6 B Tiga Sumbu Kosmik
6 B Tiga Sumbu Kosmik
6 B Tiga Sumbu Kosmik
3 SUMBU KOSMIK
KAJA-KELOD, KANGIN-KAUH, AKASA PERTIWI
OLEH KELOMPOK 5A
ANGGOTA :
1. SIDI SIDA RAMA
(1304205058)
2. ADRIAN WIRATTAMA
(1304205075)
(1304205078)
UNIVERSITAS UDAYANA
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK ARSITEKTUR
TAHUN 2014
3 Sumbu Kosmik
(Kaja-Kelod, Kangin-Kauh, Akasa-Pertiwi)
a. Konsepsi
Konsepsi kehidupan dalam ajaran agama Hindu pada dasarnya bersumber dari filosofis
religi kosmos, yang memandang manusia dan alam sebagai sesuatu kesatuan yang terdiri dari
unsur-unsur yang sama. Konsep Rwa Bhinneda yang merupakan bentuk hubungan antara
makro kosmos (bhuana agung) atau alam semesta dan mikro kosmos (bhuana alit) atau
badan kasar manusia sebagai dua unsur yang berbeda dan selalu ada, di mana satu sama lain
saling mempengaruhi. Untuk mempertahankan keseimbangannya, makro kosmos dan mikro
kosmos diatur melalui yang disebut Panca Maha Bhura: apah, teja, bayu, akhasa, pertiwi
(cairan, sinar matahari, udara dan zat padat). Dengan demikian kondisi setempat, iklim, fisik
dan lingkungan dan sosial budaya sangat dipertimbangkan sebagai dasar penataan lingkungan
(desa, kala, patra).
Dalam kehidupan sehari-hari filosofi bhuana agung dan bhuana alit yang selaras melahirkan
aspek kehidupan berupa konsepsi-konsepsi. Konsepsi tersebut meliputi konsepsi Tri Hita
Karana yang mengatur keseimbangan antara manusia dengan lingkungannya. Tri Hita Karana
yang mempunyai arti tiga sebab atau unsur yang menjadikan kehidupan (kebaikan), yaitu:
Atma (zat penghidup, jiwa atau roh), Prana (tenaga), dan Angga (jasad/fisik).
Selanjutnya Konsepsi Tri Hita Karana yang mengatur keseimbangan atau keharmonisan
manusia dengan lingkungannya, tersusun dalam konsep Tri Angga. Tri Angga secara harfiah
dapat diartikan Tri sebagai tiga dan Angga sebagai badan. Konsepsi Tri Angga ini
menekankan pada tiga nilai fisik, yaitu Utama Angga/sakral, Madya Angga/netral, dan Nista
Angga/profan. Konsepsi ini memberi arah tata nilai secara vertikal. Disamping itu konsepsi
Tri Angga di dalamnya juga meliputi tata nilai yang berkaitan dengan orientasi yang disebut
Luan-Teben yang menjadi pedoman tata nilai di dalam mencapai penyelarasan antara bhuana
agung dan bhuana alit.
Luan-Teben memiliki orientasi antara lain:
1) Berdasarkan sumbu bumi, yaitu Kaja-Kelod (gunung dan laut)
Orang Bali menyebut utara sebagai Kaja yang artinya gunung. Sedangkan lawan
arahnya adalah Selatan atau Kelod yang artinya laut. Gunung bagi orang Bali (Hindu)
merupakan sebuah tempat yang bersifat mistis. Itulah sebabnya bayak sekali tempattempat pemujaan terkenal di Bali berada di gunung, misalnya Pura Pulaki, Pura
Batukau, dan terutama Pura Besakih yang terletak di kaki gunung Agung. Konsep
mistis atau agung dalam dunia Kaja-Kelod juga terefleksi di dalam penempatan
bangunan-bangunan rumah atau desa. Hal-hal yang bersifat keramat dari harta milik
masyarakat biasanya diletakan di bagian kaja, sedangkan hal-hal yang biasa diletakan
di bagian kelod. Pura keluarga biasanya ditempatkan di bagian kaja, sedangkan rumah
tempat tinggal di bagian kelod. Dalam konteks pura desa yang bersifat kayangan tiga
dapat delihat bahwa Pura desa diletakan di arah kaja sedangkan pada arah laut
(kelod) diletakan Pura dalem (pura yang berhubungan dengan kuburan dan
kematian).
Dari pemahaman sederhana ini dapat disimpulkan sementara bahwa bagian utara
merupakan tempat-tempat yang dianggap sakral sedangkan bagian selatan sering
dilihat sebagai bagian yang sekuler. Segala sesuatu yang dikategorikan bersifat suci
dan bernilai sakral akan menempati letak di baian Kaja (utara) mengarah ke gunung
seperti : letak pura, arah sembahyang, arah tidur dan sebagainya. Sebaiknya, segala
sesuatu yang dikategorikan kurang suci dan bernilai profan, akan menempati letak
bagian kelod (selatan), seperti : letak kuburan, letak kandang, tempat pembuangan
sampah/ kotoran,dan sebagainya bagi mereka yang tinggal di bagian Bali Selatan dan
kelod berarti utara. Perbedaan ini tidak saja terbatas pada penunjukkan arah, tetapi
juga dalam beberapa aspek kehidupan. Dalam dunia sosiologis konsep ini kemudian
berkembang demikian: masayarakat yang ada di daerah pegunungan adalah
masyarakat yang identik dengan pedesaan dan pertanian. Sedangkan masyarakat di
pesisir pantai identik dengan perkotaan dan industri. Masyarakat desa cendrung
komunal dan statis sedangkan masyarakat kota bersifat dinamis dan individualis.
2) Arah Tinggi-Rendah (Tegeh dan Lebah), atau Akasa-Pertiwi
Di Bali pura di bagi dalam beberapa klasifikasi, yaitu pura umum atau pura kahyang
jagat, pura dang khayangan, yaitu pura - pura yang di bangun sebagai pijakan dan
landasan bagi para Maha Rsi kita yang datang ke Bali. Pura fungsional misalnya pura
melanting untuk para pedagang, ataupun pura ulun carik untuk petani dan pura
geniologi atau pura berdasarkan garis kawitan, misalnya saja pura paibon atau
merajan di rumah dan ini bersifat khusus. Begitu pula dengan lungsuran dari pura pura tersebut, ada tingkatan umum dan ada tingkatan khusus, dan ada orang yang
tidak memakan lungsuran dari pura khusus orang lain karena aturan posisi dan fungsi,
ada juga karena masalah keyakinan, dan itu tidak bisa dipaksakan. Yang jelas,
kebijaksanaan seseorang akan terlihat dari kerendahan hatinya. Konsep pembangunan
pura sebagai tempat sembahyang umat Hindu adalah konsep tentang filosofi adanya
penciptaan kehidupan yang disebut dengan Akasa Pertiwi seperti yang disebutkan
dalam lontar Siwa Tatwa. Jadi pura ataupun sanggah dibuat terbuka sehingga Akasa
sebagai bapa atau unsur Purusa bertemu dengan Ibu Pertiwi sebagai unsur Predana,
sehingga terciptalah segala macam kehidupan baik itu tumbuh-tumbuhan binatang
dan manusia. Tanpa penyatuan unsur angkasa dan pertiwi maka tidak akan ada
kehidupan. Sebagai contoh, Bapa Akasa menurunkan hujan, diterima oleh Ibu Pertiwi
maka hiduplah tumbuh-tumbuhan, begitu pula Bapa Akasa menyinari Ibu Pertiwi,
tumbuhlah kesuburan. Jadi konsep itulah yang menjadi dasar sehingga di bali pura di
buat terbuka, beda dengan pelinggih yang tertutup karena pelinggih adalah stana dari
manifestasi beliau yang dipuja di sana.
Pura boleh di atapi namun itu hanya bersifat sementara yang disebut dengan taring,
yang digunakan sewaktu waktu misalnya saat ada karya, itupun hanya di natar pura
saja. Jadi kalau di atapi secara permanen seperti gedung maka konsep Akasa
pertiwinya akan hilang. Kalau dalam sastra memang tidak ada menyebutkan pura
tidak boleh diatapi, karena di dalam weda tidak ada disebutkan pura, yang ada adalah
altar yang artinya terbuka dan di Bali berkembang menjadi natar, yang namanya natar
pastilah terbuka. Weda tidak membahas kasus per kasus, namun memberikan konsep.
Konsep ini hanya bisa dipahami dengan kedalaman dan kesucian hati karena
didalamnya terkandung makna yang adi luhung dan begitu dalam sehingga banyak
masyarakat kita yang belum memahaminya.
3) Berdasarkan sumbu Matahari, yaitu: Timur-Barat (Matahari terbit dan terbenam).
Sama halnya dengan konsep Kaja-Kelod, Konsep orientasi yang berlaku pada arah
horisontal adalah: zone Timur (kangin) sebagai arah terbitnya matahari dianggap
sebagai zone sakral, yaitu tempat ruangruang yang dianggap utama, sebaliknya Barat
(kauh) sebagai arah terbenamnya matahari diperuntukkan untuk ruang-ruang yang
dianggap nista.
laut, ke utara di Bali utara dan ke selatan di Bali selatan. Nilai utara ada di arah
gunung atau kaja sedangkan nilai nista ada di daerah laut atau kelod, dengan Madya
ada di tengahnya.
c. Sumbu Kosmos, merupakan varian dari sumbu religi dan sumbu kosmos, mempunyai
pengertian menek (naik) dana Tuwun (turun), dengan tiga tingkatan tata nilai yang
menek (utama), tengah (Madya) dan tuwun (nista).
a.
Pada bagian tengah Pulau Bali dari timur ke barat terbentang pegunungan/
perbukitan dengan puncak-puncaknya antara lain : Gunung Agung, Bunung Batur,
Gunung Batukaru, yang menurut konsep diatas merupakan arah orientasi sumbu
natural spiritual yang utama dari aktifitas kehidupan masyarakat Bali.
b.
Pola Perempatan Agung, pola ini terbentuk dari perpotongan sumbu Kaja dan
Kelod (ke gunung dan ke laut) dan sumbu Kangin dan Kauh (arah terbit dan
tenggelam matahari). Berdasarkan konsep sembilan mata angin (Nawa Sanga)
maka daerah timur (kaja-Kangin) yang mengarah ke Gunung Agung
diperuntukkan bagi bagian suci (Pura Desa). Pura yang berkaitan dengan kematian
(Pura Dalem) dan kuburan desa berada di Barat daya yang mengarah ke laut
(kelod-kauh) sedangkan permukiman berada di antara Pura Desa dan Pura Dalem
c.
Mikro (Bangunan)
Pola diatas, dari segi tata peletakannya berorientasi pada pola kaja-kelod,
kangih-kauh. Tempat suci dilektakkan pada daerah yang dekat dengan kaja
dan kangin yang merupakan daerah suci, sedangkan tempat-tempat nista
seperti teba diletakkan pada daerah yang dekat dengan kelod dan kauh
yang merupakan area nista. Sedangkan jika dilihat dari konsep AkasaPertiwi bisa diperhatikan pada sanggah dan natah yang terbuka.
DAFTAR PUSTAKA
http://stitidharma.org/konsep-alam-bertingkat/
http://artikelvictor.blogspot.com/2007/05/kaja-kelod.html
http://barong72bali.blogspot.com/2014/01/intisari-pemikiran-ida-pedandagede_887.html
http://perencanaruang.blogspot.com/2011/03/konsep-rumah-di-bali.html
http://repo.isi-dps.ac.id/148/1/Sangamandala.pdf
http://www.tarungnews.com/profile/1874/tata-ruang-dalam-budaya-bali.html
https://www.academia.edu/7962814/Arsitektur_tradisonal_bali
http://kosmologidanmitologiarsitekturbali.blogspot.com/
http://kosmologidanmitologiarsitekturbali.blogspot.com/2012/05/kosmologi-danmitologi.html
http://www.network54.com/Forum/178267/message/1011746639/Konsep+Hindu+Dal
am+Pemukiman+Modern
http://artadharma.blogspot.com/2011/04/luan-teben-hulu-muara-konsep-harmoni.html