Raden Ajeng Kartini
Raden Ajeng Kartini
Raden Ajeng Kartini
Raden Adjeng Kartini berasal dari kalangan priyayi atau kelas bangsawan Jawa.[2] Ia merupakan putri
dari Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, seorang patih yang diangkat menjadi bupati Jepara
segera setelah Kartini lahir.[2] Kartini adalah putri dari istri pertama, tetapi bukan istri utama. [2]
Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah dan Kyai Haji Madirono, seorang
guru agama di Telukawur, Jepara.[2] Dari sisi ayahnya, silsilah Kartini dapat dilacak hingga
Hamengkubuwana VI. Garis keturunan Bupati Sosroningrat bahkan dapat ditilik kembali ke istana
Kerajaan Majapahit.[2] Semenjak Pangeran Dangirin menjadi bupati Surabaya pada abad ke-18, nenek
moyang Sosroningrat mengisi banyak posisi penting di Pangreh Praja.[2]
Ayah Kartini pada mulanya adalah seorang wedana di Mayong. Peraturan kolonial waktu itu
mengharuskan seorang bupati beristerikan seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah
bangsawan tinggi[3], maka ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan
langsung Raja Madura.[2] Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat menjadi bupati di
Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A. Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung,
Kartini adalah anak perempuan tertua. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati
dalam usia 25 tahun dan dikenal pada pertengahan abad ke-19 sebagai salah satu bupati pertama
yang memberi pendidikan Barat kepada anak-anaknya.[2] Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang
yang pintar dalam bidang bahasa. Sampai usia 12 tahun, Kartini diperbolehkan bersekolah di ELS
(Europese Lagere School). Di sini antara lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12
tahun, ia harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda, maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat
kepada teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon
yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada
kemajuan berpikir perempuan Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi,
karena ia melihat bahwa perempuan pribumi berada pada status sosial yang rendah.
Kartini bersama suaminya, R.M.A.A. Singgih Djojo Adhiningrat (1903).
Kartini banyak membaca surat kabar Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia
juga menerima leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan). Di
antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat, juga ada majalah
wanita Belanda De Hollandsche Lelie . Kartini pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan
dimuat di De Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja dengan penuh
perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang Kartini menyebut salah satu karangan
atau mengutip beberapa kalimat. Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi
juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh kebebasan, otonomi
dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini
sebelum berumur 20, terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang pada
November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht (Kekuatan Gaib) karya Louis
Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang
saja, roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman anti-perang
karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih
Djojo Adhiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12 November
1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi kebebasan dan didukung mendirikan
sekolah wanita di sebelah timur pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah
bangunan yang kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Sekolah Kartini (Kartinischool), 1918.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya, Soesalit Djojoadhiningrat, lahir pada tanggal 13 September
1904. Beberapa hari kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun. Kartini
dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihannya Kartini, kemudian didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang
pada 1912, dan kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah lainnya.
Nama sekolah tersebut adalah "Sekolah Kartini". Yayasan Kartini ini didirikan oleh keluarga Van
Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
Surat-surat
Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah
dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri
Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda. Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht
yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan
pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat
Kartini.
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang
diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan terjemahan
oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn
Pane seorang sastrawan Pujangga Baru. Armijn membagi buku menjadi lima bab pembahasan untuk
menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat
dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan
oleh Agnes L. Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasabahasa Jawa dan Sunda.
Terbitnya surat-surat Kartini, seorang perempuan pribumi, sangat menarik perhatian masyarakat
Belanda, dan pemikiran-pemikiran Kartini mulai mengubah pandangan masyarakat Belanda terhadap
perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang dalam surat-suratnya juga
menjadi inspirasi bagi tokoh-tokoh kebangkitan nasional Indonesia, antara lain W.R. Soepratman
yang menciptakan lagu berjudul Ibu Kita Kartini.
Pemikiran
Uang kertas pecahan IDR 5 cetakan tahun 1952 dengan gambar Kartini.
Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang kondisi sosial saat itu,
terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan
dan gugatan khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat
kemajuan perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan menuntut ilmu dan belajar.
Kartini menulis ide dan cita-citanya, seperti tertulis: Zelf-ontwikkeling dan Zelf-onderricht,
Zelf- vertrouwen dan Zelf-werkzaamheid dan juga Solidariteit. Semua itu atas dasar
Religieusiteit, Wijsheid en Schoonheid (yaitu Ketuhanan, Kebijaksanaan dan Keindahan),
ditambah dengan Humanitarianisme (peri kemanusiaan) dan Nasionalisme (cinta tanah air).
Surat-surat Kartini juga berisi harapannya untuk memperoleh pertolongan dari luar. Pada
perkenalan dengan Estelle "Stella" Zeehandelaar, Kartini mengungkap keinginan untuk
menjadi seperti kaum muda Eropa. Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat
kungkungan adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit, dinikahkan
dengan laki-laki yang tak dikenal, dan harus bersedia dimadu.
Pandangan-pandangan kritis lain yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah
kritik terhadap agamanya. Ia mempertanyakan mengapa kitab suci harus dilafalkan dan
dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami. Ia mengungkapkan tentang pandangan bahwa
dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk
berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. "...Agama harus menjaga kita daripada berbuat
dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu..." Kartini
mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi kaum laki-laki untuk
berpoligami. Bagi Kartini, lengkap sudah penderitaan perempuan Jawa yang dunianya hanya
sebatas tembok rumah.
Surat-surat Kartini banyak mengungkap tentang kendala-kendala yang harus dihadapi
ketika bercita-cita menjadi perempuan Jawa yang lebih maju. Meski memiliki seorang ayah
yang tergolong maju karena telah menyekolahkan anak-anak perempuannya meski hanya
sampai umur 12 tahun, tetap saja pintu untuk ke sana tertutup. Kartini sangat mencintai
sang ayah, namun ternyata cinta kasih terhadap sang ayah tersebut juga pada akhirnya
menjadi kendala besar dalam mewujudkan cita-cita. Sang ayah dalam surat juga
diungkapkan begitu mengasihi Kartini. Ia disebutkan akhirnya mengizinkan Kartini untuk
belajar menjadi guru di Betawi, meski sebelumnya tak mengizinkan Kartini untuk
melanjutkan studi ke Belanda ataupun untuk masuk sekolah kedokteran di Betawi.
Keinginan Kartini untuk melanjutkan studi, terutama ke Eropa, memang terungkap dalam
surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan
Kartini tersebut. Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud
tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana
untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh
Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Pada pertengahan tahun 1903 saat berusia sekitar 24 tahun, niat untuk melanjutkan studi
menjadi guru di Betawi pun pupus. Dalam sebuah surat kepada Nyonya Abendanon, Kartini
mengungkap tidak berniat lagi karena ia sudah akan menikah. "...Singkat dan pendek saja,
bahwa saya tiada hendak mempergunakan kesempatan itu lagi, karena saya sudah akan
kawin..." Padahal saat itu pihak departemen pengajaran Belanda sudah membuka pintu
kesempatan bagi Kartini dan Rukmini untuk belajar di Betawi.
Saat menjelang pernikahannya, terdapat perubahan penilaian Kartini soal adat Jawa. Ia
menjadi lebih toleran. Ia menganggap pernikahan akan membawa keuntungan tersendiri
dalam mewujudkan keinginan mendirikan sekolah bagi para perempuan bumiputra kala itu.
Dalam surat-suratnya, Kartini menyebutkan bahwa sang suami tidak hanya mendukung
keinginannya untuk mengembangkan ukiran Jepara dan sekolah bagi perempuan bumiputra
saja, tetapi juga disebutkan agar Kartini dapat menulis sebuah buku.
Perubahan pemikiran Kartini ini menyiratkan bahwa dia sudah lebih menanggalkan egonya
dan menjadi manusia yang mengutamakan transendensi, bahwa ketika Kartini hampir
mendapatkan impiannya untuk bersekolah di Betawi, dia lebih memilih berkorban untuk
mengikuti prinsip patriarki yang selama ini ditentangnya, yakni menikah dengan Adipati
Rembang.
Buku
sempurna. Kemudian, pada 1979, sebuah buku berisi terjemahan Sulastin Sutrisno versi lengkap Door
Duisternis Tot Licht pun terbit.
Buku kumpulan surat versi Sulastin Sutrisno terbit dengan judul Surat-surat Kartini, Renungan Tentang
dan Untuk Bangsanya. Menurut Sulastin, judul terjemahan seharusnya menurut bahasa Belanda adalah:
"Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk Bangsa Jawa". Sulastin menilai, meski tertulis Jawa,
yang didamba sesungguhnya oleh Kartini adalah kemajuan seluruh bangsa Indonesia.
Buku terjemahan Sulastin malah ingin menyajikan lengkap surat-surat Kartini yang ada pada Door
Duisternis Tot Licht. Selain diterbitkan dalam Surat-surat Kartini, Renungan Tentang dan Untuk
Bangsanya, terjemahan Sulastin Sutrisno juga dipakai dalam buku Kartini, Surat-surat kepada Ny RM
Abendanon-Mandri dan Suaminya.
Sampul Panggil Aku Kartini Saja, dikompilasi oleh Pramoedya Ananta Toer.
Selain berupa kumpulan surat, bacaan yang lebih memusatkan pada pemikiran Kartini juga diterbitkan.
Salah satunya adalah Panggil Aku Kartini Saja karya Pramoedya Ananta Toer. Buku Panggil Aku Kartini
Saja terlihat merupakan hasil dari pengumpulan data dari berbagai sumber oleh Pramoedya.
Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 18991903
Sebuah buku kumpulan surat kepada Stella Zeehandelaar periode 1899-1903 diterbitkan untuk
memperingati 100 tahun wafatnya. Isinya memperlihatkan wajah lain Kartini. Koleksi surat Kartini itu
dikumpulkan Dr Joost Cot, diterjemahkan dengan judul Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Suratsurat Kartini kepada Stella Zeehandelaar 1899-1903.
"Aku Mau ..." adalah moto Kartini. Sepenggal ungkapan itu mewakili sosok yang selama ini tak pernah
dilihat dan dijadikan bahan perbincangan. Kartini berbicara tentang banyak hal: sosial, budaya, agama,
bahkan korupsi.
Serat-serat
Sanggeus Kartini wafat,Mr. J.H. Abendanon ngumpulkeun sarta nyatet serat-serat anu
kantos dikirimkeun R.A Kartini dina rerencangan-baturna di Eropa. Abendanon wanci eta
nyekel kalungguhan minangka Menteri Kabudayaan,Ageman,sarta Kerajinan Hindia Belanda.
Buku eta dibere judul Door Duisternis tot Licht anu hartos harfiahnya " Ti Kapeutingan
Nuju Cahya " . Buku kumpulan serat Kartini ieu dipedar dina 1911. Buku ieu dicetak saloba
lima kali,sarta dina citakan pamungkas aya tambahan serat Kartini.
Dina warsih 1922,Bale Pustaka medar na dina nalika Melayu kalawan judul anu
ditarjamahkeun barobah kaayaan Seep Poek Terbitlah Terang: Boeah Pikiran,anu mangrupa
tarjamahan ku Opat Wargi. Saterusna warsih 1938,keluarlah Seep Poek Terbitlah Caang
versi Armijn Pane saurang sastrawan Pujangga Anyar. Armijn ngabagi buku barobah kaayaan
lima bab pembahasan kanggo nembongkeun parobahan cara mikir Kartini sapanjang wanci
korespondensinya . Versi ieu sempet dicetak saloba sabelas kali. Serat-serat Kartini dina
nalika Inggris oge kantos ditarjamahkeun ku Agnes L. Symmers. sajaba ti eta,serat-serat
Kartini oge kantos ditarjamahkeun ka jero nalika-nalika Jawa sarta Sunda.
Medal na serat-serat Kartini,saurang awewe pribumi,metot pisan perhatian balarea
Belanda,sarta pamikiran-pamikiran Kartini mimiti ngarobah tetempoan balarea Belanda ka
awewe pribumi di Jawa. Pamikiran-pamikiran Kartini anu kacicikeun dina serat-suratna oge
barobah kaayaan inspirasi kanggo inohong-inohong kebangkitan nasional Indonesia,antawis
sanes W.R. Soepratman anu nyiptakeun tembang dijudulan Indung Urang Kartini.
PEMIKIRAN
Artos kertas beubeulahan IDR 5 citakan warsih 1952 kalawan gambar Kartini.
Dina serat-serat Kartini ditulis pamikiran-pamikiran na ngeunaan kaayaan sosial wanci
eta,utamana ngeunaan kaayaan awewe pribumi. kalolobaan serat-suratna eusina
kahumandeuar sarta gugatan hususna ngait budaya di Jawa anu ditingali minangka
penghambat kamajuan awewe. Anjeunna hoyong wanoja ngabogaan kabebasan nungtut elmu
sarta diajar. Kartini nyerat ideu sarta cipta-cipta na,sepertos tertulis: Zelf-ontwikkeling
sarta Zelf-onderricht,Zelf- vertrouwen sarta Zelf-werkzaamheid sarta oge Solidariteit.
Sadaya eta luhur dasar Religieusiteit,Wijsheid en Schoonheid (yaktos
Kapangeranan,Kebijaksanaan sarta Kaendahan),ditambih kalawan Humanitarianisme (puteri
kamanusaan) sarta Nasionalisme (tresna lemah cai).
Serat-serat Kartini oge eusina harepan na kanggo meunang pitulung ti jabi. Dina perkenalan
kalawan Estelle " Stella " Zeehandelaar,Kartini ngungkab kahayang kanggo barobah kaayaan
sepertos kaum anom Eropa. Manehna ngagambarkeun kasangsaraan awewe Jawa alatan
kungkungan adat,yaktos henteu tiasa bebas diuk di bangku sakola,kedah
dipingit,dinikahkeun kalawan salaki-salaki anu tak dipikawanoh,sarta kedah purun wayuh.
Wanci nyanghareupan pernikahannya ,aya parobahan pameunteunan Kartini soal adat Jawa.
Manehna barobah kaayaan langkung toleran. Manehna nganggap pernikahan bade ngabantun
kauntungan tersendiri dina ngawujudkeun kahayang ngadegkeun sakola kanggo para awewe
bumiputra basa eta. Dina serat-suratna,Kartini nyebutkeun yen sang salaki henteu ngan
ngarojong kahayangna kanggo ngembangkeun ukiran Jepara sarta sakola kanggo awewe
bumiputra wae,nanging oge disebatkeun supados Kartini tiasa nyerat hiji buku.
Parobahan pamikiran Kartini ieu menyiratkeun yen anjeunna atos langkung menanggalkeun
egonya sarta barobah kaayaan jalmi anu ngutamakeun transendensi,yen sabot Kartini ampir
meunangkeun impian na kanggo sakola di Betawi,anjeunna langkung milih ngorbankeun kanggo
ngiring prinsip patriarki anu salila ieu ditentangnya ,nyaeta nikah kalawan Adipati Rembang.
BUKU
Ahir warsih 1987,Sulastin Sutrisno masihan gambaran anyar ngeunaan Kartini liwat buku
Kartini Serat-serat ka Ny RM Abendanon-Mandri sarta salakina. Gambaran kawitna
langkung seueur dijieun ti kumpulan serat anu ditulis kanggo Abendanon,dipedar dina Door
Duisternis Tot Licht.
Kartini dinyondongkeun minangka pajoang emansipasi anu maju pisan dina cara mikir
dibandingkeun awewe-awewe Jawa dina mangsa na. Dina serat ping 27 Oktober 1902,dikutip
yen Kartini nyerat dina Istri Abendanon yen anjeunna atos mitembeyan pantangan neda
daging,sumawonten saprak sababaraha warsih sateuacan serat kasebat,anu nembongkeun
yen Kartini nyaeta saurang vegetarian.[4] Dina kumpulan eta,serat-serat Kartini sok
dipotong haturan mimiti sarta ahir. Padahal,haturan eta nembongkeun kemesraan Kartini ka
Abendanon. Seueur perkawis sanes anu diwedalkeun balik ku Sulastin Sutrisno.
Aku Mau ... Feminisme dan Nasionalisme. Surat-surat Kartini kepada Stella
Zeehandelaar 1899-1903
Hiji buku kumpulan serat ka Stella Zeehandelaar periode 1899-1903 dipedar kanggo
pangemut 100 warsih maotna. Eusina nempokeun beungeut sanes Kartini. Koleksi serat
Kartini eta dikumpulkeun Dr Joost Cot,ditarjamahkeun kalawan judul Abdi Hoyong ...
Feminisme sarta Nasionalisme. Serat-serat Kartini ka Stella Zeehandelaar 1899-1903.
" Abdi Hoyong ... " nyaeta moto Kartini. Sepenggal babasan eta ngawakilan sosok anu salila
ieu tak kantos ditingali sarta dijadikeun bahan perbincangan. Kartini wagel ngeunaan seueur
hal: sosial,budaya,ageman,sumawonten calikong.