Referat Fobia
Referat Fobia
Referat Fobia
FOBIA
Oleh
Selly Rizany
NIM I1A010031
Pembimbing
BAB I
PENDAHULUAN
Fobia dalam arti klinis adalah bentuk paling umum dari gangguan
kecemasan. Fobia adalah suatu ketakutan yang tidak rasional yang menyebabkan
penghindaran yang disadari terhadap objek, aktivitas, atau situasi yang ditakuti.
Adanya atau diperkirakan akan adanya situasi fobik menimbulkan ketegangan
hebat pada orang yang terkena, yang mengetahui bahwa reaksi yang ditimbulkan
berlebihan. Reaksi fobik menyebabkan suatu gangguan pada kemampuan
seseorang untuk berfungsi di dalam kehidupannya (1).
Fobia lebih sering dikaitkan dengan amigdala yaitu suatu wilayah otak
yang terletak di belakang hipofisis dalam sistem limbik. Amigdala mengeluarkan
hormon yang mengontrol ketakutan dan agresi. Ketika rasa takut atau respon
agresi dimulai, amigdala melepaskan hormon ke dalam tubuh untuk membuat
tubuh manusia menjadi suatu tanda dimana mereka siap untuk bergerak, berlari,
berkelahi, dan lain-lain. Hal ini merupakan mekanisme defensif dan respons
secara umum disebut dalam psikologi sebagai fight or flight response (1,2).
Sebuah studi di Amerika oleh National Institute of Mental Health (NIMH)
menemukan bahwa antara 8,7% sampai 18,1% dari orang Amerika menderita
fobia. Dilihat dari segi usia dan gender fobia merupakan penyakit mental yang
paling umum dikalangan wanita pada semua kelompok usia dan yang penyakit
kedua paling umum diantara pria yang lebih tua dari 25 tahun (2).
BAB II
ISI
dipicu oleh rasa takut akan mengalami serangan panik dalam lingkungan yang
tidak ada cara mudah melarikan diri (10).
2.2
Epidemiologi Fobia
Fobia sering terjadi pada masyarakat umum. Survei epidemiologi terbaru
untuk fobia sosial adalah pada usia belasan tahun, walaupun onset sering kali
paling muda pada usia 5 tahun dan paling lanjut pada usia 35 tahun (12,15).
2.3
Etiologi Fobia
Baik fobia spesifik dan fobia sosial memiliki tipe-tipe dan penyebab tepat
dari tipe tersebut kemungkinan berbeda. Bahkan didalam tipe-tipe, seperti pada
semua gangguan mental, ditemukan heterogenisitas penyebab. Patogenesis fobia,
jika dimengerti, mungkin terbukti sebagai model yang jelas untuk interaksi antara
faktor biologia dan genetika, pada satu pihak, dan peristiwa lingkungan, pada
pihak lain. Pada fobia spesifik tipe darah, injeksi, cedera orang yang terkena
mungkin memiliki reflex vasovagal yang kuat dan diturunkan, yang menjadi
berhubungan dengan emosi fobik. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan
munculnya fobia adalah (6,7,17):
a. Faktor Perilaku
Pada tahun 1920 John B Waston menulis suatu artikel yang berjudul
Conditioned Emotional Reaction, dimana ia menceritakan pengalamannya
dengan Little Albert, seorang bayi dengan ketakutan terhadap tikus dan kelinci.
Tidak seperti Little hans dari Freud, yang memiliki gejala fobik pada perjalanan
alami kematangannya, kesulitan Little Albert merupakan akibat langsung dari
percobaan ilmiah oleh dua ahli psikologis yang menggunakan teknik yang telah
berhasil menginduksi respons yang dibiasakan pada binatang percobaan.
Rumusan Waston menggunakan model stimulusrespons tradisional dari
Pavlov tentang reflex yang dibiasakan (conditional reflex) untuk menerangkan
5
ciptaan fobia. Dimana, kecemasan dibangkitkan oleh stimulus yang secara alami
menakutkan yang terjadi dalam hubungan dengan stimulus kedua yang sifatnya
netral. Sebagai akibat hubungan tersebut, khususnya jika dua stimuli dipasangkan
pada beberapa keadaan yang berurutan, stimulus yang pada awalnya netral
memiliki kemampuan untuk membangkitkan kecemasan oleh dirinya sendiri.
Dengan demikian, stimulus netral menjadi stimulus yang dibiasakan untuk
menghasilkan kecemasan.
Dalam teori stimulus-respons klasik, stimulus yang dibiasakan secara
bertahap kehilangan potensinya untuk membangkitkan suatu respons jika tidak
diperkuat oleh pengulangan periodik stimulus yang tidak dibiasakan. Pada gejala
fobik, perlemahan respon terhadap stimulus fobik yaitu, stimulus yang dibiasakan
tidak terjadi; gejala mungkin berlangsung selama bertahun-tahun tanpa adanya
pendorong eksternal yang terlihat. Teori pembiasaan pelaku (operant conditioning
theory) memberikan suatu model untuk menjelaskan fenomena tersebut. Pada
teori pembiasan pelaku, kecemasan adalah suatu dorongan yang memotivasi
organisme untuk mel;akukan apa yang dapat menghilangkan pengaruh yang
menyakitkan. Dalam perjalanan perilaku acaknya, organisme belajar bahwa
tindakan
tertentu
memungkinkan
mereka
menghindari
stimulus
yang
dan,
dengan
demikian,
menyimbolkan
(mekanisme
pertahanan
simbolisasi). Selanjutnya, situasi atau objek biasanya adalah sesuatu yang mampu
dijauhi oleh seseorang; dengan mekanisme pertahan penghindaran tambahan
tersebut, orang dapat lolos dari kecemasan yang serius. Freud pertama kali
membicarakan rumusan teoritik tentang pembentukan fobia dalam riwayat
kasusnya yang terkenal tentang little Hans, seorang anak berusia 5 tahun yang
memiliki ketakutan terhadap kuda.
Walaupun ahli teori pertama kali berpendapat bahwa fobia dihasilkan oleh
kecemasan kastrasi, ahli teori psikoanalitik sekarang ini telah mengajuikan bahwa
kecemasan tipe lain
kecemasan perpisahan jelas memainkan peranan yang utama, dan pada eritrofobia
(ketakutan terhadap warna merah yang dapat dimanifestasikan sebagai ketakutan
terhadap perdarahan), elemen rasa malu menyatakan keterlibatan kecemasan
superego. Pengamatan klinik menyebabkan pandangan bahwa kecemasan
berhubungan dengan fobia memiliki berbagai sumber dan warna.
Fobia menggambarkan interaksi antara diatesis genetika-konstitusional dan
stresor lingkungan. Penelitian longitudinal menyatakan bahwa anak-anak tertentu
memiliki predisposisi konstitusional terhadap fobia karena mereka lahir dengan
temperamen tertentu yang dikenal sebagai inhibisi perilaku terhadap yang tidak
dikenal (behavioral inhibition to the unfamiliar). Tetapi suatu bentuk stres
8
10
Keberhasilan
farmakoterapi
dalam
mengobati
fobia
sosial
telah
menciptakan dua hipotesisi neurokimiawi spesifik tentang dua jenis fobia social.
Secara spesifik, penggunaan antagonis beta adrenergic, sebagai contoh,
Propanolol (inderal) untuk fobia kinerja (performance phobia), sebagai contoh,
berbicara di depan public telah mengembangkan teori adrenergic untuk fobia
tersebut. Pasien dengan fobia kinerja mungkin melepaskan lebih banyak
norepinefrin dan epinefrin, baik sentral maupun perifer, dibandingkan orang
nonfobik, atau pasien tersebut mungkin peka terhadap stimulasi adrenergic tingkat
yang normal. Pengamatan bahwa inhibitor monoamine oksidase (MAOI) mungkin
lebih efektif dibandingkan obat trisiklik dalam pengobatan fobia sosial umum,
dikombinasikan dengan data praklinis, telah menyebabkan beberapa penelitian
menghipotesiskan bahwa aktivitas dopaminergik adalah berhubungan dengan
potogenesis gangguan.
2.4
Patofisiologi Fobia
Fobia spesifik yang umum, gangguan yang heterogen ciri utama adalah
terus-menerus, ketakutan yang tidak masuk akal dari suatu obyek atau situasi
terbatas. Hal ini termasuk pengkondisian, dimodifikasi conditioning dan model
nonassociative pembangunan fobia, fisiologis terhadap rangsangan fobia,
neuroimaging, primata, dan biologis studi tantangan. Hipotesis patofisiologi
disarankan oleh riset terbaru mengenai neurocircuitry dari dikondisikan takut juga
dibahas, meskipun telah fobia spesifik kurang kesehatan masyarakat dan
kepentingan klinis dari gangguan kecemasan lain, mereka mungkin dibatasi alam
12
13
2.5
Diagnosis Fobia
Nama untuk fobia spesifikasi di dalam DSM-III-R adalah fobia sederhana
(simple phobia). Nama ini telah diganti dalam DSM-IV untuk menyesuaikan tata
nama dalam internasional. International Classification of Disease 10 (ICD-10)
dan untuk menghindari sempitnya lingkup diagnosis. Sebagai contohnya, karena
serangan panic adalah sering ditemukan pada pasien fobia spesifik, nama fobia
sederhana secara tidak tepat mengesankan bahwa serangan panik adalah tidak
dimungkinkan oleh kriteria diagnostik (16).
Beberapa perubahan lain telah dibuat dari kriteria DSM-III-R menjadi
kriteria DSM-IV untuk fobia spesifik. Kriteria A dan B telah diperbaharui untuk
memungkinkan bahwa pemaparan dengan stimulus fobik menyebabkan suatu
serangan panik. Tetapi, berlawanan dengan gangguan panik, pada fobia spesifik
serangan panik adalah berkaitan secara situaional dengan stimulus fobia
spesifikasi. Kriteria F dalam DSM-IV memasukkan kata tidak lebih baik
disebabkan oleh untuk menekankan perlunya pertimbangan klinisi tentang
diagnosis gejala. Isi fobia spesifik dan kekuatan hubungan (sebabgai contoh,
dengan tanda atau tanpa tanda) antara stimulus dan serangan panic juga perlu
dipertimbangkan (16).
Karena suatu tinjauan pada literature manyatakan bahwa fobia spesifikasi
adalah berhubungan denagan onset usia, rasio jenis kelamin, riwayat keluarga, dan
14
respons fisiologis yang bervariasi, DSM-IV memasukkan tipe fobia spesifik yang
terpisah tipe binatang, tipe lingkungan alami (sebagai contoh, badai), tipe darah,
injeksi, cedera, tipe situasional (sebagai contoh, mobil), dan tipe lain (untuk fobia
spesifikasi yang tidak masuk kedalam keempat tipe sebelumnya). Data
pendahuluan menyatakan bahwa tipe lingkungan alami adalah paling sering pada
anak-anak yang berusia kurang dari 10 tahun dan tipe situasional sering pada awal
usia 20 tahunan (10,11).
Kriteria diagnostik untuk fobia spesifik adalah (11,14):
a. Rasa takut yang jelas dan menetap yang berlebihan atau tidak
keberhasilan ditunjukkan oleh adanya atau antisipasi suatu objek atau
situasi tertentu (misalnya, naik pesawat terbang , ketinggian, binatang,
mendapatkan suntikan, melihat darah).
b. Pemaparan dengan stimulus fobik hamper selalu mencetuskan respons
kecemasan yang segera, yang dapat berupa serangan panik yang
berhubungan dengan situasi. Catatan : pada anak-anak, kecemasan
dapat diekspresikan oleh menangis, tantrum, dan membeku.
c. Orang menyadari bahwa rasa takut adalah berlebihan atau tidak
beralasan. Catatan : pada anak-anak, ciri ini mungkin tidak ada.
d. Situasi fobik dihindari, atau jika tidak dapat dihindari, dihadapi
dengan kecenasan atau penderitaan yang kuat.
e. Penghindaran, antisipasi kecemasan, atau penderitaan dalam situasi
yang ditakuti secara bermakna mengganggu rutinitas normal orang,
fungsi pekerjaan (atau akademik), atau aktivitas sosial atau hubungan
dengan orang lain, atau terdapat penderitaan yang jelas karena
menderita fobia.
15
gangguan
stress
pasca
tarumatik
(misalnya,
17
2.6
terpapar dengan situasi atau objek spesifik atau jika pasien memperkirakan akan
terpapar dengan situasi atau objek tersebut. DSM-IV menekankan kemungkinan
bahwa serangan panik dapat dan sering kali terjadi pada pasien dengan fobia
spesifik dan sosial, tetapi serangan panik, kecuali kemungkinan bagi beberapa
serangan yang pertama, adalah diperkirakan. Pemaparan dengan stimulus fobik
atau memperkirakannya hampir selalu menyebabkan serangan panik pada orang
yang rentan terhadap serangan panik (panic attack-prone person) (20).
Pasien dengan fobia, menurut definisinya, mencoba untuk menghindari
stimulus fobik. Beberapa pasien mengalami masalah besar dalam menghindari
situasi yang menimbulkan kecemasan. Sebagai contohnya, seorang pasien fobik
mungkin menggunakan bis untuk bepergian jarak jauh, bukannya dengan pesawat
terbang, untuk menghindari kontak dengan objek fobia pasien, yaitu pesawat
terbang. Kemungkinan sebagai cara lain untuk menghindari stres dari stimulus
fobik, banyak pasien fobik menderita gangguan berhubungan dengan zat, terutama
gangguan penggunaan alkohol. Selain itu, diperkirakan sepertiga dari semua
pasien dengan fobia sosial memiliki gangguan depresi berat (19,20).
Temuan utama pada pemeriksaan status mental adalah adanya ketakutan
yang irasional dan egodistonik terhadap situasi, aktivitas, atau objek tertentu,
pasien mampu menggambarkan bagaimana mereka menghindari kontak dengan
situasi fobik. Depresi seringkali ditemukan pada pemeriksaan status mental dan
mungkin ditemukan pada sebanyak sepertiga dari semua pasien fobik (7,8).
19
2.7
Tatalaksana Fobia
Pada awal perkembangan psikoanalisis dan psikoterapi berorientasi secara
dinamik, ahli teori percaya bahwa metode tersebut adalah pengobatan terpilih
untuk neurosis fobik, yang selanjutnya diperkirakan berasal dari konflik genital
oedipal. Tetapi, segera kemudian, ahli terapi mengetahui bahwa, walaupun ada
kemajuan dalam mengungkapkan dan menganalisa konflik yang tidak disadari,
pasien seringkali gagal melepaskan gejala fobiknya. Selain itu, dengan terus
menghindari situasi fobik, pasien menghindari suatu derajat bermakna kecemasan
dan hubungannya dari proses analitik. Freud dan muridnya Sandor Ferenczi
mengetahui bahwa, jika diperoleh kemajuan di dalam menganalisis gejala
tersebut, ahli terapi telah melewati pranan analitiknya dan secara aktif mendorong
pasien fobik untuk mencari situasi fobik dan mengalami kecemasan dan
didapatkan tilikan. Sejak saat itu, dokter psikiatrik biasanya setuju bahwa suatu
aktivitas pada pihak ahli terapi seringkali diperlukan utnuk mengobati kecemasan
fobik secara berhasil. Keputusan untuk menerapkan teknik terapi psikodinamika
berorientasi-tilikan harus didasarkan bukan pada adanya gejala fobik saja tetapi
20
pada indikasi positif dari struktur ego dan pola hidup pasien untuk menggunakan
metoda terapi tersebut. Terapi berorientasi-tilikan memungkinkan pasien mengerti
asal dari fobia, fenomena tujuan sekunder, dan peranan daya tahan dan
memungkinkan pasien mencari cara yang sehat dalam menghadapi stimuli yang
menyebabkan kecemasan (5,13).
Terapi suportif dan terapi keluarga mungkin berguna dalam pengobatan
fobia. Hipnosis digunakan untuk meningkatkan sugesti ahli terapi bahwa objek
adalah tidak berbahaya, dan hipnosis-diri (self-hypnosis) dapat diajarkan pada
pasien sebagai suatu metoda relaksasi jika berhadapan dengan objek fobik.
Psikoterapi suportif dan terapi keluarga seringkali berguna dalam mambantu
pasien secara aktif menghadapi objek fobik selama pengobatan. Tidak hanya
terapi keluarga dapat menggunakan bantuan keluarga dalam mengobati pasien,
tetapi terapi ini juga dapat mambantu keluarga mengerti sifat masalah pasien
(5,11,13).
Terapi yang paling sering digunakan untuk fobia spesifik adalah terapi
pemaparan (exposure therapy), suatu tipe terapi perilaku yang asalnya didahului
oleh Joseph Wolpe. Ahli terapi mendesensitisasi pasien, dengan menggunakan
pemaparan stimulus fobik yang serial, terhadap dan dipacu diri sendiri. Ahli terapi
mengajari pasien tentang berbagai teknik utuk menghadapi kecemasan, termasuk
relaksasi, kontrol pernafasan, dan pendekatan kognitif terhadap gangguan.
Pendekatan kognitif adalah termasuk mendorong kenyataan bahwa situasi tersebut
pada dasarnya adalah aman. Aspek kunci dari terapi perilaku yang berhasil adalah
(1) komitmen pasien terhadap pengobatan, (2) masalah dan tujuan yang
21
didentifikasikan dengan jelas, dan (3) strategi alternatif yang tersedia untuk
mengatasi perasaan pasien. Pada situasi spesifik fobia darah, injeksi, dan cedera,
beberapa ahli terapi menganjurkan bahwa pasien mengencangkan tubuhnya
selama pemaparan untuk membantu menghindari kemungkinan pingsan akibat
reaksi vasovagal terhadap stimulasi fobik. Beberapa laporan awal menyatakan
bahwa antagonis beta adrenergik dapat berguna dalam pengobatan fobia spesifik.
Jika fobia spesifik disertai dengan serangan panik, farmakoterapi atau psikoterapi
yang diarahkan pada serangan panik mungkin juga bermanfaat (5,7,13).
Pengobatan fobia sosial menggunakan psikoterapi dan farmakoterapi, dan
berbagai pendekatan adalah diindikasikan untuk tipe umum dan situasi kerja.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa pemakaian farmakoterapi menghasilkan
hasil yang lebih baik daripada terapi tersebut sendiri-sendiri, walaupun temuan
tersebut mungkin tidak dapat diterapkan pada semua situasi dan pasien (1,5,13).
Beberapa penelitian yang terkontrol dengan baik telah menemukan bahwa
inhibitor monoamine oksidase, khususnya Phenezine (Nardil), adalah efektif
dalam mangobati fobia sosial tipe umum. Obat lain yang telah dilaporkan efektif,
walaupun tidak banyak uji terkontrol baik, adalah Aprazolam (Xanax),
Clonazepam (Klonopin), dan kemungkinan inhibitor ambilan kembali Serotonin.
Dosis untuk obat tersebut adalah sama dengan yang digunakan pada gangguan
depresif, dan respons biasanya memerlukan waktu empat sampai enam
minggu.beberapa dat menyatakan bahwa obat trisiklik dan Buspirone (Buspar)
mungkin tidak efektif pada fobia sosial, walaupun data adalah terbatas dan tidak
definitif (5,11,13).
22
2.8
Prognosis Fobia
Fobia spesifik mempunyai prognosis yang paling baik. Fobia sosial
mungkin memiliki ketergantungan finansial pada orang lain semasa dewasa dan
memiliki berbagai derajat gangguan dalam kehidupan sosialnya, keberhasilan
pekerjaan, dan pada orang muda, prestasi sekolahnya. Perkembangan gangguan
berhubungan zat yang menyertainya juga merugikan perjalanan penyakit dan
prognosis gangguan (19,20).
BAB III
KESIMPULAN
Fobia adalah suatu ketakutan yang tidak rasional yang menyebabkan
penghindaran yang disadari terhadap objek, aktivitas, atau situasi yang ditakuti.
Menurut Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorders IV (DSM-IV),
fobia terbagi 3, yaitu : fobia sosial, fobia spesifik, dan agorafobia adalah
subkelompok gangguan kecemasan (2,16).
Fobia sosial fokus dari takutnya adalah pada peristiwa dipermalukan
seseorang di tempat ramai, sedangkan agorafobia fokus takutnya ialah
ketidakmampuan untuk melarikan diri. Fobia spesifik ialah rasa takut yang tidak
sesuai kenyataan terhadap stimuli spesifik seperti laba-laba, ular, tempat tinggi,
halilintar, penyakit, cedera, kesendirian, kematian, dan ketularan penyakit (7,8).
Ada beberapa cara dalam pendekatan pengobatan yang dipakai untuk
menanggulangi fobia. Jika cara-cara ini dikombinasikan akan memberikan banyak
24
manfaat pada penderitaan fobia. Para ahli yang bekerja di bidang kesehatan jiwa
mempunyai orientasi deskriptif dan dinamik, menyadari bahwa keduanya saling
melengkapi dan menambah relevansi klinik dari gejala-gejala yang ditampilkan
pasien. Ditinjau dari aspek dinamik setiap pasien mempunyai ciri khas masingmasing, dan dari aspek deskriptif kita menemukan gejala yang terlihat saat itu.
Dengan memberikan tempat yang wajar pada kedua pandangan itu serta
penanggualangannya yang tepat, maka diharapkan penderita akan mendapatkan
terapi yang tepat dan adekuat (5,13).
DAFTAR PUSTAKA
1. Kaplan, Harold I, Benjamin J, Sadock, Jack A. Greb. Gangguan Kecemasan.
Kaplan dan Saddock Sinopsis Psikiatri Ilmu Pengetahuan Perilaku Psikiatri
Klinis. Edisi 7. Jilid 2. Jakarta: Binarupa Aksara. 1997.
2. American Psychiatric Association. Social Phobia (Social Anxiety Disorder).
Diagnostic and Statistical of Mental Disorder. Edisi 4. Washington: R.R.
Donnelly & Sons Company. 1994.
3. Puri, Basant K. Laking, Paul J, Treaseden. Text Book of Psychiatry 2nd
Edition. London: Churchill Livingstone. 2002.
4. Rubin EH, Charles FZ. Adult Psychiatry 2nd Edition. Australia: Blackwell
Publishing. 2005.
5. Budiman, Richard. Neurosis fobik dan cara penanggulangannya di Indonesia.
Jakarta: Yayasan Kesehatan Jiwa Darmawangsa. 1987.
6. Maslim, Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa PPDGJ IV. Jakarta: PT. Nuh Jaya.
2003.
7. Maramis WE. Ilmu kedokteran jiwa. Surabaya: Airlangga University Press,
2007.
8. Elvira SD. Buku Ajar Psikiatri. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia, 2010.
9. Acocella, J. Alloy, LB. Bootzin, RR. Abnormal Psychology : Current
Perspective. New York : Mc Graw Hill. 1996.
25
10. Atkinson, RL. Smith EE. Bem, DJ. Hilgards Introduction to Psychology 13th
edition. New York: Harcourt College Publishers. 2002.
11. Shelton RC. Anxiety Disorder. In : Ebert MH, Nurcombe B, Loosen PT,
Leckman JF, editors. Current diagnosis & treatment psychiatry. 2nd edition.
The Mc Graw Hill Co Inc. P351-62. 2008.
12. Smoller JW, Sheidley BK, Tsuang MI. Anxiety disorder and social phobia: A
population based twin study. USA: American Psychiatry Publishing Inc;
p150-6. 2008.
13. Moscovitch DA, Hofmann SG, Suvak MK. Meditation of changes in anxiety
and depression during treatment of social phobia. J Consult Clin Psychol.
73(5): 945-52. 2005.
14. Chaplin J.P. Kamus lengkap psikologi (terjemahan dr. Kartini Kartono).
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1997.
15. Neale, JM. Davidson, GC. Abnormal Psychology. New York: John Wiley &
Sons, Inc. 2001.
16. Pedoman penggolongan dan diagnosis gangguan jiwa di Indonesia. Edisi III.
Jakarta: Departemen Kesehatan RI Direktorat Jenderal Pelayanan Medik; p
175-6. 1993.
17. Schneier, FR. Social anxiety disorder. N England J Med 2006; 355: 10291036.
18. Carr A. Abnormal psychology : Psychology focus. East Sussex. Psychology
Press, 2001.
19. Baihaqi, Sunardi, Euis H, dkk. Psikiatri. Bandung: Refika Aditama, 2007.
20. Dafit, AT. Psikiatri. Edisi 6. Jakarta: EGC. 2004.
26