Paradigma Hukum

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 13

Law, Positivism, Justice

Kritik Terhadap Paradigma Positivisme Hukum Dan Beberapa Pemikiran Dalam Rangka
Membangun Paradigma Hukum Yang Berkeadilan
Oleh:
MARYATI
Dosen Fakultas Hukum Universitas Batang Hari Jambi
Science of law is something that is constantly changing, moving and flowing. If the base of
departure is the assumption of legal positivism and legal positivism paradigm basic criteria that
need to be tested, whether in the present development is still able to provide a just legal
thought.
There are some fundamental flaws in the paradigm of legal positivism that it is difficult to get
berkadilan substantive law, but only justice prosdural. This is related to the character of the
legal paradigm, namely: a) view of dualism positivism; b) the principle of reductionism; c)
grounded in reality, objectivity, neutrality and emphasizes the point; and d) the nature of
rationality that is concerned with the procedural rules of the law of justice, In building
berkedilan legal paradigm, need disansingkan various legal paradigm berkemabang including
legal pardgima result of the Indonesian legal experts thought that woke up in the development
of legal theory, legal theory and legal theory prograsif integrative, all of which is a correction of
legal positivism paradigm.
Keywords: Law, Positivism, Justice
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam sejarah perkembangan pemikiran hukum, tercatat munculnya sejumlah teori
hukum yang dapat dikelompokan ke dalam beberapa aliran/ mazhab atau paradigmaa hukum.1
Sutandyo Wingnyosoebroto menjelaskan tentang adanya beberapa paradigmaa penting dalam
ilmu hukum, yaitu paradigmaa positivistik, paradigmaa pasca-positivistik, dan paradigmaa
hermeneutik.2 Lili Rasjidi menyebutkan adanya beberapa paradigma hukum, yaitu: (1)
1Paradigma

dapat dimaknai sebagai asumsi-asumsi dasar yang diyakini ilmuan dan menentukan cara dia
memandang gejala yang ditelaahnya. Ia dapat meliputi kode etik maupun pandangan dunia yang
memperngaruhi jalan pikiran dan perilaku ilmuan dalam aktifitas berolah ilmu. Liek Wilardjo, Realita dan
Desiderata, Yogyakarta : Duta Wacana Pres, 1990, hlm. 134. Lihat juga Otje Salaman S dan Anton F Susanto,
Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali. Bandung : Rafika Aditama, 2005, hlm. 67
Soetndyo Wingnyosoebroto, Hukum, Paradigmaa, Metode Dan Pilihan Masalah, Jakarta : ELSAM HUMA,
2002, hlm. 87-105.
2

Inovatif, Volume VII Nomor II Mei 2014

77

Paradigmaa hukum alam; (2) Paradigama hukum historis; (3) Utilitarianisme; (4) Paradigmaa
hukum positif; (5) Paradigmaa hukum sosiologis; dan (6) Paradigma hukum realis pragmatis. 3
Paradigama hukum apapun yang dianut oleh suatu bangsa akan menetukan asumsiasumsi dasar

dan menentukan cara

memandang gejala hukum.

Sehingga akan

memperngaruhi jalan pikiran dan perilaku ilmuan maupun pengambil kebijakan dalam aktifitas
menelaah dan memahami tentang konsep-kosep dasar hukum. Oleh karena itu dalam
perjalanan pemikiran hukum terlihat adanya pergeseran dan perubahan, bahkan tidak jarang
asumsi dasar suatu paradigma hukum tertentu kemudian dilemahkan atau malah dirobohkan
oleh paradigm yang hukum yang muncul kemudian. Demikian halnya dalam melihat
persoalan-persoalan mendasar dalam filsafat hukum, 4 seperti hakekat hukum, hukum dan
kekuasaan, fungsi hukum, hukum dan nilai-nilai sosial budya, dasar mengikatnya hukum, hak,
hak asasi manusia, tujuan hukum, dan keadilan.
Keadilan merupakan tujuan hukum yang paling penting.
Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta,

Demikikian juga Menurut

keteraturan (kepastian) dan ketertiban, bukan

tujuan akhir hukum melainkan itu merupakan fungsi hukum. Sedangkan tujuan hukum pada
hakekatnya adalah untuk mewujudkan keadilan.5
Dari sejumlah paradigma hukum yang dianut atau pernah dianut oleh negara-negara
di diunia, paradigma positivisme hukum merupakan paradigma hukum yang sampai saat ini
mendominasi di banyak negara, termasuk Indonesia. Meskipun dalam perkembangannya
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosda Karya, Bandung, 1993, hlm.
63-85. Dalam bukunya yang lain digunakan istilah mazbah/aliran, terdiri dari Aliran hukum alam, Aliran hukum
positif, Aliran Utilitarianisme; Madzhab sejarah; Sociological jurisprudence; Pragmatic legal realism. Lihat Lili
Rasidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Bandung : Citra Aditya, Cetakan VI, 1993, hlm. 48.
3

4Lili

Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi menyimpulkan, bahwa filsafat hukum itu adalah:
a. Sebagai cabang filsafat, yaitu filsafat etika atau moral;
b. Membahas hakekat hukum, yaitu inti atau dasar yang sedalam-dalamnya dari hukum;
c. Mengkaji lebih lenjut hal-hal yang tidak dapat dijawab oleh ilmu-ilmu hukum.
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung : Manda Maju, 2010, hlm. 11.
Menurut Achmad Ali Filsafat hukum menganalisis abstraksi-abstraksi tingkat tinggi, dengan menggunakan
pendekatan aliran-aliran pemikiran yang dikenal dalam ilmu hukum, seperti hukum alam, positivisme, utilitarisme,
historisme, realisme, sosiologis, antropologis, dan lain lain. Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory)
dan Teori Peradilan (Judicial Theory) termasuk Interprestasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2009, hlm. 17.
5Mochtar

Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum : Suatu Pengenalan Pertama Ruang
Lingkup berlakunya Ilmu Hukum, Bandung: Alumni,Cetakan ke 2, 2009, hlm 52. Bandingkan dengan Mochtar
Kusumaatmadja Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Editor Otje Salman dan Edi Damian, Bandung :
Alumni, 2001, hlm. 3. Menurut Ahmad Ali berbeda dengan tujuan hukum bangsa barat (keadilan, kemanfaatan
dan kepastian), tujuan hukum bangsa timur adalah kedamaian (peace). Achmad Ali, Menguak ...O. Cit, hlm. 68.

78

terakhir ini mulai banyak mendapat kritik mengenai kemanfaatan dan kemampuannya mencai
tujuan akhir dari hukum, yaitu kedilan. Dalam rangka mewujudkan hukum yang berkeadilan
Indonesia sebagai negara yang secara dominan menganut faham positivisme hukum mulai
dihadapkan pada kenyataan bahwa dalam banyak kasus 6 ternyata pendekatan yang bersifat
formal tidak menghasilkan keadilan tapi dalam banyak kasus malah sebaliknya. 7
Sehubungan dengan masalah

tersebut maka menjadi penting untuk dilakukan

pengkajian dan pemikiran mendalam untuk mencari solusi

alternatif

dari

paradigma

positivism hukum yang telah berurat akar dalam system hukum Indonesia.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan pemikiran di atas, maka ada dua persoalan yang akan dikaji secara
mendalam yaitu:
1. Kelemahan apa yang ditemui paradigma positivisme hukum dalam mewujudkan hukum
yang berkedilan?
2. Paradigma atau teori hukum yang mana yang dapat dijadikan alternatiftif dari positivisme
hukum untuk mewujudkan hukum yang berkeadilan?
II. BANGUNAN PARADIGMA POSIVISME HUKUM
2.1. Pengaruh Filsafat Positivisme
Positivisme8 merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran empirisme yang
didukung oleh filsuf Inggris, seperti Berkeley, Locke dan Hume. Positivisme mengenmbangkan
6Kasus

terbaru yang sedang dalam proses pengadilan (banding) adalah kasus pencurian sandal jepit milik
anggota Brimob Palu oleh seorang pelajar SMK di Kota Palu. Dalam kasus ini meskipun kerugiannya sangat
kecil dan pelakukan anak-anak namun tetap diajukan ke pengandilan dengan ancaman 5 tahun penjara, karena
secara secara hukum materil Pasal 362 KUHP dan KUHP memang demikian itu hukum dan prosedurnya, apalagi
kebetulan korban dari kasus ini adalah anggota Kepolisian.6 Namun di sisi lain kasus-kasus besar, namun
dengan pelaku yang memiliki pengaruh seperti kasus pemalsuan surat MK oleh Andi Nurpati (Politisi Partai
Demokrat), sampai saat ini (januari 2012) tidak kunjung maju ke pengadilan.
7Permasalahan keadilan tersebut antara lain menurut
Adji Samekto, tidak terlepas dari dominasi
paradigma positivisme dalam saintifikasi hukum modern, yang ditandai oleh sifat peraturan yang prosedural.
Akibatnya pencarian keadilan justru terhalang oleh prosedur yang diciptakan oleh hukum sendiri. Akhirnya yang
muncul dipermukaan adalah keadilan formal yang belum tentu mewakili atau memenuhi hati nurani FX. Adji
Samekto, Keadilan versus prosedur hukum : Kritik terhadap hukum modern, Orasi Ilmiah Yang Disampaikan
Dalam Rangka, Wisuda Sarjana Sekolah Tinggi, Hukum Militer Angkatan XIII, Jakarta, 2011, hlm. 1.
8lstilah

positivisme dipetkenalkan Comte. Istilah itu berasal dari kata positif. Dalam prakata Coars de Phiknpbie
Positiue, dia mulai memakai istiiah filsafat positif dan terus menggunakannya dengan arti yang konsisten

79

paham empiris tetang Pengetahuan menjadi lebih ekstrem dengan mengatakan, bahwa
puncak pengetahuan manusia adalah ilmu-ilmu positif atau sains (ilmu-ilmu yang betangkat
dari fakta-fakta yang terveriflkasi dan terukur secara ketat).9
Menurut Lili Rasjidi prinsip utama aliran filsafat positivisme adalah: pertama, hanya
menganggap benar apa yang benar-benar tampil dalam pengalaman. Kedua, hanya apa
yang pasti secara nyata disebut dan diakui sebagai kebenaran. Berarti tidak semua
pengalaman dapat disebut benar, hanya pengalaman yang nyatalah yang disebut benar;
Ketiga hanya melalui ilmulah pengalaman nyata itu dapat dibuktikan; Keempat karena semua
kebenaran hanya didapat melalui ilmu, maka tugas filsafat adalah mengatur hasil penyelidikan
ilmu itu.10
Anton F Susanto menjelaskan pengaruh paradigma positivisme terhadap positivism
hukum dengan menggambarkan sebagai berikut:11

Gambar 1. Pengaruh paradigm positivisme terhadap positivism hukum


Teks terpisah dari
realitas sosial
Positivisme Yuridis
Paradigma
CartesianNewtonian

Mekanistik - determinisktik
Dualistik - Reduksionis

Positivisme
Ilmu

Positivisme
Hukum

Metafisika kehadiran

Ontologis
Epistimologis
Aksiologis

Positivisme Sosiologis

disepanjang bukunya. Dengan filsafat itu ia mengartikan sebagai sistem umum tentang konsep-konsep manusia.
Sedangkan positif diartikannya sebagai teori yang bertujuan untuk menyusun fakta-fakta vang teramati. Dengan
kata lain, positif sama dengan faktual, atau apa yang berdasarkan fakta-fakta. Dalam hal ini, positivisme
menegaskan, pengetahuan hendaknlah tidak melampaui fakta-fakta. Lihat Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari
Machiavelli sanpai Nietzsche, Gramedia,Jakara,2004, hlm.204.
9Dony

Gahral Adtan, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif, Yogyakarta : Jalasutra,
2006, hlm.23. Lihat juga Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Seiarah, Yogyakarta : Kanisius, 2011,
hlm. 124;
10

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Op. Cit. hlm. 80.

11

Anton F Susanto, Op. Cit, hlm. 25.

80

Dari gambaran di atas terlihat bagaimana Paradigma Cartesian- Newtonian eksis dan
menghegomoni positivism hukum, sehingga realitas hukum terpisah dan bersifat Mekanistik
determinisktik. Positivisme yuridis melihat hukum sebagai aturan normatif (teks) yang terpisah
dari relealitas sosial, sehingga dalam positivisme sosiologis hukum dilihat sebagai fakta empirik
kuantitatif. Pengaruh tersebut sangat dirasakan terhadap aspek ontologis, epistimologis dan
aksiologis.
2.2. Karakteristik Positivisme Hukum
Positivisme hukum adalah bagian yang tidak dapat dilepaskan dari pengaruh
perkembangan positivisme (ilmu),12 yang memandang hukum tidak boleh abstrak, hukum
harus konkret. Konkretisasi ini ditunjukkan dengan keharusan bahwa hukum harus tertulis.
Diskursus inilah yang menjadi embrio pengembangan sistem hukum modern yang dipakai di
dunia hingga saat ini. Sistem hukum modern merupakan sistem hukum positif yang didasarkan
pada asas-asas dan lembaga-lembaga hukum negara Barat yang untuk sebagian besar
didasarkan atas asas-asas dan lembaga-lembaga hukum Romawi.
Menurut Hart, esensi positivisme hukum, adalah sebagai beriku:
a. Hukum adalah perintah.
b. Tidak ada kebutuhan untuk menghubungkan hukum dengan moral; hukum sebagaimana
diundangkan, ditetapkan, positum, harus senantiasa dipisahkan dari hukum yang
seharusnya diciptakan, yang diinginkan.
c. Analisis atau studi tentang makna konsep-konsep hukum adalah suatu studi yang penting,
analisis atau studi itu harus dibedakan dari studi sejarah, studi sosiologis dan penilaian
kritis dalam makna moral, tujuan-tujuan sosial, dan fungsi-fungsi sosial.
d. Sistem hukum adalah sistem tertutup yang logis yang merupakan putusan-putusan yang
tepat yang dapat dideduksikan secara logis dari aturan-aturan yang sudah ada
sebelumnya.
e. Penghukuman secara moral tidak lagi dapat ditegakan, melainkan harus dengan jalan
argumen yang rasional atau pun pembuktian dengan alat bukti.13
Anton F Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi Filasafat Pembangunan Ilmu Hukum Indonesia,
Yogyakarta : Genta Publising, 2010, hlm. 70.
12

13

Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, Cetakan Ke 2, 2008, hlm. 203.

81

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa prinsip-prinsip dasar positivisme hukum


adalah: (1) suatu tata hukum Negara berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam
kehidupan sosial (menurut Comte dan Spenser), bukan juga katena bersumber pada jiwa
bangsa (menurut Savigny), dan juga bukan karena dasar-dasar hukum alam, melainkan
karena mendapatkan bentuk positifnya dalam instansi yang berwenang: (2) hukum harus
dipandang semata-mata dalam bentuk formalnya; bentuk hukum formal dipisahkan dari bentuk
hukum material; dan (3) isi hukum (material) diakui ada tetapi bukan bahan ilmu hukum
karena dapat merusak kebenaran ilmiah Ilmu Hukum.14
III.

KRITIK TERHADAP POSITIVISME HUKUM


Dari pembahasan karakteristik dari paradigma positivisme hukum terlihat ada beberapa

kelemahan paradigma ini jika dikaitkan dengan tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan
yang substantive. Kelemahan ini terutama terkait dengan dualisme, reduksionis dan bentuk
formal dari positivism hukum.
3.1. Dualisme dalam Positivisme Hukum
Pandangan dualisme15 ini antara lain terlihat dari pendapat John Austin. Menurut
Austin empat unsur yang harus ada dan terkandung dalam hukum positif, yakni (a) perintah
(comman); (b) sanksi (sanction); (c) kewajiban (duty); (d) kedaulat an (souereignity). Tanpa
adanya keempat unsur itu, suatu peraturan bukanlah hukum positif, melainkan kesusilaan
positif. John Austin secara tegas membedakan antara hukum dengan moral dan agama,
membedakan antara hukum positif dengan hukum yang dicita-citakan. Menurut Austin, ilmu
hukum hanya membahas hukum positif saja, tanpa membedakan apakah hukum itu baik atau
buruk, diterima atau tidak oleh masyankat. Gagasan Austin sangat dualistis dengan
memisahkan antar realitas ideal (idealism metafisis: moral-agama) dan realitas material hukum
positif. Austin juga melakukan pemilahan antara bentuk dan isi, di mana dia lebih fokus
kepada bentuk. Secara ekstrem Austin mencoba melepaskan hukum dari masalah keadilan. Ia
14

Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Op. Cit. hlm. 81.

Dualisme merupakan pandangan (cara pandang) yang memisahkan subjek dengan objek, manusia dengan
alam, penafsir dengan teks, dan menempatkan kata pertama lebih superior dari kata setelahnya. Ini merupakan
konsekuensi dari prinsip Descartes (termasuk positivisme ilmu) untuk menemukan kebenaran obiektif dan
universal. Descartes melihat bahwa manusia dapat memahami dan mengupas realitas yang terbebas dari
konstruksi mental manusia, bahwa subjek dapat mengukur objek tanpa mempengaruhinya, dan sebaliknya tanpa
dipengaruhi oleh objek. Ini sekaligus ciri positivisme ilmu, di mana peneliti atau subjek mengambil jarak dan
bersifat imparsial-netral. Anton F Susanto, Op.Cit, hlm. 145.
15

82

menggantikan kebaikan dan keburukan sebagai landasan hukum dengan kekuasaan dari
penguasa.16
Pandangan dualisme juga terlihat dai pendapat Kalsen, Menurut Kalsen, norma itu
berlaku di dalam sollen bukan di dalam sein, ini merupakan konsekuensi dari pendapat bahwa
hukum merupakan kehendak Negara. Negara bukan sein melainkan sollen. Jadi kalsen
memisahkan secara tajam kenyataan dengan keharusan, dan kalsen memilih sollen sebagai
gagasannya tentang hukum.17
Terkait dengan pandangan dualism tersebut, pertanyaannya adalah apakah benar kajian
hukum positif bisa dipisahkan dari nilai-nilai tertentu seperti moral? Bukankah hukum positif
dibuat dalam tatanan yang terikat pada ruang dan waktu, sehingga ada nilai-nilai tertentu yang
akan mempengaruhinya. Bukankah nilai-nilai tertentu bahkan kepentingan-kepentingan
tertentu dapat mengikat pembuat hukum maupun adressat hukum sehingga harus dikatakan
bahwa hukurn positif pun terbit sebagai produk nilai-nilai tertentu?18

3.2. Reduksionisme Dalam Positivisme Hukum


Dalam positivisme hukum, reduksionisme19 terlihat dari pandangan Austin yang
menyatakan bahwa ilmu hukum identik dengan hukum yang berlaku (hukum positif) yang
harus diterima tanpa harus memperhatikan apakah aturan hukum itu baik atau tidak secara
moral. Selanjutnya ia memaparkan unsur-unsur yang harus terkandung di dalam suatu aturan
hukum. Menurut pendapatnya, aturan hukum harus memuat 3 (tiga) unsur yaitu : command
(perintah), sanction (sanksi) dan dikeluarkan oleh pejabat yang memang berwenang untuk itu.
Kewenangan itu terefleksikan dalam kedaulatan negara. Pendapat John Austin dengan
demikian sangat senada dengan HLA. Hart, yang mengedepankan aspek kedaulatan negara

16

Ibid, hlm. 150.

17

Ibid, hlm. 153.

18

FX. Adji Samekto, Op. Cit, hlm. 8.

19Reduksionisme

mengandung makna bahwa realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati. Asumsi
yang dikembangkan dari reduksionisme dalam Positivisme adalah bahwa keseluruhan objek sesungguhnya
adalah hasil "penjumlahan" atau integrasi dari pemahaman atas bagian-bagian atau unsur- unsur. Cara pandang
yang matematis dari Positivisme ini meyakini bahwa unsure unsur bisa membentuk satu kesatuan system. . Anton
F Susanto, Op.Cit, hlm. 143.

83

sebagai atribut negara yang berimplikasi pada kewenangan bersifat eksternal maupun
internal.20
Reduksionis dari Hans Kelsen atas pemahaman hukum diwujudkan dalam

bagian

bahasan besar : teori hukum murni dan stufenbau theoie. Dalam ajaran hukum murni (the
pure theory of law) dapat digambarkan sebagai berikut:
1. Bahwa hukum harus dilepaskan dari moral pertimbangan-pertimbangan yang abstrak,
pertimbangan politik, ekonomi dan faktor di luar hukum lainnya.
2. Hukum harus benar-benar objektif tanpa prasangka.
3. Keadilan adalah persoalan di wilayah ought to be (yang seharusnya) bukan ls (yang ada).
Reduksionisme di dalam filsafat Positivisme, berbasis pada keyakinan bahwa objek
telaah sesungguhnya terdiri dari sub-sub objek (unsur-unsur) yang membentuk satu kesatuan
yang membentuk objek tersebut. Obyek hukum adalah hukum positif, pertanyaannya, apakah
ketika hasil pecahan-pecahan itu disatukan akan menghasilkan aturan hukum sebagai satu
kesatuan sistem?. Memang manusia adalah realitas tetapi manusia selalu terikat pada nilainilai tertentu, tatanan sosial tertentu. Hukum positif pun di dalam perkembangannya juga
terikat pada nilai-nilai tertentu, bahkan kepentingan-kepentingan tertentu, karena terbitnya
hukum positif sesungguhnya juga merupakan keputusan politik, yang mendasarkan pada
anutan nilai-nilai tertentu. Dengan menyadari hal-hal seperti itu maka tidak serta-merta
reduksionisme dapat secara mudah dilakukan dalam kajian ihmu hukum.21
3.3. Pemisahan Nilai dan Hukum Positif
Salah satu karakter positivisme hukum dalah pemisahan secara tegas antara norma
dengan nilai.22 Hal ini sebagai imbas dari syarat objektif atau bebas nilai dari paradigam
positivism.

Sehinggan terdapat

dikotomi yang tegas antara fakta dengan nalar, dan

mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak terhadap realitas dengan bersikap netral. Akan
tetapi perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan faktor yang mempengaruhinya.
Fenomena sosial secara alamiah adalah subjektif dan tidak akan dapat dipahami sebagai
20

Ibid, hlm. 9.

21

Ibid, hlm. 10-11.

Nilai merupakan konsepsi abstrak mengenai hal-hal yang harus dianuti (dianggap baik) dan yang harus
dihindari (dianggap buruk).Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Renungan tentang Filasafat Hukum,
Jakarta : Rajawali, 1987, hlm. 13.
22

84

sesuatu yang objektif.

Disi lain perilaku manusia tidak akan dapat dideskripsikan dan

digambarkan berdasarkan karakteristik eksternatnya. manusia, tidak dapat diobjektifikasikan


karena tindakan yang tampak (eksternal) sama bisa saja menimbulkan interpretasi yang
beragam. Imu-ilmu sosial, dengan demikian akan selalu menjadi pengetahuan yang subjektif
dan menurut Santos, di dalamnya harus ada pemahaman sikap dan arti tindakan. Oleh
karena itu pandangan positivisme hukum yang berpijak pada realitas, objektivitas, netralitas
dan menekankan pada fakta perlu dipertanyakan keabsahannya ketika cara berpikir
positivisme harus diterapkan pada soal-soal kemasyarakatan.23
Dari pandangan filasafat yang melakukan pemisahan norma dengan nilai ibarat
pemisahkan roh dan tubuh. Karena dalam konteks sosial bangunan norma tidak lebih dari
pembungkus atau wadah dari nilai-nilai yang sesungguhnya telah disepakati oleh masyarakat
yang kemudian diwujudkan menjadi UU oleh pembentuk hukum (UU). Sebagaimana
dijelaskan oleh Mochtar Kusumaatmadja, bahwa hukum sebagai kaedah sosial tidak lepas
dari nilai-nilai (values) yang berlaku dalam suatu masyarkat. Bahkan dapat dikatakan hukum
itu merupakan pencerminan dari nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.24
Oleh karena itu hubugan nilai dan norma dapat digambarkan sebagai berikut:
nilai

asas

norma

Dari gambar di atas nilai memiliki arti penting dalam pembentukan norma. Nilai
perupakan dasar dari terbangunnya asas yang menjadi dasar pembentukan norma hukum.
3.4. Positivisme Hukum dan Keadilan
Sebagaimana dibahas sebelumnya, bahwa keadilan merupakan unsur hukum yang
penting bahkan merupakan
23

tujuan akhir kehidupan bermasyarakat yang untuk itu juga

Ibid, hlm. 12.

24Mochtar

Kusumaatmadja, Konsep-Konsep ... Op. Cit, hlm 10. Menurut Ahmad Ali berbeda dengan tujuan hukum
bangsa barat (keadilan, kemanfaatan dan kepastian), tujuan hukum bangsa timur adalah kedamaian (peace).
Achmad Ali, Menguak tabir ... Op. Cit, hlm. 68.

85

tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai an falsafah hidup masyarkat.25 Persoalannya apakah
posotovisme hukum menjamin adanya keadilan substantive?
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa karakter utama sistem hukum modern
adalah sifatnya yang rasional. Rasionalitas ini ditandai oleh sifat peraturan hukum yang
prosedural. Prosedur, dengan demikian menjadi dasar legalitas yang penting untuk
menegakkan apa yang disebut keadilan, bahkan prosedur menjadi lebih penting daripada
bicara tentang keadilan (justice) itu sendiri. Di dalam konteks ini upaya mencari keadilan
(searching for justice) bisa menjadi gagal hanya karena terbentur pelanggaran prosedur.
"Semua penanganan kasus harus sesuai dengn prosedur hukum yang berlaku", demikian
ungkapan yang merepresentasikan betapa pentingnya prosedur demi menjamin rasionalitas
hukum. Sebaliknya segala bentuk upaya lain mencari kebenaran dalam upaya menegakkan
keadilan, di luar peraturan hukum yang berlaku , tidak dapat diterima dan dianggap sebagai
out of legal thought, bahkan bisa ilegal. Pada sistem hukum modern, keadilan (justice) sudah
dianggap diberikan dengan membuat hukum positif. Akan tetapi di dalam praktek, penggunaan
paradigma positiviisme hukum modern ternyata juga banyak menimbulkan kekakuankekakuan sedemikian rupa sehingga pencarian kebenaran (searching for the truth) dan
keadilan

(searching for justicz) tidak tercapai karena terhalang oleh "tembok tembok"

prosedural.

Sehingga yang tampil adalah keadilan prosedur tapi bukan keadilan

sesungguhnya.26
Dengan mengacu pada karakter positivisme hukum tersebut maka sangat wajar jika
dalam kenyataanya banyak kasus yang oleh masyarakat dirasakan seabgai ketidak adilan
namun menurut hukum dianggap sebagai sesuatu yang benar, sebagaimana terlihat dalam
kasus sandal jepit di Palu dan kasus-kasus serupa lainnya di Indonesia. Dengan kata lain
positivisme tidak mampu menjamin keadilan substansial yang merupakan tujuan akhir dari
hukum itu sendiri.
Dalam perkembangan sejarah pemikiran hukum, muncul paradigm hukum yang
merupakan reaksi dari dominasi pemikiran rasionalisme yang dianggap mempunyai banyak
kelemahan yang didasarkan pada pemikiran yang hanya terpaku pada nilai-nilai atau asumsi25Mochtar
26

Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Loc. Cit.

FX. Adji Samekto, Op. Cit, hlm. 12-13.

86

asumsi yang bersifat khayal.

Sehingga mengilhami lahirnya aliran berbagai paradigma

hukum seperti mazhab sejarah, sociological juris-prudence realisme hukum, dan Pos
positivism. Di Indonesia muncul pula gagasan di antaranya adalah pemikiran dari Mochtar
Kusumaatmaja, yang dikenal dengan teori hukum pembangunan, buah pemikiran Satjipto
Rahardjo yang dikenal dengan teori hukum progresif, dan pemikiran dari Romli atmasmita
yang dikenal dengan model hukum inegratif. Beberapa paradigm pemikiran hukum tersebut
bukan saja sekedar pembanding dari positivism hukum, melainkan juga dapat menjadi
alternative untuk dijadikan landasan dalam membangun hukum yang berkeailan.
IV. KESIMPULAN
Dari uraian pembahasan pada bagian-bagaian sebelumnya dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Ilmu hukum merupakan sesuatu yang terus berubah, bergerak dan mengalir. Jika
pangkal tolaknya adalah positivisme hukum maka asumsi dan kreteria dasar positivisme
hukum paradigm terseut perlu diuji, apakah dalam perkembangan kekinian masih mampu
memberikan pemikiran yang hukum yang berkeadilan.
2. Terdapat beberapa kelemahan mendasar dalam paradigma positivisme hukum sehingga
sulit untuk mendapatkan hukum yang berkadilan substantive, melainkan hanya keadilan
prosdural. Hal ini terkait dengan karakter paradigma hukum tersebut, yaitu:
a. Pandangan dualisme positivism hukum membuat kajian hukum positif berusaha
dipisahkan dari nilai-nilai tertentu seperti moral? Padahal hukum positif dibuat dalam
tatanan yang terikat pada ruang dan waktu, sehingga ada nilai-nilai tertentu yang akan
mempengaruhinya.
b. Prinsip reduksionisme sulit dilakukan terhadap keberadaan suatu aturan hukum.
Karena obyek hukum adalah hukum positif, pembagian objek yang dipecah-pecah
kalau disatukan kembali belum tentu akan menghasilkan pemahaman yang utuh
tentang hukum.
c. Pandangan positivism hukum yang berpijak pada realitas, objektivitas, netralitas dan
menekankan pada fakta sulit diterapkan pada soal-soal kemasyarakatan.

87

d. Rasionalitas yang mementingkan sifat peraturan hukum yang procedural dari pada
menegakkan keadilan, sehingga upaya mencari keadilan (searching for justice) bisa
menjadi gagal hanya karena terbentur pelanggaran prosedur.
3. Dalam membangun paradigma hukum yang berkedilan, perlu disansingkan berbagai
paradigm hukum yang berkemabang termasuk pardgima hukum hasil dari pemikiran ahli
hukum Indonesia yang terbangun dalam

teori hukum pembangunan, teori hukum

prograsif dan teori hukum integrative, yang kesemuanya merupakan koreksi dari
paradigma positivisme hukum.
DAFTAR PUSTAKA
A. BUKU
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Jakarta : Ghalia Indonesia, Cetakan Ke 2, 2008
_________, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Theory)
termasuk Interprestasi Undang-Undang (Legisprudence), Jakarta : Kencana
Prenada Media Group, 2009.
Anton F Susanto, Ilmu Hukum Non Sistematik : Fondasi Filasafat Pembangunan Ilmu Hukum
Indonesia, Yogyakarta : Genta Publising, 2010.
Budi Hardiman, Filsafat Modern: Dari Machiavelli sanpai Nietzsche, Gramedia,Jakara,2004.
Darji Darmodiharjo dan Shidarta. Pokok-pokok Filsafat Hukum. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.1999.
Dony Gahral Adtan, Percik Pemikiran Kontemporer: Sebuah Pengantar Komprehensif,
Yogyakarta : Jalasutra, 2006.
Liek Wilardjo, Realita dan Desiderata, Yogyakarta : Duta Wacana Pres, 1990.
Lili Rasidi, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Bandung : Citra Aditya, Cetakan VI, 1993.
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Remaja Rosda Karya,
Bandung, 1993.
Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung : Manda Maju, 2010.
Mochtar Kusumaatmadja dan Arief Sidharta, Pengantar Ilmu Hukum : Suatu Pengenalan
Pertama Ruang Lingkup berlakunya Ilmu Hukum, Bandung: Alumni,Cetakan ke 2,
2009.

88

Mochtar Kusumaatmadja Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, Editor Otje Salman


dan Edi Damian, Bandung : Alumni, 2001.
Otje Salaman S dan Anton F Susanto, Teori Hukum : Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali. Bandung : Rafika Aditama, 2005
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Renungan tentang Filasafat Hukum, Jakarta :
Rajawali, 1987.
Soetndyo Wingnyosoebroto, Hukum, Paradigmaa, Metode Dan Pilihan Masalah, Jakarta :
ELSAM HUMA, 2002.
_________, Hukum dalam Ralitas Perkembangan Sosial Politik dan Perkembangan Pemikiran
kritis-Teoritik yang Mengiringi mengenai fungsinya, Surabaya, 2003.
Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Seiarah, Yogyakarta : Kanisius, 2011.
B. JURNAL, MAKALAH
FX. Adji Samekto, Keadilan versus prosedur hukum : Kritik terhadap hukum modern, Orasi
Ilmiah Yang Disampaikan Dalam Rangka, Wisuda Sarjana Sekolah Tinggi, Hukum
Militer Angkatan XIII, Jakarta, 2011.
Romli Atmasasmita, Tiga Paradigma Hukum Dalam Pembangunan Nasional. Makalah
Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional Tentang Perkembangan Hukum Pidana
Dalam Undang-Undang Di Luar KUHP Dan Kebijakan Kodifikasi Hukum Pidana.,
Pusat Perencanaan Hukumnasional Badan Pembinaan Hukum Nasional
Kementrian Hukum dan HAM RI, Semarang, 2010.
Satjipto Rahardjo, Hukum Progresif : Hukum yang Membebaskan., Jurnal Hukum Progresif,
Volume 1 No. 1 Tahun 2005, diterbitkan oleh Program Doktor Ilmu Hukum
Universits Diponegoro, Semarang

Anda mungkin juga menyukai