dapat berperan sebagai penular penyakit.
Vektor DD dan DBD di Indonesia adalah nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor utama dan
Aedes albopictus sebagai vektor sekunder. Spesies tersebut merupakan nyamuk pemukiman,
stadium pradewasanya mempunyai habitat perkembangbiakan di tempat penampungan
air/wadah yang berada di permukiman dengan air yang relatif jernih.
Nyamuk Ae. aegypti lebih banyak ditemukan berkembang biak di tempat-tempat
penampungan air buatan antara lain : bak mandi, ember, vas bunga, tempat minum burung,
kaleng bekas, ban bekas dan sejenisnya di dalam rumah meskipun juga ditemukan di luar
rumah di wilayah perkotaan; sedangkan Ae. albopictus lebih banyak ditemukan di
penampungan air alami di luar rumah, seperti axilla daun, lubang pohon, potongan bambu

33

dan sejenisnya terutama di wilayah pinggiran kota dan pedesaan, namun juga ditemukan di
tempat penampungan buatan di dalam dan di luar rumah.(23,24)
Spesies nyamuk tersebut mempunyai sifat anthropofilik, artinya lebih memilih
menghisap darah manusia, disamping itu juga bersifat multiple feeding artinya untuk
memenuhi kebutuhan darah sampai kenyang dalam satu periode siklus gonotropik biasanya
menghisap darah beberapa kali. Sifat tersebut meningkatkan risiko penularan DB/DBD di
wilayah perumahan yang penduduknya lebih padat, satu individu nyamukyang infektif dalam
satu periode waktu menggigit akan mampu menularkan virus kepada lebih dari satu orang.
(23,24,25)

2.2.1 Pengendalian vektor DBD


Vaksin untuk pencegahan terhadap infeksi virus dan obat untuk penyakit DB/DBD belum ada
dan masih dalam proses penelitian,sehingga pengendaliannya terutama ditujukan untuk
memutus rantai penularan, yaitu dengan pengendalian vektornya.
Pengendalian vektor DBD di hampir di semua negara dan daerah endemis tidak tepat
sasaran, tidak berkesinambungan dan belum mampu memutus rantai penularan. Hal ini
disebabkan metode yang diterapkan belum mengacu kepada data/informasi tentang vektor,
disamping itu masih mengandalkan kepada penggunaan insektisida dengan cara
penyemprotan dan larvasidasi. Contoh dalam pengendalian vektor DBD adalah perlindungan
individu dan partisipasi masyarakat.(23,25)
2.2.1.1 Perlindungan individu
Untuk melindungi pribadi dari risiko penularan virus DBD dapat dilakukan secara individu
dengan menggunakan repellent,menggunakan pakaian yang mengurangi gigitan nyamuk.
Baju lengan panjang dan celana panjang bisa mengurangi kontak dengan nyamuk meskipun
sementara. Untuk mengurangi kontak dengan nyamuk di dalam keluarga bisa memasang
kelambu pada waktu tidur dan kasa anti nyamuk.(23,24,25)
Insektisida rumah tangga seperti semprotan aerosol dan repellent: obat nyamuk bakar,
vaporize mats (VP), dan repellent oles anti nyamuk bisa digunakan oleh individu. Pada 10
tahun terakhir dikembangkan kelambu berinsektisida atau dikenal sebagai insecticidetreated
nets (ITNs) dan tirai berinsektisida yang mampu melindungi gigitan nyamuk.(24,25)
2.2.1.2 Partisipasi masyarakat
34

Partisipasi masyarakat merupakan proses panjang dan memerlukan ketekunan, kesabaran dan
upaya dalam memberikanpemahaman dan motivasi kepada individu, kelompok, masyarakat,
bahkan pejabat secara berkesinambungan. Program yang melibatkan masyarakat adalah
mengajak masyarakat mau dan mampu melakukan 3 M plus atau PSN dilingkungan mereka.
Istilah tersebut sangat populer dan mungkin sudah menjadi trademark bagi program
pengendalian DBD, namun karena masyarakat kitasangat heterogen dalam tingkat
pendidikan, pemahaman dan latar belakangnya sehingga belum mampu mandiri dalam
pelaksanaannya.
Mengingat kenyataan tersebut, maka penyuluhan tentang vektor dan metode
pengendaliannya masih sangat dibutuhkan olehmasyarakat secara berkesinambungan. Karena
vektor DBD berbasis lingkungan, maka penggerakan masyarakat tidak mungkin dapat
berhasil dengan baik tanpa peran dari Pemerintah daerah dan lintas sektor terkait seperti
pendidikan, agama, LSM, dll.
Program tersebut akan dapat mempunyai daya ungkit dalam memutus rantai
penularan bilamana dilakukan oleh masyarakat dalamprogram pemberdayaan peran serta
masyarakat. Untuk meningkatkan sistem kewaspadaan dini dan pengendalian, maka perlu
peningkatan dan pembenahan sistem surveilans penyakit dan vektor dari tingkat Puskesmas,
Kabupaten Kota, Provinsi dan pusat. Disamping kerjasama dan kemitraan dengan lintas
sektor terkait perlu dicari metode yang mempunyai daya ungkit.(23,24,25)

2.3 Pengetahuan
Pengetahuan adalah kesan didalam pikiran manusia sebagai hasil penggunaan
pancainderanya. Tingkat pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6
tingkatan yaitu:
a. Tahu (know), yang termasuk dalam tingkatan ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu
tentang spesifik seluruh bahan yang dipelajari atau merangsang yang diterima, oleh sebab itu
tahu merupakan tingkatan pengetahuan yang paling rendah.
b. Memahami (Comprehension).Orang yang telah paham objek atau materi harus dapat
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap
objek yang dipelajari
c. Aplikasi, aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada kondisi atau situasi sebenarnya.

35

d. Analysis, merupakan suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
kedalam komponen-komponen, tetapi masih dalam satu struktur dan masih ada kaitan satu
sama lain.
e. Sintesis, suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang
lama.
f. Evaluasi, yaitu berkaitan untuk melakukan penilaian terhadap suatu materi atau objek.
Penilaian ini berdasarkan pada suatu cerita yang ditentukan sendiri menggunakan cerita yang
telah ada.(27)
2.4 Sikap (Atitude)
Sikap adalah merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorangterhadap suatu
stimulus atau objek. Berapa batasan lain tentang sikap antara lain: sikap sesorang terhadap
objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak
mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut.
Sikap adalah keteraturan tertentu dalam perasaan (afeksi), pemikiran (kognisi), dan
predisposisitindakan (konasi) seseorang terhadap suatu aspek lingkungan sekitarnya. Dari
batasan-batasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sikap adalah merupakan penilaian
tentang
keadaan sekitar yang ditunjukkan dengan perasaan.
Sikap mempunyai 3 komponen pokok yaitu:
1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi emosional terhadap suatu objek.
3. Kecenderungan untuk bertindak (trend to behave).
Tingkatan sikap pada seseorang terdiri dari:
a. Menerima: diartikan bahwa orang (subjek), mau memperhatikan stimulus yang diberikan
(objek)
b. Merespon (responding): memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah indikasi dari sikap, terlepas dari benar atau salah
adalah berarti orang menerima ide tersebut.
c. Menghargai (valuing): mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan
dengan orang lain terhadap suatu masalah.

36

d. Bertanggungjawab (responsible): bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah


dipilihnya dengan segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi. Pengukuran
sikap dilakukan dengan langsung dan tidak langsung. Secara langsung dapat ditanyakan
bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek.
Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan-pernyataan hipotesis,
kemudian ditanyakan pendapat responden. Pengukuran perilaku dapat dilakukan secara tidak
langsung, yakni dengan cara wawancara terhadap kegiatan yang telah dilakukan beberapa
jam, hari, minggu, bulan yang lalu. Pengukuran langsung dengan mengobservasi tindakan
responden. Faktor yang mempengaruhi perilaku seseorang dibidang kesehatan adalah
pendidikan, penghasilan, norma-norma yang dimiliki, nilai yang ada pada dirinya, kebiasaan
serta keadaan sosial budaya yang berperilaku. Jika faktor ini bersifat menguntungkan maka
diharapkan akan muncul perilaku yang baik.(28)
2.5 Praktik
Partisipasi masyarakat adalah ikut sertanya masyarakat dalam memecahkanpermasalahan
kesehatan. Didalam hal ini masyarakat sendirilah yang aktif memikirkan, merencanakan,
melaksanakan dan mengevaluasi program-program kesehatan. Partisipasi dari masyarakat
menuntut suatu kontribusi atau sumbangan finansial, daya dan ide.
Departemen Kesehatan menyimpulkan berbagai pengertian tentang peran serta
masyarakatyang ada yaitu proses dimana individu, keluarga serta lembaga masyarakat
termasuk swasta bersedia untuk:
a. Mengambil tanggung jawab atas kesehatan dan kesejahteraan diri sendiri, keluarga dan
masyarakat
b. Mengembangkan kemampuan berkontribusi dalam pengembangan mereka sendiri
sehingga termotivasi untuk memecahkan berbagai masalah kesehatan yang dihadapi
c. Menjadi pelaku perintis pembangunan kesehatan dan pimpinan dalam pergerakan yang
dilandasi semangat gotong royong. Penyuluhan adalah upaya meningkatkan peran serta
masyarakat dengan meningkatkan pengetahuan mengubah perlikau dan mengembangkan
keterampilan. Penyuluhan pemberantasan sarang nyamuk adalah: penyuluhan tentang PSN
demam berdarah pada masyarakat. Guna membina peran srta masyarakat dalam
melaksanakan
pencegahan penyakit DBD, sangat penting untuk diberikan pengetahuan dan keterampilan
tentang teknik-teknik PSN.

37

Diharapkan setelah selesai penyuluhan maka peserta:


a. Dapat menjelaskan penyebab penyakit DBD, cara penularannya, tanda-tanda dan
pertolongan pertama DBD
b. Dapat menyebutkan ciri-ciri nyamuk Aedes aegypti, tempat berkembang biaknya,
lingkaran hidupnya
c. Dapat mejelaskan berbagai cara memberantas nyamuk Aedes aegypti dengan melakuan
PSN-DBD dan abatisasi
d. Dapat memberi pengertian pada keluarga maupun teman sebaya di lingkungannya
e. Dapat merubah serta mengembangkan pengetahuan dan praktek PSN.

Perlindungan
individu:
- penggunaan
repellent

2.6 Kerangka Teori


Manajemen
lingkungan

Pengendalian
biologis:

Pengendalian
kimiawi:

Partisipasi
masyarakat:

- penggunaan
bakteri atau
predator
pemakan jentik
nyamuk

- penggunaan
insektisida antinyamuk

- PSN

- penggunaan
pakaian panjang
saat tidur

Peraturan
perundangan:

- penggunaan
kelambu

- pasaal 28
UUD 1945

-penggunaan
insektisida
semprot/lainnya

38

Pengendalian vektor DBD

pengetahuan

sikap

praktek

Angka kejadian DBD

BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep
Variabel Bebas

Variabel Terikat
39

3
Pengetahuan
responden
mengenai pengenadalian
vektor DBD:
-4 Partisipasi masyarkat
- Perlindungan individu

Sikap responden
mengenai pengenadalian
vektor DBD:
- Partisipasi masyarkat
- Perlindungan individu

Angka kejadian
DBD di Kelurahan
Cipete Selatan

Praktik responden dalam


mengendalikan vektor
DBD:
- Partisipasi masyarkat
- Perlindungan individu
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian(29)
3.2

Variabel Penelitian

3.2.1 Variabel bebas (independent variable)


Tingkat pengetahuan keluarga tentang PSN, tingkat sikap keluarga tentang PSN, dan
praktek keluarga tentang PSN. Tingkat pengetahuan responden tentang PSN DBD diukur
melalui pertanyaan kuesioner. Pertanyaan kuesioner meliputi pengetahuan responden tentang
kejadian penyakit DBD (penyebab dan vektornya), pengetahuan tentang sarang nyamuk
(breeding place dan resting place), pengetahuan tentang 3M (menguras, menutup dan
mengubur) pengertian dan manfaatnya, serta pengetahuan tentang abatisasi dan manfaatnya.
Tingkat sikap responden tentang DBD diukur dengan menggunakan kuesioner yang
menanyakan tentang kesetujuan dan ketidaksetujuan tentang pernyataan yang berhubungan
dengan penyakit DBD dan kegiatan PSN. Pernyataan sikap meliputi pendapat tentang bahaya
nyamuk, pernyataan tentang 3M (menguras, menutup dan mengubur), pernyataan tentang
kebiasaan menggantung pakaian bekas pakai, dan pernyataan tentang abatisasi.
Khusus untuk praktik keluarga dijabarkan melalui keberadaan jentik Aedes. Apabila di
lingkungan rumah responden ditemukan satu jentik Aedes saja maka praktik PSN responden
tersebut dinyatakan buruk dan apabila di lingkungan rumah responden tidak ditemukan jentik
Aedes maka praktik responden tersebut tentang PSN dinyatakan baik. Kebiasaan keluarga
40

responden diukur dengan menggunakan pertanyaan kuesioner dan didukung dengan


pengamatan langsung oleh petugas pengumpul data di kediaman responden.
3.2.2 Variabel terikat (dependent variable)
Variabel terikat dalam penelitian ini adalah peristiwa kejadian penyakit DBD di Kelurahan
Cipete Selatan.

No.

Nama Variabel Penelitian


Pengetahuan

Definisi Operasional
Adalah segala sesuatu yang diketahui

Alat Ukur
Kuesioner

B
C
Re

berkenaan dengan hal pengendalian vektor

dib

Demam Berdarah Dengue

per

pili

did

kue
41

3.3 Definisi Operasional

seb

per

res

me

jaw

ben
2

Sikap

Adalah kesiapan atau kesediaan untuk

Wawancara

melakukan pengendalian vektor DBD

res
Re

dib

pen

terl

me

pen

vek

set

dita

ten
3

Praktik

Adalah pelaksanaan secara nyata

Wawancara

pengendalian vektor demam berdarah dengue

res
Re

dib

per

dal

kue

me

seb

res

me

pen

vek

Be
4

Observasional

De
Pen

Angka kejadian Demam

Jumlah angka kejadian DBD pada masyarakat

Berdarah Dengue

Kelurahan Cipete Selatan berdasarkan data

me

dari Suku Dinas Kesehatan Masyarakat DKI

jum

42

Jakarta

kes

kej

De

Be

De

Ke

Cip

BAB IV
METODELOGI PENELITIAN
4.1 Desain Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian analitik observasional dengan
pendekatan cross sectional. Dalam penelitian cross sectional peneliti mencari hubungan
antara variabel bebas dan variabel tergantung dengan melakukan pengukuran pada saat
tertentu.
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian akan dilakukan di RW 01 sampai dengan RW 07 Kelurahan Cipete
Selatan mulai dari tanggal 10 April 2015 sampai dengan 16 Mei 2015.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1 Populasi
Populasi target adalah seluruh keluarga yang anggota keluarga yang tercatat
dengan diagnosis demam berdarah dengue pada tahun 2014 di Kecamatan Cilandak.

43

Populasi terjangkau adalah seluruh keluarga yang anggota keluarganya tercatat dengan
diagnosis demam berdarah dengue pada tahun 2014 di Kelurahan Cipete Selatan.
4.3.2 Kriteria Pemilihan
Kriteria Inklusi
1. Keluarga yang anggota keluarganya tercatat dengan diagnosis demam berdarah
dengue pada tahun 2014 di Kelurahan Cipete Selatan
2. Ada anggota Keluarga yang dapat membaca dan menulis
Kriteria Eksklusi
1. Keluarga yang sudah pindah dari alamat yang tercatat
2. Keluarga yang menolak untuk berpartisipasi
4.3.3 Sampel
Sampel penelitian adalah seluruh keluarga yang anggota keluarganya dirawat
karena doagnosis demam berdarah dengue di tahun 2014 yang memenuhi kriteria inklusi
dan eksklusi. Pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan berdasarkan simple
random sampling, yaitu pengambilan semua sampel yang didapat dari perhitungan besar
sampel.
Perhitungan Besar Sampel
Perkiraan besar sampel yang digunakan pada penelitian ini menggunakan rumus
populasi infinit:
Z 2 x P x Q
no =
d2
dengan:
no = Besar Populasi infinit
Z = Tingkat kemaknaan yang dikehendaki 95% besarnya 1,96
P
= Prevalensi kasus DBD di Kelurahan Cipete Selatan tahun 2014 berdasarkan
Q
d

Subdin Kesehatan Masyarakat yaitu 0.186(10)


= Prevalensi/proporsi yang tidak mengalami peristiwa yang diteliti
(1-P) = (1 0.00187) = 0.814
= Akurasi dari ketepatan pengukuran untuk p <10% adalah 0.05

Sehingga:
(1.96)2 x 0.186 x 0.814
no =
=
(0.05)2
Pembulatan 232 sampel
Besar populasi finit didapatkan dengan rumus:
no
n=
no
(1+ )
N
44

dengan:
n
= Besar sampel yang dibutuhkan untuk populasi yang finit
no = Besar sampel dari populasi infinit
N
= Besar sampel populasi finit = 37
Sehingga:
232
n=
=31,9
232
(1+
)
37
Pembulatan 32 sampel
antisipasi drop out = 10% x n
antisipasi drop out = 10% x 32 = 3.2
Total sampel = n + antisipasi drop out
Total sampel = 32 + 3.2
= 35.2 dibulatkan 35
Karena perbedaan besar sampel populasi finit dengan besar sampel yang dibutuhkan
dalam populasi finit tidak signifikan, maka diambil sampel sebesar populasi finit yaitu
37. Diambil pula sampel sebagai pembanding dengan jumlah yang sama.
4.4 Bahan dan Instrumen Penelitian
4.4.1 Pengumpulan Data
Data primer
Data yang diperoleh dengan cara langsung yaitu berupa wawancara dengan
menggunakan alat bantu berupa kuesioner dengan daftar pertanyaan yang
digunakan adalah pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan variabel yang
akan diteliti.
Data sekunder
Data yang diperoleh dari dokumen-dokumen, catatan-catatan, arsip resmi, serta
literatur lainnya yang relevan dalam melengkapi data primer penelitian.

4.4.2

Instrumen Penelitian
Instrumen untuk

mengumpulkan

data

responden

adalah

dengan

menggunakan data dari kuesioner.


4.5 Rencana Pengolahan dan Analisis Data
4.5.1 Pengolahan Data
45

Data yang telah terkumpul dari sejumlah kuesioner yang telah disebarkan
kepada responden, kemudian diolah secara manual yang akan disajikan dalam
bentuk tabel. Cara pengolahan data sebagai berikut:
4.5.2

Editing
Data yang telah dikumpulkan diperiksa kebenarannya dan dikoreksi

kesalahannya dalam pengisian data. Dalam tahap ini data yang dikumpulkan
dilakukan pengecekan atas isi kuesioner, sehingga menghasilkan data yang akurat
untuk pengolahan data selanjutnya.
4.5.3 Coding
Yaitu melakukan pengkodean terhadap beberapa variabel yang akan diteliti.
Coding mempermudah pada saat analisa data dan entry data.
4.5.3.1 Processing
Yaitu memproses data, agar data yang sudah di entry dapat dianalisis.
Processing dilakukan dengan cara mengentry data dari kuesioner ke paket
komputer menggunakan program Statistical Package For Social Science (SPSS)
versi 20.
4.5.3.2 Cleaning
Yaitu pembersihan data, yang merupakan kegiatan pengecekan kembali data
yang sudah dientry, apakah ada kesalahan atau tidak.
4.6 Analisis Data
1. Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan untuk menggambarkan frekuensi dan presentase dari tiap
variabel yang diteliti. Hasil analisis disajikan dalam bentuk tabel atau diagram.
2. Analisis Bivariat
Analisis bivariat digunakan untuk melakukan analisis terhadap dua variabel, yaitu
menilai apakah terdapat hubungan antara variabel bebas dan variabel tergantung. Uji
hipotesis menggunakan statistika non parametrik dengan Uji Chi Square (x2). Tingkat
kemaknaan yang digunakan adalah p <0,005. Analisis data dilakukan dengan
menggunakan program SPSS versi 22.
4.6.1

Penyajian Data

Data yang telah terkumpul dan diolah akan disajikan dalam bentuk, yaitu :
a. Tekstular
Penyajian data hasil penelitian dengan menggunakan kalimat
b. Tabular
Penyajian data hasil penelitian dengan menggunakan tabel
4.7 Etika Penelitian
46

Etika penelitian ini dimaksudkan untuk memberikan jaminan kerahasiaan data


subyek penelitian yang telah bersedia mengikuti penelitian ini. Data yang dimaksud
didapatkan dengan cara pengisian kuesioner oleh responden, yang sebelumnya telah
memberi persetujuan tertulis untuk diikutsertakan sebagai subyek penelitian melalui
informed consent. Pengisian informed consent dilakukan secara sukarela setelah
responden mendapatkan informasi serta penjelasan secara adekuat dari peneliti mengenai
penelitian yang sedang dilakukan.
4.8 Alur Penelitian

SUBYEK PENELITIAN

Keluarga yang anggota


keluarganya tidak pernah
didiagnosis DBD

Keluarga yang anggota


keluarganya tercatat dengan
diagnosis DBD pada tahun 2014

Wawancara dan kuesioner


dengan medatangi langsung ke
rumah keluarga tersebut

Wawancara dan kuesioner


pada pasien yang berkunjung
ke Puskesmas Kelurahan
Cipete Selatan

Pengumpulan
Data
Analisa
Data
4.9 Jadwal Kegiatan
TAHAP KEGIATAN
1

Waktu (dalam minggu)


3 4 5 6 7 8 9

10

Perencanaan
1
Pemilihan topik dan judul
2
Penulusuran kepustakaan
3
Pembuatan proposal
47

4
Konsultasi dengan pembimbing
5
Presentasi proposal
Pelaksanaan
1
2

Pemilihan pasien
Pengumpulan data dan survey

3
Pengolahan data
4
Konsultasi dengan pembimbing
Pelaporan Hasil
1
Penulisan laporan sementara
2
Revisi
3
Presentasi hasil penelitian

DAFTAR PUSTAKA
48

1. Centers for Disease Control and Prevention. Dengue. Atlanta: Centers for Disease Control
and Preventation. Available from: http://www.cdc.gov/dengue/ epidemiology/index.html.
Accessed by April 10th 2015.
2. World Health Organization. Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever. Fact Sheets WHO.
Available from: http:// www.who.int/mediacentre/factsheets/fs117/en/. Accessed by April
10th 2015.
3. Departemen Kesehatan RI. 2005. Pencegahan dan Pemberantasan DemamBerdarah
Dengue. Jakarta: Depkes RI.
4. Data DBD 5 Tahun Terakhir. Available from http://www.litbang.depkes.go.id/node/669.
Accessed by April 10th 2015.
5. Subdirektorat Pengendalian Arbovirosi. 2012. Informasi umum demam berdarah dengue.
Availablefrom
http://www.pppl.depkes.go.id/_asset/_download/INFORMASI_UMUM_DBD_2011.pdf.
Accessed by April 10th 2015.
6. Seksi Survailens Epidemiologi Subdin Kesehatan Masyarakat. 2014. Rekapitulasi Data PE
DBD . Available at http://surveilans-dinkesdki.net/ . Accessed by April 10th 2015.
7. Laporan Tahunan DBD Puskesmas Kelurahan Cipete Selatan. 2014.
8. Pusat Data Surveilans Epidemiologi. 2010. Buletin Jendela Epidemiologi. Demam
Berdarah Dengue. Jakarta: Depkes RI.
9. Departemen Kesehatan RI. Perkembangan Kasus Demam Berdarah di Indonesia. Available
from http://www.depkes.go.id. Accessed by April 10th 2015.
10. Notoatmodjo S. 1997.Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
11. Halstead SB. Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever. Dalam : Behrman RE,
Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Textbook of Pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia :
WB Saunders.2004.h.1092-4
12. Soegijanto S. Demam Berdarah Dengue : Tinjauan dan Temuan Baru di Era 2003. Surabaya
: Airlangga University Press 2004.h.1-9
13. Soedarmo SSP.Infeksi Virus Dengue. Dalam : Soedarmo SSP, Garna H, Hadinegoro SRS,
penyunting. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit Tropis. Edisi pertama.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.2002.h.176-208
14. Sutaryo. Perkembangan Patogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Hadinegoro SRS,
Satari HI, penyunting. Demam Berdarah Dengue: Naskah Lengkap Pelatihan bagi Dokter
Spesialis Anak & Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana Kasus DBD. Jakarta :
Balai Penerbit FKUI.2004.h.32-43
15. Hadinegoro SRS. Imunopatogenesis Demam Berdarah Dengue. Dalam : Akib Aap,
Tumbelaka AR, Matondang CS, penyunting. Naskah Lengkap Pendidikan Kedokteran

49

Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Pendekatan Imunologis Berbagai Penyakit


Alergi dan Infeksi. Jakarta 30-31 Juli 2001. h. 41-55
16. Halstead CB. Dengue hemorrhagic fever: two infections and antibody dependent
enhancement, a brief history and personal memoir . Rev Cubana Med Trop 2002;
54(3):h.171-79
17. Hadinegoro SRS. Pitfalls & Pearls dalam Diagnosis dan Tata Laksana Demam Berdarah
Dengue. Dalam : Trihono PP, Syarif DR, Amir I, Kurniati N, penyunting. Current
Management of Pediatrics Problems. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan
Anak XLVI. Jakarta 5-6 September 2004.h. 63-65
18. World Health Organization Regional Office for South East Asia. Prevention and Control of
Dengue and Dengue Haemorrhagic Fever : Comprehensive Guidelines. New Delhi :
WHO.1999
19. Hadinegoro SRS,Soegijanto S, Wuryadi S, Suroso T. Tatalaksana Demam Dengue/Demam
Berdarah Dengue pada Anak. Naskah Lengkap Pelatihan bagi Dokter Spesialis Anak &
Dokter Spesialis Penyakit Dalam dalam tatalaksana Kasus DBD. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.2004.h. 80-135
20. Samsi TK. Penatalaksanaan Demam Berdarah Dengue di RS Sumber Waras. Cermin Dunia
Kedokteran 2000; 126 : 5-13
21. Dinas Kesehatan Propinsi DKI Jakarta. Standar Penanggulan Penyakit DBD. Edisi 1
Volume 2. Jakarta :Dinas Kesehatan 2002.
22. Soewondo ES. Demam Dengue/Demam Berdarah Dengue Pengelolaan pada Penderita
Dewasa. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan XIII. Surabaya 12-13 September 1998.
23. Sukowati, S. Resistensi Vektor Penyakit Terhadap Insektisida. Majalah Kedokteran FK
UKI. 1996.Th XIV No 26
24. Sukowati, S.. The impact of Climate Change to Vector- Borne Diseases in Indonesia. 2009.
Seminar Nasional Litbang Kesehatan.
25. Parks, WJ, Lloyd, LS, Nathan, M.B, Hosein, E, Odugleh, A, Clark,G.G, Gubler,D.J,
Prasittisuk, Palmer, K, San Martin, J.L, Siverse.S.R, Dawkins, Z, and Renganathan, E.
International experiences in Social Mobilization and Communication for Dengue
Preventionand Control. Dengue Bulletin, 2004, 28: 1-7
26. Notoatmodjo, S. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Rineka Cipta. Jakarta, 1997.
27. Suroso T. Dkk. Penyakit Demam Dengue dan Demam Berdarah Dengue. Terjemahan
dariWHO Regional SEARO No. 29 Prevention Control of Dengue and Dengue
Haemoragic Fever. WHO dan Depkes. RI. Jakarta, 2000.
50

28. Notoatmodjo S. 2010 Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta
29. Ali Z. 2006. Pengantar Keperawatan Keluarga. Jakarta: EGC

51

Anda mungkin juga menyukai