Penanganan Nyeri
Penanganan Nyeri
Penanganan Nyeri
PENDAHULUAN
Pasien yang baru saja menjalani tindakan operasi harus dirawat sementara di
PACU (PostAnesthesia Care Unit) atau ruang pemulihan (recovery room) untuk
perawatan post anestesi sampai kondisi pasien stabil. Hal ini dimaksudkan agar pasien
terhindar dari hal-hal yang tidak diharapkan seperti gangguan napas, gangguan
kardiovaskular, gelisah, kesakitan, mual dan muntah, menggigil dan muntah-muntah.1
Manajemen nyeri pasca operasi yang efektif merupakan memiliki nilai
kemanusiaan yang tinggi , tetapi ada manfaat medis dan biaya tambahan untuk
pemulihan yang dari rumah sakit. Banyak faktor memiliki peran untuk mencapai
pengelolaan nyeri yang efektif termasuk team management nyeri akut, pendidikan
pasien, pelatihan perawatan, penggunaan analgesic yang seimbang, penilaian nyeri
menggunakan dengan skala penilaian dan strategi untuk mengetahui keperluan pasien
dalam berbagai kelompok umur, baik anak anak maupun orang dewasa. 1
Faktor penyebab nyeri biasanya muncul karena luka post operasi yang masih
basah atau matur dan belum lepas dari 2 x 24 jam sebagai ukuran pantauan untuk
mengkaji status nyeri. Nyeri juga ditimbulkan karena gerak atau mobilisasi dini pada
pasien post operasi. Manajemen nyeri bertujuan untuk membantu pasien dalam
mengontrol nyeri ataupun memanajemen nyeri secara optimal, mengurangi resiko
lanjut dari efek samping nyeri tersebut, yang pada akhirnya pasien mampu
mengontrol ataupun nyeri yang dirasa tersebut hilang.2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Nyeri
Definisi nyeri berdasarkan International Association for the Study of Pain
(IASP, 1979) adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan
dimana berhubungan dengan kerusakan jaringan atau potensial terjadi kerusakan
jaringan. Nyeri merupakan suatu mekanisme produksi bagi tubuh, timbul ketika
jaringan sedang dirusak, dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk
menghilangkan rangsangan nyeri.2
nyeri ini umumnya terjadi kurang dari enam bulan dan biasanya kurang dari
satu bulan.
b. Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang
suatu periode waktu. Nyeri ini berlangsung di luar waktu penyembuhan yang
diperkirakan dan sering tidak dapat dikaitkan dengan penyebab atau cedera
spesifik. Nyeri kronis sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak
memberikan respons terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya..
2.4 Penilaian Intensitas Nyeri
Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan
oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual dan
kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama dirasakan sangat berbeda oleh
dua orang yang berbeda oleh dua orang yang berbeda..4
Menurut Smeltzer, S.C bare B.G (2002) adalah sebagai berikut :3
1. Skala intensitas nyeri deskritif
3.
3.
Skala
analog visual
4.
S
k
a
l
a nyeri menurut Bourbanis
KeKeterangan :
0 :Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan : secara obyektif pasien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 : Nyeri sedang : Secara obyektif pasien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik.
7-9 : Nyeri berat : secara obyektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti
perintah tapi masih respon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi
nyeri, tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih
posisi nafas panjang dan distraksi
10 : Nyeri sangat berat : Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi,
memukul.
Karakteristik paling subyektif pada nyeri adalah tingkat keparahan atau
intensitas
nyeri
tersebut.
Pasien
seringkali
diminta
untuk
Perawat juga menanyakan seberapa jauh nyeri terasa paling menyakitkan dan
seberapa jauh nyeri terasa paling tidak menyakitkan. Alat VDS ini
memungkinkan pasien memilih sebuah kategori untuk mendeskripsikan nyeri.
Skala penilaian numerik (Numerical rating scales, NRS) lebih digunakan sebagai
pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, pasien menilai nyeri dengan
menggunakan skala 0-10. Skala paling efektif digunakan saat mengkaji intensitas
nyeri sebelum dan setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk
menilai nyeri, maka direkomendasikan patokan 10 cm (AHCPR, 1992).5
Skala analog visual (Visual analog scale, VAS) tidak melebel subdivisi. VAS
adalah suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan
pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi pasien kebebasan
penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan
pengukuran keparahan nyeri yang lebih sensitif karena pasien dapat
mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata
atau satu angka.5
2.5
Distraksi
Metode untuk menghilangkan nyeri dengan cara mengalihkan perhatian
pasien pada hal-hal lain sehingga pasien lupa terhadap nyeri yang dialami pasien,
misalnya pada pasien postappendiktomi mungkin tidak merasakan nyeri saat
perawat mengajaknya bercerita tentang hobbinya (Priharjo,1996). Beberapa teknik
distraksi, antara lain :
1. Nafas lambat, berirama
2. Massage and Slow, Rhythmic Breathing
3. Rhytmic Singing and Tapping
4. Active Listenin
5. Guide Imagery
Relaksasi
Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan
cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positf tertentu. Sebagai
contoh, imajinasi terbimbing untuk relaksasi dan meredakan nyeri dapat terdiri
atas menggabungkan suatu napas berirama lambat denfgan suatu bayangan
mental
relaksiasi
dan
kenyamanan.
Dengan
mata
terpejam,
individu
Kompres dingin
b.
Analgesics ointments
c.
d.
Hipnotis.
Membantu mengubah persepsi nyeri melalui pengaruh sugesti positif.
Biofeedback
Terapi perilaku yang dilakukan dengan memberikan individu informasi tentang
respon nyeri fisiologis dan cara untuk melatih kontrol volunter terhadap respon
tersebut. Terapi ini efektif untuk mengatasi ketegangan otot dan migren, dengan
cara memasang elektroda pada pelipis.
2.5.2
Analgetik (Farmakologis)
Beberapa jenis analgetik (obat pereda nyeri) bisa membantu mengurangi
nyeri. Obat ini digolongkan ke dalam 3 kelompok:
1.
2.
Analgetik non-opioid
3.
Analgetik ajuvan
Analgetik opioid merupakan pereda nyeri yang paling kuat dan sangat
efektif untuk mengatasi nyeri yang hebat.
4.
beberapa efek samping. Semakin lama pemakai obat ini akan membutuhkan
dosis yang lebih tinggi. Selain itu sebelum pemakaian jangka panjang
dihentikan, dosisnya harus dikurangi secara bertahap, untuk mengurangi
gejala-gejala putus obat.7
Analgetik opioid seringkali menyebabkan sembelit, terutama pada usia
lanjut.
Morfin, merupakan prototipe dari obat ini, yang tersedia dalam bentuk
suntikan, per-oral (ditelan) dan per-oral lepas lambat. Sediaan lepas
lambat memungkinkan penderita terbebas dari rasa nyeri selama 8-12
jam dan banyak digunakan untuk mengobati nyeri menahun.
Ia
juga
menghasilkan
analgesia
dengan
menghambat
Masa efektif
Keterangan
Morfin
Suntikan
intravena/intramuskuler:2-3
jam
per-oral:3-4 jam
kanker
Per-oral:3-4 jam
Meperidin
Suntikan
intravena/intramuskuler:sekit
ar 3 jam
per-oral:tidak terlalu efektif
Metadon
lebih lama
karena heroin
Proksifen
Per-oral:3-4 jam
Levorfanol
intramuskuler:4 jam
per-oral:sekitar 4 jam
Hidromorfo
Suntikan
intravena/intramuskuler:2-4
jam
pengganti morfin
per-oral:2-4 jam
Suntikan
intravena/intramuskuler:3-4
jam
suppositoria per-rektum:4 jam
Oksikodon
Per-oral:3-4 jam
Pentazosin
Per-oral:sampai 4 jam
11
2.
12
Kerja
Analgetik
non
opioid
Mula kerja dan masa efektif dari berbagai NSAID berbeda-beda,
dan respon setiap orang terhadap NSAID juga berbeda-beda. Semua NSAID
bisa mengiritasi lambung dan menyebabkan ulkus peptikum, tetapi tidak
seberat aspirin. Mengkonsumsi NSAID bersamaan dengan makanan dan
antasid bisa membantu mencegah iritasi lambung. Obat misoprostol bisa
membantu mencegah iritasi lambung dan ulkus peptikum; tetapi obat ini bisa
menyebabkan diare.7
Asetaminofen berbeda dari aspirin dan NSAID. Obat ini bekerja pada
sistem prostaglandin tetapi dengan mekanisme yang berbeda. Asetaminofen
tidak mempengaruhi kemampuan pembekuan darah dan tidak menyebabkan
ulkus peptikum maupun perdarahan. Tersedia dalam bentuk per-oral atau
supositoria, dengan masa efektif selama 4-6 jam. Dosis yang sangat tinggi bisa
menyebabkan efek samping yang sangat serius, seperti kerusakan hati.7
Terapi pada nyeri pasca operasi ringan sampai sedang harus dimulai
dengan menggunakan NSAIDs, kecuali kontraindikasi (AHCPR, 1992 dikutip
dar Potter & Perry 2005). Walaupun mekanisme kerja pasti NSAIDs tidak
diketahui, NSAIDs diyakini bekerja menghambat sintesis prostaglandin
(McKenry dan Salerno, 1995) dan menghambat respon selular selama
inflamasi. Kebanyakan NSAIDs bekerja pada reseptor saraf perifer untuk
13
mengurangi transmisi dan resepsi stimulasi nyeri. Tidak seperti opiat, NSAIDs
tidak menyebabkan sedasi atau depresi pernapasan juga tidak mengganggu
fungsi berkemih atau defekasi (AHCPR, 1992 dikutip dari Potter & Perry
2005).6
2.5.2.3
Analgetik
Adjuvan
Analgetik ajuvan adalah obat-obatan yang biasanya diberikan bukan karena
nyeri, tetapi pada keadaan tertentu bisa meredakan nyeri. Contohnya, beberapa antidepresi juga merupakan analgetik non-spesifik dan digunakan untuk mengobati
berbagai jenis nyeri menahun, termasuk nyeri punggung bagian bawah, sakit kepala
dan nyeri neuropatik. Obat-obat anti kejang (misalnya karbamazepin) dan obat bius
lokal per-oral (misalnya meksiletin) digunakan untuk mengobai nyeri neuropatik.10
Golongan Obat Adjuvan
Obat golongan ini digunakan dalam penanggulangan nyeri walaupun tidak
mempunyai efek analgetik. Obat ini menghilangkan nyeri sebagai suatu sindrom atau
potensiasi dengan obat analgetik seperti halnya kerja opioid. Obat adjuvan
sebelumnya digunakan untuk tujuan lain dari penanggulangan nyeri, tetapi seiring
perkembangan pengetahuan fisiologi yang mendasari sindrom nyeri, obat adjuvan
semakin banyak digunakan dalam penanggulangan nyeri.10
1. Obat anti depresan.
Obat anti depresan sering digunakan pada penanggulangan sindroma
nyeri kronis. Obat anti depresan menginhibisi re-uptake amin biogenik
(norepinephrin dan serotonin) kembali ke dalam terminal saraf, sehingga
meningkatkan konsentrasi dan durasi dari kerja neurotransmiter pada
sinaps. Neuron serotonergik dan noradrenergik dalam batang otak akan
14
efektif. Sebagian besar dapat dilakukan dengan risiko minimal termasuk infiltrasi
anestesi lokal, blokade saraf perifer atau pleksus dan teknik blok perifer atau
sentral.5
Meskipun begitu, kita tidak boleh mengharapkan anelgesi lokal saja dapat
mengatasi nyeri pasca operasi, karena nyeri pascaoperasi memiliki banyak faktor
penyebab. Karena nyeri timbul dari multifaktor, maka manajemen nyeri
pascaoperasi haruslah terdiri dari kombinasi pendekatan untuk mencapai hasil
terbaik.3
Infiltrasi luka dengan obat anestesi lokal berdurasi panjang seperti
Bupivacaine dapat memberikan analgesia yang efektif selama beberapa jam.
Apabila nyeri berlanjut, dapat diberikan suntikan ulang atau dengan
menggunakan infus. Blokade pleksus atau saraf perifer akan memberikan
analgesia selektif di bagian-bagian tubuh yang terkait oleh pleksus atau saraf
tersebut. Teknik-teknik ini dapat digunakan untuk memberikan anestesi untuk
pembedahan atau khusus untuk nyeri pasca-operasi.Teknik-teknik ini dapat
sangat berguna jika suatu blok simpatik diperlukan untuk meningkatkan suplai
darah pascaoperasi atau apabila blokade pusat seperti blokade spinal atau
epidural merupakan kontraindikasi.5,8
Spinal anestesi memberikan analgesia yang sangat baik untuk operasi di
tubuh bagian bawah dan pain relief bisa berlangsung berjam-jam setelah selesai
operasi
jika
dikombinasikan
dengan
obat-obatan
yang
mengandung
praktisi yang
berpengalaman dan pelatihan khusus bagi staf perawat dalam pengelolaan pascaoperasi pasien.7
16
BAB III
KESIMPULAN
Nyeri merupakan suatu respon biologis yang menggambarkan suatu kerusakan
atau gangguan organ tubuh. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang
mempengaruhi seseorang dan ekstensinya diketahui bila seseorang pernah
mengalaminya.
Manajemen nyeri pasca operasi haruslah dapat dicapai dengan baik demi
alasan kemanusiaan. Manajemen nyeri yang baik tidak hanya berpengaruh terhadap
penyembuhan yang lebih baik tetapi juga pemulangan pasien dari perawatan yang
lebih cepat. Dalam menangani nyeri, dapat digunakan terapi farmakologis dan nonfarmakologis. Karena kebutuhan masing-masing individu adalah berbeda-beda, maka
penggunaan Patient Controlled Analgesia dirasakan sebagai metode yang paling
efektif dan menguntungkan dalam menangani nyeri pascaoperasi meskipun dengan
tidak lupa mempertimbangkan faktor ketersediaan dan keadaan ekonomi pasien.
17
DAFTAR PUSTAKA
Anaesthesiologists.23/12/2014
http://www.nda.ox.ac.uk/wfsa/html/u07/u07_009.htm 2012:23-25
2. Gwirtz K. Single-dose intrathecal opioids in the management of acute
postoperative pain. In: Sinatra RS, Hord AH, Ginsberg B, Preble LM, eds.
Acute Pain: Mechanisms & Management. St Louis, Mo: Mosby-Year Book;
1992:253-68
3. Smeltzer, Suzanne C . 2001. Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan
Suddart. Edisi 8, Vol 2. Jakarta : Buku kedokteran
4. Chelly JE, Gebhard R, Coupe K, et al. Local anesthetic delivered via a femoral
catheter by patient-controlled analgesia pump for pain relief after an anterior
cruciate ligament outpatient procedure. Am J Anesthesiol. 2001;28:192-4.
5. Mahajan R, Nathanson M. Anaesthesia. London ; Elsevier Churchill
Livingstone. 2006
6. Wardani, D.S. Perilaku Nyeri Pasien Post Operasi. Medan; Universitas
Sumatera Utara, 2011: 21-24.
7. Cousin, MJ. Prevention of Postoperative Pain. Proceeding of the VI World
Congress on Pain. Elsevier, Amsterdam 2001; 41-53.
8. Fillingim RB, Edwards RR, Powell T. The relationship of sex and clinical pain
to experimental pain responses. Pain 1999; 83:419425.
9. WHO
Analgesic
Ladder.
http://www.medscape.com/viewarticle/4525332.
Available
Diunduh
from:
tanggal
23
Desember 2014
10. Muhiman M, Thaib R, Sunatrio S, Dahlan R. Anestesiologi. Jakarta: Bagian
Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2004: 27-33.
11. Loeser, JD et al. Desirable characteristics for pain treatment facilities.
International Association for the Study of Pain 2000, 1-4.
18