Laporan Na. EDTA

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 12

I.

Tujuan
1. Mengetahui reaksi antgonis obat (antara Na.EDTA dan Pb.asetat)
2. Mengetahui gejala keracunan timbal
3. Mengetahui aktivitas Na. EDTA sebagai antidotum
II.
Dasar teori
Farmakologi merupakan sifat dari mekanisme kerja obat pada sistem tubuh termasuk
menentukan toksisitasnya. Jalur pemakaian obat yang meliputi secara oral, rektal, dan
parenteral serta yang lainnya harus ditentukan dan ditetapkan petunjuk tentang dosis-dosis
yang dianjurkan bagi pasien dalam berbagai umur, berat dan status penyakitnya serta teknik
penggunaannya atau petunjuk pemakaiannya.
Bentuk sediaan dan cara pemberian merupakan penentu dalam memaksimalkan proses
absorbsi obat oleh tubuh karena keduanya sangat menentukan efek biologis suatu obat seperti
absorpsi, kecepatan absorpsi dan bioavailabilitas (total obat yang dapat diserap), cepat atau
lambatnya obat mulai bekerja (onset of action), lamanya obat bekerja (duration of action),
intensitas kerja obat, respons farmakologik yang dicapai serta dosis yang tepat untuk
memberikan respons tertentu
Obat sebaiknya dapat mencapai reseptor kerja yang diinginkan setelah diberikan
melalui rute tertentu yang nyaman dan aman seperti suatu obat yang memungkinan diberikan
secara oral. Pemberian obat per oral merupakan pemberian obat paling umum dilakukan
karena relatif mudah dan praktis serta murah. Kerugiannya ialah banyak faktor dapat
mempengaruhi bioavailabilitasnya (faktor obat, faktor penderita, interaksi dalam absorpsi di
saluran cerna) (Ansel, 1989).
Suatu senyawa (ligand) yang mampu berikatan dengan reseptor dan mengakibatkan
modifikasi protein reseptor sehingga menghasilkan suatu rangsangan dan perubahan fungsi
sel disebut sebagai agonis, sedangkan senyawa yang mampu berikatan dengan reseptor dan
kemudian menurunkan atau menghilangkan efek suatu agonis, disebut sebagai antagonis
(Lullmann et.al., 2000). Jika dua obat dikombinasikan yang mempunyai kerja yang
berlawannan, atau efek antagonis, maka efek obat-obat itu akan saling meniadakan. Kerja
dari kedua obat itu akan hilang. Contohnya Pb dengan Na-EDTA.
Antagonisme farmakodinamik
Secara farmakodinamik dapat dibedakan 2 jenis yaitu :

1. Antagonisme fisiologik, yaitu antagonisme pada sistem fisiologik yang sama, tetapi pada
sistem reseptor yang berlainan.
2. Anagonisme pada reseptor, yaitu antagonisme melalui sistem reseptor yang sama
(antaonisme antara agonis dengan antagonisnya).
Antagonisme pada reseptor dapat bersifat kompetitif atu nonkompetitif.
a. Antagonisme kompetitif. Dalam hal ini, antagonis mengikat reseptor di tempat ikatan
agonis secara reversibel sehingga dapat digeser oleh agonis kadar tinggi. Dengan
demikian hambatan efek agonis dapat diatasi dengan meningkatkan kadar agonis
sampai akhirnya dicapai efek maksimal yang sama. Jadi, diperlukan kadar agonis
yang lebih tinggi untuk memperoleh efek yang sama. Ini berarti afinitas agonis
terhadap reseptornya menurun.
b. Anatagonis nonkompetitf. Hambatan efek agonis oleh antagonis nonkompetitif tidak
dapat diatasi dengan meningkatkn kadar agonis. Akibatnya, efek yang dicapai akan
berkurang, tetapi afinitas agonis terhadap reseptornya tidak berubah.
Antagonisme nonkmpetitif terjadi jika :
1. Antagonis mengikat reseptor secara ireversibel, di receptor site maupun ditempat
lain, sehingga menghalangi ikatan agonis dengan reseptornya. Dengan demikian
antagonis mengurangi jumlah reseptor yang tersedia untuk berikatan dengan
agonisnya, sehingga efek maksimal akan berkurang. Tetapi afinitas agonis
terhadap reseptor yang bebas tidak berubah.
2. Antagonis mengikat bukan pada molkulnya sendiri tetapi pada komponen lain
dalam sistem reseptor, yakni pada molekul lain yang meneruskan fungsi reseptor
dalam sel target, misalnnya molekul enzim adenilat siklase atau molekulprotein
yang membentuk kanal ion. Ikatan antagonis pada molekul molekul tersebut,
secara reversibel maupun ireversibel, akan mnegurangi efek yang dapat
ditimbulkan oleh kompleks agonis reseptor tanpa mengganggu ikatan agonis
dengan reseptornya.

Pb dapat menyebabkan stres oksidatif dengan meningkatkan pembentukan radikal


bebas dan menurunkan sistem antioksidan di jaringan. Stres oksidatif ini dapat menyebabkan
kerusakan molekul-molekul dalam sel. Molekul lipid yang mengalami stres oksidatif akan
mengalami auto-oksidasi atau yang lebih dikenal dengan peroksidasi lipid. Protein yang
mengalami oksidasi menjadi tidak berfungsi dan DNA yang teroksidasi menjadi mutagen,
karsinogen atau menyebabkan kematian sel (Ercal et al, 2001).
Pengaruh Pb terhadap eritrosit banyak diamati oleh karena affinitas eritrosit terhadap Pb
sangat tinggi. Eritrosit mengikat 99% Pb dalam darah. Pb ini menimbulkan destabilitas
membran sel, menurunkan fluiditas membran dan meningkatkan kecepatan hemolisis. Pb
dianggap sebagai agen hemolitik seperti juga tembaga dan air raksa, menyebabkan
penghancuran eritrosit melalui pembentukan peroksida-peroksida lipid dalam membran sel.
Pb merupakan zat xenobiotik bagi tubuh. Sebagian besar zat ini akan mengalami
metabolisme (perubahan kimiawi) dalam tubuh manusia dan hati menjadi organ tubuh yang
terutama terlibat dalam peristiwa ini.
Mekanisme :
Pembentukan khelat EDTA (etilen diamin tetra asetat) dan dimerkaprol membentuk
komplek kelat dengan logam-logam seperti timbal atau tembaga logam tersebut dapat
dikeluarkan dari tubuh toksisitas berkurang.
Timbal (Pb) berpotensi mengakibatkan terjadinya keracunan pada makhluk hidup.
Keracunan timbal terjadi karena timbal ataupun persenyawaannya masuk ke dalam tubuh
seperti melalui konsumsi air yang telah tercemar oleh timbal. Timbal yang masuk ke dalam
tubuh akan terakumulasi di dalam darah terutama di dalam eritrosit. Timbal berikatan dengan
protein membran serta menghambat aktivitas enzim Na-K-ATP-ase pada membran eritrosit.
Hal ini mengakibatkan perubahan struktur dan stabilitas membran sehingga eritrosit menjadi
rapuh dan mudah pecah. Timbal menghambat sintesa hemoglobin. Enzim 8 ALAD dan
enzim ferrokhelatase yang berperan di dalam sintesa heme sangat rentan terhadap toksisitas
timbal. Rantai polipeptida globin yang merupakan penyusun hemoglobin dihambat
sintesanya

oleh

timbal.

Permasalahan yang timbul dalam penelitian ini adalah mengenai bagaimana jumlah eritrosit
dan kadar hemoglobin mencit (Mus musculus) jantan pada kondisi keracunan timbal. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk mengkaji toksisitas timbal terhadap jumlah eritrosit dan

kadar hemoglobin mencit (Ivlus muscuius) jantan. Jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin
dapat

digunakan

sebagai

indikator

terjadinya

keracunan

timbal.

Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Biologi Struktur dan Fungsi Hewan, Jurusan
Biologi Fakultas MIPA, Universitas Diponegoro Semarang pada bulan Juli sampai
dengan Agustus 2002. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktor
Tunggal. Perlakuan berupa pemberian timbal yang dilakukan secara oral melalui air minum
yang mengandung timbal (II) asetat trihidrat / PbC4H604.3H20 dengan dosis yang berbeda
yaitu 0 ppm atau tanpa pemberian timbal (II) asetat trihidrat, 250 ppm, 500 ppm dan 1000
ppm. Pada masing masing perlakuan, dilakukan lima kali ulangan. Parameter yang diamati
meliputi konsumsi air minum, jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin. Data dianalisa dengan
menggunakan Analysis of Variance (Anova) pada taraf signifikan 5 %. Untuk mengetahui
perbedaan antar kelompok perlakuan, dilakukan uji lanjut dengan menggunakan Uji Beda
Nyata

Terkecil

(BNT)

pada

taraf

signifikan

%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsumsi air minum antar kelompok perlakuan tidak
berbeda nyata. Jumlah eritrosit mencit cenderung mengalami penurunan. Penurunan jumlah
eritrosit mencit yang signifikan sebagai akibat toksisitas timbal terjadi pada pemberian air
minum dengan dosis timbal (II) asetat trihidrat 500 'ppm. Kadar hemoglobin mencit juga
menurun seiring dengan meningkatnya dosis timbal (II) asetat trihidrat yang terkandung di
dalam air minum mencit. Pemberian air minum dengan dosis timbal (II) asetat trihidrat 250
ppm telah mengakibatkan penurunan kadar hemoglobin mencit yang signifikan.

Mencit memiliki saluran pernafasan yang sama dengan manusia. Pernafasan pada
manusia dilakukan melalui alat respirasi yang terdiri dari hidung, Faring, Laring (pangkal
tenggorokan), Trakea (batang tenggorokan), Bronkus (cabang batang tenggorokan) dan
pulmo (paru paru).
Pernafasan adalah proses ganda, Yaitu terjadinya pertukaran gas didalam jaringan atau
pernafasan dalam yang terjadi pada paru paru pada waktu mengeluarkan nafas.
Dengan bernafas setiap hari, Sel dalam tubuh menerima persediaan oksigen pada saat
yang sama melepaskan produk oksigennya. Oksigen yang bersenyawa dengan karbon dan
hidrogen dari jaringan memungkinkan setiap sel sendiri melangsungkan proses metabolisme.
III.

Alat dan bahan


1. Sonde oral

2.
3.
4.
5.
6.
7.

Stopwatch
Neraca analitik
Kandang mencit
Na. EDTA
Pb acetat
Hewan percobaan
IV.
Mekanisme kerja
1. Mencit ditimbang satu persatu
2. Beri tanda pada mencit I, mencit II, dan mencit III
3. Amati warna telinga mencit, laju pernapasan , dan adanya
tremor
4. Berikan mencit I Na. EDTA, mencit II Pb. Acetat, mencit III Pb.
Acetat
5. Amati warna telinga mencit, laju pernapasan , dan adanya
tremor
6. Setelah dua menit berika mencit III Pb. Acetat
7. Berikan pada mencit II, dan mencit III Na. EDTA setelah timbul
reaksi keracunan
8. Amati warna telinga mencit, laju pernapasan , dan adanya
tremor
9. Kumpulkan data dan lakukan analisis
V.

Hasil pengamatan

Data berat badan mencit:


Mencit I : 34,4 gram
Mencit II : 33,3 gram
Mencit III : 30,8 gram
Dosis

Na.

EDTA

dan

Pb

asetat

yang

berdasarkan berat badan :


Mencit I 34.4 x 0,5 = 0,86 ml
20
Mencit II 33,3 x 0,5 = 0,83 ml
20
Mencit III 30,8 x 0,5 = 0,77 ml
20
Berikut data percobaan yang kami peroleh
Tabel mencit sebelum penyuntikan (normal)

diberiskan

kepada

mencit

Kelompok Mencit
1
I
II
III
2
I
II
III
3
I
II
III
4
I
II
III
5
I
II
III

Warna Telinga
krem
krem
krem
Putih pucat
Putih pucat
Putih pucat
Putih
Putih
Putih
Putih kemerahan
Putih kemerahan
Putiih kemerahan
Putih pink
Putih pink
Putih pink

Tabel mencit I semua kelompok


Kelompok + Na.EDTA
Warna
Laju
Telinga
Napas
1
Putih
108
2
Putih
124
3
Putih
160
4
Merah
250
5
Putih pink 156
Tabel mencit II semua kelompok
Kelompok + Pb.Asetat
Warna
Laju
Telinga
Napas
1
Merah
80
2
Merah
156
3
Merah
148
4
Merah
168
5
Putih pucat 160

Tabel mencit III semua kelompok


Kelompok + Pb.Asetat

Tremor
-

Tremor
+
+++
++
+++
++

Laju Napas
104
80
108
148
167
177
97
92
92
180
148
140
184
148
132
+ Pb.Asetat
Warna
Telinga
Putih
Putih
Merah
Merah
Merah
pucat
+ Na.EDTA
Warna
Telinga
Merah
Putih
Merah
Putih
Putih pucat

+ Na.EDTA

Tremor
-

Laju Napas Tremor


108
116
80
160
136

+
++
+++
+++++
+++

Laju Napas Tremor


124
136
160
132
192

+++
+
-

1
2
3
4
5

Warna
Telinga
Merah
Putih
Merah
Merah
Putih pink

Grafik pernapasan mencit

Laju
Napas
132
100
145
176
172

Tremor
+++
++

Warna
Telinga
Merah
Putih
Merah
Putih
Putih pink

Laju Napas Tremor


140
164
112
208
160

+
+++
++++
+

Laju Napas Pada Mencit 1


300
250

kelompok 1

kelompok 2

kelompok 4

kelompok 5

kelompok 3

200
150
100
50
0
Normal

Na.EDTA

Pb.Asetat

Rata Rata Laju Napas Pada Mencit 2 dan 3


200

kelompok 1
kelompok 2

150

kelompok 3
100

kelompok 4
kelompok 5

50
0
Normal

Pb.Asetat

Na.EDTA

Grafik tremor pada mencit

Tremor Pada Mencit 1


kelompok 1

kelompok 2
kelompok 3

kelompok 4

kelompok 5

0
Normal

Na.EDTA

Pb.Asetat

Tremor Pada Mencit 2


kelompok 1

kelompok 2

kelompok 3

kelompok 4

kelompok 5

0
Normal

Pb.Asetat

Na.EDTA

Tremor Pada Mencit 3


4.5
4
3.5
3
2.5
2
1.5
1
0.5
0
Normal

VI.

kelompok 1
kelompok 2
kelompok 3
kelompok 4
kelompok 5

Pb.Asetat Na.EDTA

Pembahasan

Pada praktikum ini diamati bagaimana reaksi antagonis antara Pb asetat ang bersifat
racun dan Na. EDTA yang bersifat menawarkan racun. Yang diberikan secara oral kepada
Pb asetat dapat meracuni tubuh karena timbal yang masuk ke dalam tubuh akan
terakumulasi di dalam darah terutama di dalam eritrosit. Timbal berikatan dengan protein
membrane serta menghmbat aktivitas enzim Na-K-ATP-ase pada membrane eritorsit, hal ini
mengakibatkan perubahan struktur dan stabilitas membran sehingga membran eritrosit menjadi
rapuh.
Na. EDTA dapt menetralisir racun dengan cara berikatan dengan logam seperti Pb, dan
mebentuk kelat yang mudah dikeluarkan dari tubuh
Pengamatan yang dilakukan adalah mengamati perubahan warna pada telinga mencit,
cepat laju pernapasan, dan adanya tremor atau kejang. Pengamatan yang pertama dilakukan
adalah mengamati mencit pada saat belum diberikan Pb. Asetat dan Na. EDTA.berdasarkan
pengamatan warna telinga mencit sebelum diberikan Pb asetat atau Na. EDTA adalah pink muda
atau putih kemerahan, dan rata-rata laju pernapasan adalah 133 kali/ menit, dan tidak terjadi
tremor pada tiga mencit percobaan yang digunakan.
Selanjutnya dilakukan pengamatan terhadap mencit I yang diberikan Na.EDTA terlebih
dahulu dan mencit II dan III yang diberikan Pb. Asetat terlebih dahulu. Perbedaan ini dilakukan
untuk membandingkan perbedaan efek yang terjadi. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan
mencit I yang diberikan Na. EDTA terlebih dahulu, warna telinga mencit tidak mengalami
perubahan yang terlihat jelas, hanya ada satu mencit yang warna telinganya berubah menjadi
merah. Laju pernapasa rata-rata mencit, naik menjadi 159 kali/menit. Tidak ada tremor yang
terjadi pada mencit
Pengamatan selanjutnya adalah terhadap mencit yang diberikan Pb. Asetat terlebih
dahulu, yaitu pada mencit I dan mencit II. Warna telinga mencit kebanyakan berubah menjadi
lebih merah, hanya ada beberapa mencit yang war telinganya tetap merah muda. Laju pernapasan
rata-rata pada mencit II naik mennjadi 142 kali/menit dan pada mencit III juga naik menjadi 145

kali/mencit. Tremor yang terjadi rata-rata tiga sampai dua kali. Tetapi ada juga mencit yang tidak
mengalami tremor. Hal ini menunjukkan bahwa mencit mengalami gejala keracunan Pb. asetat
Hal yang dilakukan selanjutnya adalah memberikan Pb. Asetat kepada mencit I yang
sudah diberikan Na. EDTA terlebih dahulu, setelah dua menit. Tujuannya adalah melihat apaksan
mencit yang sudah diberikan penawar racun terlebih dahulu akan keracunan bila selanjutnya
diberikan Pb. Asetat. Dari pengamatan yang dilakukan warna telinga mencit rata-rata berubah
menjadi lebih merah. Laju napas turun menjadi 148 kali/menit, dan sering terjadinya tremor pada
hewan percobaan. Dapat disimpulkan dari data diatas bahwa mencit masih mengalami gejala
keracunan walaupun sudah diberikan penawar Na. EDTA terlebih dahulu.
Pengamatan juga dilakukan pada mencit II dan mencit III yang diberikan penawar racun
Na. EDTA setelah terlihat gejala keracunan. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada
mencit II, warna telinga mencit yang rata-rata merah berubah kembali menjadi pink. laju
pernapasan rata-rata naik sedikit manjadi 148 kali/menit. Dan tremor yang terjadi berkurang.
Dapat dilihat bahwa pemberian Na. EDTA dapat menetralsir racun yang ada pada tubuh mencit.
Pada mencit III warna telinga juga s berubah menjadi lebih muda, laju pernpasan rata-rata mencit
III naik menjadi 157 kali/menit. Tetapi tremor yang terjadi menjadi semakin sering.
Ketidakcocokan ini mungkin terjadi karena kesalahan cara pemberian, dan hal-hal lain.
Pada praktikum ini terdapat satu ekor mencit yang mati. Hal ini dikarenakan dosis Pb.
Asetat yang diberikan berlebih, atau kesalahan pemberian penawar Na.EDTA dengan Pb. Asetat.
VII.

Kesimpulan

tujuan utama dari praktikum ini adalah melihat reaksi antagonis yang terjadi antara Na.
EDTA dan Pb. Asetat pada mencit. Dilakukan dua perbedaan perlakuan yang dilakukan pada
mencit, satu mencit diberikan Na.EDTA terlebih dahulu dan dua mencit lainnya diberkan Pb.
Asetat terlebih dahulu dan dari hasil pengamatan mencit yang telah diberikan Na.EDTA terlebih
dahulu lalu diberikan Pb.asetat masih mengalami gejala keracunan. Dan mencit yang diberikan
Pb.asetat mengalami gejala keracunan, dan setelah diberikan Na. EDTA gejsala keracunannya
menurun.

VIII. Daftar pustaka


Syaifuddin. 2009. Anatomi Tubuh Manusia. Selemba Media. Jakarta
Waston, Roger. Anatomi dan Fisiologi Untuk Perawat. Pnerbit Buku Kedokteran. Jakarta
Departemen farmakologi dan terapeutik fakultas kedokteran Universitas Indonesia. 1995.
Farmakolog dan Terapi,Jakarta: Balai penerbitan FKUI
Pilnas.ristek.go.id

Anda mungkin juga menyukai