Perkembangan Kurikulum Dalam Pengajaran Bahasa
Perkembangan Kurikulum Dalam Pengajaran Bahasa
Perkembangan Kurikulum Dalam Pengajaran Bahasa
potensi
peserta
didik.
Lalu
apakah
yang
dimaksud
kurikulum
itu?
Ada banyak definisi kurikulum hingga saat ini. Dalam kurikulum termuat komponen pemerintah,
lembaga pendidikan, guru, dan orang tua. Tiap komponen memiliki pandangan berbeda
mengenai kurikulum. Secara umum Tyler dan Hilda Taba melalui Ornestein dan Hunkins
(2004:10) mendefinisikan kurikulum sebagai sebuah rencana tindakan atau dokumen tertulis
yang mencakup strategi untuk mencapai tujuan yang diinginkan atau tujuan akhir.
Sementara itu, pemerintah melalui UU nomor 20 tahun 2003 dan PP nomor 19 tahun 2005
mendefinisikan kurikulum sebagai seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan
pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu untuk satu satuan atau jenjang
pendidikan. Berdasar definisi tersebut kedudukan pemerintah dalam kurikulum adalah penyusun
dan pengatur penyelenggaraan kegiatan pembelajaran.Selanjutnya, kurikulum juga diartikan
suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar mengajar di bawah bimbingan dan
tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya (Nasution, 2008:5).
Definisi Nasution ini mewakili pandangan lembaga pendidikan bahwa sekolah dan guru sebagai
pelaksana kurikulum. Artinya lembaga pendidikan dan guru berposisi sebagai pembimbing dan
penanggung jawab pelaksanaan kurikulum.
Di sisi lain, orang tua beranggapan bahwa kurikulum merupakan tempat merumuskan tujuan
pendidikan dan bahan-bahan yang harus ditempuh anaknya untuk mencapai tingkat tertentu yang
sudah tidak lagi memenuhi perkembangan kebutuhan masyarakat dan iptek sehingga muncullah
kurikulum 1984. Ciri kurikulum ini yaitu berorientasi pada tujuan instruksional, pendekatan
belajar CBSA, materi pelajaran dikemas dengan pendekatan spiral, materi diberikan berdasarkan
kesiapan dan kematangan siswa, dan menggunakan pendekatan keterampilan proses.
Selanjutnya, kurikulum 1984 pun akhirnya disempurnakan lagi dengan kurikulum yang lebih
baru, yaitu kurikulum 1994. Kurikulum 1994 ini bercirikan dikenalnya sistem caturwulan,
menekankan materi pelajaran yang cukup padat, menggunakan strategi yang melibatkan siswa
secara aktif. Sesudah dievaluasi, ternyata kurikulum 1947 s.d. 1994 memiliki kelemahan yaitu
kurangnya penguasaan keterampilan (skill) karena yang lebih ditonjolkan penguasaan kognitif.
Untuk semakin memenuhi tuntutan perkembangan masyarakat, disusunlah kurikulum yang
berbasis kompetensi. Kurikulum tersebut adalah kurikulum 2004 dan 2006 (KTSP) yang
menekankan penguasaan kompetensi secara holistis. Kurikulum 2004 dikembangkan secara
sentralisasi (disusun oleh pusat), sedangkan kurikulum 2006 dikembangkan secara desentralisasi
(kerangka dasar kurikulum dari pusat, sekolah dapat mengembangkan sesuai kondisi). Keduanya
sama-sama berbasis kompetensi. Kurikulum 2004 memuat SK, KD, MP, dan indikator
pencapaian sementara kurikulum 2006 hanya memuat SK, KD dan komponen lain
dikembangkan oleh guru.
Secara umum setiap kurikulum yang disusun akan dilandasi oleh landasan filosofis, landasan
psikologis, landasan sosiologis, dan landasan iptek. Ornstein dan Hunkins (2009:32)
menjelaskan bahwa landasan filosofis ini menjelaskan tujuan pendidikan, kecocokan isi, proses
pembelajaran dan pengajaran, dan pengalaman serta aktivitas yang seharusnya ditekankan oleh
sekolah. Landasan psikologis menyediakan sebuah dasar untuk memahami proses pengajaran
dan pembelajaran. Selain itu, Ornstein dan Hunkins (2009:108) juga menegaskan peranan
psikologi yaitu untuk memberi dorongan pembentukan dasar untuk metode, materi, dan aktivitas
belajar yang termuat dalam kurikulum.
Berkaitan dengan perkembangan kurikulum di Indonesia, lantas apa saja pendekatan yang
melandasi perubahan kurikulum sejak tahun 1947 s.d. 2013? Kurikulum tahun 1947 s.d. 1964
dilandasi oleh pendekatan behaviorisme karena menekankan pembentukan watak perjuangan.
Kurikulum 1975 s.d. 1994 dilandasi oleh pendekatan komunikatif dan keterampilan proses
karena melibatkan siswa secara aktif dalam pembelajaran. Lalu kurikulum 2004 s.d. 2013
dilandasi oleh pendekatan kompetensi dan kontekstual-komunikatif karena siswa diarahkan pada
pencapaian kompetensi secara holistis dan memiliki kompetensi komunikatif.
Karakteristik kurikulum bahasa akan mempengaruhi penggunaan metode pengajaran bahasa.
Metode yang digunakan pun ada bermacam-macam. Metode-metode yang pernah digunakan
dalam pengajaran bahasa dipaparkan berikut ini.
Grammar-Translation Method
Metode ini tidak hanya menentukan cara yang seharusnya digunakan untuk mengajarkan bahasa,
dengan menekankan pada penggunaan ekslusif bahasa target, teknik pengajaran tanya jawab
intensif, demonstrasi, dramatisasi untuk mengokunikasikan makna kata. Metode ini juga
menentukan kosakata dan tata bahasa yang diajarkan dan cara menyajikannya (Richard, 2001:3).
Sesuai dengan namanya metode in merupakan kombinasi antara Metode Tata Bahasa dan
Translation Method atau Metode Terjemahan. Ciri-ciri khusus metode ini dengan sendirinya
sama dengan ciri-ciri kedua metode tersebut, antara lain:
1. Seperti halnya dengan Metode Tata Bahasa, metode ini cocok untuk kelas yang besar dan tidak
memerlukan seorang guru yang harus menguasai bahasa asing secara aktif dan lancer atau
pendidikan khusus/
penguasaan bahasa akademik sebagai salah satu hal yang diperoleh dalam program kelas biasa.
(hlm 24).
Dengan kata lain, pendekatan yang digunakan menitikberatkan pada bahasa sebagai alat
komunikasi. Oleh karena itu, lahirlah metodologi yang menarik pada pendekatan lisan pada
1950-an dan 1960-an. Metodologi tersebut memiliki karakteristik sebagai berikut.
Silabus structural dengan tingkat kosakata bergradasi
Penyajian struktur bermakna dalam konteks melalui penggunaan situasi untuk
mengontekstualisasikan poin pengajaran baru
Urutan aktivitas kelas dimulai dari presentasi, latihan terkontrol, produksi bebas.
Ini menjadi dikenal sebagai pendekatan situasional or pendekatan structural situasional atau
pengajaran bahasa situasional. Di Amerika pada tahun 1960-an pengajaran bahasa di bawah
pengaruh metode yang kuat yaitu audiolingualisme. Teknik pengajaran memanfaatkan pola
pengulangan dialog dan praktik sebagai dasar untuk otomatisasi diikuti dengan latihan yang
melibatkan pentransferan pola belajar untuk situasi baru(Bloomfield 1942,12 melalui Richard,
2001:25).
Karakteristik utama metode ini adalah
Pengajaran bahasa dimulai dengan bahasa lisan. Materi diajarkan secara lisan sebelum
disajikan dalam bentuk tertulis
Bahasa target adalah bahasa yang digunakan di kelas
Poin bahasa baru dikenalkan dan dipraktikkan secara situasional
Prosedur pemilihan kosakata diikuti untuk memastikan kosakata pelayanan umum tercakup
Item tata bahasa yang dinilai mengikuti prinsip bahwa bentuk sederhana lebih dulu diajarkan
daripada bentuk yang kompleks.
(Richard dan Rodger 2001:39)
Communicative Method
Metode ini didasarkan pada pendekatan komunikatif dalam pengajaran bahasa. Pendekatan
komunikatif berawal dari teori bahasa sebagai komunikasi (Richard, .159). Tujuan pengajaran
bahasa adalah sebagai kompetensi komunikatif (Hymes, 1972). Teori belajar bahasa menurut
metode ini adalah 1) aktivitas yang melibatkan komunikasi nyata dalam pembelajaran; 2)
aktivitas di mana bahasa digunakan untuk melakukan tugas bermakna; 3) bahasa yang berarti
bagi pelajar adalah yang mendukung proses belajar (Johnson 1982 melalui Richard 161). Harmer
(2001:84) memaparkan bahwa pengajaran bahasa komunikatif adalah seperangkat keyakinan
yang dicakup tidak hanya pada apa aspek bahasa untuk mengajar tetapi juga pergeseran dalam
penekanan dalam bagaimana cara untuk mengajar. Metode ini juga menekankan pada pentingnya
fungsi bahasa daripada memfokuskan semata-mata pada tata bahasa dan kosakata (daripada
menekankan pada pola-pola mekanik bahasa).
ANALISIS KEBUTUHAN
Salah satu bagian penting dalam pengembangan kurikulum adalah analisis kebutuhan. Analisis
kebutuhan dilakukan untuk menemukan apa yang perlu dipelajari dan apa diinginkan pembelajar
untuk diketahui. Karena itulah, kurikulum yang ideal harus mewakili kebutuhan peserta didik.
Dengan demikian, analisis kebutuhan diarahkan terutama pada tujuan dan isi dari program
pembelajaran (Nation dan Machalister, 2010:24).
Lantas apa hakikat analisis kebutuhan itu? Richard (2001:51) menjelaskan bahwa program
pendidikan yang baik harus didasarkan pada analisis kebutuhan pembelajar. Prosedur yang
digunakan untuk mengumpulkan informasi tentang kebutuhan pembelajar tersebut dikenal
dengan analisis kebutuhan (Richard, 2001:51). Selanjutnya, analisis kebutuhan dalam pengajaran
bahasa bisa digunakan untuk sejumlah tujuan berbeda. Tujuannya antara lain,
Untuk mengetahui apa kemampuan bahasa yang pembelajar butuhkan dalam melakukan peran
tertentu
Untuk membantu menentukan apakah program pembelajaran yang ada memadai bagi
kebutuhan potensial siswa.
Untuk mengumpulkan informasi tentang masalah tertentu yang dialami pembelajar.
Untuk mengidentifikasi kesenjangan antara apa yang dapat siswa lakukan dan apa yang
dibutuhkan siswa untuk dapat melakukan.
Richard (2001:52) menyebutkan langkah pertama dalam melakukan analisis kebutuhan yaitu
menentukan dengan tepat apa tujuannya.
DAFTAR PUSTAKA
Djunaidi, A.1987. Pengembagan Materi Pengajaran Bahasa Inggris Berdasarkan Pendekatan
Linguistik Kontrastif (Teori dan Praktik). Jakarta: Depdikbud.
Nasution, S. 2008. Kurikulum dan Pengajaran. Bandung: Bumi Aksara
Siahaan, Bistok A. 1987. Pengembagan Materi Pengajaran Bahasa FPS 626. Jakarta: Depdikbud.
Ornstein, Allan C dan Francis P. Hunkins. 2009. Curriculum : Foundations, Principles, and Issues
5th. New York: Pearson.
Richards, Jack C. 2001. Curriculum Development in Language Teaching. New York: Cambridge
University Press